You are on page 1of 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340322495

Fenomena Label Halal is it a Awareness or Branding

Article in JURNAL ILMIAH EKONOMI ISLAM · March 2020


DOI: 10.29040/jiei.v6i1.915

CITATIONS READS

12 275

1 author:

Arista Kartika
Universitas Islam Malang
10 PUBLICATIONS 45 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Arista Kartika on 05 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Available at http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 87-94

Fenomena Label Halal is it a Awareness or Branding


Arista Fauzi Kartika Sari1, Junaidi2
1,2
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Malang
*Email korenpondensi: aristakartika@unisma.ac.id

Abstract
The purpose of this study is to find out how to provide a "halal label" by producers for MSME products in
Malang using ethnometodology. Ethnometodology is a research method that studies a practice or way. From
the method of labeling halal, the motives of the producers will be known, whether the halal labeling is due to an
Islamic awareness of halal products, or to attract market share. The research informant is the owner of MSME
in Malang Raya. The results of this study are the indexicality of several producers illegally labeling halal, due
to the halal belief in the food sold, and the official halal labeling from LPPOM MUI. Its reflexivity is the giving
of halal labels because of the trust value of God and consumers, to increase sales, as well as the ethics of
accountability to God and consumers.

Keywords: halal label, marketing, MSME, ethnometodology

Saran sitasi: Kartika, A. F., & Junaidi. (2020). Fenomena Label Halal is it a Awareness or Branding.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 87-94. doi: http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v6i1.915

DOI: http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v6i1.915

1. PENDAHULUAN produk yang menggunakan label halal. Selain itu juga


Halal adalah sebuah kata yang sering kali banyak penelitian yang membuktikan bahwa
dikaitkan dengan agama Islam. halal dalam arti pemakaian label halal dapat meningkatkan penjualan
umum dapat diartikan sebagai makna dibolehkan, produk. Penelitian dilakukan oleh Putri & Bulan
atau diijinkan. Penerimaan dasar dan pemahaman (2016) yang melihat pengaruh labelisasi halal
tentang produk halal oleh masyarakat muslim terhadap pembelian sosis. Rambe & Afifuddin (2012)
merupakan sebuah kebutuhan. Aturan umum juga meneliti perihal pelabelan halal pada industri
yurisprudensi Islam menganggap semuanya sebagai makanan, yaitu mie instan. Kedua penelitian tersebut
halal, kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang mendapatkan hasil yang sama, yaitu adanya pengaruh
pengharaman, misalnya daging babi dan minuman antara pembelrain label halal terhadap perilaku
keras (khamr). Oleh karena itu, seorang muslim harus konsumen untuk membeli produk tersebut. Selain di
mengidentifikasi produk yang halal dan tidak. Selain bidang makanan, ada pula penelitian di bidang
itu, peraturan pemerintah No 69 Tahun 1999 Tentang kosmetik, speerti penelitian yang dilakukan oleh
Label dan Iklan Pangan pasal 2 ayat 1 “Bahwa setiap Endah (2014) yang meneliti tentang perilaku
orang yang memproduksi atau memasukkan pangan pembelian kosmetik berlabel halal dan faktor-faktor
yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk yang mempengaruhi niat konsumen untuk membeli
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di kosmetik berlabel halal.
dalam dan atau di kemasan pangan”. Menurut Canadian Agri-Food Service Report
Seiring dengan perkembangannya, halal bukan tahun 2008 menyatakan bahwa ada permintaan yang
hanya sebuah kebutuhan bagi umat muslim, namun kuat untuk produk halal di sejumlah negara non-
halal bisa masuk dalam kerangka branding sebuah Muslim. Produk halal juga semakin populer di
produk (Wilson & Liu, 2010). Bahkan menurut kalangan konsumen non-Muslim, karena umat
(Wilson, 2014), halal merupakan sebuah fenomena muslim memperlakukan hewan dengan baik sebelum
budaya baru. Hal itu terbukti dari banyaknya produk- dan ketika disembelih. Serta persepsi bahwa produk

