You are on page 1of 3

Hak sewa

Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk bangunan (HSUB) disebutkan di dalam Pasal
16 ayat (1) huruf e UUPA yang menyebutkan hak sewa sebagai salah satu hak atas tanah dan
penjelasan pasalnya tidak menerangkan yang dimaksud dengan hak sewa, pasal 53 tentang
hak sewa tanah pertanian, namun secara khusus di atur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA.
Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HSUB di atur dengan
peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang di perintahkan disini sampai sekarang
belum terbentuk. Menurut Pasal 44 ayat (1) UUPA, seseorang atau suatu badan hukum
mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain
untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa. (HSUB) adalah hak yang dimiliki tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.

Dalam penjelasan pasal 44 dan pasal 45 UUPA dinyatakan bahwa “Oleh karena hak
sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka di sebut tersendiri.
Haksewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal
10 ayat (1) UUPA. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16
jo.Pasal 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.”

Hak sewa termasuk dalam hak atas tanah sekunder yaitu hak atas tanah yang tidak
langsung bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh pemilik tanah
dengan cara perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak
yang bersangkutan. Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan tidak sama dengan Hak Sewa Atas
Bangunan. Dalam Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan pemilik menyerahkan tanahnya dalam
keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud supaya penyewa dapat mendirikan
bangunan diatas tanah tersebut. Bangunan itu menurut hukum yang berlaku saat ini
menjadi milik pihak penyewa tanah tersebut, kecuali jika ada perjanjian lain 1. Sedangkan
dalam Hak Sewa Atas Bangunan yang terjadi adalah penyewa menyewa bangunan di atas
tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa dan dalam jangka waktu
yang tertentu atas dasar kesepakatan antar pemilik bangunan dan penyewa bangunan.

Dalam UUPA tidak memberikan pengertian tentang hak sewa tanah pertanian,
menurut Urip Santoso, yang dimaksud dengan hak sewa tanah pertanian adalah suatu
perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan kekuasaan tanah pertanian oleh pemilk tanah
pertanian kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang
sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. (Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Dalam pasal 53 UUPA,
hak sewa tanah pertanian termasuk hak-hak yang sifatnya sementara dikarenakan hak-hak
tersebut diusahakan untuk dihapus dalam waktu singkat dengan alasan

Subjek Hak Sewa


1
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Kompas, hlm.
153.
Ditegaskan dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) mengenai subyek hukum yang berhak
mempunyai hak sewa yaitu seseorang atau suatu badan hukum. Ditegaskan juga dalam ayat
(2) bahwa hak sewa hanya dapat diberikan untuk tanah bangunan, Hak Sewa untuk
pertanian tidak dibenarkan dan hanya dapat dibebankan di atas tanah milik orang lain.
Dalam Hak Sewa Tanah Untuk Bangunan pemilik menyerahkan tanahnya dalam keadaan
kosong kepada penyewa dengan maksud supaya penyewa dapat mendirikan bangunan
diatas tanah tersebut. Bangunan itu menurut hukum yang berlaku saat ini menjadi milik
pihak penyewa tanah tersebut, kecuali jika ada perjanjian lain.2
Selanjutnya Selanjutnya Pasal 45 UUPA berisi ketentuan bahwa yang dapat menjadi
pemegang hak sewa ialah :
1. Warga negara Indonesia;
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
3. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Dari rumusan Pasal 44 UUPA tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa persewaan tanah
yang dilakukan antara para pihak tersebut hanyalah diperbolehkan apabila tanah yang
disewakan itu berstatus hak milik.

