You are on page 1of 273

PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011

"INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN


UNTUK NEGERI"

Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011

TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc
Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc
Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng

TIM EDITOR:
Nurhakim, MT
Riswan, MT

Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
SEMINAR NASIONAL 2011 --ll

"INOVASI & APLIKASI TEKNOLOGT PERTAMBANGAN UNTUK NEGERI"

PROSIDING

q-s
h $

I
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Fakultas Teknik UNLAM

Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri/Fakultas Teknik UNLAM


Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat Press, 2012

256 + v hlm, 29 cm

ISBN : 978-602-992-44-8

1. Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri I.


Judul

Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri

Hak Cipta ©2011 pada penulis


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Cetakan pertama, Juli 2012

Desain Cover : Rakhman Silvika Maksum

Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi-Banjarmasin 70123
Telp./Fax. 0511-3304480

Bekerjasama dengan :
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Km 36, Kampus Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714
Telp.0511-9259966

Dep. Energy & Mineral Resources, College of Engineering, Dong-A University, Korea
840, Hadan 2- Dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea

PERHAPI Perwakilan KALSEL


Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi Kampus UNLAM Banjarmasin 70123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011

"INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN


UNTUK NEGERI"

Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011

TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc
Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc
Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng

TIM EDITOR:
Nurhakim, MT
Riswan, MT

Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011
"Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan
untuk Negeri"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
PANITIA
Steering Committee:
Pelindung : Prof. Dr. H. Moh. Ruslan, MS (Rektor UNLAM)
Prof. Dr. Sutarto Hadi, MSi, MSc (PR-IV UNLAM)
Ir. Noman Ruslan, MT (Dekan FT UNLAM)
Pengarah : Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng (PD-I FT UNLAM)
Iphan Fitrian Radam, ST, MT (PD-II FT UNLAM)
Mastiadi Tamjidillah, ST, MT (PD-III FT UNLAM)
Penasehat : Ir. Eddy DS, M.App.Sc (Ketua PERHAPI Kalsel)
Ir. Adip Mustopa (Mantan KaPSTP 2005-2009)
Penanggung Jawab : Nurhakim, ST, MT (Ketua PSTP FT UNLAM)
M. Hijrah Salam (Ketua BEM FT UNLAM)
Yanuar Candra (Ketua HIMASAPTA)
Organizing Committee:
Ketua : Riswan, MT
Wakil Ketua : Bahrurrusydi
Sekretaris : Hafidz Noor Fikri, ST
Wakil Sekretaris : Indira Matahari
Bendahara : Sari Melati, ST
Wakil Bendahara : Edwin Noviansyah
Sie Makala/Prosidnig/ISBN : Uyu Saimana, MT
Rizal Malik
Rahmadany Maolana
Dimas Apri Saputra
Sie Acara : Untung D, ST
M. Syapril Ashari
Rizky Hidayat
Kurnia Rahman Ilahi
Sie Dokumentasi : BEM & UPK Fotografi
Sie Perlengkapan/Dekorasi : Jossi Arizon Purba
Andi Pranata
Anton Ferlian Simamora
Sie Umum/Perijinan/Keamanan : BEM FT UNLAM
M. Richy Ambadar
Fantry Abdi Andreano
Faisal Rijani
Sie Kesekretariatan/Pub/Humas : Duan Arpilanoor
Lawrensa Jeriko
Agus Arie Yudha
Mitha Afryana
Sie Usaha/Dana : M. Syafa Marwah
Kiki Indra Kurniawan
Ariadi Prasetya
Sie Konsumsi : Sriwahyuni, A. Ma
Mujaiyanah, A. Ma
Haslinda
M. Fakhry Nugraha
Supriyadi
Azwin Wirya Pratama
ALAMAT SEKRETARIAT:
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Jenderal Achmad Yani Km. 36 Banjarbaru-Kalimantan Selatan 70714
Telp. : 0511-4773858
Fax : 0511-4781730
E-mail : admin@mining-unlam.ac.id,
Website : www. mining-unlam.ac.id
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Daftar Nama Pemakalah

No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi


1 Changwoo Asbestos particle dispersion in Department of
Lee the atmosphere from closed Energy and
down mine sites Mineral Resources
Engineering
Dong-A
University
Republic of Korea
2 Eddy Ibrahim Aplikasi Pemodelan Kedepan Jurusan Teknik
3D Ground Penetrating Radar Pertambangan,
(GPR) Untuk Eksplorasi Fakultas Teknik,
Batubara Universitas
Sriwijaya, Kota
Inderalaya,
Indonesia
3 H. Rusdi, H.A Kajian Air Danau Fakultas Teknik
Pertambangan Untuk Air Baku Universitas
Lambung
Mangkurat
Indonesia
4 D.W. Kang The Study On Blasting Effect Department of
With Pre-Assessment Borehole Energy and
Status By Inserting Real Time Mineral Resources
Borehole Endoscope Engineering
Verification Dong-A
University
Republic of Korea
5 Nurul Taufiqu Strategi Pengembangan Industri Pusat Penelitian
Rochman Besi/ Baja Hulu Nasional Metalurgi LIPI,
Berbasis Bahan Baku Lokal Puspiptek Serpong
Tangsel, Banten
Indonesia

6 M. Elma Review Of Gas Diffusivity In School of


Coal: Part 1, Preliminary Chemical
Characterisation And Novel Engineering, The
High Pressure Multi- University of
Component Diffusion Cell Queensland, St.
Lucia, Brisbane,
QLD 4072
Australia

254
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi


7 Irzal Nur Hydrothermal Alteration Department of
Associated with the Baturappe Geological
Epithermal Silver-Base Metal Engineering,
Deposit, South Sulawesi, Faculty of
Indonesia: Mineralogy, Zoning, Engineering,
and Exploration Implications Hasanuddin
University,
Makassar,
Indonesia
8 Masagus Aplikasi Probabilistik Untuk Jurusan Teknik
Ahmad Azizi Analisis Kestabilan Lereng Pertambangan
Tunggal Menggunakan Metode FTKE Universitas
Bishop (Studi kasus di PT. Trisakti Jakarta
Tambang Batubara Bukit Asam
tbk. Tanjung Enim, Sumatera
Selatan)
9 Nurkhamim Estimasi Distribusi Ukuran Teknik
Fragmen Batuan Hasil Pertambangan
Peledakan Menggunakan Fakultas Teknik -
Perhitungan Split-Desktop Universitas
Lambung
Mangkurat
10 Nurhakim Optimalisasi sumberdaya dan Staf Pengajar pada
teknologi dalam peningkatan Program Studi
pembangunan Di kawasan Teknik
Timur Indonesia Pertambangan
Fakultas Teknik
UNLAM
11 Adip Mustopa Prespektif Teknik Dan Ekologi Staf Pengajar pada
Pembangunan Mega Proyek Program Studi
Pabrik Baja Krakatau Steel Di Teknik
Batulicin Tanah Bumbu Pertambangan
Kalimantan Selatan Fakultas Teknik
UNLAM
12 Riswan Biaya Pertambangan Batubara Staf Pengajar pada
Di Indonesia Program Studi
Teknik
Pertambangan
Fakultas Teknik
UNLAM
13 Uyu Saismana Perhitungan Sumberdaya Staf Pengajar pada
Potensi Bahan Galian Bijih Besi Program Studi
di Bukit Batu Hitam, Kec. Teknik
Menthobi Raya dan Kec. Pertambangan

255
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi


Sematu Jaya, Kab. Lamandau, Fakultas Teknik
Kalimantan Tengah UNLAM

14 Ibrahim Sota Analisa Batuan Bawah Fakultas MIPA


Universitas Lambung
Permukaan Untuk Lokasi Mangkurat, Banjarmasin
Tempat Pembuangan Sampah
Di Desa Kopi, Bone Bolango
15 Agus Mirwan Studi Awal Pemanfaatan Air Program Studi
Asam Tambang Batubara Teknik Kimia,
Sebagai Koagulan Air Sungai Fakultas Teknik,
Martapura Universitas
Lambung
Mangkurat, Kota
Banjarbaru,
Indonesia
16 Doni Rahmat Pemurnian Etanol Dengan Program Studi
Wicakso Proses Adsorbsi Menggunakan Teknik Kimia,
Fly Ash Batubara Teraktivasi Fakultas Teknik,
Universitas
Lambung
Mangkurat, Kota
Banjarbaru,
Indonesia
17 Isna Syauqiah Tinjauan Pengelolaan Lubang Program Studi
Bekas Galian Tambang Sebagai Teknik Kimia,
Reservoar Air Fakultas Teknik,
Universitas
Lambung
Mangkurat, Kota
Banjarbaru,
Indonesia
18 Rudi Siswanto Pemanfaatan Rongsokan Program Studi
(Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Teknik Mesin
Bahan Baku Produk Pengecoran Akademi Teknik
Logam Menggunakan Metode Pembangunan
Pengecoran Tuang Nasional (ATPN)
Banjarbaru

256
Kata Pengantar

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi robbil „alamin. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
S.W.T., Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua yang
berupa kesehatan dan kesempatan untuk saling bertemu, bertukar ilmu, dan berdiskusi dalam
kegiatan Seminar Nasional “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” yang
dilaksanakan oleh Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat pada tanggal 30 Juli 2011
di Aula Kantor DPRD Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan.
Seminar Nasional dengan tema “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk
Negeri” , bertujuan untuk menghimpun inovasi dan aplikasi teknologi dibidang pertambangan
untuk mendukung pertambangan yang berkelanjutan dan bewawasan lingkungan serta
menyampaikan informasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian atau inovasi teknologi baru
antara peneliti, praktisi, pengawas pertambangan dan penentu kebijakan.
Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar
nasional tersebut yang terangkum dalam makalah-makalah yang disajikan dalam seminar. Pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah,
Tim reviewer dan Tim editor serta seluruh panitia pelaksana yang telah bekerja keras sehingga
prosiding ini dapat diterbitkan. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan, utamanya akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan pada bidang
Pertambangan serta dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb

Banjarbaru, 30 Juli 2011

Organizing Committee
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

DAFTAR ISI
halaman

Kata Pengantar .................................................................................................. iii

Daftar isi ............................................................................................................. iv

Daftar Lampiran ................................................................................................ vi

Asbestos particle dispersion in the atmosphere from closed down


mine sites
(Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim) ..................................................... 1

Aplikasi Pemodelan Kedepan 3D Ground Penetrating Radar


(GPR) Untuk Eksplorasi Batubara
(Eddy Ibrahim) ..................................................................................................... 20

Kajian Air Danau Pertambangan Untuk Air Baku


(H. Rusdi, H.A, Nurhakim) ................................................................................... 30

The Study On Blasting Effect With Pre-Assessment Borehole


Status By Inserting Real Time Borehole Endoscope Verification
(D.W. Kang, W.H. Hur) ....................................................................................... 45

Strategi Pengembangan Industri Besi/ Baja Hulu Nasional


Berbasis Bahan Baku Lokal
(Nurul Taufiqu Rochman) .................................................................................... 57

Review Of Gas Diffusivity In Coal: Part 1, Preliminary


Characterisation And Novel High Pressure Multi-Component
Diffusion Cell
(M. Elma, P. Massarotto, dan V. Rudolph) .......................................................... 75

Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe


Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia:
Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications
(Irzal Nur, Arifudin Idrus, Subagyo Pramumijoyo,
Agung Harijoko, Sufriadin) ................................................................................. 94

Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal


Menggunakan Metode Bishop (Studi kasus di PT. Tambang
Batubara Bukit Asam tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan)
(Masagus Ahmad Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimen,
Indra Djati Sidi, Susanto Basuki) ......................................................................... 110
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan Hasil Peledakan


Menggunakan Perhitungan Split-Desktop
(Nurkhamim, Hafiez Asnawi) .............................................................................. 123

Optimalisasi sumberdaya dan teknologi dalam peningkatan


pembangunan Di kawasan Timur Indonesia
(Nurhakim) ............................................................................................................ 134

Prespektif Teknik Dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek


Pabrik Baja Krakatau Steel Di Batulicin Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan
(Adip Mustopa, Riswan) ...................................................................................... 144

Biaya Pertambangan Batubara Di Indonesia


(Riswan, Adip Mustopa) ...................................................................................... 160

Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi di


Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya dan Kec. Sematu Jaya,
Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah
(Uyu Saismana) .................................................................................................... 177

Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Lokasi Tempat


Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango
(Ibrahim Sota, Ahmad Zainuri) ............................................................................ 197

Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai


Koagulan Air Sungai Martapura
(Agus Mirwan, Reni Indrawati) ........................................................................... 211

Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly


Ash Batubara Teraktivasi
(Doni Rahmat Wicakso, Aliyah Ervina Astuti) ................................................... 219

Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai


Reservoar Air
(Isna Syauqiah) ..................................................................................................... 227

Pemanfaatan Rongsokan (Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Bahan


Baku Produk Pengecoran Logam Menggunakan Metode
Pengecoran Tuang
(Rudi Siswanto) .................................................................................................... 241

Lampiran ............................................................................................................. 254


Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

ASBESTOS PARTICLE DISPERSION IN THE ATMOSPHERE


FROM CLOSED DOWN MINE SITES

Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim


Department of Energy and Mineral Resources Engineering Dong-A University
840 Hadan-dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea Phone : 051-200-7769
Fax : 051-200-7771 E-mail : cwlee@dau.ac.kr

ABSTRACT
Although all asbestos mines in Korea were closed years ago, asbestos-
containing rocks such as Serpentine near mine portals and crushing sites have
been exposed to weathering. In some cases those rocks were fragmented and
used for improving the soil quality in the farms. Asbestos fibers liberated from
the various sources now create concerns for environmental contamination,
particularly soil contamination through atmospheric dispersion over an extended
area. Application of the soil contamination remedy measures has been
considered as the solution.
This paper aims at predicting the distribution of asbestos soil pollution and
defining the area requiring remediation. Two stages of the study were carried
out; (1) particulate re-entrainment study in the wind tunnel and (2) atmospheric
contaminant transport simulation.
The planetary boundary layer was created to mimic the surface boundary
layer in which the settled particulates are re-entrained into the air stream. Since
turbulent intensity is known to be the most critical parameter to determine the re-
entrainment, it was controlled during the experiments. Also the effect of the
moisture content in soil samples was studied. The maximum strength of the
dispersion sources defined as grams across unit area per unit time was derived for
the subsequent atmospheric transport simulation study. ISCST3, the US EPA’s
regulatory model, was applied to predict the short-term as well as long-term
transport and settling amount. Meteorological and topographic data at the study
site were used for the analysis. The final outcome will be used for determining
the specific areas for soil treatment.

Keywords : Asbestos fiber; atmospheric dispersion; turbulence intensity;


planetary boundary layer

1
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. INTRODUCTION

There were 36 asbestos mines in the southern part of Korea peninsula and in
2011 none of those mines is in operation. Most of them had been deserted and
systematic restoration project hade been applied only to few mines. At most of
the mines in the past, crushing and manufacturing facilities were built near the
mine portals and asbestos fiber-rich dust is believed to be generated, dispersed and
deposited on the nearby soil for quite some time. Fortunately, there has been no
concrete data showing the risk of asbestos particles either in the soil or in the air.
However, we have seen a rise in the awareness of environmental issues associated
with the mined areas and among them asbestos dust topped the list. Now, in
order to prevent the possible risk of human exposure, the government agencies are
working together with the academic community to identify the problem status and
plan the necessary restoration works.
This paper aims at studying the possibility of asbestos dust contained in the
soil near the closed down mine portals and ultimately specifying the region that
requires extensive restoration work. Wind tunnel was set up to simulate the
dynamics within the planetary boundary layer and a series of experiments have
been carried out to analyze the possibility of re-entrainment of asbestos fibers.
Asbestos dust re-entrained in the atmosphere will travel long distance and its
dispersion was simulated using an US EPA atmospheric dispersion model. The
simulated results based on the source strength gained from the wind tunnel
experiments show the amount of dust settled on the soil and the concentration in
the air.

2. DEFINITION AND REGULATIONS OF THE ASBESTOS FIBERS

Asbestos is defined as a commercial term applied to the asbestiform


varieties of six minerals; one Serpentine mineral Chrysotile, and five Amphibole
minerals, Amosite, Crocidolite, Anthophyllite, Tremolite and Actinolite. Fibers
have mean aspect ratios of 20:1 to 100:1; higher for fibers longer than 5μm.

2
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Fibers are very thin, usually less than 0.5μm in diameter. In the meantime, fibers
of airborne asbestos is defined by US EPA as fibers with the length longer than
0.5μm and the aspect ratio minimum 5:1, while OSHA’s definition is a little bit
different with the aspect ratio greater than 3:1.
It is known that there are differences in human risk among these minerals;
Crocidolite is the most risky and Chrysotile is the least. Since Asbestos fibers
have relatively sharp shapes and are hardly soluble in the respiratory tract,
asbestos particles can cause numerous diseases such as lung cancer, Mesothelioma,
Asbestosis, Pleural diseases and so on.
In Korea, the threshold limit of asbestos fibers in the indoor air quality
regulated by the government agencies is 0.01fibers/ml. It was not until there
were reports of danger of human risk among the people, particularly residents
near the closed down mines portals that the asbestos fibers re-entrained in the
atmosphere from the mine area has caught the attention of everybody. Thus,
more strict atmospheric preservation standard for the airborne asbestos dust will
be soon formulated or revised aiming at the industries emitting asbestos into the
atmosphere.

3. RE-ENTRAINMENT STUDY

The study sites in this paper are three closed down asbestos mines located in
Seolakmyeon, Gapyong County, Gyeonggi-do, occupying a total area of 141km2.
Asbestos-containing rock is Serpentine formed in the deposit by thermal
processing. Since all three mines were closed down decades ago, nearby regions
are developed either as residential area or farmland. Asbestos-containing rock
abandoned near the portals has been weathered and has high potential to throw
asbestos fibers into the air. In addition, fine particulates generated by the
asbestos milling processes were often mixed with soil and used in farmland.
Figure 1 shows a typical SEM image of Chrysotile fibers found at the site
and a satellite picture of the 4km x 4km area and its topographic map are included

3
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

in Figure 2. Three mine portals located along a stream are approximately 0.8
~1.4km.

Figure 1. SEM Image of Chrysotile Fibers Sampled at the Study Site

a. Satellite Picture b. Topographic Map


Figure 2. Study Site Map and Topography

3.1 Soil Particle Size Distribution

In May 2010, 30 soil samples were sampled near the portals and along a
stream. Among them, one sample from the zone with higher contamination
potential and two from the less risky zone were selected for the wind tunnel

4
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

experiment. Zones at the study site were divided by the results of a previous
preliminary study of soil contamination.
Sieving test for particles coarser than 100μm and Andreasen Pipette
employing Stoke’s law for finer particles were applied for the analysis of all sizes.
Its purpose was to quantify the weight of particles by size dispersed during the
wind tunnel experiment. No. 20, 30, 40, 60, 100, 170 sieves were used on the
basis of KS2309 Korean Test Standard, and Figure 3 shows cumulative size
distributions of a sample; two from the sieve test and Andreasen Pipette method,
respectively and the final combined distribution. The soil sample described in
Figure 3 was obtained from farmland and its size analysis shows particles less
than 500μm accounts for approximately 50%; minus 100μm, 1% and minus 10μm,
0.3%, respectively. The other two samples also show similar size characteristics.

c. Complete Size
a. by Sieving b. by Andreasen Pipette
Distribution
Figure 3. Cumulative Size Distribution of a Soil Sample

3.2 Wind Tunnel Dispersion Test

A wind tunnel can be designed to simulate the particle dispersion


phenomenon inside the planetary boundary layer. The planetary boundary layer
(PBL), also called as the atmospheric boundary layer (ABL), is the lowest layer of
the troposphere where wind is influenced by friction. The thickness of the PBL

5
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

is not constant. One of the characteristic of PBL is that wind is turbulent and
gusty within the PBL. Surface friction from vegetation and topography causes
turbulent eddies and chaotic wind patterns to develop, while above the PBL, the
wind speed is much more uniform and stronger due to a marked decrease in
friction.
The parameters governing particle dispersion in the PBL are known to be
wind speed and turbulent intensity, while separation of a particle from pile is
driven by the force acting on the pile surface through pressure fluctuation.
Pressure fluctuation increases with eddies and separation and is closely related to
the turbulent intensity (Ogawa et al., 1991).

3.2.1 Description of Wind Tunnel


The wind tunnel for dispersion test of the particles in soil samples is
designed to generate wind speed less than 15m/s which was the maximum instant
speed observed over the past 5-years, and simulate the dynamics of the PBL.
Figure 4 shows the 15m long wind tunnel and its cross section. An inverter-
controlled centrifugal fan and a water scrubber for eliminating the dispersed
particles at the discharge point are attached.

Figure 4. Schematic of The Wind Tunnel Layout

Floor mat, fence and vortex generator are installed in the 4.43m long middle
section of the tunnel to simulate the PBL as shown in Figure 5. These increase
surface friction and develop a boundary layer which has profiles of the vertical
velocity and the turbulent intensity similar those within the PBL. Turbulence
Intensity is a scale characterizing turbulence expressed as a percent. An idealized

6
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

flow of air with absolutely no fluctuations in air speed or direction would have a
Turbulence Intensity value of 0%.
Turbulence Intensity (T.I.) is defined in the following equation(1):
T.I. = u’/U
u’ = the Root-Mean-Square (RMS), or Standard Deviation, of the turbulent
velocity fluctuations at a particular location over a specified period of time
U = the average of the velocity at the same location over same time period

Figure 5. Schematic of The PBL Simulator

3.2.2 Velocity and Turbulence Intensity Profiles in the Wind Tunnel


Four different wind speeds were generated in the wind tunnel; 3, 7, 10 and
14.5m/s. Figure 6 shows cross-sectional velocity variation with height without
and with the PBL simulator. The thickness of the PBL seems to be 12~14cm and
the velocity in it varies from 1.5 to 4m/s, much less than the range of 3~13.5m/s
measured above the PBL. The PBL thickness clearly decreases with increasing
wind velocity. Velocities were measured by Pitot tubes and hot-wire
anemometers, as moving and fixed sensors.

7
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. Without the PBL Simulator b. With the PBL Simulator


Figure 6. Velocity Profiles without and with the PBL Simulator

Typical values of turbulence intensity measured within the PBL with the
velocity range similar to that in this study is reported to be 8~10% by
Barthelmie(1999). This was very well simulated within the wind tunnel as
shown in Figure 7; the simulated values were in the range of 4 to 14 %. The
lateral and vertical fluctuations of the wind speed at a single location were
assumed to be ignorable and only the axial component was taken into account to
calculate the turbulence intensity.

a. Measured by fixed hot-wire anemometer b. Measured with Pitot tube


Figure 7. Variation of the Turbulence Intensity

8
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3.2.3 Dust Dispersion Experiments


Approximately 1500 grams of the soil samples collected from the study site
were prepared in a sample container in the shape of a rectangular parallelopiped,
45cm long, 21cm wide and 2cm high. The container was placed on the tunnel
floor within the PBL simulator section, and the top surface of container had been
adjusted to the floor level during the dispersion experiment. A load cell was
placed under the container and measured the weight change of the container.
The subsequent weight changes in the container were interpreted as the amount of
dust dispersed in to the wind tunnel. The wind speeds were 3.3, 6.6, 9.8 and
13.3m/s and the total dispersion times of individual dispersion experiments ranged
from 10 to 30minutes depending on the wind speed.
Dispersion rates of the three samples expressed in terms of g/m2 hr were in
the range of 3.3 to 109.9. To derive the dispersion rate in each size interval, the
size distributions after the dispersion experiments were carried out by the identical
methods applied to the previous size analysis works. Figure 8 describes the two
size distributions obtained before and after the dispersion experiments for the
wind speed of 13.3m/s.

a. Sample A b. Sample B c. Sample C


Figure 8. Size Distributions before and after The Dispersion Experiments with
the wind Speed of 13.3m/s

Under the assumption that the maximum particle size found in the total

9
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

suspended particles in the atmosphere is 100μm, the amount of dust dispersed


from the sample container was calculated with the weight differences in the size
range under 100μm. Table 1 shows the results and Figure 9 shows its summary.
Dispersion rates of the fine particles of the three samples ranges from 0.2 to
6.1g/m2 hr.

Table 1. Dispersion Rates of Fine Particles under 100μm (Sample A)


Wind Speed Total Dispersion Weight Rate of Dispersion
(m/s) (g) (g/m2 hr)
3.3 7 0.2
6.6 41 1.0
9.8 66 3.8
13.3 104 6.1

Figure 9. Changes in the Size Distributions by Dispersion Experiments

The effects of moisture content in soil were also tested by adjusting the
water contents to 0, 5 and 10%. The tests were performed in outside
environment with constant temperature and humidity in order to avoid the
influences of other variables. As shown in Figure 10, the results indicate soil
particles with higher water content are hard to be dispersed and fine particles in
the dry soil show a 4.5times higher dispersion rate compared with the case with
moisture content of 10%.

10
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. TSP b. Fine particles less than 100μm


Figure 10. Changes in the Dispersion Rate with the Moisture Content in Soil

3.3 The Results – Contamination Source Strength

Since a series of qualitative preliminary study with polarization microscope


shows the Asbestos concentrations in terms of the number, individual asbestos
fibers have to be characterized to convert them to the gravimetric concentration.
Identification of the mass of individual fiber can allow us to calculate the
dispersion weight of Asbestos fibers in the fine particle size range. A series of
SEM analysis were done to obtain the aspect ratio of fiber, the ratio of length to
diameter. Figure 11 shows the SEM images of Asbestos fibers, while Figure 12
includes distribution of fiber diameter and length. The average value of fiber
diameter was 0.5μm and most of the fibers were longer than 5μm. The average
aspect ratio was 20:1.

11
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. (x 500) b. (x 5000)
Figure 11. SEM Images of Asbestos Fibers

a. Length Distribution b. Diameter Distribution


Figure 12. Histograms of the Length and Diameter of Asbestos Fibers

Assuming the specific weight of Asbestos is 3, the average mass of Asbestos


fiber with the length of 17.5μm and the diameter of 1.5μm can be calculated to be
5.45E-23g/m2 s. Table 2 shows the dispersion rate of Asbestos fibers in the
samples containing 0.75% and 3% of Asbestos. These concentrations in soil

12
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

samples were provided by the preliminary analysis with polarization microscope.


Therefore, the Asbestos fiber dispersion rates which is subsequently used as the
source strength in the following atmospheric dispersion simulation range from
1.46E-25 to 2.21E-23g/m2 s.

Table 2. Dispersion Rate of Asbestos Particles at the Study Site


Asbestos Concentration (% by Contamination Source Strength
number) (g/m2 s)
Sample containing 0.75%
1.46E-25
Asbestos
Sample containing 3%
2.21E-23
Asbestos

4. ATMOSPHERIC DISPERSION SIMULATION

A series of 3D atmospheric dispersion simulation using US EPA model


ISCLT3 were performed to estimate the short-term as well as long-term dispersion
of Asbestos particles. The simulation study can provide the Asbestos
concentration in the air and soil. All the topographical data such as Transverse
Mercator Coordinates and elevations were employed, while the past weather data
were obtained from the nearby meteorological observation station. Precipitation
data were used to estimate the moisture content in the soil and subsequently the
contamination source strength which has the moisture-dependent characteristics
shown in Figure 10. The size of contamination source was assumed to 30x30m2
which approximates the exposed area near the mine portals.
Figure 13 summarizes the distribution of wind direction and speed observed
at the nearby monitoring station in 2008. This was used for the simulation
analysis.

13
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. Wind Direction b. Wind Speed


Figure 13. Annual Distribution of Wind Direction and Speed

4.1 Annual Deposition of Asbestos Particles

The first simulation analysis aims at estimating the average concentration


in the air and the deposition amount of Asbestos particles per year from all three
contamination sources. Figure 14 summarizes the simulation results, while the
values in contour maps for the airborne dust concentration and soil deposition rate
are in μg/m3 and g/m2, respectively and have to be multiplied by 10-18.
The regions within 260m, 300m, 280m from Portal A, B and C show the
deposition rate higher than 1 X 10-21g/m2 and these values are significantly less
than 0.4g/m2 at the depth of 2.5cm, NEN 5707 (Netherlands Standard for Asbestos
content). In the meantime, the Asbestos concentration in the air was not serious
at all since the concentrations within the air, 210m, 280m and 200m from the
portals are well below 5.45 x 10-14μg/m3 the converted TLV of NEN 5707.
.

14
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. Concentration in the Air b. Deposition Rate on the Surface


Figure 14. Annual Concentration in the Air and Deposition Rate of Asbestos
Particles

4.2 Seasonal Deposition of Asbestos Particles from Three Closed Down Mine
Portals

The seasonal variation of simulation results was also analyzed. Figure 15


describes the soil contamination rate by season. The results only for summer
with stronger wind and spring with lower humidity are included in the figure.
In summer, the regions within 300m, 290m and 240m from three mine
portals show deposition rate higher than 2.5x10-21g/m2, while less amount of
Asbestos particles is shown to be deposited in spring. Regardless of the seasonal
variation, the soil in all the regions does not seem to be affected seriously by
Asbestos particle dispersion.

15
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

a. In Summer b. In Spring
Figure 15. Seasonal Variation of Deposition Rate of Asbestos Particles

4.3 Deposition of Asbestos Particles for the Five-year Period from Three Closed
Down Mine Portals

A longer-term simulation was done for 5-years. All the scenario data were
identical to those in the previous simulations. Figure 16 illustrates the results;
the estimated deposition rate within the distance of approximately 400m from
three portals was 1.5x10-19g/m2, considerably less than NEN 5707, 0.4g/m2 at the
depth of 2.5cm.

Figure 16. Deposition Rate of Asbestos Particles for 5-years Period

16
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4.4 Deposition of Asbestos Particles under the Worst Scenario-All Three Mines
in Operation

Scenarios for the worst case would be the cases when three mines are
assumed to be in operation. These scenarios will provide information about the
soil contamination from three mines in the past. For the worst cases, all the fine
particles dispersed are assumed to be Asbestos fibers; the contamination strength
of 1.69x 10-3g/m2 s. The simulation results for 5-years period from the worst
scenario are summarized in Figure 17. Within the distance, 300~320m from the
portals, the deposition rates are higher than NEN 5707 and indicate that soil in the
vicinity of portals had been contaminated in the past for a quite long period
through the atmospheric dispersion.

Figure 17. Deposition Rate of Asbestos Particles for 5-years Period

5. CONCLUSIONS

This paper aims at analyzing the possibility of human risk created by the
atmospheric dispersion of Asbestos particles from closed down mines. A wind
tunnel was used to simulate the dynamics within the planetary boundary layer
near the earth surface and the strength of Asbestos contamination source was
quantified. Consequently, the atmospheric dispersion was simulated to identify

17
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

the regions near the mine portals contaminated by Asbestos particles carried by
the air.
The results can be summarized as follows:
(1) The PBL can be well created in the wind tunnel through characterizing the
vertical profiles of wind speed and turbulence intensity.
(2) The turbulence intensity, the governing variable for particle re-entrainment,
ranged from 4 to 14% in the wind tunnel, compared to those of 8~10% in
the PBL.
(3) With the wind speed less than 15m/s, the dispersion rate of fine particles
less than 100μm was in the range of 5.5x10-5 and 1.69x10-3 g/s m2.
(4) Asbestos fibers in the study site have the mean length of 17.5μm and the
mean diameter of 1.5μm. Based on this aspect ratio, the Asbestos fiber
dispersion rates range from 1.46E-25 to 2.21E-23 g/m2 s.
(5) The simulation results shows that after several decades since mines were
closed down, none of the regions near the mine portals was found to be
contaminated by Asbestos. However, another simulation with the scenario
of three mines in operation clearly indicates that the area within
approximately 300m from the portals would have been seriously
contaminated by the dispersed Asbestos particles.
(6) At present, in the vicinity of mine portals, there is no possibility of human
risk created by Asbestos. This is found to be true at least in the study site
of this paper.

6. ACKNOWLEDGMENTS

The authors gratefully acknowledge MIRECO (Mine Reclamation


Corporation) for providing financial support and necessary resources that have
contributed to the research results reported within this paper.

18
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

7. REFERENCES

S.Y. Yoo, W.S. Shim and S.C. Kim, 2005. A Study on the Pollutant Dispersion
over a Mountain Valley Region (Ⅰ) : Wind Tunnel Experiments. Journal of
Society of Air-Conditioning and Refrigerating Engineers of Korea, vol.17,
no.11, pp. 1050~1059.

J.G. Jhun, 1995. Characteristics of Turbulence Intensity in the Surface Layer for
the Various Static Stabilities in South Korea. Journal of The Korean
Meteorological Society, vol.31, no.2, pp. 169~185.

Ogawa, T., Nakayama, M., Murayama, S. and Sasaki, Y., 1991. Characteristics of
Wind Pressure on Basic Structures with Curved Surfaces and Their
Responses in Turbulent Flow. Journal of Fluid Mechanics, vol. 38, pp.
427~438.

J.G. Kim, K.H. Choi, S.J. Oh, Y.J. Chung, D.G. Kang and J.C. Lee, 1994.
Classification of the Length of Ceramic Fibers by Settling Process. Journal
of The Korean Ceramic Society, vol.3, no.2, pp. 161~170.

R. J. Barthelmie , 1999, Monitoring Offshore Wind and Turbulence Caracteristics


in Denmark, BWEA

T. Allen, 1997. Particle Size Measurement, fifth ed. Chapman, London, pp. 33~36.

C.K. Bong, S.D. Kim and H.K. Lee, 2000. The Effect of Similarity Condition for
the Test Results in a Wind Tunnel Test. Journal of Korean Society for
Atmospheric Environment, vol.16, no.4, pp. 351~361.

C.W. Park, S.J. Lee, 2004. Wind Tunnel Experiment on Porous Wind Fence for
Abating Wind Erosion of Coal Dusts in POSCO KwangYang. Journal of
The Wind Engineering Institute of Korea, vol. 2, no.1, pp. 115~126.

19
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

APLIKASI PEMODELAN KEDEPAN 3D GROUND


PENETRATING RADAR (GPR) UNTUK EKSPLORASI
BATUBARA

Eddy Ibrahim1
1
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Kota
Inderalaya, Indonesia
eddy_ibrahim@yahoo.com

ABSTRAK

Pemodelan forward modeling 3D dengan melakukan variasi orientasi antena dengan


arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari
antena sejajar dengan bidang-bidang pecah memperlihatkan batas batubara dengan
lempung secara vertikal lebih tegas sedangkan jika arah dari bidang-bidang pecah
dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan
bidang-bidang pecah dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah batubara secara
lateral lebih tegas. Implementasi dilapangan antara hasil pengukuran lapangan telah
sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan batubara dan lempung
fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data dikarenakan secara fisik
batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang pecah secara tidak beraturan.

Kata kunci : Forward modeling 3D, orientasi antena, batubara dan lempung, bidang
pecah, polarisasi medan listrik, sejajar dan tegak lurus.

20
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Permasalahan dengan penggunaan variasi orientasi antena berkaitan dengan


munculnya fenomena ring down yang muncul di radargram terukur. Ring down
merupakan suatu fenomena yang ditimbulkan akibat adanya impedansi yang tidak
tepat antara antena (transmitter dan receiver ) dan batubara. Polanya di radargram
terukur sangat mengganggu pada saat interpretasi. Kenampakannya hampir mirip
dengan lapisan-lapisan dengan intensitas medannya cukup kuat. Berkaitan dengan
timbulnya pola tersebut maka pemodelan kedepan 3D perlu dilakukan. Model 3D
dibuat untuk melihat pengaruh variasi arah antena (polarisasi) terhadap variasi arah
bidang-bidang pecah di batubara. Arah dari bidang-bidang pecah ditentukan sejajar
dan tegak lurus terhadap arah polarisasi dari antena dipole listrik. Untuk bidang-
bidang pecah yang dibuat dalam model 3D tersebut diisi dengan air.
Pemodelan 3D juga untuk mengkaji signature batubara pada radargram yang
tidak mudah dikenali dan untuk membuktikan apakah ada kesesuaian antara hasil
pemodelan dengan hasil pengukuran lapangan berdasarkan penggunaan variasi
orientasi antena. Pemodelan ini dapat digunakan untuk optimalisasi parameter
pengukuran di lapangan (orientasi antena dan frekuensi antena). Sehingga untuk
reduksi efek yang ditimbulkan dalam radargram hasil pengukuran dapat lebih
mudah. Pemodelan kedepan 3D untuk batubara dan lingkungannya menggunakan
program simulator Reflexwtm versi 3.05.

2. METODE

Tipe antena yang digunakan dalam pemodelan diasumsikan menghasilkan


orientasi polarisasi medan listrik linear tegak lurus terhadap arah perambatannya (k)
(gambar 1).

21
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 1. Hubungan antara E , H , k

Sesuai dengan teori, transversalitas hubungan antara E dan H diperoleh dari


persamaan Maxwell, .E  0 maka diperoleh k.E  0 yang berarti k  E . Dari
B H
 E    
t t
persamaan Maxwell, , dengan mengandaikan bentuk

  
solusinya dalam bentuk persamaan E x, t  E 0 exp i t  k.x  . Maka untuk H
  
  ˆ
diperoleh H  E . Maka E  H  E 2
 
k . Jadi E , H , kˆ saling tegak lurus

seperti diperlihatkan oleh gambar 1 (Jackson, 1975) :


Berdasarkan gambar 1, untuk gelombang yang merambat kearah x positif,
komponen medan listrik E dan komponen medan magnet H saling tegak lurus,
tegak lurus terhadap arah perambatan kˆ , dan selalu sefase pada setiap titik dengan


 v, 
E E

perbandingan magnitude : ; yang hanya bergantung pada sifat
B H

medium. Karena v  0, maupun  , maka gelombang elektromagnetik tidak mungkin

hanya terdiri dari E atau H saja ( Jackson, 1975).


Pemodelan ini dilakukan karena pada pengukuran GPR skala lapangan pada
lapisan batubara terdapat banyak bidang-bidang pecah baik yang paralel maupun
tegak lurus terhadap bidang-bidang perlapisan batubara. Untuk posisi dari geometri
batubara dan lapisan lempung yang dimodelkan sesuai dengan lapangan. Dalam
pemodelan ini ditentukan lapisan batubara terletak dipermukaan sedangkan lapisan

22
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

lempung terletak dibawahnya. Sedangkan arah dari bidang-bidang pecah dibuat


kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena sejajar dengan bidang-bidang
pecah (gambar 2).

Gambar 2. Gambaran arah polarisasi (arah y) dan arah perambatan medan Listrik
(arah x) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y)

Dari kedudukan antena seperti gambar 2 dengan asumsi bidang-bidang pecah


dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik akan tereksitasi (amplitudo
gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang- bidang pecah).
Untuk pemodelan lapisan batubara terletak dipermukaan sedangkan lapisan lempung
terletak dibawahnya dan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah
polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan bidang-bidang pecah dapat
dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Gambaran arah polarisasi (arah x) dan arah perambatan medan listrik(arah
y) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y) dan lempung

23
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Untuk kedudukan antena seperti gambar 3 dengan asumsi bidang-bidang pecah


dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik tereksitasi (amplitudo gelombang
mengecil akibat energinya habis terpantulkan oleh bidang-bidang pecah dan
kandungan air yang mengisi bidang-bidang pecah).

3. HASIL

Untuk model 3D, panjang batubara kearah x = 3 m sedangkan lebarnya kearah


y = 4 m. Tebal batubara yaitu 0.6 m sedangkan tebal lempung yaitu 0.4 m. Pada
batubara terdapat bidang-bidang pecah berisi air dengan dimensi 0.1 m. Permitivitas
relatif batubara yaitu 5.86 sedangkan permitivitas relatif lempung yaitu 16.
Permitivitas air digunakan 80.0. Gambaran model batubara beserta bidang-bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Model Batubara Beserta Bidang-bidang Pecah Dan lapisan Lempung


dibawahnya

Untuk arah polarisasi listrik kearah y (sejajar dengan bidang-bidang pecah)


dengan dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program
simulator Reflex 3.05 beserta spesifikasi-spesifikasinya dapat dilihat pada gambar 5.

24
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 5 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke
Y)

Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini akan tereksitasi (amplitudo
gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang pecah)
dan juga tidak terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan batubara.
Pemodelan dengan cara ini akan memperlihatkan batas batubara dengan lempung
secara vertikal lebih tegas.
Untuk arah polarisasi listrik kearah x (tegak lurus bidang-bidang pecah) dengan
dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program simulator
Reflex 3.05 beserta spesifikasi-spesifikasinya dapat dilihat pada gambar 6.

25
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 6 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke
X)

Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini kurang tereksitasi (amplitudo
gelombang besar karena tidak teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang
pecah) dan juga terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan
batubara. Sehingga pemodelan dengan cara penempatan antena dengan model
batubara dan lempung tersebut akan dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah
batubara secara lateral lebih tegas.
Sebagai perbandingan hasil pengukuran lapangan diterapkan pada model fisik
batubara seperti gambar 7 menunjukkan kesesuaiannya terhadap kedua hasil model
diatas.

26
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 7. Foto fisik singkapan batubara yang diukur

Adapun kedua radargram hasil pengukuran untuk kedua cara diatas dapat
dilihat pada gambar 8a dan 8b.

Gambar 8. hasil pengukuran radargram

27
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4. KESIMPULAN

Pemodelan 3D dengan forward modeling dengan melakukan variasi orientasi


antena dengan objek target batubara dan lempung dimana batubara dibuat adanya
bidang-bidang pecah telah menunjukkan hasil yang berbeda. Perolehan dari hasil
pemodelan untuk kedua kasus 3 D secara umum dapat memberikan informasi posisi
batas batubara dan lempung secara tegas berdasarkan signature nya (bentuk
gelombang) untuk kasus dimana orientasi antena adalah sejajar bidang pecah
batubara sedangkan untuk kasus dimana orientasi antena tegak lurus bidang pecah
akan lebih mempejelas posisi dan orientasi bidang pecah. Secara lapangan hasil
pengukuran lapangan telah sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan
batubara dan lempung fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data
dikarenakan secara fisik batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang
pecah secara tidak beraturan.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Fisika Bumi ITB dan
Laboratorium Eksplorasi dan Hidrologi Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dekan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Rektor Universitas Sriwijaya Atas bantuan
keuangan untuk dapat menghadiri dan Mempresentasikan Tulisan ini dalam Seminar
Nasional. Khusus kepada Ir. Syaiful Islam, Gunawan Handayani, MSCE, Ph.D, DR.
Bagus Endar NH atas masukan- masukannya, DR. Surono, Muslim Nugraha, Ssi,
Karlan Ssi, Yonathan Ssi, Erlan Dan seluruh yang membantu dalam penyelesaian
tulisan ini.

28
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

6. DAFTAR PUSTAKA

Annan A, P, (2001) Ground penetrating radar, workshop notes, sensors & software,
Ontario, Canada.

Engheta N. and Papas C.H, (1982) Radiation patterns of interfacial dipole antenna,
Radio science 17, 1557-1566.

Giannopoulos. A. , (2003) GPRMAX2D/3D user’s manual version 1.5, University of


Edinburgh, School of engineering and electronics, institute for infrastructure
and environment, Crew building, The King’s buildings, Edinburgh, EH9 3JN,
Scotland.

Ibrahim E, and Hendrajaya. L and Handayani. G and Fauzi. U and Islam.S. (2003a),
Determination study of coal seams thickness by using GPR method and
presented a oral presentation at Joint Convention Jakarta 2003, The 32nd IAGI
and the 28th HAGI annual convention and exhibition, Proceedings, 2003

Ibrahim, E., and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S.
(2004c), Determination of geometry and bedding plane orientation in coal
seam use of GPR method and presented a poster presentation in session
T08.04, “Magnetotellurics” at 32nd International Geological Congress,
Florence, Italy, Expanded abstract, August, 27, 2004.

Ibrahim, E., (2005) Studi penggunaan GPR multi konfigurasi pada tahap eksploitasi
batubara (studi kasus pada tambang batubara Bukit Asam, Tanjung Enim,
Sumatera Selatan), Disertasi Doktor (S 3), Program Studi Fisika, FMIPA, ITB
(tidak dipublikasikan).

Interpex, (1996), The definitive solution for Ground Penetrating Radar processing
and interpretation. GRADIX software ver. 1, Colorado.

K.J. Sandmeir,(2004), REFLEXW- The 2D processing and 2D/3D interpretation


software for GPR, reflection seismics and refraction seismics for windows
9?/2000/NT/XP, Sandmeier scientific software, Zipser strabe 1 D-76227
Karlsruhe, Germany.

Ramac/GPR, (1997), Software manual version 2.28. MALA, Geoscience.

Yee, K.S, (1966), Numerical solution of initial boundary value problems involving
Maxwell’s equation in isotropic media. IEEE transactions on antennas and
propagation, Vol. 14 pp.302-307.

29
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

KAJIAN AIR DANAU PERTAMBANGAN UNTUK AIR BAKU

H. Rusdi, H.A1, Nurhakim2

1
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Indonesia
2
Dosen Program Studi Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Email : nurhakim@ft.unlam.ac.id

ABSTRAK

Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang,


terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air asam tambang mengandung
logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka
panjang, sehinggga salah satu permasalahan adalah bagaimana memanfaatkan air
danau tambang tersebut. Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan
meter kubik air setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini
akan menjadi permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah
pertambangan apabilah tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga
akan bermanfat apabilah mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9). Untuk
menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu mencampurkan
antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan pH air tambang
menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air
sebanyak 1 m3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg.
Dengan biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu
untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap
lingkungan.

Kata kunci : Air asam tambang, danau Pertambangan, Air Baku

30
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. LATAR BELAKANG

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha jangka panjang yang


kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, melibatkan teknologi tinggi, padat modal,
dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan
pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan
perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Industri
pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki
potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam
tambang (Acid Mine Drainage) dan lain-lain.
Industri pertambangan di Indonesia Sebagian besar dilakukan dengan cara
terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa
di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan
dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan
kuantitas air.
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan
dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk
maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang
terjadi pada batuan mutu air tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi secara
langsung, sementara daerah tambang pada umumnya daerah yang berkekurangan,
khususnya sumberair bersih sehingga perlu inovasi dan teknologi untuk
memanfaatkan air danau pertambangan untuk air baku.

2. PERMASALAHAN

Apakah air danau dapat dimanfaatkan?

3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan utama adalah meneliti/mengkaji usaha-usaha yang dapat dilakukan


untuk pengolahan air lubang pasca tambang (danau) untuk mengurai kandungan
bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi,

31
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme yang terdapat di alam. Dengan usaha dan penanganan yang baik
maka diharapkan dampak negatif yang dikhawatirkan dapat diminimalisasi atau
bahkan dicegah sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga sehingga airdanau
tambang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku.

