You are on page 1of 7

RESENSI BUKU

Church Music Through the Lens of


Performance

Penulis : Marcell Silva Steuernagel


Penerbit : Routledge, New York
Tahun : 2021
ISBN : 978-0-367-53065-5 (hbk)

Harminto Sihombing
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
harmintosihombing@gmail.com

TINJAUAN BUKU
Marcell Silva Steuernagel adalah Asisten Profesor Musik Gereja dan Direktur
Program Magister Musik Sakral di Perkins School of Theology, Southern Methodist
University, AS. Ia juga menjabat sebagai Koordinator Ibadah, Seni dan Komunikasi di
Redeemer Lutheran Church di Curitiba, Brazil lebih dari satu dekade dan merupakan
komposer dan pemain yang aktif secara internasional.
Steuernagel memperkenalkan suatu teori mengembangkan musik gereja melalui
studi pertunjukan dengan teori dan studi di Gereja Lutheran São João di Pelotas, Rio
Grande do Sul, Brasil; Gereja Episkopal St. Alban di Waco, Texas, AS. Steuernagel
menekankan bahwa studi etnografi dan studi kasus merupakan unsur penting dalam
melakukan studi terhadap musik gereja melalui lensa pertunjukan. Upaya demikian akan
memungkinkan seorang peneliti untuk menghubungkan konseptualisasi teoritis dengan
realitas jemaat dari tradisi dan lokasi yang berbeda.
Steuernagel menegaskan bahwa aktivitas seperti duduk, berdiri, melipat dan tepuk
tangan, berdoa, bernyanyi dan sebagainya merupakan rangkaian ritual yang
diselenggarakan (dipertunjukkan) dengan berulang (seperti tiap hari minggu). Satu dari
aktivitas dalam ritual tersebut adalah musik. Musik yang dimaksud dalam buku ini
memiliki arti yang luas meliputi lirik lagu dalam vokal, pengaturan instrumen, pengarah
musik (konduktor), gerak tubuh, aktivitas diam (mendengar) serta penataan panggung dan
1
audio visual ruangan. Menurut Steuernagel, musik sebagai aktivitas dalam ritual orang
Kristen, tidak saja hanya dilihat dari studi ritual tetapi juga dapat melalui praktik
pertunjukannya (performance). Pertunjukan musik sebuah ibadah jemaat dari panggung
(platform) atau dari bangku jemaat pasti mempengaruhi seluruh proses ritual (hlm 2).
Steuernagel melihat bahwa “pertunjukan” adalah kata yang buruk di gereja (hlm 1).
Ia melihat adanya percakapan dan perdebatan yang disebutnya sebagai “perang
ibadah/worship war” ketika musik gereja disandingkan dengan konsep “pertunjukan”.
Perdebatan melihat musik gereja sebagai “pertunjukan” muncul di belakang panggung
(ruang ibadah) seperti dalam pertemuan para diaken dan majelis. Perdebatan itu semakin
kompleks ketika praktisi dan cendekiawan juga melihat kata “pertunjukan” dengan cara
yang berbeda-beda. Ingalls, Landau dan Wagner dalam buku Christian Congregational
Music: Performance, Identity, and Experience yang mengonsepkan “pertunjukan” sebagai
aktivitas dan praktik sosial. Pemikiran Ingalls, Landau dan Wagner tersebut diambil dari
pemikiran Christopher Small yang mendefinisikan pertunjukan sebagai aktivitas
melakonkan, mendengarkan, berlatih, menyediakan bahan pertunjukan (mengarang) atau
dengan menari (hlm 2). Pada bagian lain Rienstra dan Rienstra, dalam buku Worship
Words: Discipling Language for Faithful Ministry (2009), melihat bahwa jika konsep
“pertunjukan” disandingkan dalam konteks ibadah, maka akan melemahkan sifat liturgi
dalam hal partisipasi jemaat karena dalam “pertunjukan” akan lebih menonjolkan sifat
presentasional di altar yang terkadang akan mereduksi peran dan partisipasi jemaat dalam
musik saat beribadah (hlm 2).
Steuernagel melihat sketsa pendapat para diaken dan majelis serta para ahli tersebut
