You are on page 1of 32

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357629912

Kris dagger, the Local Wisdom of Metal Forging from Ancient Java

Chapter · December 2021

CITATIONS READS

0 115

1 author:

Harry Octavianus Sofian


The National Research and Innovation Agency (BRIN)
41 PUBLICATIONS 142 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hunian Prasejarah di Gua Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan View project

Recent Archaeometallurgy Research in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Harry Octavianus Sofian on 06 January 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


D LID RND D D DK D D KD L DL DD P
DL D D NL D DSD .D D N D LID RND D D DK D DK D
D L KD L N D DD NL D D DK ML MDN DK ND D D
P D L N D LID RND D P PS DL L DL S L D P MD L N ND DD
D D D D ND D DP DSD P M NND D MD L L L NL D D DL D D
, R LD

DSD N D LID RND D DD DK L LL D D DN N LN DK L D


LS DMD L DKND L D LND N N S L D PD PD LD KL D L D
N D M D D DK LKLPS D DP D N D DPSDL L L D L L
M D . D LID RND L D DP .D DK R L D L P D S L LD
L L D D ND DD D N RR L D DK L NR N L P D L P R L PLDK
D N RR L D DK ML D DL D KD L S L LD D D DN L D D ND
N SD D LDSD DMD D PL D P DL D D , R LD NK D
P DL N D LID RND DL L D DPSDL PDKD L D S L L D PD D DND
D D SD D S DP L N S D

. PS D L D D DPSDL D . D LID RND D DSD D N


S PD D DKD D D D DP D D NDK L PLDK SRS D S L D
N N DD D D . R D DL D LPL LNL D D , R LD D P P LDND D DP
P D D L L D S LK D DN L D D ND N D L N
SD D L LD N RR L D LR D D P DSND N D
D DD N DKD KD L P PS P DKND N L PLDK SRS D L L
N SD D S P D D LD D D L D DN DN DDN N D D D S DLND
N SD D D DK D LK DLN PR D DSD LL DN D M L DLN D L S L D
L L PD S D L LN D DPD P D D

- 3 1 - N ,
7
)
(P N E FE
E

17.5 x 25 cm TP 1CM
Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi
MERETAS KEARIFAN LOKAL
DI DALAM KANCAH MODERNISASI

Penulis:
I Made Geria, RR. Triwurjani, Muh. Fadhlan S. Intan, Agustijanto Indradjaja,
Harry Octavianus So an, Bambang Sulistyanto, Retno Handini,
Ashar Murdihastomo

Editor:
Prof. (Ris) Dr. Bambang Sulistyanto

Co-Editor:
Dr. RR. Triwurjani
Dimas Nugroho, S.Hum.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi


Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
Jakarta, 2021
Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi: I Made Geria, RR. Triwurjani, Muh. Fadhlan
S. Intan, Agustijanto Indradjaja, Harry Octavianus So an, Bambang Sulistyanto, Retno Handini,
dan Ashar Murdihastomo: ed 1, cet 1, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan
Yayasan Pustaka Obor Indonesia

xvi hlm + 186 hlm; 17,5 cm x 25 cm


ISBN versi cetak
E-ISBN versi digital

Judul:
Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi

Penulis:
I Made Geria, RR. Triwurjani, Muh. Fadhlan S. Intan, Agustijanto Indradjaja, Harry Octavianus
So an, Bambang Sulistyanto, Retno Handini, Ashar Murdihastomo

Cetakan Pertama: Desember 2021


Desain Sampul: Rahmatika
Gambar Sampul: Pura Tirta Sudamala

Copyright ©2021
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights reserved
Diterbitkan pertama kali oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
anggota IKAPI, DKI Jakarta

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Yayasan Pustaka Obor Indonesia


Jl. Raya Condet Pejaten No. 4 Jl. Plaju No. 10, Jakarta 10230,
Jakarta Selatan 12510 Indonesia Indonesia
T. +62 (0)21 7988171, 7988131 T. +62 (0)21 31926978, 31920114
F. +62 (0)21 7988187 F. +62 (0)21 31924488
E-mail: arkenas@kemdikbud.go.id E-mail: pustakaobor@cbn.net.id
http://www.arkenas.kemdikbud.go.id http://www.obor.or.id
PENGANTAR PENERBIT

Bunga rampai ini berjudul “Meretas Kearifan Lokal dalam Kancah Modernisasi”.
Buku ini lahir dari tabung kegelisahan arkeolog akibat wabah copid 19 yang tidak
kunjung usai menerpa negeri ini. Ada delapan artikel yang tersurat di dalamnya
sebagai bentuk keprihatinan atas bencana yang menimpa, sehingga memaksa
tinggal di rumah dan melahirkan buku ini. Dari sini sudah nampak jelas, betapa
urgen dan esensialnya makna kerarifan lokal sebagai sebuah fenomena budaya yang
tidak berhenti terbatas pada konsep dan teori. Artinya kearifan lokal atau local
wisdom harus dinamis dan tere eksikan ke dalam kehidupan konkrit yang mampu
menjawab tantangan zaman.
Kearifan lokal merupakan kata yang tidak asing di dengar dan telah banyak
dikaji baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, keberadaan akearifan lokal semakin tersingkirkan dengan
masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat
seperti pertambahan penduduk yang semakin meningkat. Kondisi demikian
menyebabkan masyarakat meninggalkan kearifan lokal yang telah diwariskan secara
turun-temurun. Pola pikir masyarakat mulai berubah seiring dengan memudarnya
kearifan lokal dari pola pikir holistik ke pola pikir mekanik. Sebagai dampaknya,
masyarakat tidak lagi memikirkan keseimbangan dalam mengelola sumber daya
alam dan lingkungannya.
Kearifan lokal bisa diartikan sebagai tatanan sosial budaya dalam bentuk
pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang diwariskan secara turun temurun. Ia merupakan
modal sosial yang dikembangkan masyarakat guna menciptakan keteraturan dan