4. KAJIAN PUSTAKA

Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air


setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi
permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah
tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah
mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9).
Debit air permukaan yang masuk kedalam lubang bukaan tambang/danau
dalam kegiatan pertambangan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut:

Q = 0,278 x C x I x A

Dimana : Q = Debit rencana,(m3/det)


C = Koefisien material (Koeff. Limpasan)
I = Intensitas hujan rencana, mm/jam
A = Luas catchment area, ha

Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisi pengontrolan air
tanah yang sulit di atasi. Persamaan Thiem sering digunakan untuk menghitung debit
air tanah yang dasar perhitungannya adalah pengurangan air dalam akuifer. Asumsi-
asumsi yang terlibat dalam persamaan ini adalah bahwa aliran air bersifat steady,
merata baik kearah horizontal maupun radial didalam akuifer, isotropis dan
walaupun terjadi penyebaran air kearah horizontal, tetapi tidak mengurangi penetrasi
terhadap sumur. Persamaan dibawah ini adalah persamaan Thiem.
K2 m (S1 - S2 )
Q
C log 10 (R/r)

32
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Dimana :
Variable Keterangan MEINZER DARCY
Q Laju aliran gallon/menit ml/det
K Permeabilitas Meinzer Darcy
M Ketebalan penjenuhan rata- feet cm
rata dari akuifer yang diukur
melalui 2 titik pengamatan
R Jari-jari titik pengamatan Dapat diukur dengan satuan
yang jauh dari sumur sejenis karena hasilnya hanya
R Jari-jari sumur atau titik merupakan perbandingan
pengamatan terdekat
C Konstanta 528 2,3
 Viskositas centipoise centipoise
S1 Penurunan air tanah pada titik feet Atm
terdekat sumur pengamatan
S2 Penurunan air tanah pada titik feet Atm
terjauh sumur pengamatan

a. Volume waduk
Volume waduk bekas galian tambang sangat bervariasi tergantung dari volume
lapisan tanah penutup, batuan penutup serta batubara atau mineral lainnya yang
dibuka atau ditambang hingga pada batas akhir penambangan dan menghasilkan
lubang bukaan yang terisi oleh air hujan atau air rembesan/airtanah sehingga lubang
bukaan tersebut akan menjadi waduk atau danau. Volume waduk ditentukan oleh
luas waduk beserta kedalaman air pada waduk tersebut.

Gambar 1. Penampang Waduk Bentuk Trapesium

33
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Volume waduk = Luas waduk ((b’+ b)/2) x kedalaman air dalam waduk (h)

b. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas,
dinyatakan dalam milimeter.Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan
rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik
tertentu.
Daerah Kalimantan Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis, salah satu
wilayah perusahan pertambangan mempunyaicurah hujan bulanan maksimum 634,7
mm pada bulan Maret tahun 2008 dan curah hujan bulanan minimum mencapai 114
mm pada bulan Juni tahun 2008.

Tabel 1 Curah Hujan Maksimal Daerah Tambang xyz Periode 2004 - 2008

TAHUN
BULAN 2004 2005 2006 2007 2008
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Januari 614 528 276,45 647,1 391,7
Februari 372,5 301 388,95 631,25 288,75
Maret 461,5 600,5 486 289,4 634,7
April 228 374 373,7 582,1 512
May 268 376,3 277,72 416,9 166,5
Juni 174 275 384,9 336,6 114
Juli 163 200,5 98,5 165,75 256
Agustus 7 63 105 206,27 188,5
September 81 126,5 122,5 95,1 131,8
Oktober 18 298 61,5 340,9 262,8
November 417 474,8 176,8 512,7 584,2
Desember 668,5 586,8 452,5 264,05 623,2

c. Evaporasi
Peristiwa air atau es menjadi uap dan naik ke udara disebut penguapan dan
berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang
rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan
suhu, sampaiudara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Tetapi kecepatan

34
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

dan jumlahpenguapan tergantung dari suhu, kelembaban, kecepatan angin dan


tekanan atmosfir.
Evaporasi dihitung dengan Rumus empiris Penman (Suyono S: 1999):

E = 0,35(ea –ed)(1 + v/100)

Keterangan:
E = evaporasi (mm/hari).
ea= tekanan uap jenub pada suhu rata-rata harian (mm/Hg).
ed= tekanan uap sebenarnya (mm/Hg).
V = kecepatan angin pada ketingginan 2m di atas permukaan tanah (mile/hari).

d. Transpirasi
Air dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa
inidisebut transpirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung dari kadar
kelembabantanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyaknya transpirasi
yang diperlukanuntuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan
dinyatakan dalamgram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah kira-kira 200
sampai 600 gram danuntuk daerah kering kira-kira dua kali lipat dari itu. Salah satu
persamaan yang digunakan untuk menghitung transpirasi adalah Blaney-Crinddle
(Suyono S: 1999) sebagai berikut:

K.P .(45, 7 t  813)


U
100
K = Kt x Kc
Kt  0, 0311 t  0, 240

Dimana:
U = tarnspirasi bulanan (mm)
t = suhu udara rata-rata bulanan (oC)
Kc = Koefisien tanaman bulanan
P = Persentase jam siang bulanan dalam setahun

35
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

e. Infiltrasi
Proses masuknya air hujan kedalam lapisan permukaan tanah dan turun ke
permukaan airtanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama
diabsorsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun
kepermukaan airtanah dan mengalir kesamping (Suyono S: 1999). Untuk penentuan
kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara menggunakan alat ukur infiltrasi dan cara
dengan menggunakan analisa hidrograf.

f. Kualitas Air Tambang


Fenomena air asam tambang akan timbul apabila senyawa sulfide terutama
pirit (FeS2) yang terdapat dalam batubara maupun pada lapisan tanah penutup, secara
langsung terdedah/terbuka oleh oksigen yang terdapat dalam air maupun udara
(Barton, 1978).
2FeS2 + 2H2O → FeSO4 + 2H2SO4
2FeSO4 + 2H2SO4 +H2O → 2Fe2(SO4)3 + H2O
Fe2(SO4)3 +6H20 → 2Fe(OH)3 + 3H2SO4
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Disamping reaksi tersebut diatas, diketahui pula bakteri Thiobasillus juga
memegang peranan penting dalam oksidasi pirit. Reaksi kimia tersebut menunjukkan
oksida pirit akan menghasilkan sulfat, Fe2+, dan ion H+ bebas yang akan
menyebabkan pH air menjadi rendah serta kandungan besi dan sulfat akan menjadi
tinggi dalam air tirisan tambang.
Semakin rendah pH air dapat menyebabkan berbagai senyawa dan logam dari
batuan akan mudah terlarut. Terlarutnya senyawa dan unsur dari batuan selanjutnya
akan menyebabkan kandungan padatan terlarut total (garam-garam terlarut) dalam air
akan meningkat. Dengan demikian sifat kimia air akan meningkat. Karakteristik air
asam tambang (Smith, 1974) umumnyamempunyai pH 2-6, sehingga tidak dapat
dijadikan sebagi sumber air baku dan bahkan dapat mencemari lingkungan apabilah
dialirkan ke sungai seperti tertera pada table 2.

36
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 2. Karakteristik Limbah Air Asam Tambang

No. Parameter Angka Kisaran


1 pH 2,0-6.0
2 Fe2+ (ppm) 10-2000
3 Fe3++ (ppm) 0-100
4 SO42-(ppm) 100-2000
5 HCO3 (ppm) 0-200
6 Ca2+ (ppm) 10-1000
7 Al3+ (ppm) 0-150

Baku mutu limbah kegiatan penambangan batubara menurut Keputusan


Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 seperti pada table 3 berikut:

Tabel 3. Baku mutu limbah Kegiatan penambangan batubara*

Parameter Satuan Kadar Maksimum


pH 6-9
Residu tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) total mg/l 7
Mangan (Mn) total mg/l 4
*Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003

4.1. Water Demand Pada Daerah Sekitar Tambang


Kebutuhan airbaku setiap harinya disekitar daerah pertambangan per orang
(Birdie G.S: 1990) seperti pada table 4 dalamliters per capita daily (LPCD)

Tabel 4. Kebutuhan Air (LPCD)*

No. Purpose Volume (LPCD)


1 Kebutuhan Rumah Tangga 135
2 Industri (tambang/sawit) 40
3 Fasilitas umum (tempat ibadah/sekolah) 2.5
4 Pemadam Kebakaran 15
5 Kebocoran (kehilangan) 55
Total 270
*Sumber: Birdie G.S

tetapi menurut WHO merekomendasikan kebutuhan air perharinyaserperti pada


table 5.

37
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Perhitung kebutuhan air, apabilah didasarkan atas pelayanan dengan


menggunakan Hidran Umum (HU) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut
:
a. Hitung Kebutuhan Air Dengan Formula :
Q =Pxq
Qmd = Q x fmd

Tabel 5. Kebutuhan air per hari rekomendasi WHO*


No Purpose WHO’s recommendation liter/person/day
1 Drinking/Cooking 15
2 Bathing/Personal Washing 60
3 Utensiles Washing 15
4 Cloth Washing, Washing 20
5 House Washing 10
6 Flushing/Refuse disposal Washing 60
7 Garden 10
8 Wastage 20
Total (litres) 210
*Sumber: Birdie G.S

Dengan pengertian:
Qmd = kebutuhan air (liter/hari)
q = kebutuhan air perorang perhari (Liter / orang /hari)
P = jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun
perencanaan (jiwa)
fmd = faktor maksimum (1,05 – 1,15)

b. Hitung Kebutuhan Total Air Dengan Formula :


Qt = Qmd x 100/80
Dengan pengertian:
Qt = Kebutuhan air total dengan faktor kehilangan air 20% (liter/hari)

38
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4.2. Prinsip Pengolahan Air Asam Tambang


Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menurunkan kadar polutan yang
terdapat didalam air asam tambang, terutama parameter-parameter pH, BOD dan
COD. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan cara :
a. Pengolahan cara Fisika
b. Pengolahan cara Kimia
c. Pengolahan cara Biologi
Sistim apa yang dipilih tergantung dari karakteristik air asam tambang maupun
lahan yang tersedia untuk pengolahan air asam tambang.
a. Pengolahan cara Fisika
Adalah merupakan cara Pengolahan air limbah dengan cara seperti
pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia ), penyaringan dan pengadukan, dll.
b. Pengolahan cara kimia
Adalah merupakan cara pengolahan dengan cara menambahkan bahan-bahan
kimia kedalam air limbah, antara lain meliputi, netralisasi, koagulasi dan lain-lain.
c. Pengolahan cara biologi
Adalah cara pengolahan dengan cara memecah bahan-bahan organik
biodegradable yang terdapat didalam air limbah untuk diubah menjadi senyawa-
senyawa lain yang stabil sehingga apabila dibuang ke lingkungan tidak
menyebabkan pencemaran lingkungan. Cara yang umum dikenal dan banyak
dipergunakan adalah dengan sistem lumpur aktif.

4.3. Analisis
a. Perhitungan Volume air netto
Studi kasus pada PT XYZ mempunyai salah satu lubang bukaan pasca tambang
dengan dimensi lubang bukaan yang tidak dapat di timbun kembali, yaitu 309.5 m x
154,8 m x 20.1, dimana debit air yang masuk ke lubang bukaan tersebut dengan
Intensitas curah hujan = 110,12 mm/jam, Luas daerah tangkapan hujan = 4,10 km2,
Koefisien limpasan 0, 9, sehingga laju aliran air permukaan yang masuk (Qs) =
112,95 m3/det. Sedangkan air tanah (Qa) = 1 m3/det (berdasarkan luas penampang

39
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

yang terbuka dan permeabilitas batuannya), sehingga total air yang masuk Qtot =
113,95 m3/det.
Air yang dapat tertampung pada kolam, jika tinggi muka air maksimum dalam
kolam 17,5 m karena ada saluran pembuangan, maka V = 838 435,05m3 (Volume
air netto) dan tinggi muka air minimum dalam kolam pada musim kemarau 15,3 m,
maka V = 737032,18m3
a. Kualitas Air Tambang
Air asam tambang pada daerah PT xyz, sebelum dilakukan perlakuan khusus
(pengolahan) masih belum memenuhi baku mutu limbah batubara yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, berikut
adalah kualitas air tambang pada PT XYZ

Tabel 6 Kualitas Air Tambang PT XYZ

No. Parameter Angka rata-rata


1 pH 2,78
2 Fe2+ (ppm) 900
3 Fe3++ (ppm) 80
4 SO42-(ppm) 140
5 HCO3 (ppm) 10
6 Ca2+ (ppm) 500
7 Al3+ (ppm) 75

b. Perhitungan Water Demand


Kebutuhan air total dihitung berdasarkan jumlah pemakai air yang telah
diproyeksikan untuk 5 tahun – 10 tahun mendatang dan kebutuhan rata-rata setiap
pemakai setelah ditambahkan 20% sebagai faktor kehilangan air (kebocoran).
Disekitar daerah pertambangan PT xyz Jumlah penduduknya, Kecamatan A yaitu
91401 jiwa dengan luas wilayah 575 km2 . kebutuhan air per orang 210 liter/hari
dengan factor maksimum 1,15, Sehingga kebutuhan air total perhari 22.073.341,5
liter/hari (22.073,34 m3/hari). Jika diasumsikan ada faktor kebocoran atau pemakaian
tidak efektif 20% (kehilangan 20%), maka kebutuhan air total perhari 27.591.676,9
liter/hari (27.591,7 m3/hari)

40
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Berdasarkan table 7 bahwa daerah Kec. A disekitar tambang PT AKekurangan


air bersih sebanyak 72,86% atau sekitar 20.103,3 m3/hari khususnya pada musim
kemarau.
Tabel 7 Persentase Kekurangan Air Disekitar Tambang PT xyz

WHO’s Quantity
recommendation available % shortage
No Purpose
liter/person/day liter/person/day c= ((a-b)/a) x100%
(a) (b)
1 Drinking/Cooking 15 5.5 63.3
2 Bathing/Personal 60 10.0 83.3
Washing
3 Utensiles Washing 15 5.0 66.6
4 Cloth Washing, 20 7.5 62.5
Washing
5 House Washing 10 5.0 50.0
6 Flushing/Refuse 60 15.0 40.0
disposal Washing
7 Garden 10 - 100
8 Wastage 20 7.0 65
Total 210 57 72,86

c. Treatment Effort Yang Diperlukan Dan Biayanya


Sistem Pengolahan yang digunakan, sistem pengolahan air asam tambang
bermacarn - macam salah satu contohnya adalah dapat dilihat pada diagram alir berikut
ini.

Gambar 2.Sistem Pengolahan

1) Equalisasi
Fungsi dari bak equalisasi adalah untuk menyeragamkan kualitas air limbah
yang sifatnya fluktuatif, baik kandungan pollutannya maupun jumlah air asam

41
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

tambang, tergantung dari jenis proses dan jumlah produksinya.Dengan adanya bak
equalisasi maka kualitas air asam tambang menjadi seragam ( homogen ) sehingga
tidak akan mengganggu proses selanjutnya, terutama proses biologis.
2) Koagulasi
Salah satu cara yang paling sederhana untuk memisahkan polutan terutama
partikel - partikel yang ukurannya besar, dan zat warna ciari air limbah adalah dengan
koagulasi yaitu dengan menambahkan bahan -bahan kimia yang dikenal sebagai
koagulant kedalamnya. Dengan ditambahkannya koagulantmaka partikel-partikel
yang ukurannya kecil menjadi besar sehingga dapat dipisahkan.
3) Lumpur Aktif
Metode pengolahan air asam tambang dengan Lumpur aktif adalah salah
satu metode Biologis, yaitu merupakancara pernisahan polutan-polutan terutama
yang berupa bahan organik biodegradable.Metode ini sangat banyak
digunakan oleh industri, dikarenakan relatif lebih mudah dan efisien.
Air limbah yang berasal dan proses koagulasi setelah dipisahkan lumpurnya
dimasukkan ke bak lumpur aktif dan ditarnbahkan oksigen / udara dengan
menggunakan blower atau aerator.Didalam proses lumpur aktif ini akan terjadi
Lumpur yang merupakan massa dari microorganisme dan dapat dipisahkan
dengan menggunakan bak pengendap atau clarifier.

4.4. Studi Kasus Proses Pengapuran


Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu
mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan
pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan
untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian laboratorium menggunakal alat
jar test, didapakan hubungan antara kebutuhan kapur tohor dengan perubahan pH air
asam tambang pada pengujian sample air asam tambang 500 ml dengan pH awal
2,78. Dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

42
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1.50
1.40
1.30

Kapur Tohor (grm)


1.20
1.10 y = 0.0068x3 - 0.1315x2 + 0.8377x - 1.4429
1.00 R² = 0.9989
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pH

Gambar 2 Perubahan pH Air Asam Tambang dengan penambahan Kapur Tohor


pada sample 500 ml

Untuk aplikasi dilapangan kapur tohor dicairkan didalam tangki dengan


campuran air asam tambang, diaduk menggunakan baling-baling, sehingga dengan
penambahan kapur dengan pengadukan tersebut pH air akan menjadi naik.
Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m3 dari pH 2.78
menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg.

4.5. Biaya Operasional


Peralatan dirancang dengan sistem kontinyu dengan kapasitas 1.800 liter/jam.
Peralatan dioperasikan selama 4 jam/hari sehingga dalam 7 (tujuh) hari mampu
mengolah 50.400 liter. Dari hasil uji coba peralatan untuk mengolah air baku
setempat diperoleh data, bahwa untuk setiap 1000 liter air baku diperlukan 0,7 kg
kapur dan 15 gram tawas sehingga untuk mengolah 50400 liter (50,4 ton) air bersih,
diperlukan 35,8 kg kapur dan 0,75 kg tawas. Jika harga kapur dipasaran saat ini Rp
500,00 per Kg dan tawas Rp 2.000,00 per Kg maka biaya pengolahan untuk
mengolah 50.400 liter (50,4 ton) airbaku hanya Rp. 19.400 ditambah biaya listrik
diperkirakan Rp. 3.000,00 .atau sekitar Rp. 444.4/m3

43
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas air danau pertambangan untuk sumber air baku
dapat digunakan setelah melalui proses pengolahan untuk menetralkan pH, Fe dan
Mn. Biaya pengolahan air danau pertambangan ditentukan oleh besarnya debit,
kualitas air limbah serta sistem yang dipergunakan didalam pengolahan, sehingga
antara industri yang satu tidak sama besarnya dengan industri yang lainnya. Dengan
biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk
melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap
lingkungan.

6. DAFTAR PUSTAKA

Birdie G.S and Birdie J.S. 1990. Water supply and Sanitary Engineering, Dhanpat
Rai and Sons., New Delhi.

Barton, B.A. 1997. Short term effect of higway construction on limnology of small
streem in Southern Ontario. Elsavier Applied Science, London and New York.

Suyono S dan Kensaku Takeda,1999. Hidrologi untuk Pengairan, PT Pradnya


Paramita, Jakarta.

Smith M.J. 1974. Acid production in mine drainage system in:Deju R.A. 1974.
Extraction of mineral energy: Today Dilemmas. Ann Arbor Science Publisher
Inc. Mich pg.99.

44
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

THE STUDY ON BLASTING EFFECT


WITH PRE-ASSESSMENT BOREHOLE STATUS BY
INSERTING REAL TIME BORE HOLE ENDOSCOPE
VERIFICATION

Prof. D.W. Kang1, W.H.Hur1

Dep. Of Energy & Mineral Eng. Dong-A Univ., Busan, Korea

ABSTRACT

By inserting a Borehole Endoscope beforehand charging explosives, could


be sought overall status of boreholes and found weak points such as fractures or
directions of joints. So it is possible to reflect weak points in some blasting work.
In this study, using borehole endoscope to find typical weak points on some
blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points
of boreholes first and considered each borehole condition to reflect blasting
design. Each faulty zone, located in the interval of charge where in a mine, was
replaced air deck charge method by self supportAir-Tubes.Reduction of charge
with overall improvement of blast effects and economic benefit occurred. Thus
this study has shown new possibilities throughout small-scale blasting to large-
scale in limestone mine.

Keywords : Blasting, Pre-Assessment Borehole, Borehole Endoscope

45
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. INTRODUCTION

Physical properties of rocks referred to in general civil field are very


diverse. Even conditions already known is just sketchy information from surface
investigation such as exposed joints, weathered areas. Thus, it is almost
impossible to get information of internal state and just wish to warn against risk or
notice abnormal things of worker while drilling of course faulty zone in blasthole
distinguished as abnormal sound or mechanical overload. But there is no one can
say it exactly. Such a faulty zone crushed, chamber by chemical solution,
Geological isolation., est.-caused over charging specially in bulk type explosives
even sometimes any kinds of explosives. This is chief element of fly rocks and
also impacts negative affects to blasting work. So in this study use borehole
endoscope, searching surface and inner side hole conditions-specially reaming-
before charging, obtained information of existing faulty zone and displaced by air
deck method or lower specific charge.It is also problem to set a self-support air
tube at accurate position.

2. BACKGROUNDS

2.1. Hole viewer system (Borehole Endoscope)

Designed to survey � 45mm tunnel blastholes quickly with pin-hole type


camera.Using centralization cover also possible to use more �45mm holes.
Equipments are composed camera head, supporter, signal cable, displayer and
digital recording system. When it force into blasthole, it takes depth or position of
faulty area by outside gradation.
2.2. Air Tube Blasting Method

The air-tubes blasting method is an improved rock blasting method which


comprises a series drilling work in an aligned boreholes of a rock body according
to the designed drilling patterns; charging the boreholes with explosives and an air
tube in a predetermined pattern so as to provide a quantitative air decking in every
charged borehole; and detonating the charged boreholes with stemming on the top
of the explosives or air tubes.

46
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Figure 1. Description of hole viewer system at contour hole in tunnel (hole Dia.
45 mm, damaged zone verification)

Figure 2.Hole viewer test in open mine (looking for faulty area in stony mine)

Figure 3. Normal shapes of blasthole

Figure 4. Endoscope find out faulty area (damaged by drilling impact. Stony
mine. Kim-Hae. Korea )

47
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

The air tube is a cylindrical flexible tube having a predetermined width and
length to be fit in the borehole. An air tube injection port is provided at one end
portion of the air tube. The air tube is made of the sheets and its diameter upon
inflated, becomes smaller than that of the boreholes. The air tube and air injection
port are made from synthetic materials such as polyethylene, polypropylene, and
polyamide. Preferably, the air tube is inflated by using an air injector of air
compressors provided from work sites. For the optimal arrangement, the
explosives and air tubes are alternately charged along the boreholes. Furthermore,
the air tube is charged first at the bottom of the borehole and subsequently a
detonator is charged above the top of the air tube charged in the borehole, and the
explosives and air tubes are charged in an adjacent two boreholes so that they are
located in cross relation each other, therefore, one air tube can face lateral
explosives in an adjacent borehole.

Figure 5. Self-Support type Air-tube (1.5m �80mm)

Figure 6. The trial pattern of Air-Tube blasting (self support type, buried in
explosives, reduce specific charge)

48
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

The air tube which is installed above the top of explosives can reduce the
stemming length charged above the air tube as much as extent the air tube. The
explosive charged above the air tube is detonated by sympathetic detonation.

2.3. Theory Of Air Decking

The technique of air decking involves the use of one or more air gaps in the
explosive column as a means of optimising fragmentation for a given charge
length. The theory as proposed by Melnikov and Marchenko (1971) and Melnikov
et al. (1979), postulates that shock waves, when reflected within the borehole,
generate a secondary shock wave that extends the network of microfractures prior
to gas pressurization. The final borehole pressure produced by an explosive is,
however, reduced in this case but the degree of fracture is increased as a result of
repeated loading of the rock by a series of aftershocks. The three main pressure
fonts (shock front, pressure front due to formation of explosive products behind
the detonation font and reflected waves from the bottom of the blasthole and/or
from the base of the stemming) travel within the air deck for different distances
and velocities thereby creating these aftershocks.

3. GEOMINING DETAILS OF THE MINE

3.1. Location
The limestone mine is situated in central Korea southern of Dan-Yang in the
state of Chungchung-nam-do and belongs to Sung-Shin Cement Ltd.

3.2. Topography

Regionally, the area forms undulating terrain with two ridges trending ENE-
WSW. The centre of city crossed by Riv. Yeon-san and annual precipitation rate
in this area is about 1180 mm.

49
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3.3. Rock Succession

Figure. 7. Location map Sung-Shin cement open pit mine.

Table 1. Margin settings for A4 size paper

50
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4. FIELD TEST

4.1. Drilling And Preparing Air Deck


Bench heights of 8-10 m and 15 m were used in the mine. Generally, 20-30
holes in two to three rows were fired using ordinary detonators. An air deck layer
was placed in the middle of the explosive colum and between column charge and
stemming for fragmentation. The deck specific was 80 mm for 15 m benches and
70 mm for 8-10 m benches.

4.2. Hole Viewer System


Each blast hole surveyed endoscope from bottom to surface. The
characteristic of limestone, slowly evolved reamings were found. This table is a
part of accurate position of reaming.

Table 2.Position of reamings and faulty zone (Ex.)

Figure. 8. Detail view of faulty zone (Shows character of limestone reaming)

4.3. Charging

All the blasthole charges with HIMEX (bulk emulsion, Han-Hwa Co.,
specific gravity 1.25) basically, but some holes that found fault zone bottom of

51
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

hole, displaced ANFO as faulty zone starting point. And others installed Air-Tube
between bulk explosives. So average of specific charges down comparing with
conventional blasting method whole the test blasting range.

Figure. 9. Detail description of trial method (left) and air deck method (right)
(bench height 15 m, saved explosives 9-15% in average)

Table 3. Charging pattern (test blast)

52
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. RESULT

5.1. Fragmentation

The optimum fragment size, considering a loading bucket capacity of 1.7 m3


works out to be 0.20 m ( Rzhevsky, 1985. Further, for a shovel of 1.7 m3 bucket
capacity, the loading efficiency is reduced by 7.23 and 37% for mean fragment
sizes of 20-34, 35-60 and. 60 cm, respectively.
Fragmentation assessment was made on the basis of image processing size
measurements by split desktop ver. 2.0. Each blast always side by side
conventional and test, ignited same time. The result of apparent fragmentation is
shown in Fig. 10.

Figure. 10. Apparent fragmentation

Figure. 11. Calculate of fragmentation (Split Desktop ver. 2.0)

53
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

It can be observed in fig. 11 that middle sizes of rocks are smaller than
conventional blasting. The average of middle size was 234.46 mm at conventional
and 164.89 mm at test. It means about 30 % fragmentation improved in air deck
blasting.

5.2. Saving Explosives

As displaced certain amount of charges to air deck, occurred saving


explosives in air deck blasting method.

Table 4. The rate of saving explosives

5.3. Other Effects

Specific charge
In conventional blasting with bulk explosive, a specific charge of 0.25 – 0.33 kg
m3 was used, whereas the specific charge was slightly higher in conventional
blasts with an air deck. In spite of this, the explosive cost is reduced significantly
due to the use of low cost and low-density explosive (ANFO) and better
utilization of available shock energy as explained previously.

Throw
Research conducted by the Swedish Detonic Research Founder (SVEDEFO)
shows that the forward movement of muck pile in conventional charging should
be 140c 228m, where c is the specific charge in kg m3 (Olofson, 1988). The
observed throw in conventional blasts with air decks is compared with the throw

54
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

without air decks estimated after SVEDEFO. It is seen in Fig. 10 that the throw is
drastically reduced in air deck blasting which indicates that significantly less
explosive energy is spent for rock throw in air deck blasting compared to blasting
without an air deck. Thus, air deck blasting makes more efficient use of the
explosive energy.
This is observed rock movement. As shown Fig. 12.two of four trial shot was
excessively throws rock which was on bottom area in the bench.

Figure. 12. Rock movement (arrow means blasting direction)

Table 5. Cost reduction by air deck

55
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

6. CONCLUSION

Depends on Air Tube blasting that each air deck layers are located at weak
point in the holes, the degree of fragmentation was improved.
From observation, the improved fragmentation is caused by preventing
overcharges through which installing air tubes in faulty zone, so density of charge
was stabilized.
By using Air Tube, reduce explosives 9 – 15 % for general method. It is
expected to be a great financial opportunity for the mine.

7. REFERENCE

Biewniawaski, Z.T. (1973) Eggineering classification of jointed rock


masses.Transactions Of South African Institute Of Civil Engineers 15(12),
335-344. Fourney, W.L., Barker, D.B. and Holloway, D.C. (1981) Model
studies of explosive well stimulation techniques. International Journal Of
Rock Mechanics & Mining Sciences 18,113-127.

Kinney, G.F. and Graham, K.J. (1985) Explosives Shocks In Air , Springer, New
York. McCabe, W.L. and Smith, J. (1976) Unit Operations of Chemical
Engineering, McGraw-Hill Book.

Company, New York.Marchenko, L.N. (1982) Raising the Efficiency of a blast in


rock crushing.Soviet Mining Science 18 (5), 46-51.

56
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA HULU


NASIONAL BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL

Nurul Taufiqu Rochman


Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Puspiptek Serpong Tangsel, Banten
ufiq2000@yahoo.com

ABSTRAK
Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena mendominasi 95
% dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi
pengembangan industri suatu bangsa. Kebutuhan besi/ baja nasional mencapai
lebih dari 10 jt ton pertahun dan terus meningkat seiring dengan program
percepatan pembangunan ekonomi dewasa ini. Namun demikian, hingga kini,
hampir seluruh bahan baku industri besi/ baja tersebut diperoleh dari impor baik
berupa pellet maupun skrap dengan harga yang relatif mahal dan tidak stabil.
Sementara itu, sumber daya alam yang berupa bijih besi dan pasir besi lokal
belum diolah untuk tujuan tersebut karena berbagai macam kendalan yang
dihadapi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi
pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.
Pertama, dibahas mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi industri
besi/ baja hulu nasional, seperti ketergantungan bahan baku impor, tata kelola
organisasi pemerintahan dan kebijakan serta kendala teknologi dan R & D.
Kemudian dilanjutkan dengan uraian teknologi terkini yang potensial
dikembangkan di Indonesia. Pendekatan klaster industri besi/ baja hulu menjadi
pilihan yang paling strategis sebagai upaya penguatan daya saing global industri
besi/ baja nasional. Terakhir disampaikan kesimpulan dan rekomendasi
pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.

Kata kunci: Strategi, industri besi/ baja hulu, bahan baku lokal, tata kelola
kebijakan, teknologi pengolahan.

57
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena
mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang
punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Negara-negara maju
berusaha melakukan penguasaan teknologi pengolahan dan produksi baja secara
besar-besaran untuk berkompetisi menguasai seluruh segmen pasar industri baik
di dalam dan di luar negaranya pada era global dewasa ini. Berdasarkan laporan
dari International Iron and Steel Institute, 2010 produksi baja dunia meningkat
dari di bawah 1 milyar ton pertahun pada 2003 mencapai di atas 1,4 milyar ton
pertahun pada 2010. Peningkatan ini diproyeksi akan terjadi dari tahun ke tahun
seiring dengan peningkatan konsumsi baja dunia. Peningkatan konsumsi baja di
masing-masing negara mengindikasikan bahwa proses pembangunan dan
pengembangan industri masih terus berlangsung khususnya di negara-negara
dunia ketiga (seperti China, India, Korea, Brasil dan lain sebagainya). Kondisi ini
mendorong terjadinya perubahan peta industri baja dunia. Industri - industri baja
di dunia melakukan serangkaian strategi untuk 1) mempertahankan eksistensinya,
2) ekspansi, 3) mendapat jaminan pasokan bahan baku dengan menguasai sumber
bahan bakunya, 4) merebut pasar dunia dan lain sebagainya.
Peningkatan konsumsi baja China dan perubahan peta industri baja dunia
berdampak serius bagi industri besi/ baja nasional, dimana hampir semua bahan
baku diperoleh dari impor dengan harga yang mahal dan tidak stabil. Di sisi lain,
Indonesia kaya akan bahan baku, dimana jumlah pasir besi mencapai lebih dari 1
milyar ton yang utamanya tersebar di pulau Jawa dan Flores serta bijih besi
laterite dengan total lebih dari 2 milyar ton di pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Sementara itu, jumlah deposit batubara dengan total melebihi
64 milyar ton dan batu kapur bermilyar - milyar ton tersebar di berbagai wilayah
di Indonesia. Namun demikian kekayaan bahan baku lokal tersebut masih belum
bisa dikelola secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan baja nasional karena
berbagai macam kendala yang dihadapi dan belum adanya strategi yang
terintegrasi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi

58
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

pengembangan industri besi/ baja hulu nasional dengan memanfaatkan sumber


daya lokal berupa bijih besi/ pasir besi dan bahan baku lainnya.

Gambar 1. Produksi besi kasar dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
(Sumber: http://www.worldsteel.org).

2. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI INDUSTRI BESI/ BAJA


NASIONAL

2.1. Ketergantungan Bahan Baku Impor

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang berupa
mineral bijih besi, pasir besi, batubara dan lain sebagainya. Namun pada
kenyataannya industri besi/ baja nasional masih kekurangan pasokan bahan baku
untuk memenuhi proses produksinya. Kondisi ini disebabkan masih terbatasnya
industri besi/ baja hulu di Indonesia baik dalam jumlah maupun kapasitas
produksinya (Kemenperin, 2009).
Sumber bijih besi di Indonesia tersebar dan karakternya spesifik, tetapi
belum ada industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi tersebut secara
berkelanjutan, bahkan sebagian besar bijih besi, pasir besi dan batubara tersebut
diekspor begitu saja tampa diberikan nilai tambah. Belum adanya industri lokal
yang mengolah bahan baku bijih besi disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu 1)
investasi yang diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan bahan baku bijih
besi lokal masih relatif sangat besar, 2) belum dikuasainya teknologi pengolahan

59
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

bahan baku bijih besi, 3) infrastruktur yang diperlukan belum memadai, 4)


informasi pertambangan yang diperlukan masih simpang siur serta 5) belum
terintegrasinya dukungan kebijakan dari pemerintah.

2.2. Kendala Teknologi Dan Sumber Daya Manusia (SDM)


Penguasaan teknologi sudah menjadi suatu kewajiban yang harus
dikembangkan apabila Indonesia berkeinginan untuk mengembangkan industri
besi/ baja nasional. Pada kenyataannya penguasaan teknologi untuk benefisasi
bijih besi masih sangat lemah. Selain itu teknologi pengolahan bahan baku bijih
besi/ pasir besi yang spesifik untuk membuat ingot masih belum teruji sehingga
untuk melaksanakan proses produksi masih menggunakan lisensi alat dan ahli
teknologi dari luar negeri.
Indonesia belum mempunyai pusat riset nasional yang menangani secara
khusus pengolahan bahan baku lokal sampai menjadi produk hilir yang
diprioritaskan oleh pemerintah, yang akan melakukan riset khusus tentang industri
logam, melakukan penelitian dan pengembangan teknologi secara terus-menerus
mengikuti perkembangan industri logam internasional, membuat kebijakan
nasional, membuat keputusan, merealisasikan dan mengimplementasikan
kebijakan dan program-program pengembangan industri logam seperti yang
dimiliki oleh China.
Pengembangan industri logam juga terhambat oleh rendahnya produktivitas
sumber daya manusia yang mampu memberikan teknologi tepat guna, khususnya
ahli untuk menangani teknologi pada industri besi/ baja hulu bila dibandingkan
dengan produktivitas SDM industri besi/ baja di negara lain. Kalaupun tersedia
SDM yang mampu menerapkan teknologi tepat guna, jumlah ahli yang dimiliki
masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan besarnya jumlah dan rendahnya tingkat
edukasi tenaga kerja yang diserap.

2.3. Tata Kelola Kebijakan Industri Besi/ Baja Nasional Belum Terintegrasi
Kondisi ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa kebijakan industri besi/
baja belum menjadi isu nasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh
stakeholder/ kementrian dalam pengembangan industri nasional. Selain itu

60
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

industri logam masih menggunakan aturan-aturan industri yang bersifat umum,


padahal industri besi/ baja merupakan supporting bagi industri lain, sehingga
diperlukan kebijakan khusus yang berbeda dan mendukung pengembangan
industri besi/ baja. Adanya kontradiksi kebijakan antara pemerintah pusat dan
daerah serta belum adanya sinergisitas kebijakan antardepartemen menyebabkan
pelaku industri besi/ baja mengalami kesulitan dalam melakukan pengembangan
industrinya. Kebijakan yang ada selama ini umumnya bersifat reaktif bukan
berbasis strategis.
Kebijakan ekspor dan impor bahan baku logam juga menjadi permasalahan
tersendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja indusrti besi/ baja hulu
dan tersedianya pasokan bahan baku bagi industri besi/ baja hilir. Insentif dan
peran lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mendukung pendanaan bagi
investasi di industri besi/ baja.

2.4. Keterkaitan Antarstakeholder Pada Industri Besi/ Baja Nasional Belum


Harmonis
Hubungan yang harmonis antara stakeholder industri besi/ baja dengan
sendirinya akan memepercepat proses pengembangan industri itu sendiri. Dengan
adanya harmonisasi dan keterkaitan antara stakeholder, arus informasi dan
pemenuhan bahan baku dan pemasaran akan lebih efektif dan lebih
menguntungkan dalam jangka panjang.
Pada kenyataanya masing-masing stakeholder industri logam nasional
belum terhubungkan dengan baik, dimana masing-masing berjalan sendiri-sendiri
sehingga tidak ada integritasi satu sama lain yang dapat mendorong
pengembangan industri besi/ baja nasional. Selama ini belum ada sistem yang
mengatur dan mengikat masing-masing stakeholder secara keseluruhan serta
menjadi acuan semua pelaku industri. Beberapa klaster industri baja yang sudah
terbentuk belum bisa berjalan secara optimal sehingga keberadaannya belum bisa
memberikan kontribusi yang nyata bagi kemajuan dan pengembangan industri
baja nasional.

61
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIJIH BESI/ PASIR BESI

Potensi sumber daya bijih besi/ pasir besi Indonesia sangat mendukung
untuk kemandirian industri besi/ baja nasional jika dilakukan pemilihan teknologi
yang tepat sesuai dengan karakter bahan bakunya. Teknologi untuk mendapat
besi/ baja dari bijih besi/ pasir besi yang digunakan di Indonesia adalah blast
furnace (tanur tiup) dan Direct Reduction Iron berbasis gas alam. Blast furnace
merupakan teknologi generasi pertama pembuatan besi. Bagian-bagian dari tanur
tiup dapat dilihat pada Gambar 2. Sementara Gambar 3 menunjukkan mini blast
furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak
tahun 1985.
1. Hembusan udara panas dari tungku
2. Daerah pencairan
3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide)
4. Zona reduksi Fe2O3 (Ferric Oxide)
5. Daerah pemanasan awal
6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan
Kokas
7. Gas sisa pembakaran
8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas
9. Slag
10. pig iron
11. Saluran gas buang

Gambar 2. Ilustrasi skematik tanur tiup secara umum untuk generasi pertama
teknologi iron making.

Teknologi ini merupakan peleburan reduksi (reduction smelting) dan masuk


kategori reduksi tidak langsung. Pembuatan besi dengan tanur tiup membutuhkan
kokas yang relatif mahal dan temperatur tungku yang tinggi sekitar 1500-2000°C.
Pemakaian batubara semi cooking dapat menjadi alternatif dengan proses lebih
murah. Proses pembuatan besi dengan teknologi ini merupakan proses yang
berkelanjutan sehingga membutuhkan jaminan ketersedian bahan baku. Bijih besi
yang digunakan memerlukan kualitas yang baik yaitu kadar Fe yang tinggi dan
tidak adanya kandungan pengotor. Besi ingot yang dihasilkan memiliki
kandungan karbon 4-5% sehingga sangat getas dan harus diproses lebih lanjut
untuk produksi baja.
Teknologi generasi kedua adalah pembuatan besi dengan menggunakan gas
alam untuk mereduksi bijih besi sehingga didapat besi reduksi langsung (Direct

62
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Reduction Iron). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih
rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini
juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko.
Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX®
Process dan Fastmet® Process. Teknologi lain yang dikembangkan adalah
HOTLINK® Process yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process.
Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan tanur tiup
meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000
ton pada tahun 2005 (Otzuka & Kunii, 1967; Kashiwaya & Ishii, 2004). Bijih besi
yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap
membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.

Gambar 3. Mini tanur tiup yang ada di Balai Pengolahan Mineral Lampung
dengan kapasitas 10 ribu ton/ tahun.

Gambar 4. Plant Reduksi Langsung berbasis gas alam (a) MIDREX® Process, (b)
HOTLINK® Process.

63
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Teknologi generasi ketiga yang dikembangkan oleh Kobe Steel adalah IT


Mark Three (ITmk3®), seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Teknologi ini
merupakan pengembangan dari Fastmet® process, yang merupakan reduksi
langsung dengan menggunakan batu bara. ITmk3® adalah proses yang unik,
karena pellet direduksi dan dilelehkan pada suhu yang relatif rendah yaitu
1350°C. Pada proses ini besi dengan mudah terpisah dari slag. Reaksi pada
ITmk3® berada pada fasa padat/ cair yang berbeda dengan teknologi pembuatan
besi konvensional. Keunggulan lain dari teknologi ini adalah FeO sisa kurang dari
2% dan tidak merusak bata api. Bijih besi halus dan bijih besi kadar rendah bisa
digunakan pada teknologi ini. Kobe steel dalam penelitiannya dalam waktu yang
singkat (3-9 menit) telah berhasil mereduksi langsung bijih besi dengan teknologi
ITmk3® dengan variasi temperatur. Seiring dengan penambahan waktu pada
pemanasan 1350°C, metalisasi berjalan lebih sempurna dan terjadi pengumpulan/
pemisahan slag dari metal yang terbentuk (Anameric et al., 2006; Nagata et al.,
2001; kobayashi et al., 2007)

Gambar 5. ITmk3® Process menggunakan Rotary Hearth Furnace.

Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak
terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan
menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan

64
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

kedua). Pasir besi tersebut dapat digunakan tetapi membutuhkan proses yang
panjang agar sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh teknologi
tersebut. Selain itu harga kokas yang masih impor (generasi pertama) dan harga
gas alam (generasi kedua) yang cenderung naik menjadi kendala lain dalam
pengolahan pasir besi di Indonesia.

4. STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL

Untuk menyelesaikan dan sekaligus memberikan solusi pada masalah –


masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu dibuat suatu strategi yang
komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan industri baja hulu nasional
yang mengacu pada kebutuhan besi/ baja nasional hingga 2020 (Kemenperin,
2007).

25
Konsumsi baja nasional (juta ton/ tahun)

20 Tahap III
- Peningkatan kapasitas masing-masing
klaster dari 1 menjadi 3 juta ton/ tahun.
- Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
15 Tahap II
- Pembentukan 6 buah klaster industri baja hulu.
- Peningkatan kapasitas masing-masing klaster
dari 500 rb sampai minimal 1 juta ton/ tahun.
10 Tahap I - Akselerasi penguasaan steel making dan turunannya.
- Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.

- Optimalisasi kapasitas terpasang.


- Penerapan & pembangunan mini blast furnace.
5 - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
- Kajian pembentukan klaster industri baja hulu.
- Akselerasi R&D iron making dari low grade bijih besi.

0
2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025
Tahun

Gambar 6. Proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas pada
strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal
yang mengacu pada visi dan arah yang telah dirumuskan sebelumnya.

65
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Early Adapter Mass Market


Applied Research Rapid advancement

•Penerapan teknologi blast furnace secara

dan produk turunannya secara masif


Basic Research

•Penerapan teknologi steel making


•Penguasaan teknologi iron making dari

•Penerapan teknologi iron making


•Peningkatan kapasitas teknologi

•R&D teknologi steel making dan


•Prototipe teknologi iron making
Peluang memasuki market dunia

pelet dgn rotary kiln untuk konsumsi

dari bijih besi low grade secara


•Penguasaan teknologi pembuatan

• Penerapan teknologi blast furnace

•R&D teknologi pengolahan bijih

dari bijih besi low grade.


• Penguasaan teknologi dan
prototite mini blast furnace.

besi low grade secara masif.

produk turunannya.
industri baja nasional.

bijih besi low grade.

blast furnace.
secara masif.

masif.
masif.
2013-2015 2015-2020
2006-2008 2010-2013 Roadmap arah pengembangan
teknologi industri baja nasional
2008-2010 berbasis bahan baku lokal

Gambar 7. Arah Pengembangan Teknologi Industri Baja Nasional Yang Berbasis


Bahan Baku Lokal Serta Peluang Memasuki Market Global

Gambar 6 menunjukkan proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa


agenda prioritas yang harus dilaksanakan sebagai ilustrasi dari strategi
pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal yang mengacu pada
kebutuhan baja nasional (Kemenperin, 2007). Diprediksi bahwa konsumsi baja
nasional pada tahun 2010, 2015 dan 2020 berturut – turut adalah 10, 15 dan 20 jt
ton / tahun yang harus dipenuhi pada akhir tahapan. Sementara itu, Gambar 7
menunjukkan roadmap arah pengembangan teknologi industri baja hulu mandiri
dan terintegrasi yang berbasis sumber daya lokal.

4.1. Tahap I

Pada 2008 konsumsi baja nasional diskenariokan akan bertambah sekitar 2,2
jt ton (dari 7,8 jt ton di tahun 2006) sehingga mencapai 10 jt ton / tahun. pada
tahun 2010. Sementara itu, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 3,8 jt
ton / tahun, hanya digunakan sekitar 2,5 jt ton untuk konsumsi dalam negeri. Di
sisi lain, kapasitas terpasang industri baja nasional kita dapat mencapai 6,5 jt ton /
tahun dengan hampir seluruh bahan baku (pellet dan skrap) yang didapat dengan
cara impor. Untuk mencapai target produksi 10 jt ton / tahun, maksimalisasi
utilisasi kapasitas terpasang saat ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tambahan

66
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

produksi lebih dari 4 jt ton / tahun. Nilai ini masih terlalu besar untuk dapat
dicapai dengan pembangunan industri hulu dan hilir baru, mengingat waktu Tahap
I ini sudah selesai.
Dengan memperhatikan banyaknya potensi sumber daya bijih besi primer
yang tersebar diberbagai lokasi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, serta
penguasaan teknologi mini blast furnace oleh Balai Pengolahan Mineral Lampung
– LIPI, terlihat bahwa strategi desentralisasi pengembangan industri baja hulu
sangat sesuai untuk tahap awal ini. Untuk langkah awal, perlu didesain mini blast
furnace dengan kapasitas 50 ~ 500 jt ton / tahun dalam jumlah yang relatif banyak
(sekitar 25 ~ 50 buah). Dengan desain ini, cadangan bijih besi yang tersebar
dengan jumlah yang relatif tidak besar (sekitar 1 juta ton) dapat dimanfaatkan
selama kurang lebih 10 tahun secara ekonomis, dengan perkiraan BEP lebih
kurang 3 – 5 tahun sejak mulai beroperasi. Pembangunan mini blast furnace
dengan kapasitas ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat (kurang
dari satu tahun). Jika rata – rata kapasitas mini blast furnace yang dibangun
selama 2 tahun ini adalah 200 rb ton / tahun dan jumlahnya 25 buah, maka sekitar
5 jt ton (200 rb ton x 25 = 5 jt ton) / tahun dapat diproduksi. Dengan demikian,
total produksi pada tahun 2010 akan mencapai 10 jt ton / tahun (5 – 6 jt ton dari
kapasitas terpasang + 5 jt ton dari total produksi mini blast furnace). Perhitungan
ini lebih realistis dibanding dengan pembangunan industri baja hulu sentral yang
besar berkapasitas 5 jt ton / tahun hanya dalam waktu 2 tahun.
Untuk mengawal pengembangan industri baja hulu mandiri tersebut, maka
pemerintah harus membuat berbagai kebijakan seperti yang berkaitan dengan
peraturan ekspor-impor baja dan bahan bakunya, pertambangan dan lain
sebagainya. Di samping itu, perlu dilakukan kajian pembentukan klaster industri
baja hulu yang memiliki nilai strategis. Sekurang – kurangnya ada enam klaster
industri baja hulu yang dapat direkomendasikan dengan pertimbangan potensi
sumber daya bahan baku, infrastruktur, SDM dan teknoekonomi. Adapun wilayah
klaster – klaster tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kalimantan Selatan – Kalimantan Barat (pusat di Kalimantan Selatan),
2) Lampung – Sumatera Barat (pusat di Lampung),
3) Nusa Tenggara Timur (Flores),

67
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4) Jawa Tengah,
5) Sulawesi Selatan,
6) Papua.
Di samping kajian klaster industri baja hulu, pemerintah harus
memprioritaskan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi pembuatam besi
(iron making) dari bijih besi kualitas rendah (low grade) dengan melibatkan
berbagai peneliti dari lembaga penelitian dan industri terkait secara masif. Dalam
dua tahun diharapkan ke depan akan ada terobosan baru yang dapat
memanfaatkan bijih besi low grade menjadi pig iron. Untuk itu, perlu adanya
forum – forum diskusi dan seminar – seminar ilmiah yang dapat mengakselerasi
penguasaan teknologi iron making dari bijih besi kualitas rendah (low grade).

