You are on page 1of 4

Psikologi Sosial Masyarakat Terhadap Politik Dalam Memilih Pemimpin

Oleh:MUHAMMAD FAROUK

Politik sebenarnya telah dimulai dan dilakukan oleh masyarakat. Tidak


hanya dalam kelompok masyarakat politik dilakukan, tetapi oleh anggota
masyarakat secara menyeluruh dalam sebuah negara. Hal yang utama adalah
politik dilakukan oleh manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
yang memberikan pilihan terhadap pemimpin yang dia sukai dan memenuhi
kriteria yang diinginkan ataupun yang dia tidak sukai(Elms, 2000: 1).

Psikologi sosial politik adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari


memahami menyusun dalam perilaku politik dalam perspektif psikologi bagi
para pelaku politik yaitu politikus ataupun pengamat. Secara lebih luas
psikologi politik mempelajari pada perilaku manusia secara individual dan
kelompok organisasi. Perilaku tersebut seperti konflik, motivasi, persepsi,
kognisi, pembelajaran, sosialisasi, sikap. Sisi lain psikologi politik juga
membahas kelompok yang dinamis, kepribadian seseorang, dan psikopatology
sebagai sebab faktor yang mempengaruhi sikap politik (Deutsch, & Kinnvall,
2002: 16).

Sebagian besar penelitian tentang kepribadian politik berisi tentang


sesuatu yang dipandang sebelah mata yaitu saling curiga mencurigai antara
satu dengan yang lain. Kecurigaan tersebut berkaitan semboyan dalam pelaku
politik tidak ada lawan dan teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan
yang abadi.Lasswell’s menjelaskan dalam bukunya Politics: Who Gets What,,
When and, How (1936), perilaku politik adalah siapa mendapat apa, dan
bagaimana cara mendapatkanya.

Istilah kepribadian atau personality bagi para politikus Sekarang sangat


banyak digunakan dimana yang dahulu kepribadian hanya berlandaskan pada
sejarah yang notabenenya lebih eksis dengan permasalahan moral,religiusitas,
dan norma-norma yang ada yang melekat pada masyarakat setempat.Namun
sekarang personality atau kepribadian pelaku politik itu sudah dalam masa
kekinian sudah menjadi sesuatu yang lumrah Inti poin dari definisi
kepribadian yang sudah kekikinian adalah organisasi sifat yang dinamis yang
melekat pada individu ataupun kelompok yang digunakan untuk menentukan
cara penyesuaian dalam lingkungannya yang bersifat unik.

Ini sudah terjadi di Indonesia dimasa kampanye kemarin Sebagian besar


pemilih pada ajang pemilihan umum di Indonesia adalah pemilih emosional
yang menentukan pilihan calon pemimpinnya berdasarkan kesukaan atau
ketidaksukaan semata. Situasi itu pun dimanfaatkan calon presiden-calon
wakil presiden pada Pemilu 2024. Meski mereka memiliki gagasan besar
untuk membangun negara, memoles diri dengan hal remeh dan receh
sepertinya lebih mengemuka.

Menjadi pemilih rasional itu berat, butuh usaha besar, motivasi kuat
untuk melakukan, dan kemampuan untuk membandingkan gagasan dari setiap
pasangan capres-cawapres. Untuk bisa melakukan perbandingan itu, mereka
harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber
sebelum akhirnya memutuskan pilihan. Kelompok pemilih rasional itu
umumnya tinggal di perkotaan, dari kelompok ekonomi menengah atas,
berpendidikan tinggi, dan kritis. ”Proses yang dilakukan pemilih rasional itu
melelahkan. Akibatnya, banyak pemilih menyandarkan pilihannya bukan pada
proses rasional, seperti kedekatan dengan partai, pilihan orang lain, kesan
terhadap kualitas personal calon, atau gagasan capres-cawapres yang mereka
tangkap,” kata peneliti Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia Rizka Halida di Depok, Jawa Barat, Selasa
(12/12/2023).

Pemilih emosional, sebagai bagian terbesar dari pemilih Indonesia,


memilih capres-cawapres berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata.
Dalam ranah psikologi, emosi bersifat otomatis.Rasa suka atau tidak suka
terhadap capres-cawapres itu bisa muncul dari mana saja, mulai dari cara
mereka berbicara, bahasa tubuh, raut muka, karakter personal, hingga
kedekatan mereka dengan masyarakat.Selain faktor emosional, pengaruh
sosial juga sangat besar dalam menentukan capres-cawapres di tengah
masyarakat Indonesia yang kolektif. Pandangan suami, keluarga, kiai atau
tokoh agama, hingga pandangan teman dan tetangga tentang capres-cawapres
tertentu akan menjadi pertimbangan kuat bagi seseorang dalam menentukan
pilihan.

