You are on page 1of 2

Tugas Bersama Asuh Anak PMI

JEMBER KIDUL, Radar Jember - Keberadaan pekerja migran Indonesia (PMI) bukan hal yang asing lagi.
Kerap disebut sebagai pahlawan devisa, kehidupan dan keluarganya belum sepenuhnya sejahtera. Alih-
alih mendapatkan perhatian, keluarga, terutama anak PMI kerap mendapatkan stigma tersendiri dari
lingkungannya.

Dari jumlah PMI asal Jember, mayoritas adalah perempuan. Rata-rata, mereka bekerja di sektor rumah
tangga. Alasan utamanya ialah kendala ekonomi keluarga. Sedangkan lapangan kerja sempit. Akhirnya
membulatkan tekad mereka untuk mengadu nasib di negeri orang dengan harapan mendapatkan upah
yang jauh lebih besar. Tak sedikit dari mereka yang meninggalkan anak di kampung halaman. Dirawat
oleh suami atau dititipkan kepada anggota keluarga lainnya.

Koordinator bidang perlindungan PMI Direktorat Kementerian Ketenagakerjaan RI, M Ridho Amrullah
mengutarakan, orang tua yang bekerja di luar negeri akan berdampak kepada anak. Dari sinilah
kemudian dibutuhkannya pengasuhan komunitas. Kolaborasi berbagai pihak dalam pengasuhan bersama
anak pekerja migran (APM). Konseling, bimbingan pengelolaan keuangan, baca tulis, seni, olahraga,
teknologi, kesehatan, hingga kerohanian.

Berbagai stakeholder perlu bergandeng tangan berperan aktif mendukungnya. Termasuk peran tokoh
masyarakat yang dianggap penting. “Perlu kami optimalkan secara bersama dan juga melibatkan
masyarakat,” ucapnya dalam lokakarya pengasuhan bersama berbasis desa yang digelar oleh Tanoker di
Ledokombo, kemarin (17/10).

Sementara itu, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI, Eko Novi Ariyanti Rahayu
Damayanti menyatakan, pengasuhan menjadi bagian prioritas pembangunan nasional. Dalam hal ini
masuk ke dalam arahan kedua presiden RI. “Peran ibu dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan,”
jelasnya.

Dia menyebut, pengasuhan bersama mengikuti model pentahelix. Termasuk pengasuhan berbasis
komunitas. Ini tercantum dalam peraturan menteri PPPA no 13 tahun 21 tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Anak tidak boleh dibiarkan bertumbuh
seorang diri tanpa bimbingan dan pendampingan. Sebagai APM, seringkali mereka mendapatkan
sebutan diskriminatif oleh teman-teman atau di lingkungannya. Inilah yang akan berdampak pada
psikologi anak dan menjadi kenangan buruk yang dibawa hingga dewasa. Masalah tersebut harus
menjadi perhatian banyak pihak.

Dijelaskan, pengasuhan anak sejalan dengan tujuan pembangunan desa yang berkelanjutan hingga
menjadi sebuah upaya mewujudkan desa ramah perempuan dan peduli anak (DRPPA). “Pengasuhan itu
tidak hanya oleh ibu, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan juga laki-laki serta komunitas,” ulas Novi.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB)
Jember, Poerwahjoedi mengulas kasus-kasus kekerasan anak dan perempuan di Jember yang angkanya
terus naik. Pihaknya mendorong desa yang telah memenuhi layak anak perlahan menjadi DRPPA. Salah
satunya mewujudkan tindakan non diskriminasi dan menjunjung tinggi demokrasi. “Pengembangan
kapasitas pada kader-kader desa menjadi motor penggerak,” tuturnya. (sil/dwi)

You might also like