You are on page 1of 6

TEORI KRITIK SASTRA FEMINIS

A. Landasan Moral Kritik Feminis


Newton (1988:263) menyatakan secara tegas bahwa salah satu perkembangan
utama dalam studi sastra dalam dua puluh tahun terakhir ini telah munculnya kritik
feminis, pada tingkat teori dan praktik. Kritik feminis pada awalnya mencerminkan
tujuan politik feminisme dalam teks penulis dan dihakimi seberapa jauh mereka bisa
berdamai dengan ideologi feminis. Tata bahasa kritikus feminis mengadopsi sudut
pandang tentang bagaimana karakter wa- nita terwakili dalam sastra. Josephine Donovan
adalah salah satu eksponen terkemuka dan dalam artikel dicetak ulang di sini berpendapat
bahwa kritik feminis akan ada pemisahan antara estetika dan aspek moral dalam teks
sastra. Keprihatinan lain yang penting dari kritik feminis adalah tulisan perempuan.
Elaine Showalter pendukung gynocriticism', di mana kekhawatiran dari wanita sebagai
penulis sangat penting. Dia berpendapat bahwa wanita sebagai pendekatan kritikus
seperti dalam citra pembaca perempuan terbatas dalam hal konsentrasi pada pandangan
laki-laki terhadap perempuan. Dia juga kritis terhadap upaya beberapa kritikus feminis
untuk mendamaikan konsep Marxis atau post-strukturalis dengan teori feminis. Elizabeth
A. Meese, sebaliknya, berpendapat bahwa kritik sastra feminis harus memanfaatkan ide-
ide dari seorang pemikir post-strukturalis seperti Foucault dan teori feminis Perancis
seperti Luce Irigaray dalam menyerang secara politik ideologi yang mendasari struktur
otoritas intrinsik yang didominasi laki-laki da- lam masyarakat interpretatif.
Lebih lanjut Donovan (1988) menyatakan bahwa pendekatan perempuan yang
mendominasi studi sastra feminis pada awal tahun 1970, masih penting bagi pedagogi
studi wanita dalam sastra. Melalui citra pendekatan perempuan, kritikus menentukan
bagaimana karakter perempuan disajikan dalam sastra. Biasanya kritikus menemukan
citra yang lain. Realitasnya, ada kritik negatif, yaitu manakala ada satu keinginan untuk
beradaptasi secara dialektis dari konsep Frankfurt pada istilah kritik Marxis. Hal ini dapat
disebut kritik negatif karena kritikus mengatakan tidak terverifikasi, struktur, dan model
yang secara historis menyangkal kemanusiaan penuh bagi perempuan. Ini berarti mencari
hal-hal negatif pada banyak sastra Barat. Di sini saya ingin meletakkan landasan moral
teoretis untuk kritik ini.
Kritik feminis berakar dari intuisi mendasar yang bersifat apriori bahwa
kedudukan perempuan adalah kesadaran diri, bukan orang lain. Konsep apriori ini
meliputi: (1) Wanita dalam sastra yang ditulis oleh pria sebagian besar dipandang sebagai
objek, mereka melayani laki-laki menggunakan kecantikannya, Sastra tersebut adalah
sudut pandang perempuan karena menyangkal kedirian, (2) Asumsi utama seorang
kritikus dalam citra perempuan harus mampu mengevaluasi keaslian karakter wanita.
Keaslian merupakan konsep yang dipinjam para eksistensialis Heidegger khususnya.
Yang dimaksud dengan itu apakah seorang individu memiliki kesadaran diri didefinisikan
kritis, sebagai lawan dari stereotip. Penilaian tersebut dibuat sesuai dengan apakah
karakter memiliki kesadaran, reflektif kritis, di mana dia adalah agen moral, mampu diri
ditentukan tindakan. Penilaian tersebut memungkin- kan kritikus feminis untuk
menentukan sejauh mana ideologi seksis mengontrol teks. Ideologi seksis tentu
mempromosikan konsep perempuan sebagai objek.
Beberapa film dari Ingmar Bergman memberikan contoh halus tentang fenomena
eksploitasi estetika karakter perempuan. Teriakan dan tampilan pertama, hujan es sebagai
penggambaran sensitif dari kehidupan empat perempuan. Keindahan visusi yang lar biasa
dari film ini cukup menggoda untuk mempromosikan peng- hakiman ini. Bagaimana
refleksi yang datang untuk menyadari bahwa wanita digunakan seolah-olah berada di
tingkat yang sama dari kepentingan moral sebagai dekorasi lingkungan. Saya meng-
gunakan estetika di sini dalam arti yang diberikan itu setidaknya sejak Kant, bahwa
apresiasi tertarik dari fenomena yang ada sebagai entitas diskrit dalam ruang dan waktu,
yang menyenangkan dalam ini atau karena ini spatio-temporal koordinat. Sebagaimana
akan kita lihat, saya percaya bahwa perceraian diperhitungkan antara estetika dan moral.
Akibatnya seorang seniman seperti Bergman dapat mengobati sosok perempuan sebagai
objek.
Dimensi estetika sastra dan film tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral. Sejak
Aristoteles, pengalaman estetis sebenarnya sudah dipahami sebagai salah satu yang
memberikan rilis, lega, ka- tarsis, dan kesenangan keutuhan. Semua karya-karya besar
Barat memuat sebuah tatanan moral. Ketika seseorang mengidentifikasi terlalu dekat
dengan penderitaan karakter dalam sebuah karya seni, atau ketika penderitaan yang
dieksploitasi ke titik di mana itu melanggar batas-batas kewajaran moral, kontinuitas
estetika adalah dislokasi. Banyak karya sastra yang tergantung pada serangkai-an citra
stereotip wanita. Stereotip perempuan melambangkan baik spiritual maupun material,
baik atau jahat. Maria, ibu, datang melalui waktu untuk memberikan contoh paling dalam
kebaikan spiritual, dan Hawa sebagai pasangan Adam, yang paling jahat dari kejahatan
fisik.
Diagram yang dibuat Donovan (1988: 266) berikut menunjukkan bagaimana
dualisme ini dipahami:
Spiritual ........... material
Roh/jiwa ........... tubuh
Perawan ........... objek seks
Mary ........... Eve
Inspirasi ........... penggoda
Kebajikan ........... kejahatan

