You are on page 1of 132

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya alam memiliki arti penting bagi Negara Indonesia karena

sumber daya alam dapat digunakan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Mengingat peranan sumber daya alam, Undang-Undang Dasar 1945

mengatur secara khusus perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam

yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 194511. Menurut isi Pasal

33 tersebut Negara mengatur dan menetapkan pihak-pihak yang dapat

meng-explorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam. Secara khusus

ketentuan ini dapat dilihat didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan22. Namun untuk mengatur agar tidak terjadi

pertambangan yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan

hidup.

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Berdasarkan apa

yang diuraikan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa siapa saja

atau badan hukum apa saja dapat melakukan kegiatan pertambangan bila dia

telah mendapatkan Izin Usaha Pertambang (IUP) dari Pemerintah dan

mematuhi persyatan-persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan

permerintah seperti AMDAL dan Izin Lingkungan33.

11
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
22
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
33
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.

1
Berdasarkan sistem hukum lingkungan yang berlaku, para pihak

penambang harus berusaha mencegah dan mengatasi agar kegiatanya tidak

menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang merugikan

orang lain. Apabila kegiatan pertambangan menimbulkan kerusakan

dan/atau pencemaran lingkungan hidup, maka berdasarkan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, dimana mewajibkan pihak penambang memberikan ganti rugi

kepada korban dan merestorasi lingkungan yang rusak.Ada dua macam

sitem pertanggung jawaban perdata yang diatur dalam Hukum Lingkungan

Indonesia yaitutanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability base on

foult)dan tanggung jawab mutlak atau seketika (strict liability).

Berdasarkan sistem tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability

base on foult),sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang 32

Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, para

penambang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan

kerugian kepada korban maka diwajibkan memberikan ganti rugi kepada

korban pencemaran. Sedangkan dalam (strict liability) penambang tanpa

harus dibuktikan kesalahanya secara seketika diwajibkan memberikan ganti

rugi kepada korban pencemaran44. Akan tetapi hal ini hanya berlaku untuk

pencemaran dan perusakan yang disebabkan oleh kegiatan yang

menggunkan B3 sebagaimna diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.55


44
Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengeloaan
Lingkungan Hidup.
55
Bab X Pasal 69 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengeloalan Lingkungan Hidup.

2
Dari uraian tersebut, bahwa Asas Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.didasarkan pada

asas tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan

keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion,

keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal,

tata kelola pemerintahan yang baik, otonomi daerah.66

Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan lingkungan

perlu dijaga keserasian hubungan antara beberapa kegiatan. Sebagai salah

satu instrumen kebijaksanaan lingkungan, analisis mengenai dampak

lingkungan yang dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

adalah proses yang meliputi penyusunan berturut-turut dokumen-dokumen

kerangka acuan, analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan

lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan. Analisis dampak

lingkungan merupakan komponen study kelayakan berupa dokumen yang

disebut dengan AMDAL.77

Pada dasarnya AMDAL bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

dampak yang akan ditimbulkan oleh adanya sebuah rencana usaha atau

kegiatan tertentu. Dengan mengetahui dampaknya, maka pelaksana usaha/

kegiatan dapat membuat perencanaan lebih matang agar nantinya kegiatan

tidak berdampak buruk pada lingkungan atau merugikan banyak pihak.

66
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
77
Siti Sundari Rangkuti Hukum Lingkungan dan Kebijakansanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga universitas press,hlm 127.

3
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999

tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, selanjutnya

disingkatdengan AMDAL. Dalam peraturan tersebutterdapat pengertian

AMDAL yaitu suatu kajian dari suatu dampak besar serta penting untuk

melakukan pengambilan keputusan suatu usaha atau juga kegiatan yang

direncanakan di dalam lingkungan hidup. Analisis ini biasanya dilakukan

ketika akan dilakukan suatu proyek baru. AMDAL bersifat menyeluruh,

meliputi dampak biologi, sosial, ekonomi, fisika, kimia maupun budaya.

Oleh karena itu AMDAL tidak hanya berfokus pada lingkungan hidup saja

tetapi juga komponen lainnya yang terlibat.

Contoh kegiatan yang memerlukan adanya AMDAL yaitu pembuatan

TPA baru, reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan hingga pembangunan

pabrik. Semua bentuk pembangunan tersebut pasti akan berdampak pada

lingkungan sekitarnya baik pada manusia ataupun alam. Melalui AMDAL,

diharapkan pelaksana usaha atau pengelola dapat menekan dan

meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan. Selain itu, pelaksana usaha

atau pengelola akan dapat memberikan alternatif lainnya untuk lingkungan

yang akan terdampak.

Pada dasarnya semua usaha dan pembangunan menimbulkan dampak

dikemudian hari. Perencananaan awal suatu usaha atau kegiatan

pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting

dikemudian hari, guna dijadikan pertimbangan apakah rencana tersebut

perlu dibuat penanggulangan dikemudian hari atau tidak Pembangunan

merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengelola dan

4
memanfaatkan sumber daya alam, guna mencapai tujuan pembangunan

yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pembangunan tersebut

dari masa kemasa terus berlanjut guna memenuhi kebutuhan penduduk yang

semakin meningkat.

Dalam konteks pengelolaan lingkungan, eksistensi hukum lingkungan

diperlukan sebagai alat pergaulan sosial dalam masalah lingkungan.

Perangkat hukum lingkungan dibutuhkan dalam kerangka menjaga agar

supaya lingkungan dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan

daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. Dalam hukum

lingkungan diatur tentang obyek dan subyek, yang masing-masing adalah

lingkungan dan manusia. Lingkungan hidup sebagai obyek pengaturan

dilindungi dari perbuatan manusia supaya interaksi antara keduanya tetap

berada dalam suasana serasi dan saling mendukung.

Dalam perspektif ilmu ekologi, semua benda termasuk semua

makhluk hidup, daya, dan juga keadaan memiliki nilai fungsi ekosistem,

yakni berperan dalam mempengaruhi kelangsungan kehidupan manusia dan

makhluk hidup lain. Lingkungan hidup memberi fungsi yang amat penting

dan mutlak bagi manusia. Sama halnya dengan manusia dapat membina atau

memperkokoh ketahanan lingkungan melalui budi, daya dan karsanya.

Beberapa Tahun terakhir, kerusakan lingkungan hidup di Indonesia

semakin memprihatinkan. Masalah Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau

beberapa menyebut Lumpur Lapindo adalah peristiwa menyemburnya

lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa

Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak

5
tanggal 26 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini

menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan

perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas

perekonomian di Jawa Timur.88

Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai

menggenangi area persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan

industri.Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000

hingga 50.000 m3 perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas

berukuran besar). Akibatnya semburan lumpur ini membawa dampak yang

luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di

Jawa Timur yaitu seperti genangan hingga setinggi 6 meter pada

pemukiman dimana total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa.

Rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit selain itu areal

pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha dan lebih dari 15

pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan

lebih dari 1.873 orang. Akibat krusial diantaranya yaitu tidak berfungsinya

sarana pendidikan, kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi,

rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur, terhambatnya ruas jalan tol

Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di

kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah

satu kawasan industri utama di Jawa Timur.99

88
Cisilia Andriani. 2011. Dampak Sosial Bencana Lumpur Lapindo Dan Penanganannya di
Desa Renokenongo (Studi Tentang Penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo). Sripsi.
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”. Jawa Timur.
99
Anita Tressya Rumpopoy.2009 “Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam
Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo” Jurnal S1 Ilmu Politik FISIP. Universitas Airlangga

6
Karena semburan lumpur tersebut, Tim Advokasi yang terdiri atas

YLBHI, WALHI, HUMA, ELSAM, JATAM, AMAN, ICEL, LBH

Jakartadan LBH Surabaya mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum

(PMH) dengan menggunakan legal standing lembaga Yayasan Lembaga

BantuanHukum Indonesia (YLBHI) melawan 6 (enam) tergugat dan 1 (satu

turut tergugat) dengan Nomor perkara 384/pdt/G/2006/ PN.Jkt.Pst. Mereka

yang menjadi tergugat yakni: Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kepala BP Migas, Gubernur

Jawa Timurdan Bupati Sidoarjo. Sedangkan PT Lapindo Brantas menjadi

turut tergugat.

Gugatan PMH ini didasarkan atas pelanggaran hak-hak ekonomi,

sosial, danbudaya (EKOSOB) masyarakat sebagai bagian dari hak asasi

manusia akibat lambannya penanganan yang dilakukan terkait dengan

semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo.Gugatan ini akhirnya

dimenangkan oleh tergugat. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan Nomor 136/PDT/2008/PT.DKI.,

tanggal 13 Juni 2008, dan Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung Nomor :

2710 K/Pdt/2008.1010Kemudian atas dasar putusan MA tersebut, pada 5

Agustus 2009, Direktur Reserse Kriminal Polda Jatim Komisiaris Besar Edi

Supriyadimenandatangani Surat SP3 kasus Lapindo.

KetuaDPD Perhimpunan Advokat Indonesia Jawa Timur, Sunarno

Edy Wibowomengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo

1010
Bowo Law Firm, “Perkara Lapindo Harus Dibuka Kembali”,
http://bowolawirm.com/web/2011/10/advokat-ajukanpraperadilan-kasus-lapindo, diakses pada
tanggal 1 Juli 2020, Pukul 10.30 Wib.

7
dengan perkaraNomor 03/pra-PN SDA/2010.1111Praperadilan tersebut

kemudian ditolakkarena alasan locus delicti Polda Jawa Timur sebagai

tergugat berada di Surabaya.Gugatan kemudian didaftarkan di Pengadilan

Negeri Surabaya Maret 2010dengan Nomor registrasi Nomor

06-Praper/PN-SBY/2010.1212Akan tetapi akhirnya,berdasarkan sidang

putusan Pengadilan Surabaya, Tanggal 30 Maret 2010,

No:07/PRAPER/2010/PN.SBY, Pengadilan Negeri Surabaya menolak

gugatanpraperadilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan konsekuensi

hukum:SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut,

sehinggasecara pidana, Lapindo Brantas, Inc tidak bersalah. Atas putusan

PengadilanNegeri Surabaya tersebut, pihak penggugat kemudian

mengajukan kasasi keMahkamah Agung, yang sampai saat ini belum

mengeluarkan putusan ataspermohonan kasasi tersebut.

Kerusakan yang diakibatkan lumpur lapindo sangat berdampak besar

terhadap korban, yang sampai saat ini 12 Tahun sudah lumpur lapindo

belum juga dapat diselesaikan baik itu menghentikan luapan lumpur

maupun mengenai ganti rugi korban lumpur lapindo yang belum tuntas.

Dibutuhkan kebijakan dari pemerintah tentang langkah yang harus diambil

dalam mengatasi masalah tersebut, baik itu kebijakan dari pemerintah

daerah yakni pemerintah jawa timur dan pemerintah pusat sangatlah perlu

terkait dengan masalah lumpur lapindo yang oleh pengadilan ditetapkan

sebagai bencana.

1111
Jalil Hakim, “Gugatan Lumpur Lapindo Masih Tunggu Putusan MA
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/063406854/Gugatan-Lumpur-Lapindo-Masih-
Tunggu-Putusan-Ma, diakses pada tanggal 2 Juli 2020, Pukul 11.00 Wib.
1212
DoniGuntoro,“FaktaHukumKasusLapindo”,diaksesdarihttp://hukum.kompasiana.com/
fakta-hukum-kasus-lapindo, pada tanggal 2 Juli 2020 pukul 11.27 Wib.

8
Dalam putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010,

No:07/PRAPER/2010/PN.SBY, Pengadilan Negeri Surabaya menolak

gugatanpraperadilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan konsekuensi

hukum:SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut,

sehinggasecara pidana, Lapindo Brantas, Inc tidak bersalah.Dalam hal ini

penulis tertarik untuk meneliti Prihal kedudukan dan ganti rugi yang

seharusnya dilakukan pihak PT.lapindo maupun Negara yang seharusnya

terlibat dalam proses penyelesaian kasus lapindo tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dan menuangkannya dalam tesis yang berjudul

“PERTANGGUNGJAWABAN GANTI RUGI PT.LAPINDO

BRANTAS TERHADAP KORBAN LUMPUR LAPINDO

BERDASARKAN HUKUM LINGKUNGAN”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang permasalahan yang telah

dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban ganti rugi akibat pencemaran

lingkungan yang dilakukan PT.Lapindo menurut hukum lingkungan

Indonesia?

2. Apa tantangan dalam memberikan ganti rugi serta upaya kedepandalam

pertanggungjawaban korban Lumpur PT.Lapindo?

9
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dari penelitian ini adalah :

1 Untuk mengetahui dan menganalisispertanggung jawaban ganti rugi akibat

pencemaran lingkungan yang dilakukan PT.Lapindo menurut hukum

lingkungan Indonesia.

2 Untuk mengetahui dan menganalisistantangan dalam memberikan ganti

rugi serta upaya kedepan dalam pertanggung jawaban korban Lumpur

PT.Lapindo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang

bermanfaat bagi semua pihak. Oleh karena itu manfaat ini dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangsih pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum bagi para akademisi dalam kaitannya

dengan pertanggungjawaban ganti rugi berdasarkan hukum lingkungan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan pemahaman kepadastakeholderyaitu

masyarakat, pemerintah, penegak hukum, terkait pertanggungjawaban

ganti rugi berdasarkan hukum lingkungan.

10
E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

Teori hukum (legal theory atau jurisprudence) diartikan sebagai ilmu

yang dalam prespektif interdisipliner dan esternal secara kritis menganalisis

berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun

dalam kaitan keseluruhan, baik dalm konsepsi teoritis maupun manifestasi

praktis.1313 Teori hukum mempunyai tujuan untuk memperoleh pemahaman

yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan

hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.1414

1. Kerangka Teoritis

Penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teoritik keilmuan berupa

asas-asas hukum, konsep-konsep, doktrin dan hasil penelitian terdahulu

serta teori-teori hukum sebagai pisau analisis dalam melakukan kajian

dan membahas permasalahan yang disajikan.Dikaitkan dengan

permasalahan yang akan diteliti Penulis merasa perlu mengemukakan

teori:

1.1. Teori PertanggungJawaban

Sebuah konsep yang berkaitan dengan konsep kewajiban

hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggung jawaban)

hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum,

1313
Titik Triwulan Tutik, “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandang Filsafat Ilmu)”, dalam Metode Penelitian Hukum yang dikumpulkan olehValerine,
J.L.K, hlm. 91.
1414
Ibid., hlm. 92.

11
artinya dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya

bertentangan dengan peraturan yang berlaku.1515

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab

hukum menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab secara

hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul

tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab

atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.1616

Teori tradisional dibedakan dua jenis tanggung jawab

(pertanggung jawaban) yaitu: tanggung jawab yang didasarkan atas

unsur kesalahan, dan tanggung jawab mutlak.1717Situasi tertentu,

seseorang dapat dibebani tanggung jawab untuk kesalahan perdata

yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu

bukanlah kesalahannya. Hal semacam ini dikenal dengan sebagai

tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Teori

tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh orang lain tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga)

ketegori sebagai berikut:

a. Tanggung jawab atasan

b. Tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan orang-orang

dalam tanggungannya

c. Tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di

bawah tanggungannya.

1515
Hans Kalsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, PT. Raja Grafindo Persada
Bandung: 2006 hlm 95
1616
Ibid, hlm 93
1717
Ibid. hlm.95

12
Secara umum, prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut :1818

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability

based on fault)

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam

hukum perdata khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367

KUHPerdata. Secara umum, asas tanggung jawab ini dapat

diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk

mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak

adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian

yang diderita orang lain.1919Perkara yang perlu dijelaskan dalam

prinsip ini adalah defenisi tentang subjek pelaku kesalahan yang

dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious

liability dan corporate liability.Vicarious liability mengandung

pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain

yang ditimbulkan oleh orang atau karyawan yang dibawah

pengawasannya. Corporate liability memiliki pengertian yang

sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga

yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung

jawab terhadap tenaga yang diperkerjakannya.2020

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumtion of

liability)

1818
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan konsumen, PT. Sinar Grafika, Jakarta:
2008 hlm 92
1919
Ibid, hlm 93
2020
Ibid, hlm 94

13
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung

jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban

pembuktian ada pada si tergugat. Apabila pihak tergugat tidak

dapat membuktikan kesalahan pengangkut, maka ganti rugi tidak

akan diberikan.2121 Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini,

dalam doktrin hukum pengangkutan dikenal empat variasi:

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab

kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-

hal di luar kekuasaannya.

b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab

jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan

yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian

c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab

jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan

karena kesalahannya

d. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu

ditimbulkan oleh kesalahan penumpang atau kualitas barang

yang tidak baik.

e. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung

Jawab (presumtion nonliability principle)

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut.Ada yang mengatakan tanggung

2121
E Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961-1995),
Mandar Maju, Bandung: 2000, hlm 37.

14
jawab mutlak adalah prinsip yang menetapkan kesalahan tidak

sebagai faktor yang menentukan.Sebaliknya tanggung jawab

absolut adalah tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya.Asas tanggung jawab mutlak merupakan salah

satu jenis pertanggungjawaban perdata (civil

liability)2222Tanggung jawab perdata merupakan suatu instrumen

hukum perdata dalam konteks penegakan hukum untuk

mendapatkan ganti kerugian pada kasus tersebut.

1.2. Polluter Pay Principle

Di Indonesia penegakan hukum lingkungannya masih sangat

lambat dan tidak jelas penyelesaiannya. Hal tersebut terlihat dalam

kurun 5 Tahun terkahi dimana berdasarkan data Wahana Lingkungan

Hidup (WALHI) Yogyakarta mencatat 94 kasus lingkungan hidup di

DIY Yogyakarta yang terbengkalai2323. Selain itu dari total laporan

masyarakat mengenai kerusakan lingkungan sebanyak 1775 laporan

hanya 402 kasus (25%) jumlah penegakan hukum pidana lingkungan

hidup yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan sampai dengan P21.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH), ketentuan pertanggunjawaban atas

pencemaran lingkungan hidup , diatur dalam Pasal 87 ayat 1, dimana

setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan

2222
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), PT. Sinar Grafika, Jakarta: 2008,
hlm 45
2323
Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik-Ekologis,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 63.