4.2. Tahap II

Pada tahap dua ini, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 15 jt ton /
tahun. Oleh karena itu, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan dari 10 jt ton
menjadi 15 jt ton / tahun pada akhir tahun 2015. Untuk mencapai nilai tersebut,
maka 6 klaster industri baja hulu yang telah dikaji pada tahap sebelumnya, harus
sudah dibangun di akhir tahun 2013 dengan kapasitas awal masing – masing
sekitar 0,5 jt ton / tahun. Kemudian kapasitas tersebut ditingkatkan menjadi 2 kali
lipatnya, sehingga pada tahun 2015 masing – masing dapat memproduksi 1 jt ton /
tahun. Total jumlah produksi 6 klaster diharapkan pada tahun 2015 adalah 6 jt ton
/ tahun. Dengan demikian, total produksi baja hulu nasional akan mencapai 16 jt
ton / tahun, dengan 10 jt ton berasal dari kontinuitas produksi pada Tahap I.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu diterapkan teknologi blast
funace yang berkapasitas minimal 1 jt ton / tahun dengan memanfaatkan bijih besi
primer (high grade) yang jumlah cadangannya melimpah. Penguasaan teknologi
ini dilakukan secara bertahap dari 0,5 jt ton / tahun menjadi 1 jt ton / tahun dengan
rentang waktu sekitar 5 tahun, dari 2010 s/d 2015. Di lain sisi, teknologi iron
making dengan menggunakan bijih besi low grade sudah mulai dikuasai dan dapat
dibuat prototipenya pada akhir tahun 2015. Pada tahap ini juga harus sudah
dimulai riset dan pengembangan teknologi steel making skala nasional dan produk

68
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

turunannya. Gambar 8 menunjukkan dua pendekatan pengembangan industri besi/


baja hulu nasional dengan memprioritaskan steel making untuk skala besar diatas
1 juta ton/ tahun dan iron making dengan kapasitas 0,5 juta ton/ tahun.
Sekali lagi, pilihan strategi di atas lebih realistis dibanding pembangunan
sentral industri baja hulu dengan kapasitas 10 jt ton / tahun, yang pasti akan
memerlukan banyak sumber daya dan investasi serta menimbulkan permasalahan
teknologi yang sangat komplek baik di level pengolahan bahan baku, iron making
dan lain sebagainya. Pasokan bahan baku untuk memenuhi jumlah yang
sedemikian besar akan menimbulkan masalah tersendiri.

PENGEMBANGAN
INDUSTRI BAJA HULU

INDUSTRI BAJA HULU KLASTER INDUSTRI


SKALA NASIONAL BESI/BAJA HULU

PASOKAN >> 1 JT TON/TAHUN PASOKAN << 0,5 JT TON/TAHUN


SPESIFIKASI: SPESIFIKASI:
PRODUK
DEPOSIT SUMBER DAYA 10 – 20 SLAB BESI COR JUMLAH DEPOSIT FLEKSIBEL
BAJA ENGINE INVESTASI RELATIF TIDAK BESAR
INVESTASI BESAR PERALATAN SEDERHANA
TAHUN
BILLET BUNGA PAGAR
KEBUTUHAN MESIN PRODUKSI YANG HRC ALAT KEPEMILIKAN OLEH SWASTA/
CRC
KEPEMILIKAN OLEH PEMERINTAH
CANGGIH (STEEL MAKING) PEMDA
DLL DLL
PERTANIAN

(BUMN) Small & Medium Iron


Making Industries

Gambar 8. Strategi pendekatan pengembangan industri besi/ baja hulu nasional.

4.3. Tahap III

Dalam jangka waktu 5 tahun, kapasitas masing – masing klaster diharapkan


dapat ditingkatkan dari 1 jt ton / tahun menjadi 3 jt ton / tahun. Dengan demikian,
total produksi baja dari 6 klaster industri baja nasional mencapai 18 jt ton (3 jt ton
x 6 = 18 juta ton) / tahun dalam jangka waktu 5 tahun tersebut. Pada tahap ini,
industri baja yang menggunakan mini blast furnace diasumsikan sudah mulai
habis dan beralih menjadi pemain yang lebih besar. Sementara itu, produksi

69
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

industri baja nasional yang terpasang sekarang ini diharapkan sudah bisa
berkembang mencapai 8 jt ton / tahun, sehingga secara matematis jumlah total
produksi baja di tahun 2020 akan mencapai sekitar 26 jt (8 + 18 jt ton) / tahun.
Dengan demikian pada akhir Tahap III, Indonesia akan mengalami over supply
sekitar 6 jt ton / tahun dan dapat diekspor ke negara lain.
Pada tahap ini, teknologi iron making dari bijih besi low grade sudah dapat
diterapkan secara masif bersamaan dengan penerapan teknologi steel making dan
produk turunannya pada industri baja nasional. Di sini diversifikasi produk baja
turunan telah dapat dilakukan dan produk – produk baja nasional telah memasuki
persaingan global dengan daya saing yang tinggi. Sealin itu, industri baja nasional
yang mandiri dan berdaya saing telah eksis dan akan terus berkembang mengawal
pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat.

5. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING GLOBAL INDUSTRI


BESI/ BAJA NASIONAL

Gambar 9 menunjukkan skematik ilustrasi pengembangan daya saing


industri baja nasional. Pembangunan industri, terutama industri baja, yang
mandiri, komprehensif dan terpadu dalam sebuah sistem yang terintegrasi dengan
baik mutlak dibutuhkan guna menuju struktur industri baja nasional yang tangguh
dan berdaya saing global. Pengembangan ini membutuhkan keterlibatan banyak
pihak sebagai pendukung suksesnya industri baja di masa mendatang, tidak hanya
PT. Krakatau Steel yang dijadikan sebagai mitra pembangunan, tetapi perlu
mengikutsertakan industri baja nasional lainnya. Dalam pengambilan kebijakan,
juga perlu melibatkan pemerintah daerah, lembaga-lembaga penelitian, dan stake
holder untuk mendapatkan gambaran yang jelas arah pengembangan industri baja
ke depan mengacu pada peta kemampuan pasokan bahan baku dan potensi pasar
pengguna baja. Di samping itu juga, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan
dan regulasi-regulasi yang menjamin keberlangsungan pengembangan industri
baja nasional harus segera dibuat.
Kelimpahan sumber daya alam Indonesia secara umum memiliki cadangan
yang mencukupi untuk konsumsi nasional sampai beberapa dekade ke depan.

70
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Namun sangat disayangkan, potensi yang melimpah tersebut tidak teridentifikasi


dan terpetakan dengan baik. Potensi yang tidak teridentifikasi dan tidak terpetakan
tersebut pada kenyataannya telah mengakibatkan kerugian nasional berupa
pencurian sumber daya alam baik disadari ataupun tidak disadari. Untuk itu
diperlukan adanya pemetaan potensi sumber daya alam di Indonesia yang terfokus
kepada pemetaan sebaran dan potensi bijih besi di Indonesia. Pemetaan juga akan
mencakup mineral-mineral lain yang dibutuhkan dalam pengolahan bijih besi
menjadi baja, seperti batubara dan batu gamping.
Untuk ke depan, kebutuhan bijih besi tidak dapat digantungkan sepenuhnya
pada industri pengolahan bijih besi yang sudah ada saat ini karena produksi yang
dihasilkan hanya dapat memenuhi sepertiga dari kebutuhan industri di Indonesia.
Untuk menutupi kekurangan pasokan bijih besi tersebut, diperlukan
pengembangan industri pengolahan bahan baku yang lebih luas dengan
memanfaatkan potensi SDA diseluruh pelosok indonesia dari Sabang sampai
Merauke. Teknologi pengolahan yang dikembangkan tersebut harus mampu
menjawab tuntutan peningkatan produksi sekaligus mempertimbangkan metode
yang digunakan dengan karakteristik bijih besi yang dimiliki masing – masing
daerah. Selain itu, perlu adanya pendekatan agar langkah-langkah serius dan nyata
untuk memperbaiki dan mengoptimalkan kondisi infrastruktur pendukung, SDM
dan potensi daerah yang bersangkutan dapat segera terealisasi.

Gambar 9. Strategi peningkatan daya saing industri besi/ baja nasional.

71
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Penggunaan teknologi eksplorasi dan teknologi produksi yang efektif dan


efisien merupakan faktor yang menentukan keberlangsungan industri baja
nasional secara ekonomis. Untuk itu perlu adanya kajian terhadap teknologi
eksplorasi yang umum digunakan di Indonesia agar optimalisasi eksplorasi dapat
dilakukan. Demikian pula dengan teknologi produksi yang digunakan. Seringkali
didapatkan teknologi produksi yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas
bagus, namun dengan tingkat optimalisasi yang rendah. Sebaliknya, sering pula
ditemui penggunaan suatu teknologi produksi yang dapat mengoptimalkan jumlah
produksi baja, namun memiliki kualitas hasil produksi yang kurang baik. Dengan
mengacu kondisi di atas, maka teknologi produksi baja pun merupakan suatu
objek yang harus dikaji. Kajian terhadap teknologi eksplorasi dan produksi
tersebut nantinya akan dan harus membahas aspek teknis, ekonomi dan
lingkungan. Di samping kajian dari sisi teknis, kajian dari sudut pandang ekonomi
juga sangat dibutuhkan, karena bagaimanapun juga industri eksplorasi dan
produksi baja merupakan bidang usaha yang memerlukan investasi besar. Dengan
mempertimbangkan aspek ekonomi, diharapkan dunia usaha mendapatkan
gambaran yang detil untuk mengambil langkah investasi mereka. Sebagaimana
kajian dari aspek ekonomi, kajian dari aspek lingkungan juga sangat dibutuhkan
untuk membuat industri baja yang berkualitas baik. Kajian ini harus melihat
sejauh mana teknologi yang digunakan memberikan pengaruh terhadap
lingkungan di sekitar lokasi eksplorasi atau di sekitar lokasi industri. Hasil kajian
ini nantinya dapat digunakan oleh pihak industri dan investor untuk mengevaluasi
sejauh mana penerapan faktor keselamatan lingkungan telah dilakukan. Kajian
juga seharusnya membahas kemungkinan adanya substitusi teknologi bila
teknologi yang digunakan saat ini kurang memenuhi standar teknis, ekonomis
maupun standar keselamatan lingkungan.
Di lain sisi, penyediaan sumber energi yang murah dan stabil adalah mutlah
diperlukan. Bahan dasar gas alam komponen yang sangat rawan terhadap
perubahan harga. Hal ini disebabkankarena semakin menipisnya cadangan di alam
ini. Di samping harganya yang relatif mahal, energi listrik cenderung tidak stabil.
Diperlukan sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan pembangkit listri tenaga

72
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

batubara yang relatif murah dan pasokan bahan baku bisa dari lokal dan berjumlah
melimpah.
Perkembangan industri baja nasional dengan struktur yang kokoh dan
mandiri tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia sebagai pendukung
operasional secara teknis atau manajerial. Aspek ini sangat perlu mendapat
perhatian secara intens. Pengembangan yang paling penting dari aspek SDM
adalah pengembangan dan pemberdayaan melalui transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tentu saja, pengembangan SDM melibatkan banyak pihak, yaitu
lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi serta lembaga riset
yang dikembangkan sendiri oleh industri baja.
Kemajuan Indutri baja Nasional juga perlu mendapat dukungan dari struktur
pasar yang menjanjikan dan iklim investasi yang kondusif. Pengambil kebijakan
berperan penting dalam menciptkan keadaan yang mendukung ini. Langkah
kongkret yang dapat dilakukan untuk menumbukan pasar baja nasional adalah
dengan membuka kran peluang investasi yang luas untuk pembangunan industri
berat nasional seperti industri galangan kapal, kereta api, otomotif, transportasi
dan industri hilir lainnya. Selain itu juga perlu mempercepat laju pembangunan
infrastruktur (gedung, indutri dan peralatannya) yang merupakan pasar bagi
industri hulu perbajaan nasional. Di sini, pengembangan klaster daerah produksi
baja nasional berbasis letak geografis, ketersediaan potensi bahan baku dan
dukungan infrastruktur serta SDM perlu dilakukan. Dengan melakukan kajian dan
pendekatan permasaahan yang komprehensif, diharapkan strategi pengembangan
industri baja nasional berbasis klaster yang mandiri dan berdaya saing dapat
dirumuskan.

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Industri besi/ baja nasional memiliki berbagai kendalan yang utamanya


adalah ketergantungan bahan baku impor dan tata kelola kebijakan dan organisasi
pemerintahan. Potensi sumber daya alam berupa bijih besi dan batubara harus
dapat dimanfaatkan dengan pemilihan strategi yang komprehensif dan terintegrasi.
Proses pengembangan industri besi/ baja nasional harus melibatkan seluruh

73
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

komponen terkait (industri baja nasional, Pemda, lembaga penelitian, stake holder
lainnya dengan sistem klaster yang berdasarkan letak geografis dan kesiapan
infrastruktur serta SDMnya. Kebijakan pemerintah harus dapat menaungi semua
pola interaksi sehingga aktifitas industri baja nasional dapat berjalan dengan
efisien dan mendukung pembangunan di bidang lain menuju peningkatan daya
saing global industri besi/ baja nasional .

7. DAFTAR PUSTAKA
Anameric B. and Kawatra S.K. (2006), Mineral & Metallurgical Engineering 23,
52-56.
Kashiwaya Y. and Ishii K. (2004), ISIJ International 44, 1981-1990.
Kemenperin (2007), Studi Nasional Pemanfaatan Bijih Besi dan Batubara Lokal
dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Bahan Baku Industri Baja. Direktorat
Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian
Perindustrian.
Kemenperin (2009), Strategi dan Langkah Pengembangan Jangka Menegah
Industri Logam 2010-2014. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin
Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian.
Kobayashi I., Tanigaki Y. and Uragami A. (2007), A New Process to Produce
Iron Directly from Fine Ore and Coal. Download Agustus 2007.
www.midrex.com/uploads/documents/ ITmk3%20Paper%201.pdf
Nagata K., Kojima R., Murakami T., Susa M. and Fukuyama H. (2001), ISIJ
International 41, 1316-1323.
Otsuka K. and Kunii D (1967), Jurnal of Chemichal Engineering of Japan, 46-50.

74
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

REVIEW OF GAS DIFFUSIVITY IN COAL: PART 1,


PRELIMINARY CHARACTERISATION AND NOVEL HIGH
PRESSURE MULTI-COMPONENT DIFFUSION CELL

M. Elma1, P. Massarotto1, dan V. Rudolph1

1
School of Chemical Engineering, The University of Queensland, St. Lucia,
Brisbane, QLD 4072 Australia
penulis1@universitas.ac.id

ABSTRACT
A special high pressure multi-component diffusion cell (HPMCDC) apparatus
has been designed and built to measure single and binary gas diffusion, including
co-current and counter-diffusion, from low to high pressures. The apparatus
incorporates capability to investigate scale effects in solid coal specimens, up to 25
mm in diameter and 25 mm in thickness. This paper presents preliminary results of
coal sample characterization prior to the diffusivity measurements. Future
experiments will be conducted to also assess the effect of the counter-diffusion of two
different gases, namely CH4 and CO2, of various temperatures, pressures and for
three distinct ranks of coal.
In developing optimal sample preparation procedures and to minimise any
measurement errors, several literature-sourced techniques have been reviewed and
the best selected. The pore volume shrinkage, moisture content and porosity have
been measured, as they are important properties affecting the ability of gases to
diffuse in coal. It was found that a large portion of pore volume shrinkage occurs
between 20oC and ~50oC, and falls asymptotically with temperature. Heat treatment
reduces density by up to 5%. The diffusivity experiments will also address the
frequent and controversial literature conclusions that the apparent-diffusion of CO2
in coal is larger by an order of magnitude than the apparent-diffusion of CH4.

Key word: diffusion, measure, moisture content, porosity

75
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. INTRODUCTION

Greenhouse gas emissions are increasing significantly, leading to much debate


about what to do about climate change. There are many alternatives being researched
to reduce the increasing of emissions, one being geosequestration of the CO2 in
underground deep porous rocks, like sandstones, carbonates, and coal seams. Coal
seams have been shown to be capable of holding large amounts of carbon dioxide in
comparison to the amounts of naturally-occurring methane gas (Burruss, 2003,
Siriwardane et al., 2007).
In recent decades, coal seam gas or coal bed methane (CBM) has become an
important source of energy in some countries in the world. Production of coal seam
gas is complex and difficult to predict and analyse, especially at the early stages of
recovery. Gas production from reservoirs of coal bed methane is governed by the
complex interaction of single phase gas diffusion through the micropore system,
called the matrix, and two phase gas and water flow through the macropore system,
i.e. in the natural fractures called cleats. The gas is desorbed from the micropores
(matrix) and then then diffuses through the micropores and mesopores, finally
entering the macropore (cleat) system (Aminian, 2003).
This paper is concerned with the coal’s mass and volume losses during the
course of gas production as these affect the ability of the gasses to diffuse in different
coals. These factors may be particularly strong in the case of rank variation of coals,
since coals shrink and swell significantly in response to moisture loss and gain,
respectively. Some literature states that coal has a colloidal gel-like structure that can
shrink and swell in response to moisture variation, as water can be held by polar
groups within the structure of coal (Suuberg et al., 1993b, Suuberg et al., 1991).
Determination of the shrinkage factor, moisture content and the location of the
moisture within the pore structure are essential to understanding the behaviour of gas
diffusion in coal.

76
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

2. LITERATURE REVIEW

2.1. Coal Diffusion

There is an on-going need to improve the understanding of methane gas


diffusion throughout the large variation in pore sizes present in coal bed methane
reservoirs. Since 1950, CH4 diffusion in coal has been studied by doing desorption
of CH4 during extraction of coal samples from the sub-surface (Nandi and Walker
Jr, 1970, Nandi and Walker Jr, 1975), but it is still poorly understood.
In order to produce gas from CBM reservoirs, there are four steps needed to be
controlled, (1) the dewatering process, (2) the desorption of gas from coal surface,
(3) diffusion of gas to the fracture systems, and (4) flow of the gas through the
fractures to the wellbores (Ahmed and Mckinney, 2004, Gerami et al., 2007). The
measured values of gas desorption rate are generally controlled by two processes: (1)
the sorption process (sorption characteristic of the coal) and (2) the diffusion process
(diffusion of gas through the coal matrix). These two processes are usually lumped
together and described by the parameter of sorption time in numerical models (Wei,
2008) and this is the primary characteristic used by some practitioners for evaluation
and predictive modelling of coal reservoirs (Saghafi et al., 2007, Pone et al., 2009).
A sorption isotherm relates the gas storage capacity of a coal to pressure and
depends on the rank, temperature, and the moisture content of the coal. A common
assumption is that the relationship between gas storage capacity and pressure can be
described by a Langmuir-type equation:

(1)

Where :
Gs : Gas storage capacity, SCF/ton
P : Pressure, psia
VL : Langmuir volume constant, SCF/ton
PL : Langmuir pressure constant, psia

77
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

The above equation assumes pure coal, and for application in the field, the
equation is modified to account for ash and moisture contents of the coal:

(2)

Where :
fa : Ash content, fraction
fm : Moisture content, fraction

Fig. 1 shows the incremental amount of gas sorbed per unit increase in pressure
decreases with increasing sorption pressure; the sorbed gas eventually reaches a
maximum value which is represented by Langmuir volume constant (VL). Langmuir
pressure constant (PL) represents the pressure at which gas storage capacity equals
one half of the maximum storage capacity (VL).

Fig. 1: A typical Langmuir Isotherm (Aminian, 2003)

Gas desorption from the matrix surface in turn leads to molecular diffusion
occurring within the coal matrix. Diffusion through the coal matrix is controlled by
the concentration gradient and can be described by Fick’s law:

̅̅̅ (3)

Where :
qgm : gas production (diffusion) rate, MCF/day

78
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

: matrix shape factor, dimensionless


D : matrix diffusivity constant, s-1
Vc : matrix volume, ft3
ρc : matrix density, g/cm3

Gc : average matrix gas content, SCF/ton

Diffusivity and shape factor are usually combined into one parameter, referred
to as sorption time, as follows:

(4)

Sorption time ( ) is the time required to desorb 63.2 precent of the initial gas
volume. The sorption time characterizes the diffusion effects and generally is
determined from desorption test results (Aminian, 2003).

2.2. Coal Porosity

In simplified models, coal seams are characterized by a dual porosity system,


consisting of micropore and macropores. The micro-pores are contained in the coal
matrix, which is highly heterogeneous. The majority of CBM is present in the sorbed
state in these micropores, particularly at low reservoir pressures. The macropore
system is established by the natural fracture network known as the cleat system
(Karacan and Mitchell, 2003).
There are two main transport mechanisms which control gas flow in coal:
viscous laminar flow through the cleats, which follows Darcy’s law; and diffusion
through the coal matrix bounded by the cleats, which follows Fick’s law (King et al.,
1986). Cleats consist of the more continuous face cleats and less continuous butt
cleats. Usually, the cleat system is the primary water and gas pathway during
production. On the other hand, other fracture systems often occur at a micrometre
scale to form micro cleats in the coal matrix, although its size, shape and continuity
are also affected by coal lithotypes (Gamson et al., 1993, Clarkson and Bustin,
1997). Based on the literature, pore structure in coal matrix is highly heterogeneous.
It is commonly divided into three size categories: micropores (<2 nm in diameter),

79
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

mesopores (>2 and <50 nm) and macropores (>50 nm), (Harpalani and Chen, 1997,
Massarotto, 2002). More than 95% of the coal matrix pores across these pore sizes
act as an adsorption surface in coal (Gray, 1987).
The different coal porosities make a large contribution to the swelling and
shrinkage of coal during adsorption and desorption processes (Harpalani and Chen,
1997, Rodrigues and Lemos de Sousa, 2002).

I II III
Typical pore volume

CO2 isotherm at 273 K N2 isotherm at 77 K

Mercury Porosimetry

Vmicro Vmeso Vmacro

2 50
Pore size (nm)
Note
I : CO2 at 273 K covers pores less than 0.9 nm at 1atm and requires measurement at higher
pressure to cover entire the micropore range.
II : As N2 at 77 K has a diffusional limitation into micropores, covering some mesopores and
macropores, the pore volume obtained from N2 at 77 K is not representing the real pore structure.
III : Macropore volume can be measured by mercury porosimetry.

Fig. 2: Typical pore volume vspore size measurements from adsorption isotherms
(CO2 at 273 K and N2 at 77 K) on coals and mercury porosimetry results
(Bae, J.S)

In subbituminous coal samples, micropores could contribute 50 to 60% of the


total matrix porosity of 13 to 25% (Mares et al., 2009, Bergen et al.). Significantly,
Levine in 1993 mentioned that the dimensions of the micropores and fine mesopores
found in the coal matrix material imply that the porosity is intermolecular, as
opposed to interparticulate, and is determined by molecular interactions (Bergen et
al.). These molecular interactions imply the accessibility of the pore system will
depend on the fluid used for its determination (such as; He versus N2 versus CO2)
and therefore that the porosity of coal is not a fixed value, but is a function of the
fluid used to measure porosity. Fig. 2 shows the typical pore volume as a function of
a pore size produced in experimental data, using different fluids (Bae et al 2010).

80
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

2.3. Coal Shrinkage & Swelling

One of the potential problems during carbon dioxide sequestration is shrinkage


and swelling that occurs in coal (Siriwardane et al., 2007, Reeves and Oudinot, 2005,
Smith et al., 2005, Kelemen et al., 2006, Mazumder et al., 2006a, Mazumder et al.,
2006b, Pan and Connell, 2005).
Shrinkage and swelling of coal the matrix is a function of pressure, type of gas
adsorbed and the coal rank (Balan and Gumrah, 2009). The components of
dependency of swelling are shown in the experimental study done by Cui et al.
(2007)(Cui et al., 2007). The swelling effect of CO2 is greater than those of CH4 and
N2 at the same pressure. Then, when the pressure of each gas component increases,
the swelling effect also increases. Therefore, injection of CO2 at high pressures is
expected to lead to increased swelling and decreased injection capacity.
Coal shrinkage can have a significant impact on increased cleat permeability in
CBM production. Though there are now quite a number of laboratory studies
confirming this behaviour, the literature reports only limited field examples of this
(San Juan basin, USA, and Scotia field, Australia). The molecular and micro-
structure lattice effects are still poorly understood. It is important for enhanced
coalbed methane (ECBM) production that via geologic sequestration of carbon
dioxide (CO2), that multi-component diffusion be lab-evaluated, prior to undertaking
large scale sequestration projects. Anderson (1965) and Walker (1956) noted that the
micropore system in coal is not readily accessible to the N2 molecule at 77 K
because of an activated diffusion process and/or shrinkage of pores. Bybee (2007)(
summarized that the influence of swelling and shrinkage in coal needs to be
investigated and may cause significant changes in permeability that result in
significant reservoir pressure effects. The swelling and shrinkage will depend on gas
type as well as the state of adsorption and desorption.

2.4. Moisture Content

In his paper Gauger (1932) ( concluded that the water content in coals
originates from the following sources: (1) decomposition of organic molecules

81
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

(called combined water), (2) surface-adsorbed water, (3) capillary-condensed water,


(4) dissolved water, and (5) water of hydration of inorganic constituent of the coal.
Brown (1953) ( also mentioned that the moisture content in coal is divided into
constituent categories: (1) free or adherent moisture (essentially surface adsorbed)
possessing the physical properties of ordinary water; (2) physically bound or inherent
moisture with vapour pressure lowered by the small diameter of the pores of the coal
structure in which it is absorbed; and (3) chemically bound water of hydration or
combined water.
Since the moisture content in the matrix occupies pore volume and part of the
moisture adsorbs on the pore surface, it definitely has an impact on the mechanisms
in gas diffusion behaviour (Pan et al., 2010).

3. AIM AND METHODOLOGY

The aim of this study was to get some preliminary results for moisture content,
porosity and mass and pore volume losses of reference coal samples before starting
the diffusivity measurements. These parameters are important in their own right as
part of coal characterisation and will also be needed for the interpretation of our
diffusion work in further studies.
A further motivation for this study was to investigate the various experimental
methodologies used in the literature to measure coal diffusion. This study reviews
and comments on their advantages and disadvantages, providing guidance for the
design of improved measurement techniques. We note the surprising conclusion
regarding the greater relative diffusivity of CO2 compared to CH4 in coal seams
reported in the literature (Marecka, 2007, Saghafi et al., 2007, Han et al., 2010, Pan
et al., 2010, Charrière et al., 2010). For these reasons, it is important to understand
the nature of diffusion in microporous solids, to differentiate between diffusion and
other transport phenomena and develop more accurate model.

82
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4. EXPERIMENTAL

4.1. New Design of Diffusivity Apparatus

In order to address the above issues, we have developed an advanced design of


a high pressure diffusion cell, capable of measuring diffusion in solid coal samples at
varying temperatures and pressures and with a counter-diffusion capability. This
High Pressure Multi-Component Diffusion Cell (HPMCDC) is shown in Fig. 3. The
pressure can be set between 1 and 10 MPa. It is designed to be used in single gas
diffusion or in counter or co-current diffusion of a binary gas mixture. The
cylindrical coal samples can be up to 25 mm thick and are generally 25 mm in
diameter. The CH4 and CO2 are introduced into the cell, and the temperature as well
as pressure can be varied. A computerised data recording system will capture
experimental data, including time. Each experiment is influenced by the variation of
each parameter. The composition of gas (es) diffusing through the coal sample can
be measured by collecting the gas and passing it into a Gas Chromatograph.

Fig. 3: Schematic of High Pressure Multi-Component Diffusivity Cell (HPMCDC)

83
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4.2. Gaps in Knowledge

In order to have practical limits on the many permutations of experiments that


could be conducted using the HPMCDC, several gaps in knowledge have been
identified as focus areas for investigation. They are: (1) Develop methods to examine
diffusivity in coal in both counter and co-current configurations; (2) Review
literature arguments and conclusions on the relative diffusivities between CH4 and
CO2 in coal; (3) Examine the effect of the size of the coal matrix by using different
thickness the coal samples ; (4) Measure relative diffusivity based on varying
moisture contents in the coal matrix; (5) Examine the effect of swelling and
shrinkage in coal on diffusivity; and (6) Perform other supportive measurements,
such as: petrography of coal, proximate and ultimate analysis, coal rank, chemical
and physical analysis; and pore size distribution studies with various test fluids and
apparatus.

5. RESULT AND DISCUSSION

5.1. Preliminary Characterisation of Coal

The preliminary experiments were conducted on high volatile bituminous coals


of similar rank but of different type/texture. Three kinds of Australian coal from the
Bowen Basin have been analysed, with different petrography, proximate and ultimate
analyses. Maceral and vitrinite reflectance analyses were undertaken using accredited
petrographers, according to Australian Standards. These samples were prepared from
off-cuts of large coal blocks sourced from the Northern Bowen Basin in Queensland
from underground and surface coal mines. The coal samples were cut into small
10mm-to-a-side cubes for the total porosity, moisture content and volume/mass loss
experiments.

5.2. Total Porosity


To determine the porosity of coal, a Micromeritics AccuPyc 1330 Pycnometer
and an Autopor Mercury Porosimeter have been used.

84
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

True density is the weight of a unit volume of the pore free solid coal (White et
al., 2005). Helium is the smallest molecule available and has the greatest access to all
the pore volume in a coal sample; thus He can measure the true density of coal
(Kelemen et al., 2006).
Mercury porosimetry gives the apparent and bulk density. Mercury does not
access all the pores at a given pressure range. When done at very high pressure, then
it is possible that there could be fractures in the pores and damaging the pores in the
sample The literature (White et al., 2005, Iyer et al., 2008, Massarotto et al., 2010)
has proposed that the total open pore volume (Vp) and total porosity () of a solid
coal system can be based on density measurements by Helium pycnometry and
Mercury porosimetry, utilising the results as shown in equations 5 and 6:

(5)

 ( ) (6)

5.3. Moisture Content

Determination of coal moisture content was based on the ASTM


D3302/D3302M-09. The major problem faced in determining moisture content is the
multiplicity of conditions under which water exists in coals and the problem involved
in obtaining sharp separation and distinction among these conditions.

5.4. Volume And Mass Loss

To determine the pore volume and mass loss in coal, a drying oven has been
used. The dimension change has been measured for coal samples by using a
Microscope SZH10. After the original coal sample has been sized and weighed, it is
dried in the oven at intermittent temperatures (20, 40, 60, 80, 100, 120, 150 &
2000C). Samples were re-measured and re-weighed after each 2 h interval between
time steps.
Petrographic, proximate and ultimate analyses of the three reference samples
have been done by an accredited lab and are shown in Table 1, Table 2 and Table 3:

85
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Table 1: Petrographic Analysis

Sample Maceral Vol %, mmf

Vitrinite 73.4
Liptinite 0.4
A Inertinite 26.3
Mean maximum 0.69
reflectance
Vitrinite 16.3
Liptinite 4.9
B Inertinite 78.9
Mean maximum 0.90
reflectance
Vitrinite 53.3
Liptinite 3.2
C Inertinite 43.5
Mean maximum 0.65
reflectance

Table 2 Proximate Analysis


Proximate Analysis Sample
(a.d.)*
(%) A B C
Moisture Content 3.00 9.50 5.7
Ash Content 8.70 2.90 3.3
Volatile Matter 33.30 27.10 32.3
Fixed Carbon 55.00 60.50 58.7

Table 3 Ultimate Analysis


Ultimate Analysis Sample
(d.a.f.)*

(%) A B C
Carbon 82.50 73.90 81.50
Hydrogen 5.36 4.43 5.19
Nitrogen 1.89 1.53 2.04
Sulphur 0.70 0.20 0.30
Oxygen 9.50 19.94 11.00
*a.d : air dried
*d.a.f : dry ash free

86
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5.5. Coal Density

After a coal sample is dried at each temperature, Helium pycnometry has been
used for measuring the true density of each sample. Figure 4 shows coal density of
samples as a function of temperature. In all three samples, the density decreases
when the samples are dried, i.e. they are losing more mass than bulk volume.

Fig. 4: Coal Density of sample A, B and C

The measurement of total porosities of each sample also has been done by
using He-pycnometry and Hg porosimetry. The total porosities of coal the samples
varied between 12.40 – 12.14%.

5.6. Drying Coal

The mass and pore volume of coal samples changed when the coal samples
were dried. The mass will slowly decrease when the samples started to be dried from
room temperature to higher temperatures. On the other hand, the pore volume of
samples will decrease sharply when they are dried for the first time from room
temperature to 400C, and then it continued to decrease slowly until heated up to
1000C; at temperatures above 1000C, the volume is almost constant but decreases

87
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

very slightly. The loss in pore volume and loss in mass is shown in Figure 6. These
losses and their total effect on shrinkage will be subject to further study. According
to some researchers, the highest increase in the shrinkage effect is found for under-
saturated wet coals (Balan and Gumrah, 2009).
There are some concerns about affecting the elemental ratios in the case of
drying coal at higher temperatures, where it could destroy the chemical composition
and micro-structure. Additionally, though water can act as a transport agent for gas.
This effect seems to be unimportant at very high temperatures, in which the
thermally induced relaxation of coal micro-structure is undoubtedly more important.

Temperature Vs Volume

2.20
Volume (cm3) A
2.10
Volume (cm3) B
2.00
1.90 Volume (cm3) C
1.80
Volume (cm3)

1.70
1.60
1.50
1.40
1.30
1.20
1.10
1.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220
Temp (0 C)

Fig. 6: Volume and mass change during drying coals

88
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Suuberg et al. (1993) concluded that shrinkage upon drying is correlated to


volumetric shrinkage (%). Shrinkage of this magnitude suggests that measurements
of the surface area of dried coals will provide an erroneous estimate of true
accessibility of coal structure. Suuberg stated that the process of drying or heat
treatment of coal at temperatures above 1000C can significantly affect both the
cross-link density of coal and the rate of subsequent solvent uptake by coal.
Suuberg found that the volumetric shrinkage of the samples was excellently
correlated with their moisture loss.

6. CONCLUSIONS

The experimental results of this preliminary study may be summarized as


follows:
1. The mass losses from the three high volatile bituminous rank coals appear to
correlate linearly with treatment temperature, up to 200oC.
2. The pore volume losses appear to correlate asymptotically with treatment
temperatures, with the largest drop shown between 20oC and some 50oC.
3. Drying coal in air gave major impacts on pore volume shrinkage.
4. When the coal is heated, the porosity and thus accessible surface area will be
changed.
5. Further studies are much recommended to start the experiments of gas
diffusivities in coal, to address the controversial conclusions from many
historical experiments, whereby the apparent-diffusion of CO2 in coal is larger
by an order of magnitude than the apparent diffusion of CH4.
6. The new HPMCDC is adequately designed to investigate leading-edge effects
of solid coal sample size, diffusion, binary co-diffusion and binary counter-
diffusion, as well as temperature and pressure effects, in the range required by
the CBM & ECBM industry.

89
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

7. NOMENCLATURE

Qgm : gas production (diffusion) rate, MCF/day


: matrix shape factor, dimensionless
D : matrix diffusivity constant, sec-1
Vc : matrix volume, ft3
c : matrix densirt, g/cm3
̅̅̅ : average matrix gas content, SCF/ton

8. ACKNOWLEDGMENT

We acknowledge the help of Dr D. Biddle in the design and fabrication of the


novel HPMCDC, Mr. D. Page for laboratory assistance, and Dr R.S. Iyer and Dr J. S.
Bae for data support. For project funding, we would like to acknowledge the
Australian Research Council Industry Linkage scheme and the supporting
companies, Origin Energy Ltd, Stanwell Corporation, Santos Ltd and RWTH Aachen
University.

9. REFERENCES

AHMED, T. & MCKINNEY, P. 2004. Advanced Reservoir Engineering, Gulf


Publishing Company.

AMINIAN, K. 2003. Coalbed Methane-Fundamental Concepts.

BALAN, H. O. & GUMRAH, F. 2009. Assessment of srhinkage-swelling influences


in coal seams using rank-dependent physical coal properties. Coal Geology, 77,
203-213.

BERGEN, F. V., WEHRENS, P. & SPIERS, C. Diffusive properties of coal matrix


fragments determined from swelling kinetics. PhD.

BROWN, G. M. 1953. The determination of moisture in coals. National gas buletin,


Australia, 17, 14-21.

BURRUSS, R. C. 2003. CO2 adsorption in coal seams as a function of rank and


composition: a new task in USGS Research on gelologic sequestration of CO2.
Coal-Seq II [Online].

90
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

BYBEE, K. 2007. Influence of coal shrinkage and swelling on coalbed methane


production and CO2 sequestration. Society of petroleum Engineers San
Antonio, Texas.

CLARKSON, C. R. & BUSTIN, R. M. 1997. Variation in permeability with


lithotype and maceral composition of Cretaceous coals of the Canadian
Cordillera. International Journal of Coal Geology, 33, 135-151.

CUI, X., BUSTIN, R. M. & CHIKATAMARLA, L. 2007. Adsorption-induced coal


swelling and stress: Implications for methane production and acid gas
sequestration into coal seams. Journal of Geophysical Research B: Solid Earth,
112.

GAMSON, P. D., BEAMISH, B. B. & JOHNSON, D. P. 1993. Coal microstructure


and micropermeability and their effects on natural gas recovery. Fuel, 72, 87-
99.

GAUGER, A. W. 1932. Condition of water in coals of various ranks. Transactions of


the TAIMA, 101, 148-164.

GERAMI, S., DARVISH, M. P., MORAD, K. & MATTAR, L. 2007. Type curves
for dry CBM reservoirs with equilibrium desorption.

GRAY, I. 1987. Reservoir Engineering in Coal Seams: part 1-The Physical Process
of the Gas Storage and Movement in Coal Seams. SPE Reservoir Engineering
(Society of Petroleum Engineers), 2 Number 1, 28-34.

HARPALANI, S. & CHEN, G. 1997. Influence of gas production induced


volumetric strain on permeability of coal. Geotechnical and Geological
Engineering, 15, 303-325.

IYER, R. S., MASSAROTTO, P. & BAE, J. S. Year. Porosity and compressibility


determination of core coal samples using Helium and Mercury Densities. In:
Asia Pasific Coalbed Methane Symposium, 2008 Brisbane, Australia.

KARACAN, C. Ö. & MITCHELL, G. D. 2003. Behavior and effect of different coal


microlithotypes during gas transport for carbon dioxide sequestration into coal
seams. International Journal of Coal Geology, 53, 201-217.

KELEMEN, S. R., JKWIATEK, L. M. & LEE, A. G. K. Year. Swelling and sorption


response of selected argonne premium bituminous coals to CO2, CH4 and N2.
In: International Coalbed Methane Symposium, 2006 Tuscaloosa, AL.

KING, R, G., ERTEKIN, TURGAY, SCHWERER & C, F. 1986. Numerical


Simulation of the Transient Behavior of Coal-Seam Degasification Wells SPE
Formation Evaluation, 1, 165-183.

91
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

MARES, T. E., RADLINSKI, A. P., MOORE, T. A., COOKSON, D.,


THIYAGARAJAN, P., ILAVSKY, J. & KLEPP, J. 2009. Assessing the
potential for CO2 adsorption in a subbituminous coal, Huntly Coalfield, New
Zealand, using small angle scattering techniques. International Journal of Coal
Geology, 77, 54-68.

MASSAROTTO, P. 2002. 4-D Coal Permeability Under True Triaxial Stress and
Constant Volume Condition. PhD Thesis, Queensland.

MASSAROTTO, P., GOLDING, S. D., BAE, J. S., IYER, R. & RUDOLPH, V.


2010. Changes in reservoir properties from injection of supercritical CO2 into
coal seams -- A laboratory study. International Journal of Coal Geology, 82,
269-279.

MAZUMDER, S., BRUINING, J. & WOLF, K. H. Year. Swelling and Anomalous


Diffusion Mechanisms of CO2 in Coal. In: International Coalbed Methane
Symposium, 2006a Tuscaloosa, AL.

MAZUMDER, S., SIEMONS, N. & WOLF, K. H. Year. Differential Swelling and


Permeability Changes of Coal in Response to CO2 Injection for Enhanced
Coalbed Methane. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006b
Tuscaloosa, AL.

NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1970. Activated diffusion of methane in coal.


Fuel, 49, 309-323.

NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1975. Activated diffusion of methane from


coals at elevated pressures. Fuel, 54, 81-86.

PAN, Z. & CONNELL, L. D. Year. Measurement and Modelling of Gas Adsorption-


Induced Coal Swelling. In: International Coalbed Methane Symposium, 2005
Tuscaloosa, AL.

PAN, Z., CONNELL, L. D., CAMILLERI, M. & CONNELLY, L. 2010. Effects of


matrix moisture on gas diffusion and flow in coal. Fuel, 89, 3207-3217.

PONE, J. D. N., HALLECK, P. M. & MATHEWS, J. P. 2009. Sorption Capacity


and Sorption Kinetic Measurements of CO2 and CH4 in Confined and
Unconfined Bituminous Coal. Energy & Fuels, 23, 4688-4695.

REEVES, S. & OUDINOT, A. Year. The allison CO2-ECBM Pilot, a reservoir and
economic analysis coal. In: Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa,
AL.

RODRIGUES, C. F. & LEMOS DE SOUSA, M. J. 2002. The measurement of coal


porosity with different gases. International Journal of Coal Geology, 48, 245-
251.

92
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

SAGHAFI, A., FAIZ, M. & ROBERTS, D. 2007. CO2 storage and gas diffusivity
properties of coals from Sydney Basin, Australia. International Journal of Coal
Geology, 70, 240-254.

SIRIWARDANE, H. J., GONDLE, R. & SMITH, D. H. Year. Influence of


Shrinkage and Swelling Properties of Coal on Geologic Sequestration of
Carbon Dioxide. In: International Coalbed Methane Symposium, May 21-25,
2007 2007 Tuscaloosa, AL.

SMITH, D. H., SAMS, W. N., BROMHAL, G., JIKICH, S. A. & ERTEKIN, T.


2005. Simulating carbon dioxide sequestration/ECBM production in coal
seams of permeability anisotropies and the diffusion-time constant. SPE
Reservoir Evaluation Engineering, 8, 156-163.

SUUBERG, E. M., OTAKE, Y., YUN, Y. & DEEVI, S. C. 1993. Role of moisture in
coal structure and the effect of drying uopm the accessibility of coal structure.
Energy & Fuels, 7, 384-392.

WEI, X. 2008. Numerical Simulation of Gas Diffusion and Flow in Coalbeds for
Enhanced Methane Recovery. Doctor of Philosophy, The University of
Queensland.

WHITE, C. M., SMITH, D. H., JONES, K. L., GOODMAN, A. L., JIKICH, S. A.,
LACOUNT, R. B., DUBOSE, S. B., OZDEMIR, E., MORSI, B. I. &
SCHROEDER, K. T. 2005. Sequestration of carbon dioxide in coal with
enhanced coalbed methane recovery - A review. Energy and Fuels, 19, 659-
724.

10. BRIEF BIOGRAPHY OF PRESENTER

Muthia Elma is a PhD student in the School of Chemical Engineering at the


University of Queensland, Brisbane, Australia. Previously she spent almost two years
to receive her Masters Degree in Energy and Environment at Ecole des Mines de
Nantes, France and then worked at the University of LambungMangkurat, Indonesia

93
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe Epithermal


Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy,
Zoning, and Exploration Implications

Irzal Nur1,*, Arifudin Idrus2, Subagyo Pramumijoyo2, Agung Harijoko2, Sufriadin1


1
Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Hasanuddin
University, Makassar, Indonesia
2
Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, GadjahMada
University, Yogyakarta, Indonesia
*
Corresponding author: irzal_nur@yahoo.com

ABSTRAK
The Baturappe prospect located at southern part of Sulawesi island, Indonesia, is a
hydrothermal mineralization district which is characterized by occurrence of
epithermal silver-base metal deposit. The mineralization is hosted in basaltic-
andesitic volcanic rocks of the late Middle-Miocene BaturappeVolcanics. This study
is aimed to characterize the hydrothermal alteration associated with the deposit on
the basis of mineralogical data. Identification of hydrothermal minerals was
conducted by microscopic observation and X-ray diffraction analysis. Hydrothermal
alteration is zoned around the deposits from proximal silicic and argillic to vein-
related propylitic to distal district propylitic alteration. The district propylitic
alteration which is distributed at the periphery of the hydrothermal system is
characterized by an assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote and
quartz. Vein-related propylitic alteration is distributed within approximately 0.5 m to
10 m from the deposits and consists of epidote, chlorite, calcite, quartz and albite.
Argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and
chlorite/smectite, halloysite, kaolinite, and pyrite) and silisic (quartz, calcite, illite,
muscovite, pyrite) alteration are distributed in narrow zones from margin of deposits
to maximum 7 m outward. The argillic and silisic alteration is interpreted as the
centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area,
where its distribution is highly controlled by structure.

Keywords :BaturappeVolcanics, epithermal, hydrothermal alteration zoning,


paragenesis.

94
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. INTRODUCTION

The study area is situated in Baturappe area, Gowa Regency, South Sulawesi
Province, Indonesia. It lies in the southwesternmost part of Sulawesi island, about 50
km southeast of Makassar (Ujung Pandang), the capital city of South Sulawesi
Province. This area is characterized by occurence of epithermal silver-base metal
deposits which are hosted in basaltic-andesitic volcanic rocks of the late Middle-
Miocene BaturappeVolcanics (Nur et al., 2009a,b; 2010).
Hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation is one of
important aspects in the study of genesis and exploration of epithermal deposits.
Hydrothermal activity which is indicated by hydrothermally altered rocks in an
epithermal system, including its periphery, may reach a wide area. Investigation on
zonation of the hydrothermal alteration through detailed hydrothermal alteration
mapping may define the center and periphery of hydrothermal system. Many
hydrothermal minerals are stable over limited temperature and/or pH ranges. Thus,
for an epithermal environment, mapping the distribution of alteration minerals is
crucial (e.g., Hedenquist et al., 2000; Harijoko, 2004). Accordingly, the objectives of
this study are to define the hydrothermal alteration mineral assemblages and its
zonation around the epithermal deposits in the study area. In addition, paragenesis of
the hydrothermal alteration zones is also defined.