v
Pengantar Penerbit

keseimbangan. Sebagai pedoman hidup, kearifan lokal memiliki ciri antara lain
sanggup bertahan dari pengaruh budaya luar, skaligus mengintergrasikan unsur
budaya asing ke dalam budaya asli. Sebagai kebenaran yang mentradisi atau “ajeg”,
ciri khas lain kearifan lokal bersifat temurun dan mampu membentuk karakter
bangsa serta menciptakan identitas sebuah negara. Namun sebagai bagian dari
budaya, kearifan lokal sering mengalami distori atau bahkan perubahan makna dari
masa ke masa.
Dalam kehidupan masyarakat, kearifan lokal dapat ditemui dalam bentuk
prodoks budaya seperti tembang, pepatah, sasanti, petuah, semboyan dan kitab-
kitab kuno yang melekat dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Biasanya kearifan
lokal tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan
hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun
non-empiris atau yang estetik maupun intuitif .
Sebagai warisan budaya, kearifan lokal tidak muncul serta-merta, tetapi melalui
proses panjang sehingga akhirnya terbukti kesahihannya dan melekat kuat dalam
kehidupan masyarakat. Ia lahir dari pemikiran dan keyakinan yang mendalam dari
masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Oleh karena itu, kearifan lokal di
setiap daerah berbeda-beda. Tetapi secara praktis menyimpan banyak fungsi yang
sama, antara lain untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Namun,
dewasa ini kearifan lokal sering kali menghadapi tantangan berat yang mengancam
keberadaan dan kelestariannya. Keberadaannya mulai terkikis oleh perkembangan
inovasi teknologi dan perkembangan penduduk.
Sebagai kebijakan yang telah teruji, kearifan lokal ditemukan diberbagai
belahan dunia. Sedemikian jauh konsep kearifan itu terbang mengarungi samodera,
menembus batas dunia, namun ia tetap bukan produk modernism yang gegap
gempita. Secara historis, ia justru lahir dari dalam jiwa hasil kontemplasi perenungan
yang dalam dari masyarakat tradisional yang tersimpan lama. Pentingnya
memunculkan kembali kearifan lokal dalam masyarakat adalah merupakan bagian
dari upaya meningkatkan ketahanan nasional sebagai sebuah bangsa.

vi
Pengantar Penerbit

Upaya penulisan buku ini perlu kita hargai, karena bisa dipandang upaya yang
diharapkan mampu memberikan inspirasi kepada para peneliti arkeologi Indonesia.
Dengan demikian, buku ini penting dibaca bukan saja oleh para peneliti muda
yang bersemangat dan haus akan kemajuan ilmu, tetapi juga oleh para mahasiswa,
masyarakat awam dan para pecinta serta pemerhati warisan budaya. Akhirnya,
semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca.

vii
viii
SAMBUTAN
KEPALA PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI
NASIONAL

Bunga rampai ini berjudul “Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi”,
merupakan ajakan untuk mencintai sekaligus melestarikan warisan budaya bangsa.
Buku ini ditulis oleh para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sebagai
pertanggungjawaban moral akademis terhadap masyarakat luas akan kebutuhan
informasi budaya masa silam. Mencermati artikel yang tersurat dalam buku ini,
kita diajak menengok jauh ke belakang, untuk melihat dan merenungi gagasan
leluhur kita, dan berusaha untuk memaknai kearifan lokal sebagai pelajaran yang
diwariskan oleh leluhur kita di masa lalu.
Kearifan lokal adalah terjemahan dari local genius atau local wisdom yaitu
kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing
ketika kedua kebudayaan itu bertemu. Kearifan lokal merupakan modal pembentukan
karakter bangsa yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui
pengalaman masyarakat yang terakumulasi secara mendalam. Artinya, kearifan lokal
merupakan hasil perilaku masyarakat yang belum tentu dialami oleh masyarakat
lain. Nilai-nilai ini akan melekat kuat karena sudah teruji melalui proses perjalanan
waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Kearifan lokal merupakan upaya inovasi masyarakat masa lalu untuk beradaptasi
dengan lingkungannya. Bentuk kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat
bermacam-macam, menyebabkan fungsi nya menjadi bervariasi, antara lain sebagai
lter dan pengendali terhadap budaya luar. Tetapi kearifan lokal hanya akan abadi
kalau terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari, sehingga mampu

ix
Sambutan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

merespons dan menjawab arus zaman yang berubah-ubah. Kearifan lokal juga
harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan
kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong- royong dan kebersamaan.
Wujud kearifan lokal itu sendiri bermacam-macam seperti tulisan-tulisan pada
Primbon, tangible atau berwujud intangible seperti nyanyian, kidung, cerita-cerita
rakyat yang disampaikan secara oral, turun-temurun, dan mengandung nasehat-
nasehat atau pesan-pesan moral. Dalam perkembangan peradaban manusia yang
dinamis dari waktu ke waktu, konsepsi kearifan lokal pun mulai terkaburkan. Pada
konteks kekinian, modernitas menyebabkan sebagian besar manusia beranggapan
tradisi itu sesuatu yang usang, kurang penting, dan tidak perlu dirujuk lagi.
Anggapan ini menyebabkan terputusnya hubungan antara alam–tradisi–artefak
sik, sehingga kearifan lokal mengalami pergeseran makna.
Sebagai pandangan hidup, kearifan lokal adalah ilmu pengetahuan yang mampu
menjawab berbagai permasalahan kehidupan. Kehadirannya di dalam masyarakat
sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg karena telah teruji. Sebagai produk
masa lalu, kearifan lokal secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, dalam
bersikap dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
Melalui buku ini, saya ingin mengajak semua kalangan khususnya generasi
muda untuk mendalami nilai-nilai luhur dan kearifan masa silam yang tentu saja
bisa diaktualisasikan dalam kehidupan masa kini. Upaya penulisan bunga rampai
ini perlu kita hargai, karena bisa dipandang sebagai upaya serius yang diharapkan
mampu memberikan inspirasi kepada generasi muda Indonesia. Buku ini penting
dibaca bukan saja oleh para arkeolog, tetapi juga oleh masyarkat khususnya para
pecinta seni serta pemerhati warisan budaya. Akhirnya kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terbitnya buku ini, saya menyampaikan rasa terima kasih
yang tidak terhingga. Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya, ilmu arkeologi pada khususnya. Selamat membaca.