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 88
halal lebih sehat dan lebih aman. Poin penting lainnya makanan dalam kemasan. Pelabelan tersebut
yaitu produk halal sebagai objek bisnis tidak hanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang
berhubungan untuk mendapatkan keuantungan mengeluarkan sertifikasi halal, yaitu Lembaga
sebanyak mungkin, tetapi juga menghubungkan Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika
dengan nilai-nilai etika, moral, sosial, dan religius Majelis Ulama Indonesia atau LPPOM MUI.
lainnya (Zohar & Marshall, 2004). Lembaga tersebut bertugas untuk meneliti, menkaji
Berbeda dengan perusahaan besar, untuk Usaha dan menganalisa serta memutuskan apakah produk-
Mikro, Kecil dan Menengah, penempelan label halal produk pangan dan turunannya, seperti obat-obatan
tersebut sering kali ditempelkan sendiri oleh dan kosmetika aman dikonsumsi baik daris egi
produsen, bukan label halal dari lembaga yang kesehatan dan dari sisi agama Islam.
berwenang mengeluarkan sertifikasi halal, yaitu Halal dan haram tidak hanya berhubungan
Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hal tersebut dengan kegiatan konsumsi namun terkait juga dengan
dilakukan pastinya dengan bermacam motif dari seluruh kegiatan yang dilakukan manusia. hukum
produsen. Mengenai pemberian label halal fenomema mengenai kehalalan suatu hal mengacu pada Al-
tersebut, Wilson (2014) memberikan pertanyaan, Quran dan Hadist, seperti pada surat Al-Baqarah ayat
apakah halal menawarkan peluang untuk perluasan 168.
produk dan merek sebagai pendekatan pemasaran “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
khusus yang bahkan menghadirkan peluang untuk baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
mencipkatan paradigma bisnis baru? kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Istilah halal yang diakui sebagai merek, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
membuat “halal” memiliki interpretasi yang bagimu” (QS. 2:168)
materialis, dengan kata tersebut bisa menaikkan Indonesia, sebagai negara dengan penduduk
pangsa pasar produk. Hal tersebut ditunjang dengan muslim terbesar di dunia merupakan pangsa pasar
mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama yang potensial bagi produk halal. Namun, tidak serta
Islam. Sebagai seorang muslim, halal seharusnya potensi tersebut menegasikan substansi dari
bukan hanya sebatas merek, melainkan merupakan kebutuhan halal bagi umat Islam dalam dunia bisnis.
bagian dari sebuah keharusan dalam agama Islam, Bisnis dalam konteks yang lebih luas bertujuan untuk
serta adanya kode etik moral dan spiritual dalam mencapai bukan hanya kebahagiaan dunia, namun
kehidupan sehari-hari. Jika halal hanya digunakan juga akhirat. Tidak hanya berorientasi pada
sebagai penggaet pangsa pasar, maka halal hanya keuntungan material, namun juga non material,
sebagai alat. Sangat disayangkan sekali, ketika agama seperti keberkahan Allah SWT. Dengan memahami
yang seharusnya digunakan sebagai the way of life, hal tersebut, jelas bahwa bisnis tidak hanya kegiatan
malah dirubah menjadi sebuat alat kapitalis. yang menyangkut kepentingan manusia, namun juga
Halal sebagai media branding bisa dilihat berkaitan dengan nilai dan makna yang transedental.
sekarang ini di media elektronik, khususnya televisi. Kepentingan manusia pada bisnis secara alami
Bukan hanya makanan, produk-produk kebutuhan semata-mata adalah pada Tuhan, bukan pada
sehari-hari misalnya kosmetik, sabun mandi, sabun manusia. Tuhan tidak berkepentingan terhadap
mencuci baju, dan shampoo, semuanya mengiklankan manusia, namun manusia lah yang berkepentingan
bahwa produk mereka halal. Tidak jarang juga label kepada Tuhan (Weber, 2008). Satu-satunya bagian
halal ditunjukkan secara close up. Selain itu pemakai kecil dari manusia untuk mendapatkan Rahmat dari
dari produk tersebut juga memakai pakaian yang Tuhan. Segala yang dilakukan oleh manusia hanya
islami, atau berhijab. sebagai sarana untuk kembali kepada Tuhan dengan
Label adalah bagian sebuah produk yang jiwa yang suci dan tenang (Triyuwono, 2012)
membawa informasi verbal tentang produk atau Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk
tentang penjualnya. Sebuah label bisa merupakan mengetahui cara pemberian “label halal” oleh
bagian dari kemasan atau tanda pengenal yang produsen untuk produk UMKM di Kota Malang
dicantukan oleh produsen di kemasan produknya menggunakan etnometodologi. Etnometodologi
(Stanton dalam Rambe & Afifuddin, 2012). merupakan metode penelitian yang mempelajari
Labelisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah praktik atau cara. Dari cara pemberian label
proses penulisan atau pencantuman label halal atas halal akan diketahui motif dari produsen, apakah