2. SAMPLES AND METHODS

Mapping of hydrothermal alteration in the study area was conducted coincided


with surface geological mapping which covered an area of 1000 ha. Samples were
collected in two stages. At the first, as much as 181 rock samples were taken from
outcrops representatively covered the whole area. The second stage samples were
collected from trenches which made at all significant veins and disseminated deposit
in the study area. These samples were sistematicly collected from margin of the veins
or proximal to the deposit, to distal sites in the host rocks.

95
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Identification of hydrothermal minerals was conducted by thin section


observation under a microscope and X-ray diffraction analysis. The XRD analysis
was performed by applying X-ray diffractometer of Rigaku RINT2100 at the
Laboratory of Economic Geology, Department of Earth Resources Engineering,
Kyushu University, Japan. The identification included whole rock powdered and
oriented clay samples. The technical specification of the analysis is as follows: X-ray
target: CuKα, voltage: 40 kV, current: 20 mA, scan speed: 2o/minute, scan step:
0.02o, scan range: 2o - 65o, and scan mode: continuous. Phase identification and
semi-quantitative proportion of minerals were carried out using MATCH! 1.10
software, with minimum figure of merit (FoM) set on 0.6.

3. GEOLOGICAL BACKGROUND

Regionally, the Baturappe area is located at the southwestern part of the


regional geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai quadrangles,
Sulawesi (Sukamto and Supriatna, 1982). A detailed surface geological mapping has
then conducted in an area of 1000 ha to study the geological background of the
mineralization.
The older rock unit broadly distributed in the study area is lava of dominantly
basalt and less andesite, mostly porphyritic, with general orientations of N(70-
80)oE/(18-35)oSE. Locally, blocks of volcanic breccia are also cropped-out. Based
on its lithological characteristics, this unit is a member of lava, Tpbl (Sukamto and
Supriatna, 1982) which is according to K-Ar dating indicates age of 12.38 to 12.81
Ma or late Middle-Miocene (Yuwono et al., 1985; Priadi et al., 1994). The basaltic-
andesitic lava which is distributed from Bincanai and Ritapayung area at the west,
through Bangkowa to the east, and Taloto at the south portions of the study area, is
identified as the host rock of the epithermal mineralization. At the north, the lava was
intruded by a gabbroic-dioritic stock; and followed by a group of basaltic-andesitic
dykes. At least 50 units of dykes with thickness range of 8 cm to 2.5 m are cropped-
out in the study area, distributed radially centered to the stock, forming a radial
swarm of dyke. K-Ar dating on two samples of basalt indicate ages of 7.5 Ma and

96
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

6.99 Ma, and 7.36 Ma on gabbro (Sukamto and Supriatna, 1982). The basaltic-
andesitic stock and dykes are interpreted as mineralization-bearing rocks in the study
area; this is indicated by the occurence of disseminated ore (i.e., pyrite, chalcopyrite,
sphalerite, galena, covellite, magnetite, hematite) recognized in the field and
microscopic observations. Due to the orientation of the dykes that are consistent to
the trends of the fractures, it is interpreted that the emplacement and distribution of
the dykes brought mineralization is highly controlled by geological structures (Nur et
al., 2009a; Fig.1).

4. MINERALIZATIONS

More than 20 units of quartz veins along with disseminated sulphide and
sulphide stringer are distributed around the periphery of the stock in the study area,
hosted in the lava and dyke units. Among these, eight significant mineralizations are
distributed in four zones: Bincanai-, Baturappe-, Bangkowa- and Ritapayung zone.
The mineralizations include: Bincanai vein, Baturappe vein-1, Baturappe vein-2,
Bungolo vein, Paranglambere vein (clustered in Baturappe zone); Bangkowa vein
and Bangkowa stringer (in Bangkowa zone); and Ritapayung dissemination. The
Bincanai vein and Baturappe veins are distributed and clustered along the main fault
in the study area, the NW-SE trend Bincanai-Baturappe normal fault; while the
Bangkowa- vein and stringer are hosted in NW-SE dykes. Distribution of the
mineralizations and orientation of the veins are shown in Fig.1.
The veins display the typical primary texture of epithermal veins: crustiform
banding texture; from symmetric-, multiphase- to simple crustiform of quartz ±
carbonate – sulphide (dominated by galena). In general, sulphide assemblages
identified in the deposits indicate a range of intermediate- to high sulphidation
epithermal deposits. The sulphides include: galena, sphalerite, chalcopyrite, pyrite,
tennantite, tetrahedrite, bornite, enargite, freieslebenite and polybasite. Supergene
minerals such as covellite, chalcocite, iodargyrite, anglesite, cerrusite, as well as
manganese coronadite and chalcophanite were also identified. Bulk-ore chemical
composition determined by XRF analysis indicates a highest grade of: Pb 17.51%,

97
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Zn 0.35%, Cu 0.66%, Ag 141 g/t, Bi 308 g/t, MnO 10.66% for the veins, and Pb
0.11%, Zn 0.15%, Cu 5.83%, Ag 140 g/t for the dissemination (Nur et al., 2009b;
2010).

Figure 1. Geological map and distribution of the significant mineralizations in the


study area. (1) Bincanai vein. (2) Ritapayung dissemination. (3) Baturappe vein-1.
(4) Baturappe vein-2. (5) Bungolo vein. (6) Paranglambere vein. (7) Bangkowa vein.
(8) Bangkowa stringer.

98
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. MINERALIZATIONS

Zonation of hydrothermal alteration in the study area is divided on the basis of


mineral assemblages and its spacial distribution relative to the deposits (veins and
dissemination), from distal to proximal are: district propylitic, vein-related propylitic,
and argillic and silisic zones (Fig. 2).

Figure 2. Hydrothermal alteration map of the study area.

5.1. District Propylitic Zone

The district propylitic zone is distributed from relatively near to the deposits
and extended widely to the whole study area (Fig. 2). This zone is mainly
characterized by dominant occurrence of chlorite, and less calcite, epidote, quartz,
sericite, clay and opaque. In the field, this zone is characterized by light greenish
grey, light green to green in color which is indicated the dominant occurence of
chlorite (Fig. 3.A). Under microscope, this zone is characterized by selective
alteration. Chlorite mainly altered primary pyroxene and plagioclase phenocrysts of
the volcanic rocks. Beside almost totally replaced the phenocrysts, chlorite also

99
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

A B
O
p
Ch
Pl P
l
x
Ep
Qtz, Cl, Ser 0.3
mm
C Clay D

Vein

Epidote

Vugg Galen E Qtz F


y a
quar
Qtz
Cal
Cal
Cal

Siderite
Silisic wall Quartz 0.1
rock mm

Figure 3. A. Outcrop of altered porphyritic basalt at Ritapayung area (district


propylitic zone) which is characterized by green color as an indication of chlorite; B.
Microphotograph of sample from the outcrop in Fig. A, showing the alteration
mineral assemblage of chlorite and less epidote which altered the pyroxene and
plagioclase phenocrysts; while quartz, clay, and sericite altered the groundmass; C.
Indication of vein-related propylitic alteration at Bangkowa area; strongly altered
porphyritic basalt with the coarse-grained pyroxene phenocrysts have been replaced
by epidote; D. Argillic alteration (clay) margined the Baturappe vein-2; E.
Indications of silisic alteration in the Bincanai vein sample; vuggy quartz and silisic
wall rock on the margin of the vein; F. Microphotograph of a sample from the
Bincanai-vein wall rock (silisic zone) showing pervasive alteration, dominated by
quartz (Qtz) and calcite (Cal).

100
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

commonly occured around the fringe and surface of broken and corroded
phenocrysts, particularly on pyroxene (Fig. 3.B). Veins contain chlorite and less
epidotewere also commonly observed, cross-cutted primary minerals. Quartz, clay
and sericite altered the groundmass (Fig. 3.B).The survived primary phenocrysts or
the selective alteration character of this zone indicates that intensity of alteration is
low. Studies of hydrothermal minerals stability in epithermal environment suggested
that chlorite is formed at temperature range about 200-300oC, at deeper level, and in
neutral pH condition (Hedenquist et al., 1996; 2000). These imply that this zone was
affected by such temperature range, from a neutral-pH fluid, at deeper level and
periphery of the hydrothermal system.
5.2. Vein-Related Propylitic Zone

This alteration zone is distributed within about 0.5 m to 10 m from the veins,
envelopes silisic zone at Bincanai and argillic zone at Baturappe and Bangkowa area
(Fig. 2). Around the Bincanai vein, a 1 m spaced systematic sampling for
hydrothermal alteration study has been conducted within 1-10 m from the vein. In
the samples, altered volcanic rocks in this zone are generally characterized by
greenish grey to dark green in color which indicates a dominant occurence of epidote
and chlorite. Identification of alteration mineral assemblages were conducted both by
microscopic observation and XRD analysis. The results indicate that epidote, chlorite
and calcite are dominant minerals. Other alteration minerals identified in this zone
include quartz and muscovite (sericite). At Baturappe zone, two altered rock samples
at 9 m and 8 m from the Baturappe vein-1 have been collected to be analyzed. At the
outcrops both lithologies showed light green in color. Under microscope, the samples
were observed strongly altered. Dominant alteration minerals are epidote, chlorite
and carbonate which altered primary pyroxene; while quartz, clay and opaque altered
the fringe of plagioclase and the groundmass. Another sample which collected closer
(7 m) from the vein contains minerals which indicate a mixing between propylitic
and argillic assemblages; quartz, smectite, albite, mixed layer illite/smectite,
halloysite and pyrite were identified from XRD analysis. Albite is one of the key
minerals of propylitic alteration in epithermal environment, beside calcite, chlorite

101
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

and epidote (Thompson and Thompson, 1996). This implies that in this area there is
an overprinting between outer (distal) vein-related propylitic zone and inner
(proximal) argillic zone at about 7 m from the vein.
At Bangkowa area, the vein-related propylitic zone is more proximal to the
vein. A sample of altered porphyritic basalt dyke, which collected about 50 cm from
the vein, under microscope contains (in abundance order) epidote, quartz, sericite,
clay, chlorite, carbonate and opaque. While another sample from the same lithology
which collected about 8 m from the vein contains an assemblage of epidote, chlorite
and opaque. Intensity of propylitic alteration in this area is higher compares to the
other two zones; the host rock of the Bangkowa vein, porphyritic basalt, is strongly
altered where its coarse-grained pyroxene phenocrysts have been totally replaced by
epidote (Fig. 3.C).
In general, the vein-related propylitic zone is characterized by dominant
occurrence of epidote. In epithermal environment, epidote is stable under
temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000).
Accordingly, it can be interpreted that the vein-related propylitic alteration in the
study area was formed at such temperature range. The occurrence of epidote and
chlorite also indicates that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid.
Compare to the district propylitic zone, the vein-related propylitic zone is generally
more intensely altered and spacially more proximal to the deposit. This zone is
distributed locally and limited, enveloping all the veins, at the outer area of argillic-
and silisic zone (Fig. 2), with distance range from 0.5 m to 10 m. This indicates that
this alteration zone is geneticly related to the vein formation. Dilation or opening
along the faults and fractures created structurally-controlled permeability for the
hydrothermal fluid to affects the wall rocks and subsequently formed the alteration
zone, overprinted the district propylitic alteration.

5.3. Vein-Related Propylitic Zone

Argillic zone is distributed proximal to the veins at Baturappe- and Bangkowa


area (Fig. 2), from the margin of the veins to maximum 7 m outward. In the field,

102
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

this alteration zone is characterized by clay with grey, greenish grey, light green,
yellowish brown and reddish brown in color (Fig. 3.D).
Identification of alteration minerals in this zone was conducted by XRD
analysis. All clay samples for the analysis were collected from trenches. At
Baturappe area, from the four vein zones, dominant minerals include quartz,
smectite, illite, and halloysite. In addition kaolinite, chlorite, albite, mixed layer-
illite/smectite and chlorite/smectite, dolomite, and pyrite are also occurred in less
quantity. Mineral formed by weathering such as hematite were also identified. At
Bangkowa area, from the sulfide stringer zone, quartz, illite, kaolinite, smectite,
albite and pyrite were identified; while at the Bangkowa vein, quartz, illite, chlorite,
dolomite, albite, pyrite, smectite, halloysite and mixed layer illite/smectite were
recognized.
At Baturappe area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite,
smectite and halloysite. Halloysite occurs under acid pH and in temperature lower
than 100oC, smectite under neutral pH in temperature range of 180-230oC, and illite
under neutral pH in temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al.,
1996; 2000). Halloysite occurs mainly as a supergene weathering product (Corbett
and Leach, 1998), thus it is possible that halloysite in this area was formed by
weathering. Therefore, interpretation of formation temperature of the argillic zone in
Baturappe area is conducted on the basis of the temperature stabilities of smectite
and illite; 230-320oC. Furthermore, the smectite and illite also indicate that this zone
was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid.
At Bangkowa area, illite is the most dominant temperature-sensitive mineral
occurred, thus the interpretation of formation temperature of the argillic zone in this
area is based on the temperature stability of illite, that is 200-320oC. This implies
that the argillic zone in this area was formed in higher temperature and deeper level,
compares to the Baturappe area. The responsible hydrothermal fluid is also neutral in
pH, judging from the dominant occurrence illite.
Based on its distribution which is proximal to the related-veins, it is also
interpreted that the argillic zone is the centre of hydrothermal activities responsible
for the mineralization in Baturappe- and Bangkowa area. The narrow and elongate

103
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

distribution of the argillic zone indicates that the distribution is controlled by


structure (Fig. 2).

5.4. Silisic Zone

This zone is distributed proximal to the vein at Bincanai as well as to the


disseminated sulphide at Ritapayung area (Fig. 2). At the 150 m Bincanai vein, silisic
zone is distributed from the vein wall rock (close to the vein) to about 0.4 m outward,
whereas at the southwestern part of the vein, the silisic zone is more widely
distributed, up to 2 m from the vein.
Around the Bincanai vein, the silisic zone is characterized by light greenish
grey to white color of the high-altered andesite wall rock (Fig. 3.E). Comb structure-
filled vuggy quartz is also occurred in this zone, mainly in the quartz band of the
vein, around the border with the strong-altered silisic wall rock (Fig. 3.E). Other
characteristic of this zone is the occurrence of barren quartz vein stockwork which
developed in the wall rock, mainly at the foot wall side of the main vein. General
orientation of the stockwork is N45oW/70oSW, cross-cutted the main vein which is
N18oW/64oSW in orientation. The barren quartz vein stockwork is developed in
narrow open space of the lower order of the Bincanai fault, while the mineralized
main-vein is developed in the wider open space of the first order fault.
Under microscope, thin section samples from the silisic zone at Bincanai area
mostly showed pervasive alteration, where all primary minerals have been replaced
by secondary alteration minerals of quartz and calcite (Fig. 3.F). Identification by
microscopic observation and XRD analysis indicates that this zone is mainly
characterized by dominant alteration minerals of quartz, carbonate (mainly calcite
and less siderite), sericite (illite and muscovite), and pyrite. Other less abundance
alteration minerals include chlorite, albite and biotite.
At the Ritapayung dissemination, distribution of the silisic zone is locally
enveloped the disseminated sulphide zone (Fig. 2). In the field, effect the silisic
alteration is indicated by the light green to light grey color of the altered rocks.
Under microscope, the altered volcanic rocks are also showed a pervasive alteration.

104
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Identification by microscopic observation and XRD analysis indicate an assemblage


of quartz, illite, and pyrite. Propylitic key minerals such as chlorite and albite are also
occurred in significant quantity in this zone, which may indicates an overprinting of
the both alteration zones in this area. Other alteration minerals include carbonate and
halloysite.
At Bincanai area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite and
muscovite. As mentioned, in epithermal environment, illite is formed under neutral
pH at temperature range about 200-320oC (Reyes, 1990;Hedenquist et al., 1996;
2000);while muscovite is stable at temperature more than 250oC (Corbett and Leach,
1998). Accordingly, by combining the temperature ranges, it can be interpreted that
the silisic zone around the Bincanai vein was formed at temperature range of 250-
320oC. At Ritapayung area, illite is the only dominant temperature-sensitive mineral,
thus it can be interpreted that the silisic zone around the Ritapayung dissemination
was formed at temperature range of 200-320oC. These imply that the silisic zone at
Bincanai area was formed at deeper level relative to Ritapayung area. The dominant
occurrence of illite in the both areas indicates a neutral pH of the responsible
hydrothermal fluid.
Based on its distribution which proximal to the related-deposits, it is also
interpreted that the silisic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for
the mineralization in Bincanai- and Ritapayung area. The narrow and elongate
distribution of the silisic zone around the Bincanai vein indicates that the distribution
is controlled by structure. On the other hand, at Ritapayungdissemination area, the
lithological host of the alteration-mineralization indicates that the silisic zone in this
area is controlled by the permeability of the host rock (volcanic breccia).

5.5. Paragenesis

Based on the description, paragenesis of the hydrothermal alteration around the


Baturappe epithermal deposits is arranged as follows (Table 1):
• Prior to initiation of the Baturappe hydrothermal system, the host rocks in the
district were altered to an extensive propylitic assemblage of dominantly
chlorite and less calcite, epidote, quartz. This selective alteration mainly affects

105
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

the pyroxene and plagioclase phenocrysts as well as crystalline groundmass of


the volcanics. This alteration assemblage was formed at temperature range of
200-300oC and distributed at the periphery of the hydrothermal system.

Table 1. Mineral assemblage in each zone and paragenetic stages of hydrothermal


alteration of the Baturappe deposits

Hydro-thermal District Vein-related propylitic zone Argillic zone Silisic zone


mineral propylitic
zone
Bc Br Bk Br Bk Bc Rp
Chlorite
Epidote
Calcite
Quartz
Albite
Biotite
Smectite
Illite
i/s
c/s
Halloysite
Kaolinite
Muscovite
Dolomite
Siderite
Pyrite
Hematite
Temperature 200-300 200-300 200-320 200-320 230-320 230-320 250-320 200-320
range (oC)
Distance to Disctrict 1-10 m 7m  0.5 m ≤7m < 0.5 m <1m < 200 m
deposits scale

- Abbreviations: i/s: mixed layer illite/smectite, c/s: mixed layer chlorite/smectite,Bc:


Bincanai area,Br: Baturappe area, Bk: Bangkowa area, Rp: Ritapayung area.
- Line weight indicates relative abundance

• As hydrothermal fluids progressed up, dilation along the fault and fractures at
Baturappe- and Bangkowa area created structurally controlled permeability
leading to a narrow zone (approximately 0.5 m to 10 m) vein-related propylitic
alteration (epidote, chlorite, calcite, quartz, albite) which overprints the district

106
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

propylitic alteration. This more intense selective alteration was formed under
temperature range of 200-320oC, proximal to the veins.
• As the hydrothermal system intensified, argillic (illite, smectite, quartz,
chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, and pyrite) alteration
formed within maximum 7 m from the structural-controlled veins at Baturappe-
and Bangkowa area; silisic (vuggy quartz, barren quartz stockwork, calcite,
siderite, illite, muscovite, pyrite) alteration formed within maximum 0.4 m of
the fault-controlled vein at Bincanai; and silisic (quartz, illite, pyrite) alteration
formed in host rock of disseminated-sulphide at Ritapayung area, as a
lithological-controlled alteration. These argillic- and silisic alteration
overprinted the vein-related- and district propylitic alteration. The argillic
alteration formed under 230-320oC at Baturappe- and Bangkowa area, while
the silisic zone formed under 250-320oC at Bincanai area, and 200-320oC at
Ritapayung area.

6. CONCLUSIONS AND EXPLORATION IMPLICATIONS

 Hydrothermal alteration around the epithermal deposits in Baturappe prospect


is zoned from proximal silisic and argillic to vein-related propylitic to distal
district propylitic alteration.
 The district propylitic alteration is interpreted as the periphery of the
hydrothermal system, while the argillic and silisic alteration are interpreted as
the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the
study area, where its narrow distribution is highly controlled by structure.
Therefore, for the development of the prospect, further detailed exploration is
recommended to be focused on argillic and silisic alteration zones around the
Bincanai vein, and on argillic alteration zone around the veins in Baturappe
and Bangkowa area.

107
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

7. ACKNOWLEDGEMENTS

The authors wish to express a gratitude to the Directorate of Higher Education,


Department of National Education, Indonesia, for the financial support through
“Doctorate Dissertation Research Grant” 2010 with contract number of
481/SP2H/PP/DP2M/X/2010 granted to the first author as a principal researcher.

8. REFERENCES

Corbett, G.J., and T.M. Leach (1998), Southwest Pacific rim gold-copper systems:
structure, alteration, and mineralization, Society of Economic Geologists
(SEG) Special Publication, 6, 237 p.

Harijoko, A. (2004), Ore genesis of the Cibaliung epithermal gold deposit in western
Java, Indonesia, PhD. Thesis, Kyushu University, Japan, 136 p.

Hedenquist, J.W., E. Izawa, A. Arribas, and N.C. White (1996), Epitermal gold
deposits: styles, characteristics, and exploration, Resource Geology Special
Publication, 1, Komiyama Printing Co. Ltd., Tokyo, Japan.

Hedenquist, J.W., R.A. Arribas, and E. Gonzalez-Urien (2000), Exploration for


epithermal gold deposits, Society of Economic Geologists (SEG) Reviews, 13,
245-277.

Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Sufriadin, A.H.S. Jaya, and U.R.
Irfan(2009a),Geologi endapan urat logam dasar Pbdaerah Baturappe
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Proceedings of the 38thIAGI Annual
Convention and Exhibition, Semarang, Indonesia,Editors: Winarno, T., A.A.
Nagel, R. Syawal, Aveliansyah, 629-637.

Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko,Y. Juyanagi, and A. Imai (2009b),


Characteristics of epithermal quartz veinsat Baturappe area, Gowa, South
Sulawesi: an implication to base metal exploration, Proceedings of the
International Conference on Earth Science and Technology, Yogyakarta,
Indonesia, Editors: Setijadji, L.D., W. Wilopo, and A. Hendratno, 179-185.

Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Y. Juyanagi, R. Takahashi, K.


Watanabe, and A. Imai (2010),Geochemistry, mineralogy and fluid inclusion
study of the Baturappe epithermal silver-base metal deposit, South Sulawesi,
Indonesia, Proceedings of the CINEST International Symposium on Earth
Science and Technology 2010, Kyushu University, Fukuoka, Japan, Editor:
Itoi, R., 283-288.

108
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Priadi, B., H. Bellon, R.C. Maury, M. Polvé, R. Soeria-Atmadja, and J.C. Philippet
(1994), Magmatic evolution in Sulawesi in the light of new 40K-40Ar age data,
Proceedings of the 23rdIAGI Annual Convention, Indonesia, 355-370.

Reyes, A.G. (1990), Petrology of Philippine geothermal systems and the application
of alteration mineralogy to their assessment, J. Volcanology and Geothermal
Research, 43, 279-309.

Sukamto, R., and S. Supriatna (1982), Geologic map of the Ujung Pandang, Benteng
and Sinjai quadrangles, Sulawesi, Geological Research and Development
Centre, Bandung, Indonesia.

Thompson, A.J.B., and J.F.H. Thompson (1996), Atlas of alteration, a field and
petrographic guide to hydrothermal alteration minerals, Geological Association
of Canada, Mineral Deposits Division, Canada, 118 p.

Yuwono, Y.S., H. Bellon, R. Soeria-Atmadja, and R.C. Maury (1985), Neogene and
Pleistocene volcanism in South Sulawesi,Editors: Koesoemadinata, R.P. and
D. Noeradi, ITB, Bandung, Indonesia, 120-131.

109
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

APLIKASI PROBABILISTIK UNTUK ANALISIS KESTABILAN


LERENG TUNGGAL MENGGUNAKAN METODE BISHOP
(STUDI KASUS DI PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM
TBK. TANJUNG ENIM, SUMATERA SELATAN)

Masagus Ahmad Azizi1, Suseno Kramadibrata2, Ridho K.Wattimen2,


Indra Djati Sidi3, Susanto Basuki4
1
Jurusan Teknik Pertambangan FTKE Universitas Trisakti & Mahasiswa Program
Doktor Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB
2
Program Studi Teknik Pertambangan ITB
3
Program Studi Teknik Sipil ITB
4
Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam
mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan
menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini
nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai
masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling
mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap
parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan.
Analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic dapat
memberikan tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari suatu disain lereng.Pendekatan
ini sangat memungkinkan memasukkan seluruh factor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan lereng sehingga hasil analisis dapat diaplikasikan secara operasional.
Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari
ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng. Nilai factor keamanan disain lereng
dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan
tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.
Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal
menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan)
PTBA Tanjung Enim.
Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik distribusi nilai nilai faktor
keamanan lereng tunggal lapisan OB-A1 (claystone) berupa fungsi beta. Bila
memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas kelongsoran, maka
hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter ke bawah masih
memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700 (Nilai PK < 25%).
Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter masih mungkin
menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500.
Mengingat metode analisis kestabilan lereng yang digunakan hanya metode
Bishop, maka perlu dikoreksi juga dengan metode lainnya.

Kata Kunci : statistic, analisis probabilitas, Lereng penambangan, geoteknik,


batubara.

110
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam


mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan
menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini
nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai
masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling
mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap
parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan.
Penentuan sudut kemiringan lereng acceptable adalah suatu parameter paling
penting dalam perencanaan tambang terbuka. Namun ketidakpastian yang terkait
dengan geometri lereng, karakteristik massa batuan, kondisi pembebanan dan
reliabilitas model mengakibatkan proses pemilihan sudut kemiringan lereng yang
sesuai menjadi lebih sulit.
Biasanya kajian kestabilan lereng tambang terbuka dibuat berdasarkan nilai
factor keamanan (FK) saja, yakni rasio gaya penahan nominal dan gaya penggerak
nominal. Secara teoritis metode kesetimbangan batas menyatakan batas kritis lereng
aman bila FK = 1, di mana lereng akan longsor bila FK<1 dan lereng akan aman bila
FK>1. Namun kelemahan pendekatan FK tersebut untuk disain lereng adalah hanya
bersifat kasuistis dan tidak dapat diberlakukan untuk kondisi lereng yang lain, Tapia
et.al. (2007).
Suatu alternative selain pendekatan FK untuk disain lereng adalah metode
probabilistic yang didasarkan pada perhitungan probabilitas kelongsoran (PK) lereng.
Pada metode ini, parameter masukan digambarkan sebagai suatu distribusi
probabilitas bukan hanya terbatas pada estimasi nilai rata-rata. Dengan
mengkombinasikan distribusi ini dalam model deterministic yang digunakan dalam
menghitung nilai FK, maka PK lereng dapat diestimasi.
Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari
ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng.Nilai factor keamanan disain lereng
dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan
tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.

111
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal


menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan)
PTBA Tanjung Enim.

2. DASAR TEORI

2.1. Metode Kesetimbangan Batas

Kemantapan suatu lereng tergantung pada gaya-gaya penggerak dan gaya


penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya-gaya penggerak berupa gaya berat,
gaya tiris atau muatan, sedangkan gaya-gaya penahan berupa gaya gesekan atau
geseran, kohesi dan kuat geser. Apabila gaya penggerak lebih besar dibandingkan
dengan gaya penahan maka akan menyebabkan terjadinya kelongsoran. Tetapi bila
gaya penahan ini lebih besar dari gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan
mengalami kelongsoran atau lereng dalam keadaan stabil.
Kestabilan lereng biasa dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (FK) yang
didefisikan sebagai berikut :

Di mana untuk keadaan-keadaan :


FK> 1.0 : lereng dianggap stabil
FK = 1.0 : lereng dalam keadaan seimbang dan siap untuk bergerak apabila ada
sedikit gangguan
FK< 1.0 : lereng dianggap tidak stabil
Metode kesetimbangan batas merupakan metode yang sangat popular, relatif
sederhana, mudah digunakan serta telah terbukti kehandalannya dalam praktek
rekayasa geoteknik selama bertahun-tahun.
2.2. Analisis Probabilitas

2.2.1. Fungsi Distribusi Probabilitas


Fungsi distribusi probabilitas merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
memperkirakan nilai probabilitas kemunculan suatu parameter. Fungsi distribusi

112
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

probabilitas memiliki sifat-sifat penyebaran yang khas dan unik yang menjadikan
fungsi yang satu akan berbeda dengan fungsi yang lainnya. Tetapi hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa suatu fungsi distribusi merupakan turunan dari fungsi
yang lainnya.Sebagai contoh, fungsi distribusi eksponensial merupakan bentuk
khusus dari fungsi distribusi gamma yang memiliki parameter bentuk (a) bernilai 1.

Fungsi Densitas Probabilitas Fungsi Distribusi Kumulatif

Gambar 1. Fungsi Distribusi Probabilitas

Secara grafik, fungsi distribusi probabilitas dideskripsikan menjadi fungsi


densitas probabilitas (PDF Probability Density Function) dan fungsi distribusi
kumulatif (CDF Cumulative Distribution Function).Fungsi densitas probabilitas
mendeskripsikan daerah kemungkinan relatif dimana suatu bilangan acak dapat
diasumsikan sebagai suatu nilai unik dibandingkan nilai lainnya.Untuk kurva
distribusi factor keamanan, maka luas kurva yang diarsir merupakan probabilitas
kelongsoran lereng.

2.2.2. Simulasi Monte Carlo


Simulasi Monte Carlo adala sebuah nama kode untuk algoritma yang
ditemukan oleh John von Newmann (1946) atas perintah Stanislaw Ulam. Nama
Monte Carlo diambil dari nama kasino Monte Carlo di Monaco. Simulasi Monte
Carlo pertama kali digunakan untuk pengembangan bom hidrogen.
Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut :
1. Definisikan domain (daerah asal) dari masukan data yang memungkinkan
2. Munculkan masukan secara acak daridomain yang sudah ditentukan
menggunakandistribusi probabilitas tertentu

113
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3. Lakukan perhitungan secara deterministic menggunakan data masukan


4. Gabungkan hasil dari setiap perhitungan individual kepada hasil akhir.
Algoritma ini digunakan sebagai landasan simulasi bilangan acak untuk
menentukan fungsi distribusi probabilitas yang sesuai.
Beberapa keuntungan metode Monte Carlo yakni sederhana, lebih fleksibilitas
dalam menggabungkan suatu varietas distribusi probabilitas yang cukup besar tanpa
banyak penarfsiran, dan kemampuan untuk memodelkan korelasi di antara variable
dengan mudah (Hammah and Yacoub, 2009). Umumnya analisis stabilitas lereng
dengan metode kesetimbangan batas menggunakan simulasi Monte Carlo untuk
menghitung probabilitas kelongsoran.

2.2.3. Pencocokan (Fitting) Fungsi Probabilitas


Ada beberapa metode dalam melakukan proses fitting terhadap fungsi
distribusi, antara lain : Chi-Squared (C-S), Kolmogorov-Smirnov (K-S), dan
Anderson-Darling (A-D). Masing-masing metode ini akan menghasilkan nilai
parameter statistic. Nilai parameter yang paling kecil mencerminkan fungsi distribusi
terbaik.
Bila dalam proses fitting ini menggunakan lebih dari satu metode, maka tidak
ada aturan baku yang menyatakan metode hasil uji yang memberikan fit terbaik.
Masing-masing metode memiliki kekuatan dan kelemahan, dan harus diputuskan
informasi yang paling penting untuk memutuskan fungsi distribusi yang akan
digunakan.
a) Metode Chi-squared
Metode ini merupakan metode fitting fungsi distribusi terbaik, yang dapat digunakan
baik untuk sampel data continyu maupun diskret.Untuk menghitung nilai parameter
chi-squared, maka langkah pertama memecah nilai sumbu x menjadi beberapa bin.
Formulasi untuk menghitung nilai parameter chi-squared yakni :

114
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Di mana :
K = Jumlah bin
Ni = Jumlah sampel observasi dalam bin ke- i
Ei = Jumlah sampel ekspektasi dalam bin ke-i
b) Kolmogorov-Smirnov
Metode ini digunakan untuk data sampel kontinyu. Metode ini tidak membutuhkan
proses pemecahan sumbu x menjadi beberapa bin, sehingga membuat nilai parameter
statistic ini tidak banyak berubah-ubah. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat
mendeteksi ketidaksesuaian tail dengan baik.
Formulasi untuk menghitung nilai parameter K-S yakni :
[| ̂ |]
Di mana :
n = Total jumlah titik-titik data
̂ = Fungsi distribusi kumulatif proses fitting

= Jumlah Xi kurang dari x


c) Anderson-Darling
Metode ini juga digunakan untuk data sampel kontinyu, dan tidak membutuhkan
bin.Tidak seperti metode K-S yang memfokuskan pada nilai tengah distribusi, maka
metode ini lebih menyoroti pada perbedaan antara tail fungsi hasil fitting dan data
masukan. Formulasi untuk menghitung nilai parameter A-S yakni :

∫[ ̂ ] ̂

Di mana :
n = Total jumlah titik-titik data

̂ [ ̂ ]
̂ = Fungsi densitas hipotetik
̂ = Fungsi distribusi kumulatif hipotetik

115
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

= Jumlah Xi kurang dari x

3. TAHAP PENELITIAN

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :


a. Studi Awal (Desk Study)
Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pengumpulan pustaka baik jurnal
nasional maupun internasional.
b. Pengambilan dan Pengolahan Data
Kegiatan ini diawali dengan observasi kondisi lereng tambang secara
keseluruhan, kemudian akan ditentukan lokasi penelitian yang sesuai.
Data yang diambil dalam penelitian ini mencakup : sifat fisik dan mekanik
batuan, seismic loading, dan geometri lereng.
c. Analisis
Langkah awal analisis adalah melakukan karakterisasi terhadap parameter
masukan (densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam) yang akan menghasilkan
jenis fungsi dan range nilai parameter masukan.
Langkah kedua melakukan analisis kestabilan lereng menggunakan metode
kesetimbangan batas (Metode Bishop) dengan dengan kuat geser Mohr-Coulomb.
Data hasil karakterisasi terhadap densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam
dimasukkan sebagai parameter masukan probabilistic. Nilai factor keamanan yang
dihasilkan kemudian juga dilakukan proses karakterisasi (analisis probabilitas) dan
analisis sensitivitas. Hasil karakterisasi terhadap distribusi nilai factor keamanan
akan dapat menghasilkan nilai probabilitas kelongsoran lereng, di mana luas di
bawah fungsi (FK <1) merupakan nilai probabilitas kelongsoran.
Untuk menilai tingkat kemamputerimaan nilai FK dan probabilitas kelongsoran
dari disain lereng tunggal dapat dilihat dari kriteria kemamputerimaan SRK (2010)
untuk nilai FK dan Probabilitas Kelongsoran Lereng Tunggal, di mana probabilitas
kelongsoran untuk lereng tunggal yang masih dapat diterima sebesar 25-50 %
(maksimum).

116
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

d. Kesimpulan
Hasil penelitian ini akan dapat menilai suatu disain lereng tunggal yang mampu
diterima tidak hanya berdasarkan nilai factor keamanan, namun juga dilihat dari nilai
probabilitas kelongsoran lerengnya.

4. PENGOLAHAN DATA

Proses ini merupakan pengolahan data terhadap parameter masukan yakni


densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam residual. Dalam proses ini dibantu
dengan menggunakan perangkat lunak @RISK yang menggunakan variasi simulasi
(1,2 dan 5) dan iterasi (100, 1000 dan 10.000). Metode fitting yang digunakan
mencakup Chi-Squared, Anderson-Darling, Kolmogorov-Smirnov.

4.1. Parameter Batuan Lapis OB-A1 (Claystone)

4.1.1. Kohesi “Residual”


Hasil proses karakterisasi terhadap parameter kohesi “residual” lapisan OB-
A1(Claystone) lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai
adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3
metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan semua
fungsi distribusi beta (Tabel 1).

Tabel 1.Hasil Karakterisasi Distribusi Kohesi “Residual”

Jumlah Jumlah Nilai


Simulas Fungs Fungs
Iterasi Chi-Sq A-D K-S Fungsi
i i i
1 100 1.42 Beta 0.1505 Beta 0.0308 Beta
1000 6.358 Beta 0.584 Beta 0.0165 Beta
10000 82.574 Beta 5.7506 Beta 0.0155 Beta
2 100 0.54 Beta 0.1199 Beta 0.0296 Beta
1000 6.068 Beta 0.5708 Beta 0.0163 Beta
10000 82.115 Beta 5.749 Beta 0.0155 Beta
5 100 0.76 Beta 0.1337 Beta 0.022 Beta
1000 6.3 Beta 0.5724 Beta 0.0167 Beta
10000 81.804 Beta 5.7493 Beta 0.0155 Beta

117
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4.4.2. Sudut Gesek Dalam “Residual”


Hasil proses karakterisasi terhadap parameter sudut gesek dalam “residual”
lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai
adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3
metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 24
fungsi distribusi beta dan 4 fungsi weibull (Tabel 2).

Tabel 2.Hasil Karakterisasi Distribusi Sudut Gesek Dalam “Residual”

Jumlah Jumlah Nilai


Simulasi Iterasi Chi-Sq Fungsi A-D Fungsi K-S Fungsi
1 100 0.54 Beta 0.074 Beta 0.0246 Beta
1000 6.184 Weibull 0.580 Beta 0.0173 Beta
10000 78.06 Beta 5.768 Beta 0.0164 Beta
2 100 0.76 Beta 0.087 Beta 0.0256 Beta
1000 4.734 Beta 0.423 Beta 0.0129 Beta
10000 78.519 Beta 5.767 Beta 0.0164 Beta
5 100 0.76 Beta 0.084 Weibull 0.0259 Weibull
1000 6.822 Weibull 0.579 Beta 0.0173 Beta
10000 78.104 Beta 5.766 Beta 0.0164 Beta

4.4.3. Densitas Basah

Tabel 3.Hasil Karakterisasi Distribusi Densitas Basah

Jumlah Jumlah Nilai


Simulasi Iterasi Chi-Sq Fungsi A-D Fungsi K-S Fungsi
1 100 0.98 Weibull 0.141 Weibull 0.0283 Weibull
1000 7.112 Beta 0.585 Beta 0.0164 Beta
10000 103.22 Beta 8.982 Beta 0.0194 Weibull
2 100 1.42 Beta 0.084 Beta 0.0266 Beta
1000 10.128 Beta 0.881 Beta 0.0202 Weibull
10000 100.378 Beta 8.539 Beta 0.0194 Weibull
5 100 0.76 Beta 0.077 Beta 0.0256 Beta
1000 9.722 Beta 0.826 Beta 0.0201 Weibull
10000 100.674 Beta 8.610 Beta 0.0194 Weibull

Hasil proses karakterisasi terhadap parameter densitas basah lapisan OB-A1


lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini

118
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang
digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 19 fungsi distribusi beta
dan 8 fungsi weibull (Tabel 3).

4.2. Tinggi Muka Air Tanah


Variasi tinggi muka air tanah diasumsikan mencapai maksimum.
4.3. Getaran Gempa Bumi
Variasi seismic loading diasumsikan normal dengan nilai rata-rata 0.02.
4.4. Geometri Lereng
Variasi geometri yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
a. Tinggi Lereng : 9, 12, 15, 20 meter
b. Sudut kemiringan lereng : 40 – 70 Derajat.

5. ANALISIS

5.1. Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Lapisan OB-A1(Claystone)


Hasil karakterisasi terhadap paramater batuan yang mencakup : nilai minimum,
maksimum, standar deviasi dan jenis fungsi distribusi dimasukkan dalam analisis
kestabilan lereng tunggal. Dalam penelitian ini menggunakan metode keseimbangan
batas dengan bantuan software SLIDE. Untuk parameter masukan lain seperti
geometri lereng, tinggi muka air tanah dan seismic loading digunakan nilai asumsi
yang digunakan dalam disain lereng PTBA.

Gambar 2. Keluaran Analisis Kestabilan Lereng Tunggal dengan Pendekatan


Probabilistik

119
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Hasil analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic ini


mengjhasilkan nilai factor keamanan deterministic dan rata-rata, probabilitas
kelongsoran, dan indeks reliabilitas lereng (Gambar 2).

5.2. Fitting Jenis Fungsi Distribusi Faktor Keamanan


Proses fitting jenis distribusi dilakukan dengan menganalisis nilai FK hasil
pendekatan probabilistik. Ada beberapa tahap proses fitting ini meliputi :
a. Input nilai rata-rata, standar deviasi, minimum, dan maksimum dari nilai factor
keamanan.
b. Menggunakan metode Monte Carlo nilai-nilai tersebut degenerate
berdasarkan fungsi yang akan dianalisis, dalam hal ini ada 7 fungsi distribusi
normal, lognormal, beta, seragam, triangular, eksponensial dan gamma. Proses
ini dilakukan dengan 1000 iterasi dengan 5 simulasi.
c. Penentuan parameter statistic dari masing-masing fungsi menggunakan metode
chi-squared, yang mana fungsi yang memiliki nilai parameter statistic paling
kecil merupakan fungsi yang paling mendekati distribusi fungsi factor.
Untuk mempermudah proses fitting ini dilakukan dengan menggunakan
software @RISK. Hasil proses fitting menunjukkan bahwa jenis fungsi distribusi
factor keamanan adalah beta. Fungsi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan
probabilitas kelongsoran lereng tunggal dari masing-masing scenario.

5.3. Probabilitas Kelongsoran (PK)

Probabilitas kelongsoran lereng ditentukan dengan cara menghitung luas


(FK<1) di bawah fungsi yang sudah ditentukan sebelumnya dari hasil proses fitting.
Hasil perhitungan probabilitas kelongsoran lereng tunggal material OB-A1
menunjukkan untuk tinggi lereng 12 meter, maka masih mungkin untuk
mencuramkan lereng hingga 700. Hal ini bisa dilihat dari nilai FK 2.18 dan
probabilitas kelongsoran sebesar 18.4 % yang masih di bawah kriteria ambang
batas.Sementara untuk tinggi lereng 15 meter, maka sudut lereng maksimum hanya
600. Rekapitulasi hasil penentuan jenis fungsi distribusi dan probabilitas kelongsoran
dapat dilihat pada table di bawah ini..

120
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 4. Probabilitas Kelongsoran Material OB-A1 (Metode Bishop)


Geometri Lereng Faktor Keamanan Jenis
Jenis Faktor PK
Tinggi Kemiringan Fungsi
Material Deterministik Probabilistik Fitting (%)
(m) (0) FK

OB-A1 9 60 3.018 2.753 7.0540 Beta 2.876


70 2.687 2.453 7.2280 Beta 12.832
12 50 2.692 2.708 6.7640 Beta 2.6
60 2.361 2.377 7.2860 Beta 15.1
70 2.174 2.182 6.8220 Beta 18.4
15 40 2.444 2.452 7.1120 Beta 2.5
50 2.212 2.225 6.9380 Beta 13.9
60 1.951 1.963 6.9960 Beta 24.0
20 50 1.739 1.749 6.8220 Beta 24.9
60 1.526 1.541 6.7640 Beta 32.9
70 1.3000 1.318 6.9960 Beta 42.9

6. PENGOLAHAN DATA
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
a. Karakterisasi terhadap parameter batuan lapisan OB-A1 (Claystone) dengan
variasi 3 jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting
menunjukkan fungsi terbaik yang dihasilkan adalah beta.
b. Karakterisasi terhadap nilai faktor keamanan hasil analisis kestabilan lereng
menunjukkan fungsi terbaik adalah beta.
c. Bila memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas
kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter
ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700
(Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter
masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500.
d. Hasil analisis ini perlu dikomparasi dengan metode lainnya sehingga dapat
meningkatkan suatu hasil disain yang dapat diaplikasikan secara operasional.

7. DAFTAR PUSTAKA
@RISK software, Palisade

Cisar P., Cisar S.M., 2010, Skewness and Kurtosis in Function of Selection of
Network Traffic Distribution, Acta Polytechnica Hungarica, Vol.7 No.2.

121
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Duzgun H.S.B., Bhasin R.K., 2009, Probability Stability Evaluation of


Oppstadhornet Rock Slope – Norway, Rock Mech Rock Eng, Springer.

Hammah, R.E., Yacob, T.E., Curran J., 2003, The Influence of correlation and
distribution truncation on slope stability analysis results.

Hoek E., Factor of Safety and Probability of Failure, Chapter 8 - Rock Engineering.

Mandzic E.H., 1992, Mine Water risk in open pit slope stability.

Masagus A.A. et.al, 2010, Penerapan Pendekatan Probabilitas Pada Analisis


Kemantapan Lereng, TPT XIX PERHAPI 2010, Balikpapan.

Masagus A.Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimena, Irwandy Arif,


“Aplikasi Pendekatan Probabilistik Dalam Analisis Kestabilan Lereng
Tunggal Menggunakan Metode Kesetimbangan Batas”, dipresentasikan pada
Seminar Nasional Statitstik 2011 yang diselenggarakan oleh Program STudi
STatistika, Fakultas MIPA UNDIP, 21 Mei 2011.

Park H.J., 2005, A New Approach for Persistence in Probabilitic Rock Slope
Stability Analysis, Geoscience Journal, Vol.9, p287-293.

Pathak S., Poudel R.K., Kansakar B.R., 2006, Application of Probabilistic Approach
in Rock Slope Stability Analysis — An Experience from Nepal, pp. 797–802,
Universal Academy Press, Inc. - Tokyo, Japan.

Pine. R.J. 1992. Risk analysis design applications in mining geomechanics. Trans.
Inst. Min.Metall. (Sect.A) 101, 149-158.

Pine, R.J. and W.J. Roberds. 2005. A risk-based approach for the design of rock
slopes subject to multiple failure modes – illustrated by a case study in Hong
Kong. International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences 42
(2005), Elsevier Ltd., pp. 261 – 275.

SLIDE Software, Rockscience

Staveren V., 2007, Extending to Geotechnical Risk Managemen, International


Symposium on Geotechnical Safety & Risk, pp.1-12.

Steffen, O.K.H. et.al, 2008, A risk evaluation approach for pit slope design.

Terbrugge P.J.et.al., 2006, A risk consequence approach to open pit slope design.

Whitman R.V., 1981, Evaluating Calculated Risk in Geotechnical Engineering, The


Seventeenth Terzaghi Lecture.

122
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan


Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop

Nurkhamim1, Hafiez Asnawi2,


Jurusan Teknik Pertambangan – Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”
Yogyakarta, Indonesia
khamimyk@gmail.com

ABSTRAK
Pada kegiatan penambangan, peledakan merupakan salah satu tahapan kegiatan yang
bertujuan untuk membongkar atau melepaskan batuan dari batuan induknya menjadi
bentuk fragmen-fragmen batuan dengan ukuran tertentu, guna mempermudah proses
selanjutnya. Ada beberapa parameter untuk mengetahui apakah suatu kegiatan
peledakan berhasil baik atau gagal. Salah satu indikator untuk menentukan
keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan.
Ukuran fragmentasi batuan yang dihasilkan dari kegiatan peledakan harus sesuai
dengan kebutuhan, yaitu kemudahan saat pemuatan, pengangkutan dan pada proses
pengolahan. Kesulitan yang biasa dijumpai pada saat perhitungan ukuran fragmen
dan distribusinya bila menggunakan cara manual atau konvensional adalah
prosesnya yang membutuhkan waktu lebih lama dan perlu peralatan bantu yang
cukup merepotkan.
Split-desktop merupakan alat bantu perhitungan yang merupakan suatu program
komputer yang proses kerjanya didasarkan atas pembacaan hasil citra (image)
gambar atau foto dari suatu obyek berupa partikel atau gragmen. Program
perhitungan ini sangat mudah digunakan dan cukup akurat untuk mengestimasi dan
menentukan distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan.