Jakarta, November 2021


Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Dr. I Made Geria, M.Si.

x
DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit ............................................................................................... v


Sambutan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ........................................ ix
Dafrar Isi ............................................................................................................. xi
Daftar Gambar .................................................................................................. xiii

Prolog
Menggali Kearifan Lokal Nusantara ..................................................................... 1
Bambang Sulistyanto
Kearifan Lokal Masyarakat Megalitik Pasemah, Sumatra Selatan: Quo Vadis ........ 9
Rr. Triwurjani
Peran Kajian Arkeologi dalam Mewujudkan Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal Menuju Generasi Emas 2045...................................................... 31
Ashar Murdihastomo
Pemilihan Bahan Batuan Situs Noelbaki, Nusa Tenggara Timur ......................... 49
Muh. Fadhlan S. Intan
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno ................... 69
Harry Octavianus So an
Situs Rogoselo, Pekalongan
Tempat Pemujaan Hindu yang Berbentuk Punden Berundak ............................. 83
Agustijanto Indradjaja

xi
Daftar Isi

Pemodelan dalam Kearifan Lokal Menjadi Solusi Kebijakan Pembangunan


(Studi Kasus Peradaban Pengelolaan Air di Bali Timur) ...................................... 99
I Made Geria
Marapu dan Kearifan Lokal Budaya Sumba ...................................................... 127
Retno Handini
Kearifan Lokal Dayak Bukit di Pegunungan Meratus dalam Mengelola Hutan ... 147
Bambang Sulistyanto

Epilog
Memediasi Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal ................................................ 167
Bambang Sulisyanto

Glosari ............................................................................................................. 175


Indeks .............................................................................................................. 179
Biodata Penulis ................................................................................................. 181

xii
DAFTAR GAMBAR

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MEGALITIK PASEMAH, SUMATRA


SELATAN: QUO VADIS
Gambar 1. Arca Figur manusia memangku gajah.
Situs Tanjung Telang dan Tinggi Hari ............................................... 14
Gambar 2. Figur manusia naik gajah dengan membawa gur lain yang
lebih kecil di belakangnya ................................................................. 16
Gambar 3. Relief dua orang mengapit gajah, membawa nekara, dua sisi............. 17
Gambar 4. Arca gur manusia menunggang gajah.............................................. 18
Gambar 5. Arca gur manusia naik gajah terlentang dan tampak belakang......... 19
Gambar 6. Figur manusia menunggang gajah..................................................... 20
Gambar 7. Bukit Selero dan pusat latihan gajah, Kabupaten Lahat..................... 25

PERAN KAJIAN ARKEOLOGI


DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL
MENUJU GENERASI EMAS 2045
Gambar 1. Gambaran hubungan antara kajian Arkeologi dengan Kearifan Lokal .. 37
Gambar 2. Hubungan antara kearifan lokal dengan pendidikan .........................40
Gambar 3. Model pembelajaran berbasis kearifan lokal ......................................41
Gambar 4. Gambaran posisi kajian arkeologi dalam pembentukan
pembelajaran kearifan lokal ..............................................................43

xiii
Daftar Gambar

PEMILIHAN BAHAN BATUAN SITUS NOELBAKI,


NUSA TENGGARA TIMUR
Gambar 1. Keletakan Situs Noelbaki dalam peta Kabupaten Kupang .................51
Gambar 2. Keletakan Situs Noelbaki dam Peta Rupa Bumi Indonesia ................51
Gambar 3. Keletakan Situs Noelbaki dalam peta geomorfologi (2D) ..................55
Gambar 4. Keletakan Situs Noelbaki dalam peta geomorfologi (3D) ..................56
Gambar 5. Keletakan Situs Noelbaki dalam peta geologi lembar Kupang- ..........
Atambua, Timor ...............................................................................57
Gambar 6. Struktur Geologi yang melintasi Situs Noelbaki ................................58

KERIS, KEARIFAN PENGETAHUAN TEMPA LOGAM


MASYARAKAT JAWA KUNO
Gambar 1. Arca Durga .......................................................................................74
Gambar 2. Keris dhapur bethok tangguh buda akhir abad ke-9 M .....................74
Gambar 3. Variasi belati tipe Dongson, salah satunya ada yang memiliki lekuk
di sisinya ...........................................................................................75
Gambar 4. Keris yang terukir pada Prasasti Hujung Langit, Lampung Barat dan
keris lurus bersayap dari Kerajaan Pagarruyung .................................75
Gambar 5. Keris Nagasasra lekuk (luk) 11 koleksi Museum Leiden, Belanda......76

SITUS ROGOSELO, PEKALONGAN


TEMPAT PEMUJAAN HINDU YANG BERBENTUK PUNDEN
BERUNDAK
Gambar 1. Arca Dwarapala di Situs Rogoselo .....................................................84
Gambar 2. Situs Rogoselo di tepi Sungai Rogoselo .............................................87
Gambar 3. Arca tokoh ........................................................................................88
Gambar 4. Yoni ..................................................................................................88

