You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Pemvigus vulgaris merupakan bentuk penyakit autoimun berbula kronik yang


paling sering dijumpai, sekitar 80% dari semua kasus. 1 Penyakit ini menyerang kulit
dan lapisan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula
intraepidermal akibat proses akantolisis (hilangnya daya kohesi antar sel-sel
epidermis) dan secara imunopatologik akan ditemukan antibodi terhadap komponen
desmosom pada permukaan keratinosit.1

Pemvigus vulgaris tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa
dan ras. Didapatkan frekuensi yang tidak jauh berbeda antara laki-laki dan
perempuan.1 Angka kejadian pemvigus vulgaris bervariasi 0,5-3,2 kasus per
100.000 populasi. Pemvigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang
sering terjadi di negara-negara timur seperti India, Malaysia, China dan Timur
tengah.2

Penyebab pasti penyakit pemfigus vulgaris belum diketahui. Kemungkinan


yang masih relevan adalah pengaruh genetik dan lebih sering menyerang pasien yang
telah memiliki penyakit autoimun lainnya sebelumnya.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PEMFIGUS VULGARIS
2.1 DEFINISI
Pemfigus berasal dari bahsa yunani yaitu dari kata pemphix yang artinya
gelembung atau bula. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun bula
kronik,menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai
dengan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel
keratinosit,yang menyebabkan timbulnya reaksi pemisahan sel-sel epidermis
diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut
akantolisis. Terdapat 4 bentuk pemfigus ialah pemfigus vulgaris,pemfigus
eritematous,pemfigus follaseus,pemfigus vegetans.

Susunan tersebut sesuai dengan insidensnya.menurut letak celah pemfigus


dibagi menjadi dua:
1. Di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans
2. Di stratum granulosum ialah pemfigus follaseus dan variannya pemfigus
eritematous.1,2,3,4,5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pemfigus vulgaris (P.V.) merupakan bentuk yang tersering dijumpai ( 80%
semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua
bangsa dan ras. Lebih umum pada orang-orang Yahudi dan orang-orang dari
keturunan Mediterania. Di Yerusalem kejadian diperkirakan 16 per juta, sedangkan di
Perancis dan Jerman itu adalah 1,3 per juta. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin
sama. Umumnya mengenai usia 40-60 tahun , tetapi dapat juga mengenai semua
umur, termasuk anak. 1,4

2
2.3 ETIOLOGI
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-inducedpemphigus), misalnya D-
penisilamin dan kaptopril.Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk
pemfigusfoliaseus (termasuk pemfiguseritematosus) atau pemfigus vulgaris.Pemfigus
foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. 1

Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang
sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif,
sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang
positif. Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplas-ma, baik yang jinak maupun yang
maligna, dan disebut sebagai pemfigu sparaneoplastik. Pemfigus juga dapat
ditemukan bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus
eritematosus sistemik, pemfigoidbulosa, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa. 1

Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya antibody


IgG, beberapa faktor potensial yang relevan yaitu:
1. Faktor genetik: molekul major histocompability complex (MHC) kelas
II berhubungan dengan human leukocyte antigen DR4 dan human
leukocyte antigen DRw6
2. Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang
lain, terutama pada myastenia gravis dan tymoma.
3. D-penicillamine dan captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya
pemphigus (jarang).2,3,4,6

2.4 PATOGENESIS
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni:
1. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akanto-lisis).
2. Adanya antibody IgG terhadap antigen deter-minan yang ada pada
permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi.

3
Antibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglien 3 pada
permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya
plasminongen activator sehingga merubah plasminongen menjadi plasmin . Plasmin
yang terbentuk menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi penarikan
tonofilamin dari sitoplasma keratinosit,akibatnya terjadi pemisahan sel-sel keratinosit
(tidak ada kohesi antar sel) proses ini disebut akantolisis. Kemudian terbentuklah
celah suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang sebenranya.

Bula pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V. Antigen
ini merupakan trans membrane glikoprotein dengan berat molekul 160 kD untuk
pemfigusfoliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigu svulgaris yang terdapat
pada permukaan sel keratinosit.

Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein 3,
sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada
pemfigus foliaseus target antigennya ialah desmoglein 1.

Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain,


misalnya desmo-plakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi des-mosom ialah
meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng beriapis yang terdapat pada kulit dan
mukosa.1,2,4,7

4
Gambar 2.1.Desmoglein 3 pemfigus vulgaris

2.5 GAMBARAN KLINIS


 Keadaan umum penderita umumnya buruK
 Membran mukosa
Lesi pada pemphigus vulgaris pertama kali berkembang pada membrane
mukosa terutama pada mulut, yang erdapat 50-70% pasien. Bula yan utuh jarang
ditemukan di mulut disebabkan bula mudah pecah dan dapat timbul erosi.
Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, dengan bentuk
yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi dapat daptmeluas ke
laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan pasien kesulitan untuk makan
ataupun minum. Permukaan mukosa lain yang terlibat yaitu konjungtiva,esophagus,
labia, vagina,serviks, penis, uretra, dan anus.

5
Gambar 2.2. Pemphigus vulgaris. Erosions in mouth.
(Courtesy of Dr R.J. Pye, Addenbrooke’s Hospital, Cambridge, UK.)

 Kulit
Kelainan kulit dapat bersifat lokal maupun generalisata, terasa panas, sakit
tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus, kulit kepala,
wajah,ketiak dan daerah tekanan serta lipatan paha.
Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi cairan
jernih pada kulit normal dengan dasr eritematous. Bula mudah pecah dan yang utuh
jarang didapatkan disebabkan atap bula yang terdiri dari sebagian kecil bagian atas
epidermis. Kemudian dapat timbul erosi yang nyeri, mudah berdarah dan cenderung
meluas. Kemudian erosi teresut akan ditutupi oleh krusta. Lesi yang menyembuh
meninggalkan daerah hiperpigmentasi tanpa jaringan parut.

Gambar 2.3. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit

6
Pada bula yang aktif dapat ditemukan Nikolsky sign yang mengambarkan tidak
adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara:
1. Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari,
mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas
2. Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan bula kan
melebar dari tempat penekanan disebut bula spread phenomenon.1,2,4,5,8

Gambar 2.4. Bula flaksid pada pemfigus Vulgaris

2.6 DIAGNOSIS
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pasien berupa keluhan yang membawa pasien datang untuk berobat.
Biasanya keadaan umum pasien tampak buruk. Anamnesis dilengkapi dengan
mengetahui perjalanan penyakit pasien. Kemudian pemeriksaan fisik terhadap lesi
yang timbul dimulai dari awal timbulnya lesi berupa eroosi dan krusta hingga
terdapat bula generalisata. Pemeriksaan awal biasanya dilakukan pada tempat yang
sering muncul di awal perjalanan penyakit yaitu di kulit kepala yang berambut dan di
rongga mulut. Tanda khas penyait ini berupa tanda nikolskiy yang positif yang
disebabkan adanya akantolisis.8

b. Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepldermal suprabasal dan
sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan
percobaan Tzanck positif.Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel
akan tolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus.Pada pemeriksaan

7
dengan menggunakan mikroskop elektron dapat diketahui bahwa permulaan
perubahan patologik ialah perlunakan segmen interselular.Juga dapat dilihat
perusakan desmosomdan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.1

c. Imunologi
1. Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibody interselular
tipe IgG dan C3.
2. Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibody
pemfigus tipe IgG.9,10
Tes yang pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi
positif pada permulaan penyakit, sering sebelum tes kedua menjadi positif, dan tetap
positif pada waktu yang lama meskipun penyakitnya telah membaik.
Antibodipemfigus ini rupanya sangat spesi-fik untuk pemfigus. Kadar titemya
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang
dengan pengobatan kortikosteroid.1
3. Kadar IgG didalam serum meningkat (titer IgG,autoantibodi terhadap
desmoglein 3 biasanya berkorelasi dengan aktifitas penyakit; oleh
karenanya respon klinis dapat dimonitor dengan titer antibodi).1

d. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin


Pada pemberian kortikosteroid jangka panjang perlu diperiksa fungsi ginjal dan
fungsi hati,kadar gula darah puasa dan 2 jam setelah makan serta reduksi urin,pada
pemberian terapi anjuvan azathioprine perlu diperiksa kadar TPMT ( Thiopurine
methyl-transferase ).5

2.7 DIAGNOSIS BANDING 1,4


a. Pemfigoid bulosa
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfi¬gus vulgaris karena keadaan
umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya di subepidermal, dan terdapat IgG
linear. Bula-bula ini sering timbul pada daerah andomen bagian bawah, bagian paha
depan atau paha atas, dan fleksor lengan atas.