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 89
pemberian label halal tersebut karena suatu kesadaran analisis indeksikalitas dan refleksivitas. Analisis
Islami akan produk halal, atau untuk menarik pangsa indeksikalitas adalah di mana peneliti akan
pasar. mengamati praktik pemberian label halal pada
Penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi makanan. Sedangkan untuk refleksivitas merupakan
untuk penelitian produk halal yang diambil langsung analisis peneliti atas suatu situasi atau ungkapam para
dari lapangan, karena penelitian ini termasuk dalam aktor di dalam indeksikalitas. Refleksivitas mengarah
ranah nonpositivis, yang menggunakan paradigma pada makna yang dihasilkan dengan melalui proses
interpretif. Penelitian nonpositivis melihat kedalaman perenungan. Dari refleksivitas tersebut, akan
suatu realitas. Beberapa penelitian mengenai halal ditemukan motif dari produsen memberikan label
industri masih berkutat pada penelitian positivis yang halal pada makanannya.
melihat keluasan realitas. Berdasarkan latar belakang Beberapa penelitian yang menggunakan
yang telah diuraikan di atas, maka di dapat sebuah ethnometodologi ini adalah di antaranya Sari (2018)
rumusan masalah, bagaimana praktik pemberian label yang melihat praktik akuntan pendidikan dalam
halal pada usaha UMKM? Maka tujuan penelitian menyampaikan mata kuliah akuntansi syariah,untuk
adalah untuk mengetahui praktik pemberian label menemukan nilai dalam penyampaian materinya.
halal pada usaha UMKM. Selain itu juga Gamar & Ali Djamhuri (2015)
meneliti tentang memahami peran auditor internal
2. METODE PENELITIAN pemerintah dalam upaya meminimalisir fraud.
Penelitian ini menggunakan paradigma Ludigdo (2007) melakukan penelitian menggunakan
interpretif, dalam ranah penelitian non-positivis. ethnometodologi untuk memahami dan menganalisis
Berbeda dengan penelitian dalam ranah mainstream praktik etika yang telah terjadi dalam proses
(positivis) yang untuk mengeneralisasi suatu terori, keseharian yang digunakan oleh kelompok organisasi
penelitian ini digunakan untuk melihat kedalaman Kantor Akuntan Publik (KAP) maupun per individu
suatu realitas. Alasan menggunakan penelitian di anggotanya.
ranah non-positivis, adalah penelitian ini dapat Situs penelitian ini mengambil beberapa
menangkap data yang diperoleh lebih lengkap, lebih informan produsen makanan dari UMKM yang
mendalam, serta dapat menemukan suatu konsep baru memberikan label halal pada kemasannya.
dari seluruh kejadian dalam suatu interaksi sosial. Pengumpulan data menggunakan, pertama
Beberapa pendekatan atau metode dalam pengamatan. Kedua, wawancara yang dilakukan
paradigma interpretif di antaranya adalah dengan para produsen. Pendokumentasian data
fenomenologi, ethnometodelogi, etnografi, narasi, diperoleh menggunakan rekaman suara, yang akan di
study kasus dan grounded theory (Triyuwono, 2013). ketik ulang, rekaman video untuk melihat secara
Melihat dari rumusan masalah yang disampaikan visual, rekaman foto dan catatan peneliti, serta lain
adalah untuk melihat cara atau praktik pemberian sebagainya untuk memperkuat analisis data
label halal oleh produsen makanan UMKM, maka penelitian.
penelitian ini menggunakan pendekatan Informan dalam penelitian ini tersebar dari Kota
ethnometodologi. Ethnometodologi menurut dan Kabupaten Malang, serta berasal dari berbagai
Garfinkle dalam Sari, Triyuwono, & Djamhuri (2016) macam bidang usaha UMKM. Mereka, yaitu Ibu Ita,
digunakan untuk mengungkapkan indeksikalitas dan pemilik Nasi Kewul. Ibu Rossy pemilik Kripik
tindakan-tindakan praktis lainnya dalam kehidupan Tempe Rossy. Bapak Angga, pemilik Kripik Aura
sehari-hari kelompok masyarakat. Tujuan utama Sufa. Bapak Ahmad Sabani Nasution, pemilik Jamur
ethnometodoligi Garfinkle bertumpu pada kegiatan Abon Ailani. Abdul Navir, pemilik abon ayam
praktik dalam suatu kelompok. “Umiku”. Kelima responden tersebut berasal dari
Analisis data dalam penelitian ethnometodologi kota dan kabupaten Malang. Selain itu UMKM yang
menggunakan indeksikalitas dan refleksivitas dari diteliti juga berasal dari beberapa bahan makanan,
suatu tindakan kelompok. Ethnometodologi dalam baik yang beresiko dengan kehalalan, seperti daging
penelitian ini untuk memahami praktik atau cara ayam untuk abon ayam, dan juga makanan dari bahan
pemberian label halal pada makanan oleh produsen. alami tumbuhan, seperti kedelai untuk keripik tempe
Dalam praktik tersebut akan ditangkap simbol-simbol dan sayuran seperti wortel untuk camilan stik.
dan diinterpretasikan oleh peneliti menggunakan alat