xiv
Daftar Gambar

PEMODELAN DALAM KEARIFAN LOKAL MENJADI SOLUSI


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
(STUDI KASUS PERADABAN PENGELOLAAN AIR DI BALI TIMUR)
Gambar 1. Persebaran Situs dalam Wilayah Penelitian ..................................... 102
Gambar 2. (a) Tampak Udara Kawasan Tirta Gangga;
(b) Pemuliaan Sumber Air di Tirta Gangga ..................................... 106
Gambar 3. Pura Tirta Sudamala ....................................................................... 107
Gambar 4. Bale Kambang Kerta Gosa .............................................................. 109
Gambar 5. Telaga Tista ..................................................................................... 109
Gambar 6. Hasil Analisis MDS Keberlanjutan Pengelolaan Sumber Daya Air
di Bali Timur .................................................................................. 114
Gambar 7. Stock ow diagram model pengelolaan sumber daya air.................. 117
Gambar 8. Gra k pertumbuhan penduduk dari tahun 2010 sampai
tahun 2030 ..................................................................................... 118
Gambar 9. Gra k hubungan peningkatan luas permukiman dengan luas sawah
di wilayah Bali bagian timur dari tahun 2010 – 2020 dalam hektar....119
Gambar10. Gra k hubungan peningkatan luas permukiman dengan luas sawah
di wilayah Bali bagian timur dengan simulasi kenaikan penduduk
40% dari tahun 2010 – 2024 dalam hektar.................................... 119
Gambar 11. Gra k hubungan antara kapasitas DAS dan kebutuhan air
masyarakat di wilayah Bali bagian timur dari tahun 2010 – 2020
dalam kubik .................................................................................. 120
Gambar 12. Gra k hubungan antara kapasitas DAS dan kebutuhan air
masyarakat di wilayah Bali bagian timur dengan simulasi
kenaikan penduduk 40% dari tahun 2010 – 2030 dalam kubik ...... 121

MARAPU DAN KEARIFAN LOKAL BUDAYA SUMBA


Gambar 1. Rato, pemimpin ritual Marapu berdiri di sebelah katoda ................ 130
Gambar 2. Rumah tradisional Sumba............................................................... 136

xv
Daftar Gambar

Gambar 3. Katoda, tempat persembahyangan Marapu ..................................... 138


Gambar 4. Katoda bergambar wajah manusia................................................... 138
Gambar 5. Sirih Pinang .................................................................................... 141

KEARIFAN LOKAL DAYAK BUKIT DI PEGUNUNGAN MERATUS


DALAM MENGELOLA HUTAN
Gambar 1. Pegunungan Meratus ...................................................................... 156
Gambar 2. Hutan sebagai Jiwa Orang Dayak Meratus...................................... 156

xvi
KERIS, KEARIFAN PENGETAHUAN TEMPA LOGAM
MASYARAKAT JAWA KUNO

Harry Octavianus So an
Email: harry.octa@gmail.com

1. Pendahuluan
Pengetahuan mengolah logam di kawasan Asia Tenggara telah dikenal sejak 1300
- 1100 SM yaitu mengolah logam perunggu (logam campuran tembaga dengan
timah putih, timah hitam maupun arsenik) dan mengolah logam besi yang dikenal
sejak 500 SM. Di kawasan Nusantara pengetahuan logam perunggu dan besi telah
dikenal oleh masyarakat setidaknya sejak 300 SM, hal ini sejalan dengan apa yang
disebut sebagai “ledakan” pengetahuan teknologi logam di kawasan Asia Tenggara,
di mana hanya dalam waktu kurang-lebih 500 tahun, penyebaran dan penggunaan
logam telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara daratan dan kepulauan (T. F.
G. Higham et al. 2020; Calo et al. 2015; Naizatul Akma Mohd and Saidin 2018).
Berdasarkan kronologi, pengetahuan penggunaan logam perunggu dan besi yang
muncul di kawasan Asia Tenggara secara hampir bersamaan membuat kawasan
Asia Tenggara daratan dan kepulauan hanya mengenal Zaman Perunggu - Besi
(C. Higham et al. 2011; van Heekeren 1958), hal ini berbeda dengan kronologi
di kawasan Eropa yang mengenal pembagian Zaman Tembaga (chalcolithic) dan
Zaman Perunggu - Besi (bronze and iron age) (Rowan and Lovell 2011).
Penemuan teknologi penggunaan bahan logam untuk membuat artefak telah
membuat ragam variasi benda-benda pada masa prasejarah di kawasan Nusantara,
yang mulanya didominasi oleh artefak batu, tulang dan gerabah (Alink et al. 2017;

69
Harry Octavianus So an

van Stein Callenfels 1932; Bonatz and Tjoa-Bonatz 2009) kemudian variasinya
bertambah dengan hadirnya artefak logam (So an et al. 2015). Tercatat beberapa
situs di kawasan Nusantara memiliki tinggalan artefak logam seperti Gua Harimau
- Sumatera Selatan, Pasir Angin - Jawa Barat, Plawangan - Jawa Tengah, Gilimanuk,
Pangkung Paruk, Sembiran – Bali, serta Lambanapu - Sumba yang memiliki ragam
tinggalan artefak berupa perunggu dan besi seperti kapak corong, nekara, bejana,
anting-anting, gur manusia, gelang, cincin, dan lain sebagainya (Simanjuntak et
al. 2013; Suryani 2004; So an et al. 2017; Anggraeni 1999; Pryce et al. 2018;
Simanjuntak et al. 2019). Tidak hanya pada masa prasejarah saja, penggunaan
artefak dari bahan logam terus berlanjut pada masa kemudian yaitu pada masa
munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai saat ini.
Jika dikaitkan dengan pendapat Binford, artefak logam dapat diklasi kasikan
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Idiofak, yaitu artefak logam yang dihubungkan dengan hal religius, misalnya
sebagai benda pusaka
b. Sosiofak, yaitu artefak logam yang dihubungkan dengan kehidupan sosial
masyarakat, misalnya sebagai bekal kubur
c. Teknofak, yaitu artefak logam yang dihubungkan dengan aktivitas
mempertahankan hidup, misalnya alat berburu, mempermudah aktivitas
hidup (Binford 1962).
Keris sebagai salah satu artefak yang terbuat dari logam, pada saat ini dianggap
sebagai senjata yang dipercaya memiliki kekuatan gaib dan bahkan dikeramatkan,
banyak yang memuja keris seakan-akan memiliki jiwa. Keris berkembang dalam
sistem budaya masyarakat Jawa, bagi masyarakat Jawa, keris adalah benda yang
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Keris bukan hanya sebuah senjata,
namun keris juga mengandung nilai loso adiluhung (Sutrisno 2011). Namun
demikian, sejarah keris masih dianggap kurang jelas dan “abu-abu” oleh ahli sejarah
dan arkeologi, tidak banyak -bukti arkeologi yang dihubungkan dengan keris
sehingga perlu kiranya pelacakan pengetahuan sejarah keris pada masa Jawa kuno
sampai keris menjadi senjata logam yang dikeramatkan.