15
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan

tindakan tertentu2424.

Jika kita simak penjelasan Pasal 87 ayat 1 yang mengatakan

bahwa ayat ini merupakan realisasi asas dalam yang ada dalam hukun

lingkungan hidup yang disebut juga sebagai pencemar membayar,

maka dapat disimpulkan bahwa rumusan ketentuan Pasal ini

merupakan bagian dari polutter pay priciple (PPP), yang dimana tidak

hanya menyangkut aspek preventif , tetapi dapat pula dikaitkan

dengan aspek represif.

Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya

merupakan sebuah kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian

biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian

memiliki implikasi bagi perkembangan hukum lingkungan

internasional dan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah

tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan

yang harus dipikul olehpejabat publik.2525

PPP merupakan salah satu prinsip yang penting dalam

pengelolaanlingkungan, selain prinsip the sustainable development,

the preventionprinciple, the precautionary principle, and the

proximity principle. Asas inipertama-tama tercantum dalam beberapa

2424
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
2525
Laode M Syarif, Andri G Wibisana (ed), Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi
Kasus, (Jakarta: USAID), hlm. 54

16
rekomendasi The Organization forEconomic Cooperation and

Development (OECD) pada Tahun 70-an yangpada dasarnya

menyatakan bahwa asas pencemar membayar mewajibkan

parapencemar mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya

yangdiperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil dalam oleh

pejabatpublik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada pada

kondisi yangdapat diterima, atau dengan kata lain ialah bahwa biaya

biaya-biaya yangdiperlukan untuk menjalankan upaya-upaya ini harus

tercermin di dalamharga barang dan jasa yang telah menyebabkan

pencemaran selama dalamproses produksi atau proses konsumsinya.

Namun demikian, muncul penentangan dengan alasan:2626

a. Pemulihan lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya

kerusakanhebat yang dampaknya tidakk dapat diselesaikan dengan

ganti kerugian murni;

b. Pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan misalnya

dampakjangka panjang dan penemuan dampak tidak langsung;

c. Perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan perbaikan

kerusakanseringkali sia sia dai segi ekonomi.

Menurut OECD, upaya pengendalian pencemar melibatkan

biaya seperti biaya alternatif penerapan kebijaksanaan anti

pencemaran, biaya pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya

riset, pengembangan teknologi unit-unit pengelola pencemaran, dan

perawatan instalasi unit- unit pengelolaan limbah. Prinsip-prinsip yang

2626
Muhhammad Muhdar, “Eksistensi Pollutter Pay Principle Dalam Pengaturan Hukum
Lingkungan di Indonesia”, Mimbar Hukum, Volume 21 Tahun 2009, hlm.73

17
diterapkan oleh OECD tercakup dalam 7 kebijaksanaan yang diambil

yaitu:

a. Pengendalian langsung;

b. Perpajakan;

c. Pembayaran;

d. Subsidi;

e. Macam-macam kebijakan yang bersifat intensif seperti

keuntungan pajak, fasilitas kredit, dan amortasi atau pelunasan

hutang yang di percepat;

f. Pelelangan hak-hak pencemaran;

g. Pungutan-pungutan2727.

Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk

internalisasibiaya lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak

kebijakan lingkungan,prinsip ini mengandung makna bahwa pencemar

wajib bertanggungjawabuntuk menghilangkan atau meniadakan

pencemaran tersebut. Ia wajibmembayar biaya-biaya untuk

menghilangkannya.2828

Dalam rangka penerapan PPP ini, dijelaskan bahwa

selainbertanggungjawab membayar ganti rugi, hakim dapat

membebankankepada pelaku pencemaran sebagai tindakan,

misalnya:2929

2727
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan ekologi pembangunan. Edisi kedua, (Jakarta:
Erlangga, 2014)., hlm. 309
2828
Laode M Syarif, Andri G Wibisana, Op.Cit., hlm. 57
2929
N.H.T. Siahaan, Op.CIt., hlm. 310

18
a. Pemasangan dan perbaikan instalasi-instalasi pengolahan

limbahsejalan dengan prinsip baku mutu lingkungan hidup;

b. Memulihkan fungsi tata lingkungan;

c. Menghilangkan semua faktor penyebab perusakan

lingkungan.Kecuali jenis pembebanan diatas, hakim juga dapat

menetapkanpembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari

keterlambatanpenyelesaian tindakan-tindakan tersebut diatas.

Apabila disimak, prinsip PPP dalam hukum nasional tidak hanya

bersifat preventif tapi juga bersifatrepresif.3030

Penegakan hukum merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan

baik oleh aparat negara maupun masyarakat dengan tujuan

untukmengaplikasikan atau mewujudkan keinginan hukum dalam

undangundangkedalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hukum

lingkunganmerupakan seperangkat aturan yang dibuat untuk mengatur

pengelolaandan perlindungan lingkungan hidup. Penegakan hukum

lingkunganmerupakan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh

aparat penegakhukum dan masyarakat untuk mengatur pengelolaan

dan perlindunganterhadap lingkungan hidup.

Dalam UUPPLH juga terdapat Pasal yang mengatur jenis-

jenissanksi admnistratif, yaitu dalam Pasal 76 ayat (2) yang

menyatakanbahwa sanksi administratif terdiri atas:

a. Teguran Tertulis

b. Paksaan pemerintah

c. Pembekuan izin lingkungan; atau


3030
Ibid

19
d. Pencabutan izin lingkungan

Dalam Pasal 80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa

bentuktindakan paksaan pemerintah yaitu:

a. Penghentian sementara kegitan produksi;

b. Pemindahan sarana prodksi;

c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

d. Pembongkaran;

e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi

menimbulkanpelanggaran;

f. Penghentian sementara seluruh kegiatan;

g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran;

h. tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Mengenai penerapan sanksi pembekuan izin lingkungan dan

pencabutan izin lingkungan baru akan diterapkan sebagai upaya

akhirdalam penegakan hukum administrasi setelah pelaku tidak

melakukanpaksaan pemerintah. Selain itu dalam penegakan hukum

administrasijuga bisa diterapkan Pasal 87 ayat (1) yang menyatakan

bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang melakukan

perbuatanmelanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan

lingkunganhidup wajib membayarganti rugi dan/ atau melakukan

tindakan tertentu.Dimana Pasal ini merupakan manifestasi dari prinsip

pencemarmembayar (polluter pays priciple).

Dimana berdasarkan prinsip pencemar membayar setiap

pelakuusaha yang melanggar hukum berupa pencemaran harus

20
membayarsemua kerusakan yang terjadi. Prinsip ini dapat diterapkan

kepada pelakuusaha dengan memintakan pungutan-pungutan oleh

pemerintah, sepertipajak, asuransi hutan dan lain sebagainya. Hal ini

dilakukan agar pelakuusaha dapat sama-sama melakukan pengawasan

agar tidak terjadikebakaran hutan. Selain itu polluter pays principle

juga dapat diterapkandengan memasukkan semua modal baik modal

pelaku usaha maupunmodal alam kedalam Produk Domestik Bruto

(PDB) dengan begituharga dipasaran dapat ditemukan harga yang

tepat dan bukan harga yangdiinginkan.

Dalam penerapan sanksi pidana, prinsip polluter pay principle

juga dapat diterapkan, dengan menggunakan pendekatan kerugian

negara atau pendekatan kerugian negara sebagaimana terdapat dalam

Undang-UndangNomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Seperti kita ketahui kerugian negara adalah kekurangan uang,

surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai

akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai. Seperti

kita ketahui bahwa kebakaran hutan dan lahan juga terjadi secara

meluas serta berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, serta

memiliki dampak yang luas dan membutuhkan waktu pemulihan yang

cukup lama. Sebab itu tidak hanya kerugian dari sisi materil yang

21
dikeluarkan untuk penanggulangan bencana kabut asap dan pemulihan

kondisi, namun juga rusaknya ekosistem alam.

1.3. Teori Keserasian dan Keseimbangan

Berdasarkan Undang-UndangNomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlindungan dan

pengelolaan adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan

untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan

dan penegakan hukum.

Namun halnya, dalam pelaksanaan Perlindungan dan

Pengelolaan juga harus memperhatikan asas-asa yang berlaku. Yakni

salah satunya adalah teori Keserasian dan Keseimbangan.3131 Adapun

muatan dari asas keserasian dan keseimbangan ini berdasarkan

Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:3232

1. Kepentingan Ekonomi

Setiap kegiatan pemanfaatan lingkungan, seperti yang paling

sering melibatkan langsung dengan alam adalah pembangunan

berkelanjutan. Artinya setiap yang berkaitan dengan pemanfaatan

lingkungan sesuai dengan asas keserasian dan keseimbangan ini

juga harus memperhatikan kepentingan ekonomi.

3131
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
3232
Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Huruf c “Yang dimaksud dengan
“asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus
memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan
serta pelestarian ekosistem.”

22
Ekonomi adalah ilmu yang berusaha mengelola sumber alam

yang langka untuk memperoleh tujuan yang paling optimal dintara

tujuan yang bersaingan. Maka pembangunan dengan

pengembangan lingkungan hidup adalah usaha mengelola sumber

alam yang langka dengan cara yang sekaligus memelihara

kelestariannya, untuk memperoleh tujuan meningkatkan

pendapatan rakyat dan mengurangi kemiskinan.Untuk mengelola

sumber alam yang langka mengejar tujuan pembangunan maka

mekanisme pasar dapat memberi petunjuk mengenai sumber alam

mana dan cara bagaimana dapat diolah agar tercapai tujuan yang

optimal.

Pembangunan didefinisikan sebagai upaya untuk

meningkatkan kualitas hidup secara bertahap dengan

memanfaatkan sumber daya yang dimiliki negara secara bijaksana.

Sekilas dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa setiap

kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan pemanfaatan

lahan.

Keserasian antara upaya pemenuhan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat yang sebaiknya dengan keterbatasan kemampuan

teknologi dan organisasi sosial dalam upaya memanfaatkan

kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan hidup.

Artinya setiap pemanfaatan lingkungan hidup yang dikelola Negara

atau Negara sebagai penanggungjawab, harus memperhatikan

aspek ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan sekitar.

23
Baik ekonomi yang berdampak langsung bagi Negara,

maupun ekonomi local terhadap hadirnya sebuah kegiatan

pemanfaatan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan ekosistem.

Nilai ekonomis yang timbul bukan juga sebagai “pengganti”

kerusakan yang ditimbulkan dari proses-proses berlangsungnya

kegiatan pembangunan berkelanjutan, melainkan keseimbangan

antara yang di manfaatkan dengan taraf hidup masyarakat akhirnya.

Maka itu Asas ini menekankan pemanfaatan lingkungan haruslah

“serasi dan seimbang” salah satunya melaui aspek ekonomisnya.

2. Sosial

Aspek social menjadi amatan penting yang harus

diperhatikan dalam menjalankan kegiatan yang berhadapan

langsung dengan lingkungan. Jangan sampai kehadiran dari

pembangunan berkelanjutan ini justru malah menimbulkan problem

social yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Pranata social

hendaknya harus dijadikan panutan dalam kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah selaku penyelenggara Negara dalam

menjamin hajat hidup orang banyak dalam menjawab persoalan

kelestarian, keseimbangan, dan keserasian dalam tata kelola

lingkungan yang kelak akan memberikan kontribusi besar bagi

stratifikasi sosial.

Peran pemerintah dalam menyeimbangkan dan menserasikan

social masyarakat merupakan bahagian penting yang tidak dapat

dipisahkan, pemanfaatan lingkungan oleh pembangunan

24
berkelanjutan bukan malah memberikan kesenjangan-kesenjangan,

ketidakadilan, bahkan dianggap sebagai bentuk penindasan-

penindasan.

Begitupun sebaliknya, proses pembangunan berkelanjutan,

masyarakat hendaknya dapat menjadi control social yang baik bagi

keberlangsungan, agar keseimbangan/keserasian itu saling

menutupi kekurangan satu sama lain jika nantinya terdapat dampak

dari kerusakan lingkungan.

3. Budaya

Hadirnya sebuah kegiatan yang bahkan menguntungkan bagi

Negara dan masyarakat, Negara melalui Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2000 menerapkan upaya-upaya pencegahan terhadap

kerusakan lingkungan bahkan sampai memperhatikan nilai-nilai

budaya sekalipun. Kegiatan pemanfaatan lingkungan seperti

pembangunan nasional, eksploitasi, eksplorasi dan lain sebagainya

harus juga memperhatikan kaidah-kaidah nilai yang hidup ditengah

masyarakat. Undang-undang ini menjamin bahwa nilai-nilai kultur,

budaya, kemajemukan yang sudah dibingkai secara konstitusi harus

dapat diseimbangkan dan serasi dengan seraya proses berjalannya

kegiatan pemanfaatan tersebut.

Upaya mempertahankan nilai-nilai kultur, budaya multi

dimensi Indonesia bukanlah tanggung jawab Negara semata,

minimal nilai yang tumbuh dan hidup tersebut harus dipertahankan

keberadaannya. Agar tidak terkesan akulturasi oleh nilai-nilai

25
eksternal yang hadir dari kegiatan/upaya pemanfaatan lingkungan

hidup tersebut. Kearifan local juga harus dihormati agar keseraisan

dan keseimbangan tetap terjaga dengan nilai-nilai luhur setempat,

itu yang harus dipertahankan dan tetap dijaga.

4. Pengendalian

Pemerintah dan masyarakat sebagai (social control)

merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam

mempertahankan keserasian dan keseimbangan terhadap sumber

daya alam, lingkungan dan ekosistem. Jika kedua instrument ini

tidak memiliki daya dukung yang baik, maka sama sekali tidak

terdapat keserasian dan keseimbangan antara “Pencipta, Alam

semesta/lingkungan, masyarakat, dan Negara”. Hal ini senada

dengan tujuan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yakni Bangsa

Indonesia menghendaki keselarasan hubungan antara manusia

dengan Tuhannya, antara sesama manusia serta lingkungan alam

sekitarnya, karena kehidupan manusia dan masyarakat yang serba

selaras adalah tujuan akhir pembangunan nasional”.

Pemerintah melalui regulasi yang ada dapat melakukan

secara penuh fungsi pengawasan dan pengendalian atas antisipasi

kerusakan alam dan pencemaran-pencamaran yang terjadi, yang

berujung pada petaka dan bencana. Begitu pun dengan elemen

sipil, sebagai control social melaluikegiatan-kegiatanpengawasan

oleh pegiat lingkungan, swadaya masyarakat dan hal positif lainnya

26
yang dianggap menguntungkan bagi keserasian dan keseimbangan

alam.

5. KelestarianEkosistem

Dalam ekosistem berlangsung perubahan yang terus-

menerus.Manusia dan lingkungan memiliki kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam batasan

tertentu. Perubahan pada unsur ekosistem yang satu akan

menimbulkan penyesuaian pada unsur ekosistem yang lain,

sehingga secara menyeluruh maka keseimbangan ekosistem akan

terpelihara secara dinamis. Problematika dampak pembangunan,

perkembangan sebuah Negara maju termasuk industrialisasi

merupakan. Dalam suatu ekosistem terdapat suatu keseimbangan

yang dinamakan homeostatis,yaitu kemampuan ekosistem untuk

menahan berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka Konsep adalah kerangka yang akan menggambarkan

hubungan antara defenisi-defenisi/konsep-konsep khusus yang akan

diteliti. Konsep merupakan salah satu unsur konkret dan teori. Namun

demikian, masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dari konsep ini

dengan jalan memberi defenisi operasionalnya. Kerangka konsep

mengandung makna adanya simulasi dan dorongan konseptualisasi untuk

melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan

konsepnya sendiri mengenai suatu permasalahan.Pembuatan kerangka

konsep bertujuan untuk menjelaskan judul agar pengertian yang

27
dihasilkan tidak melebar dan meluas. Oleh karean itu berdasarkan judul

penelitian ini, maka yang akan menjadi kerangka konsepnya adalah

sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban yuridis menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban

menanggungsegala sesuatunya (bila terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan dan diperkarakan dan sebagainya)3333.

Sedangkan yang dimaksud dengan yuridis adalah secara hukum

atau menurut hukum, jadi pertanggung jawaban yuridis yang

dimaksud dalam penelitian ini sesuatu akibat dari perbuatannya yang

harus dipertanggungjawabkan dan berkewajiban menanggung segala

sesuatu secara hukum (yang mana bila terjadi apapun dapat dituntut,

diperkarakan secara hukum). Dalam kamus hukum, tanggung jawab

dalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang

telah diwajibkan kepadanya menurut hukum.3434

2. Ganti Rugi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendevinisikan “rugi” adalah

kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa

yang telah mereka keluarkan (modal). Sedangkan “ganti rugi” adalah

uang yang diberikan sebagai pengganti kerugian atau pampas an.Ganti

Rugi dalam istilah hukum, sering disebut legal remedy, adalah cara

3333
Kamus Bahasa Indonesia, lihat pula dalam (Tesis), Ibrahim Nainggolan, Tanggung
Jawab Pidana Bagi Pelaku Usaha Yang Menggunakan Bahan Tambahan Pangan (BTP)
BerbahayaPada Produk Pangan, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2017,
Halaman 9
3434
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005

28
pemenuhan atau kompensasi hak atas dasar putusan pengadilan yang

diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dari akibat perbuatan

pihak lain yang dilakukan karena kelalaian atau kesalahan maupun

kesengajaan.