Kata kunci : peledakan, fragmentasi, citra foto, split-desktop

123
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat telah menjadi


kebutuhan pokok dalam era informasi. Hal ini dapat dilihat dari derasnya arus
informasi dari segala penjuru dunia yang dapat diakses oleh siapapun tanpa batas
ruang dan waktu. Keberhasilan pembangunan teknologi informasi telah
mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, seperti aspek pertambangan
khususnya yang terlihat dari berbagai macam perangkat lunak (software) komputasi
pendukung telah banyak dikembangkan untuk memudahkan analisa dalam metode
perhitungan.
Tahap penambangan, yang meliputi kegiatan pembongkaran, pemuatan dan
pengangkutan, agar material dapat dengan mudah diangkut maka dilakukan
pembongkaran terlebih dahulu. Peledakan merupakan salah satu kegiatan yang
bertujuan untuk membongkar batuan agar terlepas dari batuan induk yang bertujuan
untuk memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya yaitu pemuatan dan
pengangkutan.
Tuntutan program serta tersedianya berbagai macam bentuk informasi yang
menuntut untuk melakukan perubahan yang dapat menunjang efektifitas serta
produktifitas tambang, maka dirasa sangatlah perlu adanya program bantu komputasi
guna mendapatkan hasil program perhitungan atau estimasi distribusi ukuran
fragmen batuan hasil peledakan tambang secara mudah dan tepat. Dengan adanya
program bantu komputasi untuk menghitung rancangan ini dapat menghemat waktu,
tenaga dan tentu saja tingkat ketelitian hasil lebih akurat daripada perhitungan secara
manual (analitik).

2. TINJAUAN UMUM

Peledakan batuan berdasarkan pengetahuan merupakan suatu teknik tentang


aksi bahan peledak, mekanisme terbongkarnya batuan, dan sifat-sifat mekanik dari
masa batuan. Di dalam lingkungan industri pertambangan, teori peledakan
merupakan area yang sangat menarik tetapi sekaligus juga kontroversial. Teori
peledakan ini melibatkan bidang keilmuan seperti kimia fisika, termodinamika,

124
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

interaksi gelombang kejut, dan mekanika batuan. Teori yang ada hingga saat ini
selalu membahas faktor – faktor yang mempengaruhi fragmentasi dan kriteria
rancangan peledakan secara umum.
Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor rancangan yang
tidak dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang dapat dikendalikan (Gambar 1).
1. Faktor Rancangan yang tidak dapat dikendalikan
Faktor ini di luar kemampuan manusia untuk men-setting atau mengendalikannya
(uncontrolled factor ). Hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara
alamiah, seperti faktor : karakteristik dan perilaku massa batuan, struktur geologi,
pengaruh air, dan kondisi cuaca.
2. Faktor rancangan yang dapat dikendalikan
Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam
merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan,
antara lain seperti geometri pemboran, geometro peledakan, pola pemboran dan
pola peledakan.
Suatu kegiatan peledakan disebut berhasil bila dapat terpenuhi beberapa
parameter sebagai berikut :
- Target produksi yang ingin dicapai dapat terpenuhi.
- Hasil peledakan tidak membentuk back break/over break.
- Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merata dan tidak terdapat banyak boulder .
- Lantai jenjang yang terbantuk relatif datar.
- Efek peledakan terkontrol seperti ground vibration, air blast, dan fumes.
- Tidak terjadi gagal ledak ( miss fire ).
Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan
adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Diharapkan ukuran fragmen batuan yang
dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan penambangan selanjutnya. Untuk
mengetahui ukuran fragmen batuan dapat dilakukan perhitungan dengan melalui
beberapa cara, yaitu :
1. Melakukan pengamatan pada material hasil peledakan, apakah dapat termuat atau
tidak oleh mangkuk alat mekanis.

125
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

2. Mencurahkan sejumlah material pada suatu grizzly dengan beberapa tahap setting
grizzly.
3. Pengambilan gambar atau foto dengan pengolah program Split-desktop.
Pengukuran distribusi fragmen batuan hasil peledakan yang dilakukan secara
manual (analitik) mempunyai kekurangan tingkat hasil ketelitian yang diperoleh
kurang akurat serta kurang efisien. Cara pertama hanya dapat menentukan ukuran
fragmen batuan saja, sedangkan estimasi distribusi ukurannya (persentasi) sangat
kasar (berdasarkan perkiraan saja). Cara ke-dua membutuhkan sejumlah peralatan
dan pengaturan yang cukup membutuhkan waktu dan biaya. Kelemahan pada
perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan secara teknis (cara pertama
dank e-dua di atas) telah dapat diatasi dengan adanya program bantu komputasi Split-
desktop sehingga diharapkan dapat menghemat waktu, tenaga, biaya dan harapan
pada tingkat ketelitian hasil yang lebih akurat.

3. PENGOLAHAN DATA

Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, mula-mula dilakukan


pengambilan foto/ gambar dari suatu obyek yang berupa sekumpulan fragmen batuan
atau partikel-partikel (dapat berupa hasil peledakan, penambangan dengan bucket,
atau dari hasil peremukan oleh crusher ), kemudian untuk estimasi atau penghitungan
distribusi fragmentasinya dilakukan dengan program bantu komputer.
Split-desktop adalah program komputer untuk suatu gambar atau citra yang
didesain untuk menghitung distribusi ukuran fragmen batuan dengan menganalisa
gambar yang dapat dibaca dalam bentuk grayscale. Gambar dapat dimasukkan
langsung dari foto digital, gambar hasil scanning dan capture dari rekaman video.
Sebelum menjalankan program Split-desktop, gambar yang akan dihitung
dimasukkan kedalam komputer yang dapat dilakukan dengan download atau digitasi
gambar.
Analisa program Split-desktop, secara garis besar meliputi tahapan penentuan
atau pemilihan gambar, pencarian partikel, memperbaiki hasil pencarian, melakukan
perhitungan ukuran dan menampilkan grafik dan hasil.

126
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

(A) Peubah yang dapat dikendalikan



 
Arah peledakan

 
Diameter lubang ledak Sistim penyalaan

 
Kedalaman lubang ledak Urutan penyalaan

 
Kedalaman subdrilling Bidang bebas

 
Kemiringan lubang ledak Tipe bahan peledak

 
Tinggi stemming Energi bahan peledak

 
Tinggi jenjang Metode pemuatan


Pola peledakan Air tanah (kadang-kadang
tidak dapat dikontrol)

Perbandingan burden dan spasi
Dimensi dan konfigurasi Peledakan


(B) Peubah yang tidak dapat dikendalikan



Geologi


Sifat dan kekuatan batuan


Struktur diskontinuitas


Kondisi cuaca
Air tanah (kadang-kadang dapat dikontrol)

Proses Peledakan


Hasil Peledakan



Fragmentasi


Perpindahan material hasil peledakan


Profil tumpukan hasil peledakan


Getaran tanah (ground vibration)


Ledakan udara (air blast)


Batu terbang (fly rock)


Missfires


Gambar 1. Peubah terkendali dan tidak terkendali dalam rancangan peledakan 2)

127
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. Penentuan dan Pemilihan Obyek atau Gambar


Tahap ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama menentukan batas dari
gambar (resize/crop ) yang akan dihitung dan menentukan skala yang digunakan oleh
gambar. Untuk analisis maka gambar yang dibuka oleh program akan diubah dalam
format “tiff” secara otomatis (Gambar 2.a). Menentukan gambar termasuk juga
membatasi gambar yang akan dianalisa dengan toolbar “crop” untuk batas atas dan
batas bawah. Untuk menentukan distribusi ukuran yang sebenarnya maka dibutuhkan
skala sebagai pembanding.
Skala perlu diatur sesuai dengan obyek bantu skala yang ada di dalam gambar
atau foto. Obyek bantu ini adalah dua benda apa saja (asal bukan obyek yang akan
dihitung fragmentasinya), dapat terlihat jelas saat diambil gambarnya dan
mempunyai dimensi ideal dan mudah diukur. Obyek bantu skala harus diletakkan
pada saat pengambilan gambar dilakukan. Obyek bantu skala yang sering digunakan
berupa bola.
Pengambilan gambar sebaiknya tegak lurus terhadap obyek yang akan diambil
gambarnya, hal ini untuk menghindari efek perubahan ukuran akibat perspektif
gambar. Namun apabila hal ini tidak bisa dihindari atau sangat sulit dilakukan, maka
obyek bantu skala dipasang dua buat dan diletakkan depan-belakang, dengan jenis
dan ukuran benda yang sama.
2. Mencari Ukuran Partikel
Merupakan tahapan dimana program akan mengenali partikel-partikel untuk
dihitung dengan format grayscale yang secara otomatis hasil konversi program. Hasil
yang akan ditampilkan adalah kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar
partikel. Kelemahan dari software Split-desktop adalah dalam proses pengenalan
partikel yang sangat tergantung dari sudut pencahayaan gambar. Untuk mengatasi hal
ini maka sebelum proses pencarian ukuran partikel, dilakukan digitasi secara manual
untuk menentukan batas-batas antar partikel. Kemudian hasil digitasi tersebut
diproses dan menghasilkan keluaran yang ditampilkan dalam bentuk binary image
atau gambar dengan kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar partikel
(Gambar 2.b)

128
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3. Memperbaiki Hasil Pencarian


Langkah ini ditujukan untuk memperbaiki hasil ukuran yang diberikan oleh
pencarian ukuran partikel. Perbaikan ini meliputi penghapusan daerah yang tidak
akan dihitung seperti alat pembanding (obyek bantu skala). Dapat juga dilakukan
untuk memperbaiki kontur yang tidak sesuai dengan ukuran patikel.
4. Melakukan Perhitungan Ukuran
Langkah ini akan melakukan perhitungan ukuran dengan metode perimeter
dimana terlebih dahulu setiap kontur akan memiliki koordinat masing-masing. Untuk
perhitungan ukuran partikel dilakukan dengan interpolasi dan ekstrapolasi dengan
dua skala.
5. Menampilkan Grafik dan Hasil
Hasil perhitungan ukuran akan ditampilkan dalam bentuk grafik yang dapat
dipilih seperti: Schuman, Rosin-Ramler dan Best Fit. Grafik tersebut merupakan
grafik distribusi kumulatif dari ukuran fragmen batuan (Gambar 2.c).

4. PEMBAHASAN

Pada dasarnya hasil yang ingin dicapai dari perangkat lunak ini adalah
bagaimana mengoptimalkan perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan.
Hasil pengkajian ini diharapkan berupa definisi-definisi yang akan digunakan
sebagai dasar menyusun bukti formal dan rincian teori yang memungkinkan pada
pemecahan masalah.
Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merupakan salah satu faktor penting
dalam kegiatan penambangan khususnya peledakan. Salah satu kriteria agar kegiatan
peledakan berhasil dengan baik yaitu ukuran fragmen batuan hasil peledakan sesuai
dengan yang diharapkan sehingga kegiatan penambangan selanjutnya dapat berjalan
dengan lancar.
Perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu dengan perhitungan analitik (cara manual), program komputer
(software), atau gabungan dari keduanya. Sejak berkembangnya teknologi
informatika terutama di bidang pertambangan, penghitungan secara manual sudah

129
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

mulai ditinggalkan. Program Split-desktop merupakan aplikasi perangkat lunak yang


dapat digunakan sebagai program untuk perhitungan dan menganalisis distribusi
ukuran material. Agar pekerjaan pengambilan data dan pengolahan data dapat
berjalan baik, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pengambilan gambar
- Kecerahan gambar berpengaruh pada pengolahan / deliniasi program /
pemisahan partikel. karena gambar yang akan di input berbentuk grayscale
maka apabila dalam pengambilan gambar terlalu terang garis pemisah yang
terbentuk tidak tampak/ kurang jelas, demikian pula sebaliknya.
- Sudut pengambilan gambar sebaiknya dilakukan vertikal agar hasil
kenampakan gambar bagus / tidak ada perkecilan gambar, Namun kalau hal
ini sulit dilakukan, maka dapat dibantu dengan dua obyek bantu berupa
benda/barang yang dapat diukur dimensinya.
2. Parameter bantu
Parameter bertujuan untuk mengetahui distribsi ukuran material.
- Jumlah parameter/alat pembanding/obyek bantu skala.
Minimal 2 buah untuk mengetahui posisi pengambilan gambar, dengan cara
satu buah diletakkan pada bagian depan (posisi dekat) dan satu pada bagian
belakang (posisi jauh).
- Letak parameter
Sebaiknya ditempatkan pada posisi terbuka/terlihat penuh, tidak terhalang
oleh material yang akan diukur.
- Bentuk parameter
Sebaiknya obyek yang berdiameter karena hasil analisis akan diasumsikan
semua ukuran pertikel memiliki bentuk/berdiameter. Diutamakan obyek
bantu ini berbentu bola.
3. Pengolahan data dan analisis
Dalam pengolahan data pada setiap pengerjaan memiliki ketelitian berbeda-
beda. Pengolahan tahap 3 (pemisahan ukuran partikel). Hasil analisis perhitunga
ukuran dan distribusi fragmen batuan ditampilkan dalam bentuk grafik atau tabel
seperti pada Gambar 4.

130
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

(a)

(b)

(c)

Gambar 2. Langkah Pengukuran Fragmentasi dengan Split Desktop, (a) Original


image, (b) Binary image, (c) Grafik distribusi kumulatif keluaran

131
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Keterangan:
P20 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 20%,
artinya terdapat 20% material yang lolos ayakan berukuran 47,17 mm. P50
merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 50%, artinya
terdapat 50% material yang lolos ayakan berukuran 107,44 mm. P80 merupakan
ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 80%, artinya terdapat 80%
material yang lolos ayakan berukuran 192,89 mm. Top Size merupakan ukuran
material terbesar yang ada dalam sampel tersebut, dalam grafik di atas adalah 307,74
mm.

Gambar 3. Pengambilan conto

Gambar 4. Hasil analisis pengambilan contoh

132
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. KESIMPULAN

1. Data yang diperlukan untuk mengetahui distribusi ukuran fragmen hasil


peledakan menggunakan perhitungan split-desktop adalah cukup dengan
gambar/foto material hasil peledakan.
2. Kelebihan perhitungan ukuran fragmen hasil peledak menggunakan Split-
desktop adalah dapat dilakukan dengan mudah dan cepat dalam menganalisa
data, Distribusi ukuran fragmentasi dapat diperinci sesuai kebutuhan .

6. DAFTAR PUSTAKA

Hafiez A, (2011), Kajian Teknis Geometri Peledakan Untuk Menghasilkan Ukuran


Fragmen Batuan Yang Sesuai di PT DNX Indonesia Site Adaro Kalimantan
Selatan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN
“Veteran” Yogyakarta.

Hustrulid W., (1999), Blasting Principles For Open Pit Mining . Colorado School of
Mines, Golden, Colorado, USA.

S. Koesnaryo., (2001), Pemboran Untuk Penyediaan Lubang Ledak, Jurusan Teknik


Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

____________, (2011), Split-Desktop tutorial, Split Engineering, Tucson, Arizona.


www.spliteng.com

133
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

OPTIMALISASI SUMBERDAYA DAN TEKNOLOGI


DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN
DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Nurhakim

Staf Pengajar Pada Program Studi Teknik Pertambangan


Fakultas Teknik - Universitas Lambung Mangkurat
Email : nurhakim@ft.unlam.ac.id

ABSTRAK
Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu
usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Kawasan
Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah
daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi
16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta Kepulauan Nusa
Tenggara dan Maluku. Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan
masih di bawah rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun
2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki
IPM di bawah rata-rata nasional. Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses
atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan,
dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Setidaknya terdapat beberapa kelompok
teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain:
Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam, Teknologi Sistem
Informasi Sumber Daya Alam (SISDA), Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan
pengolahan, Teknologi telekomunikasi dan transportasi. Akhirnya, kekayaan alam
yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat.

Kata kunci: Sumberdaya, optimalisasi, Teknologi, Inventarisasi, Pembangunan

134
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Hubungan antara diklat-litbang dan usaha industri di berbagai Negara


berteknologi maju dan ekonomi kuat telah merupakan suatu fenomena yang
berkembang terus dengan keterkaitan yang semakin erat. Fenomena itu telah
menimbulkan hubungan yang berpengaruh timbal balik antara “terjadinya perubahan
teknologi yang semakin cepat” dan “terjadinya persaingan usaha yang semakin
ketat”. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan IPTEK telah menjadi faktor penentu di dalam pertumbuhan usaha dan
penambahan devisa suatu Negara.
Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, “memberikan” berbagai tantangan bagi Pemerintah Kota / Kabupaten.
Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana daerah dapat mengelola
sumberdaya alam yang dimilikinya secara optimal dengan memanfaatkan
sumberdaya manusia dan teknologi yang ada. Pemanfaatan sumberdaya alam secara
baik, terarah dan akrab lingkungan – selanjutnya diharapkan dapat dikembalikan
dalam bentuk “belanja modal’ untuk pembangunan dan pengembangan daerah
tersebut.
Pada hakekatnya, makhluk hidup di muka bumi ini tidak terlepas dari adanya
ketergantungan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain,sertaterhadap
lingkungan dimana makhluk tersebut berada. Namun, diatas ketergantungan dan
keterkaitan itu, Allah Yang Maha Kuasa juga menciptakan keteraturan, dimana pada
posisi ini akan tercapai suatu keseimbangan; sehingga setiap unsur atau makhluk
hidup akan berada dalam kondisi yang seimbang dengan lingkungan yang dihuninya.
Proses keteraturan itu analog dengan proses terciptanya kemandirian bagi manusia,
dan biasanya kemandirian ini diperoleh setelah dewasa. Pada usia dewasa inilah
manusia bisa mandiri dalam banyak hal termasuk dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya. Sudah barang tentu proses menuju kemandirian cepat atau lambat,
sangat ditentukan oleh cepat atau lambat berkurangnya tingkat ketergantungan dan
keterkaitan.

135
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai


suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dari
sisi usia sejak negeri ini merdeka, seharusnya sudah mampu menjadi negara yang
tidak terlalu tergantung pada belas kasihan negara lain, tidak terlalu terpengaruh
kondisi gejolak finansial di negara lain dalam roda perekonomian dan seharusnya
juga memiliki kebanggaan atas produk yang dihasilkan sendiri sebagai pembuktian
atas kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. GAMBARAN KONDISI KAWASAN TIMUR INDONESIA

2.1. Sumberdaya Alam

Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan
luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah
Indonesia, meliputi 16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta
Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku (Gambar 1). Provinsi Papua mempunyai luas
wilayah daratan paling besar (421.981 km2) atau 32% dari luas KTI, sementara
Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9% dari
luas wilayah KTI.

KAWASAN TIMUR INDONESIA

KAWASAN BARAT INDONESIA

Gambar 1. Pembagian KBI dan KTI dalam NKRI

136
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Sumberdaya alam KTI, baik di daratan maupun di lautan mempunyai potensi


yang sangat besar, namun pengelolaannya belum optimal. Di kawasan ini,
terkandung sekitar 70 % dari total potensi perikanan laut nasional. Sektor kehutanan
dan keanekaragaman hayati pun memiliki potensi yang sangat luar biasa. Demikian
halnya dengan sumberdaya mineral, dalam Koesnaryo (2002), diperkirakan 81,2%
dari total cadangan bahan tambang Indonesia terdapat di KTI. Potensi sumberdaya
mineral ini tersebar tidak merata di berbagai Propinsi yang terdapat di bagian
Indonesia Timur (Tabel 1).
Tabel 1
Potensi Bahan Galian di Kawasan Timur Indonesia
Propinsi Potensi Bahan Galian Tambang
Kalimantan Barat Batubara, Bauksit, Emas, Felspar, Kaolin, Granit, dll
Kalimantan Tengah Batubara, Gambut, Emas, Intan, Batugamping, Kaolin,
Pasirkuarsa, Lempung, Batubelah, dll
Kalimantan Selatan Batubara, Nikel, Besi, Intan, Emas, Kromit,
Batugamping, Lempung, Kaolin, Pasirkuarsa, Marmer,
Posfat, Andesit, Peridotit, dll
Kalimantan Timur Batubara, Gambut, Besi, Emas, Platina, Pasirkuarsa,
Batugamping, Lempung, Kaolin, dll
Sulawesi Selatan Batubara, Mangan, Kromit, Pasirbesi, Emas, Perak,
(dan Sulawesi Barat) Tembaga, Timbal, Seng, Batugamping, Marmer,
Batusabak, Dolomit, Lempung, Pasirkuarsa, dll
Sulawesi Tenggara Nikel. Kromit, Magnesit, Marmer, Batugamping,
Pasirkuarsa, dll
Sulawesi Tengah Emas, Kromit, dll
Sulawesi Utara Emas, Perak, Mangan, Besi, Andesit, Belerang, Sirtu,
(dan Gorontalo) Andesit, Lempung, Kaolin, Kalsedon, dll
Maluku Batubara, Emas, Ilmenit, Tembaga, Perak, Titan, dll
(dan Maluku Utara)
Papua Emas, Tembaga, Perak, Uranium, Nikel, Batubara,
(dan Papua Barat) Pasirbesi, Pasirkuarsa, Mika, Marmer, dll
Nusa Tengg. Timur Besi, Emas, Pasirbesi, Barit, Timbal, Belerang, Zeolit,
Andesit, Basalt, Kaolin, Bentonit, Marmer, Batuapung,
Sirtu, dll
Nusa Tengg. Barat Tembaga, Emas, Perak, Batugamping, Lempung,
Marmer, Andesit, Kalsedon, Sirtu, Pasirbesi, dll
Sumber : Koesnaryo, 2002 (diolah)

137
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Dari keterangan yang disajikan di atas, terlihat bahwa Kawasan Timur


Indonesia demikian kaya akan sumberdaya alam. Potensi sumber daya alam ini,
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

 Secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropik dengan curah hujan


tinggi menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapat tumbuh subur. Oleh
karena itu Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Selain itu, kondisi
ini menyebabkan terjadinya pelapukan yang intens dan proses sedimentasi
yang berkelanjutan.
 Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan
lempeng tektonik dan pegunungan muda menyebabkan terbentuknya
berbagai macam sumber daya mineral dan geothermal yang potensial untuk
dimanfaatkan.
 Wilayah lautan di Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya
nabati, hewani, dan mineral antara lain ikan laut, rumput laut, mutiara serta
minyak dan gas bumi.
2.2. Sumberdaya Manusia

Sumber daya manusia (SDM)merupakanpotensi yang terkandung dalam diri


manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan
transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang
terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang
seimbang dan berkelanjutan. Dari pengertian ini, tersirat demikian strategisnya
peranan SDM dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Jumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi yang tidak merata.
Berdasarkan data Supas 2005 BPS, penduduk KTI berjumlah 40.984.777 jiwa atau
18,73% dari total penduduk Indonesia dengan perkiraan penduduk rata-rata sebesar
27 jiwa/km2.Jumlah penduduk terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
7.509.704 jiwa, sementara Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk 643.012
jiwa merupakan yang terkecil. Kepadatan terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan 208 jiwa/km2, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan
kurang dari 7 jiwa/km2.

138
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah rata-


rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005, hanya 4
propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun 2005 rata-rata IPM
Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki IPM di bawah rata-
rata nasional.

2.3. Sarana dan Prasarana

KTI yang luas ini seharusnya didukung oleh prasarana dan sarana fisik yang
memadai (terutama listrik, perhubungan dan telekomunikasi), namun pada
kenyataanya keberadaan prasarana dan sarana tersebut belum cukup tersedia.
Rendahnya tingkat aksesibilitas antar kawasan di KTI mengakibatkan masih
banyaknya dijumpai kawasan-kawasan yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan
ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir, dan daerah pedalaman.
Hal ini diperparah dengan belum ada akses langsung ke pasar internasional. Padahal,
sebelum dibangun infrastruktur yang memadai, maka sulit bagi pemerintah untuk
menawarkan KTI kepada dunia usaha. Mengingat, kawasan tersebut belum cukup
atraktif sebelum dibangun infrastrukturnya. Di lain pihak, sarana pendidikan dan
kesehatan juga jauh dari dapat dikatakan memadai.

3. PERAN TEKNOLOGI DALAM OPTIMALISASI SUMBERDAYA


DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAERAH

Teknologi dalam kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai "the practical


application of knowledge especially in a particular area " dan "a capability given by
the practical application of knowledge”. Dalam UU 18 Tahun 2002, Teknologi
adalah “cara atau metoda serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan
dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi
pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia”.
Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat beberapa kelompok teknologi yang
berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain :

139
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

 Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam ; Inventarisasi


potensi sumber daya alam meliputi SDA hayati (perkebunan, kehutanan,
pertanian, pesisir), SDA non hayati (mineral, air) dan Inventarisasi rawan
bencana alam dan kerusakan lingkungan (banjir, longsor, gunungapi,
kekeringan). Teknologi yang dapat dimanfaatkan antara lain penginderaan
jauh (remote sensing), metode-metode geofisika dan geokimia serta aplikasi
geostatistika dalam pendekatan keruangan (spatial).
 Teknologi Sistem Informasi Sumber Daya Alam (SISDA) ; SISDA
merupakan suatu sistem informasi spasial yang berfungsi menyediakan
informasi kepada pengguna sebagai bahan pengambilan kepusan dalam
perencanaan dan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan kata
lain SISDA diharapkan dapat berfungsi sebagai Sistem Pendukung
Keputusan (Decision Support System). Perbedaanya dengan Sistem
Informasi Manajemen (SIM) seperti yang ada di bank atau perusahaan-
perusahaan terletak pada sumber data yang digunakan. SISDA
mengandalkan data spasial (geografi), yang menyediakan informasi
mengenai keadaan dan kejadian dalam ruang suatu wilayah geografis
tertentu. Data untuk SISDA memerlukan ketelitian tinggi dalam dimensi
spasial. Keadaan dan kejadian yang menjadi subyek sistem ini dikenal
penyebaran dan lokasinya dalam sistem tata ruang muka bumi yang lebih
dikenal dengan istilah sistem referensi geografi. Selain itu, SISDA juga
memerlukan referensi waktu karena data sumberdaya alam seperti hutan,
mineral, migas, dll bersifat dinamis. Data sumberdaya alam selalu berubah
sesuai dengan perubahan waktu. Sebagai contoh, hutan atau bahan tambang
mineral yang ada di suatu tempat sering berkurang penyebarannya pada
periode tertentu karena penebangan atau eksploitasi. Dengan database yang
baik, diharapkan dapat dilakukan penetapan kawasan prioritas dalam rangka
percepatan pembangunan. Di lain sisi, SISDA diharapkan juga mampu
“melindungi” asset-asset yang dimiliki republik tercinta ini terutama pada
kawasan perbatasansebagai kawasan depan yang dilakukan dengan
pendekatan prosperity dan security, khususnya untuk kawasan perbatasan

140
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Kaltim, Kalbar, Sulut, Papua, Papua Barat, NTT, serta Maluku Utara dan
Maluku.
 Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan ; maksud dari teknologi
ini adalah bagaimana “mengambil” dan meningkatkan nilai tambah dari
suatu komoditas. Pengembangan pola agroindustri terpadu dengan
mengembangkan potensi pertanian skala besar (agriculture estate) yang
dilengkapi dengan sistem manajemen modern berbasis teknologi
(technology-based farming system). Di samping itu dengan adanya
pengembangan kelautan yang terpadu, dimana peningkatan teknologi
kelautan dan perikanan dilakukan secara bertahap, serta pemanfaatan SDA
yang belum tergali secara berkelanjutan. Pengembangan ini tidak terfokus
pada wilayah pesisir saja tetapi juga dilakukan di kawasan pedalaman
hingga kawasan terluar (ZEE). Dengan demikian, komoditas pertanian,
kehutanan, perkebunan, budi daya laut, dan hasil tambang yang selama ini
dijual dalam bentuk bahan mentah, dilakukan pendekatan teknologi agar
diperdagangkan dalam bentuk bahan baku atau barang jadi.
 Teknologi telekomunikasi dan transportasi ; selain berbagai teknologi yang
telah diuraikan diatas, infrastruktur telekomunikasi dan transportasi juga
perlu dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya. Adanya sarana
jalan, bandara maupun pelabuhan terutama di beberapa provinsi yang
berpotensi besar dalam kegiatan ekspor, akan sangat membantu percepatan
pembangunan.
Pertanyaan besar selanjutnya adalah “bagaimana berbagai teknologi di atas
dapat diaplikasikan?” Sinergi… adalah satu kata yang mungkin dapat mewakili
jawaban pertanyaan di atas. Selama ini, Pemerintah, Industri dan Institusi Pendidikan
dan Litbang, seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset-riset perguruan tinggi dan lembaga
riset pemerintah jarang dipakai untuk industri dan hanya menumpuk di perpustakaan.
Inovasi teknologi Industri pun sangat minim, akibatnya sulit bersaing dengan produk
luar. Kebijakan dan anggaran pemerintah untuk riset dan pengembangan teknologi
sangat dibutuhkan.

141
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Selama ini, anggaran pemerintah kita untuk riset teknologi sangat minim,
bahkan lebih rendah daripada anggaran riset sebuah perusahaan asing. Jika investasi
di bidang teknologi lebih mendapat perhatian, output dan outcome yang
dihasilkannya akan sangat menjanjikan dalam jangka panjang. Dengan teknologi,
pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan lebih optimal. Akhirnya,
kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan
digunakan untuk kemakmuran rakyat.

4. PENUTUP

Sumber daya alam adalah anugrah dan amanah Allah Yang Maha Kuasa, serta
titipan generasi penerus. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan
secara serius dan berkesinambungan. Pengelolaan yang salah, serta kelalaian
manusia telah menjadi penyebab utama penurunan kualitas sumber daya alam.
Keberadaan data yang akurat serta pemanfaatan teknologi yang tepat akan
menjadi kunci peningkatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Dengan
demikian, masing-masing Pemerintah Daerah dapat membuat rencana industrialisasi
sesuai dengan keunggulan komoditas yang dimilikinya.
Namun dibalik itu semua, SDM terdidik dan terampil sangat berpengaruh
terhadap kesuksesan pembangunan KTI bahkan menjadi modal utama menuju
terciptanya Negara yang mandiri dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia..…
The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its
performance is solely dependent on its soldiers(Douglas MacArthur, General, US
Army, 1945).

142
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. DAFTAR PUSTAKA

----------, 2006,KTI’s Export Potential: Awakening the Sleeping Giant, BEI NEWS
32nd Edition Year V, July-August 2006

----------, 2004, Jakstra Program dan Rencana Tindak Bidang Penataan Ruangdalam
Mendorong Percepatan Pembangunan di KTI, Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, Departemen PU RI

Koesnaryo, S., 2002, Permasalahan dan Prospek Industri Pertambangan Kawasan


Timur Indonesia, Prosiding TPT-XI PERHAPI, Yogyakarta

Nurhakim, 2002, Peranan Teknologi Sistem Informasi Bagi Industri Pertambangan


Di Era Otonomi Daerah, FT Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

Nurhakim, 2009, Optimalisasi Sumberdaya dan IPTEK dalam Pembangunan KTI,


disampaikan pada Temu Wilayah dan Seminar IPTEK wilayah Kalimantan
Sulawesi, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia(MITI)

Nurwadjedi dan Poniman, A., 2001, Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya


Alam Kawasan Timur Indonesia, GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 2/3

Rajasa, M.H., 2007, Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa,


http://www.setneg.go.id/

Rajasa, M.H., 2009, Karakter Bangsa Sebagai Modal Sosial Untuk Menghadapi
Tantangan Pembangunan Global, http://www.setneg.go.id/

Solihin, D., 2008, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Kawasan Timur
Indonesia, Bappenas

http://www.datastatistik-indonesia.com

143
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

PRESPEKTIF TEKNIK DAN EKOLOGI PEMBANGUNAN


MEGA PROYEK PABRIK BAJA KRAKATAU STEEL DI
BATULICIN TANAH BUMBU KALIMANTAN SELATAN

Adip Mustofa1, Riswan1

1 Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan


Fakultas Teknik UNLAM

Email: riswan@mining-unlam.ac.id

ABSTRAK
Bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT.
Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan
produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi
pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri
yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode
ekologi industri. Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan
pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam
konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-
industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam
kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses
produksinya. Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk
membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya
mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik
bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK).
Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara
(coal), dan batu kapur (limestone).

Kata kunci: Ekologi Pembangunan, Industri Baja, Rotary Kiln,

144
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari bahan yang diperoleh melalui
proses penambangan, kehidupan manusia modern sudah sangat bergantung kepada
sarana transportasi udara, laut dan darat yang kesemuanya mengandalkan bahan
tambang dari besi untuk kerangkanya, tembaga untuk komponen-komponen listrik,
nikel untuk bagian-bagian yang tidak boleh berkarat, aluminium untuk roda, dan
berbagai campuran baja untuk berbagai komponen.
Potensi mineral besi di lndonesia cukup besar terutama mineral besi lateritik
yang tersebar di Kalimantan Selatan seperti Pulau Sebuku Kab. Kotabaru,,
Pegunungan Kukusan Kab. Tanah Bumbu dan kabupaten, Kab. Tanah laut dan Kab.
Balangan cadangannya mencapai ratusan juta ton.
Potensi cadangan sumberdaya ini belum termanfaatkan sama sekali untuk
menunjang kebutuhan bahan baku didalam negeri, seperti PT. Krakatau Steel seluruh
bahan bakunya masih diimpor yang berupa pelet sekitar 2,2 juta tor pertahun (Yusuf
dan Aryono, 2005) , sementara ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan ke China
lebih dari 1 (satu) juta ton per tahun (Pramusanto, dkk, 2008)
Peranan strategis industri baja nasional sebagai agent of development hanya
dapat dicapai apabila industri baja nasional mampu menghasilkan produk dengan
harga dan kualitas yang kompetitif sehingga memungkinkan bagi industri hilir untuk
berkembang. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap terhadap
bahan baku impor, kelangkaan gas alam, serta keterbatasan pasokan listrik, maka PT.
Krakatau Steel (Persero) yang mengemban misi "Steel as National Power", telah
memulai langkah strategis melalui pengembangan industri baja berbasis bahan baku
lokal yang saat ini dalam tahap persiapan konstruksi. Pabrik yang akan dibangun di
Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut dirancang untuk
menggunakan 100% bijih besi lokal serta batubara non-coking coal yang banyak
terdapat di Indonesia. Sedangkan kebutuhan energi listrik diperoleh melalui
pemanfaatan gas buang (off-gas) yang dihasilkan dari proses reduksi (Irvan K dan
Hartono, 2008).

145
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pada saat ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana perpektif
teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin
sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan
limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah
memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja
lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri.

2. GAMBARAN UMUM KONDISI BIJIH BESI KALIMANTAN


SELATAN

2.1. Sebaran Bijih Besi

Bijih Besi yang banyak digunakan untuk bahan baku dalam industri baja
adalah bijih besi “Primer” yang merupakan senyawa besi-oksida dengan mineral
utamanya adalah magnetit (Fe3O4) dan hematite (Fe2O3) di Indonesia banyak
ditemukan namun sebarannya dalam satu lokasi jumlahnya tidak besar. Bijih besi
yang ditemukan di Kalimantan Selatan dengan jumlah depositnya relatif besar
(dalam satu lokasi) adalah bijih besi "Laterit". Genesa bijih ini berasal dari
pelapukan batuan ultra basa yang menghasilkan mineral utama Goethite
(HFeO 2 ) dan Lepidocrite FeO(OH) sehingga sering disebut sebagai hydros-ore
(mengandung air kristal), berdasarkan data Dinas ESDM Propinsi Kalimantan
Selatan sebaran bijih besi (Tabel 1).
Umumnya daerah yang berpotensi mengandung bijih besi berada di lokasi
yang sulit dicapai karena keterbatasan infrastruktur. Sebagian diantaranya berada di
kawasan konservasi atau merupakan tanah milik adat. Selain itu hasil
survey Tim PTKS di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah yang berpotensi mengandung bijih besi telah mempunyai KP
yang dikuasai oleh pihak lain namun belum ada kegiatan eksplorasi yang berarti
(Tim PIBB, 2007)

146
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 1. Sebaran Bijih besi di Kalimantan Selatan

SUMBERDAYA
NO. LOKASI KET.
TERUKUR TERUNJUK TEREKA HIPOTETIK
1 2 3 4 5 6 7
1 Kab. Tanah Bumbu
- Pengunungan. Kukusan - - 100.0000 -

2 Kab. Kotabaru
- Pulau Sebuku - 86.1207 - -

3 Kab. Tanah Laut


- G. Melati - - 0.1087 -
- Sumber Mulya - - 0.4257 -
- Riam Pinang - - 0.1287 -
- Tanjung - - 0.1770 -
- Pamalongan, Pontain - - - -
- Jabukan, S. Bakar - 1.1370 - -
- Sarang Halang - 0.0010 - -
- Desa Panggung - - - 0.4420
- G. Ulin - 0.5193 - -
- Karotain - 0.3000 - -
- G. Batukora - 0.1550 - -
- G. Tembaga - 0.8905 - -

4 Kab. Balangan
- G. Tanalang - - - 21.0594
- G. Batuberani - - - 4.5000
- G. Batubesi - - - 4.0000

5 Kab. Banjar - - - -
6 Kab. Hulu S. selatan - - - -
7 Kab. Tabalong - - - -
Total - 89.1235 100.8401 30.0014
Sumber Dinas ESDM Kalsel 2008

2.2. Karakteristik Bijih Besi

Perbandingan karakteristik bijih besi dalam bentuk lump-ore yang umum


dipakai dalam proses Direct Reduction maupun proses Blast Furnace yang
diperdagangkan oleh pemasok utama bijih besi dunia (Tabel 2). Dapat terlihat
bahwa bijih besi Kalimantan Selatan mempunyai karakteristik yang
berbeda apabila dibandingkan dengan bijih besi yang umum dipakai dalam
industri baja. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada kandungan Fe yang
relatif rendah, senyawa alumina relatif tinggi, serta kadar air terikat dan LOI yang
relatif tinggi.

147
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 2. Perbandingan karakteristik Bijih besi

Komposisi Direct Reduction Blast Furnace Biji Besi


(%) MBR Ferteco Hammersley BHP MBR Kalimantan
Fe 68.62 68.00 65.07 65.50 68.70 50.00
SiO2 0.78 0.99 2.80 3.50 0.50 3.00
Al2O3 0.47 0.72 1.53 1.30 0.73 6.00
P 0.035 0.046 0.055 0.047 0.038 0.06
S 0.003 0.005 0.010 0.005 0.007 0.08
LOI & Moisture - 3.47 1.80 2.20 1.30 8-15

Komposisi kimia dalam bijih besi akan menentukan efisiensi biaya


proses pengolahan bijih besi dan proses berikutnya di steelma king.
Dampak utama dari komposisi kimia tersebut antara lain adalah:
1. Fe — Kandungan Fe yang tinggi akan meningkatkan yield produksi dan
rnenurunkan biaya transportasi bahan baku. Untuk proses Direct
Reduction maupun Blast Furnace, diinginkan kadar Fe setinggi mungkin,
yaitu > 65%.
2. Alumina — Kandungan alumina yang diinginkan dalam pengolahan
bijih besi adalah serendah mungkin, lebih kecil dari 2%. Kandungan
alumina dalam jumlan tinggi akan meningkatkan viscositas slag dalam baja
cair.
3. Kandungan air dan LOI — kandungan air dan loss on ignition (LOI)
Tlidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan panas dan
meningkatkan volume gas yang tersirkulasi didalam sistem.

3. UPAYA PEMANFAATAN BIJI BESI LOKAL

PT. Krakatau Steel (KS), yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN)
sebagai ujung tombak industri baja telah memulai produksinya sejak tahun 1970
sampai sekarang masih mengimpor pelet (bahan baku bijih besi), scrap (potongan),

148
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

slab sebagai bahan baku pembuat baja. Impor bahan dasar (pellet, sponge Iron, Pig
Iron & scrap) dan baja kasar (slab, bilet, ingot) dan nilai impor dapat dari tahun
2003-2007 ( Gambar1).

Gambar 1. Impor Bahan Dasar dan Baja Kasar dan Nilai Impor

Kedepan produksi baja diperkiran meningkat sejalan dengan peningkatan


permintaan, kebutuhan dam negeri maupun ekspor. Namun demikian hingga kini
bahan baku ini untuk industri baja ini masih diimport dalam bentuk pellet, scrap
(potongan) dan slab (lempengan) dari beberapa Negara seperti Brazil, Swedia dan
China, sehingga ketergantungan industri baja nasional akan bijih besi dari luar negeri
sangat tinggi.
Berdasakan data Departemen Perindustrian (http://www.depperin.go.id), ekspor
bijh besih dari Indonesia ke China pada tahun 2007 lebih 4,27 juta ton (Gambar 2),
dimana lebih dari 1 (satu) juta ton berasal dari Kalimantan Selatan.

149
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Ekspor Bijih Besi


5000
4274

4000

X 1000 MT
3000

2161
2000

1000 835
639
114
0
2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Gambar 2. Ekspor Bijih Besi Indonesia ke China Tahun 2003-2008

Kendala teknis yang dihadapi PT. Krakatau adalah letak geografis cadangan
bijih besi yang menyebar serta ketidaksesuaian karakteristik bijih besi lokal dengan
fasilitas pengolahan yang telah dimiliki PT.Krakatau Steel dan tantangan lain adalah
kondisi kepemilikan kuasa penambangan (KP) serta daya dukung infrastruktur yang
kurang memadai.
Menghadapi kendala diatas strategi yang ditempuh untuk mempercepat realisasi
pemanfaatan bahan baku lokal adalah:
1. Mengupayakan kontinuitas suplai bahan baku melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang
telah memiliki KP dan telah melakukan eksplorasi detail sesuai dengan kaidah
good mining practices.
2. Menyusun master plan pengembangan industri besi baja (ekologi industri), dengan fokus
ke long-product, sesuai dengan kebutuhan daerah Kawasan Timur Indonesia.
3. Memilih teknologi proses yang sesuai dengan karakteristik bahan baku lokal.
4. Membangun secara bertahap dimulai dari pabrik, pengolahan bijih besi. Ekspansi
berikutnya adalah kearah hilir dengan membangun pabrik baja long product untuk
menghasilkan billet dan batang kawat.
5. Menyiapkan ekspansi ke hulu dengan mengupayakan perolehan KP bijih besi dan batubara.

150
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 3. Proses Pembuatan Baja

Gambar 4. Master Plan Pabrik Besi Baja PTKS di Kalimantan Selatan

151
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4. PENERAPAN EKOLOGI INDUSTRI BAJA PT. KRAKATAU STEEL

Memasuki era industri, yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana


menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk
dan energi juga meningkat. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan
penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal
pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau Steel sebagai
suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan.
Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah yang
dibuang ke lingkungan.
Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi
industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di
Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah
polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta
aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri
yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis
secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam.
Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan pembangunan industri
yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri
kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai
hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.

152
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 5. Tipe Kawasan Industri

4.1. Ekologi Industri dan Berbagai Sistem Pendukungnya


Pengembangan ekologi industri merupakan suatu usaha untuk membuat konsep
baru dalam mempelajari dampak sistem industri pada lingkungan. Ekologi industri
adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengelola aliran energi atau material
sehingga diperoleh efisiensi yang tinggi dan menghasilkan sedikit polusi (Deni
Swantomo,2007)
Tujuan utamanya adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga
diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi
untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu :
mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material
yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan
penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan.
A. Simbiosis Industri
Simbiosis industri merupakan suatu bentuk kerja sama diantara industri-
industri yang berbeda. Bentuk kerja sama ini dapat meningkatkan keuntungan
masing-masing industri dan pada akhirnya berdampak positif pada lingkungan.
Dalam proses simbiosis ini limbah suatu industri diolah menjadi bahan baku industri
lain. Proses simbiosis ini akan sangat efektif jika komponen- omponen industri
tersebut tertata dalam suatu kawasan industri terpadu (eco-industrial parks).
Beberapa karakteristik simbiosis industri yang efektif adalah sebagai berikut :

153
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. Industri anggota simbiosis ditempatkan dalam satu kawasan dan memiliki


bidang produksi yang berbeda-beda.
2. Jarak antar industri dibuat dekat sehingga meningkatkan efisiensi tranportasi
bahan.
3. Masing-masing industri membuat suatu kesepakatan bersama dengan
berprinsip ekonomi yaitu saling menguntungkan.
4. Masing-masing industri harus dapat berkomunikasi dengan baik.
5. Tiap industri bertangung-jawab pada keselamatan lingkungan dalam kawasan
tersebut.
Contoh simbiosis kawasan industri yang telah sukses dan terkenal adalah simbiosis
industri di Kalundborg, Denmark (Deni Swantomo,2007). Simbiosis industri
Kalundborg yang ditunjukan pada Gambar 6 terdiri dari enam industri yaitu Pusat
Pembangkit Listrik Asnaer, Industri pemurnian minyak Statoil, Perusahaan
bioteknologi Novo Nordisk, Industri kayu lapis Gyproc, Perusahaan remediasi tanah
Bioteknisk Jordrens, dan pemukiman warga kota Kalundborg. Hasil yang telah
diperoleh dari simbiosis industri Kalundborg yaitu :
1. Pengurangan konsumsi energi dan sumber daya air.
2. Peningkatan kualitas lingkungan karena emisi CO2 dan SO2 dapat dikurangi.
3. Limbah produksi seperti abu layang, sulfur, lumpur, dan gipsum dapat diolah
menjadi
4. bahan baku produksi yang mempunyai nilai lebih.
5. Kota Kalundborg sebagai kota industri yang paling bersih.
6. Efisiensi penggunaan energi bahan bakar dapat mencapai 90 %.

154
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 6. Kawasan Ekologi Industri di Kalundborg, Denmark

5. PEMILIHAN ALTERNATIF TEKNOLOGI

Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk


membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya
mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik bahan
baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK). Bahan baku
utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara (coal), dan batu
kapur (limestone).
Bijih besi dapat berupa iron ore pellet, lump ore, maupun pasir besi. Batubara yang
dapat digunakan sebagai reduktor pada proses Rotary Kiln bervariasi mulai dari jenis
antrasit sampai lignite. Tiap jenis batu bara memerlukan adaptasi operasi Rotary Kiln
terutama dalam hal rasio antara bijih besi dan jumlah reduktor yang dibutuhkan.
Sedangkan batu kapur digunakan sebagai bahan aditif pada proses reduksi bijih besi di
Rotary Kiln yang berfungsi sebagai penyerap senyawa belerang.
Teknologi ini dipilih karena relatif sederhana, fleksibel terhadap berbagai bentuk
bijih besi, menggunakan batubara jenis non-coking coal, dan juga menghasilk.an off-gas
yang dapat dimanfaatkan untuk membuat steam penggerak turbin listrik melalui waste

155
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

heat recovery boiler. Untuk setiap DR-RK berkapasitas 350 ton/hari atau setara dengan
100.000 ton/tahun dapat dibangkitkan listrik sebesar 7 MW, sedangkan pemakaian listrik
untuk keperluan internal DR-RK hanya 1,5 MW (Prasad, 2008).