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 90
3. HASIL DAN PEMBAHASAN memasak), bumbu mahal semua, yang bisa
Informan pertama yaitu Bu Ita sebagai pemilik menyedapkan makanan bagi mereka itu kan, micin.”
nasi kewul, serta beberapa makanan rumahan. Beliau Menurut pernyataan beliau, yang menjadi
mendirikan usaha mulai tahun 2009. Awal mula masalah adalah ketika orang-orang yang memberikan
beliau membuka usaha ini untuk memudahkan para label halal pada produk mereka, namun tidak
anak kost untuk mencari makan, yang kebetulan menjamin kehalalan dari produk itu sendiri.
tempat tinggal beliau berada di sekitar kampus. Pemberian label halal hanya digunakan untuk
Lama-kelamaan orang sekitar juga sering memesan pemasaran produk yang mereka buat,
makanan dalam kotakan untuk segala acara yang “sekarang itu walaupun gak halal tapi ditulis
sesuai permintaan. Untuk menjangkau konsumennya, halal itu buanyaakk, ibuk juga sering kayak gitu,
beliau juga memasarkan masakannya melalui aplikasi makan bakso, ditanyain ‘halal yo. Halal kok buk. Yo
start-up. Makanan dengan kemasan box yang beliau wis samean yo sing nanggung dusone (lek gak
sediakan semuanya menggunakan label halal. halal). Lha aku ora ngerti loh buk, gak ikut bikin
Indeksikalitas pelabelan halal yang diberikan aku’, lha kan,, hahaha.”
pada kemasan tersebut beliau sendiri yang membuat, Refleksivitas dari indeksikalitas pelabelan halal
tidak secara resmi melalui LPPOM MUI. Ibu Ita yang digunakan oleh Bu Ita pada masakan yang
berpendapat bahwa pelabelan tersebut dapat beliau produksi, yaitu nilai amanah. Hal tersebut
digunakan karena bahan-bahan masakan yang dapat dilihat dari label halal tersebut, meskipun tidak
digunakan oleh Bu Ita adalah bahan yang terjamin resmi dari LPPOM MUI, namun beliau berani
higienisnya, serta terhindar dari MSG, karena menjamin bahwa makanan yang diproduksi adalah
menurut beliau MSG itu sangat berbahaya, bahkan benar-benar halal. Karena makanan tersebut bukan
sudah di haramkan oleh MUI. Hal tersebut seperti hanya untuk dijual saja, namun juga dimakan seluruh
yang disampaikan oleh Bu Ita dalam wawancara keluarganya, dengan menggunakan bahan-bahan
kami, “Trus kriteria halal nya itu gimana, MSG, MUI yang insyaAllah terbaik. Selain itu, penggunaan label
bilang itu haram, ya kan? Ya kan? Gak boleh itu. halal juga bukan untuk menaikkan penjualanya di
MSG, bakso gak pake itu? ya gak enak.” aplikasi start-up, karena di aplikasi tidak ada
Ketika dikonfirmasi tentang stiker halal yang ketentuan bahwa makanan yang dijual harus halal.
beliau buat sendiri untuk masakannya, Bu Ita Bahkan di aplikasi tersebut juga ada makanan yang
memberikan jawaban sebagai berikut, mengandung daging babi.
“Halal itu dalam arti semua kondisi harus bersih Pemberian label halalnya “asli” meskipun tidak
tidak memakai MSG, kayak gitu, trus kualitasnya melalui LPPOM MUI, karena merasa bahan-bahan
insyaAllah yang terbaik, soalnya keluarga ibuk ikut yang digunakan dan proses produksinya tidak
makan, itu yang pertama. Jadi keluarga ibuk, anak- melanggar syariat juga diungkapkan oleh pemilik
anak ibuk masih kecil-kecil ikut makan semua di sini, usaha “Abon Umik”, Mas Navir.
jadi bener-bener ibu jaga disini. Jadi harus dijaga “Itukan produk rumahan kan, kita yang produk
betul, kayak beras ibuk belinya yang berkualitas, sendiri kan, jadi halal. menurut kita sendiri gitu loh,
bahan-bahan itu semua yang bagus.” bahannya itu, apa, bahannya buat abon halal
Berdasarkan pada pernyataan Bu Ita di atas, semua”.
dapat di refleksikan bahwa karena beliau yakin Berdasarkan penuturan dari Mas Navir, abon ini
bahwa makanan yang beliau masak tidak menggunakan bahan dari daging ayam, bahan-bahan
menggunakan bahan-bahan yang dikategorikan alami, dan pemilik juga seorang muslim. Jika dari
haram, maka sah-sah saja menggunakan label halal proses dan bahannya sudah halal, maka otomatis
itu sendiri tanpa proses legalitas dari MUI. Kriteria produk abon ayam ini juga halal. Jadi sah-sah saja
halal dan haram dalam masakan yang beredar juga menggunakan label halal pada kemasannya.
dipertanyakan oleh Bu Ita, Abon ayam ini pada awalnya adalah kiriman dari
“Makanya kan, kriteria halalnya itu seperti apa, orang tua pemilik yang merantau ke Malang untuk
MUI ngasih batasan seperti apa, trus sosialisasi ke mencari Ilmu. Namun teman-temannya banyak yang
masayarakat itu seperti apa. Enak aja kalo sekarang menyukai rasa abon ayam ini, maka Mas Navir
itu, orang itu, biar laku lah (menggunakan label bersama satu temannya menkomersilkan abon ayam
halal sendiri). Semua orang itu loh (kalau misalnya dengan packaging dan labeling yang menarik