8
Gambar 2.5. Pemfigoid bulosa

b. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformisdapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya
baik, keluhannya sangat gatal, ruampolimorf, dinding vesiket/bula tegang dan
berkelompok, dan mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama
terdapat pada orang dewasa, keadaan umumnya buruk, tidak gatal,
bulaberdindingkendur, dan biasanya generalisata, Pada gambaran histopatologik
dermatitis herpetiformis, letak vesikel/ bula di subepidermal, sedangkan pada
pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan terdapat akantolisis. Pemeriksaan
imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan IgG yang terletak intra epidermal,
sedangkan pada dermatitis herpeti¬formis terdapat IgA berbentuk granular intra-
papilar.

9
Gambar 2.6. Dermatitis Herpetiformis

NO Pemfigus Pemfigoid Dermatitis


vulgaris bulosa herpetiformis
1 Etiologi Autoimun Autoimun Belum jelas
2 Usia 30-60 tahun Biasanya usia Anak atau
tua dewasa
3 Keluhan Biasanya tidak Biasanya Sangat gatal
gatal tidak gatal
4 Kelainan kulit Bula berdinding Bula Vesikel
kendur, krusta berdinding berkelompok
bertahan lama tegang berdinding
tegang
5 Tanda nikolski + - -
6 Tempat predileksi Biasanya Perut, lengan Simetrik: tengkuk,
generalisata fleksor, lipat bahu, lipat ketiak,
paha, tungkai posterior, lengan
medial ekstensor, daerah
sakrum,
bokong

7 Kelainan mukosa 60% 10-40% Jarang


mulut

10
8 Histopatologi Bula intradermal, Celah di taut Celah subepidermal,
akantolisis dermal- terutama neutrofil
epidermal,
bula di
subepidermal,
terutama
eosinofil
9 Imunofluoresensi IgG dan IgG seperti IgA granular di papila
komplemen di pita di dermis
epidermis membran
Tabel 1. Perbedaan pemfigus vulgaaris, pemfigoid bulosa dan dermatitis
herpetiformis

2.8 PENATALAKSANAAN
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering
digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung
pada berat ringannya penyakit, yakni 60 -150 mg sehari. Ada pula yang
menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi
sebaiknya diberikan deksametasoni.m. atau i.v. sesuai dengan ekuivalennya karena
lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan etektrolit diperhatikan,

Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari
dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%.Kalau telah ada perbaikan dosis
diturunkan secara bertahap.Biasanya setiap 5-7 hari kami turunkan 10-20 mg
ekuivalen prednison tergantung pada respons masing-masing, jadi bersifat
individual.Cara yang terbaik ialah memantau titer antibody karena antibodi tersebut
menunjukkan keaktivan penyakit. Jika titernya stabil, penurunan dosis lambat. Dan
bila titernya menurun, penurunan dosis lebih cepat.

Jika pemberian prednison melebihi 40 mg sehari harus disertai antibiotik untuk


mencegah infeksi sekunder. Bila telah tercapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi

11
efek samping kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari jam
8. Alasannya pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah paling tinggi. Sebaiknya
obat diberikan selang sehari, diharapkan pada waktu bebas obat tidak terjadi
penekanan terhadap kelenjar adrenal bagian korteks. Keburukannya pada hari bebas
obat timbul lesi baru.
Perdebatan yang sering ialah menyangkut apakah akan memulai dengan rendah
atau tinggi dosis kortikosteroid. Pedoman oleh EDF (Eropa Dermatology Forum) dan
Eropa Academy of Dermatology dan Kelamin merekomendasikan dosis prednisolon
awal pada 0,5 mg-1,5 mg/kgBB/hari dan jika pengendalian penyakit tidak tercapai
dalam waktu 2 minggu, prednisolon dosis yang lebih tinggi (sampai 2 mg/kgBB) bisa
diberikan. Dosis optimal belum divalidasi. Sebuah uji coba terkontrol menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai durasi remisi dan tingkat kambuh pada
5 tahun pada pasien diacak untuk pengobatan dengan baik dosis rendah prednisolon
oral (1 mg/kgBB/hari) atau dosis tinggi prednisolon oral (2,0-2,5 mg/kgBB/hari).
Setelah remisi diinduksi dan dipelihara dengan penyembuhan mayoritas lesi, dosis
dapat meruncing dengan 25%. Pengurangan dapat dilakukan setiap dua minggu
dengan penurunan lebih lambat ketika dosis di bawah 20 mg / d tercapai.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan
ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang berat atrofi
kelenjar adrenal bagian korteks, ulkuspeptikum, dan osteoporosis yang dapat menye-
babkan fraktur kolumnavertebre pars lumbalis.

Tentang penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada pengobatan pemfigus


terdapat dua pendapat:
1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.
Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga
efek sampingnya lebih sedikit.
2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons.

12
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkuspeptikum, diabetes
melitus, katarak, dan osteoporosis,
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti
yang diharapkan.

Sitostatik merupakan ajuvan vang terkuat karena bersifat imunosupresif. Obat


sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan
mikofenolatmofetil.

1. Azitropin
Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan tidak
begitu toksik seperti siklofosfamid, Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1-3 mg per
kgBB. Obat-obat sitostatik sebaiknya diberikan, jika dosis prednison mencapai 60 mg
sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Hendaknya diingat bahwa efek
terapeutik azatioprin baru terjadi setelah 2-4 minggu.Jika telah tampak perbaikan
dosis prednisone ditunjukkan lebih dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan
secara bertahap. Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoietik dan
bersifat hepatotoksik. Manfaat utama dari azathioprine adjuvant adalah efek steroid-
sparing nya. Azathioprine telah dilaporkan memerlukan lebih rendah dosis
kortikosteroid kumulatif untuk remisi, dengan beberapa peneliti melaporkan superior
steroid-sparing efek bila dibandingkan dengan MMF dan siklofosfamid, sementara
yang lain menyimpulkan bahwa siklofosfamid unggul. efek samping dari pengobatan
azathioprine ajuvan menurun jika dibandingkan dengan monoterapi steroid tanpa
kompromi dalam tingkat remisi klinis.

2. Siklofosfamid
Siklofosfamid sebenamya merupakan obat yang paling poten.tetapi karena efek
sampingnya berat kurang dianjurkan. Dosisnya 50-100 mg sehari.Efek terapeutik
siklofosfamid masih sedikit setelah pemberian beberapa jam, efek maksimum baru

13
terjadi setelah 6 minggu.Efek samping yang utama ialah toksisitas saluran kemih
berupa sistitis hemoragik, dapat pula menyebabkan sterilitas.

Produk metabolisms siklofosfamid yang bersifat sitotoksik di ekskresi melalui


urin, oleh karena itu penderita dianjurkan agar banyak minum.Gejala toksik dini pada
vesikaurinana ialah diuria, didapati pada 20% penderita yang mendapat-obat tersebut
dalam jangka waktu lama.

Jika mikroskopik terdapat hematuria hendaknya obat dihentikan sementara atau


diganti dengan obat sitotoksik yang lain. Obat yang dapat mencegah terjadinya
sistitishemoragik ialah mesna, biasanya dosisnya 20% dosis siklofosfamid sehari, i.v.,
diberikan tiga kali sehari selang 4 jam, dosis I diberikan bersama-sama dengan
siklofosfamid.

3. Metotreksat
Metotreksat jarang digunakan karena kurang bermanfaat.Dosisnya 25 mg per
minggu i.m. atau per os. Mikrofenolatmofetil dikatakan lebih efektif daripada
azatioprin.sedangkan efek toksiknyalebih sedikit. Dosisnya 2 x 1 g sehari.