Selain hal tersebut diatas kini dikenal adanya “personal

reparation”, yaitu pembayaran ganti rugi yang harus dibayar oleh

seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya

terhadap korban. Dahulu dalam masyarakat yang masih berbentuk

suku-suku (tribal organization) sebelum adanya pemerintahan, bentuk-

bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa

terjadi sehari-hari, dalam banyak hal ganti rugi itu dibayar oleh

kelompok atau sukunya.

3. PT Lapindo Brantas

PT Lapindo Brantas adalah perusahaan eksplorasi gas dan

minyak yang merupakan joint venture antara PT. Energi Mega

Persada Tbk. (50%), PT Medco Energi Tbk. (32%) dan Santos

Australia (18%), di mana keluarga Bakrie melalui investasinya

memegang kendali atas PT. Energi Mega Persada Tbk. Pada tanggal

29 Mei 2006, serangkaian semburan lumpur terjadi, yang terdekat

berjarak 200 meter dari situs eksplorasi yang dioperasikan oleh

perusahaan tersebut.

4. Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat

29
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban

jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis. Bencana yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah khusus kepada bencana banjir lumpur panas yang terjadi di

Sidoarjo yang terdapat dalam wilayah aktivitas pengeboran sumur

panji 1 milik sebuah perusahaan PT Lapindo Brantas.

5. Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum merupakan salah

satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum

lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi,

segi hukum pidana, dan segi hukum perdata.Dengan demikian, tentu

saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks.

Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil

apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat erat

dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan

di dalamnya.

Hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur

tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan

mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia

dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia

berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan

manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Pemenuhan kebutuhan hidup

manusia, melalui berbagai perilaku dan pemanfaatan sumber daya

30
alam di dalam setiap proses pembangunan tentu memiliki dampak

negatif terhadap lingkungan hidup. Pencemaran dan Kerusakan

lingkungan yang mengakibatkan penurunan fungsi lingkungan, adalah

mutlak diakibatkan oleh ulah manusia dan perilakunya.

F. Metode Penelitian

Metodelogi (methodology), yaitu: pedoman tentang cara-cara seorang

ilmuwan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan-lingkungan

yang dihadapi.

1. Pendekatan Masalah

Untuk menjawab kedua pertanyaan yang dikemukan di atas penulis

menggunakan desain penelitian yuridis-normatif. Disain ini merupakan

penelitian terhadap norma-norma hukumyang terdapat dalam peraturan

perUndang-Undangan di Indonesia. Pada perkembangannyadisain ini

dapat pula disebut penelitian hukum doctrinal.

Pilihan pendekatan penelitian yuridis normatif ini menitikberatkan

pada sumber data sekunder. Dengan memanfaatkan sumber data

sekunder, penulis menganalisa dengan menggunakan bahan-bahan

hukum sehingga penulis dapat menarik kesimpulan untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang penulis kemukakan dalam rumusan

masalah tesis ini.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan

31
teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum

dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek

penelitian.3535

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian yang penulis buat ini merupakan penelitian hukum

normatif yang bersumber pada data sekunder. Data Sekunder merupakan


3636
data yang didapat melalui penelitian kepustakaan (library research)

yang dilaksanakan di Perpustakaan Universitas Andalas, Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan perpustakaan pribadi.

Selanjutnya data-data yang didapat dirangkum menjadi bahan hukum

yang meliputi :

a. Bahan primer, yaitu bahan atau data yang diproleh melalui penelitian

perpustakaan yang merupakan bahan hukum yang mengikat. Dalam

hal ini dapat menunjang penelitian antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara

5) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3535
Ibid, hlm. 107
3636
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, CV Alfabeta, Bandung 2012,
hlm 115

32
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dengan

mempelajari pendapat para sarjana dan hasil penelitian yang

dipelajari dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku serta

majalah-majalah yang berhubungan dengan pokok permasalahan ini.

Bahan hukum sekunder dapat dibagi dalam arti luas dan arti sempit.

Dalam arti sempit pada umumnya berupa buku-buku hukum yang

berisi ajaran atau doktrin; terbitan berkala berupa artikel-artikel

tentang ulasan hukum, dan narasi tentang arti, istilah, konsep ,

phrase, berupa kamus hukum dan ensiklopedia hukum.dalam arti

luas adalah bahan hukum yang tidak tergolong bahan hukum primer

termasuk segala karya ilmiah hukum yang tidak dipublikasikan atau

yang dimuat di koran atau majalah populer.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder. Dalam hal penelitian ini, bahan hukum tersier dapat

diperoleh dari kamus-kamus yang digunakan untuk penjelasan

penelitian ini.

4. Penyajian dan Analisis Data

Data tersebut akan disajikan secara kualitatif, yaitu dalam bentuk

uraian teks dan dianalisis dengan teknis analisis deskriptif dan kritis.

Dikatakan yuridis, karena yang dikaji dan diteliti, yaitu norma-norma

yang diberlakukan (study about the norm).

a. Teknik Pengolahan Data

33
Semua data yang bermanfaat dalam penulisan ini diperoleh

dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka (documentary study),

yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis, terutama

yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Semua data yang

didapatkan akan diolah menggunakan teknik pengolahan dengan

cara editting. Bahan yang diperoleh, tidak seluruhnya yang akan

diambil dan kemudian dimasukkan. Bahan yang dipilih hanyalah

bahan hukum yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan,

sehingga diperoleh bahan hukum yang lebih terstruktur.

Setelah bahan yang berkaitan dipilih, selanjutnya penulis

membetulkan, memeriksa dan meneliti data yang diperoleh kembali

sehingga menjadi suatu kumpulan data yang benar-benar dapat

dijadikan suatu acuan akurat didala penarikan kesimpulan nantinya.

b. Analisis Data

Adapun bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian

studi kepustakaan, akan diolah dan dianalisis secara kualitatif, yakni

analisa data dengan cara menganalisis, menafsirkan menarik

kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan

menuangkannya dalam bentuk kalimat-kalimat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan

34
1. Pengertian Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan adalah hubungan timbal balik antara manusia

dengan lingkungannya diperlukan suatu tata aturan yang mengatur sikap dan

perilaku manusia terhadap lingkungannya. Menurut Drupsteen, Hukum

Lingkungan (Milieurecht) dalam arti seluas-luasnya. Moenadjat

Danusaputro membagi Hukum Lingkungan menjadi dua macam, yaitu

Hukum Lingkungan Modern yang berorientasi kepada lingkungan

(Environment-Oriented Law) dan Hukum Lingkungan Klasik yang

berorientasi kepada penggunaan lingkungan (Use-Oriented Law). Hukum

lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna

mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi

lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin

kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh

generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.3737

Sebagai subsistem atau bagian (komponen) dari “sistem hukum

nasional” Indonesia, hukum lingkungan Indonesia didalam dirinya

membentuk suatu sistem dan sebagai suatu sistem, hukum lingkungan

Indonesia mempunyai subsistem yang terdiri atas :3838

a. Hukum Penataan Lingkungan

b. Hukum Acara Lingkungan

c. Hukum Perdata Lingkungan

d. Hukum Pidana Lingkungan

3737
Pramudianto, . 2009, Andreas. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan
Internasional, Jakarta, Universitas Indonesia, hlm 27.
3838
R.M. Gatot P. SoemartoNomor 1996. Hukum Lingkungan Indonesia.Jakarta : Sinar
Grafika. hlm 62

35
e. Hukum Lingkungan internasional

Kelima subsistem dari sistem hukum lingkungan Indonesia tersebut

dapat dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, uraian dari

masing-masing subsistem hukum lingkungan Indonesia tersebut selalu dapat

dikaitkan dengan wujud dan isi Undang-Undang Lingkungan Hidup.

Pembagian dengan cara ini menggunakan pendekatan “sistem hukum”.

Adapun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hukum

Lingkungan Indonesia antara lain adalah sebagi berikut :

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Benda Cagar

Budaya;

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;

4) Berbagai peraturan tentang perusakan dan pencemaran lingkungan,

khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

2. Dasar Hukum Lingkungan Nasional

Selama ini pengelolaan lingkungan hidup cenderung hanya pada

pemanfaatan lingkungan hidup sebagai objek pembangunan. Pengelolaan

lingkungan hidup berarti manajemen terhadap lingkungan hidup atau

lingkungan dapat dikelola dengan melakukan pendekatan manajemen.

Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia

36
dalam mengelola lingkungan, sehingga pandangan yang lazim disebut

dengan “ramah lingkungan”.3939 Sikap dan kelakuan pro lingkungan tidak

boleh anti pembangunan.4040

Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-

PPLH), dijelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

didasarkan pada norma-norma hukum lingkungan berarti secara seimbang

antara kepentingan ekonomi, pelestarian fungsi lingkungan dan kondisi

sosial. Inilah pentingnya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam

penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan terkait pengelolaan lingkungan

hidup. Selama ini, kedua hal tersebut seolah-olah terpisah satu sama lain.

Pemerintah dan kalangan swasta dipandang sebagai pihak yang lebih

mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan pelestarian

lingkungan. Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,

administrasi negara merupakan pihak yang dominan. Dominannya

pemerintah merupakan konsekuensi dari sebuah negara kesejahteraan

sebagaimana diuraikan sebelumnya.


3939
Supriadi.Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar. Sinar
Grafika. Jakarta. 2008 .hlm. 32
4040
Otto Soemarwoto.Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Gadjah Mada University: Press Yogyakarta. 2001. hlm. 92.

37
Hukum lingkungan mencakup berbagai bidang hukum. Diantara

bidang-bidang tersebut, materi hukum lingkungan sebagian besar memang

termasuk dalam lingkup hukum administrasi. Hal ini disebabkan, bidang

yang diatur yakni lingkungan hidup menyangkut kepentingan umum. Di

Indonesia, urusan mengenai kepentingan umum menyangkut tentang

hubungan antara negara dengan warga negara. Menurut N.H.T Siahaan, 4141

hukum lingkungan diperlukan sebagai alat pergaulan sosial dalam masalah

lingkungan yang mengandung manfaat sebagai pengatur interaksi manusia

dengan lingkungan supaya tercapai keteraturan dan ketertiban (social

order).

Di Indonesia, istilah pembangunan berkelanjutan secara resmi

walaupun masih menggunakan istilah “pembangunan berkesinambungan”,

Pasal 3 menentukan “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian

kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang

pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan

manusia”.

B. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban

1. Pengertian Pertanggungjawaban

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah

kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum,

tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk

melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 4242 Menurut hukum

4141
N.H.T. Siahaan. Hukum Lingkungan. Pancuran Alam. Jakarta. 2009. hlm. 43.
42424
Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005

38
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang

tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam

melakukan suatu perbuatan.4343 Selanjutnya menurut Titik Triwulan

pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang

menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang

lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain

untuk memberi pertanggungjawabannya.44 Menurut hukum perdata dasar

pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan

risiko.Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar

kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban

tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang

dikenaldengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick

liabiliy).4445 Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan

mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia

melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip

tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak

diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung

jawab sebagai risiko usahanya.

2. Dasar Hukum Pertanggungjawaban

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan

perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum

yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan


4343
Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010,
hlm 45.
4445
ibid. hlm 49.

39
kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari

perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :4546

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur

kesengajaan maupun kelalaian).

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

3. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:4647

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault

liabilityatau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup

umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan

1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan,

seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai

Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan

terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

1) adanya perbuatan;

2) adanya unsur kesalahan;

4546
Djojodirdjo, M.A. Moegni, 1979, Perbuatan melawan hukum : tanggung gugat
(aansprakelijkheid) untuk kerugian, yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, hlm 53.
4647
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, 2006, Edisi Revisi, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm 73-79.

40
3) adanya kerugian yang diderita;

4) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan

dengan hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan

undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam

masyarakat.

b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia

dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada

prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada

kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu

dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua

tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya

kerugian.Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si

tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering

van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup

relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk

membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang

digugat.Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya

tidak bersalah.Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati

mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu

41
terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal

menunjukkan kesalahan tergugat.

c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip

praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam

lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.Contoh dari

penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan.Kehilangan

atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya

dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung

jawab dari penumpang.Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha)

tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.Pihak yang

dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering

diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute

liability).Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan

kedua terminologi di atas.Ada pendapat yang menyatakan, strict

liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.Namun ada

pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan

dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force

majeure.Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut E.

Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,

42
dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri

dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena

kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah

mutlak.

e. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of

liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk

dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar

yang dibuatnya.Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya

ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau

rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen

hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol

film baru.

4. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban

a. Pertanggungjawaban Perdata

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatanseseorang lain,

sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian

(hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang

juga timbul atauterjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang

menimbulkan kerugian itu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata, sebagai berikut :

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

padaorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

43
Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung

jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas

dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum

tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-

undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan

dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-

ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan

dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan

memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.4748

Model dalam tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:

1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan

kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam Pasal 1365

KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan

orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”.

2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata yaitu:

“setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian

yangdisebabkan kelalaian atau kurang hatihatinya.

4748
Komariah, SH, Msi, 2001, Edisi Revisi Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, hlm 12.

44
3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat

dala Pasal 1367 KUHPerdata yaitu:

a) seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga

untuk kerugain yang disebabkan karena perbuatan orang-

orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh

barang-barang yang berada dibawah pengawasannya;

b) orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian,

yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang

tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka

melakukan kekuasaan orang tua dan wali;

c) majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-

orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah

bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh

pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam

melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini

dipakainya;

d) guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung

jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid

dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini

berada dibawah pengawasan mereka;

e) tanggung jawab yang disebutkan diatas berkahir, jika

orangtua, wali, guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu

membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah

45
perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung

jawab.

Selain dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum,

KUHPerdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata

berdasarkan wanprestasti.Diawali dengan adanya perjanjian yang

melahirkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum

berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban

(debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang

dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi)

dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum

berdasarkan wanprestasi. Sementara tanggungjawab hukum perdata

berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan adanya

hubungan hukum, hak dan kewajiban yang bersumber pada

hukum.4849

b. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga

dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang

menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk

menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau

tidak.Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992)

dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah

diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan

4849
Djojodirdjo, M.A. Moegni, op.cit, hlm 55.

46
ketentuan hukum yang berlaku.4950Secara subjektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk

dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.Sedangkan, syarat

untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu

pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau

kealpaan. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di

dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana

sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya

celaan obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif

kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana

karena perbuatannya tersebut. Dalam bahasa Belanda, istilah

pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan

katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.5051

C. Tinjauan Mengenai Ganti Rugi

1. Pengertian Ganti Rugi

Ganti rugi dalam lapangan hukum perdata adalah pemberian

prestasi yang setimpal akibat suatu perbuatan yang menyebabkan

kerugian diderita oleh salah satu pihak yang melakukan

kesepakatan/konsensus. Peraturan pencabutan hak pada masa

pemerintahan Hindia Belanda, (onteigenings ordonantie/Staatsblad

1920-574) pada hoofdstuk IV, menggunakan istilah pengganti kerugian

(schadeloostelling) yang maknanya hampir sama dengan

schadevergoeding. Pengganti kerugian diberikan terhadap kerugian


4950
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 11.
5051
Andi Hamzah, 1994, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h.131

47
(schade), dan biaya yang dikeluarkan (processkosten) yang dialami

pemilik tanah. Makna ganti rugi menurut kamus umum bahasa Indonesia

dikatakan uang untuk memulihkan kerugian orang.5152

Adapun pengertian ganti kerugian oleh Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum Pasal 1 ayat (10), yaitu: “Ganti kerugian adalah

penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses

pengadaan tanah.” Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah

kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya

kerugian ditentukan dengan membandingkan keadaan kekayaan setelah

wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi. 5253

Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya

Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang

ditimbulkan perbuatan wanprestasi.5354Kerugian nyata ini ditentukan oleh

suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.

Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu

rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang

“wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek

perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya

wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah

“sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan

timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan diperolehnya. Bila

kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang


5152
Gunagera, Op.Cit, hlm. 172.
5253
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 17.
5354
M. yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 66

48
relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan.

Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul

sebagai akibat pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Sehingga dapat

ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya

harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan

(baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan

pelanggaran norma oleh pihak lain.

2. Bentuk-Bentuk Ganti Rugi

Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian

kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk

uang.Namun, dalam perkembangannya menurut para ahli dan

yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu ganti rugi materil, dan ganti rugi immaterial.Kerugian materil

adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam bentuk uang/

kekayaan.Sedangkan kerugian immaterial adalah suatu kerugian yang

diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, dan

sebagainya.5455

Menurut Munir Fuady, praktek dari aplikasi ganti rugi akibat

adanya wanprestasi dari suatu kontrak dilaksanakan dalam berbagai

kemungkinan,Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga

disebabkan karena keadaan memaksa (force majour). Keadaan memaksa

(force majour) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan

seseorang dari kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 dan

Pasal 1445 KUHPerdata). Menurut Undang- undang ada tiga hal yang
5455
Ibid.

49
harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu pertama tidak

memenuhi prestasi, kedua ada sebab yang terletak di luar kesehatan

debitur,ketiga faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Pasal 1244 KUHPerdata

berbunyi: “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum

mengganti biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan

bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat

dilaksanakannya perjanjian itu, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada

pihaknya.”

3. Unsur-Unsur Ganti Rugi

Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian

orang lain, maka pihak yang berbuat salah itu harus memberikan ganti

kerugian, baik berupa biaya (kosten), kerugian (shade) atau bunga

(interesten).5556 Dalam Pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan: “Biaya,

rugi, dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan

penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah

dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan

tak mengurangi pengecualianpengecualian serta perubahan-perubahan

yang akan disebut di bawah ini.” Menurut Abdulkadir Muhammad, dari

Pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi

adalah sebagai berikut:5657

a. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost).

5556
Gunagera, op.cit, hlm. 174
5657
Abulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 41.

50
b. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan

kreditur akibat kelalaian debitur (damages).

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur

lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Purwahid

Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian.

Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur:5758

a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya

dan rugi.

b. Keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.