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 91
konsumen. Sedangkan untuk pemberian label halal pelabelan ini digunakan untuk promosi, namun
ini karena pernah ada pertanyaan kepada Mas Navir, karena adanya label halal tersebut prosuksi dan
tentang keaslian daging Ayam yang digunakan, yaitu pemasaran kripik tempe juga semakin meningkat. Bu
berasal dari ayam tiren, atau mati kemarin. Hal Rossi juga menganggap bahwa label halal bukan
tersebut seperti yang disampaikan oleh Mas Navir, sebuah sesuatu keharusan, karena bahan utama yang
“Awalnya gak pake label halal, karena saya digunakan tidak berasal dari bahan-bahan yang
sudah yakin kalo produk yang saya jual ini halal. tapi beresiko dengan sesuatu yang haram.
lalu ada yang bertanya ke saya, ini ayam asli kan? UMKM selanjutnya yang secara legal
Bukan ayam tiren kan? Setelah itu untuk meyakinkan mendaftarkan produknya dengan label halal di
konsumen kalo abon saya halal, maka saya LPPOM MUI adalah Bapak Angga, pemilik Aura
memberikan label halal biar banyak juga yang beli Sufa. Beliau memulai usahanya pada akhir tahun
abonnya” 2014. Produk dari Pak Angga yaitu makanan aneka
Berdasarkan pada indeksikalitas yang stik dari berbagai macam rasa yang berasal dari
disampaikan oleh Mas Navir, maka refleksivitas yang bahan alami. Label halal mulai didapatkan oleh Pak
dapat ditangkap adalah pelabelan halal ini dilakukan Angga pada tahun 2016. Meskipun bahan-bahan yang
sebagai media promosi. Pemberian label halal digunakan oleh Pak Angga bukan daging, namun
dilakukan untuk membuat konsumen semakin beliau merasa harus mendaftarkan produknya ke
percaya dengan produk abon yang bahan baku LPPOM MUI. Hal tersebut seperti yang diungkap
utamanya adalah ayam, bukan berasal dari ayam oleh beliau,
tiren. Dengan kepercayaan konsumen yang “tetap harus ya menurut saya, karena apa ya,
meningkat akan meningkatkan pula penjualan dari biar masyarakat juga percaya dengan produk saya.
abon ayam tersebut. Haram kan bukan hanya dengan daging ya?
Indeksikalitas pelabelan halal selanjutnya Hehehe.... proses produksinya kan juga dilihat ya,
berasal dari ibu Rossy, yang memiliki usaha “keripik bersih apa tidak tempatnya, bahan-bahan yang
tempe Rossy”. Beliau mendirikan usaha ini mulai digunakan seperti apa, itu juga penting.”
tahun 2009, berbeda dengan dua label halal Berdasarkan penjelasan di atas, label halal
sebelumnya yang membuat sendiri label halalnya, digunakan Pak Angga untuk menambah kepercayaan
beliau mendapatkan label halal ini langsung dari dan loyalitas konsumen terhadap produknya.
MUI. Menurut beliau, label halal ini didapatkan Indeksikalitas label halal tersebut dapat memberikan
melalui proses selama sebulan. Namun karena rasa aman bagi konsumen, bahwa makanan yang
bahannya berasal dari tempe, ada tidaknya label halal dikonsumsinya halal. Halal bukan hanya dari segi
menurut Bu Rossi itu sudah pasti halal, bahan utama yang dipakai adalah daging saja, namun
“Kalo kripik tempe insyaAllah tidak ada juga ketika disurvey juga dilihat dari proses produksi,
tambahan lain, insyallah halal, soale bahan-bahane tempat produksi serta bahan-bahan yang dipakai.
alam. Memakai label halal atau tidak, tidak ada Meskipun usaha beliau skala menengah, namun untuk
pengaruhnya, soale bahan e alami.” memenuhi standart tersebut, pegawai Pak Angga
Walaupun tidak ada label halalnya, kalau produk yang bekerja diwajibkan untuk menggunakan shower
tempe sudah pasti halal, karena bahan dasarnya cap (penutup kepala), supaya tidak ada rambut yang
adalah tempe, yang terbuat dari kedelai, dan bahan- jatuh ke dalam makanan. Maka dari itu, beliau sangat
bahan yang digunakan juga tidak menyalahi aturan concern dengan label halal. Saat ditanya mengenai
syariat sehingga membuat produk tersebut halal. label halal yang sekedar tulisan halal tanpa legalitas
Namun ketika dikonfirmasi penjualannya meningkat LPPOM MUI, karena itu menyalahi aturan.
setelah kripik tempe di daftarkan ke LPPOM MUI, “Asal dikasih logo halal? gak oleh, pasti kenek
beliau mengiyakan hal tersebut. “Ya alhamdulillah. pidana. Kan pemalsuan itu, awalnya paling ditegor,
Setelah pemasangan label halal ini produksinya suwe-suwe ya di penjara tah. Kalo tulisan arab,
semakin meningkat, pembelinya semakin banyak.” halal, itu boleh, itu kan pertanggung jawaban kita
Berdasarkan pada indeksikalitas pemberian label sama allah tah.”
halal pada kripik tempe Rossy, dapat ditangkap Pak Angga berpendapat jika produsen
refleksivitasnya adalah untuk promosi. Meskipun menggunakan label halal MUI secara tidak resmi, itu
tidak secara langsung Ibu Rossi menyatakan bahwa tidak boleh, karena telah melanggar legalitas LPPOM

