You are on page 1of 13

MAKALAH FILSAFAT SEJARAH

FILSAFAT SEJARAH ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA PASCA IBN


KHALDUN

Oleh
RADEN MUHAMMAD TARHAN
808100323010

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2023
A. Pendahuluan
Filsafat sejarah merupakan sebuah cabang ilmu dalam kajian sejarah,
keikutsertaan filsafat dalam pengkajian sejarah sangat dibutuhkan
dalam memaknai intisari sejarah itu sendiri, seorang sejarawan yang
tidak memiliki asas filsafat atau etis tidak memiliki ukuran untuk
menghitung perubahan atau kontinuitas dan karenanya tidak dapat
menimbang perkembangan, kebangkitan, dan kejatuhan 1 .
Pengertian yang diberikan terhadap filsafat sejarah
sesungguhnya sangat beragam 2 . Secara umum, filsafat sejarah
didefinisikan sebagai cabang dari ilmu sejarah yang mempelajari dan
menyelidiki teori-teori tentang proses sejarah umat manusia secara
keseluruhan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Istilah filsafat sejarah
berasal dari Voltaire (1694-1778). 3 G.W.F. Hegel memberikan
pengertian bahwa filsafat sejarah tidak menggunakan sarana apapun
kecuali pertimbangan pemikiran terhadapnya 4 . Penekanan dan kejelian
pemikiran terhadap sejarah merupakan hal yang paling mendasar dalam
filsafat sejarah, hal ini sangat menekankan pemikiran berdasarkan rasio
sehingga intisari yang terkandung dalam sejarah sebagaimana dimaksud
diatas dapat dicermati dan resapi dengan baik.
Secara spesifik, filsafat sejarah dapat diartikan sebagai tinjauan
terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis, untuk mengetahui
faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan historis itu, untuk
kemudian mengintisarikan hukum-hukum umum yang tepat, yang
1
Louis Gottschalk, 2008; Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta, UI
Press, hal. 9
2
Mengenai spesifikasi pengertian tentang filsafat sejarah dapat kita bandingkan
dalam karya Misri A. Muchsin berjudul Filsafat Sejarah dalam Islam hal. 29-32 yang
memaparkan pendapat para ahli tentang defenisi filsafat sejarah. Dalam tulisannya, Misri
dengan tegas menggunakan pengertian filsafat sejarah yang digunakan oleh Zainab al-Hudairi.
Pengertian Filsafat Sejarah oleh Zainab ternyata menyadur konsepsi filsafat sejarah Ibn
Khaldun hal ini dapat kita temukan dalam buku yang sama hal. 78
3
Purwo Husodo, Filsafat Sejarah; Oswald Spengler, Yogyakarta; Interaksi Publiser,
2010, hal. 19.
4
G.W.F Hegel, Filsafat Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar. 2007, hal. 11
mengarahkan pada perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam
berbagai generasi. 5 Filsafat sejarah merupakan salah satu metode dalam
penulisan historiografi yang bertitik tekan pada kajian sejarah kritis,
rekunstruktif atau bahkan dekunstruktif terhadap karya-karya sejarah,
pemikiran sejarah dan intrepetasi sejarah 6 dimana hakikat yang
terkandung didalamnya adalah pengertian observasi dan usaha mencari
kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal
benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tenteng substansi,
essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa 7 .
Tulisan ini berupaya mengangkat perkembangan filsafat sejarah
masa Ibnu Khaldun dan perkembangan setelahnya terutama masa
modern. Banyak tokoh yang bermunculan dalam kalangan sejarawan
Islam, seperti Malik Bennabi, Fazlurrahman, Murtadha Muthahhari,
Abd. Hamid Shiddiqi bahkan berkembang sampai ke Indonesia seperti
Hamka dan Ali Syariati. Dikarenakan keterbatasan dan pertimbangan
lain, maka dalam bahasan ini akan penulis ungkap pemikiran Ibnu
Khaldun dan Malik Bennabi. Hal ini dilakukan untuk melihat
bagaimana pengaruh pemikiran Filsafat Sejarah Islam kepada para
sejarawan muslim periode setelahnya.