Diagram tersebut mewujudkan pemikiran dikotomis tentang keterkaitan dua hal


yang berlawanan. Keduanya merupakan ben- tuk stereotip hidup yang lazim. Di bawah
kategori stereotip, yaitu orang yang melayani kepentingan pahlawan, adalah istri yang
sabar. Dalam kategori buruk atau jahat yang menyimpang yang me nolak atau tidak benar
melayani laki-laki atau kepentingannya: wanita pembantu/karier tua, penyihir/lesbian,
pemberang atau ibu mendominasi/istri. Beberapa karya, dianggap karya pola dasar dari
tradisi Barat, mengandalkan stereotip sederhana dari seorang wanita.
Analisis linguistik dan studi semiologikal dapat memberitahu kita banyak tentang
bagaimana ideologi budaya yang dinyatakan dalam bentuk sastra. Tapi hanya jika gaya
dipelajari dalam konteks penulis atau pandangan moral budaya terhadap perempuan.
Analisis formalis sayangnya banyak di masa lalu telah bergantung pada perceraian
nyaman antara nilai-nilai. Kritik, dengan mengabaikan pertanyaan sentral konten, telah
menjadi tidak manusiawi dalam cara yang sama seperti seni modern. Sastra pada tingkat
yang paling mendalam adalah suatu bentuk pembelajaran. Kita belajar, kita tumbuh dari
pengetahuan tentang kehidupan, psikologi, perilaku manusia dan hubungan yang kita
temukan dalam karya-karya seni berharga.
Kritik feminis dapat dibagi menjadi dua jenis tipe yang berbeda. Pertama,
berkaitan dengan wanita sebagai pembaca. Wanita sebagai konsumen laki-laki dalam
diproduksi sastra. Biasanya, pembaca perempuan mengubah pemahaman kita tentang
suatu teks yang diberikan, membangkitkan kita tentang pentingnya kode seksual. Saya
sebut ini jenis analisis kritik feminis, dan seperti jenis lain dari kritik itu adalah
penyelidikan historis didasarkan pada asumsi ideologis fenomena sastra. Subjek meliputi
gambar dan stereotip dalam sastra, kelalaian dan kesalahpahaman tentang perempuan
dalam kritik, dan celah pada pria dibangun melalui sejarah sastra. Hal ini juga berkaitan
dengan eksploitasi dan manipulasi penonton perempuan, terutama dalam budaya populer
dan film, dan dengan analisis wanita melalui tanda sebagai sistem semiotik. Kedua, kritik
feminis berkaitan dengan wanita sebagai penulis dengan wanita sebagai produsen makna
tekstual, dengan tema sejarah, genre, dan struktur sastra oleh perempuan. Subjek yang
meliputi psikodinamika kreativitas perempuan, linguistik dan masalahnya, dari bahasa
perempuan, lintasan karier individu atau kolektif sastra perempuan, sejarah sastra, dan,
tentu saja, studi penulis tertentu dan pekerjaannya. Istilah lain dalam bahasa Perancis
disebut gynocritique.