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 92
MUI. Namun jika tulisan “halal” nya itu adalah halal memasuki toko swalayan dan modern adalah No P-
tulisan arab, menurut beliau masih diperbolehkan, IRT dan label halal yang resmi dari LPPOM MUI
meskipun ada pertanggung jawaban kepada Allah tersebut. Hal tersebut menjadi satu keuntungan
telah memakai label halal tersebut sebagai jaminan sendiri bagi Pak Sabani.
kepada konsumen bahwa produk yang dihasilkan Dampak positif selanjutnya, meskipun tidak
100% halal. secara signifikan menurut beliau adalah kepercayaan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di konsumen yang bertambah dengan adanya pelabelan
atas, maka refleksivitas dari indeksikalitas Pak Angga halal tersebut. Karena abon yang beliau produksi
menggunakan label halal pada produk cemilan aneka berasal dari tanaman jamur, maka tidak menjadi
stik adalah nilai etika pertanggungjawaban kepada sesuatu yang kritis dengan penggunaan label halal.
Allah dan para konsumennya. Meskipun makanan Berbeda dengan abon yang berasal dari daging ayam
beliau dari bahan tanaman alami, namun beliau atau sapi yang kritis dengan sesuatu halal dan haram.
merasa bertangggung jawan untuk memberikan Meskipun dampak tersebut tidak signifikan tapi lebal
informasi kepada konsumennya bahwa produk yang halal membuat abon jamu dapat meningkatkan
dihasilkan mulai dari bahan sampai dengan prosesnya branding produk.
adalah halal. Refleksivitas dari indeksikalitas pelabelan halal
Selain stik “Aura Sufa”, Jamur Abon “Ailani” yang dilakukan oleh Pak Sabani adalah untuk
juga mendapatkan label halalnya dari LPPOM MUI. meningkatkan branding dari produk jamurnya.
Usaha Abon jamur “Ailani” dimulai pada tahun 2010. Karena dengan adanya label halal tersebut dapat
Ide membuat abon dari jamur berawal dari, meningkatkan branding produknya menjadi lebih
sebelumnya beliau adalah petani jamur, namun ketika baik, sehingga kepercayaan masyarakat juga
jamur itu tidak laku maka terbuang sia-sia. Ibu dari mneingkat, yang secara otomatis berdampak pada
Pak Sabani, pemilik usaha jamur ini sering membuat hasil penjualan beliau. Selan itu, label tersebut juga
inovasi untuk mnegolah jamur yang tidak terserap mempermudah Pak Sabani untuk ekspansi produk
oleh pasar. Maka terciptalah abon jamur ini, yang melalui penjualan di toko swalayan dan toko modern.
paling diminati oleh pasar. Metafora Masjid dan Pasar dalam Label Halal
Usaha Pak Sabani ini juga mendapat binaan dari Dalam Al-Qur’an, keterkaitan antara masjid dan
Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Mayarakat pasar dapat dilihat dalam surat Al-Jumuah ayat 9-10
dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada mengenai panggilan shalat jumat,
Masyarakat Universitas Brawijaya. Indeksikalitas “Hai orang-orang beriman, apabila diseru
pelabelan halal pada produk Abon jamur “Ailani” untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah
adalah karena kerjasama dengan Universitas kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
Brawijaya tersebut, dari situ juga didapatkan No P- beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
IRT. Pendaftarkan produk jamur pada label halal dan mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
No P-IRT memberikan dampak positif kepada beliau bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
yaitu, karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
“Dampaknya yang paling terasa adalah kalo supaya kamu beruntung.”
kita mendistribusikan ke swalayan atau toko-toko Berdasarkan pada ayat tersebut, maka hubungan
modern, karena salah satu persyaratannya adalah P- antara masjid dan pasar dapat ditafsirkan juga sebagai
IRT dan halal itu. Dampak lainnya itu, walaupun dialektika antara kekuatan religius (masjid) dan
tidak terlalu signifikan, kalo saya lihat, itu adalah ekonomi (pasar). Namun hubungan antara masjid dan
kepercayaan konsumen. Kenapa kok tidak signifikan? pasar ini biasanya dipisahkan antara satu dengan yang
Karena produk kami kan dari jamur, bisa dibilang lainnya. Ketika membahas masjid, maka yang
bahannya bukan yang istilahrnya kritis dengan terlintas hanyalah tentang beribadah, shalat dan
pemakaian label halal, karena produk dari jamur.” mengaji. Begitupun ketika membahas tentang pasar,
Dampak yang sangat terasa untuk Pak Sabani maka yang terbersit dalam benak adalah transaksi jual
yaitu beliau dengan mudah bisa memperluas beli antara penjual dan pembeli.
pemasaran abon jamur ini untuk dimasukkan ke toko Saat membahas mengenai ekonomi islam, jarang
swalayan dan toko modern. Karena syarat utama atau bahkan sering terlupakan bahwa pasar adalah
yang biasanya menjadi kendala para UMKM untuk tempat yang paling buruk yang paling dibenci sama