B. Biografi Singkat Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun merupakan tokoh penting dalam peradaban Islam abad
ke14. Dalam dunia modern, ia mendapatkan beragam berbagai gelar, mulai
dari bapak sosiologi, peletak dasar filsafat sejarah, perintis ilmu ekonomi,
hingga penggagas teori politik yang brilian.8 Adapun nama lengkapnya adalah
Abdul AlRahman Ibnu Khaldun (1332–1406 M) lahir di Tunisia pada tanggal

5
Misri A. Muhsin, Filsafat ..., hal. 31
6
Nurul Haq, Historiografi, hand out pertemuan ke 1, matakuliah
Historiografi, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Agama dan
Filsafat, Konsentrasi SKI, 2010, hal. 5
7
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, terj. Ahmadie Thoha, cet. 3, Jakarta; Pustaka Firdaus,
2000, hal. 3
8
Hasanul Rizka, Ibnu Khaldun Pelopor Filsafat Sejarah Modern (Jakarta :Surat Kabar Republika
Edisi Senin 19 Juni 2017), 4.
27 Mei 1332 M (1 Ramadhan 732 H) dengan nama lengkap Waliyudin
Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Muhammad
bin Al-Hassan. Ia berasal dari keluarga Arab Spanyol yang jejak
keturunannya bisa ditelusuri sampai pada sebuah suku di Hadramaut
(Yaman). Pendiri keluarga ini pindah pada abad ke-8 dengan beberapa orang
berkebangsaan Yaman ke Spanyol; pada mulanya mereka tinggal di Seville
(Andalusia) sampai abad ke-13. Abdul Al-Rahman sendiri memimpin
beberapa kantor pemerintahan di Fez (Maroko) sebelum diberhentikan
dengan tidak hormat (1326 M), lalu beralih menjadi pelayan Sultan
Muhammad V di Granada (Spanyol). Sultan lalu memberinya misi penting
untuk menegosiasikan perdamaian kepada raja-raja Castille. Dua tahun
kemudian, merasa telah membangkitkan rasa cemburu salah seorang
temannya yang berkuasa, yaitu Ibnu Al-Khathib, Ibnu Khaldun kembali ke
Maroko. Ibnu Khaldun adalah seorang perumus filsafat sejarah. Para
sejarawan tersebut semula bertempat tinggal di Spanyol dan kemudian pindah
ke Afrika.9 Disini ia menduduki beberapa jabatan, dan akhirnya menetap di
Qal’at Ibnu Salamah.10
Tempat ia mengerjakan karyanya tentang sejarah, dan tinggal disana
sampai 1378 M. Pada 1382 M ia memulai perjalanannya, tetapi kemudian
berhenti di Kairo untuk mengajar di Masjid AlAzhar. Dua tahun kemudian ia
diangkat menjadi kepala qadhi madzhab Maliki di Kairo oleh Sultan Al-Zahir
dari dinasti Mamluk (Mesir).

C. Ibnu Khaldun dan Filsafat Sejarah Islam


Filsafat sejarah dalam pengertian yang paling sederhana adalah
tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-
peristiwa historis itu, untuk kemudian mengiktisarkan hukum-hukum yang
tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam
berbagai masa dan generasi.Dalam hakikat sejarah, terkandung pengertian
9
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 122.
10
Sekarang dikenal dengan Tawghzut, sebelah Timur dikawasan di Aljazair Utara
observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqîq), keterangan yang mendalam
tentang sebab dan asal sesuatu. Pengetahuan tentang substansi, esensi dan
sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Para sejarawan muslim terkemuka
telah membicarakan teori dan peristiwa sejarah secara luas dan mendalam. Di
antara mereka adalah: Ibnu Ishaq, yang mengarang kitab “Sirah
Muhammad”, At-Thabari yang mengarang kitab “Tarikh Al-Umam Wa Al-
Muluk”, dan Ibnu Khaldun yang mengarang kitab “Muqaddimah”. Dalam
mengeksplorasi sejarah, Ibnu Khaldun mempunyai keistimewaan
dibandingkan dengan ahli sejarah lainnya. Dia mampu menegakkan kembali
otoritas kebenaran sejarah melalui pembacaan yang kritis terhadap peristiwa
masa lalu. Dalam Muqaddimah, ia membagi pembahasan tentang sejarah dan
peradaban umat manusia ke dalam empat bagian yang terdiri dari: satu