Pengaruh sosial ini mudah ditemukan pada pemilih perempuan yang


jumlahnya dalam Pemilu 2024 lebih dari separuh. Informasi dari mulut ke
mulut yang menyebar dari interaksi di warung-warung, tukang sayur, hingga
pergaulan dengan tetangga sekitar menjadi media untuk mengevaluasi setiap
kandidat dan memberikan preferensi utama untuk memilih capres-
cawapres.Besarnya faktor-faktor nonrasional yang digunakan pemilih pemilu
itu nyatanya dimanfaatkan pasangan capres-cawapres untuk meraup suara.
Nyatanya, gagasan yang baik saja tidak cukup. Sebagian pemilih sulit
mencerna gagasan besar yang disampaikan, apalagi jika gagasan itu
disampaikan dengan bahasa ”langit” yang rumit. Belum lagi, mayoritas
pemilih Indonesia memiliki tingkat pendidikan SMP ke bawah.capres-
cawapres juga berlomba menyasar sisi-sisi rentan psikologi manusia sehingga
pemilih mudah suka dengan mereka. Mereka berusaha menampilkan hal-hal
yang terlihat sepele, tetapi disukai pemilih.

Karena itu, istilah gemoy yang digunakan pasangan capres-cawapres nomor


urut 2 menjadi cara jitu menarik pemilih secara emosional, khususnya anak
muda dan gen Z yang menganggap istilah itu lucu.Namun, slogan gemoy itu
juga mengaburkan citra negatif masa lalu pasangan ini, terutama tentang isu
penculikan aktivis 1998 dan politik dinasti. Istilah yang diakrabi anak muda
ini juga mempertahankan suasana hati yang positif (mood positivity) sehingga
menurunkan keinginan mereka untuk bersikap kritis terhadap calon yang akan
dipilih.Sementara itu, salah satu penyebab menurunnya elektabilitas capres
nomor 3 sesuai hasil SKN Litbang Kompas Desember 2023 antara lain karena
kampanye negatif yang dilakukan partai pendukungnya. Mereka mengkritik
terlalu tajam Jokowi yang sebelumnya maju dari partai yang sama.Kondisi itu
bisa dimanfaatkan Gibran meminta pendukungnya untuk tidak menanggapi
cibiran dan fitnah yang dialamatkan kepada mereka. Sikap ini justru
mendulang simpati pemilihnya.Sementara itu, capres nomor 1 Anies dengan
sikapnya yang konsisten mengkritik pemerintah justru menjadi poin menarik
bagi pemilih. Kondisi ini tidak mudah mengingat kepuasan terhadap kinerja
pemerintah masih cukup tinggi. Situasi ini terjadi akibat solidnya dukungan
dari pemilih partai pendukungnya meski capres mereka bukan berasal dari
pengurus salah satu partai pengusungnya.Selain itu, jika capres-cawapres
nomor 1 fokus ke isu perubahan, nomor 2 fokus soal keberlanjutan, maka
nomor 3 belum menemukan narasi yang pas agar pemilih mau memilih
mereka. Kondisi ini membuat mereka kesulitan menggaet suara pemilih yang
memilih mereka karena alasan emosional semata, karena rasa suka saja.

Tidak salah memang memilih capres-cawapres karena alasan emosional


dan personal, bukan karena pertimbangan rasional. Perilaku ini, justru bisa
membuat pemilih memantau kinerja atau mengevaluasi secara obyektif
capres-cawapres yang didukungnya jika terpilih sebagai pemenang pemilu
nantinya.Repotnya, kedekatan emosional antara pemilih dan capres-cawapres
yang didukungnya itu bisa menimbulkan politik klien yang mendorong jual
beli suara. Dalam konteks politik Indonesia, jual beli suara ini jamak terjadi
dalam berbagai tingkatan pemilu.Model pemilih emosional itu juga
memudahkan terjadinya pengultusan terhadap tokoh politik tertentu. Selain
itu, capres-cawapres atau pejabat eksekutif yang terpilih karena dukungan
pemilih emosional ini cenderung termotivasi untuk melakukan hal-hal yang
menyenangkan orang saja sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan populis.
Kondisi ini bisa memicu terjadinya ilusi, seolah-olah negara sudah berjalan di
jalan yang tepat untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Padahal,
banyak sektor pembangunan yang harus digarap yang mungkin tidak populer,
tetapi sangat substansial dan memberi dampak jangka panjang. Populisme
membuat pemerintah cenderung melakukan hal-hal yang di permukaan saja.

Indonesia menargetkan diri menjadi negara maju, yang lepas dari


jebakan kelas ekonomi menengah pada 2045. Ini tantangan besar yang
seharusnya bisa dijawab capres-cawapres karena persiapan menuju seabad
kemerdekaan Indonesia itu makin sempit. Indonesia butuh pemimpin yang
amanah agar mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas dalam 20 tahun ke
depan.

DAFTAR PUSTAKA

Deutsch, M. &. (2002.). Political Psichology. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers.

Elms, A. (2000). Personality in psychology. San Diego New York: Harcout Brace Jovanovich Publisher.

Suliyo. (2016). Studi Psikologi Politik Menakar Kepribadian Perempuan dalam Panggung Politik. .
ALASTREN: Jurnal Studi Gender, 291-312.

WAHYUDI, M. Z. (2023, Desember 18). Humaniora. Retrieved from Kompas.id:


https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/18/karakter-psikologi-pemilih-pemilu-
2024

You might also like