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 93
Allah, sedangkan masjid tempat yang paling dicintai ketiga-kualitas, itu menunjukkan bahwa produksi
oleh Allah sering lepas dari pembahasan ekonomi dilakukan dengan proses yang terjamin
Islam. Pembahasan ekonomi “barat” bersifat orientasi kebersihannya. Terlepas dari manfaat yang
keuntungan, kapital, self-interest, rasional, empiris didapatkan, ada beberapa informan dalam penelitian
dan urusan dunia saja. Jika membahas mnegenai ini yang emmiliki pemahaman dan kesadaran luas
masjid, hanya tentang agama, yang tidak tentang label halal pada produk mereka. Bagi mereka,
berhubungan dengan logika ekonomi maupun bisnis. label halal menyiratkan keuntungan materi dan
Mulawarman (2016) mengungkapkan pertanyaan spiritual. Pelabelan pada produk mereka mengandung
yang bisa jadi sama dengan fenomena pelabelan nilai spiritual dan representasi kesadaran ilahiah.
halal, apakah saat ini kita akan membangun masjid Nilai spiritual halal dapat dirujuk pada perintah untuk
dahulu baru kemudian pasar? Ekonomi saat ini selalu mengkonsumsi produk halalan thoyiban, yang telah
membangun Mall terlebih dahulu, dengan lahan dan dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadist
bangunan yang beribu-ribu persegi, sedangkan sebagai berikut:
tempat ibadahnya hanya dipojok, kecil di dekat WC. Hai manusia! Makanlah hal-hal yang halal dan
Kuntowijoyo (2003) dalam tulisannya menjelaskan, baik dari apa yang ada di bumi, dan jangan
“...cara beragama disesuaiakan dengan situasi mengikuti jejak Setan; tentu saja dia adalah
pasar juga. Di sinilah munculnya ide-ide sekularisasi musuhmu yang terbuka. (QS.2: 168)
yang memisahkan agama dari struktur sosial... yang Halal itu jelas dan Haram (haram) jelas. Di
menempatkan agama “di tempatnya” sendiri. Agama antara keduanya ada hal-hal yang meragukan yang
dapat merupakan komoditi konsumen dan lembaga- tidak diketahui orang. Seseorang yang menghindari
lembaga dakwah sebagai agen-agen pemasaran. mereka untuk menjaga agamanya dan
Dalam keadaan ini,... agama yang semula disebarkan kehormatannya aman, sementara jika seseorang
dengan cara otoritatif sekarang terpaksa harus menuruti itu, ia mungkin terlibat dalam yang
dipasarkan.” melanggar hukum ”(Imam Bukhari)
Fenomena label halal yang sedang berkembang Dengan demikian, dalam perspektif etika agama,
saat ini berdasarkan pada hasil penelitian yang produk agama memnungkin produsen untuk
dilakukan, lebih banyak produsen yang menggunakan maqashid syariah yang mencakup li hifdz al
label halal sebagai media promosi, untuk dien (untuk melindungi agama), li hifdz al nafs (untuk
meningkatkan kepercayaan konsumen yang secara melindungi diri ), li hifdz al aql (untuk melindungi
otomatis akan berdampak pada jumlah penjualan. rasio), li hifdz al mal (untuk memprioritaskan materi)
Selain itu, dengan adanya label halal ini produsen dan li hifdz al nasl (untuk melindungi faktor
lebih mudah untuk melakukan ekspansi pasar. keturunan). Sedangkan dalam perspektif etika utilitas,
Berdasarkan pada hal tersebut, maka pasar menjadi perilaku produsen dalam merespon fenomena produk
dasar penggunaan label halal, sedangkan masjid halal terinspirasi oleh keuntungan yang maksimal.
sebagai simbol mengikuti “kuasa” pasar. Mengingat Secara rasional, produsen memiliki kemampuan
pangsa pasar di Indonesia, khususnya di Malang membaca situasi dan kondisi segmen pasar yang
Raya ini yang mayoritas beragama Islam, dan banyak didominasi oleh konsumen muslim.
adanya pondok pesantren yang tersebar dan sekolah-
sekolah dengan basic Islam. 5. REFERENSI
Al-Qur’an dan terjemahan
4. KESIMPULAN Endah, N. H. (2014). Perilaku Pembelian Kosmetik
Praktik label halal dalam kemasan produk Berlabel Halal oleh Konsumen Indonesia. Jurnal
memberikan beberapa manfaat kepada produsen. Ekonomi Dan Pembangunan, 22(1), 11–25.
Pertama adalah meningkatkan kepercayaan Gamar, N., & Ali Djamhuri. (2015). Auditor Internal
konsumen. Adanya label halal memungkinkan Sebagai “ Dokter ” Fraud. Jurnal Akuntansi
konsumen untuk yakin dengan apa yang Multiparadigma, 6, No. 1(April), 107–123.
dikonsumsinya. Kedua-keunggulan kompetitif, Kuntowijoyo. (2003). Masjid atau Pasar: Akar
produsen dapat menggunakannya sebagai alat Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan.
pemasaran untuk ekspansi ke toko modern dan Makalah Dalam Seminar KPFI IAIN Sunan
swalayan yang mengharuskan adanya label halal. Kalijaga Yogyakarta, 17-19 Oktober.