- Bijih Besi
- BatuBara Stack

Rotary Combustion Waste heat


Electorstatic
Kiln Chamber Recovery
Boiler
Pricipator

Rotary
Cooler
Steam
Generator
Magnetic
Separator

LISTRIK

BESI SPONS

Waste Recovery System

Gambar 7. Skema Pabrik Rotary Kiln dengan system pembangkit Listrik

Kemudian Tailing dari usaha Pertambangan bijih besi, batubara dan industri
baja ini menjadi pusat perhatian ketika pembuangannya dilakukan tanpa
memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut
mengandung unsur-unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal
(Pb), dan kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan
penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan:
metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing;
rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta
pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.

156
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

6. PROSPEK PENGEMBANGAN

Pabrik yang akan dibangun pada tahap pertama rotary kiln diperlengkapi
dengan pembangkit listrik memanfaatkan gas buang (off-ga s) proses reduksi.
Kapasitas yang akan dibangun pada tahap awal adalah 2 x 500 ton/hari atau
setara dengan 300.000 ton/tahun (Irvan dan Hartono, 2008). Lahan yang akan
digunakan pada tahap pertama tahun 2009 seluas 30 Ha. (hectare), tahap II tahun
2010 dilanjutkan perluasan 5 (lima) Ha. untuk membangun pabrik pig iron(smelter)
dengan produksi 250.000 ton per tahun, Pada tahun 2011 perluasan 55 Ha. untuk
peningkatan kapasitas produksi seperti pada tahap I dan II. Peningkatan 10 Ha terus
berlanjut sampai tahun 2017, kemudian tahun 2021 perluasan 80 Ha dan tahun 2025
seluas 10 Ha. Sampai terwujud Cilego mini di Kalimantan Selatan (Banjarmasin
Post, 10 Januari 2009).
Pada sebuah lokasi yang hanya mempunyai cadangan 3 juta ton sudah
dapat dibangun pabrik Rotary Kiln dengan kapasitas 350 ton/hari atau setara
dengan 100.000 ton/tahun dengan pasokan bahan baku yang terjamin selama 15
tahun. Keterbatasan pasokan listrik dapat diatasi dengan pemanfaatan gas
buang. Sebagai gambaran, setiap Rotary Kiln berkapasitas 100.000
ton/tahun mempunyai kemampuan untuk menghasilkan listrik sebesar 7
MW. Dengan kebutuhan internal untuk mengoperasikan Rotary Kiln hanya
sebesar 1,5 MW, maka terdapat akses listrik sebesar 5,5 MW dapat digunakan
untuk kepentingan industri hilir dan masyarakat di sekitar lokasi pabrik (Irvan
dan Hartono, 2008).

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit
proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang
dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada

157
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih
baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri
Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau
Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan
lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah
yang dibuang ke lingkungan.
Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi
industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di
Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah
polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta
aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri
yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis
secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam.
Tujuan utama dari sistem ekologi adalah untuk mengorganisasi sistem industri
sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri
ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada,
membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses
dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber
energi yang tidak terbarukan.

7.2. Saran
Diperlukan perencanaan yang matang agar sistem ekologi dan simbiosis
industri dapat berjalan serta penerapan program perlindungan terhadap lingkungan
melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan
dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan
pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun
dimaksud.

158
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

8. DAFTAR PUSTAKA

Banjarmasin Post, 10 Januari 2009, Halaman 2.

Deni Swantomo, Maria Christina, P., Kartini Megasari, 2007. Kajian penerapan
ekologi industri di Indonesia, Yokyakarta: Seminar Nasional III SDM
Teknologi Nuklir.

Irvan Kamal H., Hartono. 2008. Pengembangan Pabrik Besi Baja Berbahan Baku
lokal Oleh PT. Krakatau Steel (Persero). Bandung: Indonesian Process
Metalurgy.

http://www.depperin.go.id

Pramusant,dkk. 2008. Peningkatan Nilai Tambah Mineral besi di Indonesia.


Bandung: Indonesian Process Metalurgy.

Prasad, 2009, Carbon Trading Potential in Indian Sponge Iron,


http://wwvv.spongeironindia.in/GodawarrY020Power.pdf (acessed 10-01-
2009)

Tim PIBB Kalimantan. 2007. Laporan Hasil Trial bahan baku Lokal.

Yusuf, Haryono, A, 2005, Pemanfaatan Endapan Mineral (logam) Skala kecil,


Serpong: Prosiding Seminar Material Metalurgi.

159
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

BIAYA PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA

Riswan1, Adip Mustofa1

1 Staf Pengajar Teknik Pertambangan UNLAM


Email: riswan@mining-unlam.ac.id

ABSTRAK

Batubara merupakan satu dari energi alternatif dari sektor pertambangan


merupakan kegiataan usaha padat modal sehingga memerlukan penanaman modal,
pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang dilakukan seperti
perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi,
pengolahan, pemurnian serta pengangkutan/penjualan dan reklamasi. Pada studi
Kasus PT X akan diketahui contoh-contoh biaya pertambangan batubara yang
mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang dengan
tambang terbuka (open pit mining). Berdasarkan studi kelayakan SR cadangan yang
tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383 ton dengan nilai
kalori rata-rata 6998 kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%. Dari desain
tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari 1 pit yaitu
pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar bukaan
sekitar 100 meter. Besarnya biaya penambangan bergantung Stripping Ratio. Jumlah
penerimaan dipengaruhi oleh Kualitas dan harga batubara dipasaran

Kata kunci: Batubara, Biaya Pertambangan, Harga Batubara

160
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Batubara merupakan satu dari energi alternatif yang termasuk memiliki


pertumbuhan yang pesat, baik dari segi produksi maupun konsumsi. Hal ini yang
membuat industri batubara kian populer, terutama setelah kenaikan harga bahan
bakar utama, yaitu minyak bumi. Selain penggunaanya yang lebih efisien, batubara
juga tersedia dalam jumlah yang melimpah di dunia sehingga memberikan
kemungkinan untuk dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Selama kurun waktu
tahun 1997-2008, produksi dan konsumsi batubara dunia telah naik lebih dari 35%
(Asia Securities Industry Research - Sektor Batubara 2009 ), dengan kenaikan
tertinggi terjadi di wilayah Asia Pasifik.
Kegiatan usaha di Sektor Pertambangan merupakan kegiatan usaha padat
modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian
cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan ekploitasi. Resiko yang dihadapi dalam
dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik
dan resiko kebijaksanaan serta memiliki dampak negatif yang dapat menurunkan
kualitas lingkungan.
Tujuan investasi bagi para penanam modal adalah untuk mendapatkan return
on investment yang wajar, sehingga segala kebijaksanaan yang berkaitan dengan
kegiatan pertambangan baik langsung maupun tidak langsung akan sangat
mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan batubara di Indonesia.
Di samping itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas
kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajak/iuran tambang harus mampu
memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun
daerah.
Dalam usaha pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang
dilakukan seperti perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi
kelayakan, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan/penjualan.
Untuk melihat prospek cadangan batubara, dilakukan tinjauan teknis, kajian
berdasarkan aspek keuangan dan keekonomian serta aspek lingkungan. Analisis ini
dilakukan berdasarkan umur tambang dan rencana produksi.

161
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Analisis keuangan dan keekonomian dapat dilakukan berdasaran konsep aliran kas
disconto (discounted cash flow analysis) sebagai dasar analisis,komponen-komponen
biaya capital, biaya produksi, tingkat produksi batubara dan perkiraan harga jual
batubara, dimana operasi penambangan dapat dilakukan sendiri dengan peralatan
sewa atau operasi penambangan diserahkan kepada kontraktor.

2. PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN

Wewenang yang diberikan pemerintah kepada badan hukum maupun


perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan umum dikenal dengan istilah
“Kuasa Pertambangan”. Adapun bentuk perizinan untuk melakukan investasi
disektor pertambangan umum antara lain melalui Kontrak Karya (KK), yaitu
perjanjian antara investor, berbadan hukum Indonesia dengan Pemerintah untuk
mengusahakan pertambangan bahan galian mineral dalam rangka Penanaman Modal
Asing.
Sedangkan bentuk perizinan untuk pengusahaan batubara adalah melalui
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Bentuk perizinan
lainnya yang diusahakan oleh investor swasta nasional kita kenal dengan sebutan
Kuasa Pertambangan (KP) dan perizinan untuk mengusahakan bahan galian
golongan C adalah Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pasal 36 :
(1) IUP terdiri atas dua tahap:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

162
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pasal 42 (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 47 IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
dengan cara lelang.
Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hectare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP
kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling
banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

Tabel 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 Tentang


Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN


SATUAN TARIF
PAJAK
1. Penerimaan dari Pelayanan Jasa Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral
a) Jasa Pelayanan Penelusuran Informasi serta Perhitungan dan Penetapan Koordinat batas
Wilayah Pertambangan
1) Penelusuran informasi wilayah Per 15 menit Rp. 100.000,00
1) Perhitungan dan penetapan koordinat batas Per blok Rp. 10.000.000,00
wilayah dan penerbitan peta
b) Jasa Pelayanan Pemberian Peta Informasi Wilayah Pertambangan dan/atau Peta Dokumen
Perijinan
1) Peta informasi ukuran A0 Per penerbitan Rp. 1.500.000,00
2) Peta informasi ukuran A1 Per penerbitan Rp. 1.000.000,00
3) Peta informasi ukuran A3 Per penerbitan Rp. 500.000,00
4) Peta untuk lampiran dokumen perijinan Per penerbitan Rp. 1.000.000,00
(3 eksemplar)
5) Peta digital wilayah pertambangan Per penerbitan Rp. 2.000.000,00
c) Jasa Kompilasi dan Evaluasi Data Wilayah Eks Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya
(KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Ijin
Penyelidikan Pendahuluan (SIPP) serta Jasa Kompensasi prioritasnya

163
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN


SATUAN TARIF
PAJAK
Batubara (Kelas A)
1) luas wilayah ≤ 2.000 ha Per permohonan Rp. 75.000.000
2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha Per permohonan Rp. 50.000.000
3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha Per permohonan Rp. 150.000.000
4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha Per permohonan Rp. 200.000.000
5) luas wilayah > 100.000 ha Per permohonan Rp. 250.000.000
Batubara (Kelas B)
1) luas wilayah ≤ 2.000 ha Per permohonan Rp. 25.000.000
2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha Per permohonan Rp. 50.000.000
3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha Per permohonan Rp. 75.000.000
4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha Per permohonan Rp. 100.000.000
5) luas wilayah > 100.000 ha Per permohonan Rp. 150.000.000
2. Penerimaan dari Iuran Tetap/Landrent untuk Usaha Pertambangan dalam rangka
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
a) Penyelidikan Umum
1. Tahun ke I Per ha/tahun US$ 0.05
2. Tahun ke II Per ha/tahun US$ 0.10
b) Eksplorasi
1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 0.20
2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 0.25
3) Tahun ke III Per ha/tahun US$ 0.30
4) Tahun ke IV Per ha/tahun US$ 0.50
5) Tahun ke V Per ha/tahun US$ 0.70
c) Studi Kelayakan (Feasibility Study)
1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 1.00
2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 1.00
d) Konstruksi
1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 1.00
2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 1.00
3) Tahun ke III Per ha/tahun US$ 1.00
e) Eksploitasi
1) Tahap ke I untuk endapan laterit dan endapan
permukaan (surface deporsits) yang meluas Per ha/tahun US$ 2.00
lainnya
2) Tahap ke II untuk endapan primer dan endapan
Per ha/tahun US$ 4.00
aluvial-aluvial
3. Penerimaan dari Iuran Eksplorasi/Iuran Eksploitasi/Royalty untuk Usaha
Pertambangan dalam rangka Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dengan jenis
mineral/bahan galian
a) Batubara (Open Pit) dengan tingkat kalori
(Kkal/kg, airdried basis)
1) ≤5100 Per ton 3,00% dari harga jual

164
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN


SATUAN TARIF
PAJAK
2) > 5100 - 6100 Per ton 5,00% dari harga jual
3) > 6100 Per ton 7,00% dari harga jual
b) Batubara (Underground) Tingkat Kalori (Kualitas):
5) ≤5100 Per ton 2,00% dari harga jual
6) > 5100 - 6100 Per ton 4,00% dari harga jual
7) > 6100 Per ton 6,00% dari harga jual
c) Gambut Per ton 3,00% dari harga jual

Dari table diatas dapat diperkiran jumlah biaya yang dikeluarkan pada tahap
perizinan, namun karena rumitnya birokrasi dan lamanya pengurusan kadang-kadang
ada biaya-biaya yang tak terduga seperti biaya pelicin (pungutan liar) yang dapat
mencapai ± 20% dari biaya normal .
Adapun besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
 Iuran Tetap/Landrent : Pusat 20%, Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota 64%.
 Iuran Produksi/Royalty : Pusat 20%, Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil
32% dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32%.

3. PENYELIDIKAN UMUM

Penyelidikan umum ini dilakukan untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan


galian (potensi mineral). Kegiatan yang dilakukan meliputi penyelidikan geologi,
geofisika, dan geokimia di daratan, perairan dan dari udara.

4. EKSPLORASI

Penyelidikan melalui tahapan eksplorasi ini dimaksudkan untuk membuktikan


atau memastikan adanya endapan mineral dan sifat-sifatnya. Kegiatan yang
dilakukan selama eksplorasi ini lebih rinci lagi yaitu lanjutan pengukuran/pemetaan,
geo kimia, geofisika dan penggalian parit uji, pemboran serta analisis contoh/sample
batuan.

165
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 2. Jasa Teknologi Penyelidikan Umum dan Eksplorasi

1. Jasa Teknologi Konsultasi Eksplorasi Mineral, Batubara,


Panas Bumi dan Konservasi
a. Penyelidikan / Eksplorasi
1) Penyelidikan umum skala 1 : 100.000 s/d 1 : 250.000 Per km2 Rp 150.000,00
2) Eksplorasi Pendahuluan, skala 1 : 50.000 s/d 1: 100.000 Per km2 Rp 400.000,00
3) Eksplorasi Rinci, skala < 1 : 50.000 Per km2 Rp1.000.000,00
b. Pemboran ( Biaya Pengintian)
1) Mineral Logam Per meter Rp 400.000,00
2) Batubara Mineral Non Logam Per meter Rp1.000.000,00
2. Jasa Perbantuan Tenaga Ahli
a.Senior Geologist/Geophysist Per orang hari Rp 300.000,00
b. JuniorGeologist/Geophysist Per orang hari Rp 200.000,00
c. Surveyor Per orang hari Rp 175.000,00
d. Operator Mekanik Per orang hari Rp 150.000,00
e. Senior Drilling Per orang hari Rp 175.000,00
f. Junior Drilling Per orang hari Rp 150.000,00
*Sumber PP No.45 Tahun 2003

5. KAJI KELAYAKAN

Pengkajian atau evaluasi ini untuk mengkaji secara teknis dan ekonomis atas
suatu endapan bahan galian, apakah layak/ tidak untuk ditambang. Kegiatan yang
dilakukan antara lain perencanaan teknik penambangan, pengolahan/ pemurnian dan
pengangkutan, perencanaan insfrastruktur, fasilitas sosial, studi pemasaran dan
analisis keuangan. Biaya yang dipersiapkan untuk studi kelayakan ± 500 jt (relative)

Tabel 3. Rencana Biaya Studi Kelayakan


No. Alokasi Biaya Nilai %
1 Operasional Tenaga Ahli 40
2 Operasional Survey, Laboratorium dan Analisa Data 40
3 Operasional Penyusunan Laporan 5
4 Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat 5
5 Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir 5
6 Biaya Opersional Takterduga 5
Jumlah 100

166
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 4. Analisa Sample

Analisa Batubara
a) Preparasi Sampel Preparation Per sampel Rp 27.500,00
b) Proksimat/Proximate Analysis
(1) Air Lembab/ Air Dried Moisture (ASTM D. 3173/BS Per sampel Rp 50.000,00
(2) Abu/Ash (ASTM D. 3174/BS 1016 Part 3 73) Per sampel Rp 10.000,00
(3)Zat Terbang/Volatile Matter (ASTM D.3175/BS 1016
Part3/73) Per sampel Rp 15.000,00
(4)Carbon Padat / Fixed Carbon (Dengan Perhitungan/By
Difference) Per sampel Rp 25.000,00
c) Analisa Ultimat/Ultimate Analysis
(1) Carbon Total/Total Carbon (ASTM D.3178) Per sampel Rp 280.000,00
(2) Hydrogen Total/Total Hydrogen (ASTM D.3178) Per sampel Rp 70.000,00
(3) Nitrogen/Nitrogen (BS 1016 Part 677) Per sampel Rp 70.000,00
(4) Belerang Toatal/Sulfur Total (ASTM D.3177/BS 1015
Part 677) Per sampel Rp 70.000,00
(5) Oksigen/Oxygen (Dengan Perhitungan/By Difference) Per sampel Rp 70.000,00
d) Nilai Kalor / Calorivic Value (ASTM D.3286 atau D.2015) Per sampel Rp 50.000,00
e) Bentuk Belerang/Form of Sulfur
(1) Belerang Sulfat/Sulphate Sulphur Per sampel Rp 120.000,00
(2) Belerang Pirit/Pyritic Sulphur (ASTM D 2492/BS
1016 Part 11 77) Per sampel Rp 50.000,00
(3) Belerang Organik / Organic Sulphur (Dengan
Perhitungan/By Difference) Per sampel Rp 70.000,00
f) Khlor/Chiorine (BS 1016 Part 8 77) Per sampel Rp 75.000,00
g) Carbon Dioksida/Carbon Dioxide (BS 1016 Part 6 77) Per sampel Rp 70.000,00
h) Sifat Ketergerusan / Hardgrove Grindability Index (ASTM
D.409) Per sampel Rp 70.000,00
i)Nilai Muai Bebas / Free Sweelling Index (ASTM D.720) Per sampel Rp 20.000,00
j)Berat Jenis sesungguhnya / true Specific Gravity) Per sampel Rp 15.000,00
k)Relative Density Per sampel Rp 15.000,00
l) Bulk Density Per sampel Rp 20.000,00
m) pH Per sampel Rp 10.000,00
c) Petrografi Batubara
(1) Analisa Maseral Per sampel Rp 200.000,00
(2) Pengukuran Reflektan Per sampel Rp 100.000,00
(3)Analisa Titik Leleh Abu Batubara Per sampel Rp 200.000,00
*Sumber PP No.45 Tahun 2003

6. KAJI AMDAL (ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN)

Kajian lingkungan ini bahagian kaji kelayakan (feasibility study) khusus untuk
mengkaji dan mengamati keadaan fisik-kimia, biologi dan sosial dan ekonomi
budaya suatu wilayah yang diperkirakan terkena dampak kegiatan usaha
pertambangan yang direncanakan. Termasuk dalam kajian AMDAL ini adalah

167
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan


(RPL). Biaya yang dipersiapkan ± 300 jt (relative)

Tabel 5. Rencana Biaya Mengenai Analisis Dampak Lingkungan

No. Alokasi Biaya Nilai %


1 Operasional Tenaga Ahli 30
2 Operasional survey, Laboratorium dan Analisa Data 40
3 Operasional Penyusunan Laporan AMDAL 10
4 Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat Komisi AMDAL 5
5 Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir 10
6 Biaya Opersional Takterduga 5
Jumlah 100

7. KONSTRUKSI

Tahapan usaha ini dimaksudkan untuk persiapan ekploitasi/ produksi meliputi


pekerjaan pembebasan lahan, penyiapan peralatan, pembangunan infrastruktur,
pengupasan tanah penutup, pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian dan tempat
penimbunan.

8. EKSPLOITASI

Eksploitasi merupakan tahapan usaha pertambangan usaha yang dimaksudkan


untuk menghasilkan/ produksi batubara dan memanfaatkannya.

9. PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN

Tahapan pengolahan dan pemurnian ini dimaksudkan untuk mempertinggi


mutu batubara dan memanfaatkannya.

168
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

10. PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN

Tahapan ini merupakan usaha pemindahan dan penjualan bahan galian ini dari
hasil tempat pengolahan/ pemurnian atau dari daerah eksplorasi untuk dijual
kepasaran (konsumen).

Economic Review ● No. 214 ● Desember 2008

Gambar 1. Perkembangan dan Proyeksi Harga Batubara Dunia

11. REKLAMASI

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan


lahan yang terganggu sebagai akibat usaha, agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai peruntukkannya.
Secara umum yang harus diperhatikan dandilakukan dalam
merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan darikegiatan
pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam
tambang,pengaturan drainase, dan tataguna lahan pascatambang.

169
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 6. Rencana Biaya Reklamsi


No. Alokasi Biaya Nilai %
1 Rekontruksi Tanah 40
2 Revegetasi 40
3 Penanganan Potensi Air Asam Tambang 10
4 Pengaturan Drainase 10
Jumlah 100

12. STUDI KASUS PADA PT. X

PT. X mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang
dengan tambang terbuka (open pit mining). Berdasarkan studi kelayakan SR
cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383
ton dengan nilai kalori rata-rata 6998kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%.
Dari desai tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari
1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar
bukaan sekitar 100 meter. Dalam kegiatan penambangannya dibagi menjadi 2 blok
dengan panjang masing-masing blok 500 meter.

Tabel. 7. Rencana Produksi Pertahun


Produksi
SR
Tahun Lokasi Batubara
Tanah Penutup (bcm) (bcm/ton)
(Ton)
1 Blok 1 350.00 3.150.000 9
2 Blok 2 307.382 2.437.747 7,93
Total 657.383 5.587.747 8,5

Waktu kerja operasi penambangan yang mencakup kegiatan penggalian,


pemuatan dan pengangkutan direncanakan 2 shift/hari, dan 8 jam/shift. Jam kerja
effektif per tahun sebagai berikut:.

170
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel. 8. Rencana Jam Kerja Pertahun


JAM KERJA SATUAN SATUAN
Jumlah hari/tahun 365 hari
-Hari Minggu 52
-Hari Libur Nasional 15
Jumlah kalender kerja/tahun 299 hari
Shift/hari 2
Jam kerja/shift 8
Total jam kelender/tahun 4.784 Jam
Kehilangan jam kerja yang derencanakan
-Istirahat makan 0,75 Jam/hari 224,25 Jam
-Pertukaran shift 0,25 Jam/hari 74,75 Jam
-Persiapan 0,25 Jam/hari 52 Jam
-Shalat Jum'at 1 Jam/tahun 425,75 Jam
Total Kehilangan Jam Kerja
4358 Jam
Direncanakan
Jumlah jam kerja yang tidak
Jam
direncanakan
Kehilangan jam kerja yang derencanakan Jam
-Faktor hujan 15% 653,7 Jam
-Lain - lain 5% 217,9 Jam
Jam Kerja efektif 3.486
Ketersediaan mekanis 90%
Jam kerja alat efektif/tahun 3.138 Jam

Penambangan akan dilakukan sendiri dengan kondisi sebagai berikut:


1) Pengadaan peralatan tambang utama, dengan sistem sewa 1 jam termasuk
biaya bahan bakar
2) Perawatan dan penggantian peralatan tambang utama dilakukan oleh pihak
pemilik alat

171
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3) Investasi dilakukan pada beberapa peralatan dan fasilitas penunjang


4) Peke jaan di crushing plant diserabkan pada pihak kontraktor.
5) TransportasiIHauling baiubara tambang menuju crushing plan dan pelabuhan
di kontrakan
6) Penanganan batubara di pelabuhan sampai ke dalam tongkang di kontrakan
Apabila akan dilakukan penambangan sendiri maka total investasi untuk
keseluruhan aktivitas penambangan selama 2 tahun adalah sebesar US$ 770.651.
Perincian biaya proyek hingga tahun ke -2 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perkiraan Pembiayaan Proyek Tahun 0-1(US$)

NO DESKRIPSI TAHUN-0 TAHUN-1 TOTAL


1 Pre-development 613.691 613.691
2 Fasilitas camp 21.960
3 peralatan utama
4 Peralatan pendukung 135.000
5 Peralatan stockpile
6 Kendaraan
7 Modal kerja 802.325
Total 770.651 802.325 1.572.976

Investasi Bangunan Fasilitas Camp dilakukan pada tahun awal


penambangan adalah sebesar US$ 21.960 termasuk utility dan perlengkapan
bangunan. Adapun perincian investasi bangunan dan infrastruktu pada awal
tahun ditampilkan pada table 10.
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk mendukung operasi sesuai dengan
rancangan tambang yang biasa, maka untuk staf administrasi jumlahnya relatif tetap
selama umur penambangan, sedangkan untuk staf yang terlibat dalam operasi
penambangan langsung jumlahnya disesuaikan dengan peningkatan kebutuhan
sejalan dengan meningkatnya kapasitas penambangan. Jumlah tenaga kerja yang
diperlukan besera kualifikasi selama umur penambangan.

172
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 10. Perkiraan Investasi Fasilitas Tambang (US$)

BIAYA JUMLAH
NO DESKRIPSI SATUAN VOLUME
(US$) (US$)
1 Bengkel unit 1 3.500 3.500
2 Gudang unit 1 3.500 3.500
3 Instalasi Listrik unit 1 2.100 2.100
4 Penyimpanan Solar unit 1 2.000 2.000
5 Penyimpanan Bensin unit 1 2.000 2.000
6 Instalasi Air unit 1 850 850
7 Perlengkapan Kantor unit 1 8.000 8.000
8 Kantor Satpam unit 1 1.500 1.500
Total Fasilitas Tambang 23.450

Upah tenaga kerja dihitung berdasarkan upah tahunan rata-rata selama 12


bulan. Upah Tahunan belum temasuk cuti tahunan, bonus dan insentif lainya.
Besarnya biaya cuti tahunan, bonus dan insentif lainya dihitung dalam biaya jaminan
sosial. Besarnya upah tenaga kerja diberikan pada table 11.

Tabel 11. Perkiraan Upah Tenaga (US$)

No DESKRIPSI JUMLAH ANNUAL RATE TAHUN


a. Management 1 2
1 General manager 1 20.000 20.000 20.000
2 Mine manager 1 15.000 15.000 15.000
3 Production superintendent 1 12.500 12.500 12.500
4 Maintenance & logistic support manager 1 10.000 10.000 10.000
5 Personel & safety manager 1 10.000 10.000 10.000

6 Financial & administration manager 1 10.000 10.000 10.000


7 Secretary 1 1.800 1.800 1.800
sub total I 7 79.300 79.300 79.300
b. Personel & safety
1 HRD personil 2 3.600 3.600 3.600
2 Safety officer 1 2.000 2.000 2.000
3 Secretary 1 1.800 1.800 1.800
4 Security guard 4 14.400 14.400 14.400
sub total II 8 21.800 21.800 21.800

173
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No DESKRIPSI JUMLAH ANNUAL RATE TAHUN


c. Engineering
1 Mine engineer 1 10.000 10.000 10.000
2 Project engineer 1 6.000 6.000 6.000
3 Geologist 1 6.000 6.000 6.000
4 Computer analyst 1 4.000 4.000 4.000
5 Technician drafting 1 2.000 2.000 2.000
6 Surveyor 3 10.800 10.800 10.800
7 Secretary 1 1.800 1.800 1.800
8 Clerk 1 1.000 1.000 1.000
sub total III 10 41.600 41.600 41.600
d. Financial & administration
1 Accountant 1 4.000 4.000 4.000
2 Secretary 1 1.800 1.800 1.800
3 Clerk 1 1.000 1.000 1.000
sub total IV 3 6.800 6.800 6.800
e. Production
1 General foreman 1 5.000 5.000 5.000
2 Foreman 2 7.000 7.000 7.000
3 sr. Equipment operator 52 124.800 124.800 124.800
4 Light equipment operator 11 19.800 19.800 19.800
5 Unskilled labour 4 4.000 4.000 4.000
sub total V 70 160.600 160.600 160.600
f. Maintenance & logistic
1 Warehouse & purchasing supervisor 1 2.400 2.400 2.400
2 Warehouse person 2 3.600 3.600 3.600
3 Mechanic 1 4.500 4.500 4.500
4 Electrician 1 1.800 1.800 1.800
5 Welder 1 1.800 1.800 1.800
6 Skilled wleder 1 1.200 1.200 1.200
7 Unskilled labour 2 2.000 2.000 2.000
sub total VI 9 17.300 17.300 17.300
Total 107 327.400 327.400 327.400

Biaya produksi dibedakan menjadi biaya produksi langsuug dan biaya produksi tidak
langsung. Biaya produksi langsung dibedakan menjadi biaya penanganan tanah
penutup, biaya penanganan batubara dan biaya land clearing. Biaya ini dihitung
berdasarkan biaya operasi alat-alat tambang yang terlibat langsung pada ketiga
kegiatan tersebut. Biaya produksi tidak langsung terdiri dari biaya-biaya operasi

174
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

peralatan pendukung stockpile, kendaraan, dan tenaga kerja pendukung yang terlibat
didalam proyek.

Tabel 12. Komponen BiayaPenambangan (US$)


AKTIVITAS BIAYA SATUAN
Penambangan batubara 0,33 US$/Ton
Pengupasan tanah penutup* SR 8,5
12,47 US$/Ton
(1,47 US$/Bcm)
Pengangkutan batubara (include fee) 8,5 US$/Ton
Pengolahan (crushing plant) 1,32 US$/Ton
Penanganan batubara (pelabuhan) 4,5 US$/Ton
Lingkungan 0,26 US$/Ton
Pembebasan Lahan 0,4 US$/Ton
Royalti 2,78 US$/Ton
Total 30,55 US$/Ton

Berdasarkan analisis kualitas batubara, batubara yang akan ditambang dapat


dijual seharga US$ 37 US$/ton di Pelabuhan. Berdasarkan rencana produksi, maka
dapat di proyeksikan besarnya penerimaan penjualan batubara dengan eskalasi 3%
seperti berikut:

Tabel 13. Perkiraan Penerimaan (US$)

TAHUN PENJUALAN BB (TON) PENDAPATAN (US$)

1 335.000 12.766.850

2 322.382 12.654.557

TOTAL 657.382 25.421.407

13. KESIMPULAN

1. Besarnya biaya penambangan bergantung Stripping Ratio


2. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh Kualitas dan harga batubara dipasaran

175
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

14. DAFTAR PUSTAKA

Asia Securities Industry Research - Sektor Batubara 2009 . PT. ASIA


KAPITALINDO SECURITIES Tbk

Economic Review ● No. 214 ● Desember 2008


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi
Dan Sumber Daya Mineral

Studi Kelayakan PT. X

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan


Mineral Dan Batubara

176
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

PERHITUNGAN SUMBERDAYA POTENSI BAHAN GALIAN


BIJIH BESI DI BUKIT BATU HITAM, KEC. MENTHOBI RAYA
DAN KEC. SEMATU JAYA,KAB. LAMANDAU,
KALIMANTAN TENGAH

Uyu Saismana

Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, UNLAM, Banjarbaru,


Indonesia

ABSTRAK
Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini.Karakter dari endapan
besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali ditemukan
berasosiasi dengan mineral logam lainnya.Kadang besi terdapat sebagai kandungan
logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.Endapan
besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limonite dan siderite.
Inventarisasi bijih besi dimaksudkan untuk mendapatkan data cebakan besi primer
agar dapat mengetahui secara pasti tata letak serta sebarannya secara lateral dan
untuk mendapatkan data dari lokasi lain yang memungkinkan dapat dikembangkan
lebih lanjut. Lokasi inventarisasi cebakan besi primer adalah wilayah Kec.Menthobi
Raya dan Kec.Semanu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kec. Bulik Kabupaten
Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.Metodologi penelitian yang dilakukan
adalah pengumpulan data sekunder dan pengukuran langsung posisi cebakan besi
yang sudah diketahui dari berbagai literatur yang ada untuk mengetahui
kedudukannya secara tepat menggunakan Global Positioning System (GPS) dan
melacak penyebarannya secara lateral serta pengambilan conto bijih besi untuk
dilakukan analisis kimia.Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah
Formasi Kuayan (TRvk) yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar
Pangkalanbuun, Kalimantan. Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai
wilayah penelitian seluas 12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam. Sumberdaya bijih besi
pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan densitas bijih besi 2,4
ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton. Kualitas sample bahan galian
bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 –
18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3: < 0,01 – 0,05%

Kata kunci: Bijih Besi, Hematite, Lamandau, Sumberdaya, Kualitas.

177
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. LATAR BELAKANG

Secara geologi Indonesia merupakan negara yang terletak di sepanjang


tumbukan Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo-Australia, sehingga dapat dikatakan
bahwa wilayah Indonesia sangatlah potensial sebagai wilayah pembentukan bahan
galian tambang.Salah satu wilayah Indonesia yang banyak memiliki kekayaan alam
berupa bahan galian tambang adalah Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan
Tengah.Bahan galian yang dijumpai di daerah penelitian adalah bahan galian bijih
besi.
Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini.Karakter dari
endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali
ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya.Kadang besi terdapat sebagai
kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis
tinggi.Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limonite
dan siderite. Kadang kala dapat berupa mineral: pyrite, pyrhotite, marcasite, dan
chamosite.
Besi bersifat keras, rapuh, dan umumnya mudah dicampur, dan digunakan
untuk menghasilkan alloy lainnya, termasuk baja seperti yang dikatakan sebelumnya.
Besi tempa yang mengandung kurang dari 0,1% karbon, sangat kuat, dapat dibentuk,
tidak mudah bercampur dan biasanya memiliki struktur berserat. Baja karbon adalah
alloy besi dengan sedikit Mn, S, P, dan Si. Alloy baja adalah baja karbon dengan
tambahan seperti nikel, krom, vanadium dan lain-lain. Besi relatif murah, mudah
didapat, sangat berguna dan merupakan logam yang sangat penting sehingga sampai
saat ini telah dilakukan banyak cara untuk mendapatkan besi dari alam.
Inventarisasi bijih besi di daerah ini dimaksudkan untuk mendapatkan data
cebakan besi primer agar dapat mengetahui secara pasti tata letak serta sebarannya
secara lateral dan untuk mendapatkan data dari lokasi lain yang memungkinkan dapat
dikembangkan lebih lanjut.
Lokasi inventarisasi cebakan besi primer adalah wilayah Kec.Menthobi Raya
dan Kec.Semanu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kec. Bulik Kabupaten

178
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara umum lokasi penyelidikan dapat


dicapai melalui beberapa route, diantaranya adalah:
1. Banjarmasin – Pangkalan Bun, menggunakan pesawat terbang dengan waktu
tempuh 2 jam.
2. Pangkalan Bun – Nanga Bulik, dapat menggunakan transportasi darat dengan
lama perjalanan 2,5 jam, transportasi sungai menyusuri Sungai Arut dan
Sungai Lamandau ditempuh selama 2,5 - 3 jam.
3. Nanga Bulik – Lokasi Penelitian, menggunakan jalan darat roda 4 selama 45
menit, dari Nanga Bulik – Simpang Ketek – Simpang Oyong – Bukit Batu
Hitam.
Lokasi penelitian seluas 12,13 Hektar dan terletak di Kecamatan Menthobi
Raya dan Sematu Jaya Kabupaten Lamandau, dengan koordinat sebagai berikut:

Tabel1.Koordinat Batas Daerah Penelitian

Bujur Timur Lintang Selatan


No.
o
„ “ o
„ “
1 111 32 32 2 10 2

2 111 32 32 2 7 26

3 111 32 48 2 7 26

4 111 32 48 2 10 2

2. PERUMUSAN MASALAH

Dengan dijumpainya bahan galian bijih besi maka perlu dilakukan kegiatan
eksplorasi untuk mengetahui bagaimana geologi regional dan lokal, penentuan
daerah yang potensial, perhitungan sumberdaya dan kualitas bijih besi yang ada
dijumpai di daerah penelitian.

179
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini untuk menentukan kondisi geologi regional dan lokal
daerah penelitian, melineasi daerah yang potensial bahan galian bijih besinya,
menghitung sumberdaya bijih besi, dan mengetahui kualitas bahan galian bijih besi
yang terdapat di daerah penelitian.

4. METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data sekunder dan


pengukuran langsung posisi cebakan besi yang sudah diketahui dari berbagai literatur
yang ada untuk mengetahui kedudukannya secara tepat menggunakan Global
Positioning System (GPS) dan melacak penyebarannya secara lateral serta
pengambilan conto bijih besi untuk dilakukan analisis kimia.
Penyelidikan secara khusus untuk bijih besi di kedua kabupaten tersebut jarang
dilakukan tetapi penyelidikan di daerah sekitarnya telah dilakukan oleh beberapa
peneliti yaitu: Weltevreden (1921) mempelajari bijih besi di Kalimantan, R.W. Van
Bemelen (1949) mempelajari geologi dan mineralisasi di Indonesia, Direktorat
Geologi bekerjasama dengan JICA-MMAJ (1979) melakukan Survey Geologi di
Kalimantan Tengah, Steve Bugg, dkk., (1998) melakukan peninjauan di daerah
Kuala Kurun, Kalimantan Tengah, PT. Tebolai Seng Pertiwi (1991) melakukan
eksplorasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dan Kabupaten Lamandau,
Nila E.S, dkk., (1995) melakukan pemetaan geologi Lembar Palangkaraya sekala 1 :
250.000, Direktorat Sumberdaya Mineral bekerjasama dengan KOICA-KIGAM
(1999) melakukan pemetaan geologi di Kuala Kurun, Kalimantan Tengah dan Rio
Tinto Borneo Investment Pte. Ltd (2005) melaksanakan kegiatan eksplorasi mineral
logam di daerah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

180
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. GEOLOGI

5.1. Geologi Regional

Kepulauan Indonesia bagian Timur, umumnya sangat dipengaruhi oleh


tumbukan Lempeng Pasifik, Lempeng India, Australia dan Lempeng Eurasia yang
relatif lebih intensif (Gambar 1).Benturan intensif tersebut menyebabkan daerah ini
menjadi salah satu daerah yang sangat dinamis dan memberikan berbagai ragam
bahan tambang. Berdasarkan tatanan tektonik Kalimantan, wilayah penyelidikan
termasuk di dalam Schwaner Mountain (Herman Darman & F. Hasan Sidi, 2000)
yang didominasi oleh tubuh batolit tonalit – granodiorit dan sebagian kecil batuan
basa serta intrusi granit yang menyebabkan regional metamorphism.
Tektonostratigrafi Pulau Kalimantan dibentuk oleh paparan sedimen Paleozoikum –
Mesozoikum, batuan gunung api yang diterobos oleh batuan granit kapur yang
merupakan bagian dari lempeng benua/Paparan Sunda.
Zona penunjaman telah terbentuk, unsur-unsurnya terdiri dari perlipatan dan
pensesaran pada batuan sedimen turbidit, ofiolit dan melange berumur Kapur –
Eosen. Pada Oligosen Akhir – Miosen Awal, terjadi kegiatan magmatik di bagian
Barat, Tengah, dan Timurlaut Kalimantan, sedangkan di bagian Tengahnya terbentuk
zona cebakan emas yang berasosiasi dengan batuan gunung api atau terobosan
batuan subvulkanik bersusunan andesitik. Kegiatan magmatisme masih berlanjut
hingga akhir Miosen, sedangkan yang lebih muda terjadi pada Plio–Pleistosen.
Tiga kegiatan orogenesa yang mempengaruhi geologi Pulau Kalimantan adalah
orogenesa Kalimantan bagian Tengah, orogenesa jalur Meratus, dan orogenesa
Sabah.
Dari interpretasi foto udara, struktur yang berkembang di bagian tepi Timurlaut
Paparan Sunda dengan batuan dasar Pra–Tersier menunjukkan arah kelurusan
strukturnya berpola Timurlaut – Baratdaya, hingga Utara – Selatan, sedangkan di
bagian Timur Cekungan Melawi berkembang struktur sinklin dengan arah sumbu
Timur – Barat dan kelurusan struktur berarah Baratlaut – Tenggara.
Daerah penyelidikan, berdasarkan tatanan geologi tersebut di atas, terletak
pada kratonik busur magmatik Tengah Kalimantan berumur Neogen, yang bertindak

181
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

sebagai sumber mineralisasi, secara umum dapat disebutkan bahwa mineralisasi


logam terdapat pada batuan beku berkomposisi asam sampai sedang yang menerobos
batuan sedimen Pra-Tersier.

Gambar1. Magnetisasi sebagai fungsi medan yang dikenakan.

5.2. Geomorfologi Regional

Morfologi wilayah Kabupaten Lamandau didominasi oleh morfologi dataran


(dataran pantai – rawa-rawa) dengan ketinggian antara 0 – 27 meter di atas
permukaan air laut (dpl).Dengan kemiringan lereng 0 – 28%, sebagian daerah ini
terutama ada di daerah bagian Utara yang merupakan morfologi perbukitan dengan
ketinggian maksimum 336 meter dpl. Berdasarkan klasifikasi Satuan Morfologi Van
Zuidamm, secara garis besar daerah penyelidikan dapat dikelompokkan menjadi 3
satuan morfologi, yaitu :

182
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. Satuan Endapan Aluvial, Satuan morfologi terdapat di bagian Timur wilayah


penyelidikan dan menempati area sebesar 15% dari seluruh luas wilayah
penyelidikan, dengan arah penyebaran Utara – Selatan. Ketinggian berkisar
antara 5 – 8 meter di atas permukaan laut.
2. Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, terdapat di bagian Tengah - Timur
area seluas 50% dari total wilayah penyelidikan dengan arah penyebaran
Timurlaut – Baratdaya. Dengan ketinggian berkisar antara 10 – 57 meter di
atas permukaan laut.
3. Satuan Perbukitan Bergelombang Sedang, terdapat di bagian tengah wilayah
penyelidikan dan menempati area sekitar 35% dari total luas wilayah
penyelidikan dengan arah penyebaran Timurlaut – Baratdaya. Ketinggian
sekitar 57 -336 meter di atas permukaan laut.

5.3. Stratigrafi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun, skala 1 : 250.000 Tahun


1994, secara umum stratigrafi wilayah pengamatan disusun oleh kelompok batuan
berumur Trias Akhir – Kapur Tengah dari satuan batuan malihan (metasediment) dan
satuan batuan gunung api andesitik–riolitik. Kedua satuan batuan tersebut diterobos
oleh granit, granodiorit, dan gabro berumur Kapur Akhir yang kemudian ditutup oleh
kelompok batuan gunung api Tersier Awal (Gambar 2).
Secara umum satuan batuan/ formasi yang dijumpai pada daerah penyelidikan
dari yang termuda sampai yang tertua adalah :
1. Formasi Kuayan, terdiri dari breksi tak terpisahkan, lava, dasit, riolit, andesit
dan tufa. Formasi ini merupakan batuan tertua yang tersingkap di lembar
Pangkalan Bun. Formasi batuan ini pada umumnya mengalami pelapukan
lanjut dan diperkirakan berumur Trias. Di daerah peninjauan formasi batuan ini
yang tersebar di lapangan.
2. Formasi Kuayan, terdiri dari breksi tak terpisahkan, lava, dasit, riolit, andesit
dan tufa. Formasi ini merupakan batuan tertua yang tersingkap di lembar
Pangkalan Bun. Formasi batuan ini pada umumnya mengalami pelapukan

183
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

lanjut dan diperkirakan berumur Trias. Di daerah peninjauan formasi batuan ini
yang tersebar di lapangan.
3. Granit Mandahan,terdiri dari granit, graniot biotit dan diorit. Satuan batuan ini
menerobos batuan gunung api yang lebih tua (Formasi Kuayan), dan
diperkirakan terbentuk pada waktu terjadinya pengangkatan pada zaman Kapur
Akhir.
4. Batuan Gunung Api Kerabai, terdiri dari tuf, breksi tufan, lava, batupasir
kuarsa tufan, dan batulempung tufan. Setempat dijumpai lapisan tipis karbon,
dengan struktur perarian silangsiur. Satuan ini merupakan kelanjutan dari
Batuan Gunung Api Kerabai pada Lembar Kendawangan yang diperkirakan
berumur Kapur Akhir – Paleosen.
5. Formasi Dahor, terdiri dari konglomerat, batupasir dan perselingan lempung
yang mengandung sisipan lignit dengan lingkungan pengendapan peralihan,
tebal formasi sekitar 500 meter, berumur Miosen Tengah – Plioplistosen.
6. Endapan Rawa, terdiri dari gambut, lanau pasiran dan sisipan pasir, lempung
kaolinitan dan sisa tumbuhan.
7. Aluvium, terdiri dari lempung, pasir, kerikil, kerakal, bongkah, dijumpai
sebagai endapan sungai dan pantai.
Secara umum satuan batuan/formasi yang dijumpai pada daerah penyelidikan
dari yang termuda sampai yang tertua adalah :
1. Endapan Aluvial (Qa)
Tersusun atas material lepas lempung, lanau, pasir dan kerikil.Terbentuk pada
kisaran umur Holosen.Pola penyebaran satuan batunan ini mengikuti pola
aliran sungai di wilayah penyelidikan.
2. Formasi Kuayan (TRvk)
Tersusun atas breksi gunung api, lava, dasit, riolit, andesit, dan tuf. Terbentuk
pada kisaran umur Jura Awal – Tengah, terdapat hampir di seluruh wilayah
penyelidikan dengan luas sekitar 4.700 Hektar.

184
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5.4. Struktur Geologi

Struktur geologi secara regional menunjukkan bahwa batuan menunjukkan


tanda-tanda fase deformasi, proses magma dan metamorfosa yaitu:
1. Deformasi dan metamorfosa regional pada Perm-Trias Akhir.
2. Intrusi granit pada Jura Akhir.
3. Intrusi granit yang disertai metamorfosa termal (Kapur Awal).
4. Intrusi granit yang disertai metamorfosa termal (Kapur Akhir), pengangkatan
regional dan vulkanisme yang menerus sampai Paleosen.
5. Sumbat gunung api pada Oligosen – Miosen.
Tonalit Sepauk merupakan batuan yang secara genesa berhubungan dengan
dua proses magmatisme pada Jaman Kapur. Batuan ini juga diperkirakan berkorelasi
dengan peristiwa magmatisme tepi benua melalui zona penunjaman yang miring ke
selatan.
Granit Sukadana merupakan retas dan sill mafik dan felsik yang setempat –
setempat menerobos batuan beku yang berumur Kapur Atas dan/ atau yang lebih tua
lagi.Retas dan sill ini kemungkinan merupakan pemasok bahan untuk batuan
Gunungapi Kerabai dan Basal Bunga.
Seluruh proses magmatis Kapur – Paleosen ini mencerminkan suatu transisi
dari rezim tektonik kompresi yang terjadi selama intrusi granit yang berhubungan
dengan penunjaman Kapur Bawah menuju rezim tektonik regangan yang
berlangsung selama masa magmatis akhir, yaitu selama Oligo-Miosen. Struktur yang
mengontrol di daerah ini nampak jelas pada kelurusan di foto udara.
Struktur geologi hasil interpretasi dan pengamatan lapangan yang dilakukan
umumnya berupa kelurusan yang diduga sebagai struktur patahan berarah Baratlaut –
Tenggara dan Barat – Timur. Struktur patahan ini berkembang pada satuan batuan
malihan (metasediment), satuan batuan gunung api andesitik–riolitik dan juga
berkembang pada batuan terobosan, artinya patahan-patahan tersebut terbentuk baik
sebelum maupun sesudah terjadinya proses terobosan.