pengantar dan tiga pokok bahasan11 Pertama, pengantar yang menguraikan


tentang manfaat besar historiografi (ilmu sejarah), pengertian tentang
segala metode historiografi dan secara sepintas menyebutkan kesalahan para
sejarawan. Kedua, pembahasan pertama yang menguraikan tentang
peradaban (‘umran) dan ciri-cirinya yang hakiki. Ciri tersebut mencakup:
kekuasaan, pemerintahan, mata pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian
dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya.
Ketiga, pembahasan kedua yang menguraikan sejarah, generasi, dan
negara sejak terciptanya alam hingga kini. Dalam pokok bahasan ini juga
mengandung ulasan sekilas tentang bangsa- bangsa terkenal dan negara-
negara yang sezaman dengan mereka. Seperti: bangsa Nabti, Siryani, Persia,
Israel, Qibti, Yunani, Rumawi, Turki dan Eropa.
Keempat, pembahasan ketiga menguraikan sejarah bangsa Barbar dan
Zanathah, yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan
negara-negara Maghribi. Banyak pemikir sejarah yang mengatakan bahwa
Ibnu Khaldun merupakan penggagas filsafat sejarah. Hal ini bisa dibuktikan
dari berbagai karya Ibnu Khaldun yang tersebar di belahan dunia dan
11
Misbâh al-‫آ‬mily, Ibnu Khaldun; Wa Tawaffuq al-Fikr al-Araby ‘Ala al-Fikr al-Yûnâny bi
Iktisyâfihi Haqâiq al-Falsafah, (Ad-Dâr al-Jamâhîriyyah li an-Nasyr wa at-Tauzî’ wa al-I’lân,
cet I, 1988), hlm. 8.
gagasannya yang cemerlang mengenai sejarah. Menurutnya, masyarakat
adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-
hukum khusus yang berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat
diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena
sosial. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ‘ashabiah merupakan asas
berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang
menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.
Kata kunci konsepsi Ibnu Khaldun tentang Filsafat sejarah adalah
“Ibrar”, yang berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna. Kata itu pula
yang kemudian digunakan Khaldun sebagai judul buku, yang didalamnya ia
menuliskan seluruh pikirannya tentang sejarah. Secara terminologis, Ibrar,
dalam pengertian seluruh bahasa Semit, berarti melalui, melampaui,
menyebrang, atau melanggar perbatasan. Kelompok sufi menggunakan kata
itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka. Dalam pengertian,
untuk melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik yang lebih
jauh (to the world beyond).
Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibnu Khaldun, penting
dipahami definisi sejarah yang diberikannya. Khaldun melihat dua sisi dalam
bangunan sejarah, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Dari sisi luar, sejarah tak
lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika
dilihat secara lebih mendalam, sejarah merupakan penalaran kritis (nadhar)
dan usaha cermat untuk mencari kebenaran. Sejarah merupakan penjelasan
cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Ia merupakan
pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu
terjadi. Definisi sejarah tentang demikian membawa Khaldun untuk
berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam filsafat (hikmah). Oleh
karenanya, Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri.12
Dengan pertautan sejarah pada filsafat, Khaldun tampaknya ingin
mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif
kepada filsafat. Pada pihak lain, filsafat menawarkan kekuatan logis kepada