menggambarkan adanya kesulitan berpikir dan berbicara tentang musik gereja sebagai
pertunjukan. Steuernagel menggambarkan perspektif konseptualisasi pertunjukan dalam
musik gereja yang diungkapkan mereka (para majelis, sarjana dan pendeta) ini sebagai
“konstelasi asumsi” (hlm 4). Oleh karena itu, dalam ilmu dan praktik musik gereja sebagai
pertunjukan, Steuernagel melihat ada tiga pendirian yang berbeda. Pertama, pendirian yang
membela gagasan bahwa pertunjukan sebenarnya terjadi di altar atau di atas
panggung/platform selama ibadah. Pendirian kedua melihat musik gereja dari berbagai
sudut teologi menganggap pertunjukan sebagai sikap panggung yang tidak tulus karena
memiliki sisi presentasional. Oleh karena itu pertunjukan dipahami sebagai kebalikan dari
penyembahan yang "asli". Pendirian ketiga dari sudut musikologi yang melihat pemilihan
gaya/teknis dalam membuat musik gereja, juga dikenal sebagai "praktik pertunjukan."
Tesis Steuernagel adalah bahwa semua pendirian itu “tampil” dalam musik gereja.
Oleh karena itu, melalui buku ini, dia menawarkan penyelidikan musik gereja melalui
lensa pertunjukan, baik sebagai disiplin maupun sebagai kerangka teoritis. Oleh karena itu,
Steuernagel dalam buku ini berupaya mengembangkan kosa kata “pertunjukan” yang
memungkinkan para sarjana dan praktisi untuk berbicara tentang pertunjukan musik gereja
tanpa menjadi korban retorika “perang ibadah”.
Untuk mencapai tujuan tesis dalam buku ini, Steuernagel mendefinisikan
pertunjukan sebagai konsep yang memiliki unsur ganda yang bekerja secara bersamaan.
Konsep itu adalah “mencapai tujuan” dan “memainkan peran.” Pertunjukan musik gereja
tidak hanya dilihat dari apa yang dipertontonkan di panggung tetapi merupakan rangkaian
keseluruhan sejak dari ide pertunjukan, perencanaan pola, latihan dan sebagainya. Seluruh
aktivitas itu kemudian akan disajikan dengan melakukan peran dalam presentasi
pertunjukan di panggung. Pola yang direncanakan dan dilatih itu akan ditampilkan konkrit
dalam pertunjukan dan semua lakon dalam pertunjukan itu dilakukan ekspresif serta
diarahkan untuk menjawab kepentingan jemaat dalam suatu ibadah.
Steuernagel mendefinisikan pertunjukan sebagai tindakan manusia yang
"berperilaku dua kali". Perilaku itu dilatih dan dipraktekkan berulang kali dalam struktur
kehidupan sosial komunitas tertentu. Definisi itu didukung oleh etimologi pertunjukan dari
tulisan Victor Turner yang mengungkapkan bahwa kata "pertunjukan" berasal dari kata
kerja Perancis kuno parfournir, yang berarti "menyelesaikan atau melaksanakan
sepenuhnya". “Menyelesaikan atau melaksanakan sepenuhnya” menyiratkan tindakan
melakukan sesuatu dan tindakan memainkan peran. Memahami musik gereja melalui lensa
studi pertunjukan dengan defenisi ini dapat dipahami bahwa semua aspek musik meliputi
pengaturan jemaat dari bangku dan altar atau platform, suara, gerakan, paduan suara,
pendeta dan jemaat merupakan unsur pertunjukan. Artinya, musik gereja adalah aktivitas
yang dilakukan bersama oleh para peserta; yang direncanakan, dilatih dan kemudian
ditampilkan dalam pertunjukan dalam ibadah. Dalam semua aktivitas itu, terdapat perilaku
dua kali oleh para peserta (pendeta, pengarah musik dan jemaat), mempersiapkan dan
melakonkan.
Menurut Steuernagel, untuk mempelajari musik gereja sebagai pertunjukan
membutuhkan pendekatan sistematis yang menggabungkan teori dan etnografi 1.
Pendekatan sistematis Steuernagel menggunakan konsep simpul dari ide Deleuze dan