Kadang-kadang kerugian hanya merupakan kerugian yang diderita

saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua unsur tersebut.

D. Tinjauan Mengenai Lumpur Lapindo

1. Bencana Lumpur Lapindo

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Sesuatu yang menyebabkan

atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan disebut bencana.

Bencana yang disebabkan oleh alam disebut bencana alam. 5859Bencana yang

diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

gejala-gejala alam yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan,

kerugian materi mapun korban manusia disebut bencana alam. 5960Kejadian

bencana alam merupakan peristiwa yang mengikuti hukum alam tertentu.

Bencana alam biasa terjadi karena faktor alam itu sendiri maupun karena

ulah manusia. Bencana alam karena faktor alam terjadi murni karena

5758
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian
dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 14.
5859
Poerwadarminta.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1982
5960
Buletin kamadhis UGM. 2007

51
berbagai proses yang terjadi di alam tanpa sedikitpun manusia yang terlibat

didalamnya.

Bencana alam karena gejala alam biasanya sulit untuk diperkirakan

dan sulit pula untuk dihindari. Bencana alam juga menjadi pusat perhatian

yang besar dalam menarik dan mengundang respon dari berbagai pihak

terhadap para korban bencana. Manusia sering tidak berdaya untuk

menghentikannya karena kekuatannya diluar jangkauan kemampuan

manusia. Sebagai contoh, bencana letusan gunung api tidak bias dihentikan

karena manusia kekuatannya sangat dahsyat dan kemampuan manusia yang

terbatas. Manusia hanya berupaya mengurangi dampak buruk yang

ditimbulkan dengan memantau perkembangannya dan segera melakukan

evakuasi ketika bencana terjadi.

Belajar dari sejumlah bencana yang terjadi di Indonesia, sudah

semestinya masyarakat dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman

tentang bencana, agar mampu menghadapinya ketika diterpa bencana dan

turut berperan dalam upaya penanggulangan bencana itu sendiri. Karena

bagaimanapun juga disadari bahwa penanggulangan bencana tidak hanya

melibatkan pemerintah dan pihak-pihak lain, namun peran masyarakat di

dalamnya sangat penting.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bencana

adalah bencana yang disebabkan karena kondisi alam yang tidak seimbang

(angin, air, api maupun tanah) sehingga menyebabkan kerusakan, gangguan

ekonomi, penurunan kesehatan, penderitaan bahkan sampai dengan

52
kematian, bencana tersebut sifatnya mendadak, sangat cepat dan

menimbulkan kepanikan masyarakat.

Berdasarkan penyebab bencana alam dibagi tiga jenis yaitu bencana

geologis, krimatologis dan ekstra-teresterial. Bencana alam geologis adalah

bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari dalam bumi. Sedangkan

bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh

perubahan iklim, suhu atau cuaca. Bencana alam ekstra-terestrial yaitu

bencana alam yang disebabkan oleh gaya atau energi dari luar bumi,

bencana alam geologis dan klimatologis yang sering berdampak terhadap

manusia.6061

Jenis-jenis bencana Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007,

antara lain:

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan

dan tanah longsor.

b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,

gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan

teror.6162

6061
Buletin kamadhis UGM. 2007:3
6162
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007Tentang Penanggulangan Bencana

53
2. Sikap Pemerintah Terhadap Pencemaran Lingkungan

Dalam peristiwa alam yang berakibat bencana terkandung peringatan

agar manusia sungguh-sungguh dalam memelihara kesejehteraan alam.

Sebuah bencana merupakan media penataan keseimbangan untuk

mempersiapkan tumbuhnya generasi baru. Sebagaimana peristiwa banjir,

meletusnya gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain akan

tercapai kondisi keseimbangan menurut kehendak alamiah. Oleh karena itu,

baik pemerintah pusat atau daerah dan masyarakat saling bekerja sama

dalam penanggulangan bencana pada masing-masing daerahnya.

Penanggulangan bencana adalah segala upaya kegiatan yang

dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, penjinakan (mitigasi),

penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum bencana, pada

saat terjadinya bencana maupun setelah bencana dan menghindarkan dari

bencana yang terjadi. Hukum lingkungan Indonesia mulai berkembang

semenjak zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi hukum

lingkungan pada masa itu bersifat atau berorientasikan pemakaian (use-

oriented law). Hukum lingkungan Indonesia kemudian berubah sifatnya

menjadi hukum lingkungan Internasional modern, yang ditandai dengan

lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 (the Stockhlom Declaration of 1972).

Pertemuan ini juga memunculkan kesadaran dan perhatian dalam

pengelolaan lingkungan hidup yang bertuang ke dalam penciptaan

perangkat aturan perUndang-Undangan, penyusunan berbagai program

penanggulangan pencemaran, perusakan, eksploitasi sampai pada aturan

penyelesaian sengketa (kasus-kasus) lingkungan.

54
Perkembangan hukum lingkungan Indonesia sangat dipengaaruhi oleh

hukum lingkungan internasional6263 Lahirnya Deklarasi Stockholm 1972

sangat mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan modern Indonesia.

Hal ini terbukti dengan dimasukkannya masalah pengelolaan lingkungan

hidup dalam GBHN 1973-1978 untuk pertama kalinya. Pada BAB III Pola

umum pembangunan jangka panjang menggariskan perlunya perlindungan

lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan, sebagaimana dikutip dibawah

ini.6364

Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia

harus digunakan secara rasionil, Penggalian sumber kekayaan alam tersebut

harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia,

dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.

BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN GANTI RUGI AKIBAT PENCEMARAN

LINGKUNGAN YANG DILAKUKAN PT. LAPINDO

A. Kronologis Terjadinya Bencana Lumpur Lapindo

6263
Sukanda Husin,Penegakan hukum lingkungan Indonesia.Sinar grafika. Jakarta.
2009.Hlm 1
6364
Ibid Hlm 3

55
Bencana lumpur lapindo merupakan fenomena meluapnya semburan

lumpur dari perut bumi yang terjadi di Siduarjo. Bencana ini bermula dari

menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di

Desa Renokenongo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur

sejak tanggal 29 mei 2006. Awalnya masyarakat di Kecamatan Porong

Kabupaten Sidoarjo dikejutkan oleh bau menyengat yang tiba-tiba tercium.

Setelah diselidiki ternyata bau tersebut ditimbulkan oleh kebocoran pipa gas

di surmur eksplorasi minyak bumi dan gas (migas) milik PT. Lapindo

Brantas Inc.

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi

masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah lumpur menggenangi dua belas

desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan

ketinggian sekitar 6 meter yang mengakibatkan dievakuasinya warga

setempat untuk di ungsikan serta rusaknya areal pertanian. Tidak hanya itu

luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan markas koramil

porong. Bahkan hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah

menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan

Tanggualangin.

Menurut data Jawa Pos, 26 September 2006, volume lumpur yang

keluar dari pusat semburan semakin meningkat. Pada awal semburan pada

tanggal 29 Mei 2006 hingga 29 Juni 2006, volume semburan 5000 m 3 per

hari. Namun mulai awal Agustus volume Lumpur yang keluar rata-rata

mncapai 126.000 m3 per hari. Dengan total warga yang dievakuasi sebanyak

56
lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa tak mengungsi. Karena tak kurang

10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam

lumpur.

Menurut berbagai sumber, hingga saat ini jumlah bangunan yang

terendam banjir lumpur panas meliputi 10.426 tempat tinggal, 33 sekolah

dan 31 pabrik. Lahan sawah untuk tebu yang terendam mencapai 428,65 ha.

Menurut kepala desa Banjir lumpur panas juga memaksa ratusan ribu

wargakehilangan mata pencaharian dan mengalami nasib yang tak jelas.

Luapan lumpur lapindo juga berdampak secara langsung terhadap aktifitas

masyarakat di sekitar semburan lumpur. Debit luapan lumpur yang

cenderung mengalami peningkatan berakibat pada terendamnya beberapa

desa atau kelurahan di sekitar semburan. Beberapa wilayah yang terendam,

yaitu Desa Renokenongo, Desa Jatirejo, Desa Siring Kecamatan Porong,

dan Desa Kedungbendo. Kemudian secara bertahap luapan lumpur terus

menerjang ke wilayah Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera

(perumtas) 1, Desa Mindi Kecamatan Porong, Desa Besuki, Desa

Kedungcangkring dan Desa Pajarakan Kecamatan Jabon, serta pada

akhirnya diperkirakan akan mengancam seluruh wilayah Kabupaten

Sidoarjo dan daerah di sekitarnya.

Selain itu, lumpur panas juga menenggelamkan jalan tol Surabaya-

Malang. Padahal jalan tol ini merupakan akses utama yang menghubungkan

Surabaya-Malang, selain jaran raya Porong. Akibatnya yang terjadi

kemudian ialah kemacetan yang luar biasa terjadi dijalan raya porong yang

menjadi satu-satunya akses terdekat yang menghubungkan Surabaya-

57
Malang. Hal ini menimbulkan kerugian akibat Lumpur Lapindo sebesar Rp.

27,4 triliun. Kerugian tersebut terjadi sepanjang Tahun 2006 dengan rincian

Rp. 11 triliun kerugian langsung dan Rp. 16,4 triliun kerugian tidak

langsung. Bappenas juga memperkirakan kerugian akan terus meningkat,

bahkan bisa mencapai dua kali lipat. Kerugian tersebut antara lain berupa

kerusakan jalan,telekomunikasi, tergusurnya warga dari hunian, terhentinya

sebanyak 20 pabrik serta gagalnya pertanian.6465

Selanjutnya dampak sosial lain yang dirasakan bagi masyarakat

Kabupaten Pasuruan terhadap bencana lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo

adanya migrasi penduduk. Kenyamanan bersosialisasi akan terganggu

sehingga muncul keresahan karena belum tercipta komunikasi dan

penyesuaian tradisi yang itu semua butuh waktu. Timbulnya keresahan

masyarakat pengguna jalan raya di sepanjang jalan menuju wilayah luapan

lumpur akibat pengambilan tanah urukan dari Kabupaten Pasuruan untuk

membuat tanggul lumpur yang tercecer membuat kotor dengan

menggunakan alat angkut tronton membuat bising. Rentetan keresahan yang

berdampak pada kehidupan sosial masyarakat ini akan terus muncul seiring

dengan solusi penanganan banjir lumpur di Wilayah Porong. Seperti halnya

dampak pembuangan lumpur ke Sungai Porong, juga terdapat rencana akan

adanya pembuangan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo ke Sungai Mati di

Wilayah Kecamatan Beji. Selain itu masih banyak lagi rencana-rencana

pembuangan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo yang meresahkan

masyarakat. Namun hingga kini pemerintah belum membuat grant strategi

6465
Bappenas, 2006 cit Mutiawati dan Ira, 2010

58
adanya semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo di Kabupaten

Sidoarjo ini.

Lapindo Brantas Inc melakukan pengeboran gas melalui perusahaan

kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan

perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan

tender dari Lapindo Brantas Inc senilai US $ 24 juta. Namun dalam hal

perizinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa

tingkatan izin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo

diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola

Minyak dan Gas (BPMIGAS). Akan tetapi izin konsensinya diberikan oleh

Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Sedangkan izin kegiatan aktivitas

dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang

memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya

tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak

sesuai dengan rencana eksplorasi tersebut.6567

Pihak manajemen lapindo menyebutkan lumpur panas yang

menyembur tersebut akibat gempa bumi yang menguncang wilayah

Yogyakarta pada 27 mei 2006. Pada tanggal 14 Juni 2006, Presiden RI

Susilo Bambang Yudhoyono meminta Departemen Energi dan BP Migas

untuk melakukan investigasi. Hasil investigasi pada tanggal 19 Juni 2006,

menyatakan bahwa semburan lumpur panas tersebut akibat kesalahan

pengeboran. Hasil investigasi tersebut secara otomatis menggugurkan

pernyataan manajemen Lapindo. Gugurnya pernyataan tersebut kemudian


6567
Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 16 Tahun 2003 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2003-20013 tidak satupun Pasal yang
menyebutkan bahwa Kecamatan Porong adalah kawasan pertambangan migas.

59
diikuti dengan pernytaan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang meminta

Lapindo menanggung semua kerugian bencana.6668

Untuk mengatasi fenomena Lapindo Sidoarjo, Kebijakan pemerintah

terhadap korban lumpur lapindo diatur dalam peraturan presiden (perpres)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan

Lumpur. Pada Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial

kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur lapindo

dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung

ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta. Sidoarjo (BPLS). Tapi

peraturan presiden tersebut justru memihak PT. Lapindo. Salah satu contoh

dimana peraturan presiden ini hanya membatasi kewajiban dan tanggung

jawab Lapindo pada peta terdampak sesuai dengan kondisi pad Tahun

2007.6769

Rancangan semula mengenai pengeboran sumur eksplorasi BJP-1

direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai

formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor

(casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk

mengantisipasi potensi terjadinya circulation loss (hilangnya lumpur dalam

formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur).

Pemasangan casing dilakukan pada kedalaman tertentu yang telah

direncanakan, dimana setiap ukuran dari casing tersebut disesuaikan dengan

titik kedalaman yang telah dicapai. Ketika pengeboran lapisan bumi dari

kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, pihak PT Lapindo Brantas

6668
Majalah Tempo edisi 3 Desember 2006
6769
Koran TEMPO, 22 Oktober 2009

60
belum memasang casing yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman

batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung yaitu dengan

kedalaman 8500 kaki. Pihak PT Lapindo Brantas membuat prognosis

dengan mengasumsikan bahwa zona pengeboran yaitu pada zona Rembang

dengan target pengeborannya adalah formasi Kujung. Pada kenyataannya

pengeboran yang dilakukan berada pada zona Kendeng yang sama sekali

tidak terdapat formasi Kujungnya.

Bor terpaksa dipotong karena masuk pada lubang yang terdapat dalam

batu gamping formasi klitik karena terjadi hilangnya lumpur dalam formasi

(circulation loss) dan sesuai dengan prosedur standar operasi pengeboran

dihentikan. Fluida bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai

pada batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing)

sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain untuk dapat keluar. Hal

tersebut yang menyebabkan lumpur naik ke atas dan penyemburan tidak

hanya terjadi di sekitar sumur melainkan di beberapa tempat.6870

Pemerintah telah memerintahkan PT Lapindo Brantas untuk

membayar ganti kerugian kepada korban, dimana PT Lapindo Brantas

diwajibkan mengeluarkan dana dengan total Rp 3,82 triliun untuk membeli

tanah dan bangunan warga di wilayah terdampak. Pembayaran ganti

kerugian dilakukan melalui PT Minarak Lapindo Jaya atas PT Lapindo

Brantas. Hingga Tahun 2012, total ganti kerugian yang telah terbayar adalah

Rp 3,04 triliun. Uraian pembayaran ganti rugi PT. Lapindo Brantas tersebut

dapat dilihat pada table berikut ini:


6870
Dyah Galih Rizky Wulandari, “Lumpur Lapindo Bukanlah Sebuah Bencana Alam”,
2014,(http://dyahgalih.blogspot.com/2014/01/lumpur-lapindo-bukanlah-sebuah-bencana.html),
diakses pada tanggal 23 Juni 2020, Pukul 10.30 Wib.

61
Tabel 1
Besar Ganti Kerugian PT. Lapindo Brantas dari tahun 2008 hingga 2012

Tahun Besar Ganti


Kerugian

2008 Rp. 1, 54 Triliun

2009 Rp. 360 Miliar

2010 Rp. 750 Miliar

2011 Rp. 240 Miliar

2012 Rp. 150 Miliar

Sumber : Internal Report Investigasi Lapindo Walhi Jatim

Dari table diatas dapat dilihat besarnya ganti kerugian pada Tahun

2008, PT Minarak Lapindo Jaya telah membeli tanah dan bangunan warga

senilai Rp 1,54 triliun. Pada Tahun 2009 jumlahnya Rp 360 miliar dan

Tahun 2010 sebesar Rp 750 miliar. Pada Tahun 2011, PT Minarak Lapindo

Jaya membayar Rp 240 miliar, sementara pada Tahun 2012 hanya Rp 150

miliar. Selanjutnya, pada Tahun 2013, perusahaan tidak melaporkan adanya

pembayaran sama sekali, hal tersebut dikarenakan perusahaan mengalami

kesulitan finansial. Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya ganti

kerugian dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN), sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun

2013, terkait pembagian tanggung jawab ganti kerugian antara pemerintah

dengan PT Lapindo Brantas. Pembagian tanggung jawab ini berada pada

wilayah Peta Area Terdampak yang merupakan tanggung jawab PT Lapindo

62
Brantas dan wilayah diluar Peta Area Terdampak yang merupakan tanggung

jawab pemerintah. Hingga saat ini, status serta kedudukan kasus lumpur

Lapindo belum dapat diketahui secara pasti, hal ini menimbulkan

problematika dalam menetapkan bentuk pertanggungjawaban PT Lapindo

Brantas.

Pengkajian mengenai kedudukan kasus lumpur Lapindo dan

terminologi uang pengganti bagi korban, menurut pendapat penulis

merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, guna memberikan

kepastian hukum dan tidak menimbulkan multitafsir, khususnya terkait

dengan penetapan istilah ganti rugi bagi korban. Adapun penelitian

mengenai topik ini, sejauh pengetahuan penulis telah ada penelitian sejenis

yang mengkaji mengenai kasus lumpur Lapindo, namun hanya terbatas pada

lingkup sosial dan lingkungan. Berbeda dengan topik penelitian yang

penulis kaji, yaitu mengenai kedudukan serta status kasus lumpur Lapindo

yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti merupakan sebuah

bencana alam atau suatu perbuatan melawan hukum, dengan berkonsentrasi

kepada kesesuaian istilah uang pengganti sebagai bentuk ganti kerugian bagi

korban.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada

awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran

PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton

International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran

dari Lapindo senilai US$ 24 juta.Pada awalnya sumur tersebut direncanakan

hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung

63
(batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang

ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi

potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick

(masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran

menembus formasi Kujung. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo

“sudah” memasang casing, adapun casing tersebut terdiri atas:

Tabel 2
Variasi kedalaman Casing
Casing Kedalaman

30 inchi 150 kaki

20 inchi 1195 kaki

16 inchi 2385 kaki

13-3/8 inchi 3580 kaki

9-5/8 inchi 9297 kaki

Sumber : (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006).