4. Mycophenolate Mofetil
MMF adalah agen steroid-sparing aman. Hal ini dianggap sebagai lini pertama
adjuvant immunosuppressant sesuai dengan pedoman EDF (Europa Dermatology
Forum). Dosis optimal tergantung dengan dosis 2g /hari dianjurkan untuk pasien rata-
rata 75 kg berat badan. Peningkatan dosis progresif dengan 500 mg / minggu sampai
dosis akhir dari 2 g / d telah diusulkan untuk menghindari efek samping
gastrointestinal. 1 Khasiat diperdebatkan. Dalam RCT baru-baru ini, MMF (2 atau 3
g/hari ) ditambah CSS oral tidak ditemukan unggul bila dibandingkan dengan CSS
lisan dan plasebo pada pasien dengan PV ringan atau sedang. Titik akhir primer
pasien menanggapi pengobatan. 27 peneliti lain juga melaporkan tidak ada manfaat
klinis menggunakan MMF adjuvant untuk steroid pada pasien dengan PV. MMF

14
dalam kombinasi dengan prednisolon tampaknya memiliki peran menguntungkan
lebih menonjol pada pasien dengan kambuh dari PV.

5. Dapson
Dapson dianjurkan dalam dosis 100 mg / hari atau sampai dengan ≤1.5 mg /
kg / hari sebagai agen steroid-sparing. 3 Sebuah RCT dilaporkan keunggulan dapson
atas plasebo sebagai agen steroid-sparing ketika titik akhir primer adalah untuk lancip
prednisolon untuk ≤7.5 mg / d. Namun, dapson tidak menunjukkan manfaat apapun
pada remisi penyakit. Sebelum memulai terapi dengan dapson, aktivitas G6PD serum
harus diuji.

6. Rituximab
Rituximab adalah anti-CD20 monoklonal antibodi manusiawi dengan potensi
untuk mengurangi desmoglein autoantibodi dan selektif menguras sel B. 35 - 37
rituximab diindikasikan pada pasien yang tetap tergantung pada lebih dari 10 mg
prednisolon dikombinasikan dengan adjuvant imunosupresif sesuai dengan EDF.
Jadwal administrasi dalam literatur adalah baik 1.000 mg IV setiap 2 minggu atau
375 mg / m 2 setiap minggu. 38 - 44 Dosis yang sama dapat diberikan lagi dalam
kasus relaps klinis. Sebuah meta-analisis dari pengobatan dengan rituximab pada
pemfigus parah menunjukkan remisi pada sekitar 95% dari total pasien. 35 infus
profilaksis setelah remisi lengkap tampaknya tidak memberikan manfaat tambahan.
42 Insiden infeksi serius adalah 3,9% menggunakan protokol mingguan tapi 15.21%
dalam protokol dua mingguan. 45 namun, kejadian infeksi yang fatal yang tak
terduga seperti PML tidak dapat diperkirakan karena kelangkaan penyakit tersebut. 3
bersamaan antibiotik jangka panjang dan profilaksis untuk virus herpes telah terbukti
secara drastis mengurangi tingkat infeksi. 42 rituximab tidak menghilangkan
kebutuhan untuk steroid atau agen imunosupresif, dan sebagian besar pasien dalam
penelitian yang diterbitkan lakukan menggunakan terapi tersebut bersama dengan
rituximab. 35 Sebelum memulai pengobatan, dokter harus memiliki tujuan tertentu
dan titik akhir. Mereka juga harus menyadari potensi efek samping dan kurangnya

15
informasi tentang efek jangka panjang. Pasien harus dimonitor selama dan setelah
terapi.