1
Etnografi dalam konteks ini merupakan rangkaian musik gereja yang sedang dipraktikkan
di suatu komunitas (gereja) di lokasi tertentu.
Guattari tentang “rimpang”2 sebagai konfigurasi "non hirarkis, heterogen, multipel, dan
terpusat". Tiap simpul terhubung ke simpul lainnya dalam rimpang. Analogi rimpang dapat
diartikan bahwa tiap simpul saling terhubung tetapi masing memiliki persimpangan
masing-masing. Dengan memakai teori Richard Schechner hub3 dan persimpangan,
Steuernagel melihat tipologi pertunjukan terhubung dan berinteraksi antara satu simpul
dengan simpul lainnya pada waktu tertentu dalam aktivitas ritual. Namun tiap simpul itu
memiliki persimpangan dan tiap simpul yang bersimpangan itu terhubung (dapat diselidiki)
dengan akar teori pertunjukan.
Steuernagel mengidentifikasi empat simpul yang berfungsi sebagai pintu gerbang
antar disiplin ilmu untuk menyelidiki “pertunjukan” yaitu: (1) ritual (dan partisipasi dalam
ritual), (2) peragaan, (3) membuat khusus/istimewa dan (4) memainkan-menampilkan dan
berubah. Tiap simpul itu memiliki karakter “rimpang” yang dapat dianalisis langsung
melalui lensa teori pertunjukan. Empat simpul itu memiliki sifat non hirarkis (tidak dalam
tingkatan atau jenjang), heterogen yang berarti tiap simpul terdiri atas unsur yang berbeda
sifatnya, multipel yang berarti tiap simpul terdiri atas banyak bagian yang akan dijelaskan
dan terpusat yang berarti empat simpul itu memiliki satu tempat dan konteks yaitu ruang
ibadah. Steuernagel merangkai tiap simpul itu secara sistematis dalam karakter rimpang
seperti dalam gambar 0.1. Setiap simpul berakar pada sejarah dan teori studi pertunjukan.
Dalam tiap simpul itulah bab-bab buku ini dibangun.