Dari data diatas dapat dilihat dimulai dari 30 inchi terdapat kedalaman

150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385

kaki dancasing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor

lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka

“belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat

di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung

(8500 kaki). Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan

kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah.

64
Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka

di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung.

Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi

Kujungnya.

Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh

target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak

ada.Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan

pemboran masih berlangsung.Selama pemboran, lumpur overpressure

(bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow

out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo.

Berdasarkan Peraturan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006

tentang Tim Nasional Penaggulangan Semburan Lumpur di Siduarjo,

menyatakan bahwa PT. Lapindo Brantas bertanggung jawab atas

pembiayaan operasional Tim Nasional Penangulangan lumpur Dibentuknya

Tim Nasional ini dimaksudkan tidak mengurangi tanggung jawab PT.

Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangandan pemulihan

kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.

Keputusan ini berusaha menegaskan bahwa harus ada tanggung jawab dari

PT. LapindoBrantas sebagai pelaku kerusakan struktural yang menyebabkan

luapan lumpur lapindo. Akan tetapi dalam keputusan tersebut tidak

ditegaskan bagaimana cara pembayaran dalam hal penanganan operasional

Tim Nasional serta ganti rugi masalah sosial. Inilah yang menjadi celah

bagi PT. Lapindo Brantas untuk tidak melakukan ganti rugi karena tidak

65
tercantum batas akhir atau tata cara pembayaran kepada warga yang terkena

musibah.

Kebijakan Pemerintah mengenai lumpur Lapindo yang ke II yaitu

dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang

diterbitkan untuk pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo.

Hal ini menimbang dampakluapan lumpur yang semakin luas; langkah

penyelamatan penduduk, penanganan masalah sosial dan infrastruktur

akibat bencana; dan pembentukan Badan Penanganan Lumpur Lapindo

dengan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan

Lumpur. Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo ini dipimpin oleh

Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang bertindak sebagai dewan pengarah.

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pengeboran

migas di Indonesia setiap tindakan harus seizin BPMIGAS. Semua

dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh

BPMIGAS. Pada tanggal 26 hingga 29 Oktober 2008 merupakan kegiatan

tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum

Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia. Dalam AAPG

2008 International Conference and Exhibition dilaksanakan di Cape

Town International Conference Center Afrika Selatan. Pada pertemuan

tersebut menghasilan pendapat ahli 3 (tiga) ahli dari Indonesia

mendukung gempa Bantul 2006 sebagai penyebab. Selanjutnya 42 (empat

puluh dua) suara ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 (tiga

belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran sebagai

penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa

66
mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29

Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses

pengeboran.6971

Pada pertemuan tersebut disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97

tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap

penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger”. Tema

ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal 28 oktober 2008 jam 13.30 waktu

setempat. Pada ruangan tersebut hadir ahli geologi manca negara yang

sebagian mereka adalah juga pernah menghadiri pertemuan di London

seminggu yang lalu dengan tema yang sama, pertemuan yang sudah berlalu

itu menghasilkan suatu pertanyaan besar dan mengerucut pada data

pemboran yang harus dikaji dan diperjelas.

Peserta diskusi sekitar 90 ahli tersebut yang tentunya akan

memberikan opini yang netral dan obyektif datang tepat waktu dan penuh

dengan antusiasme yang tinggi, dan disambut dengan selembar informasi

perkembangan terakhir yang dikeluarkan Lapindo. Dimana sebelumnya

Lapindo juga telah membagi-bagikan Brosur 6 halaman berwarna dengan

kualitas lux yang menjelaskan tentang seluruh kegiatan yang telah dilakukan

di lapangan kepada peserta konferensi.70 Pada pertemuan American

Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi

seluruh dunia, terdapat 4 (empat) pembicara yaitu dapat dilihat pada table

berikut ini:

6971
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo, diakses pata tanggal 24
Juni 2020, Pukul 09.00 Wib
70
https://hotmudflow.wordpress.com/2008/10/30/laporan-konferensi-aapg-di-cape-town-
afrika-selatan/, diakses pada 23 Agustus 2020, Pukul 16.00 Wib.

67
Tabel 3
Pendapat Para Ahli Geologi Pada Kasus Lumpur Lapindo
No. Nama Para Ahli Asal Ahli Geologi Pendapat Para Ahli
Geologi

1. Dr.Adriano Mazzini Unversitas Oslo seorang Dr.Adriano Mazzini


ahli Mud Vulcano seorang ahli Mud
Vulcano yang selama ini
sangat yakin dengan
teori bahwa lumpur
lapindo disebabkan oleh
gempa Yogyakarta.

2. Nurrochmat Sawolo ahli pemboran dari Nurrochmat Sawolo


lapindo sebagai ahli pemboran
dari lapindo yang
mengetahui seluk beluk
pemboran di sumur BJP-
1 sejak persiapan,
pelaksanaan sampai
semburan terjadi di
Sidoardjo, yang dibantu
Bambang Istadi.

3. Dr. Mark Tingay Seorang pembicara dari Dr. Mark Tingay ahli
Universitas Curtin gempa yang berpendapat
Australia bahwa energi gempa
Yogyakarta terlalu kecil
sebagai penyebab
terjadinya semburan di
Sidoardjo.

4. Prof. Richard Davies Universitas Durham Prof. Richard Davies


Inggris seorang ahli geologi
yang bekerjasama
dengan ahli pemboran
Indonesia yang diwakili
oleh Susila Lusiaga dan
Rudi Rubiandini dari
Institut Teknologi
Bandung yang
menyampaikan secara
detail dan jelas data-data
dan bukti selama proses
kejadian dilihat dari sisi
operasi pemboran.

68
Dari pendapat ahli geologi dunia diatas, sejumlah tidak kurang dari

20 penanya menghangatkan dan mempertajam materi diskusi yang

mengarah pada penyebab yang sebenarnya, kemudian dilanjutkan dengan

sesi perdebatan yang melibatkan seluruh opini yang berkembang dan

dimoderatori oleh ahli geologi senior dari Australia. Acara diskusi berjalan

sekitar 2,5 jam tersebut diakhiri dengan voting (pengambilan pendapat) oleh

seluruh peserta yang hadir untuk memperoleh kepastian pendapat para ahli

dunia tersebut dengan menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasil

dari voting tersebut menghasilkan 3 (tiga) suara yang mendukung gempa

yogya sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara menyatakan pemboran

sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara menyatakan kombinasi Gempa dan

Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) menyatakan belum

bisa mengambil opini (inconclusive). Dengan kesimpulan ahli dunia seperti

ini, tidak perlu diragukan dan didiskusikan lagi bahwa penyebab semburan

lumpur di Sidoardjo adalah akibat kegiatan Pemboran.71

Meski juga ada klaim bahwa semburan lumpur terjadi karena gempa

bumi di Jogja. Mengabaikan fakta bahwa PT Lapindo Brantas telah teledor

dalam melaksanakan prosedur pengeboran, perusahaan yang 50% sahamnya

dikuasai oleh keluarga Bakrie ini mengklaim bahwa blow out (semburan)

lumpur itu terjadi akibat dari dampak gempa. “Ini akibat gempa Jogjakarta.

Geratannya sampai ke Sidoarjo. Memang Sabtu pagi kemarin di Sidoarjo

ada lindu (gempa). Mungkin ini yang menyebabkan retakan di ladang gas

71
Ibid.

69
kami”, tutur Budi Susanto, ralation and security manager PT Lapindo

Brantas.7274

Dari fenomena diatas, terdapat juga fenomena khusus yaitu DPR yang

seharusnya menjadi dewan perwakilan yang membela kepentingan rakyat

justru tidak berpihak pada rakyat, dalam hal ini pihak korban. Sejak awal

Tahun 2007, DPR telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada

pemerintah terkait pola penanganan Lumpur Lapindo. Namun hingga kini,

ancaman hak interpelasi itu hanya gertak sambal alias omong kosong.

Buktinya, TP2LS-DPR RI sepakat bahwa semburan Lumpur panas Lapindo

merupakan bencana alam bukan akibat ulah tangan manusia kini jelas,

TP2LS bentukan DPR tersebut bekerja untuk siapa,bukan untuk mengawasi

penanggulangan Lumpur Sidoarjo oleh PT. Lapindo yang menyengsarakan

rakyat tapi untuk memuaskan hawa nafsu pemerintah DPR dan Lapindo.

Inilah wajah pemerintahan kita gambaran ini menguatkan keyakinan kita

bahwa pemerintah sedang menjalankan sistem politik dan ekonomi kotor

yang dikendalikan oleh para kapitalis sang pemilik modal. Keadilan bagi

rakyat mampu diperjualbelikan dengan kapital yang dimiliki sang pemilik

modal itulah trik dan intrik politik dan ekonomi neo kapitalisme. Alhasil tak

ada keadilan sejati untuk rakyat.7375

B. Paragdigma Peraturan Hukum Tentang Tanggung Jawab Akibat

Pencemaran Lingkungan Yang Dilakukan PT. Lapindo Brantas

1. Tanggung Jawab Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

7274
Amalina Rojiba, “Aspek Politis Lumpur Lapindo Sidoarjo Tahum 2006-2014”, dalam
Jurnal AVATARA vol. 4 Nomor 2 Tahun 2019, hlm 514.
7375
Koran Kompas, 2 Agustus 2008

70
Tanggung jawab hukum perusakan pencemaran lingkungan dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang pengelolaan lingkungan

hidup memuat adanya pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan

lingkungan, agar dapat menunjang kehidupan masyarakat secara

berkesinambungan. Namun faktanya yang kita lihat adalah terjadi

pencemaran lingkungan dilingkungan masyarakat, sekalipun ada regulasi

namun tidak menjadi bagian yang mampu menyelesaikan pencemaran

lingkungan.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang

pengelolaan lingkungan hidup sebagai bentuk kebijakan hukum ini,

pemerintah sebagai regulator, dan sebagai penegakan hukum adalah

bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan hidup yang

seyogyanya berdasarkan pada aturan yang berlaku.Hal ini dikarenakan

pengelolaan lingkungan hidup adalah pengelolaan yang berimplikasi

pada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu kegiatan maupun aktivitas

masyarakat yang mencakup berbagai segi kehidupan masyarakat,tetap

berlandaskan pada keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan

alamnya.74

Hal tersebut harus tercantum dalam aturan (norma). Secara

normatif, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

Tentang pengelolaan lingkungan hidup menjelaskan bahwa dimana setiap

orang berkewajiban memelihara dan menanggulangi pencemaran dan

pengrusakan lingkungan hidup. Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang


74
Wilhiam Chang, Moral Lingkungan Hidup, Pustak Teologi Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 2001, hlm 32.

71
Nomor 23 Tahun 1997 Tentang pengelolaan lingkungan hidup juga

menyatakan bahwa “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun”.

Pasal ini tersebut menjelaskan adanya suatu tanggung jawab

kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan dalam melestarikan lingkungan

agar bahan berbahaya dan beracun tersebut tidak merugikan pihak lain

termasuk mengakibatkanpengrusakan dan pencemaran lingkungan. Dapat

kita lihat suatu bencana alam yang terjadi secara akademis tentu dapat

diprediksikan bahwa akibat dari perilaku masyarakat yang tidak

bertanggung jawab, mengesploitasi alam tanpa aturan tanpa etika.

Akibantya beberapa daerah mengalai letusan , guncangan alam yang

terus menerus.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang

pengelolaan lingkungan hidup ini, tanggung jawab yang digunakan ialah

pertanggungjawaban secara langsung, atau istilah lainnya strict liability.

Strict liability adalah sistem pertanggungjawaban mutlak,penyimpangan

dari sistem ganti rugi penuh absolute liability,dikenal dalam hukum

perdata dengan menggunakan pola dasar perbuatan melanggar hukum

yang menimbulkan kerugian pada pihak lain tortius liability ysistem ini

berdasarkan adanya pertanggungjawaban berdasarkan pada kesalahan

liability based on fault.

Berdasarkan asas hukum,liability based on faultini maksudnya

bilamana orang akan menuntut ganti kerugian, maka ia berkewajiban

terlebih dahulu membuktikan bahwa tindakan pihak lain

72
yangmenimbulkan kerugian kepadanya. Kewajiban untuk

membuktikannya, terletak pertama-tamapada pihak yang ingin menuntut

ganti rugian. Apabila tidak berhasil membuktikannya maka tuntutan ganti

rugi tidak akan dipenuhi. Asas tanggung jawab mutlak penerapannya

dalam kasus lingkungan hidupkarena dianggap tidak memberatkan

penderita.75

Prinsip liability based on faultmengandung proses memberatkan

penderita. Tercemar baruakan memperoleh ganti kerugian bila dapat

membuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak tergugat/pencemar.

Pada kenyataanya umumnya tercemar/penggugat tidak memahami

tingkah laku teknologi modern, sedangkan pada pihak lain pencemaran

atau tergugat adalah industriawan yang menguasai informasi dan tingkah

laku dari industri yang dikelolanya dan produksi yang dihasilkannya.

Umumnya penggugat berada dalam posisi lemah dalam hal

ekonomi dan lainnya sehingga sangat sulit berhadapan dengan tergugat

yang mempunyai posisi yang kuat.Perkara hukum lingkungan asas Strict

liabilityseseorang bertanggung jawab atas akibat kerugian yang

ditimbulkannya, kecuali ketika ia dapat membuktikan bahwa ia tidak

dapat dipersalahkan.

2. Tanggung Jawab Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan untuk melindungi Negara

Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan

75
Patawari, Tanggung Jawab Hukum pengrusakan pencemaran lingkungan, Makasar: UPT
Unhas Press, 2017, hlm 4.

73
lingkungan hidup. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan hingga

antisipasi isu lingkungan global. Didalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidupmenjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah

hak yang harus diperoleh warga negara. Hal ini sebagaimana Pasal 28H

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupdidlam butir Pasal-

Pasal menjawab tantangan pemanasan global yang terus meningkat dan

mengakibatkan perubahan iklim yang membuat semakin parahnya

penurunan kualitas lingkungan hidup dunia. Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

adalah jaminan kepastian hukum memberikan perlindungan terhadap hak

setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mencabut Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3699) dan dinyatakan tidak berlaku. bahwa

agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan

terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan

74
ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang- Undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan

pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disahkan oleh

Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 3

Oktober 2009 di Jakarta. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta di Jakarta pada tanggal 3

Oktober 2009.

Untuk diketahui,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditempatkan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditempatkan pada

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat

merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara

Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku

kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan

75
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi

sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup

lain.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang

antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta

musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping

itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan

jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan

keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah.

Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan

terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan

wawasan Nusantara.

Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap

dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi

pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit

tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya

pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.Ketersediaan

sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,

sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang

semakin meningkat.

Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya

pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan

daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup

76
menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.Oleh karena itu,

lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik

berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas

keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat

memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan

berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,

serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan

lingkungan.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut

dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan

nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus

dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang

dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan,

rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban

melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan

pembangunan berkelanjutan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mewajibkan Pemerintah dan

pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis

(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan

telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah

dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain,

77
hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau

program pembangunan dalam suatu wilayah.

Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya

tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program

pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi

KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya

dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan

lagi.Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup

dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia

telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal

itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan

risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan

hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi

masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain,

dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila

dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan

hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup

lain.Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun

beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah

bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.

Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai

konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian

78
dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)

adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang

terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan

penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal

dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta

dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal.

Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam

memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin

usaha.Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan

hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal

instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan

kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif

berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten

terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah

terjadi.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem

hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas,

dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi

perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan

pembangunan lain.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini juga

mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi,

hukum perdata, maupun hukum pidana.

79
Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa

lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi

gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun

hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan

menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh

pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan

masa depan.

Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini

memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum,

perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu,

keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana

korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan

asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum

pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum

administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium

ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan

terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup adalah adanya penguatan yang terdapat dalam

80
Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola

pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan

penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum

mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,

akuntabilitas, dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pada Bab XII Pasal 71 dimana dimaknai

bahwa Pemerintah sesuai kewenangannya wajib melakukan pengawasan

terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas

ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di

bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun bentu

pertanggungjawaban ganti rugi PT. Lapindo pada Pasal 76 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup terdapat kebijakan hukum yaitu adanya Sanksi

Administratif. Yang mana mekanisme dalam penyelesaikan sengketa

pada pencemaran lingkungan hidup ini yang dilakukan oleh PT. Lapindo

ini ditegaskan juga pada Bab XII Bagian kesatuu pada Pasal 84 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, dimana dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa

lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar

pengadilan.

81
C. Mekanisme Pertanggungjawaban Ganti Rugi Akibat Pencemaran

Lingkungan Yang Dilakukan PT. Lapindo

1. Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan Hidup Yang

Dilakukan PT. Lapindo Secara Non Litigasi

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam menyelesaikan sengketa

lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Lapindo yaitu penyelesaian

sengketa lingkungan hidup ini dapat dilakukan melalui litigasi atau non

litigasi, namun ini berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang

bersengketa. Akan tetapi dalam aturannya penyelesaian sengketa di

luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan alternatif ini menurut Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup dinamakan "penyelesaian sengketa lingkungan

hidup di luar pengadilan". Berdasarkan Pasal 31 Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan diselenggarakan

untuk mencapai kesepakatan inengeriai bentuk dan besarnya ganti rugi

dan/atau tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau

terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan.