70
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

Permasalahan
Seperti sekilas dijelaskan pada bagian latar belakang, fokus permasalahan yang
diangkat pada artikel ini adalah bagaimana kearifan pengetahuan masyarakat Jawa
kuno dalam menempa keris.

Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kearifan pengetahuan masyarakat Jawa
kuno dalam menempa keris, sehingga diharapkan menambah dan memperkaya
wawasan pengetahuan tentang keris.

Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode studi
pustaka (library research), studi pustaka dapat diartikan metode pengumpulan
data dari perpustakaan baik berupa buku, ensiklopedi, kamus, jurnal, dokumen,
majalah, dan lain sebagainya (Nursapia, 2014). Data pustaka yang disajikan melalui
dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen
elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.

Kerangka Pemikiran
Arkeometalurgi merupakan subcabang ilmu arkeologi yang memfokuskan pada
produksi dan distribusi logam, mulai dari sumber, teknik sampai kepada produksi
logam untuk mengetahui aktivitas dan interaksi manusia masa lalu dengan logam
serta perubahan sosial-budaya yang terjadi saat manusia mengenal dan menggunakan
logam (Bayley et al. 2008; Pryce et al. 2018). Keris sebagai benda yang terbuat dari
logam memiliki interaksi dengan manusia yang mengenalnya sehingga didapatkan
perubahan sosial-budaya yang terjadi. Melalui metode penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bersifat deskriptif dengan menempatkan data hasil penelitian yang
didapat dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan keris, serta memiliki
hubungan pembahasan dengan artikel yang ditulis saat ini sehingga mendapatkan
kesimpulan baru tentang keris.

71
Harry Octavianus So an

2. Diskusi
Kearifan lokal adalah pandangan hidup serta ilmu pengetahuan dan berbagai
strategi hidup yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Secara
etimologi, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom)
dan lokal (local) (Njatrijani 2018). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kearifan adalah kebijaksanaan atau kecendekiaan dan lokal artinya di satu tempat
atau setempat (Sunendar et al.2016). Secara har ah kearifan lokal dapat diartikan
kebijaksanaan yang didapat di tempat tertentu.
Istilah Jawa kuno menurut Sedyawati adalah waktu dari abad 7 sampai 16
Masehi yang berada di wilayah Pulau Jawa dan Bali ketika bahasa Jawa kuno dipakai
sebagai bahasa resmi dalam sastra dan dokumen kenegaraan (Edy Sedyawati 2011,
27). Pada masa Jawa kuno berkembang kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan Bali,
antara lain Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, Kerajaan
Mataram kuno di Jawa Tengah, serta Kerajaan Singasari, Kerajaan Kediri dan
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur serta Kerajaan Bali kuno di Pulau Bali yang
berkembang dari abad ke 7 - 16 Masehi (Soekmono 1990). Pada masa ini pula
berkembang berbagai macam senjata, antara lain tombak, linggis, pisau, kapak dan
juga keris. Alat-alat ini sering dijumpai dalam prasasti-prasasti Jawa kuno sebagai
barang sesaji pada upacara keagamaan (Setiawan 1986). Dari segi kepercayaan,
masyarakat Jawa kuno memiliki kecenderungan untuk tidak melepaskan hal-hal
yang berhubungan dengan kepercayaan dan teknologi, karenanya masyarakat Jawa
kuno dikenal juga sebagai masyarakat yang religius (Fitrah 2013).
Tidak diketahui secara jelas kapan keris mulai dikenal, beberapa ahli memiliki
pendapat tentang asal usul keris, G.B. Gardener pada tahun 1936 mengatakan
keris adalah perkembangan dari bentuk senjata tajam masa prasejarah, yaitu tulang
ekor atau sengat ikan pari yang dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan
kain pada tangkainya, dengan begitu lebih mudah dibawa. Sementara itu Gri th
Wilkens pada tahun 1937 berpendapat bahwa keris baru muncul pada abad ke-14
dan ke-15, di mana keris merupakan perubahan dari tombak yang dipangkas agar
lebih mudah dibawa. Pendapat A.J. Barnet Kempers tentang keris pada tahun 1954,