12
Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2012), 256
sejarah. Dengan aset logika kritis, seorang sejarawan akan mampu menyaring
dan mengkritik sumber sejarah baik tulisan maupun lisan sebelum ia sampai
pada proses penyajian final dari penyelidikannya. Pandangan inilah yang
membawa Khaldun untuk merumuskan tujuh kritik dalam historiografi yang
digunakan dalam penulisan sejarah, sebagai cerminan dari sikap
kesejarawanannya yang cermat diantaranya :
Pertama, sikap memihak pada pendapat dan madzhab-madzhab
tertentu. Apabila piukiran dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika
menerima suatu keterangan akan menyelidiki dan menimbang-nimbangnya
terlebih dahulu sampai ia dapat menyerpih kebenaran dan ketidakbenaran.
Tetapi bilamana pikiran seseorang itu berat sebelah kepada salah satu
pendapat atau kepercayaan, maka ia akan berpihak pada keterangan-
keterangan yang menguntungkan pendapatnya. Oleh karena itu sikap
memihak akan menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan
pertimbangan dan kecenderungan melakukan kesalahan.
Kedua, terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, padahal
penuturan apapun seharusnya baru bisa diterima apabila telah melakukan
ta"dil dan tajrih (personality critism). Metode ta"dil dan tajrih adalah satu
metode yang disusun oleh para penutur sunnah Nabi. Metode ini berupa suatu
penelitian cermat yang dilakukan untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran
si penutur hadits. Informasi-informasi yang dihasilkan oleh penelitian ini
dihimpun, dan setiap kali diperlukan untuk menguji kebenaran suatu hadits, ia
kembali digunakan atau di silang-saling rujukan. Karena itu, kumpulan
informasi ini akan membentuk ensiklopedi-ensiklopedi yang menjadi rujukan
setiap ilmuan. Dari kesemuanya itu kemudian diikhtisarkan sejumlah prinsip
sebagai pembantu dalam meneliti suatu hadits. Khaldun menyatakan bahwa
metode ta"dil dan tajrih merupakan langkah kedua dalam melakukan kritik
terhadap suatu informasi sejarah. Langkah pertama adalah menilai apakah
informasi sejarah ini sendiri merupakan hal yang mungkin atau mustahil.
Metode ta"dil dan tajrih baru dilakukan setelah diketahui bahwa informasi
sejarah itu sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi. Bilamana informasi
itu sendiri mustahil terjadi, maka tidak ada gunanya dilakukan ta"dil dan
tajrih.
Ketiga, gagal menangkap maksud-maksud yang dilihat dan di dengar
serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan. Banyak para
pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat
memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya. Dan
juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa yang dipikirkan
dan diprasangkainya, sehingga terjatuh dalam kekeliruan. Sebab ketiga ini
meliputi pengamatan psikologis yang benar. Jadi, kadang-kadang si pengamat
sejarah benar dalam mencatat suatu berita, tetapi ia keliru dalam
memahaminya. Dengan kata lain, ia menuliskan berita tersebut berdasarkan
persepsinya, yang berbeda dengan hakikatnya, padahal persepsinya itu salah.
Keempat, persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber berita.
Pada umumnya hal ini sering terjadi dalam bentuk terlalu memutlakan
“kebenaran” yang disodorkan penutur berita. Dengan kata lain, seorang
sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita itu
telah merupakan kebenaran, sehingga tidak perlu diutak-atik lagi. Faktor yang
ini dirujukan pula pada factor kedua.
Kelima, kelemahan dalam mencocokan keadaan dengan kejadian yang
sebenarnya. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang
dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikan peristiwa itu. Dalam hal ini
apabila sejarawan tidak menyadari pemutarbalikan berita-berita itu, maka
dengan tidak sengaja ia telah menuturkan berita-berita yang tidak benar
dalam penuturannya.
Keenam, kecenderungan manusia untuk dekat kepada para pembesar
dan figur-figur yang berpengaruh dengan jalan memuji-muji, menyiarkan
kemahsyuran, membujuk-bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka
dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka.
Hasil semua ini adalah terciptanya gambaran yang keliru tentang peristiwa-
peristiwa sejarah
ketujuh, ketidaktahuan tentang hukum-hukum watak dan perubahan
masyarakat. padahal segala sesuatu, baik benda maupun perbuatan, tunduk
kepada hukum watak dan hukum perubahan. Seandainya si pendengar
memahami watak peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta kondisinya,
maka pengetahuan seperti ini akan membantunya melebihi apapun, dalam
menguraikan setiap peristiwa yang dicatatnya dan untuk memilah kebenaran
dari kebohongan yang terkandung dalam catatan itu. Dengan menggunakan
kerangka tujuh kritik ini, Khaldun mengkritik berbagai sarjana sejarah,
diantaranya adalah Al-Mas"udi yang dianggap lengah dan mempercayai
berita-berita yang tidak masuk akal. Ibnu Khaldun berpendapat, penyelidikan
terhadap peristiwa sejarah harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu
bantu diistilahkan Khaldun sebagai ilmu kultur (Ilm al-Umran). Ilmu ini
berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang
mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibatakibat dari perbuatan itu,
sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang
dikembangkan Ibnu Khaldun pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-
Qur"an. Kenyataan ini, lanjutnya pernah dikemukakan Muhammad Iqbal
yang mengatakan bahwa Mukkadimah Ibnu Khaldun penuh inspirasi Al-
qur’an yang didapatkan pengarangnya.13
Sebagai seorang filosof sejarah, Khaldun mengatakan bahwa
pertautan sejarah pada filsafat mengantarkannya pada pengertian yang
sederhana bahwa filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa
historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang
mengendalikan peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan
hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai
bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Sebagian berpendapat
bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka tertentu dan bukannya
secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah upaya untuk mengetahui
kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang
ditujunya, ataupun tujuan yang hendak dicapainya. Dalam kasus yang