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


View publication stats

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(01), 2020, 94


Ludigdo, U. (2007). Paradoks Etika Akuntan. Triyuwono, I. (2012). Akuntansi Syariah Perspektif,
Yogyakarta: Pustaka Belajar. Metodologi dan Teori (ketiga). Jakarta:
Mulawarman., A. D. (2016). 2024 Hijrah untuk Rajagrafindo Persada.
Negeri: Kehancuran atau Kebangkitan?: Triyuwono, I. (2013). [Makrifat] Metode Penelitian
Indonesia dalam Ayunan Peradaban. Jakarta: Kualitatif [dan Kuantitatif] untuk Pengembangan
Rumah Peneleh. Disiplin Akuntansi. Simposium Nasional
Putri, T., & Bulan, L. (2016). Pengaruh Labelisasi Akuntansi, (September), 1–15.
Halal terhadap Keputusan Pembelian Sosis di Weber, M. (2008). Etika Protestan dan Roh
Kuala Simpang Kabupaten Aceh Tamiang, 5(1), Kapitalisme. London and New York: Routlegde.
430–439. Wilson, J. A. J. (2014). The halal phenomenon : An
Rambe, Y. M., & Afifuddin, S. (2012). Pengaruh extension or a new paradigm ? Social Business,
Pencatuman Label Halal pada Kemasan Mie Interdiciplinary Journal, 4(3), 255–271.
Instan terhadap Minat Pmebelian Masyarakat Wilson, J. A. J., & Liu, J. (2010). Shaping the Halal
Muslim. Jurnal Ekonomi Dan Keuangan, 1(1), into a brand ? Journal of Islamic Marketing,
36–45. 1(2), 107–123.
Sari, A. F. K. (2018). YIN-YANG : Membangun Zohar, D., & Marshall, I. (2004). Modal Spiritual:
Sustainabilitas Pembelajaran Akuntansi Syariah. Kekayaan Kita Dapat Hidup dengan
In Konferensi Regional Akuntansi V (pp. 1–23). Menggunakan Kecerdasan Kita, Emosional, dan
Sari, A. F. K., Triyuwono, I., & Djamhuri, A. (2016). Spiritual untuk Mengubah Diri Kita dan Budaya
Pragmatic on Islamic Accounting Education, Perusahaan. London: Blumsbury.
(11), 1033–1037.

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534

You might also like