72
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

mengatakan jika keris merupakan perkembangan bentuk senjata penusuk dari masa
kebudayaan Dongson yang ditemukan di Nusantara di mana di bagian hulu senjata
terdapat gur manusia yang berkacak pinggang (Harsrinuksmo 2004).
Walaupun data artefak awal keris belum ditemukan, data tekstual membantu
mengungkap kapan keris mulai digunakan. Kata keris muncul pada prasasti-prasasti
bahasa Jawa kuno pada abad ke 9 dan 10 Masehi yang merinci penetapan status
tanah sima, yaitu tanah yang dibebaskan dari membayar pajak kepada kerajaan
karena merawat suatu bangunan suci. Prasasti Karang Tengah berangka 824
M dan Prasasti Poh berangka 904 M menyebutkan, bahwa dalam upacara sima
disiapkan benda dari logam, antara lain twek punukan (pemotong/penusuk yang
berpunggung/arit?), nakka-cheda (pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), kris, dan
lain-lain. Adapun penyebutan benda logam tersebut dalam prasasti baru pada sisi
praktis-fungsional, belum pada hal yang mistis dan pusaka (Edy Sedyawati 2011;
Harsrinuksmo 2004).
Pada masa Jawa kuno, arca-arca dewa Hindu yang memegang senjata dapat
menjadi petunjuk bagaimana asal bentuk keris. Pada Dewi Durga Mahisasuramardini
yang bertangan 8 atau 10, seringkali dijumpai senjata khadga (pedang pendek/
belati) di salah satu tangannya. Senjata ini yang paling dekat kemiripan bentuknya
dengan keris. Selain itu, pedang pendek ini juga dapat ditemukan di salah satu relief
Candi Borobudur yang menggambarkan manusia yang menenteng pedang pendek.
Arca penjaga (dwarapala) yang berbadan besar dan gemuk juga memiliki senjata
yang disematkan di bagian belakang pinggang (Edy Sedyawati 2011) seperti pada
arca Dwarapala pada Candi Plaosan Lor - Jawa Tengah, yang menyelipkan khadga
pada bagian belakang samping pinggangnya.
Keris yang mirip dengan bentuk senjata khadga dan yang paling mendekati
adalah keris buda atau sombro atau dhapur bethok buda, di mana bentuknya seperti
belati tajam dan tidak berpamor dengan memiliki ciri dan karakter yang dapat
ditengarai melalui ukuran bilahnya yang relatif pendek, lebar, dan cenderung lurus
(Andika et al. 2019). Keris buda diyakini sebagai model awal dari bentuk keris, kata
buda dalam hal ini tidak merujuk pada religius tetapi memiliki arti dalam bahasa
Jawa artinya kuno.

73
Harry Octavianus So an

Keris buda, jika merujuk pada pendapat Kempers merupakan perkembangan


dari belati tipe Dongson yang memiliki bermacam variasi, mulai dari yang lurus
hingga yang memiliki lekuk sayap di sisinya. Di wilayah Nusantara, belati tipe
Dongon ditemukan pada pahatan arca-arca megalitik di wilayah dataran tinggi
Pasemah Sumatera Selatan serta pahatan pada dinding-dinding batunya (Triwurjani
2018). Diperkirakan tipe belati Dongson dengan tipe lekuk sayap ini yang lebih
cocok sebagai perkembangan dari keris awal tipe buda.

Gambar 1. Arca Durga


Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Gambar 2. Keris dhapur bethok tangguh buda akhir abad ke-9 M


Sumber foto: I Kadek Andika Permana Yoga Andika dkk. 2019

74
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

Gambar 3. Variasi belati tipe Dongson, salah satunya ada yang memiliki lekuk di sisinya
Sumber foto: wikimedia, fotografer: Bình Giang

Perkembangan tipologi keris dari data arkeologi dapat dilihat pada relief Candi
Sukuh yang terletak di lereng barat Gunung Lawu, Karang Anyar, Jawa Tengah yang
dibangun pada akhir Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-15 M, di mana tinggalan
relief yang menggambarkan keris model buda, tidak berlekuk atau memiliki luk.
Selain itu pahatan keris buda juga ada di Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur
yang dibangun pada masa Kerajaan Kediri pada abad ke-12 M. Bukti lain adalah
keris buda juga terpahat pada prasasti Hujung Langit di wilayah Liwa, Lampung
Barat di Pulau Sumatra, selain itu model yang sama yaitu keris lurus bersayap juga
ada di wilayah Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat (Ditjen Kebudayaan 1998).
Diperkirakan bahwa bentuk keris tidak berubah pada masa Jawa kuno, yaitu keris
dengan model lurus atau belum memiliki lekuk. Model lekuk diperkirakan mulai
berkembang pada masa Majapahit akhir atau berakhirnya era Majapahit.

Gambar 4. Keris yang terukir pada Prasasti Hujung Langit, Lampung Barat dan keris lurus
bersayap dari Kerajaan Pagarruyung (Sumber gambar: Ditjen Kebudayaan 1998)

75
Harry Octavianus So an

Keris adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa masyarakat Jawa kuno yang
menjadi kearifan lokal (local genius) hasil adaptasi dari tradisi panjang pengetahuan
logam Asia Tenggara. Keris pada masa Jawa kuno masih berbentuk sederhana
dengan belum adanya pamor dan luk, bukti-bukti arkeologi menunjukkan jika
keris dengan bentuk lurus dan memiliki sayap atau yang dikenal sebagai keris
buda sebagai senjata keris yang dikenal oleh masyarakat Jawa kuno. Perkembangan
pamor dan luk diperkirakan pada akhir atau setelah era Majapahit atau sekitar abad
ke-15 M. Teknik tempa yang lebih rumit dari keris yang memiliki lekuk dapat
saja merupakan adaptasi dari teknik tempa membuat baja Damascus yang saat ini
telah hilang (Verhoeven et al. 2018). Teknik tempa keris lekuk memiliki pamor atau
baja tambahan yang disisipkan di antara besi dan setelahnya dilipat sesuai dengan
kehendak, adapun lipatan dapat mencapai 4.096 lipatan sehingga bahan logam besi
dan baja akan menjadi satu kesatuan (alloy) yang akan memperkuat logam keris
(Harsrinuksmo 2004), sehingga secara teknis keris memiliki kekuatan dan ketahan
logam yang mumpuni. Pengetahuan dalam mengolah logam menjadi satu-kesatuan
dengan teknik lekuk sehingga menghasilkan senjata tajam yang kuat sekaligus
indah. Hal ini menjadi kearifan dari masyarakat Jawa kuno memadukan teknologi
dan seni dalam membuat dan menempa senjata keris.