185
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Secara umum struktur geologi yang berkembang di daerah penyelidikan adalah


berupa kelurusan yang beberapa diantaranya dapat teramati pada pola aliran sungai
di daerah penyelidikan.

Gambar 2 .Korelasi Formasi Batuan di Lokasi Penelitian (Hermanto dkk, 1994)

5.5. Geologi Lokal

Wilayah penyelidikan merupakan daerah dengan singkapan batuan yang


berumur tua.Secara umum kondisi batuan sudah mengalami pelapukan yang intensif,
sehingga tubuh batuan menjadi lunak. Litologi yang ditemui antara lain: lava, tuff,
dan riolit yang membentuk breccia structure. Batuan yang dijumpai dalam keadaan
segar hanya lava, dengan warna abu-abu, fanerik halus, vesikuler yang dicirikan

186
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

bekas lubang gas. Dari segi indeks warna, lava yang ditemui masuk dalam batuan
beku asam – intermediet.
Secara megaskopis tuff dijumpai banyak mengandung butiran mineral kuarsa,
berwarna putih.secara umum dijumpai pada kedalaman antara 200 – 300 cm di
bawah permukaan, setempat dijumpai berwarna merah karena pengaruh oksidasi.
Blok Bukit Hitam diasumsikan sebagai bukit yang dibentuk oleh litologi siliceous
tuff, yaitu batuan vulkanik yang didominasi oleh tuff yang mengandung mineral
kuarsa.
Morfologi Bukit Batu Hitam merupakan suatu bentukan morfologi
bergelombang sedang, memiliki elevasi antara 67 – 110 meter di atas permukaan laut
dengan kemiringan lereng antara 10% - 20%.

Gambar3.Struktur geologi regional pulau Kalimantan

187
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

6. HASIL PENELITIAN

Indikasi cebakan bijih besi primer berdasarkan data yang ada di Kabupaten
Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, dicirikan oleh adanya bongkah bijih
berbagai ukuran pada puncak bukit, salah satu diantaranya adalah Bukit Batu Hitam
yang menjadi fokus wilayah penyelidikan. Secara geologi daerah ini memberikan
kemungkinan adanya kandungan mineral bijih besi yang cukup potensial berdasarkan
data-data batuan induk, proses magmatisme purba, serta proses mineralisasi dan
alterasi.
Berdasarkan data kegiatan eksplorasi survey lapangan, yang telah dilakukan
terdapat 67 titik bor dengan kedalaman antara 50 – 60 meter dengan jarak antara 500
– 1000 meter. Telah dibuat 67 titik sumur uji dengan dimensi 1 x 4 x 3 meter.Telah
dibuat parit uji sebanyak 8 titik dengan dimensi 20 x 1 x 3 meter.
Ciri–ciri endapan yang terdapat di Bukit Hitam adalah berwarna hitam dan
sebagian berwarna coklat kekuningan akibat adanya oksidasi.Terdapat tufa yang
sebagian telah mengalami pelapukan.
Jenis Bahan galian yang akan ditambang berupa bahan galian bijih besi yang
sebagian masih bersifat masif dalam hal ini bijih besi high magnetism dan sebagian
telah berubah menjadi hematite dan limonite. Bijih besi dapat digunakan sebagai
pelapis logam maupun rangka logam pada industri elektroplatting.Sehingga perlu
kualitas yang memadai.Keterdapatan mineral Fe dalam sample yang dianalisa,
terdapat bijih besi dengan kualitas tinggi yang mencapai kadar 63,27%. Berdasarkan
uji kualitas laboratorium, dapat ditunjukkan kandungan mineral seperti pada Tabel 2.
Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya adalah dengan
menggunakan metode contour yaitu dengan asumsi ketebalan dan kadar bijih besi
mengecil dari tengah ke tepi cebakan. Koordinat daerah prospeksi dapat dilihat pada
Tabel 3.
Hasil perhitungan adalah hasil dari penemuan singkapan yang dikorelasikan
dengan bentuk morfologi dari topografi serta hasil dari test pit, trenching pit maupun
hasil dari pemboran yang dilakukan dengan radius 500 meter.

188
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Perhitungan sumberdaya dihitung dari kontur 105 m sampai dengan 50 m


dimana volume yang diperoleh dari perhitungan sumberdaya adalah 1.213.095,8389
m3. Densitas bijih besi 2,4 ton/m3, jadi 2,911,430.01 ton.

Tabel 2. Koordinat Batas Daerah Penelitian

No. Parameter Unit %


1 Al2O3 % wt 2,75-29,54
2 CaO % wt 0,01-1,39
3 Cr2O3 % wt <0,01-0,06
4 Fe2O3 % wt 6,01-90,48
5 Fe Total % wt 4,20-63,27
6 K2O % wt 0,02-452
7 MgO % wt <0,01-0,57
8 MnO % wt <0,01-18,36
9 Na2O % wt <0,01-0,96
10 P2O5 % wt 0,03-0,11
11 SiO2 % wt 3,15-57,42
12 TiO2 % wt 0,15-1,35
13 V2O5 % wt <0,01-0,05

Tabel 3. Koordinat Daerah Prospeksi


No. mT mU

1 566,767.32 9,763,946.96

2 566,898.88 9,763,946.96

3 566,900.01 9,763,853.96

4 566,767.32 9,763,851.69

189
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

7. PENUTUP

1. Lokasi Studi termasuk ke wilayah Kecamatan Menthobi Raya dan Sematu Jaya
yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau,
Kalimantan Tengah.
2. Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah Formasi Kuayan (TRvk)
yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun,
Kalimantan.
3. Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai wilayah penelitian seluas
12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam.
4. Sumberdaya bijih besi pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan
densitas bijih besi 2,4 ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton.
5. Kualitas sample bahan galian bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe
total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 – 18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3:
< 0,01 – 0,05%.

8. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Selayang Pandang Kabupaten Lamandau,Pemerintah Kabupaten


Lamandau, Nanga Bulik,

Bemmelen van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Volume II, Economic
Geology, Special Edition of the Bureau of Mines, Indonesian Government
Printing Office, The Hague, Indonesia,

Hermanto, B., Bachri S., dan Atmawinata, S., 1994, Peta Geologi Lembar
Pangkalanbuun, Kalimantan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung,

Widodo W., 2006,Inventarisasi Endapan Endapan Besi Primer, Kabupaten


Kotawaringin Barat dan Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah ,
Pusat Sumberdaya Geologi, Bandung.

190
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

191
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 5. Peta Kontur Lokasi Daerah Penelitian

192
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 6.Zooming Peta Lokasi Wilayah Kajian

193
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 7. Bongkahan Bijih Besi

Gambar 8. Singkapan Bijih Besi yang dijumpai di Lokasi Penelitian

194
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 9. Lokasi Penelitian Bukit Batu Hitam

Gambar10. Keterdapatan Bijih Besi di Lokasi Penelitian

195
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 11. Perkebunan Sawit dan HTI di Lokasi Penelitian

Gambar 12. Morfologi Daerah Penelitian

196
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

ANALISA BATUAN BAWAH PERMUKAAN UNTUK RENCANA


LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH DI DESA KOPI,
BONE BOLANGO

Ibrahim Sota1 dan Ahmad Zainuri 2


1.Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
2. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo

ABSTRAK

Sampah menjadi masalah bagi kota-kota besar di Indonesia saat ini termasuk kota
Kabila. Hal ini yang mendorong pemda Bone Bolango, Gorontalo untuk berbenah
diri mencari lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Salah satu lokasi yang dipilih
sebagai tempat pembuangan ahkhir sampah adalah desa Kopi karena lokasi tersebut
jauh dari kota Kabila, akses transportasinya mudah dijangkau dan jauh dari
pemukiman warga. Untuk mengetahui apakah pemilihan lokasi desa Kopi layak atau
tidak sebagai tempat pembuangan sampah, maka perlu dilakukan kajian secara
geofisika dengan metode geolistrik resistivitas konfigurasi schlumberger untuk
mengetahui daya dukung batuan bawah permukaan. Analisa hasil pengukuran
geolistrik dari dua lokasi di desa Kopi adalah: lokasi I desa Kopi sangat baik karena
terdapat lapisan kedap air tanah yaitu batuan beku diorit dengan ketebalan antara 1
meter hingga 4 meter yang berada diantara lapisan soil dan akifer, lokasi II desa
Kopi kurang baik karena tidak adanya lapisan kedap air yang menutupi lapisan air
tanah (akifer), sehingga sangat mungkin ketika ada limbah cair dari sampah, limbah
tersebut akan terinfiltrasi ke dalam lapisan akuifer air tanah dan pada akhirnya akan
mencemari air tanah.

Kata Kunci: Sampah, Geolistrik, Bone Bolango

197
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Sampah menjadi persoalan pemerintah daerah di seluruh Indonesia terutama


di daerah-daerah yang padat penduduk, karena belum ada sistem pengolahan sampah
yang lebih baik. Masalah sampah adalah masalah klasik yang sudah lama melanda
kota-kota besar di Indonesia, Masalah tersebut muncul karena terbatasnya lahan
kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir, sementara produksi
sampah tiap hari terus berlangsung. Hal ini juga disebabkan oleh kelakuan
masyarakat yang mengutamakan kenginginan pribadinya, tingkat pendidikan yang
relatif rendah, perubahan pola hidup yang mengutamakan konsumsi menyebabkan
makin meningkatnya jumlah dan keragaman sampah. Sampah baik yang bersifat
organik ataupun anorganik, akan menjadi sarang penyakit yang sangat berbahaya
bagi masyarakat dan lingkungan. Sampah yang dibuang pada lokasi tempat
pembuangan akhir akan mengalami pembusukan terutama sampah basah yang
umumnya terdiri dari sampah organik, apalagi di negara Indonesia merupakan negara
tropis yang mempunyai iklim panas dan kelembaban tinggi. Hal ini merupakan
faktor pemercepat terjadinya reaksi kimia, sehingga sampah lebih cepat membusuk.
Air yang ada pada sampah hasil pembusukan umumnya mengandung bahan kimia,
bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes ke dalam tanah. Jika ada air hujan
yang melewati sampah ini maka akan tercemar oleh polutan tersebut, sehingga hal ini
dapat menimbulkan pencemaran air tanah baik yang berasal dari rembesan air
sampah maupun oleh sampah itu sendiri.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Olehnya itu, ketersedian air baik dari segi kualitas maupun kuantitas bagi manusia
harus menjadi perhatian serius pemerintah (Danaryanto dkk., 2005). Dengan
bertambahnya populasi dan kemajuan industri menyebabkan kebutuhan air sangat
meningkat, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan air tanah. Dengan
demikian, masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih mereka mengambil air
tanah yang merupakan sumber air tawar yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian dan konsumsi (Heath, 1983). Peningkatan industri menyebabkan semakin
menipisnya lahan pemukiman, sehingga menyebabkan semakin banyak penduduk di

198
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

kota-kota besar terpaksa tinggal di daerah sekitar tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah. Beberapa diantaranya memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum.
Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih di daerah sekitar tempat pembuangan akhir
(TPA) biasanya tidak terjangkau pelayanan yang disediakan oleh pemerintah melalui
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).Jika terjadi pencemaran air tanah akibat
meresapnya air lindi yang berasal dari pembusukan sampah, maka hal ini bisa
menjadi penghambat bagi kelangsungan hidup penduduk disekitar tempat
pembuangan akhir (TPA) tersebut.
Oleh karena itu, rencana tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di desa Kopi
kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango harus memperhatikan aspek
kesehatan, estetika dan lingkungan. Jauh dari pemukiman warga sehingga
keberadaan tempat pembuangan akhir tersebut tidak mengganggu kenyamanan
warga bila hendak melakukan aktifitas di luar rumah. Jauh dari fasilitas umum
sehingga tidak mengganggu keindahan dan pemandangan kota. Secara kesehatan
harus memperhatikan jenis batuan di lokasi yang akan dijadikan tempat pembuangan
akhir sampah dan arah angin supaya bau yang ditimbulkan tidak berhembus kearah
pemukiman warga.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dalam perencanaannya harus
melibatkan berbagai disiplin ilmu, salah satunya adalah geofisika. Metode geolistrik
resistivitas konfigurasi schlumberger merupakan salah satu metode geofisika yang
mudah, murah dan efisien serta tidak merusak lingkungan. Metode ini
memanfaatkan variasi nilai resistivitas batuan bawah permukaan untuk mendeteksi
struktur geologi atau formasi batuan bawah permukaan (Sehah dan Hartono, 2010).
Berdasarkan parameter nilai resistivitas batuan (Laesanpura, 2005), maka dapat
ditentukan apakah batuan di lokasi penelitian sangat kompak sehingga tidak bisa
merembeskan air lindi atau batuannnya renggang sehingga gampang merembeskan
air lindi. Dengan demikian metode geolistrik resistivitas tersebut sangat cocok untuk
mengetahui apakah lokasi penelitian layak atau tidak dijadikan tempat pembuangan
akhir sampah.
Pengukuran geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger menggunakan
empat buah elektroda yang terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda

199
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

potensial. Pengukuran tahanan jenis dilakukan dengan cara arus listrik diinjeksikan
ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensial diukur melalui
dua elektroda potensial seperti pada Gambar 1. Nilai resistivitas yang diperoleh
menggunakan persamaan sebagai berikut

V
a  K
I ……….………………………….(1)
dimana k menyatakan faktor geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Untuk
konfigurasi Schlumberger persamaan faktor geometri konfigurasi elektroda
sebagai berikut (Telford et.al., 1990):

K 
L 2
 b2  …………………………………..(2)
2b

Gambar 1. Konfigurasi elektroda Schumberger (Telford , 1990)

Gambar 2. Lokasi Pengukuran di desa Kopi kecamatan Bulango Utara kabupaten


Bone Bulango, Gorontalo
200
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Pengambilan Data

Pendugaan geolistrik sounding dilakukan untuk mendapatkan data penelitian


menggunakan konfigurasi elektroda schlumberger dengan variasi bentangan arus
(AB/2) dari 1,5 m sampai 100 m dan bentangan elektroda potensial (MN/2) dengan
variasi bentangan 0,5 sampai 20 m. Pengambilan data survei geolistrik tahanan jenis
dilakukan dengan cara arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua elektroda
arus, kemudian beda potensial diukur melalui dua elektroda potensial seperti pada
Gambar 1 (Telford, 1990). Pengukuran dilakukan dengan mengubah-ubah jarak
elektroda arus maupun potensial yang dilakukan dari jarak terkecil kemudian
membesar secara gradual (Koefoed, 1979) . Jarak elektroda ini sebanding dengan
kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi. Semakin besar jarak elektroda, semakin
dalam lapisan batuan yang diselidiki. Penelitian ini dilakukan di desa Kopi
kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar 2.

2.2. Pengolahan Data

Data lapangan yang diperoleh diolah dengan menggunakan software IPI2WIN


secara otomatis tanpa dilakukan secara manual. Dengan mengaktifkan tombol inversi
maka secara otomatis program tersebut menghitung. Langkah ini dilakukan
berulang-ulang hingga dicapai kecocokan (matching) > 90%, setelah itu baru
dilakukan tahap interpretasi.

2.3. Interpretasi Data

Interpretasi dilakukan dengan mempertimbangkan korelasi hasil pengolahan


data software IPI2Win yang berupa informasi (nilai resistivitas, kedalaman,
ketebalan) dengan pengetahuan dasar aspek-aspek tahanan jenis batuan, informasi
geologi, informasi kondisi air sumur penduduk (kedalaman muka air tanah) sekitar
sehingga diperoleh gambaran informasi struktur batuan yang sebenarnya. Profil yang
diperoleh diinterpretasi untuk menafsirkan jenis litologi, sifat hidrogeologi batuan

201
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

bawah permukaan. Berdasarkan hasil interpretasi dapat diketahui kedalaman,


ketebalan dan jenis batuan yang dapat berperilaku sebgai akuifer air tanah.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran resistivity sounding dilakukan di dua lokasi rencana tempat


pembuangan akhir sampah Bone Bolango masing-masing di lokasi I dan lokasi II
Desa Kopi (Gambar 2). Seluruh pengukuran dilakukan menggunakan konfigurasi
Schlumberger dengan panjang bentangan berkisar 100 m. Pengukuran sounding di
lokasi I Desa Kopi terdiri dari 2 titik sounding yakni I-1 dan I-2, di lokasi II Desa
Kopi terdiri dari 2 titik sounding yakni II-1 dan II-2.
Hasil inversi data resistivity sounding di dua titik di lokasi I Desa Kopi
ditunjukkan pada Gambar 3 dan gambar 4.
Resistivitas (ohm.m)

Panjang Bentangan (m)

Gambar 3. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding I-1

202
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 1. Lapisan batuan di titik sounding I-1


Lapisan Resistivitas Kedalaman (m) Ketebalan (m) Keterangan
(ohm.m)
I 39,9 0,578 0,578 Top soil
II 77,9 1,75 1,17 cap rock
III 20,1 13,9 12,1 Batu Pasir
IV 57,8 >13,9 Diorit

Hasil inversi titik sounding I-1 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 1. Resistivitas lapisan pertama sebesar 39,9
ohm.m dengan kedalaman 0,578m dan ketebalan 0,578m diinterpretasikan sebagai
top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan
kedua sebesar 77,9 ohm.m dengan kedalaman 1,75 m dan ketebalan 1,17 m
diinterpretasikan sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup
(cap rock). Resistivitas lapisan ketiga sebesar 20,1 ohm.m dengan kedalaman 13,9
m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar 57,8 ohm.m
dengan kedalaman >13,9 m diinterpretasikan batuan diorit.
Resistivitas (ohm.m)

Panjang Bentangan (m)

Gambar 4. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding I-2

203
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 2. Lapisan batuan di titik sounding I-2


Lapisan Resistivitas Kedalaman Ketebalan Keterangan
(ohm.m) (m) (m)
I 30,6 3,0 3,0 Top soil
II 75,7 7,3 4,3 cap rock
III 10,7 19,8 12,5 Batu Pasir
IV 68,4 >13,9 Diorit

Hasil inversi titik sounding I-2 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 2. Resistivitas lapisan pertama sebesar 30,6
ohm.m dengan kedalaman 3,0m dan ketebalan 3,0m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 75,7 ohm.m dengan kedalaman 7,3 m dan ketebalan 4,3 m diinterpretasikan
sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup (cap rock).
Resistivitas lapisan ketiga sebesar 10,7 ohm.m dengan kedalaman 19,8 m dan
ketebalan 12,5m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar
68,4 ohm.m dengan kedalaman >19,8 m diinterpretasikan batuan diorit.

Air tanah

Gambar 5. Korelasi penampang stratigrafi bawah permukaan di lokasi I


titik sounding I-1 dan I-2

204
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Korelasi penampang resistivitas (resistivity cross-section) bawah permukaan


Gambar 3 dan gambar 4 serta berdasarkan hasil observasi lapangan terkait kondisi
hidrogeologi dan data sekunder (peta geologi) di wilayah tersebut, dihasilkan
penampang geologi bawah permukaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.
Jarak antara titik sounding I-1 dan I-2 sekitar 280 m sedangkan posisi titik I-1 di
bagian timur dan posisi titik I-2 di bagian barat . Beda tinggi (elevasi) antara dua
titik sounding sekitar 12m yang menunjukan bahwa topografi daerah pengukuran
relatif datar. Lapisan pertama berupa top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur
lempung pasiran dengan ketebalan di titik I -1 sekitar 1 meter dan makin menebal
hingga sekitar 3 meter di titik I-2 yang topografinya lebih rendah. Lapisan kedua
terdapat lapisan batuan keras (kedap air) yaitu batuan beku diorit yang ketebalannya
sekitar 1 meter di titik I-1 dan sekitar 4 meter di titik I-2. Lapisan ini berperan
sebagai penyangga (cap rock) karena batuan ini bersifat kedap air (akuiklud)
sehingga memproteksi lapisan batu pasir di bawahnya dari ancaman pencemaran air
tanah. Lapisan ketiga adalah batu pasir yang cukup tebal sekitar 12 meter diduga
sebagai reservoir air tanah dan berperan sebagai lapisan akifer (Fetter, 1994).
Lapisan keempat adalah batuan beku diorit yang diduga sebagai batuan dasar (bed
rock) di lokasi pengukuran. Kemiringan lapisan batuan di lokasi ini cendrung kearah
barat, yang mana kemiringan ini juga akan mempengaruhi arah aliran rembesan
fluida.

Berdasrkan analisa sifat kelistrikan (resistivitas), hidrogeologi (akuifer dan non


akuifer) dan geologi (stratigrafi batuan) maka lokasi I desa Kopi layak dijadikan
sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan karena adanya
lapisan batuan diorite yang kedap air diantara top soil dan lapisan batu pasir yang
berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir.
Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka
cairan tersebut tidak akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang
merupakan akuifer air tanah sehingga aman dari pencemaran.

Hasil inversi data resistivity sounding di dua titik sounding di lokasi II Desa
Kopi ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.

205
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Resistivitas (ohm.m)

Panjang Bentangan (m)

Gambar 6. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding II-1

Tabel 3. Lapisan batuan di titik sounding II-1


Lapisan Resistivitas Kedalaman (m) Ketebalan (m) Keterangan
(ohm.m)
I 32,5 1,0 1,0 Top soil
II 10,9 5,24 4,24 Batu Pasir
III 1052 >5,24 Diorit

Hasil inversi titik sounding II-1 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding II-1 ditunjukan pada gambar 6 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 3. Resistivitas lapisan pertama sebesar 32,5
ohm.m dengan kedalaman 1,0m dan ketebalan 1,0m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 10,9 ohm.m dengan kedalaman 5,24 m dan ketebalan 4,24 m
diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan
akuifer air tanah. Resistivitas lapisan ketiga sebesar 1052 ohm.m dengan
kedalaman >5,24 m diduga batuan diorit.

206
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Hasil inversi titik sounding II-2 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding II-2 ditunjukan pada gambar 7 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 4. Resistivitas lapisan pertama sebesar 35,6
ohm.m dengan kedalaman 0,33m dan ketebalan 0,33m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 16,7 ohm.m dengan kedalaman 7,07 m dan ketebalan 6,74 m
diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan
akuifer air tanah. Resistivitas lapisan ketiga sebesar 945,2 ohm.m dengan
kedalaman >7,07 m diduga batuan diorit.
Resistivitas (ohm.m)

Panjang Bentangan (m)

Gambar 7. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding II-2

Tabel 4. Lapisan batuan di titik sounding II-2


Lapisan Resistivitas Kedalaman (m) Ketebalan (m) Keterangan
(ohm.m)
I 35,6 0,33 0,33 Top soil
II 16,7 7,07 6,74 Batu Pasir
III 945,2 >7,07 Diorit

207
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Korelasi penampang resistivitas (resistivity cross-section) bawah permukaan


Gambar 6 dan gambar 7 serta berdasarkan hasil observasi lapangan terkait kondisi
hidrogeologi dan data sekunder (peta geologi) di wilayah tersebut, dihasilkan
penampang geologi bawah permukaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8.
Jarak antara titik sounding II-1 dan II-2 sekitar 180 m sedangkan posisi titik II-1 di
bagian timurlaut dan posisi titik II-2 di bagian baratdaya . Beda tinggi (elevasi)
antara dua titik sounding sekitar 12m yang menunjukan bahwa topografi daerah
pengukuran relatif datar. Lapisan pertama berupa top soil atau lapisan lapuk yang
bertekstur lempung pasiran dengan ketebalan di titik II-1 sekitar 1 meter dan makin
menipis hingga sekitar 0,3 meter di titik II-2 yang topografinya lebih rendah. Lapisan
kedua adalah batu pasir yang tebal sekitar 4 meter di titik II-1 dan makin menebal
hingga sekitar 7 meter di titik II-2 yang diduga sebagai reservoir air tanah dan
berperan sebagai lapisan akifer. Lapisan ketiga adalah batuan beku diorit yang
diduga sebagai batuan dasar (bed rock) di lokasi pengukuran yang bersifat non-
akuifer . Kemiringan lapisan batuan di lokasi ini cendrung kearah baratdaya, yang
mana kemiringan ini juga akan mempengaruhi arah aliran rembesan fluida.

Air tanah

sungai

Gambar 8. Korelasi penampang stratigrafi bawah permukaan di lokasi II


titik sounding II-1 dan II-2.

208
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Berdasarkan analisa sifat kelistrikan (resistivitas), hidrogeologi (akuifer dan


non akuifer) dan geologi (stratigrafi batuan) maka lokasi II desa Kopi tidak layak
dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya lapisan batuan yang kedap air diantara top soil dan lapisan batu
pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah yang ada dalam
lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil
pembusukan sampah, maka cairan tersebut akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan
batu pasir yang merupakan akuifer air tanah sehingga tidak aman dari pencemaran.

4. KESIMPULAN

1. Lokasi I desa Kopi layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah. Hal ini karena adanya lapisan batuan diorite yang kedap air di antara
top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk
memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada
fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut tidak
akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer
air tanah sehingga aman dari pencemaran.

2. Lokasi II desa Kopi tidak layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah. Hal ini karena tidak adanya lapisan batuan yang kedap air di
antara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk
memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada
fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut akan
terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air
tanah sehingga tidak aman dari pencemaran.

209
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. DAFTAR PUSTAKA

Laesanpura, A., 2005, Final Report on Field Research of Geophysics Study in the
Kangean Islands, LPPM-ITB and MMM-Université de la Rochelle.

Heath, R. C., 1983, Geological Survey water-supply paper , Basic ground-water


hydrology, 2220.

Fetter, C.W., 1994, Applied hydrogeology 3rd ed., Macmillan College Publishing
Company, Inc.

Danaryanto, Djaendi, S. Hadipurwo, H. Tirtomiharjo, H. Setiadi, A. D.


Wirakusumah & Y. Siagian, 2005, Air Tanah di Indonesia dan
Pengelolaannya , Departemen ESDM, Jakarta.

Koefoed, O., 1979, Geosounding Principles : Resistivity Sounding Measurement ,


Elsevier.

Telford, W.M., L.P. Geldart, and R. E. Sheriff, 1990, Applied Geophysics, Second
Edition, Cambridge and Hall, New York.

210
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

STUDI AWAL PEMANFAATAN AIR ASAM TAMBANG


BATUBARA SEBAGAI KOAGULAN AIR SUNGAI
MARTAPURA

Agus Mirwan, Reni Indrawati

Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat,


Kota Banjarbaru, Indonesia
Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 Kalimantan Selatan
Telepon/Faks: (0511) 7404878/4773858
agusmirwan@yahoo.com

ABSTRAK
Kalimantan Selatan merupakan daerah yang dikelilingi banyak sungai namun
kondisi airnya belum layak untuk dikonsumsi. Salah satu sungai yang ada adalah
sungai Martapura yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan
masyarakat sekitar bantaran untuk keperluan air minum, mandi, mencuci, dan sarana
transportasi. Namun kualitiasnya mengandung zat-zat padat yang tersuspensi,
berwarna kecoklatan, pH yang agak rendah dan tingkat kekeruhan (turbidity) yang
sangat tinggi.Disis yang lain adanya kegiatan pertambangan batubara tentunya akan
selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu dampaknya adalah munculnya air asam tambang (AAT) yang merupakan
air lindian dari mineral sulfida dengan tingkat keasaman dan kandungan senyawa ion
logam yang tinggi seperti Al3+, Fe3+, dan lainnya yang berpotensi besar dapat
dijadikan sebagai koagulan .Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mempelajari
manfaat AAT sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan pH air
sungai Martapura. AAT yang digunakan berasal dari kota Binuang Kabupaten Tapin
dan kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu kalimantan Selatan. Proses koagulasi
dan flokulasi menggunakan beaker glass yang dilengkapi dengan pengaduk (jar-test).
Proses koagulasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 1 menit.
Proses flokulasi dengan kecepatan pengadukan 40 rpm selama 5 menit, danproses
dekantasi yang dilakukan selama 15 menit.Hasil penelitian menunjukan bahwa AAT
batubara dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam menurunkan tingkat kekeruhan
air sungai Martapura dengan tingkat kekeruhan & pH sebesar 3,75 NTU dan 6,25
dari kondisi 713 NTU dan 7,18 untuk AAT batubara daerah Binuang sebanyak 0,3
mg/L. Sedangkan AAT batubara daerah Batulicin menunjukan tingkat kekeruhan &
pH sebesar 45,6 NTU dan 7,33 dengan jumlah konsentrasi juga sebesar 0.3 mg/L.
Penurunan tingkat kekeruhan air sungai Martapura seiring dengan penambahan
jumlah konsentrasi AAT batubara sehingga tidak menyebabkan perubahan yang
signifikan terhadap nilai pH.

Kata kunci : asamtambang, sungai, koagulasi, flokulasi

211
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Kalimantan Selatan merupakan daerah yang dikelilingi banyak sungai namun


kondisi airnya belum layak untuk dikonsumsi. Salah satu sungai yang ada adalah
sungai Martapura yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya untuk keperluan air minum, mandi, mencuci, sarana
transportasi,dan lainya. Sebanyak 59,4% masyarakat di sepanjang sungai Martapura
menggunakan air sungai sebagai sumber air untuk keperluan rumah tangga dan
sekitar 80% dari masyarakat tersebut mengambil air sungai tanpa mengolahnya
(Arifin 2008). Kualitas air Sungai Martapura selalu berubah-ubah, hal tersebut
karena kultur masyarakat ada disekitar bantaran sungai yang masih suka membuang
sampah ke badan sungai dan karena masih tingginya erosi yang terjadi di hulu sungai
akibat terjadinya penebangan hutan sehinggakualitasnyamasih mengandung zat-zat
padat yang tersuspensi, pH yang agak rendah, dan berwarna kecoklatan dengan
tingkat kekeruhan (turbidity) yang sangat tinggi.Kualitas air sungai Martapura secara
rata-ratamemiliki kandungan organik 24-78 mg/L.KMnO4, warna 60-124 PtCo, pH
5,9-7,2 dan tingkat kekeruhan berkisar 25-68 NTU (Majalah Air Minum 2005).
Berdasarkan penelitian Musyaddah dan Yenie (2009) menunjukkankualitas air
sungai Martapura memilikikandungan warna 11mg/LPtCo, tingkat kekeruhan 12,9
NTU, dan pH 7,5.
Salah satu dampak dari kegiatan pertambangan adalah munculnya air asam
tambang (AAT). AAT ini merupakan air asam yang terbentuk karena adanya kontak
antara batuan yang bersifat asam (sulfida mineral) dengan udara atau air.
Pembentukan AAT terjadi karena adanya proses oksidasi pada batuan yang
mempunyai kandungan pyrite setelah mengalami kontak dengan oksigen baik yang
terdapat di air maupun udara. Kemudian air tersebut akan mengalami perubahan pH
menjadi 2-3(Hardani 2009). AAT juga memiliki kandungan senyawa ion logam yang
cukup tinggi seperti Fe3+, Al3+, Zn2+, Ni2+, Mn2+, Mg2+, Ca2+ dan pyrite (FeS2) yang
umum dijumpai di lokasi pertambangan (Roa, dkk 1992). Selain itu berbagai jenis
sulfida logam yang mempunyai potensi membentuk AAT seperti marcasite,
pyrrhotite, chalcocite, covellite. Berdasarkan penelitian Rao, dkk (1992) bahwa AAT

212
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

ternyata dapat di manfaatkan sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan


dan fosfor. Bahkan lebih lebih unggul dari koagulan FeCl3 yang tersedia di pasaran
karena AAT tersebut mengandung Al3+ dan Fe3+ yang banyak.Namun adanya
beberapa kandungan senyawa logam perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu
sebelum digunakan sebagai koagulan.
Untuk memperoleh air bersih sebagai kebutuhan masyarakat di sekitar bantaran
sungai Martapura dan meminimasi kebutuhan koagulan yang digunakan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) serta mengurangi dampak negatif
munculnya AAT batubara, maka dibutuhkan studi awal yang mempelajari sistem
pengolahan air bersih dengan memanfaatkan AATbatubara sebagai koagulan yang
berpotensi besar dapat menghasilkan air bersih , mengurangi biaya operasional
PDAMdan diketahuinya manfaat dari AAT batubara yang selama ini menjadi
masalah di lokasi pertambangan. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan
mempelajari manfaat AAT batubara sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat
kekeruhan dan pH air sungai Martapura dengan proses koagulasi dan flokulasi.

2. BAHAN DAN METODE

Sampel air sungai yang digunakan berasal dari sungai Martapura tepatnya di
Desa Tunggul Inang Kabupaten Martapura Kalimantan Selatan dimana
masyarakatnya masih sangat tergantung air sungai dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pengambilan sampel air dilakukan pada kondisi musim hujan sehingga
mempunyai tingkat kekeruhan (turbidity) yang tinggi dan pH yang agak rendah.
AAT batubara yang digunakan sebagai koagulan berasal dari sisa pertambangan
batubara di daerah Binuang kabupaten Tapin dan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu
Kalimanatan Selatan. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari rangkaian
alat proses koagulasi dan flokulasi yang dilengkapi dengan pengaduk (Gambar 1),
beaker glass,gelas ukur, pipet volum, neraca analitik, stopwatch, pH meter, dan
turbidimeter. Bahan yang digunakan terdiri dari air sungai Martapura, AAT batubara
daerah Binuang, dan AAT batubara daerah Batulicin.

213
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Proses koagulasi dan flokulasi menggunakan beaker glass yang dilengkapi


dengan pengaduk (Gambar 1). Proses koagulasi dilakukan dengan kecepatan
pengadukan 200 rpm selama 1 menit. Proses flokulasi dengan kecepatan pengadukan
40 rpm selama 5 menit dan proses dekantasi atau pengendapan selama 15 menit
(Mirwan 2011). Analisis turbiditydan pH dilakukan pada kondisi awal sampel air dan
proses akhir dekantasi dengan variasi konsentrasi penambahan koagulan AAT
batubara sebesar 10%, 20%, 30%, dan 40%. Prosedur analisis data menggunakan
turbidimeter dengan satuan NTU (nephelometric turbidity units) yang mengacu pada
SNI 06-6989.25-2005 tentang cara uji kekeruhan air dan air limbah dengan
nefelometer dan dan pH meter yang mengacu pada SNI 06-6989.11-2004 tentang
cara uji derajat keasaman (pH) air dan air limbah dengan menggunakan alat pH
meter.

4 Keterangan:
5 2 1. Beaker glass
2. Tombol power
3. Pengaduk
6 3
4. Pengatur kecepatan
pengadukan
5. Pengatur waktu
6. Lampu
1

Gambar 1. Rangkaian Alat Proses koagulasi dan flokulasi air dari sungai Martapura
(sumber: Mirwan 2009)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses penjernihan air dari sungai Martapura meliputi proses awal, koagulasi,
flokulasi, dan dekantasi yang pada akhirnya akan diperoleh 2 (dua) kurva hasil
analisis tingkat kekeruhan dan pH terhadap jumlah konsentrasi koagulan yang
digunakan (AAT batubara daerah Binuang dan AAT batubara daerah Batulicin).
Hasil pengamatan awal analisis pH untuk AAT batubara daerah Binuang dan
Batulicin adalah 3,41 dan 4,97. Sedangkan hasil analisis tingkat kekeruhan dan pH

214
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

awal air sungai Martapura dan kondisi akhir setelahpenambahan AAT batubara
ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analsis turbidity dan pH pada kondisi awal dan setelah penambahan
koagulan AAT batubara
Variasi
penambahan
Kondisi
jumlah konsentrasi
Jenis awal air
No Parameter Standar koagulan AAT
koagulan sungai
batubara
Martapura
10 20 30 40
% % % %
1. Turbidity(N <5 AAT 713 313 5,9 3, 3,00
TU) batubara 4 75
2. pH <6 daerah 7,18 6,62 6,2 6, 5,90
Binuang 5 12

1. Turbidity <5 AAT 713 7 65,8 4 49,2


(NTU) batubara 4, 5,
daerah 2 6
2. pH <6 Batulicin 7,18 7, 7,09 7, 7,23
3 3
6 3

Gambar 2 secara keseluruhan menunjukkan terjadi penurunan tingkat


kekeruhan airsungai Martapura disetiap variasi jumlah konsentrasi penambahan AAT
batubara dari Binuang dan Batulicin dari kondisi awal sebesar 713 NTU.Hal ini
dikarenakan makin banyak penambahan jumlah konsentrasi AAT batubara akan
memudahkan partikel terlarut dapat berkaitan dengan koloid-koloid yang ada di
dalam air sungai sehingga menyatu atau bergabung menjadi partikel yang lebih besar
dan berat (flok). Proses penggabungan tersebut didukung dengan adanya gaya tarik-
menarik dan gaya ikat antar partikel (gaya Van Der Waals) sehingga memudahkan
terbentuknya flok-flok yang lama-kelamaan akan mengendap.Dan adanya kandungan
Al3+ dan Fe3+dalam AAT batubara yang dapat mengikat partikel koloid pada air
sungai Martapura (Roa, dkk1992 dan Hardani 2009).
Pada proses koagulasi dan flokulasi dilakukan pengadukan sehingga ion Al3+
dalam AAT batubara akan terhidrolisis membentuk koloid Al(OH)3 yang bermuatan
positif dan bersatu dengan ion-ion negatif yang ada pada partikel koloid dalam air

215
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

sungai Martapura sehingga membentuk flok yang besar, berat dan akhirnya
mengendap. Hal tersebut menjadikan tingkat kekeruhan air sungai Martapura makin
rendah seiring dengan bertambahnya jumlah konsentrasi AAT batubara baik dari
daerah Binuang maupun Batulicin.

75 AAT batubara Binuang


70 AAT batubara Batulicin
65
Tingkat Kekeruhan, NTU

60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0% 10% 20% 30% 40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara

Gambar 2. Hasil analisis tingkat kekeruhan (NTU) terhadap berbagai konsentrasi


penambahan AAT batubara

8 AAT batubara Binuang

AAT batubara Batulicin

7
pH

5
0% 10% 20% 30% 40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara

Gambar 3. Hasil analisis pHterhadap berbagai konsentrasi penambahan AAT


batubara

216
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 3 menunjukan bahwa analisis pH air sungai Martapura setelah


penambahan AAT batubara Binuang dan Batulicin secara keseluruhan tidak
mengalami kenaikan dan penurunan yang signifikan dari nilai awal pH sebesar 7,17.
Hal ini disebabkan terjadinya pembebasan ion H+dan adanya ion Al yang bersifat
amfoter dalam AAT batubara sehingga dapat menyesuaikan dengan suasana
lingkungan yang ditempatinya (Mirwan 2009).Proses koagulasi dan flokulasi dapat
berlangsung optimal pada pH 6-7. Namun pada pH yang terlalu rendah (<4) dapat
menghambat proses koagulasi dan flokulasi (Alaerts dan Santika 1987).

4. KESIMPULAN

Dari eksperimen yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan.Air


asam tambang (AAT)batubara dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam
menurunkan tingkat kekeruhan air sungai Martapura dengan tingkat kekeruhan & pH
sebesar 3,75 NTU dan 6,25 dari kondisi 713 NTU dan 7,18 untuk AAT batubara
daerah Binuang sebanyak 0,3 mg/L. Sedangkan AAT batubara daerah Batulicin
menunjukan tingkat kekeruhan & pH sebesar 45,6 NTU dan 7,33 dengan jumlah
konsentrasi juga sebesar 0.3 mg/L. Penurunan tingkat kekeruhan air sungai
Martapura seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi AAT batubara baik dari
daerah Binuang maupun Batulicin sehingga tidak menyebabkan perubahan yang
signifikan terhadap nilai pH.

5. DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G & Santika, S. S (1987), Metode penelitian air, Usaha Nasional. Surabaya.

Arifin (2008), Pengendalian proses koagulasi pada suatu instalasi pengolahan air,
Mediun.

Asdak. C (2002), Hidrologi lingkungan, UGM Press, Jogjakarta.

Davis, Mackenzie L & D.A (2006), Introduction to environmental engineering, Third


Edition, McGraw Hill, Singapore.

Fair, GM (1971),Elements of water supply and waste water disposal. 2nd Ed.Tokyo.

217
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gautama, R. S (1999), Sistem penyaliran tambang, FTM ITB, Bandung


.
Hardani, PP (2009), Kajian catchment area approach dalam pengelolaan air asam
tambang, Central Library Institute Technology Bandung.

Karbito &Slamet A (2003), Optimasi dosis tawas, tanah gambut dan kapur tohor
sebagai koagulan dalam pengolahan air gambut menjadi air bersih, Jurnal
Purifikasi Jurusan Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya., 4-1, 1411-3465.

Kusnaedi (2000), Mengolah air gambut dan air kotor untuk air minum. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta

Mirwan, A., (2009), Pemanfaatan limbah padat lumpur PDAM sebagai tawas cair
untuk penjernihan air dari sungai Barito Kalimantan Selatan.
ProceedingSeminar Nasional Inovasi & Aplikasi Teknologi di Industri. ITN
Malang.

Mirwan, A., (2011), Pemanfaatan kembali limbah padat lumpur (LPL) PDAM Intan
Banjar sebagai koagulan penjernih dari sungai Martapura Kalimantan Selatan.
ProceedingSeminar Nasional &rapat Tahunan Bidang Ilmu MIPA
(SEMIRATA BKS-PTN B). Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.

Qasim, S R., Edward M. Motley., & Zhu, G (2000), Water works engineering
planning, desain and operation, Prentice Hall, USA.

Rao S R., Gerh R., Riendeau M., Lu D., & Finch J. A. (1992), Acid mine drainage as
a coagulant, Mineral Engineering Journal., 5-9, 1011-1020.

SNI 06-6989.25-2005 tentang cara uji kekeruhan air dan air limbah.

SNI 06-6989.11-2004 tentang cara uji derajat keasaman (pH) air dan air limbah.

Surinsyah(2004), Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air PDAM,tesis


program pasca sarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

218
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash


Batubara Teraktivasi

Doni Rahmat Wicakso, Aliyah dan Ervina Astuti

Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat


Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia
doni_tkugm@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu, massa dan
kecepatan stirrer dalam proses adsorpsi pada pemurnian etanol 96 % dengan
menggunakan adsorben fly ash batubara.Penelitian ini dimulai dengan aktivasi secara
kimia dan fisika, fly ash batubara yang telah teraktivasi kemudian di adsorpsi
menggunakan etanol 96 %. Setelah keadaan tertentu di lakukan penyaringan, filtrat
yang didapat dianalisis dengan metode berdasarkan berat jenis.Berdasarkan
pengujian dengan variasi waktu 10, 20, 30 dan 40 menit didapatkan waktu optimum
sebesar 20 menit. Jika waktu yang digunakan lebih dari 20 menit, maka kadar etanol
yang dihasilkan akan semakin turun. Hal yang serupa juga terjadi untuk variasi
massa fly ash 5, 10, 15 dan 20 gram, semakin banyak massa adsorben yang
digunakan, semakin kecil tingkat penyerapannya. Sedangkan untuk variasi
kecepatan stirrer sebesar 50, 60 dan 70 rpm dapat diketahui bahwa semakin tinggi
kecepatan stirrer yang digunakan proses adsorpsi akan sulit dilakukan. Kadar
optimum etanol sebesar 99,9864 % di dapat dari massa fly ash 10 gram dengan
kecepatan stirrer 50 rpm.

Kata kunci: energi, alternatif, waktu, massa, aktivasi

219
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Etanol merupakan salah satu senyawa yang keberadaannya banyak dibutuhkan


baik dalam laboratorium, dunia kedokteran, maupun dalam industri. Saat ini etanol
juga dikenal sebagai salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan (Greer,
2005; Riyanti, 2009).Minat dunia dalam menggunakan bioetanol sebagai energi
alternatif telah mendorong penelitian yang berkaitan dengan efisiensi biaya dan
proses produksi. Etanol dilaporkan dapat menghasilkan paling sedikit 20% energi
lebih tinggi dibandingkan dengan energi yang digunakan dalam proses produksinya.
Selain itu, proses produksi dan pembakaran etanol dapat menurunkan 12% gas
rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil (Hill et al. 2006).Dalam hal ini
etanol mempunyai masalah dalam pemurniannya, dimana etanol yang mengandung
air dengan cara penyulingan biasa hanya mampu menghasilkan etanol dengan
kemurnian 96%. Hal ini dikarenakan campuran etanol-air memiliki titik azeotrop
(Perry, 2008). Untuk memenuhi syarat sebagai bahan bakar, maka kadar etanol harus
mencapai 99,5 % (Fuel Grade Ethanol). Untuk mencapai FGE maka perlu dilakukan
pemurnian lebih lanjut. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah adsorbsi.
Teknik ini mempunyai keunggulan yaitu biaya relatif murah, mudah dan tidak ada
efek samping zat beracun. Adsorpsi menurut International Union Of Pureand
Applied Chemistry (IUPAC) adalah proses akumulasi satu ataul ebih komponen pada
lapisan interface (Rouquerol, dkk,1999). Sedangkan menurut Thomasdan
Crittenden(1998), adsorpsi didefinisikan sebagai proses akumulasi konsentrasi dari
molekul solute (gasataucair) kepermukaan padatan akibat adanya gaya tarik
(afinitas) antara solute dan adsoren.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan adsorben meliputi: luas
permukaan efektif, struktur padatan dan struktur permukaan, ukuran dan
distribusi pori atau pore network, serta proses aktivasi karbon pada proses
persiapan. Proses adsorpsi larutan secara teoritis umumnya lebih rumit bila
dibandingkan dengan proses adsorpsi pada gas, uap atau cairan murni. Hal
tersebut disebabkan adsorpsi larutan melibatkan kompetisi antara zat terlarut dan
pelarut atau antara komponen-komponen campuran cairan dengan situs adsorpsi

220
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

( Shaw, 1983). Jumlah zat yang teradsorpsi oleh tiap gram adsorben tergantung
pada luas permukaan adsorben, konsentrasi adsorben, temperatur dan sifat-sifat
molekul yang terlibat.
Salah satu dari adsorben yang belum termanfaatkan dengan baik adalah abu
layang batubara. Abu layang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Adapun komponen utama dari abu terbang
batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3),
dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang
(Putri, 2008). Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya
berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran
batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara
2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode
permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg (Pratama dan Putranto,
2007 dalam Putri, 2008). Atas dasar tersebut maka abu layang batubara merupakan
adsorben yang potensial untuk segera dimanfaatkan.

2. PENELITIAN

2.1. Bahan

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah etanol 96%, HCl 6 M, H2SO46
M, aquadest, es batu dan fly ash batubara (ukuran 200 mesh).