Pola penyelesaian sengketa lingkungan dalaln ketentuan Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup ini tampak sebagai koreksi atas kekeliruan sistem

Tim Tri pihak penyclesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

82
sebagaimana dilnaksudkan dalarn Pasal 3 l Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat

digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan

mengambil, keputusan menyelesaikan sengketa lingkungan.

Penggunaan jasa pihak ketiga netral dalaln penyelesaian

sengketalingkungan sebatas yang dikehendaki para pihak dan

tergantung padakebutuhan kasus perkasus. Di negara-negara maju,

ternyatamengutamakan sarana hukum mediasi sebagai upaya

penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif. Penyelesiian sengketa

Iingkur~gsn hidup di iuar pengadilan merupakan pilihan para pihak

secara sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga

penyedia jasa dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga

penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa

lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator

ataupun pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak telah memilih upaya

penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan

melalui pengadilan dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan

tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang

bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik

diri dari perundingan.

Berdasarkan Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penyelesaian

sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di

luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang

83
bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku

terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup ini. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian

sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan, gugatan melalui

pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa lingkungpn hidup di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapni kesepakatan mengenai besarnya ganti

rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamintidak akan

terjadinya atau terulang dampak negatif terhadaplingkungan hidup.

Penyelesaian sengketa iingkungan hidup di luarpengadilan dapat

digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan

mengambil keputusan maupun yang memilikii kewenangan mengambil

keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketalingkungan hidup.

2. Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan Hidup Yang

Dilakukan PT. Lapindo Secara Litigasi

Dalam putusan pengadilan atas pencemaran lingkungan yang

dilakukan pt.lapindo brantas, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

mengatasnamakan warga Sidoarjo mengajukan gugatan perdata di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Di dalam Amar

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap gugatan YLBHI

dengan perkara No.384/pdt.G/2006/PN.JKT.PST Majelis Hakim

84
menyatakan bahwa luapan lumpur PT.Lapindo Brantas disebabkan

kekurang hatian-hatian pengeboran yang dilakukan oleh PT.Lapindo

Brantas karena belum dipasangnya casing atau pelindung secara

keseluruhan sehingga menyebabkan terjadinya kick dan luapan lumpur.

Akibat kelalaian atau kekuranghati-hatian tersebut mengakibatkan

korban kehilangan harta benda dan mengalami situasi yang tidak

menyenangkan. Dengan demikian, unsur kesalahan dan sebab akibat

telah terpenuhi. Namun, tidak seluruhnya unsur kumulatif perbuatan

melawan hukum telah dipenuhi karena telah diupayakan secara optimal

perlindungan korban maupun penanganan atas penghentian semburan

lumpur. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut,

terhadap Lapindo dan tergugat lainnya diputuskan tidak melakukan

perbuatan melawan hukum.

Putusan ini kemudian diajukan banding oleh YLBHI Perkara

Perdata No. 136/PDT/2008/PT.DKI tanggal 13 Juni 2008 yang mana

dalam putusannya majelis Hakim Pengadilan Tinggi memutuskan

bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam sehingga unsur

kesalahan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak terpenuhi. Upaya

kasasi yang dilakukan oleh YLBHI kepada Mahkamah Agung Putusan

Mahkamah Agung, Perkara Perdata No. 2710 K/PDT/2008 tanggal 3

April 2009 menghasilkan putusan yang menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.Oleh karena YLBHI tidak

melakukan upaya hukum terhadap putusan kasasi tersebut maka

putusan ini telah berkekuatan hukum tetap dan membebaskan Lapindo

85
dari unsur kesalahan serta pertanggungjawaban atas semburan lumpur.

Upaya hukum perdata telah menghasilkan putusan in kracht dan telah

secara positif mendudukkan bahwa semburan lumpur merupakan

fenomena alam sehingga tidak terdapat unsur kesalahan dan tanggung

jawab langsung dan seketika terhadap Lapindo berdasarkan Undang-

Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian,

namun hakim sebagai perangkat peradilan mempunyai kewenangan

yang merdeka untuk memutus perkara sebagaimana diatur dalam

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan

pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak.

Para korban lumpur Lapindo sebagai pihak penggugat akan mengalami

kesulitan untuk membuktikan kesalahan Lapindo baik dari segi teknik

pengeboran, penggunaan alat pengeboran, maupun dalam hal

pemasangan selubung (casing). Untuk membuktikan hal tersebut

tentunya memerlukan tenaga ahli dan teknologi canggih yang biayanya

sangat mahal dan sulit ditanggung oleh korban. Selain itu para korban

pun kesulitan untuk mendapatkan alat-alat bukti lain yang dipandang

dapat mencukupi dalam proses pembuktian di Pengadilan, manakala

hal-hal itu sangat sulit diakses dari pihak pemerintah, terlebih lagi dari

pihak Lapindo .

Ketidakmampuan penggugat dalam menyediakan saksi ahli yang

kompeten, justru menjadi berbanding terbalik bagi pihak tergugat yang

86
justru dapat menyediakan saksi ahli yang lebih kompeten hal ini karena

Lapindo dapat mendatangkan para saksi ahli dengan latar belakang

dosen geologi dari universitas terkemuka seperti ITB, UPN Veteran

Yogyakarta, Universitas Trisakti, dosen teknik perminyakan ITB, ahli

perminyakan, ahli geologi atas dasar kemampuan finansial yang

dimilikinya. Selain itu hasil kesepakatan dalam seminar para ahli

geologi baik dari dalam dan luar negeri dalam forum internasional

Geological Workshop on Sidoarjo: Mud Volcano serta kesimpulan dan

rekomendasi para ahli geologi, minyak dan gas dalam Temu Ilmiah

Asosiasi Perusahaan Migas Nasional di Jakarta tanggal 7 Desember

2006 telah menyimpulkan bahwa kasus semburan lumpur panas di

Sidoarjo akibat pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas

Inc. merupakan fenomena alam yang disebut gunung lumpur atau mud

volcano, sehingga semburan lumpur Lapindo agar direkomendasikan

dan/atau ditetapkan sebagai bencana alam. Para Penggungat, WALHI

dan YLBHI, tidak dapat menghadirkan saksi ahli sedemikian banyak

seperti Lapindo sehingga wajar apabila Lapindo dapat menggiring

pandangan hakim bahwa semburan lumpur panas Lapindo merupakan

bencana alam.

WALHI dalam gugatannya menggabungkan pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan dan strict liability, sedangkan dalam putusannya

Pengadilan mendasarkan pada PMH walaupun WALHI sudah

menggabungkan antara PMH dan strict liability. Ini menimbulkan

ketidakpuasan atas putusan hakim terutama dalam masalah perdata

87
mengenai gugatan strict liability, karena dalam putusannya sama sekali

tidak disinggung dasar pertimbangan hukumnya mengenai strict

liability, sehingga seakan-akan mencerminkan pandangan, padahal

tidak diperlukan pandangan mengenai konsep hukum strict liability.

Terhadap gugatan WALHI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dengan perkara No. 284/PDT.G/2007.PN.JAK.SEL, dan ditambah

putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010,

No:07/PRAPER/2010/PN.SBY, Pengadilan Negeri Surabaya menolak

gugatan praperadilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan

konsekuensi hukum:SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan

pengadilan tersebut, sehingga secara pidana, Lapindo Brantas, Inc tidak

bersalah.Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti Prihal kedudukan

dan ganti rugi yang seharusnya dilakukan pihak PT.lapindo maupun

Negara yang seharusnya terlibat dalam proses penyelesaian kasus

lapindo tersebut.Majelis Hakim dalam amar putusan memutuskan

bahwa terjadinya semburan lumpur di area sekitar sumur BJP-1 karena

fenomena alam, bukan akibat kesalahan dari Lapindo dan tergugat

lainnya, sehingga Lapindo dinyatakan tidak melakukan perbuatan

melawan hukum. Putusan ini diajukan upaya hukum banding yang

mana dalam amar putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Dengan tidak dilakukannya

upaya kasasi dalam jangka waktu yang telah ditentukan, putusan ini

telah berkekuatan hukum tetap dan membebaskan Lapindo dari unsur

kesalahan serta pertanggungjawaban atas semburan lumpur. Upaya

88
hukum perdata telah menghasilkan putusan in kracht dan telah secara

positif mendudukkan bahwa semburan lumpur merupakan fenomena

alam sehingga tidak terdapat unsur kesalahan dan tanggung jawab

langsung dan seketika terhadap Lapindo berdasarkan Undang-Undang

No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam mekanisme ganti rugi yang merupakan bentuk

pertanggungjawaban PT. Lapindo ini didasarkan pada ketentuan hukum

yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yang mana tujuannya pengelolaan lingkungan hidup

merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidupyang

meliputi kebjaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,

pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Akibat perusakan lingkungan yang dilakukan PT. Lapindo

menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya

yag mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang

pembangunan berkelanjutan yang dapat berjung pada sengketa lingkungan

hidup. Sengketa lingkungan hidup ini menimbulkan perselisihan antara

pihak-pihak yang ditimbulkan akibat adanya pencemaran dan/ atau

perusakan yang dilakukan sehingga berdampak lingkungan hidup

terpengaruh akibat suatu usaha dan/atau kegatan yang dilakukan oleh PT.

Lapindo.

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam menyelesaikan sengketa

lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Lapindo yaitu penyelesaian

89
sengketa lingkungan hidup ini dapat dilakukan melalui litigasi atau non

litigasi, namun ini berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang

bersengketa. Akan tetapi dalam aturannya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Dan

apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila

upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau pihak yang

bersengketa.

Dalam hal mekanisme pertanggungjawaban ganti rugi PT. Lapindo ini

didasarkan pada ketentuan Bagian ketiga dariUndang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada paragraph 1

mengenai ganti rugi Pasal 34 dimana penyelesaian sengketa lingkungan

hidup PT. Lapindo dilakukan secara litigasi. Dimana dalam Pasal tersebut

dijelaskan setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup sebagaimana yang dilakukan PT. Lapindo ini,

mengakibatkan kerugian pada korban masyarakat sekitar lingkungan atas

pencemaran lingkungan ini, mewajibkan PT. Lapido sebagai penanggung

jawab usaha atau kegiatan untuk membayar ganti rugi melakukan tindakan

sesuai dengan ketentuan hukum oleh penegak hukum, serta dalam hal ini

hakim dapat menetakan pembayaran uang paksa atas setiap hari

keterlambatan penyelesaian tindakan tersebut.

Ditegaskan lagi berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Lapindo sebagai

penanggung jawab usaha atau kegiatan yang mana kegiatannya atau usah

90
tersebut menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Artinya

PT. Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan

seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup ini. Akan tetapi juga terdapat pengecualian, PT. Lapindo dibebaskan

dari kewajiban tersebut apabila pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup yang dilakukannya disebabkan oleh alasan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup karena bencana alam bukan ulah manusia.

Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pada Bab XII Pasal 71

dimana dimaknai bahwa Pemerintah sesuai kewenangannya wajib

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha

dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup. Dimana Pemerintah dengan kewenangannya tersebut wajib

melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

terhadap izin lingkungan.

Dalam mekanisme pertanggungjawaban ganti rugi PT. Lapindo pada

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat kebijakan hukum yaitu adanya

Sanksi Administratif. Pemerintah menerapkan sanksi administratif kepada

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan

ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif

terdiri atas:

91
a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin lingkungan; atau

d. pencabutan izin lingkungan.

Dalam hal ini menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap

pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif

terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup.Dimana sanksi administratif sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak membebaskan

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan

dan pidana.Artinya pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau

pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2)

huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Selanjutnya terhadap paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,antara lain

berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi;


b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;

92
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang
bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.

Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului

teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan ancaman yang

sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup, dampak yang lebih besar

dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau

perusakannya serta kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika

tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. Selain itu

terhadap setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak

melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap

keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Mengenai mekanisme penyelesaikan sengketa pada pencemaran

lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Lapindo ini ditegaskan juga pada

Bab XII Bagian kesatuu pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana

dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh

melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pada pilihan penyelesaian

sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang

bersengketa. Dan oleh karena itu gugatan melalui pengadilan hanya dapat

ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang

dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang

bersengketa.

Berdasarkan bagian ketiga Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

93
pada paragraf 1 dijelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan

hidup melalui pengadilan terhadap Ganti Kerugian dan Pemulihan

Lingkungan dimana PT. Lapindo sebagai penanggung jawab usaha

dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan

kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi

dan/atau melakukan tindakan tertentu. Hal ini disebabkan setiap orang yang

melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau

kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan

tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. Oleh

karna itu pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap

setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Adapun

besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

pertanggungjawaban yang dilakukan oleh PT. Lapindo merupakan tanggung

jawab mutlak. Dimana maksud Pasal tersebut adalah Setiap orang yang

tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan

ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam penyelesaian sengketa lumpur lapindo ini melalui pengadilan

yaitu dilakuan dengan dua cara, pertama proses hukum perdata (Gugatan

94
Class Action) dan proses hukum Pidana (Sp3 Polda Jatim).Pada gugatan

Class Action alam UUPLH,pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan

terdapat pada Pasal 30-39.Menurut Pasal 30 ayat (I ) ULIPLH :

"Penyeiesaian sengketa lingkungan hitiup dapat ditempuh melalui

pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para

pihak yang bersengketa".

Namun kesulitan utama yang dihadapikorban pencemaran sebagai

penggugat adalah membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal

1365 BW,terutama unsur kesalahan dan unsur hubungan kausal. Pasal1365

BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan.Akan tetapi

yang dapat dipersamakan dengan"Liability bayed on fault" adalah sistem

hukum Anglo-Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara

perbuatan pencemarandengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat

sulit bagi penderitauntuk menerangkan dan membuktikan pencemaran

lingkungan secarailmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya.

Masalah beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 BW Pasal 163

HIR Pasal 283 R.Bg. merupakankewajiban penggugat. Dalam kasus

pencemaran lingkungan. Melihat hal tersebut, gugatan YLBHI terhadap PT.

LBI ditolak pengadilan. Alasan yang sangat mendasar bahwa terjadinya

semburanlumpur tersebut belum dapat dibuktikan secara hukum bahwa PT.

LEI yangbersalah. Hal ini terasa tidak adil meelihat bukan penderita

yangmemerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatanya.

Menyadari kelemahan tersebut, hukum Lingkungan Keperdataan("privaat

rechtelijk niiliuerecht"), adanya asas tanggunggugat mutlak. Pada Pasal 35

95
UUPLH, tanggung gugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya

perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat.

Sedangkan Tanggung jawab PT. Lapindo secara pidana seakan

terhapus dengankeluarnya Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dari Polda

Jatim. Setelah melakukan penyidikan tiga tahun, Polda Jaiva Timur

mengeluarkan SP3 atau penghentianpenyidikan kasus sermburan Lumpur

Lapindo. Langkahhukum ini menjadi pil pahit bagi warga korban.Lolosnya

kasus semburan Lumpur Lapindo yang kesekian semakin menegaskan

potret hitam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Penghentian

penyidikan itu sesungguhnya bukan yang pertama. Dimana sebelumnya,

Polda Jatin (tahun lalu) pernah menginstrukskan ajarannya untuk melakukan

penyelidikan semburan lumpurdengan alasan tidakmenernukan bukti kuat.

96
BAB IV

TANTANGAN DALAM MEMBERIKAN GANTI RUGI SERTA UPAYA

KEDEPAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN KORBAN LUMPUR

PT. LAPINDO

A. Dampak Akibat Terjadinya Bencana Lumpur Lapindo

Selain dampak-dampak sebagaimana yang telah dijelaskan kronologis

teradinya bencana lumpur lapindo pada Bab III di atas, terdapat dampak

krusial yaitu dampak perekonomian pada masyarakat yang terjadi, tidak bisa

dipandang remeh. Kondisi masyarakat yang terkena dampak banjir lumpur

dalam banyak hal masih memprihatinkan. Dalam banyak kasus dapat

dikatakan belum menunjukkan perbaikan kondisi. Menyangkut penanganan

yang komprehensif dan berkelanjutan, terganggunya pendidikan dan sumber

penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-

tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul

menyangkut biaya ganti rugi, munculnya teori konspirasi penyuapan, hingga

penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur.

Dan sebagainya, yang tidak mustahil gilirannya akan mampu

memunculkan situasi konflik horisontal di antara warga, manakala pola

penanganan secara komprehensif belum optimal dilaksanakan. 7666Semburan

lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar

maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT

Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik

untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6

triliun.Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan.Semula hanya


7666
Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.2, Nomor 1, April 2011, hlm 78.

97
menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat

dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal

pertanian.

Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas

Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah

menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon,

dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari

8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit

rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.Lahan

dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus

2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan

Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo,

Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon.

Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas

produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.Tercatat 1.873 orang tenaga

kerja yang terkena dampak lumpur ini.Empat kantor pemerintah juga tak

berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.Tidak berfungsinya

sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya

sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan

telepon).Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan

rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142,

Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18

(7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik

15, masjid dan musala 15 unit.

98
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk

areal persawahan.Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral

Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan 70 juta dolar

(sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.Akibat

amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air

milik PDAM Surabaya patah.Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat

penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas

terendam. Ditutupnya jalan tol Surabaya-Gempol ruas porong-gempol

sepanjang 6 km hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan

kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong

dan jalur Waru-tol-Porong.

Sebuah SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik

PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu

jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.Penutupan ruas jalan

tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang

dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau

Jawa.Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di

kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah

satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

99
B. Upaya Penanggulangan Penghentian Semburan Lumpur Lapindo

1. Sikap dan Tindakan PT. Lapindo Akibat Pencemaran Lingkungan

Hidup dalam Kasus Semburan Lumpur Lapindo

Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi sebagaimana telah di jelaskan

diatas, selayaknya para pencari keadilan agar tidak salah melangkah didalam

menentukan sikap dalam memperjuangkan hak-haknya yang berdasarkan

rasa keadilan. PT. Lapindo memiliki suatu tanggung jawab Akibat

Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Kasus Semburan Lumpur Lapindo.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang- Undang Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

menetapkan bahwa penanggulangan pencemaran kerusakan lingkungan

tersebut dilakukan dengan cara pemberian informasi peringatan pencemaran

dan /atau kerusakan lingkungn hidup kepada masyarakat. Selanjutnya

dilakukan pengisolasian pencemaran kerusakan lingkungan hidup yang

terjadi serta penghentian sumber pencemaran kerusakan lingkungan hidup

tersebut.