Ajuvanlain yang tidak begitu poten ialah yang bersifat anti-inflamasi yakni
emas, Diaminodifenilsulfon(D.D.S.), antimalaria, dan minosiklin. Tentang emas tidak
akan diuraikan karena preparatnyatidak ada di Indonesia. Dosis D.D.S. 100-300 mg
sehari, dicoba dahulu dengan dosis rendah.Tentang efek sampingnya lihat
"pengobatan dermatitis herpetiformis".Antimalaria yang sering digunakan ialah
klorokuin dengan dosis 2 x 200 mg sehari.Efek sampingnya yang berat ialah
retinopati yang dapat terjadi setelah dosis kumulatif 100 g. Tentang pengobatan
kombinasi nikotinamid dan tetrasiklin lihat pengobatan pemfigoidbulosa.Minosiklin
digunakan dengan dosis 2 x 50 mg sehari.

Akhir-akhir ini berdasarkan pertimbangan risk and benefit kami lebih sering
menggunakan D.D.S. sebagai ajuvan. Meskipun khasiatnya tidak sekuat sitostatik,
namun efek sampingnya jauh lebih sedikit dan hasilnya cukup baik.Dosisnya100 mg
atau 200 mg. Bila digunakan 100 mg tidak periudipenksa G6PD sebelumnya, karena
dosis itu dipakai sebagai pengobatan lepra, umum-nya tanpa efek samping. Tetapi,
bila dengan dosis 200 mg hams dipenksa G6PD sebelumnya.

Pengobatan topikal sebenarnya tidak sepenting pengobatan sistemik.Pada


daerah yang erosif dapat diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai
antiseptik dan astringen.Pada lesipemfigus yang sedikit dapat diobati dengan
kortikosteroid secara intralesi (intradermal) dengan triamsinolonasetonid.1

Sebagai mana juga didalam buku Fitzpatrick's menjelaskan pengobatannya


seperti dibawah ini :
a. Medikamentosa
 Glukokortiroid, 2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian
pembentukan lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian

16
pengurangan dengan cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai
pasien hampir bersih, diikuti dengan tappering dosis dengan sangat
lambat untuk meminimalkan keefektifitasan dari dosis.
 Terapi imunosupresif yang bersamaan. Agen imunosupresif diberikan
bersamaan untuk mengurangi efek glukokortikoid.clorambucil 0,1-0,2
mg/kg hari,cyclosporin 5,0-7,5 mg/kg hari,mycophenolate mofetil 2,0 gr
hari.
 Azathioprine, 2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tapering
dosis hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya
azathioprinedilanjutkan bahkan setelah penghentian pengobatan
glukokortikoid dan mungkin harus dilanjutkan selama berbulan-bulan.
 Methotrexate, Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 25–35
mg/minggu. Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine.
 Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50–
100 mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg
IV seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai
perbaikan diikuti oleh 50-100 mg/d PO.
 Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen
imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal
pengobatann untuk mengurangi titer antibodi. Plasmaphresis dengan
iklosporin atau siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal terkadang
juga telah diteliti dapat berguna.
 Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian awal dosis
10 mg IM, 25 sampai 50 mg gold natrium thiomalate diberikan IM ,
interval per minggu dengan dosis kumulatif maksimum 1 gr.
 Dosis tinggi imunoglobulin intravena (HIVIg) (2 g/KgBB setiap 3-4
minggu) telah dilaporkan memiliki efek sparing glukokortikoid.3,11

17
b. Non Medikamentosa
Penjelasan kepada pasien dan/atau keluaraga mengenai penyakit,terapi,serta
prognosis.memberi edukasi cara merawat lepuh,menghindari pengunaan obat-obat
tanpa sepengatahuan dokter.4

Tindak lanjut:

1. Pemantauan keadaan umum : bila dirawat dilakukan setiap hari,bila


berobat jalan 1 x seminggu atau bergantung kondisi pasien.
2. Pemantauan IgG dalam serum
3. Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid atau sitostatik jangka
panjang.
4. Kerja sama dengan bagian penyakit dalam,alergi-imunulogi,dan
departemen lain yang terkait.4