B. Kritik Feminis: Teori dan Penyegaran


Kritik sastra feminis sudah ada sejak lama. Sejak orang mempermasalahkan
perbedaan feminism dan maskulin, kritik telah ada. Dalam berbagai pertemuan sastra,
sering muncul pemrasaran yang menyoroti feminism. Feminisme adalah aliran atau
gerakan kritik sastra. Feminisme mencoba mengurai dan mensintesiskan sebuah
persamaan dan perbedaan gender. Manusia, diciptakan berbeda antara laki-laki dan
perempuan, karenanya karya sastra yang dihasilkan pun sering berbeda.
Orang selalu menyatakan bahwa kritik feminism itu selalu ditulis oleh
perempuan, untuk mengejar hak dan kewajiban. Hal ini penting, khususnya di Indonesia,
dengan hadirnya departemen baru, ada menteri peranan wanita, isu feminisme semakin
gencar. Akibatnya dalam sastra pun persoalan feminism semakin berkembang. Belum lagi
dengan hadirnya nuansa politik, yang ada diskri- minansi perempuan oleh laki-laki,
feminism semakin dikobarkan.
Showalter (1988:330-350) menurut hemat saya termasuk seorang pengamat
feminism, yang menekankan hadirnya kritik sastra feminis. Dia panjang lebar membahas
kritik feminis, dengan me- nyoroti perkembangan feminism di Amerika, Perancis, dan
Inggris. Gagasan dia, saya jadikan landasan membahas kritik sastra feminism pada bab
ini. Tentu saja harus saya rangkum dengan aneka pendapat, untuk memperkaya teori
kritik sastra feminis.
Showalter (1988) selanjutnya menyatakan berbagai hal tentang kritik feminism.
Menurut dia, dalam dialog yang baik sekali cerdas tahun 1975, Carolyn Heilbrun dan
Catharine Stimpson pernah mengidentifikasi dua kutub kritik sastra feminis. Pertama,
model penelitian feminis yang mengaitkan antara watak marah dibandingkan dengan
Perjanjian Lama serta mencari dosa-dosa dan kesalahan masa lalu. Kedua, tertarik dan
mencari imajinasi dibandingkan dengan Perjanjian Baru. Kedua hal itu diperlukan dalam
kritik sastra feminis. Mereka menyimpulkan bahwa kritik feminis terkait dengan ideologi
kepemimpinan. Misalkan di Mesir terjadi penghambaan perempuan yang dijanjikan
memiliki watak humanisme, Matius E Arnold juga berpikir bahwa kritikus sastra
ibaratnya akan binasa di padang gurun sebelum mencapai tanah yang dijanjikan
mengalami kenetralan. Maksudnya, kurang lebih jika ideologi kritik sastra feminis itu
tidak kuat, maka tidak akan berumur panjang.
Memang cukup mengundang masalah, mengapa harus kita bedakan antara karya
kaum feminism dengan maskulin. Jawaban pertanyaan ini akan melebar ke berbagai hal,
terkait dengan konteks kehidupan sastra. Hal ini patut dipertanyakan, sebab sejak Teeuw
(1987) menyampaikan ceramah mengenai feminist literary criticism, kritik sastra feminis
semakin berkembang di Indonesia. Terlebih lagi, dengan hadirnya pengarang perempuan
yang semakin membuat jebakan-jebakan inovatif, seperti St. lesmaniasita, Ayu Utami,
Jenar Mahesa Ayu, Tuty Nonka, dan lain-lain. Kehadiran pengarang perempuan, semakin
menyedot perhatian para kritikus harus berkomentar.
Kritikus sastra feminis masih mengembara di padang gurun yang amat panas.
Maksudnya, kritik sastra termaksud masih berjalan lamban, Geoffrey Hartman
mengatakan, kritikus feminis mungkin terkejut menemukan kritik-kritik yang selama ini
beredar masih sangat teoretis. Oleh karena dalam tradisi sastra Amerika padang gurun
telah menjadi domain eksklusif bagi maskulin. Feminin cen- derung ke hal-hal yang
sejuk, penuh kedamaian. Namun antara ideologi feminis dan cita-cita liberal terletak
padang gurun panas, artinya belum ada titik temu dalam konteks kritik feminis.
Persoalannya, cocok atau tidakkah teori kritik sastra feminis itu diterapkan pada
karya sastra Indonesia. Lepas dari semua itu relevan tidaknya, Culler (Sugihastuti dan
Suharto, 2002:5) sudah memberikan rambu-rambu kritis kritik sastra feminis. Menurut
dia, kritik sastra feminis adalah reading as woman, membaca sebagai perempuan. Yoder
menyatakan juga bahwa kritik sastra feminis bukan kritik terhadap perempuan, atau kritik
tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Kritik sastra feminis
adalah cara memandang sastra dengan kesadaran khusus. Yang di- maksud kesadaran
khusus adalah kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin. Hadirnya jenis kelamin itu