13
Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2012), 258
demikian ini, filsafat sejarah merupakan wawasan atau penilaian seseorang
pemikir terhadap sejarah.14

D. Perkembangan Filsafat Sejarah Pasca Ibnu Khaldun


1. Malik Bennabi (1909-1973)
Malik Bennabi (1905-1973 M) merupakan salah satu pemikir
kontemporer yang sangat menonjol di dunia Islam. Bahkan, jika dikaitkan
dengan konsep sejarah dan peradaban, ia dapat ditempatkan sebagai pemikir
Muslim terpenting setelah Ibn Khaldun (1332-1406). Bennabi lahir di kota
Konstantin, Aljazair, pada tanggal 1 Desember 1905 (ada juga yang
menyebutkan tanggal 1 Januari), merupakan satu-satunya anak laki-laki dari
lima bersaudara. Sebelum memasuki sebuah sekolah al-Qur’an (kuttab),
Bennabi kecil biasa mendengarkan cerita-cerita fabel dari neneknya yang
agaknya berfungsi sebagai sekolah pertama yang ikut membentuk
kepribadiannya.15 Pada masa Perang Dunia I, ketika usinya sekitar sembilan
tahun, Bennabi sering mendengar keluhan kakeknya tentang berbagai
persoalan sosial dan ekonomi di Aljazair. Hal ini ikut membantu pula bagi
terbentuknya gagasan awal Bennabi, antara lain kesimpulannya bahwa
'struktur ekonomi mengubah strukrur kultural dan semua aspek kehidupan' 16
suatu corak pemikiran yang searah dengan gagasan Karl Marx tentang
ekonomi sebagai superstruktur.17 Pada tahun 1921, Bennabi masuk ke
Madrasah Konstantin (Lycee Franco-Musulman), suatu sekolah yang
didirikan untuk mencetak suatu kelas birokrat. Pengajaran di sekolah ini
diberikan dalam bahasa Arab dan Prancis. Selama periode ini, ia juga
bergabung dengan majlis pengajaran di Masjid Agung Konstantin untuk
belajar bahasa Arab dari Syeikh Abdul Majid. Sejak masa itu, ia mulai
tertarik dengan syair-syair Arab klasik periode Jahiliyyah, Umayyah, dan

14
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), 153
15
Fawzia Bariun, Malik Bennabi: Sosiolog Muslim Masa Kini (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 54.
16
Ibid.
17
T.Z. Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre, terj. Andi Iswanto dan Deddy
Andiran Utama (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. 279
Abbasiyyah; juga pengalaman menarik ketika berkenalan dengan puisi-puisi
modern.18

2. Konsep Tiga Tangga Peradaban Menurut Bennabi


Seperti Ibn Khaldun, Bennabi berupaya menginterpretasikan sejarah
Islam secara umum dalam perspektif „teori siklus‟. Namun, Bennabi tidak
menggunakan gagasan Ibn Khaldun yang menegaskan bahwa kesatuan suku
Badui („ashabiyyah) dapat mengantarkan pada terbentuknya suatu negara
yang berpindah-pindah (istiqrar) akan menghasilkan kejayaan (sharaf) dan
berakhir dengan kehancuran (inhiyar). Sebagai gantinya, ia menguraikan
pemikairan Ibn Khaldun tersebut dan mengembangkan skematisasi tiga
tangga peradaban sebagai berikut:
Pertama, tangga spiritual. Ketika manusia berada pada tangga fithrah,
menurut Bennabi, mereka diarahkan terutama oleh insting alaminya. Ketika
gagasan spiritual atau agama muncul, maka gagasan spiritual dan agama
tersebut menundukkan dan menekan insting mereka kepada suatu “proses
bersyarat”. Ini tidak berarti insting dihilangkan, sebaliknya dituntun pada
suatu hubungan fungsional terhadap agama. Orang-orang yang berada dalam
situasi ini dibebaskan dari kondisi alamiahnya, sementara potensi spiritual
mereka mengontrol kehidupan mereka. Dengan menerapkan pandangan
teoritis ini terhadap sejarah Islam, Bennabi menilai periode spiritual ini
berawal dari titik ketika pesan Nabi Muhammad saw diterima, dan berakhir
pada perang Shiffin. Selama periode ini kerangka pikir dan sikap masyarakat
terhadap kehidupan sepenuhnya spiritual. Bennabi menunjuk pada sebuah
peristiwa sejarah untuk mendukung teorinya, baginya, hanya spirit yang
memberikan kepada manusia kesempatan untuk naik dan maju untuk
membentuk peradaban. Ketika jiwa itu hilang, peradaban akan runtuh, orang
yang kehilangan kemampuannya untuk naik, tidak dapat dituntun tetapi
terjerumus kepada keruntuhan.