Jika luapan Lumpur lapindo di difinisikan sebagai bencana alam,

maka kerusakan yang terjadi tersebut tidak didasari adanya suatu kegiatan

disekitar lokasi/obyek bencana tersebut, bukanlah disebabkan olehsuatu

bencanayang terjadi karena proses alam, akan tetapi luapan Lumpur lapindo

berserta dengan gas beracun adalah disebabkan karena ketidak hati-hatian

dari manusia, karena adanya kegiatan pemboran, yang seharusnya proses

didalam pengerjaannya pemboran tersebut harus sesuai dari apa yang

100
tertuang didalam proposal kegiatan pemboran dengan melalui suatu

penelitian yang terperinci dan sedetail-detailnya.

Kegiatan pemboran yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang

mendapat ijin dari Pemerintah terkait, dan jika perusahaan tersebut tidak

mampu membayar/pailit yang dengan melalui prosedur peradilan yang

menyatakan perusahaan tersebut dinyatakan pailit dengan suatu penetapan,

maka dalam hal ini sudah seharusnya Pemerintah terkait yang memberi ijin

tersebut (berdasarkan Proposal), harus mencarikan solusi atau jalan keluar

untuk kehidupan masyarakat yang terkena bencana lumpur lapindo tersebut.

Pemerintah yang terkait, yang berdasarkan kebijakan dasar maupun

kebijakan pemberlakuan dari kasus luapan Lumpur lapindo, maka

berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan sudah

dianggap telah tidak melaksanakan amanat dari UU Dasar 1945 dan UU

Hak Asasi Manusia (Konfensi Intenasional), yang telah mengenyampingkan

produk hukumnya sendiri yaitu UU tentang Lingkungan Hidup (AMDAL)

dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan bencana tersebut.Aspek

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut WALHI, bahwa PT

Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi,

misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana

ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat

menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam

putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat.

Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus

luapan Lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik

101
yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.

Bedasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi

tanggung jawabPT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada

mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik,

perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo,

dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang

merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan

Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo

Brantas Inc.

Dalam kaitan dengan masalah tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk

sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait

dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur

panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa

pendapat mengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur

Lapindo yaitu :

1. Kasus kebocoran gas dan melubernya lumpur tidak disebabkan oleh

gempa diwilayah Jogjakarta.

2. Kasus yang merupakan kesengajaan Lapindo dan memberikan dampak

besar bagi lingkungan dan masyarakat, yang merupakan bencana

ekologi terbesar terjadi di Jawa Timur.

3. Semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur

pengeboran, ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian tiba-

tiba bor macet, sehingga gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit

102
dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah

untuk keluar.

4. Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak yang

merupakan bencana alam, tapi karena faktor ketidak

beruntungan/kelalaian atau karena ketidak hati-hatian.

5. Bahwa hidrogen sulfida (H2S), yaitu 20 ppm ceiling yang diberlakukan

perusahaan hanya dapat diterapkan bagi pekerja, sedangkan bukan bagi

masyarakat yang menghirup gas tersebut, yang dianggap sangat

berbahaya bagi saluran pernafasan manusia.

6. Semburan lumpur Lapindo tersebut kemungkinan disebabkan kesalahan

prosedural yang mengakibatkan terjadinya blow out.

7. Terhadap gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak

yang tidak berhubungan situasi di Surabaya, jika hal tersebut benar

(Blow Out Prevenery/BOP) telah pecah sebelum terjadi semburan

lumpur, jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam

pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur

operasional standar.

8. Terdapatnya zona yanglemah tidak diantisipasi Lapindo, berupa sesar

(patahan) yang kini meretakkan struktur geologi kawasan pengeboran

di Porong sehingga mengakibatkan semburan lumpur.

Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya

lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu,

yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena

lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di

103
tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi

kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan

beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel

lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol

berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat

kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis

bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.

Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada

Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997), telah diatur

sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan

pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 Undang-undang Nomor .23 Tahun

1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka

sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka

yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan

tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam

Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Menurut pakar hukum, menyatakan ada tiga ide pokok dari definisi

Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari

korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-

ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang

digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum

pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan

104
administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan

"legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as

illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara

lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan

penuntutan.

Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan

untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan

pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif

tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur

organisasional. Mas Achmad Santosa (Good Governance Hukum

Lingkungan: 2001) mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 45 dan 46 Undang-undang Nomor .23 Tahun 1997 merupakan

rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda.

Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan Undang-

undang No.23 Tahun 1997.

Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari

pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention

giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman

tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan

fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.[10] Sejalan dengan PP

No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3. Dan dari aspekpelanggaran

Hak Asasi Manusia (HAM), PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan

masyarakat dalam berbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya.

105
Tidak dapatdibayangkan, bahwa banyakribuan pekerja kehilangan

mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan

jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan

perekonomian Jawa Timur tersendat, dengan pelaksanaan penegakan hukum

atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas.serta adanya kebijakan politik

minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dan

dalam aspek dampak materil maupun spikologis seharusnya yang menjadi

tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc mencakup aspek pelanggaran hak

asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.

2. Peran Pemerintah dalam Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup yang

Dilakukan PT. Lapindo

Akibat dampak pencemaranlingkungan hidup yang dilakukan PT.

lapindo, maka peran dan tidakan Pemerintah Indonesia yaitu diantara lain:

1. mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc.

2. membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah

lumpur panas, PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada

harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan

pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas.

3. aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan

lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi

pemegang saham, dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait,

seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP

Migas.

106
4. Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas,

bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur

panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.

5. mengkaji ulang seluruh perundang-undangan yang terkait dengan

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan

aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan

keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama

dan melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di

kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali kelayakan

proyek-proyek tersebut.

C. Tanggung Jawab PT. Lapindo dan Pemerintah Serta Tindakan Terhadap

Masyarakat Korban Dalam Penyelesaian Sengketa Lumpur Lapindo

1. Tanggung Jawab PT. Lapindo Serta Tindakan Terhadap Masyarakat

Korban Dalam Penyelesaian Sengketa Lumpur Lapindo

Tanggung jawab dalam aspek bahasa memiliki arti keadaan

wajibmenanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh

dituntut.dipersalahkan, diperkarakan.Berdasarkan data Kementerian PU

bulan April 2012, ada beberapa kondisi objektif atas kasus lumpur Lapindo

yang perlu diketahui untuk menghindari prasangka negatif. Pertama, terkait

dengan penanganan masalah sosial kemasyarakatan, di mana sesuai dengan

rencana PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pada 30 Maret 2010 menetapkan

untuk melakukan pelunasan pembelian tanah dan bangunan yang

direncanakan selesai Desember Tahun 2012, sebesar Rp. 3.830.568.730.620

107
sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14

Tahun 2007 tentang Peta Area Terdampak (PAT) awal.

Selanjutnya PT MLJ juga merencanakan pembelian tanah dan

bangunan per April 2012 sebesar Rp. 3.409.206.170.252, dan untuk rencana

ini mencapai realisasi sebesar 89 %. Secara keseluruhan dari dua agenda

rencana yang disebutkan tersebut dapat direalisasikan oleh PT MLI per

April 2012 sebesar Rp. 2.911.801.629.454 atau 76,01 %, artinya terjadi

keterlambatan realisasi sebesar Rp. 497.404.540.798 atau 12,99 %. Jika data

ini ditotalkan maka kekurangan realisasi pembayaran PT MLJ sebesar Rp.

918.767.101.166 atau 23,99 %. Tambahan, bahwa kasus PAT Tahun 2007

ini meliputi 641 Ha, 13.237 Kepala Keluarga (KK), dan 39.947 jiwa.

Kedua, progres pembelian tanah dan bangunan oleh BPLS di wilayah

3 (tiga) desa yaitu Kedungcangkring, Besuki, dan Pejarakan, termasuk

untuk fasilitas umum/sosial, sesuai Perpres Nomor 48 Tahun 2008

mengikuti tahapan pembayaran PT MLJ. Dalam hal ini realisasi per April

2012 mencapai Rp. 508.097.357.976 atau 80,94 % dari target penyelesaian

sebesar RP. 627.782.942.810. Artinya masih tersisa 19,06 % yang belum

terealisasi, namun pemerintah tetap optimis terhadap penyelesaian sisa

pembayaran karena penanganan masalah sosial kemasyarakatan ini

direncanakan selesai pada Tahun anggaran 2012. Tambahan lagi, bahwa

penanganan pembelian tanah dan bangunan warga dengan satuan yang telah

dijelaskan tersebut meliputi 70 Ha, 1.790 Kepala keluarga, dan 6.094 jiwa.

Ketiga, Perpres Nomor 40 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 68 Tahun

2011 tentang PAT 9 (sembilan) Rukun Tetangga (RT) melalui penanganan

108
BPLS per Maret 2012 telah menyalurkan bantuan uang jaminan bulan

ketiga kepada warga 9 RT dan pembayaran 20 % pembelian tanah dan

bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan Siring dan Jatirejo direncanakan

pada pertengahan Maret 2012. Sedangkan pembayaran 20 % pembelian

tanah dan bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan Mindi belum dapat

dilaksanakan karena masih adanya resistensi warga 18 RT di Kelurahan

Mindi. Dalam konteks kasus ini, BPLS merencanakan pembayaran 80 %

akan dilakukan pada Mei 2012. Secara keseluruhan persoalan penanganan

masalah sosial kemasyarakatan direncanakan selesai pada Tahun anggaran

2012 dengan total biaya Rp. 436.797.455.650 dan bantuan sosial berupa

kontrak rumah 2 Tahun, tunjangan hidup 6 bulan, dan biaya evakuasi Rp.

15.954.468.000. Perlu pula diketahui bahwa pertimbangan sebagai daerah

yang dianggap tidak layak huni didasarkan pada rekomendasi gubernur

setempat dari hasil studi Tim Kajian Kelayakan Permukiman yang meliputi

9 RT dan 3 Desa, yaitu Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi serta mencakup 31

Ha, 761 KK, dan 2.942 jiwa.

Keempat, tentang wilayah tidak aman di luar Peta Area Terdampak

(PAT) Hasil kajian Tim Terpadu (65 RT), hingga 5 April 2012 telah

diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Atas dasar

Perpres tersebut pembayaran bantuan sosial akan dibayarkan pada Tahun

anggaran 2012 sebesar Rp. 55.761.200.000. Pembayaran jual beli tanah dan

bangunan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan, yaitu

untuk 65 RT (329 Ha) diperkirakan sebesar Rp. 2.171.944.760.000, dan

109
pada Tahun 2012, sesuai APBN-P telah teralokasi dana uang muka sebesar

20 % untuk pembelian tanah dan bangunan bagi 65 RT (sekitar Rp. 435

milyar) sehingga ada optimism bahwa masalah penanganan pembayaran

bantuan sosial oleh BPLS dapat diselesaikan pada Tahun anggaran 2012

ini.7778

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur,

diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan

lumpur.Namun, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-

waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada

permukiman di dekat tanggul.Jika dalam tiga bulan bencana tidak

tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342

hektare, dengan mengungsikan 12.000 warga.Kementerian Lingkungan

Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006,

mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru.Juga ada cadangan 342 hektare

lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober,

diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu

batal tanpa sebab yang jelas.

Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang

dua bulanan lagi.Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya

tampung.Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya. Dimana

skenario penghentian semburan lumpur. Ada pihak-pihak yang mengatakan

luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenariodibawah ini,

7778
http://www.setkab.go.id/artikel-4769-lumpur-lapindo-mengantisipasi-putusan-mk.html
diakses 15 April 2019

110
namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil

sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.7885

Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan

menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing

unit adalah suatu sistem peralatan bertenaga hidraulis yang umumnya

digunakan untuk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu

pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada). Snubbing unit ini digunakan

untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400 meter

yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut

ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan

kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat.

Akan tetapi skenario ini gagal total.Rangkaian mata bor tersebut berhasil

ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal

mendorongnya ke dalam dasar sumur.

Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring

(sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran

dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (Persero). Skenario

kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung

di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan

lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit

pelaksanaan sidetracking.Selain itu muncul gelembung-gelembung gas

bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan

pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15

meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan


7885
www.antara.co.id diakses pada 3 Juli 2020, Pukul 10.30 Wib.

111
lagi.Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen

sumur BJP-1.

Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan

terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut

antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1.

Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.Ketiga,

sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1.Sampai saat ini skenario

ini masih dijalankan.Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur

berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1.Padahal ada hipotesis

lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano),

seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah.Sampai sekarang,

Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.

Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung

lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief

well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan

tempat keluarnya lumpur.Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan

waktu.Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos

operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar.Biaya bisa membengkak karena

kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal

di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp

475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah

melambungnya harga minyak.

Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di

lokasi sumur Porong-1, tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1,

112
terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan luapan lumpur pada zaman

dulu, demikian analisisnya. Rovicky mencatat sebuah hal yang

mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti dalam rentang

waktu puluhan hingga ratusan tahun.Dalam dokumen Laporan Audit Badan

Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 disebutkan temuan-temuan

bahwa upaya penghentian semburan lumpur tersebut dengan teknik relief

well tidak berhasil disebabkan oleh faktor-faktor nonteknis, diantaranya:

peralatan yang dibutuhkan tidak disediakan. Senada dengan temuan Badan

Pemeriksa Keuangan, Rudi Rubiandini juga menyatakan bahwa upaya

penghentian semburan lumpur dengan teknik relief well tersebut tidak

dilanjutkan dengan alasan kekurangan dana.

Terdapat antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur. Jika

skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang

disediakan tidak akan mampu menyimpan lumpur panas sebesar 126.000 m³

per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas yang tersedia pada

pertengahan September 2006 hanya tinggal dua. Skenario ini dibuat kalau

luapan lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur

dianggap sebagai fenomena alam, maka skenario yang wajar adalah

'bagaimana mengalirkan lumpur ke laut' dan belajar bagaimana hidup

dengan lumpur.

Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di

lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-

tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan

ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya

113
tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan

disekitar waduk diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul

yang baru, sementara semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke

hari, volumenya terus membesar.

Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali

Porong.Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk

yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume

penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter

di bagian tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas

Sidoarjo, maka potensi penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300.000

m³ setiap kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu

menyimpan lumpur sekitar 5 juta m³, atau akan memberikan tambahan

waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali

Porong tidak melebihi 50.000 m³ per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali

Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak

awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong

mencapai 10 juta m³ pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang

begitu besar membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air

dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang

terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi waduk

lumpur.Sedangkan untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoarjo

di perairan Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi

lumpur tersebut di kawasan pantai Sidoarjo.

114
Kawasan pantai di Kabupaten Sidoarjo mengalami proses reklamasi

pantai secara alamiah dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh

proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya,

pantai Sidoarjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya membentuk kawasan

lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas Sidoarjo, merupakan

hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah

berjalan beberapa dekade terakhir.Dengan mengumpulkan lumpur panas

Sidoarjo ke tempat yang kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami

oleh mangrove, lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura

sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai

Sidoarjo dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru

yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan

menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi

pemijahan ikan, daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru

dengan hutan bakau di atasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung

yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat

terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai.

Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur.Pada 9

September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani

surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan

Lumpur di Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres

itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar

lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah

semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim

115
dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah

sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk

pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.

Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudi Rubiandini ternyata gagal

total walaupun telah menelan biaya 900 miliar rupiah.

Oleh karena itu adanya kebijakan hukum yaitu keputusan pemerintah.

Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk

membuang lumpur panas Sidoarjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu

dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari

50.000 meter kubik per hari menjadi 126.000 meter kubik per hari, untuk

memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan

lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang

lain, seperti pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai

Kabupaten Sidoarjo.

Bertolak belakang dengan itu terdapat pendapat Kontra pembuangan

lumpur secara langsung. Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke

laut. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat

Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006,

menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada

lahan seluas 989 hektare di dua kecamatan mengalami kegagalan panen.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat

luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan

Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan

116
rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya

ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin

meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan

daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai

akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai.7986

Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai

Porong.Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan

sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan

terpengaruh.Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi

Sepuluh Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur

lalu membuang air ke laut.Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya

bahan endapan.Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak

perlu diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi.Sampai tahun

2009 ternyata teori itu tidak bisa membuktikan adanya dampak

tersebut.Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur juga telah menetapkan tiga

belas tersangka.Namun perkara pidana tersebut dihentikan oleh penyidik

Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara perdatanya gugatan

YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal.Selain itu,

adanya perbedaan pendapat para ahli.

Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama

ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang

tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta

kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan

tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak


7986
Ibid.

117
ditanggapi).Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU

No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan,

dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. Wakil Kepala Divisi Humas Polri

Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa

Timur, mengatakan bahwa UU pencemaran ini sudah termasuk kejahatan

korporasi karena merusak lingkungan hidup.

Dapat dikatakan Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus

luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan,

karena mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa

adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada

Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari

harga NJOP yang rata-rata harga tanah di bawah Rp100 ribu—dibeli oleh

Lapindo sebesar Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta masing-masing per

meter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan

Jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga

penanganan infrastruktur yang rusak. Hal ini dianggap wajar karena banyak

media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan

lumpur ini.

Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur

Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya

pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka

solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan

melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur

118
akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak

lingkungan sekitar muara.