banyak berhubungan dengan budaya. Saya kira, pendapat ini sama halnya memandang
karya sastra dalam wacana makna yang khas.
Yang tegas, tentu ada muatan budaya tertentu yang terpantul dalam karya sastra,
Sastra yang ditulis perempuan dan laki-laki, sering ada warna yang berbeda. Kritik
feminis sampai sekarang masih dianggap tidak memiliki dasar teoretis, melainkan telah
menjadi yatim di tingkat empiris dalam badai teoretis. Maksudnya, andai kata ada kritik
sastra feminis, namun belum menggunakan dasar-dasar pemikiran yang tajam. Pada
tahun 1975, saya diyakinkan bahwa tidak ada manifesto teoretis yang cukup bisa
menjelaskan metodologi bervariasi dan ideologi yang menyebut diri mereka membaca
atau menulis dalam bentuk kritik sastra feminis. Annette Kolodny telah menambahkan
pengamatan bahwa kritik sastra feminis seharusnya disampaikan secara koheren.
Sejarawan sastra ingin mengungkap tradisi hilang dalam kritik sastra feminis.
Kritik boleh didekonstruksionis dan disintesis se- cara tekstual. Teks-teks dapat dikaitkan
dengan makna secara total. Teks perempuan tentu memiliki variasi makna jika
dibandingkan dengan karya-karya bervisi laki-laki. Freudian dan kritikus Lacanian ingin
berteori tentang hubungan perempuan dengan bahasa dan makna. Bahasa kaum
perempuan biasanya lebih damai, sensitif, dan mengandalkan kehaluasan rasa.
Sebuah kendala awal untuk membangun kerangka teoritis kritik sastra feminis
adalah keengganan banyak perempuan yang membatasi atau terikat pada kemampuan
ekspresif dan dinamis. Keterbukaan kritik feminis menarik terutama untuk Amerika yang
dirasakan banyak perdebatan seru dalam konteks teori strukturalis post-strukturalis, dan
dekonstruksionis dari tahun 1970-an. Lambang wacana sering merusak jiwa maskulin
sebab kaum feminis ingin melarikan diri. Adrienne Rich dan Marguerite Duras, yang
sering melontarkan komentar ironis dengan gaya narsisme terha- dap gaya patriarkatnya.
Kritik feminis adalah tindakan perlawanan terhadap teori, konfrontasi dengan budaya
kanon yang ada dan sejumlah penilaian sastra.
Namun sekarang tampak bahwa apa yang tampak seperti kebuntuan teoritis
sebenarnya merupakan fase evolusi kritik feminis. Etika kebangkitan telah berhasil,
setidaknya di perguruan tinggi, dengan isolasi kritik feminis dari komunitas kritis
semakin teoritis terhadap tulisan perempuan. Pertanyaan tentang bagaimana kritik
feminis harus mendefinisikan dirinya dalam kaitannya dengan teori kritis baru dan teori
yang telah terjadi perdebatan tajam di Eropa dan Amerika Serikat. Nina Auerbach telah
mencatat tidak adanya dialog dan menanyakan apakah kritik feminis sendiri harus
menerima tanggung jawab.
Kritikus feminis tampak sangat enggan untuk mendefinisikan diri mereka yang
merasa belum tahu banyak tentang perkembangan teori kritik. Ada rasa di mana
persaudaraan kita telah terlalu kuat. Namun, bukannya menurun komunikasi dengan
jaringan ini, kritik feminis memang berbicara langsung kepada mereka, di media mereka
sendiri. Ada dua model yang berbeda dari kritik feminis, dan untuk menggabungkan
mereka, yaitu (1) tetap permanen pada teori dan (2) dibingungkan oleh teoretis. Modus
pertama adalah ideologis, itu berkaitan dengan feminis sebagai pembaca, dan
menawarkan pembacaan teks feminis yang menganggap imajinasi dan stereotipe
perempuan dalam sastra. Kelalaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik
dan wanita-sebagai-tanda dalam sistem semiotik. Hal ini tidak semua pembacaan feminis
dapat lakukan, dapat menjadi tindakan intelektual.
Sebuah kritik radikal terhadap sastra feminis adalah bagaimana kritikus mampu
menghubungkan antara sastra dengan hidup kita. Bagaimana kita telah hidup, telah
diarahkan untuk membayangkan diri kita sendiri. bahasa kita telah terjebak serta
dibebaskan, tindakan yang menanamkan hak prerogatif terhadap laki-laki, dan bagaimana
kita dapat mulai melihat diri ke depan. Pertemuan dan jawaban pertanyaan ini dapat
menyegarkan sastra. Membaca feminis atau kritik feminis, pada dasarnya merupakan cara
penafsiran. Salah satu teks yang kompleks akan menampung keragaman hidup kaum
feminis.

You might also like