Gambar 5. Keris Nagasasra lekuk (luk) 11 koleksi Museum Leiden, Belanda


Sumber: dokumentasi penulis

Dalam struktur sosial masyarakat Jawa, posisi keris tidak hanya pada level
objek budaya saja tetapi juga merepresentasikan aspek sosial, ekonomi, budaya
dan religius (Aji et al. 2019). Keris juga merupakan lambang maskulinitas pria dan

76
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

juga melambangkan kekuasaan. Keris sebagai lambang kekuasaan ditunjukkan oleh


adanya keris pusaka yang khusus diberikan kepada raja pengganti dan digunakan
dalam penobatan dalam budaya Keraton Jawa. Di Bali, kekuatan dan legitimasi
raja dan kerajaan terletak pada kepemilikan keris, sebagaimana diuraikan di dalam
Babad Buleleng, keris digambarkan sebagai pasupati astra yaitu senjata sakti yang
diberikan oleh Dewa Siwa kepada Arjuna (Haryono 2011). Sehingga wajar jika
keris telah mendapat pengakuan dari UNESCO pada 25 November 2005 yang
menyatakan bahwa keris Indonesia adalah karya agung warisan kemanusiaan. Keris
tidak hanya dikagumi dan dihormati oleh masyarakat Jawa saja tetapi juga oleh
masyarakat dunia.

3. Kesimpulan
Pengetahuan mengolah logam menjadi sebuah senjata seperti keris tidak
muncul secara tiba-tiba pada sistem sosial masyarakat Jawa. Keris adalah bagian
perjalanan budaya bendawi yang bertransformasi dari sisi praktis-fungsional menjadi
sisi pusaka dan mistis. Perubahan ini tidak saja terjadi pada sisi idiofak dan sosiofak
keris, tetapi juga pada sisi teknofak. Di mana keris model awal merupakan keris yang
diadaptasi dari belati tipe Dongson yang kemudian berkembang secara local genius
pada masyarakat Jawa kuno. Pengetahuan seni tempa logam ini tidak didapatkan
secara langsung, tetapi melalui proses yang panjang, dapat dilihat bahwa keris tidak
banyak berubah sebelum masa Kerajaan Majapahit. Pada masa Majapahit-lah keris
menjadi puncak kejayaan seni tempa logam keris, pada masa ini banyak didapatkan
keris-keris dengan berbagai model dan luk. Perkembangan dalam pengetahuan
logam pada masyarakat Jawa kuno pada masa Majapahit dengan membuat keris
menjadi berbagai macam variasi adalah kearifan lokal pengetahuan tempa logam.
Perjalanan senjata keris dari senjata profan menjadi senjata sakral dan diagungkan
adalah makna simbolis yang di-bangun oleh masyarakat Jawa kuno sampai saat ini
yang menggabungkan teknik dan seni dalam menciptakan benda, yaitu keris yang
kemudian dimaknai oleh masyarakat sekarang dengan penghormatan.

77
Harry Octavianus So an

Daftar Pustaka

Aji, Mpu Tabah Chalifatah, Nunuk Suryani, and Akhmad Arif Musadad. 2019.
“Religious Cultural Arts in Mentality System of Javanese Society: A
Critical Analysis to the Dynamics of ‘Keris’ Development as a Religious
Archaeology.” EduLite: Journal of English Education, Literature and Culture
4 (2): 247. https://doi.org/10.30659/e.4.2.247-260.
Alink, Gerrit, Shinatria Adhityatama, and Truman Simanjuntak. 2017. “ e
Descriptive Analysis of Palaeolithic Stone Tools from Sulawesi, Collected
by the Indonesian-Dutch Expedition in 1970.” AMERTA 35 (2): 75.
https://doi.org/10.24832/amt.v35i2.252.
Andika, I Kadek, Permana Yoga, Fakultas Seni, and Rupa Dan. 2019. “Penciptaan
Bilah Keris Dhapur Bethok Wulung Bermotif Kalpataru Tinatah Emas.”
Ornamen 16 (1). https://doi.org/10.33153/ORNAMEN.V16I1.2920.
Anggraeni. 1999. “ e Introduction of Metallurgy into Indonesia: A Comparative
Study with Special Reference to Gilimanuk.” Australian National
University.
Bayley, Justine, David Crossley, and Matthew Ponting. 2008. Metals and
Metalworking: A Research Framework For Archaeometallurgy. Historical
Metallurgy Society Occasional Publication. Vol. 6. HMS Occasional
Publication. United Kingdom: e Historical Metallurgy Society.
Binford, Lewis R. 1962. “Archaeology as Anthropology.” American Antiquity 28:
217–25.
Bonatz, Dominik, and Mai Lin Tjoa-Bonatz. 2009. “More than 3400 Years
of Pottery Traditions in Highland Jambi on Sumatra.” In Connecting
Empires and States: Selected Papers from the 13th International Conference
of the European Association of Southeast Asian Archaeologists, edited by

78
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

Mai Lin Tjoa-Bonatz, Andreas Reinecke, and Dominik Bonatz, 2:16–31.


Singapore: NUS Press.
Calo, Ambra, Bagyo Prasetyo, Peter Bellwood, James W Lankton, Bernard Gratuze,
Oliver Pryce, Andreas Reinecke, et al. 2015. “Sembiran and Pacung on
the North Coast of Bali : A Strategic Crossroads for Early Trans-Asiatic
Exchange How to Cite is Article : Sembiran and Pacung on the North
Coast of Bali : A Strategic Crossroads for Early Trans-Asiatic Exchange,”
378–96. https://doi.org/10.15184/aqy.2014.45.
Ditjen Kebudayaan, Tim Koordinasi Siaran. 1998. Khasanah Budaya Nusantara
IX. Edited by Edi Sedyawati. Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan. Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Fitrah, Hanif Iqbal. 2013. “Pertukangan Logam pada Masa Jawa Kuno: Data
Prasasti-Prasasti Raja Balitung.” Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id.
Harsrinuksmo, Bambang. 2004. Ensiklopedi Keris. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=551063.
Haryono, Timbul. 2011. “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional
Ditinjau Dari Pendekatan Arkeologi.” In Keris dalam Perspektif Keilmuan,
edited by Waluyo Wijayatno and Unggul Sudrajat, 33–71. Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Heekeren, H R van. 1958. e Bronze-Iron Age of Indonesia. VKI, XXI. S-Gravenhage-
Martinus Nijho .
Higham, Charles, omas Higham, Roberto Ciarla, Katerina Douka, Amphan
Kijngam, and Fiorella Rispoli. 2011. “ e Origins of the Bronze Age of
Southeast Asia.” Journal of World Prehistory 24 (4): 227–74. https://doi.
org/10.1007/s10963-011-9054-6.