Objek Hak Sewa


Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan, pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam
keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan bangunan
di atas tanah tersebut. Bangunan itu menurut hukum menjadi milik penyewa, kecuali ada
perjanjian lain.3 Hal ini berbeda dengan Hak Sewa Atas Bangunan (HASB), yaitu penyewa
menyewa bangunan di atas tanah hak orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa dan
dalam jangka waktu yang terentu yang disepakati oleh pemilik bangunan dengan penyewa
bangunan. Jadi objek perbuatan hukumnya adalah bangunan bukan tanah.
Boedi Harsono menyatakn bahwa karena hanya pemilik tanah yang dapat
menyewakan tanah, maka negara tidak dapat menggunakan lembaga ini, sifat dan ciri-ciri
Hak Sewa Untuk Bangunan adalah :
1) Sebagaimana dengan Hak Pakai, maka tujuan penggunaannya sementara, artinya
jangka waktunya terbatas
2) Umumnya hak sewa bersifat pribadi dan tidak di perbolehkan untuk dialihkan kepada
pihak lain ataupun untuk menyerahkan tanahnya kepada pihak lain ataupun untuk
menyerahkan tanahnya kepada pihak ketiga dalam hubungan sewa dengan pihak
penyewa (onderverhuur) tanpa izin pemilik tanah.
3) Sewa menyewa dapat diadakan dengan ketentuan bahwa jika penyewa meninggal
dunia hubungan sewanya akan putus.
4) Hubungan sewa tidak terputus dengan dialihkannya hak milik yang bersangkutan
kepada pihak lain.

Terjadinya Hak Milik/Cara Memohonkannya

Berakhirnya Hak Sewa

2
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Edisi Pertama Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, hlm.
130.
3
Soedikno Mertokusumo – I, Op.cit.,h.5.25
Pada Pasal 44 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-
pokok Agraria UUPA tidak mengatur jangka waktu hak sewa untuk bangunan. Oleh karena
penggunaan tanah hak milik oleh pihak lain guna keperluan mendirikan bangunan dengan
pembayaran sejumlah uang sebagai sewa, maka hak sewa untuk bangunan mempunyai
jangka waktu tertentu. Jangka waktu hak sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan
antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan. Pasal tersebut juga tidak
mengatur setelah berakhirnya jangka waktu hak sewa untuk bangunan. Hak sewa untuk
bangunannya dapat diperpanjang jangka waktunya ataukah diperbaharui haknya. Ada
tidaknya perpanjangan jangka waktu hak sewa untuk bangunan ataukah pembaharuan hak
sewa untuk bangunan bergantung pada kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang
hak sewa untuk bangunan yang dituangkan dalam perjanjian kedua belah pihak.
Kesepakatan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak sewa untuk
bangunan dapat dilakukan diawal terjadinya hak sewa untuk bangunan atau setelah jangka
waktu hak sewa untuk bangunannya berakhir.
Pasal 44 UUPA tidak mengatur peralihan hak sewa untuk bangunan. Oleh karena hak
sewa untuk bangunan itu merupakan suatu hak, maka hak sewa untuk bangunan dapat
beralih dan dialihkan oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Kata “dapat” beralih dan
dialihkan pada hak sewa untuk bangunan menunjukkan bahwa dapat tidaknya hak sewa
untuk bangunan beralih dan dialihkan oleh pemegang haknya kepada pihak lain bergantung
pada kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan yang
dituangkan dalam perjanjian kedua belah pihak.
Iwan Permadi. (2018). Kedudukan Hukum Persewaan Tanah Negara. Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 139-153

Elsa Novitri, Mohd Alfin (2022) , Fakultas Hukum, Universitas, Analisis Hukum Mengenai Terjadinya
Hak Sewa Tanah Dan Bangunan Tanpa Diketahui Oleh Pemilik Tanah, Pasundan, Nusantara: Jurnal
Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora
Pasal 46 UUPA
Pada Ayat (1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat punyai
oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (2)
Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Dikarenakan Hukum Tanah Nasional
didasarkan pada Hukum Adat, dalam penyusunan hak-hak atas tanah di pergunakan
juga sistematika Hukum Adat, maka dari itu untuk melaraskannya dengan tata
susunan hak-hak atas tanah dalam hukum Adat dalam pasal 16 disebut Hak
membuka tanah dan Hak memungut hasil hutan dalam rangkaian hak-hak atas tanah,
yang dimaksudkan oleh pasal 4 ayat 1, padahal hak-hak tersebut bukan hak atas
tanah dalam arti sebenarnya, karena tidak beri wewenang untuk menggunakan
tanah, seperti yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2.
Hak-hak tersebut merupakan bentuk “pengejawatahan” Hak ulayat dalam hubungan
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan tanah ulayatnya.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 46 yang mengatur Hak membuka tanah dan
Hak memungut hasil hutan, Hak – hak tersebut adalah hak-hak dalam hukum adat
yang menyangkut tanah bukan atas tanah.

You might also like