18
Bariun, Malik Bennabi..., hal. 56.
Kedua, tangga rasional. Sebagai masyarakat yang terus menjalankan
prinsip-prinsip keagamaannya dan mengintegrasikan ikatan-ikatan
internalnya, agama akan tersebar ke pelosok dunia. Bagi Bennabi, 'peradaban
Islam sebagai daya dorong, dari kedalaman jiwa, menyebar secara horizontal
di dunia, dari pantai Atlantik sampai perbatasan Cina.
Ketiga, tangga naluri. Periode ini ditandai dengan 'kelemahan dan
kekacauan'. Kekacauan semacam itu tak terhindarkan karena naluri menjadi
bebas. Menurut Bennabi, akal telah kehilangan fungsi sosialnya, karena
manusia kehilangan 'tensi' keimanannya. Masyarakat akan masuk 'masa gelap
sejarah' sebagaimana siklus peradaban juga berakhir. Bennabi tidak menyebut
periode tertentu sejarah Islam yang mewakili tangga ini. Namun, dalam
skema historis, secara jelas yang dimaksudkan adalah periode keruntuhan
moral dan politik negara-negara Islam sebelum serangan Mongol dan Turki.
Diagram yang diberikan Bennabi untuk menjelaskan teorinya (lihat gambar)
menunjukkan bahwa ia menilai abad ke14, periode yang bersamaan dengan
kehidupan Ibn Khaldun, sebagai titik balik keruntuhan. Di samping itu,
Bennabi menilai masa al-Muwahhidun adalah fase terakhir peradaban Islam,
dan meyakini bahwa orang-orang pasca alMuwahidun berada 'di luar'
peradaban (kharj al-hadharah).

E. Simpulan
Filsafat sejarah Islam sesungguhnya telah diletakkan dasar-dasar
pemikirannya oleh Ibnu Khaldun sekaligus sebagai orang yang
memperkenalkan sejarah kritis dalam Islam. Pengaruh pemikirannya
berdampak besar dalam perkembangan filsafat sejarah kontemporer, tidak
hanya bagi historiografi Islam dalam karya-karya sejarah setelahnya hingga
masa modern seperti Malik Bennabi. Pemikiran filsafat sejarah Ibnu Khaldun
berpengaruh pula dalam pemikiran sejarah kritis yang berkembang di barat.
Malik Bennabi dengan konsep tiga tangga peradaban dapat dilihat dan
disandingkan dengan pemikiran Ibnu Khaldun, yaitu : tangga spiritual,
rasional dan tangga naluri. Tangga ini ditandai dengan 'kelemahan dan
kekacauan.

DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Historiografi Islam Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.

Fawzia Bariun, Malik Bennabi: Sosiolog Muslim Masa Kini, Bandung: Pustaka,
1998.

G.W.F Hegel, Filsafat Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar. 2007.

Hasanul Rizka, Ibnu Khaldun Pelopor Filsafat Sejarah Modern, Jakarta :Surat
Kabar Republika Edisi Senin 19 Juni 2017.

Ibnu Khaldun, Muqoddimah, terj. Ahmadie Thoha, cet. 3, Jakarta; Pustaka


Firdaus, 2000.

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta, UI Press.


2008.

Misbâh al-‫آ‬mily, Ibnu Khaldun; Wa Tawaffuq al-Fikr al-Araby ‘Ala al-Fikr


al-Yûnâny bi Iktisyâfihi Haqâiq al-Falsafah, Ad-Dâr al-Jamâhîriyyah
li an-Nasyr wa at-Tauzî’ wa al-I’lân, cet I, 1988.

Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, Bandung : CV. Pustaka


Setia, 2012.

Purwo Husodo, Filsafat Sejarah; Oswald Spengler, Yogyakarta; Interaksi


Publiser, 2010.

Z. Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre, terj. Andi Iswanto dan
Deddy Andiran Utama. Yogyakarta: Jendela, 2002.

You might also like