2. Tanggung Jawab Pemerintah Serta Tindakan Terhadap Masyarakat

Korban Dalam Penyelesaian Sengketa Lumpur Lapindo

Negara sebagai sebuah entitas tertinggi dalam suatu wilayah memilki

wewenang mengatur dan mengelola linkungan.Fungsi negara adalah

memberikan kemakmuran bagi masyarakat.Negara harus memberikan

perlindungan kepada warganya.Kepentingan umum yaitu kepentingan

warga negara harus didahulukan dalam pengambilan keputusan oleh

negara.Negara berhak melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk

menjaga dan mengelola lingkungan.

Tanggung jawab dan kewajiban berkaitan dengan kekuasaan yang

artinya bahwa pemerintahan daerah mempunyai kekuasaan dan wewenang

untuk mengelola lingkungan yang ada di Negara yang tentu saja diiringi

dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga kelestarian dan

kelangsungan lingkungan itu sendiri.Dari segi perkembangan Negara

demokrasi, dua hal ini merupakan unsur dari kesatuan pengertian

kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan akan diikuti dengan kewajiban

maupun tanggung jawab, karena keduanya memiliki hubungan kosekuensi.

Tiga tujuan utama yakni menganalisis landasan hukum tanggung

jawab negara dan pelimpahannya kepada perusahaan pertambangan

berdasarkan izin dan kontrak kerjasama pertambangan yang dalam

pelaksanaannya menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang merugikan

masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan, menganalisis

119
konstruksi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas kepada korban lumpur

panas di sekitar area eksplorasi PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo serta

menggali nilai-nilai keadilan dalam penyelesaian kasus kerusakan

lingkungan hidup sebagai acuan untuk merekonstruksi tanggung jawab

negara kepada korban kerusakan lingkungan hidup akibat kegagalan

perusahaan dalam kegiatan pertambangan yang diberikan izin berdasarkan

kontrak kerjasama dengan pemerintah.

Lebih lanjut dikatakan, meskipun secara yuridis normatif resiko

terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksplorasi atau eksploitasi

merupakan tanggung jawab badan usaha yang telah mendapatkan ijin

berdasarkan kontrak kerjasama pertambangan, namun dalam kasus

semburan lumpur panas di Sidoarjo, pemerintah tidak membebankan

tanggung jawab itu sepenuhnya kepada PT. Lapindo Brantas selaku

kontraktor yang melakukan eksplorasi di Sumur Banjarpanji-1.

Kerugian tersebut oleh negara melalui mekanisme tertentu ditetapkan

menjadi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas, Inc., perusahaan yang

bertanggung jawab memberikan ganti kerugian terhadap masyarakat yang

terkena dampak semburan lumpur Sidoarjo. Meski dampak semburan makin

meluas akan tetapi, PT. Lapindo Brantas, inc., tidak memberikan ganti

kerugian kepada masyarakat yang mengalami kerugian di wilayah

meluasnya semburan. Hal ini kemudian menyebabkan terjadi dikotomi

ketentuan hukum antara masyarakat yang bertempat tinggal “di dalam Peta

Area Terdampak” dan masyarakat yang bertempat tinggal “di luar Peta Area

Terdampak”.

120
Bahwa oleh karena adanya ketentuan dikotomis tersebut, lahir

ketentuan ganti kerugian untuk masyarakat di dalam PAT adalah menjadi

tanggung jawab PT.Lapindo Brantas inc., sedangkan untuk di luar PAT

adalah menjadi tanggung jawab negara (Pemerintah) sebagaimana diatur

dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun

2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007

tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan Presiden

Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden

Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Jo

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2011 Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan

Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007

tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.8076

Permasalahan tanggung jawab dan bukan tanggung jawab itulah yang

menjadikan tidak adanya pertanggungjawaban negara terhadap masyarakat

yang berada di dalam PAT yang sesungguhnya negara melalui mekanisme

yang tersedia terkait dengan fungsinya harus memberikan

pertanggungjawaban, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi

masyarakat, sehingga antara masyarakat yang berada di dalam PAT dan

masyarakat yang berada di luar PAT sama-sama mendapatkan ganti

kerugian sebagaimpana mestinya. Menurut Mahkamah, adanya ketentuan

8076
Ikhtisar Putusan Perkara Nomor 83/PUU-XI/2013 Tentang Pelunasan Pembayaran
Pembelian Tanah dan Bangunan Di luar Peta Area Terdampak hlm 71.

121
hukum yang dikotomis tersebut menyebabkan absennya fungsi negara

terkait dengan pemenuhan hak ganti kerugian terhadap masyarakat yang

berada di dalam PAT yang pembayaran ganti kerugiannya sesungguhnya

menjadi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas,inc., sehingga terjadi

ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, karena terjadi kesenjangan antara

masyarakat yang berada di dalam PAT dan masyarakat yang berada di luar

PAT yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab negara untuk

menghilangkan atau setidak-tidaknya mengeliminasi kesenjangan

tersebut.8177

Berdasarkan data yang diungkapkan di atas, jelas bahwa pemerintah

sangat serius dan konsisten dalam penanganan lumpur Lapindo, di mana

kewajiban pihak swasta yang bertanggungjawab terhadap terjadinya

masalah lumpur Lapindo telah dipagari dengan norma peraturan yang

cukup tegas dan mengikat. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa

tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk penyelesaian penanganan

lumpur Lapindo dengan segera dapat dipahami dan diterima, tetapi di lain

pihak, publik diharap dapat menyadari bahwa terapi penyelesaian lumpur

Lapindo memerlukan kecematan dan pendekatan komprehensif agar setiap

tahapan penanganan tidak menimbulkan persoalan baru dari aspek hukum,

ekonomi, sosial-budaya, dan hak-hak warga negara itu sendiri.

Untuk mengatasi fenomena Lapindo Sidoarjo, Kebijakan pemerintah

terhadap korban lumpur lapindo diatur dalam peraturan presiden (perpres)

No 14 Tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur Pasal 15 ayat 1

menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta


8177
Ibid hlm 72

122
wilayah yang terkena dampak lumpur lapindo dibebankan kepada

pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk

warga yang ada di dalam peta.Sidoarjo (BPLS).Tapi peraturan presiden

tersebut justru memihak PT. Lapindo.Misalnya, peraturan presiden ini

hanya membatasi kewajiban dan tanggung jawab Lapindo pada peta

terdampak sesuai dengan kondisi pada Tahun 2007.8279

Dari fenomena diatas, terdapat juga fenomena khusus yaitu DPR yang

seharusnya menjadi dewan perwakilan yang membela kepentingan rakyat

justru tidak berpihak pada rakyat, dalam hal ini pihak korban. Sejak awal

Tahun 2007, DPR telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada

pemerintah terkait pola penanganan Lumpur Lapindo. Namun hingga kini,

ancaman hak interpelasi itu hanya gertak sambal alias omong kosong.

Buktinya, TP2LS-DPR RI sepakat bahwa semburan Lumpur panas Lapindo

merupakan bencana alam bukan akibat ulah tangan manusia kini jelas,

TP2LS bentukan DPR tersebut bekerja untuk siapa,bukan untuk mengawasi

penanggulangan Lumpur Sidoarjo oleh PT. Lapindo yang menyengsarakan

rakyat tapi untuk memuaskan hawa nafsu pemerintah DPR dan Lapindo.

Inilah wajah pemerintahan kita gambaran ini menguatkan keyakinan kita

bahwa pemerintah sedang menjalankan sistem politik dan ekonomi kotor

yang dikendalikan oleh para kapitalis sang pemilik modal. Keadilan bagi

rakyat mampu diperjualbelikan dengan kapital yang dimiliki sang pemilik

modal itulah trik dan intrik politik dan ekonomi neo kapitalisme. Alhasil tak

ada keadilan sejati untuk rakyat.8380

8279
Koran TEMPO, 22 Oktober 20019
8380
Koran Kompas, 2 Agustus 2008

123
Dengan adanya fenomena seperti di atas, Pemerintah juga

memberikan kebijakan bagi para korban Lumpur Lapindo karena Sudah

13Tahun lebih semburan Lumpur Lapindo muncul di Porong, Sidoarjo.

Pemerintah telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan

(SP3) atas kasus pidana Lapindo dan disusul munculnya Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 14 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur

Sidoarjo. Namun, kedua kebijakan itu justru menjauhkan dari model

penyelesaian secara adil dalam kasus Lumpur Lapindo.8481

Bagaimana tidak, dengan keluarnya kedua kebijakan itu, tanggung

jawab penanganan Lumpur justru lebih banyak dibebankan kepada

Pemerintah.Adapun pihak Lapindo hanya dampak pada 22 Maret 2007.

Kebijakan Pemerintah Dalam Peraturan Presiden Nomor 40/2009 itu,

tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang berisikan tentang

persoalan ganti rugi pun secara legal kembali direduksi menjadi jual-beli

asset dan pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

seperti yang disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam

peta area terdampak pada tanggal 4 Desember 2006, 20% di bayarkan di

muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak

rumah 2 Tahun habis.

Peta area terdampak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagaimana tercantum dalam lampiran presiden ini.Kerugian warga karena

menghirup udara beracun dan menggunakan air tercemar sejak muncul

semburan Lumpur Lapindo tiga Tahun yang lalu tetapi tidak pernah
8481
Koran Jawa Pos, 23 November 2008

124
dianggap penting oleh pemerintah.Padahal warga porong adalah warga

Negara Indonesia yang sah, mereka pantas mendapat perlindungan dari

Negara.Dari kebijakan di atas, Pemerintah juga memberikan kebijakan

untuk korban Lumpur Lapindo itu sendiri adalah memberikan tempat

tinggal bagi para masyarakat yang telah di sediakan oleh PT. Lapindo itu

sendiri yang berada di Relokasi mandiri. Selain itu, pemerintah juga

menetapkan Peraturan Nomor 14 Tahun 2007 tentang masalah sosial yaitu

tentang masalah tentang Pengelolaan penanganan bantuan sosial berupa

pemberian bantuan air bersih, pengadaan dapur umum bagi 18 Desa yang

terdampak bencana, pengadaan PPPK dan bantuan obat-obatan, pendidikan

dan pelatihan teknis/ketrampilan. Kebijakan pemerintah disebut sistematis

karena kondisi ini justru lahir dari kebijakan pemerintah secara structural,

yang secara nyata dapat dilihat dalam beberapa hal.Pertama, kegiatan usaha

minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan di wilayah dekat rumah

tinggal, dekat bangunan umum dan wilayah pabrik.

Sebagaimana pengaturan sanksi hukuman terhadap bencana luapan

Lumpur panas Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana

yang diatur pelaku dalam Undang-UndangNomor 23 Tahun 1997 mengatur

mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai

dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal

48. Dan terhadap sanksi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman

yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang

berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan

lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara

125
total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang

telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo

yang sampai sekarang belum dapat diatasi.8582

Sedangkan terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai

hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau

informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau

pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di ancam pidana penjara

sekurang-kurangnya 5 Tahun atau sampai seberat-beratnya 15 Tahun atau

denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp.

500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan

oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai

dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut

adalah sebagai akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social

kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam

kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada

instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo

tersebut.

Berbagai peraturan presiden yg diterbitkan, menunjukkan bahwa

kebijakan-kebijakan penanganan Lumpur Lapindo selama ini telah

dilakukan melalui penegasan antara tanggungjawab pemerintah dan PT MLJ

sebagai pihak swasta yang harus bertanggungjawab.Koesnadi

Hardjasoemantri. “Hukum Tata Lingkungan. Edisi ke.7.Cet. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.Itulah sebabnya pendapat dan analisis yang

8582
Koesnadi Hardjasoemantri. “Hukum Tata Lingkungan.Edisi ke.7.Yogyakarta: Gajah
Mada Univerdity Press

126
terkadang muncul dengan tendensius dalam pemberitaan media perlu

dicermati secara hati-hati oleh semua pihak, karena bagaimanapun juga

tidak sedikit analis yang memberikan penilaian bahwa persoalan lumpur

Lapindo terkadang melewati batas-batas rasional untuk dimanfaatkan

sebagai komoditas politik.

Padahal permasalahan lumpur Lapindo sebenarnya sudah sangat jelas,

yaitu masih adanya warga di area terdampak yang belum menerima ganti

rugi dari PT MLJ.Perusahaan ini masih harus membayar kekurangan ganti

rugi sebesar Rp. 918 Miliar atau 24 %. Sepanjang kekurangan ini belum

diselesaikan oleh PT MLJ, maka lumpur Lapindo akan selalu bergolak.

Sayangnya gejolak lumpur Lapindo tersebut sering menjadi bola liar, yang

bisa dipakai menjadi amunisi politik bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.8683

Kasus ini sangat jelas Negara melakukan pelanggaran atas

kewajibannya untuk melindungi dan memenuhi hak ekonomi sosial dan

budaya, sementara di lain pihak PT Lapindo Brantas merupakan aktor non-

negara yang melalukan pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya.

Sebagai akibat pelanggar hak-hak ekonomi sosial dan budaya maka Negara

dan PT Lapindo Brantas harus bertanggungjawab atas kerugian materil

maupun non-materil yang diderita oleh para korban.Ketika terjadi

pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya, maka ganti kerugian

melekat (inherent) bagian dari tanggungjawab negara dan aktor non-negara.

8683
http://www.setkab.go.id/artikel-4769-lumpur-lapindo-mengantisipasi-putusan-mk.html
diakses 15 April 2015

127
Dari hal tersebut di atas, jadi sangat jelas unsur melawan hukum

terpenuhi yaitu negara gagal menjalankan kewajiban untuk melindungi dan

memenuhi hak-hak ekonomi sosial dan budaya yang diatur secara tegas di

dalam Pasal 28 I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 2 (1) UU

Nomor 11/2005, Limburg Principles dan Maastrict Guidelines.Sementara di

dalam perspektif hak-hak ekonomi sosial dan budaya, ketika terjadi

pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya maka melekat kerugian dan

menjadi tanggungjawab negara dan aktor non-negara.Bisa dikatakan Negara

dan PT Lapindo Brantas dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum

yang bertentangan dengan Pasal 1365 KUH Perdata.8784Akibat dampak

pencemaran tersebut, maka sudah seharusnya bagi Pemerintah Indonesia

harus :

a. Mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc,

b. Dengan membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian

masalah lumpur panas, PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega

Persada harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan

pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas,

c. Aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan

lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi

pemegang saham, dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait,

seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP

Migas.

8784
Uli Parulian Sihombing. 2009. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC). Jakarta
Selatan

128
d. Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas,

bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur

panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.

e. Mengkaji ulang seluruh perUndang-Undangan yang terkait dengan

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan

aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan

keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama

dan melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di

kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali kelayakan proyek-

proyek tersebut.

129
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut hukum lingkungan indonesia, setiap pencemar memikul tanggung

jawab untuk memberi ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan

sebagaiman diatur dalam Undang-undang No.23 Tahun 1997 Sabagaimna

dignti dengan Undang-undang 32 Nomor 2009. Pencemaran yang

dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas menyebabkan PT.Lapindo Brantas

bertanggung jawab secara mutlak atau strick liability kepada korban

pencemaran, tetapi putusan pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, Perkara Perdata No. 384/Pdt.G/2006/PN.JKT.PSTTanggal 27

November 2007, dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Perkara

Perdata No. 284/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel Tanggal 27 Desember 2007. Serta

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Perkara Perdata No.

136/PDT/2008/PT.DKI tanggal 13 Juni 2008. Ditambah Putusan

Pengadilan Surabaya No.07/PPRAPER/2010/PN.SBY Tanggal 30 Maret

2010,Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan praperadilan, Hakim

menolak memberikan ganti rugi yg diajukan korban dengan pertimbngan

hukum bahwa penyebab terjdinya pencemaran adalah bencan alam yakni

gempa Jogya pada tahun 2006. Sebagaiman diatur dalam Pasal 35 ayat (2)

Undang-undang No 23 Tahun 1997 Konsukwensi hukumnya PT Lapindo

Bratas dibebaskan dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi,

tanggung jawab itu kemudian berpindah kepada Negara Republik

Indinesia. Untuk itu Pemerinta Republik Indonesia mengeluarkan Perpres

130
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan

Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan Presiden Nomor 40

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14

Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Jo Peraturan

Presiden Nomor 68 Tahun 2011 Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur

Sidoarjo Jo Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 tentang Perubahan

Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

2. Yang menjadi kendala dalam penegakan hukum ganti rugi dalam kasus

PT.Lapindo, adalah kerumitan tentnag hukum pembuktian dimana

penggugat dalam hal ini korban pencemaran harus membuktikan bahwa

hubungan antara gempa bumi diJogya dengan semburan lumpur yang

dikeluarkan PT. Lapindo Brantas.dalam konteks ini saksi ahli yang

diajukan oleh pihak penggugat menyatakna bahwa ini bencan alam

sedangkan saksi ahli yang diajukan oleh tergugat menyatakan luapan

lumpur ini ditimbulkan akibat gempa bumi tahun 2006 di Jogya. Hakim

dalam perkara ini,memutuskan untuk mengikuti alur pikir saksi ahli dari

tergugat dan menerima bahwa luapan lumpur PT.Lapindo Bratas

disebabkan oleh gempa bumi di Jogja.

131
B. SARAN

1. Para penegak hukum seharusnya memahami tujuan dibentuknya hukum

lingkungan, yakni untuk melindungi manusia dan lingkungan dari

pencemaran dan perusakan lingkungan. Oeleh karena itu dalam

mengajukan gugatan, Pengacara atau Advokat harus menerapkan Pasal-

Pasal yang tepat untuk memenangkan perkara. Hakim dalam memutus

perkara sebaiknya juga menggali nilai-nilai yg dimaksud didalam

Undang-Undang No.23 Tahun 1997.

2. Para Hakim yang memutus perkara ini seharusnya berikap adil terhadap

saksi ahli yang diajukan. Hakim seharusnya tidak menerima begitu saja

salah satu dari keterangan saksi ahli melainkan hakim harus mencari

keterangan dari saksi ahli lain yang diajukan pengadilan.

132

You might also like