Langkah langkah mengontrol terapi pada pemfigus Vulgaris:12


1. Mulai turunkan dosis steroid secepat mungkin setelah klinisnya
membaik.
2. 25% pasien menurunkan prednisolon setiap 2 minggu. Ketika pasien
mencapai dosis <20 mg, turunkan perlahan-lahan. Penurunan 5 mg
setiap 4 minggu cocok untuk sebagian besar pasien.
3. Jika kurang dari 3 lesi muncul kembali selama tapering off terapi CS
oral, tingkatkan dosis ke dosis efektif yang terakhir bagi pasien.
4. Jika pasien datang dengan kekambuhan (> 3 lesi), kembali tingkatkan
terapi CS oral, kembali ke dua langkah dosis sebelumnya sampai
kontrol dari lesi dicapai. Selanjutnya, mulai ulang tapering off steroid
sistemik. Jika Anda tidak dapat memperoleh pengendalian penyakit,
kembali ke dosis awal.
5. Jika CSS oral diberikan sebagai monoterapi, tambahkan
immunosuppressant.

18
6. jika CSS oral sudah dikombinasikan dengan imunosupresan,
pertimbangkan untuk mengganti lini pertama imunosupresan oleh yang
lain atau penggunaan imunosupresan lini kedua termasuk
immunoadsorption, IVIG, atau rituximab.
7. Pantau pasien untuk efek samping, dan ingat bahwa terapi
imunosupresif berkepanjangan meningkatkan risiko efek samping.
8. Jika Anda dapat memantau titer antibodi anti-DSg, ingat bahwa
tingginya anti-Dsg1 menandakan bahwa kemungkinan positif terjadinya
kekambuhan pada kulit, sedangkan persistensi anti-Dsg3 IgG tidak
selalu menunjukkan kekambuhan pada mukosa.

2.9 PROGNOSIS
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita
dalam tahun pertama.Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosisnya lebih baik.1

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keenam.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2010;204-08.
2. Burton JL, Rook, Immunobullous Disease in: Textbook of Dermatology, vol
2, 8th edition, Blackwell Science, 2010: 1895-03.
3. Domonkos AN, Amold HN, Odom RD, Chronik Blistering Dermatoses in
Andrews Disease of the Skin,7th edition, Philadelphia, W.B. Saunderes
Company,2000: 574-79
4. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine
(two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74
5. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy.
4th edition. Mosby.2003;568
6. Anhalt GJ, Pemphigus Vulgaris and the Phempigus Disease Spektrum In
Cutaneus Medicine And Surgery, vol 2A, W.B. Saunders Company,1996:
651-55
7. Moshella SL, Autoimun Bullous Disease in Textbook of Dermatology, vol 2,
2ndedition, New York, W.B.Saunders Company,1992 :656-63.
8. Kariosentono H, Epidermolisis Bulosa dalam HarahapM, Penyunting Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Hipokrates, 2000 : 134-37.
9. Lever W.F, Pemphigus Vulgaris, Histopatologi of the skin, 6 thedition.
Philadelphia, JB Lipincoth company, 1983 : 104-9.
10. Berglefeld F.W Maichel B, Intraepidermal Vesikular Bullous and Pustuler
Dermatoses, Farmer R. Evan, hood F.A editor in Patology of the Skin, United
State of America, Predice Hall International Inc, 1990 :128-31.
11. Perdoski.panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan
kelamin.departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin.jakarta 2011.133-34.
12. Stamatis Gregoriou, Ourania Efthymiou, Christina Stefanaki, Dimitris
Rigopoulos. Journal of Management of pemphigus vulgaris: challenges and

20
solutions.2nd Department of Dermatology and Venereology, University of
Athens Medical School, Attikon Hospital, Athens, Greece. [online] 18
September 2016 [edit] October 2015 available from URL:
https://www.dovepress.com/management-of-pemphigus-vulgaris-challenges-
and-solutions-peer-reviewed-fulltext-article-CCID.
13. Clinical Study.Pemphigus Vulgaris and Infections: A Retrospective Study on
155 Patients. Received 29 March 2013; Revised 19 May 2013; Accepted 2
June 2013. Academic Editor: Jozélio Freire de Carvalho.
14. Alexander H. Enk, MD; Jürgen Knop, MD, PhD. Mycophenolate Is Effective
in the Treatment of Pemphigus Vulgaris . Arch Dermatol. 1999;135(1):54-56.
doi:10.1001/archderm.135.1.54.

21

You might also like