79
Harry Octavianus So an

Higham, omas F.G., Andrew D. Weiss, Charles F.W. Higham, Christopher


Bronk Ramsey, Jade d’Alpoim Guedes, Sydney Hanson, Steven A. Weber,
et al. 2020. “A Prehistoric Copper-Production Centre in Central ailand:
Its Dating and Wider Implications.” Antiquity 94 (376): 948–65. https://
doi.org/10.15184/aqy.2020.120.
Naizatul Akma Mohd, and Mokhtar Saidin. 2018. “Budaya Material Industri Besi
di Kompleks Sungai Batu, Lembah Bujang, Kedah (Material Culture Of
Iron Industry In Sungai Batu Complex, Bujang Valley, Kedah).” Jurnal
Arkeologi Malaysia 31 (2). http://spaj.ukm.my/jurnalarkeologi/index.php/
jurnalarkeologi/article/view/186.
Njatrijani, Rinitami. 2018. “Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Kota
Semarang.” Gema Keadilan 5 (1): 16–31. https://doi.org/10.14710/
gk.5.1.16-31.
Nursapia. 2014. “Penelitian Kepustakaan.” IQRA`: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan
Informasi (e-Journal) 8 (1): 68–73. https://doi.org/10.30829/IQRA.
V8I1.65.
Pryce, T. O., A. Calo, B. Prasetyo, P. Bellwood, and S. O’Connor. 2018. “Copper-
Base Metallurgy in Metal-Age Bali: Evidence from Gilimanuk, Manikliyu,
Pacung, Pangkung Paruk and Sembiran.” Archaeometry 60 (6): 1271–89.
https://doi.org/10.1111/arcm.12384.
Pryce, omas Oliver, Kalayar Myat Myat Htwe, Myrto Georgakopoulou,
Ti any Martin, Enrique Vega, ilo Rehren, Tin Tin Win, et al.
2018. “Metallurgical Traditions and Metal Exchange Networks in Late
Prehistoric Central Myanmar, c. 1000 BC to c. AD 500.” Archaeological
and Anthropological Sciences 10 (5): 1087–1109. https://doi.org/10.1007/
s12520-016-0436-7.
Rowan, Yorke M., and Jaimie Lovell. 2011. “Introduction: Culture, Technology
and Chalcholithic.” In Culture, Technology and Chalcolithic eory and
Transition. Oxbow Books.

80
Keris, Kearifan Pengetahuan Tempa Logam Masyarakat Jawa Kuno

Sedyawati, Edy. 2011. “Keris Pada Masa Jawa Kuna.” In Keris Dalam Perspektif
Keilmuan, edited by Waluyo Wijayatno and Unggul Sudrajat, 27–32.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Setiawan, Agus. 1986. “Tipologi Keris Jawa Koleksi Museum Nasional Jakarta
(Studi Awal dalam Disiplin Arkeologi).” Universitas Indonesia.
Simanjuntak, Truman, I Made Geria, Retno Handini, and Harry Octavinus So an.
2019. Sumba Timur, Permata Dari Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, Truman, Adhi Agus Oktaviana, and Dyah Prastiningtyas. 2013.
“Peradaban di Lingkungan Karst, Kabupaten OKU, OKU Timur, dan
OKU Selatan.” Jakarta.
Soekmono, R. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:
Kanisius. http://perpus.tasikmalayakab.go.id/opac/detail-opac?id=11004.
So an, Harry Octavianus, omas Oliver Pryce, Truman Simanjuntak, and
Francois Semah. 2015. “Metal Artifacts Analysis From Gua Harimau,
South Sumatera - Indonesia.” In Austronesian Diaspora A New Perspective,
edited by Bagyo Prasetyo, Titi Surti Nastiti, and Truman Simanjuntak,
571–90. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
So an, Harry Octavinus, Bagyo Prasetyo, Truman Simanjuntak, Retno Handini,
Agus Hadiwisastro, Alifah, and Ngadiran. 2017. “Jalur Perdagangan
Maritim Menjelang Awal Sejarah: Studi Kasus Di Situs Plawangan Tahap
I.” Jakarta.
Stein Calenfels, P V van. 1932. “Note Prèliminaire Sur Les Fossiles Dan l’abri-Sous-
Rouche de Guwa Lawa à Sampung.” In , 16–32. Hanoi.
Sunendar, Dadang, Hurip Danu Ismadi, and Dora Amalia. 2016. “Kamus Besar
Bahasa Indonesia.” Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa. 2016.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/megalit.
Suryani, Dini. 2004. “Artefak Perunggu Situs Pasir Angin; Analisis Komposisi
Unsur.” Universitas Indonesia.

81
View publication stats

Harry Octavianus So an

Sutrisno, Slamet. 2011. “Keris dalam Perspektif Falsafah Jawa; Magis, Mistis,
Sekaligus Simbolis.” In Keris dalam Perspektif Keilmuan, edited by Waluyo
Wijayatno and Unggul Sudrajat, 1–25. Jakarta: Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata.
Triwurjani, Rr. 2018. “Tinggalan Megalitik di Kawasan Pasemah Sumatera
Selatan: Kajian Arkeologi Publik.” KALPATARU 27 (1): 61. https://doi.
org/10.24832/kpt.v27i1.554.
Verhoeven, J. D., A.H. Pendray, W.E. Dauksch, and S.R. Wagsta . 2018. “Damascus
Steel Revisited.” JOM 70 (7): 1331–36. https://doi.org/10.1007/s11837-
018-2915-z.

82

You might also like