Sumber: Buku Church Music Through the Lens of Performance (Marcell Silva
Steuernagel)

2
Rimpang adalah batang menjalar yang terdapat di bawah tanah, menghasilkan kuncup
yang akan menjadi batang ke arah atas dan akar ke arah bawah, seperti kunyit dan halia; rizom
(KBBI V). Tiap bagian batang berpotensi untuk mengeluarkan akar ke arah bawah serta kuncup ke
arah atas.
3
Hub dalam KBBI V artinya tata letak fisik mirip dengan jaringan bintang. Dalan tulisan
ini hub diartikan sebagai simpul-simpul saling terhubung tetapi masing memiliki persimpangan
masing-masing.
Simpul pertama adalah studi tentang ritual. Ritual adalah "kenangan kolektif yang
diwujudkan (encoded) ke dalam tindakan". Defenisi ini dapat digunakan sebagai
penghubung studi dan penelitian dalam musik gereja melalui studi pertunjukan (hlm 40).
Kenangan kolektif yang diwujudkan dalam tindakan dilakonkan dalam musik gereja
dengan pengulangan yang terdiri dari siklus mikro dan siklus makro. Aktivitas jemaat ke
gereja setiap minggu, bernyanyi, berdoa dan sebagainya digolongkan dalam siklus mikro.
Sementara aktivitas ritual yang diatur dalam kalender tahunan gerejawi (seperti Natal,
Epiphania, Paskah dan sebagainya) merupakan siklus makro. Pengulangan dalam ritual
siklus mikro maupun makro akan membentuk identitas bersama suatu komunitas (hlm 46).
Pengulangan akan menghasilkan transformasi dalam musik gereja. Dalam
mempertunjukkan musik gereja, musik yang diingat dan dikenang (encoded) suatu
komunitas di gereja tertentu, akan diulang kembali dengan beberapa tindakan transformasi.
Dalam transformasi itu, terjadi partisipasi setiap umat melalui diskusi tentang apa dan
bagaimana suatu musik akan dipertunjukkan saat ini, dibandingkan dengan pertunjukan
sebelumnya. Dengan demikian, ritual memiliki tiga aspek, yaitu pengulangan, transformasi
dan partisipasi.
Simpul kedua adalah peragaan (embodiment) musik gereja. Bermusik adalah
aktivitas tubuh. Ketika orang membuat musik, mereka bergerak baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. Demikian pula, para peserta dalam musik gereja terlibat dengannya
di dalam dan melalui tubuh (hlm 97). Oleh karena itu, pemeriksaan musik gereja sebagai
pertunjukan harus memperhitungkan tubuh. Konsep peragaan (embodiment) menunjukkan
fenomena di mana ide, gagasan, dan niat dihasilkan, dialami, dan diekspresikan melalui
dan di dalam tubuh (hlm 98). Dengan demikian, Steuernagel menekankan pentingnya
memperhatikan peragaan tubuh dalam pembuatan musik gereja. Dalam konteks ini,
peragaan memiliki fungsi integratif, menggabungkan ide, pikiran dan niat dan
membumikannya (meragakannya) dalam pengalaman hidup (hlm 101).
Simpul ketiga adalah membuat khusus, bermain dan berubah. Membuat khusus,
bermain dan berubah merupakan upaya bagaimana menciptakan musik gereja dengan
mengkritisi tradisi musik suatu komunitas dengan cara “bermain-main” dengan tradisi
musik itu dengan membawa masuk artefak dan pengaruh musik dari luar. Dalam membuat
khusus, bermain dan berubah, batas-batas pertunjukan musik gereja dapat diperiksa dalam
tiga dimensi mendasar yaitu tempat, waktu, dan kelompok (hlm 129). Satu waktu gereja
dapat “membuat khusus” suatu musik ibadah yang berbeda dengan ibadah minggu
biasanya yang dapat dirancang dari tiga dimensi: tempat, waktu, dan kelompok. Aktivitas
membuat khusus dengan bermain-main dalam musik gereja dapat dilakukan dengan
membuat tempat khusus, waktu khusus serta kelompok khusus musik gereja yang tidak
melibatkan semua anggota jemaat.
Namun Steuernagel menekankan bahwa dalam membuat khusus dan istimewa
musik gereja dengan bermain-main, perlu memperhatikan konsep hibriditas musik yang
dimainkan. Suatu kelompok musik bisa saja dengan “bermain-main” dalam waktu khusus
menggabungkan dua tradisi musik yang berbeda dalam teori hibriditas akan menghasilkan
suatu musik gereja yang istimewa, tetapi bisa juga menghasilkan “kekacauan” dalam
musik itu sendiri. Kekacauan dalam konteks ini dipahami sebagai musik yang diproduksi
dengan menggabungkan dua tradisi budaya yang berlawanan. Oleh karena itu, dalam
upaya “membuat khusus/istimewa” musik gereja perlu memperhatikan konteks budayanya.
Simpul keempat adalah mempertunjukkan (performing) musik gereja. Dalam
mempertunjukkan (performing) musik gereja, perlu memperhatikan aspek iman, komunitas
dan tradisi. Dalam pertunjukan musik gereja, setiap orang di dalam ibadah terkait dengan
iman, komunitas dan tradisi masing-masing. Mereka akan memposisikan diri dengan tiga
aspek tersebut dalam mempertunjukkan musik gereja yang ada. Dengan demikian, saat
mempertunjukkan musik gereja, para jemaat sedang menjalankan imannya, memelihara
komunitas dan tetap menjaga tradisi yang ada. Pertunjukan dengan iman, komunitas dan
tradisi tersebut akan memvalidasi pertunjukan musik gereja sebagai pertunjukan yang
memiliki sifat "lebih dari teater" dan lebih dari hiburan. (hlm 165-6).

Kesimpulan
Ada banyak aktivitas umat yang terjadi saat beribadah di ruang ibadah seperti
bernyanyi, berdoa, mengucapkan kata-kata melalui pembacaan tata liturgi dan pembacaan
firman Tuhan, duduk-berdiri dan sebagainya. Semua aktivitas itu dipertunjukkan
(dipertontonkan). Studi musik gereja melalui lensa pertunjukan dalam buku ini membuka
wacana yang luas tentang musik gereja yang tidak hanya berkaitan dengan kata-kata
nyanyian yang dinyanyikan serta instrumen musik pengiringnya. Semua aktivitas yang
dipertunjukkan dalam ibadah seperti gerak tubuh, pola pengaturan tempat duduk,
bernyanyi, tidak bernyanyi, menonton dengan rasa yang dalam dan sebagainya dapat
diselidiki dengan teori pertunjukan. Studi pertunjukan dalam buku ini juga menawarkan
rangsangan untuk selalu memeriksa musik yang ada di suatu komunitas tertentu dengan
“membuat khusus/spesial dan istimewa” dengan cara “bermain-main” di tempat, waktu
dan kelompok yang khusus.

You might also like