PMII RAYON SYARI'AH DAN HUK'
KOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG
MENYINGKAP TABIR GELAP DIBALIK
KEPALSUAN HUKUM STRUKTURAL
Dengan mengucap atas nama kebebasan sivitas akademika (UU No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi) dan seorang mahasiswa dengan peran dan
fungsinya kecewa atas sejumlah pelanggaran hukum, pengelabuan dan
kepalsuan hukum yang dipertontonkan hari ini. Dimulai revisi UU KPK yang
berimplikasi pada pelemahan dan adanya DE-INDEPENDENSI KPK dan
terpilihny komisioner yang bermasalah menjadi akar politisasi di tubuh KPK.
Catatan lain atas pemufakatan membungkaman sipil ditandai dengan REVISI
JILID II UU ITE yang masih melanggengkan pasal-pasal karet yang berpotensi
menjadi SLAAP atas kebebasan berekpresi yang ditaburkan oleh pemerintah
dan telah memakan korban jiwa di antaranya kasus fatia-haris.
pejabat publik tak lagi sebagai pemangku kebijakan yang bisa diuji dan dinilai
kinerja publiknya melainkan sosok pejabat privat nan baper yang mampu
melakukan serangkaian pembungkaman sipil.
Hal ini tampak jelas disalahgunakan untuk membungkam kebebasan
berekspresi dan kebebasan pers. Bahkan, dimulai disahkan tahun 2008 dan
revisi pertama 2016, UU ITE telah menunjukkan fungsi otoritarianisme lewat
aturan main hukum. Revisi terbaru itulah yang mengindikasikan adanya
proses 'SLAAP' pada pasal-pasal antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang
kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2)
yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan
dalam Pasal 45, 45A, dan 45B..
Tambahan, (REVISI) salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan.
kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan
berpotensi mengkriminalisasi.masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya
adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Padahal dalam penjabaran
terkait Hak Asasi Manusia, yang tidak dibolehkan dalam HAM ada dua yaitu
ujaran kebencian (hate speech) dan propaganda perang. Sedangkan kritik,
sudah jelas disebut dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political
Rights bahwa kritik terhadap pejabat adalah bagian dari kebebasan
berekspresi.
Potensi...PMII RAYON SYARI'AH DAN HUKUM
KOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG
Potensi penggunaan 'serangan' oleh pejabat publik dan sejenisnya atas lemparan
kritik dianggap sebagai penyerangan individu, yang jelas pula (konyol) justru
dikenakan pada ranah pidana. Bila, komparatifnya, negara-negara modern justru,
Menurut Eko Riyadi (Akademikus Tata Negara UII) menerapkan prosedural
perdata. Jelas-jelas memang ini sebagai upaya untuk pemufakatan membungkam
atas kritisisme.
Selain itu, dengan MK mengubah independennya dan beralih sikap secara tak
wajar dengan lompatan kesimpulan sebagaimana termaktub dalam amar
putusan yang terus mendorong dan terkesan bernafsu untuk ‘dengan cepat'
memutus perkara putusan 90 dengan mengubah batas umur capres-cawapres.
Kini, apa yang tersisa hanyalah sebuah frasa 'pelecahan konstitusi’ sebab tak
sebagaimana harusnya MK tak memilah mana yang dapat menjadi open legal
policy dan memutuskan tanpa argumentasi dan legal reasing yang jelas serta
berubah-ubah. Dari hasil putusan tersebut timbul ketidakkonsistenan atas
kelabilan menolak perkara sebelum akhirnya mengambulkan yang padahal
secara objek masih sama.
Lembaga peradilan berdasarkan pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas seharusnya
menampakan majelis yang independen dan bebas dari intervensi manapun.
Dalam perkara ini, MK seharusnya menerapkan judicial restraint dengan
manahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk UU dalam
menentukan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Tentu
sebagai balancing atas trias.politica yang selama ini-dibagi untuk menjaga
kekuasaan tetap saling mengontrol (Separation Of Powers). Namun, alih-alih
demikian, MK justru menjadi positive legislator dan merangkap menjadi
Pembuat Undang-undang.
Sayangnya, semuanya diborong oleh MK dan menjadikannya ‘beban pokitik’
MK untuk menjadikannya bidak elite politik dalam pusaran politik dalam
memutus berbagai political quetions. Ujung-ujungnya nafas supremasi hukum
yang menjadi pijakan tuntutan reformasi 98' atas KKN telah ditampakkan yang
sekali lagi telah hadir ditengah-tengah demokrasi yang kian demagog dan neo-
pengkhianatan Konstitusi.
#RUNTUHNYASUPREMASIHUKUM
#TUNGGANGMENUNUNGGANGKONSTITUSI