2.2. Alat

Rangkaian alat yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

2.3. Cara Penelitian

2.3.1. Aktivasi Fly Ash Batubara


Fly ashbatubara yang sudah dikeringkan dimasukkan ke dalam 800 mL HCl 6
M dan merendamnya selama 24 jam pada suhu kamar, lalu menyaring dan mencuci
sampel dengan aquadest. Setelah itu sampel dikeringkan pada suhu 100oC, kemudian
memasukkannya ke dalam 500 mL H2SO4 6 M dan merendam sampel selama 5 jam

221
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

pada suhu kamar, lalu menyaring dan mencuci sampel dengan aquadest. Setelah itu
sampel dikeringkan dalam oven selama 2,5 jam dan mengkalsinasinya pada suhu
600oC.

Keterangan:
1
1. Termometer
2 2. Gelas beker
3 3. Erlenmeyer
4 4. Magnetic stirrer
5. Hot plate
5 6. Tombol pengatur kecepatan stirrer
7 E-5
6 7. Tombolpengaturpanas

Gambar 1. Alat Utama Penelitian Adsorpsi

2.3.2. Proses Adsorpsi


Fly ash batubara yang telah teraktivasi (berat divariasikan)dan 50 ml etanol
dimasukkan dalam adsorber (Gambar 1). Kemudian melakukan proses adsorpsi dan
menjaga suhu operasi pada suhu 22oC.Adsorbsi dilakukan dengan variasi kecepatan
stirer, waktu adsorbsi dan perbandingan fly ash batubara dan etanol. Setelah proses
adsorpsi selesai, pisahkan fly ash teraktivasi dengan etanol 96% dengan kertas saring
whatman, kemudian melakukan analisis kandungan etanol, sehingga didapatkan
kondisi optimum untuk proses adsorpsi ini. Analisis etanol dilakukan dengan
mengukur densitas etanol hasil adsorbsi dan kemudian mencocokkan densitas etanol
literatur (Perry’s, 2008).

3. PEMBAHASAN

3.1. Pengaruh Waktu Adsorbsi Terhadap Kadar Etanol

Pengaruh waktu adsorbsi terhadap kadar etanol dapat dilihat pada Gambar 2
dan 3.

222
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

100.0
99.5
99.0 kecepatan 50 rpm
Kadar Etanol (%) 98.5 kecepatan 60 rpm
98.0 kecepatan 70 rpm
97.5
97.0
96.5
96.0
95.5
0 10 20 30 40 50
Waktu Pengadukan (menit)

Gambar 2. Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%)
untuk sampel 5 gram fly ash batubara teraktivasi dan 50 ml etanol 96 %.

100.0
99.5
Kadar Etanol (%)

99.0 kecepatan 50 rpm


98.5 kecepatan 60 rpm
kecepatan 70 rpm
98.0
97.5
97.0
96.5
0 10 20 30 40 50
Waktu Pengadukan (menit)

Gambar 3.Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%)
untuk sampel 10 gram fly ash batubara teraktivasi, 50 ml etanol 96 %.

Dari Gambar 2dan3dapat dilihat bahwa jika waktu yang digunakan lebih dari
20 menit, maka kadar etanol yang dihasilkan akan semakin turun, sehingga proses
pengadukan dengan waktu 20 menit lebih baik dibandingkan 10, 30 dan 40 menit
baik untuk fly ash batubara 5 gram maupun 10 gram. Hal ini terjadi karena dengan
waktu 20 menit proses adsorpsi dengan fly ash batubara pada penelitian ini
mengalami kondisi jenuh, dimana kapasitas adsorpsinya sudah maksimal. Semakin
lamanya waktu (lebih dari 20 menit), maka molekul-molekul air yang sudah terikat

223
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

dapat lepas kembali (mengalami desorpsion), sehingga kadar etanol akan semakin
menurun.

3.2. Pengaruh Massa Fly Ash Batubara Teraktivasi Terhadap Kenaikan Kadar
Etanol

Untuk mengetahui pengaruh massa fly ash teraktivasi, maka dibuat grafik
hubungan massa fly ash teraktivasi dengan kadar etanol (%) pada pengadukan 20
menit seperti Gambar 5.

100.0
99.8
Kadar Etanol (%)

99.6 kecepatan 50 rpm


99.4 kecepatan 60 rpm
99.2 kecepatan 70 rpm
99.0
98.8
98.6
98.4
0 5 10 15 20 25
Massa fly ash batubara teraktivasi (gr)

Gambar 5. Hubungan antara massa fly ash batubara yang teraktivasi (gram) dengan
kadar etanol (%) dengan waktu pengadukan 20 menit pada kecepatan
stirrer 50, 60 dan 70 rpm

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya massa fly ash yang
digunakan, maka kadar etanol yang dihasilkan semakin menurun untuk setiap
kecepatan yang sama. Kecuali untuk kecepatan 50 rpm, dari hasil terlihat bahwa
kadar etanol maksimum dapat tercapai pada massa fly ash sebesar 10 gram yaitu
sebesar 99,9864 %. Sedangkan massa fly ash di atas 10 gram mengalami penurunan.
Hal ini bisa terjadi karena pergerakan molekul pada berat fly ash di atas 10 gram
terjadi secara lambat dan larutan semakin pekat, hampir membentuk slurry, sehingga
kadar air dalam etanol susah untuk diserap.

224
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3.3. Pengaruh Kecepatan Stirrer Terhadap Kenaikan Kadar Etanol

Untuk mengetahui pengaruh kecepatan, maka dibuat grafik hubungan


kecepatan stirrer dengan kadar etanol (%) pada pengadukan 20 menit seperti Gambar
6.

100.0
99.8
99.6
Kadar Etanol (%)

5 gram fly ash


99.4
10 gram fly ash
99.2
15 gram fly ash
99.0
20 gram fly ash
98.8
98.6
98.4
40 50 60 70 80
Kecepatan Stirer (rpm)

Gambar 6. Hubungan antara kecepatan stirrer (rpm) dengan kadar etanol (%) dengan
waktu pengadukan 20 menit pada masing-masing massa fly ash batubara
teraktivasi

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi kecepatan stirrer yang
digunakan, proses adsorpsi akan menjadi sulit untuk dilakukan. Terlihat dari hasil
yang didapatkan bahwa kecepatan stirrer di atas 50 rpm, membuat kadar etanol yang
dihasilkan jadi semakin menurun. Hal ini bisa terjadi karena kecepatannya terlalu
cepat, membuat pergerakan larutan yang diaduk menjadi bergejolak dan
menimbulkan fortek (putaran cepat). Dimana molekul-molekul air yang semula
terserap pada permukaan fly ash menjadi semakin berkurang (mengalami desorpsi).

225
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

4. DAFTAR PUSTAKA

Greer, D., 2005, “Creating Cellulosic Ethanol: Spinning Straw into Fuel”, cellulosic
Ethanol.htm, eNews Bulletin, April 2005.

Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky and D. Tiffany. 2006. Environmental,


economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels.
Proceeding of the National Academy of Science, USA 103: 11206 - 11210.
Putri, M., 2008, “Abu Terbang Batubara SebagaiAdsorben”,
http://www.magarimagazine.com/2008/06/abu-terbang-batubara-sebagai-
adsorben/, diaksespadaJanuari 2009.

Riyanti, E.I., 2009, “Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol”, Jurnal Litbang
Pertanian 28(3), Kementerian Pertanian. Hal. 101 – 110

Rouquerol,F.,RouquerolJ.,Sing,K.,1999,“AdsorptionbyPowdersandPorousSolids.Pri
nciples,MethodologyandApplications”,AcademicPress,pp.6-7.

Shaw, D.J., 1983, ”Introduction to Colloid and Surface Chemistry”, 3 th Edition,


Butterworth and Co. Ltd., New York.

Thomas,W.J.danCrittenden,B.,1998,“AdsorptionTechnologyandDesign”,
ElsevierScienceandTechnologyBooks,pp.1-7.

226
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang


Sebagai Reservoar Air

Isna Syauqiah1

1
Tenaga Pengajar, Prodi Teknik Kimia, FT, Unlam
iissnnaa_tk_ftunlam@yahoo.com

ABSTRAK
Banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja
oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang dinginkan sudah berkurang,
mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu
dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang yang ditinggalkan atau penambang
harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan sebelum melakukan proses
penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana penutupan dan penyelesaian
tambang supaya tidak berdampak buruk pada lingkungan setelah ditinggalkan.
Sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan untuk pengelolaan lubang bekas tambang
tersebut sebagai reservoir air diantaranya dengan melakukan (1) studi kelayakan
pendahuluan; (2) studi kelayakan; (3) perencanaan teknis; (4) pelaksanaan
pembangunan.

Kata kunci: lubang bekas tambang, kerusakan lingkungan, studi kelayakan

227
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memberikan


pengaruh pada pola tingkah laku manusia. Bersamaan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut, terjadi pula pergeseran nilai-nilai, terutama nilai
interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Tingkah laku yang dipengaruhi oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut memberikan tekanan yang
semakin kuat kepada daya dukung lingkungan. Semula manusia hanya mengambil
dari alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang masih sederhana dari lingkungan
yang ditempatinya. Namun, dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi teknologi
digunakan sebagai sarana yang efektif untuk memenuhi bahkan memuaskan
keinginan-keinginan manusia.
Prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan memang telah diterima
sebagai suatu prinsip pembangunan nasional, dengan berbagai peraturan
pelaksanaannya. Namun, dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Isu tentang ditinggalkannya suatu lahan
setelah sumberdayanya habis dikuras yang mengakibatkan pencemaran sering kita
jumpai di media massa akibat dan dampak dari suatu kegiatan.
Penambangan merupakan kegiatan yang paling tua didunia dan merupakan
kegiatan yang penting setelah pertanian. Menurut sejarah, kegiatan penambangan
sangat kuat dalam memberi kontribusi yang signifikan pada peradaban dunia.
Namun, semua manfaat tersebut harus dibayar dengan adanya dampak negative yang
diterima lingkungan, terhadap kesehatan, keamanan pekerja tambang dan akibat
yang diberikan oleh aktivitas pertambangan lainnya seperti penurunan permukaan
tanah, terganggunya system pengairan, sedimentasi sungai, polusi air dan udara dan
masalah lingkungan lainnya. Sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran
masyarakat atas biaya dan tantangan pembangunan berkelanjutan, masyarakat
diseluruh dunia semakin mengharapkan industry pertambangan untuk menerapkan
standar yang lebih tinggi dari lingkungan, keselamatan dan manajemen masyarakat
untuk semua proyek melalui penerapan teknologi modern dan alat-alat manajemen
(Blinker, 1999)

228
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Sistem penambangan yang dilakukan di Kalimantan Selatan adalah


menggunakan system terbuka, yaitu dengan cara mengupas permukaan tanah,
kemudian dilanjutkan dengan penggalian bahan-bahan. Ironisnya setelah selesai
penambangan, lapisan atas tanah tidak dikembalikan lagi ketempat asalnya. Secara
fisik keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, yaitu berupa lubang-lubang besar
mirip danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian seperti bukit-
bukit kecil tak beraturan.
Pada saat ini hampir seluruh fungsi sungai tidak sesuai lagi dengan
peruntukkannya. Air sungai keruh berwarna kuning kecoklatan serta dimusim hujan
dapat menyebabkan terjadinya banjir. Limbah yang keluar dari galian penambangan
tersebut bahkan sangat meresahkan masyarakat yang mata pencahariannya sebagai
petani dan pemilik keramba.
Lubang bekas penambangan selanjutnya ditinggalkan begitu saja tanpa
direklamasi. Tiap hari ratusan ton limbah pendulangan juga dibuang ke sungai yang
mengakibatkan beberapa sungai menjadi hilang. Ratusan dan bahkan ribuan hektar
persawahan di Kecamatan Cempaka kini telah hancur dan siap menjadi penyumbang
bencana ekologi (Banjarmasin Post, 2004). Dinas Pertambangan dan Lingkungan
Hidup Kota Banjarbaru menyebutkan bahwa kegiatan penambangan rakyat di
wilayah administrasi Kota Banjarbaru telah berlangsung lama dan jumlahnya
mencapai lebih dari 2000 buah alat tambang yang digunakan (Pemkot Banjarbaru,
2001).
Sadar akan keadaan itu semua, upaya-upaya yang mengarah pada
penyelamatan lingkungan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup mutlak
dilakukan. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan harus didasarkan pada
norma hukum. Upaya ini harus didukung perangkat hukum yang memadai serta
dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat serta aparat.
Terdapat banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang
ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang
diinginkan sudah berkurang, mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar,
berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang

229
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

yang ditinggalkan atau penambang harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan
sebelum melakukan proses penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana
penutupan dan penyelesaian tambang supaya tidak berdampak buruk pada
lingkungan setelah ditinggalkan. Karena lubang/sumur bekas galian tambang tidak
mungkin lagi ditutup sehingga perlu dilakukan bagaimana pengelolaannya salah
satunya direncanakan akan dilakukan pengelolaannya dengan menjadikan
lubang/sumur tersebut menjadi reservoir air yang nantinya air tersebut bisa
digunakan untuk keperluan industry atau masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengelolaan atas lubang-lubang galian bekas
penambangan agar tidak terjadi bencana ekologi dimasa yang datang.

2. TUJUAN

Melakukan tinjauan terhadap lubang bekas galian tambang untuk digunakan


sebagai reservoir air.

3. TINJAUAN TEORITIS

3.1. Dampak Pasca Tambang

Kegiatan penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi


tanah maupun air, melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian
serta pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya, kegiatan
penambangan mengakibatkan hilangnya atau berpindahnya tanah, sedangkan di
lokasi pembuangan tailing adalah tertimbunnya tanah asli dengan tailing, yang
berakibat sifat tanah asli/semula berubah menjadi sifat tanah tailing (Rahmi, 1995).
Sistem penambangan rakyat pada umumnya adalah menggunakan system
“dumping”, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah permukaan yang
kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai penambangan,
lapisan tanah atas (top soil) tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Secara fisik,
keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang besar mirip
seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian, seperti bukit-

230
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

bukit kecil yang tidak beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila bekas areal
tambang tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, maka sangat sulit dalam
pengelolaannya. Untuk mengembalikan kualitas bekas areal sehingga dapat dijadikan
lahan pertanian memerlukan inverstasi yang sangat besar, yang sebenarnya
kewajiban penambang.
Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor
karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-besaran
juga menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam (morfologi dan topografi),
yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan, penimbunan tanah
penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan perubahan pada drainase,
debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan. Menurut Rahmi (1995),
aspek tersebut adalah:
a. Aspek Hidrologi
Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di
kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut kering
karena disepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa lembah yang
agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang cukup besar
terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai kenampakan air
yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh, warna hijau kebiruan
sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di dalam kolam-kolam
tersebut juga beragam.
b. Aspek Geologi
Tumpukan batuan penutup (overburden) yang dibiarkan tertumpuk secara tidak
teratur sekitar bukaan tambang menghasilkan bukit-bukit kecil dan lubang-lubang.
Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan menghasilkan
lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang banyak terdapat
kolam berisi air hujan, mengindikasikan bahwa timbunan tanah bekas galian bersifat
kedap air, resapan air hujan hujan untuk membentuk system air tanah sangat kecil.

231
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

c. Erosi Tanah
Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari
aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu
menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan
sedimentasi sungai. Sedimen hasil erosi tanah diangkut oleh aliran air larian (runoff)
masuk ke dalam sungai di ujung tekuk lereng dalam daerah tangkapan (catchment
area ).
d. Longsoran Tanah
Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan
berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup banyak.
Hal ini berdampak negative terhadap lingkungan yang bersifat permanen.
e. Sedimentasi Sungai
Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian yang
masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan dampak
yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang signifikan.
Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimen yang masuk ke sungai,
tetapi juga ditentukan oleh factor-faktor hidrologi sungai seperti kecepatan arus, pola
arus sungai, kelandaian dasar sungai dan morfologi dasar sungai.
f. Gangguan Estetika Lahan
Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan
terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan
pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah
bervegetasi yang berwarna hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya
nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi. Hal
ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis.
g. Pencemaran Air
Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi
karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta dari air genangan di
lubang tambang dan pencemaran pada badan sungai ini akan mempengaruhi kualitas
air.

232
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3.2. Kewajiban Rehabilitasi Lahan

Kewajiban untuk memulihkan lingkungan yang tercemar akibat kegiatan


pertambangan dan mengembalikan dalam konteks rehabiltasi adalah usaha yang
hukumnya wajib bagi kegiatan/usaha pertambangan pada saat kegiatan
pertambangan tersebut berakhir. Menurut Setyo (2002) rehabilitasi tidak
dimaksudkan mengembalikan deposit mineral yang ditambang, tetapi suatu kegiatan
dalam usaha mengembalikan rona lingkungan fisik (terutama pada bentang lahan
yang dirusak). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis ataupun
difungsikan menurut rencana peruntukkan dengan melihat konsep ruang dan
kewilayahan secara ekologis. Selain itu kewajiban lainnya adalah untuk melakukan
pemantauan dari lahan pasca tambang termasuk pada system pengelolaan B3, yang
potensi dampaknya akan muncul dan terukur dalam jangka waktu yang panjang.
Dengan demikian pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini diatur dan
disepakati dalam rambu-rambu hukum yang pasti, dengan tanpa mengingkari
prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Misalnya, berapa lamakah kewajiban untuk
melakukan pengelolaan pasca tambang dan siapa yang harus membiayai dan
melakukan pengawasannya. Setyo (2002) menjelaskan, mining closure siapa yang
membuat dan apakah sudah diperbincangkan dan disosialisasikan pada “public”?
Nampak hal inilah yang harus diformulasikan dengan sekaligus menjawab persoalan
otonomi, transparansi pengelolaan dan tanggung jawab hokum pada public dan
masyarakat terutama masyarakat tambang.
Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi ekonomi dan
social yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat
dengan pemerintah dan juga dengan usaha pertambangan. Oleh karenanya, menurut
Setyo (2002) pengelolaan pasca tambang bukan semata persoalan fisik, tetapi lebih
dari itu, pada persoalan political will pemerintah untuk meregulasi secara benar
dengan menganut kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan
mengedepankan kepentingan masyarakat local dan mengacu pada falsafah ekonomi
dan social serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.

233
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

3.3. Reklamasi Lahan Bekas Tambang

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi


/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan
pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang,
pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga
berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Disamping itu, juga dapat
mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah
aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang
dapat masuk ke lingkungan perairan.

3.4. Rekonstruksi Tanah

Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi


lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata
harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan
memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya system
aliran air (drainage) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke
asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-
soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk.
Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga
kestabilan lereng, diperuntukkan juga bagi penempatan tanaman revegetasi.

3.5. Revegetasi

Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah


pucuk dan bahan organic serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Secara
ekologi, spesies tanaman local dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak
untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan
kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon,
yang telah terbukti adaftif untuk daerah tambang. Dengan dilakukannya penanaman
sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut.

234
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan


bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi
penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies
pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter
alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan
yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002).

3.6. Penanganan Potensi Air Asam Tambang

Pembentukan air asam tambang cenderung intensif terjadi pada daerah


penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan
mengandung sulfida pada udara bebas.
Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran
mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar
tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfide ditutup dengan bahan impermeable
antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air
permukaan maupun air tanah.
Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat
ditangani untuk mencegah dampak negative terhadap lingkungan. Air asam diolah
pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang
ke badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, biasanya
menggunakan batugamping, dengan mengalirkan air asam ke bahan penetral untuk
menurunkan tingkat keasaman (Suprapto, 2006).

3.7. Pengaturan Drainase

Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk


menghindari efek pelarutan sulfide logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya,
dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta
infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka
panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun
waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.

235
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Arah aliran yang tidak terhindarkan harus melewati zona mengandung sulfida
logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeable.
Hal ini untuk menghindari pelarutan sulfide logam yang potensial menghasilkan air
asam tambang.

3.8. Bendungan/Waduk sebagai Reservoar Air

Sebagai upaya menjaga kelestarian air maka berbagai usaha telah dilakukan
baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Upaya non fisik diantaranya pembuatan
peta potensi catchmen area, mengatur penggunaan DAS, pembuatan master plan
pengendalian banjir dan mekanisme perijinan alih fungsi lahan yang ketat. Upaya
fisik diantaranya pembangunan reservoir air berupa bendungan dan waduk yang
diharapkan dapat menampung laju air sungai sehingga dapat meresap ke dalam tanah
serta berfungsi sebagai pengendali banjir di daerah hilir.
Pada dasarnya bendungan adalah konstruksi bangunan yang digunakan untuk
menampung air. Hasil tampungan air berupa genangan tersebut yang dinamakan
waduk. Jadi bendungan dan waduk merupakan satu kesatuan system yang
berhubungan. Di Indonesia, keberadaan waduk memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia dalam bidang pertanian, energy, supply air baku, pariwisata dan
pengendalian banjir. Di sisi lain keberadaan waduk dapat merugikan manusia
terutama bagi mereka yang terkena dampak relokasi.
Waduk atau danau buatan yang besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari
15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang
dari 15 m. Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk
komponen tata airnya pada umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga
volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air
diketahui dengan pasti.
Pengelolaan sumber daya air di dalam waduk/bendungan tertuang dalam UU
No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang terdiri dari 3 komponen yaitu
konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada
peraturan lain seperti PP No 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, PP No 82
tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian pencemaran Air, PP

236
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

No 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, serta Keppres No 123 Tahun 2001
tentang koordinasi Pengelolaan sumber Daya Air pada tingkat propinsi, wilayah
sungai, kabupaten dan kota. Berbagai produk hukum tersebut dapat dijadikan dasar
hukum dalam upaya konservasi air untuk kehidupan. Namun pada kenyataannya
konservasi sumberdaya air masih jauh dari harapan malah semakin rusak baik
kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan
sumber daya air waduk/bendungan antara lain :
 Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk yaitu
setiap instansi lebih mementingkan ego sektoralnya daripada upaya
konservasinya.
 Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air waduk sehingga
menimbulkan konflik kepentingan.
 Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah
tempat berlokasinya waduk untuk melakukan konservasi.
 Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan
konservasi.
 Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan, untuk
melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS atau penduduk di
sekitar waduk.
Adapun manfaat dari keberadaan waduk/bendungan adalah sebagai berikut :
a) Penyediaan air baku penduduk
Keberadaan bendungan/waduk dapat dijadikan cadangan ketersediaan air bagi
penduduk ketika musim kemarau telah tiba.
b) Suplay air irigasi daerah persawahan.
Lahan pertanian membutuhkan air secara terus menerus. Ketersediaan air yang
melimpah menjadikan tanaman dapat supply air dan tidak hanya mengandalkan
dari datangnya hujan.
c) Pengendalian banjir.
Melalui bendungan maka laju air dapat dikendalikan sebagai upaya pengendalian
banjir di hilir bendungan.

237
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

d) Pengembangan pariwisata.
Keberadaan bendungan/waduk sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata
yang berujung pada peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dan kesejahteraan
masyarakat sekitar.
e) Suplay air untuk kegiatan industri.
Kegiatan industri membutuhkan air baku yang relatif banyak. Oleh karena itu
dapat merangsang investor untuk mendirikan industri.
Adapun permasalahan-permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan
bendungan/waduk adalah sebagai berikut :
a) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan komunitas setempat.
Kondisi seperti ini berlaku pada area rencana waduk yang terdapat penduduk di
dalamnya. Permasalahan yang sering terjadi adalah masyarakat setempat harus
direlokasi dan terancam kehilangan tempat tinggal, tanah dan keberlangsungan
hidup termasuk mata pencaharian.
b) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan habitat berbagai jenis
hewan.
Hutan, lahan basah, dan habitat lain dibanjiri air. Waduk juga dapat memisahkan
habitat hewan dan menghalangi rute migrasi.
c) Keberadaan waduk/bendungan dapat menciptakan permasalahan kesehatan.
Berbagai penyakit seperti malaria akan meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah nyamuk.
d) Bendungan/waduk dapat membunuh ikan.
Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada ikan di sungai.
e) Hasil panen berkurang
Waduk akan membanjiri lahan pertanian di sekitar sungai atau pinggiran sungai.
f) Waduk sebagai salah satu faktor penyebab cuaca buruk bagi daerah sekitarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2009) terdapat korelasi
antara keberadaan bendungan/waduk dengan tingkat curah hujan. Waduk dapat
meningkatkan proses penguapan yang kemudian meningkatkan kadar kelembapan

238
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

pada atmosfer. Hal inilah yang menyebabkan curah hujan di sekitar waduk
meningkat.

4. PENUTUP

Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan, karena segala sesuatu kebutuhan
hidupnya tersedia dan diambil dari lingkungan. Dan untuk pemenuhan kebutuhannya
manusia akan melakukan eksploitasi terhadap lingkungannya, yang mana eksploitasi
ini dapat berdampak positif maupun negatif. Untuk pemerintah dampak positifnya
berupa bertambahnya pemasukan berupa pendapatan daerah, sedangkan bagi
masyarakat, penambangan dapat memberikan lapangan pekerjaan kemudian dampak
negatifnya terhadap lingkungan yaitu tanah-tanah ataupun bukit-bukit yang
mengandung sumber daya alam akan terkeruk, terkupas dan tersedot yang berakibat
membentuk sumur. Untuk itu maka diperlukan suatu pengelolaan terhadap
lubang/sumur belaks tambang tersebut diantaranya dengan memanfaatkannya
sebagai reservoir air yang mana untuk hal tersebut perlu dilakukan (1) Studi
kelayakan pendahuluan; (2) Studi kelayakan; (3) Perencanaan teknis; (4)
Pelaksanaan pembangunan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Anonymous.1994. Proper Prokasih, the Indonesian River Care Programme. ESCAP


Virtual Conference, Integrating Environmentl Consideration into Economic
Policy Making Processess. http://www.escap.org. Diakses 9 Oktober 2009.

As’ad. 2005. Tesis. Pengelolaan Lingkungan Pada Penambangan Rakyat. Program


Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.

Blinker, L.R. (Ed.), 1999. Mining and the natural environment: an overview.
UNCTAD 6, pp. 6–8

IJHD, 2000. Dams, water and Energy- A statistical profile.

Khrisnamurthy, K.V.2004. Environmental of coal in India. Proceeding of


International Seminar on environmental engeenering with special emphasis on
mining environment.NSEEME-2004, 19-20 March 19-20, March 2004; Eds.
Indra N. Sinha, Mrinal K. Ghose & Gurdeep Singh.

239
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pond, G.J, M.E. Passmore, F.A. Borsuk, L, Reynolds and C.J. Roses. 2008.
Downstream effects of mountaintop coal mining: comparing biological
conditions using family- and genus-level macroinvertebrate bioassessment
tools. J.N.A..Benthol. Soc.2008. 27(3)717-737

Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi,


Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan

Chandrawidjaja, R. 2010. Pengembangan Sumberdaya Air . Universitas Lambung


Mangkurat Press.

Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida


pada Kegiatan Pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No.2

The World Commision on Dams, 2000. Dams and Development.

240
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

PEMANFAATAN RONGSOKAN (SCRAP) PADUAN AL-MG


SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK PENGECORAN LOGAM
MENGGUNAKAN METODE PENGECORAN TUANG

Rudi Siswanto

Program Studi Teknik Mesin


Akademi Teknik Pembangunan Nasional (ATPN) Banjarbaru
email : atpn-banjarbaru@yahoo.com; rudi_sieswanto@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan rongsokan paduan Al-Mg sebagai
bahan baku produk pengecoran logam dengan mengetahui pengaruh temperatur dan
waktu peleburan terhadap massa jenis dan kekerasan. Metode pengecoran yang
digunakan adalah pengecoran tuang dimana suatu logam cair dituang ke dalam
cetakan tanpa adanya tekanan, selanjutnya dibiarkan membeku dalam cetakan
dengan pendinginan temperatur ruang. Tungku untuk peleburan menggunakan
tungku jenis krusibel dan cetakan dari logam dengan bahan bakar briket batubara.
Material untuk pengecoran digunakan paduan aluminium magnesium (Al-21%Mg)
sekrap. Bahan fluks untuk melindungi logam cair agar tidak kontak dengan udara
adalah campuran KCl, MgCl2 dan BaCl2. Paduan Al-Mg dilebur dalam tungku pada
variasi temperatur 650 oC, 700 oC dan 750 oC dengan waktu peleburan 5, 10 dan 15
menit, kemudian dituang dalam cetakan logam (temperatur 200 oC), dan selanjutnya
dibiarkan membeku dan dingin dalam cetakan. Kemudian coran dibuat spesimen
untuk dilakukan pengujian massa jenis dan kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, rongsokan paduan AL-21%Mg bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku
produk pengecoran logam. Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan
massa jenis dan meningkatkan kekerasan, kekerasan tertinggi diperoleh pada
temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 15 menit. Semakin lama
waktu peleburan akan meningkatkan kekerasan, tetapi massa jenis tidak
menunjukkan adanya hal tersebut, massa jenis tertinggi diperoleh pada temperatur
peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 5 menit.

Kata Kunci : pengecoran tuang, paduan Al-21%Mg, massa jenis, kekerasan

241
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

1. PENDAHULUAN

Material untuk pengecoran logam terdiri dari logam ferro dan non ferro.
Termasuk logam ferro yaitu besi tuang, baja karbon, baja paduan dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk logam non ferro yaitu aluminium, magnesium, nikel,
tembaga, seng, mangan dan sebagainya. Penggunaan logam sebagai material
pengecoran tidak hanya logam murni, tetapi dicampur dengan unsur logam lainnya
disebut dengan logam paduan. Logam paduan ringan yang banyak digunakan adalah
aluminium dan magnesium.
Magnesium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat mudah terbakar
jika saat peleburan kontak dengan oksigen dan reaktif. Magnesium paduan banyak
digunakan pada komponen struktur pesawat, otomotif dan elektronik. Pemanfaatan
magnesium pada industri otomotif adalah untuk menghasilkan produk kendaraan
ringan, sehingga pemakaian bahan bakar lebih hemat dan mengurangi emisi gas
buang. Beberapa jenis kendaraan terbaru menggunakan gearbox housing dan engine
block yang dibuat dari magnesium hingga bobotnya turun 25%, dibandingkan
menggunakan aluminium.
Pada industri kecil pengecoran biasanya paduan yang mengandung unsur
magnesium dianggap material yang mengganggu, karena magnesium cair akan
terbakar jika kontak dengan udara saat peleburan dan penuangan. Inilah salah satu
kesulitan dalam pengecoran magnesium, mencegah teroksidasinya magnesium cair
dengan udara.
Penggunaan fluks sebagai pelindung logam cair unsur paduan magnesium agar
tidak kontak dengan udara, menggunakan campuran dengan komposisi KCl 55%,
MgCl2 34% dan BaCl2 9% (Arifin, 2008). Jumlah fluks 1,5 % dari persen berat sudah
cukup untuk melindungi lapisan atas dari cairan paduan magnesium dari kontak
dengan udara. Penggunaan fluks kering 1 % sampai 3 % dapat mengurangi gas dan
mencegah gelembung udara serta lubang jarum, disamping itu juga memperbaiki
sifat-sifat mekaniknya (Surdia dan Chijiwa, 1996).

242
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Peningkatan temperatur tuang berpengaruh terhadap struktur butir fasa α-Mg


semakin halus, kekerasan dan kekuatan tarik, temperatur tuang optimum diperoleh
pada 700 oC (Sudarsono, 2008). Peningkatan temperatur tuang secara statistik tidak
meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik cenderung menurun (Arifin, 2008).
Temperatur penuangan yang paling baik untuk pengecoran squeeze magnesium
paduan adalah 685 oC (Kleiner, 2002) dan 750 oC (Young dan Clegg, 2004).
Peningkatan temperatur cetakan menyebabkan struktur butir fasa α-Mg agak
kasar, kekerasan dan kekuatan tarik menurun. Struktur butir α-Mg yang halus dengan
kandungan fasa eutectic ßMg17Al12 yang dominan diperoleh pada temperatur cetakan
200 oC (Sudarsono, 2008). Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan
kehalusan struktur butir α-Al dan fasa eutectoid ß-Al3Mg2 dan semakin lama waktu
peleburan akan menurunkan kehalusan struktur butir α-Al dan fasa eutectoid ß-
Al3Mg2 (Siswanto, 2011).
Surdia dan Saito (1985) menyebutkan bahwa magnesium mempunyai susunan
atom heksagonal dan mempunyai kekuatan tarik 19 kgf/mm2 setelah penganilan,
kekuatan mulur 9,8 kgf/mm2 dan perpanjangannya 16 %. Sudarsono (2008)
menyatakan bahwa magnesium mempunyai titik cair pada temperatur 650 oC, cairan
magnesium harus terlindungi dari kontak dengan oksigen yang ada di udara, karena
mudah bereaksi dan langsung terbakar jika terkena dengan oksigen, sedangkan massa
jenis paduan magnesium 1,8 gram/cm3. Longworth (2001) menyatakan magnesium
adalah logam yang paling ringan diantara logam yang biasa digunakan dalam suatu
struktur. Magnesium mempunyai kekurangan seperti kekuatan dan keuletan rendah,
tidak tahan korosi dan mudah menyala, sehingga memiliki keterbatasan dalam proses
pembentukan (Perez, 2005).
Menurut Departemen Mesin PEDC (1983) sifat-sifat magnesium adalah lunak,
kekuatan tarik rendah, tahan korosi, rapat massa relative 1,74 gr/cm3 dan titik lebur
657 oC. Mordike (2001) menyatakan magnesium memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan magnesium yaitu ; masa jenis terendah dibanding material struktur lainnya,
mampu cor dengan baik, dapat dimesin pada kecepatan tinggi.

243
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pengujian massa jenis dilakukan dengan pengukuran berat spesimen di udara


dan di dalam air murni. Massa jenis aktual spesimen ditentukan dengan
menggunakan rumus Archimedes berdasarkan standar ASTM D3800 :

Da 
Wa .Dw
Wa  Ww
Dimana :
Da = massa jenis actual
Dw = massa jenis air
Wa = berat specimen dalam udara
Ww = berat specimen dalam air
Uji kekerasan dilakukan dengan pengujian kekerasan Vickers (HVN). Nilai
VHN dapat ditentukan dari persamaan :
P
VHN = 1,8544.
d2
Dimana :
P = beban yang bekerja pada penetrator intan (kg)
d = panjang diagonal rata-rata bekas penekan (mm)

136o
d

Gambar 1. Indentor Vickers (Callester, 2001)

244
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Gambar 2. Diagra fassa paduan Al-Mg (ASM Handbook 2004)

2. BAHAN DAN METODE

2.1. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan coran (paduan Al-
21%Mg dari mesin chainsaw scrap ), bahan cetakan (logam), bahan bakar (briket
batubara) dan bahan pelindung (fluks : KCl 55 %, MgCl2 34 %, BaCl2 9 %).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu peralatan pengecoran (tungku
krusibel dan cetakan), peralatan ukur (stop wacth, termo kopel), timbangan digital,
timbangan vakum dan alat uji kekerasan (Vickers).

2.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.


Paduan Al-Mg sekrap dilebur dalam tungku krusibel kemudian dituang dalam
cetakan logam dan selanjutnya didinginkan di udara (temperatur ruang). Hasil
pengecoran (coran) dibuat spesimen, kemudian diuji di laboraorium untuk
mengetahui massa jenis dan kekerasan.

245
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tungku krusibel dipanaskan terlebih dulu dengan bahan bakar yang sudah
dinyalakan sampai temperatur tungku merata, untuk mengoptimalkan pembakaran
udara dihembuskan dengan blower yang konsumsi udaranya bisa diatur melalui
jendela udara. Setelah panas tungku sudah tercapai, hal ini bisa dilihat dari warna
cawan peleburan (kowi) sudah menunjukkan warna merah membara, kemudian
bahan baku yaitu berupa paduan AL-Mg sekrap yang telah dibersihkan dan dipotong
kecil-kecil dimasukkan ke dalam kowi. Bersama dengan itu cetakan logam
dipanaskan juga dalam tungku.
Ketika paduan sekrap kelihatan mulai mencair fluks dimasukkan, agar
terhindar kontak dengan udara. Temperatur tungku dipertahankan sesuai dengan
temperatur yang dikehendaki. Setelah waktu yang ditentukan tercapai kemudian
logam cair dituang ke dalam cetakan logam yang sudah dipanaskan (temperatur
cetakan 200 oC), selanjutnya cetakan ditutup rapat agar terhindar kontak langsung
dengan udara. Setelah logam cair dituang ke dalam cetakan, dibiarkan sampai
membeku dan dingin didalam cetakan dengan pendinginan temperatur ruang. Setelah
dingin mendekati temperatur ruang, coran dikeluarkan dari cetakan.

2.3. Variabel Penelitian

Pengecoran dilakukan menggunakan metode pengecoran tuang (tanpa


tekanan) dengan variasi temperatur peleburan dan waktu peleburan, secara jelas
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Variabel dan kode spesimen

Temperatur Cetakan Temperatur Peleburan Waktu Peleburan Kode


No
(oC) (oC) (menit) Spesimen
1 200 650 5 A1
2 200 650 10 A2
3 200 650 15 A3
4 200 700 5 B1
5 200 700 10 B2
6 200 700 15 B3
7 200 750 5 C1
8 200 750 10 C2
9 200 750 15 C3

246
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu : temperatur
peleburan (T1=650, T2=700, T3=750 (ºC)), waktu peleburan ( t1=5 , t2 =10 , t3=15
(menit)), temperatur cetakan 200 oC, massa bahan baku 250 gram/spesimen.
Sedangkan variabel terikat adalah massa jenis dan kekerasan.

Alur Penelitian
Start

Bahan Cor (Al-Mg)

Pembersihan, pemotongan

Tungku Peleburan Fluks

Penuangan Cetakan

Pendinginan, pembongkaran dan pembersihan

Pembuatan Spesimen

Pengujian :
 Massa jenis
 Kekerasan

Hasil pengujian

Analisis dan menyusun laporan

Stop

Gambar 3. Diagram alur penelitian

247
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

2 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Peleburan dan Penuangan Paduan AL-Mg

Penggunaan bahan baku untuk produk pengecoran dari paduan Al yang


mengandung unsur Mg cukup tinggi, mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Hal ini dikarenakan bahwa unsur Mg jika dalam keadaan mencair ketika bersentuhan
dengan udara akan teroksidasi dan bersifat reaktif. Untuk mengatasi hal tersebut
maka ketika logam paduan Al-Mg dilebur dalam tungku krusibel mulai mencair
maka harus dilindungi dengan bahan pelindung (fluks), selanjutnya setelah dituang
dalam cetakan dalam kondisi tertutup sehingga minim kontak langsung dengan
oksigen.
Penggunaan fluks sebagai pelindung logam cair unsur paduan magnesium
agar tidak kontak dengan udara, menggunakan campuran dengan komposisi KCl
55%, MgCl2 34% dan BaCl2 9%. Berat fluks yang digunakan untuk melindungi
lapisan atas cairan paduan magnesium dari kontak dengan udara adalah 1,5 % dari
persen berat bahan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bahwa rongsokan paduan AL-21%Mg
dari mesin Chainsaw dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produk
pengecoran logam, menggunakan tungku krusibel dengan metode pengecoran tuang.

3.2. Hasil Pengujian Massa Jenis

Tabel 2. Hasil pengujian massa jenis


Berat di udara Berat di air Massa jenis aktual
Kode
Wa (gr) Ww (gr) Da (gr/cm3)
A1 34,977 14,447 1,70
A2 31,365 10,524 1,51
A3 27,827 11,768 1,73
B1 30,359 10,386 1,52
B2 46,386 27,057 2,40
B3 46,391 28,088 2,54
C1 54,489 34,010 2,66
C2 49,600 28,485 2,35
C3 44,640 24,510 2,22
X 7,576 4,731 2,66

248
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 2 adalah data hasil pengujian massa jenis. Kode X merupakan hasil
pengujian massa jenis bahan pengecoran sebelum dilakukan peleburan dan
penuangan. Kode A, B dan C merupakan hasil pengujian massa jenis setelah
dilakukan peleburan dan penuangan.

3.3. Pembahasan Pengujian Massa Jenis

Gambar 4 (a) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu


peleburan 5, 10 dan 15 menit dan massa jenis pada variasi temperatur 650, 700 dan
750 oC. Sedangkan gambar 4 (b) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara
temperatur peleburan 650, 700 dan 750 oC dan massa jenis pada variasi waktu
peleburan 5, 10 dan 15 menit.

(a) (b

Gambar 4. Grafik hubungan ; (a) waktu peleburan dan massa jenis


(b) temperatur peleburan dan massa jenis

Dari tabel 2 dan gambar 4 (a,b) menunjukkan bahwa hasil pengujian massa
jenis pada temperatur peleburan 650 oC tersebut menunjukkan bahwa pada waktu
peleburan 10 menit mempunyai massa jenis paling rendah dibanding dengan waktu
peleburan 5 dan 15 menit, akan tetapi tidak didapatkan ada kecenderungan kenaikan
atau penurunan massa jenis.
Pada temperatur peleburan 700 oC tersebut menunjukkan bahwa waktu
peleburan semakin lama massa jenis cenderung makin meningkat. Jika dibandingkan
dengan bahan baku paduan sekrap yang mempunyai massa jenis 2,66 gram/cm2. Hal
ini bisa dilihat dari kenaikan massa jenis bahwa di atas waktu peleburan 5 menit,
massa jenis paduan semakin mendekati bahan baku paduan sekrap.

249
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Pada temperatur peleburan 750 oC menunjukkan bahwa waktu peleburan


semakin lama massa jenis cenderung makin menurun. Hal ini sangat berbeda dengan
peleburan pada temperatur 700 oC, dimana menunjukkan semakin lama waktu
peleburan massa jenis semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan massa jenis
bahan baku paduan sekrap mempunyai berat jenis 2,66 gram/cm2, maka dapat
dikatakan bahwa pada temperatur 750 oC dan waktu 5 menit adalah temperatur dan
waktu peleburan yang paling optimal karena menghasilkan massa jenis coran yang
sama dengan massa jenis bahan baku paduan sekrap.
Pada waktu peleburan 5 menit menunjukkan bahwa pada temperatur
peleburan 750 oC mempunyai massa jenis paling tinggi dibanding dengan
temperatur peleburan 650 oC dan 700 oC. Waktu peleburan 5 menit menunjukkan
adanya kecenderungan massa jenis meningkat signifikan seiring naiknya temperatur
peleburan.
Pada waktu peleburan 10 menit tersebut menunjukkan bahwa pada
temperatur peleburan 700 oC mempunyai massa jenis paling tinggi dibanding
dengan temperatur peleburan 650 oC dan 750 oC. Waktu peleburan 10 menit belum
menunjukkan adanya kecenderungan massa jenis meningkat seiring naiknya
temperatur peleburan.
Pada waktu peleburan 15 menit menunjukkan bahwa pada temperatur
peleburan 700 oC mempunyai massa jenis paling tinggi dibanding dengan
temperatur peleburan 650 oC dan 750 oC. Waktu peleburan 15 menit belum
menunjukkan adanya kecenderungan massa jenis meningkat seiring naiknya
temperatur peleburan.

3.4. Hasil Pengujian Kekerasan

Tabel 3 adalah data hasil pengujian Kekerasan Vickers. Kode X merupakan


hasil pengujian kekerasan bahan pengecoran sebelum dilakukan peleburan dan
penuangan. Kode A, B dan C merupakan hasil pengujian kekerasan setelah dilakukan
peleburan dan penuangan.

250
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Tabel 3. Hasil pengujian Kekerasan Vickers (VHN)


Kode Temperatur Waktu Peleburan
No o VHN (MPa)
Spesimen Peleburan ( C) (menit)
1 A1 650 5 59,10
2 A2 650 10 60,21
3 A3 650 15 57,66
4 B1 700 5 68,52
5 B2 700 10 82,60
6 B3 700 15 97,14
7 C1 750 5 84,49
8 C2 750 10 97,29
9 C3 750 15 106,67
10 X 116,28

3.5. Pembahasan Pengujian Kekerasan

Gambar 5 (a) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu


peleburan 5, 10 dan 15 menit dan kekerasan pada variasi temperatur 650, 700 dan
750 oC. Sedangkan grafik 5 (b) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara
temperatur peleburan 650, 700 dan 750 oC dan kekerasan pada variasi waktu
peleburan 5, 10 dan 15 menit.

Hubungan Waktu Peleburan & Kekerasan (HVN) HUbungan Temperatur Peleburan & Kekerasan
(HVN)
120.0
100.0 120.0
HVN (MPa)

80.0 650 oC 100.0


HVN (MPa)

80.0 5
60.0 700 oC
60.0 10
40.0 750 oC 40.0 15
20.0 20.0
0.0 0.0
5 10 15 650 oC 700 oC 750 oC

Waktu Peleburan (menit) (a (b) Temperatur Peleburan (oC)


)

Gambar 5. Grafik hubungan ; (a) waktu peleburan dan kekerasan,


(b) temperatur peleburan dan kekerasan

251
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

Dari tabel 3 dan gambar 5 (a,b), menunjukkan bahwa pada temperatur


peleburan 650 oC, waktu peleburan tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat
kekerasan coran, hal ini bisa dilihat dari prosentase kenaikan dan penurunan
kekerasan yang kecil. Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 10 menit,
sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit. Pada
temperatur 700 oC, semakin lama waktu peleburan kekerasan semakin meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa waktu peleburan sangat berpengaruh terhadap tingkat
kekerasan coran.Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit,
sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 5 menit. Pada
temperatur 750 oC, semakin lama waktu peleburan kekerasan semakin meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa waktu peleburan sangat berpengaruh terhadap tingkat
kekerasan coran.Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit,
sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 5 menit.
Pada waktu peleburan 5 menit, kekerasan meningkat seiring dengan kenaikan
temperatur peleburan. Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur peleburan 750
o
C, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 oC. Pada
waktu peleburan 10 menit, kekerasan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur
o
peleburan. Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur peleburan 750 C,
o
sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 C. Pada
waktu peleburan 15 menit, Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur peleburan
750 oC, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 oC.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : (1)
Rongsokan paduan AL-21%Mg bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku produk
pengecoran logam. (2) Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan
massa jenis dan meningkatkan kekerasan, kekerasan tertinggi diperoleh pada
temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 15 menit. (2) Semakin lama
waktu peleburan akan meningkatkan kekerasan, tetapi massa jenis tidak
menunjukkan adanya hal tersebut, massa jenis tertinggi diperoleh pada temperatur
peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 5 menit.

252
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011

5. DAFTAR PUSTAKA

Anonim (1983), Ilmu Bahan, Departemen Mesin PEDC, Bandung

Arifin, A. (2008), Pengaruh Temperatur Penuangan, Temperatur Cetakan,


Ketebalan Coran dan Flux Terhadap Fluiditas dan Sifat Mekanik dari Paduan
Magnesium (Mg-44%Al), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

ASM Handbook editor Baker, H. (2004), Alloy Phase Diagrams, Vol.3, ASM
Handbook Committee.

Callister, W.D., Jr. (2001), Fundamentals of Materials Science and Engineering


Department of Metalurgical Engineering, The University of Utah, John Wiley
& Sons, Inc, pp 111-138.

Kleiner, S., Beffort, O., Wahle, A., and Uggowitzer, P.J. (2002), Microstructure and
Mechanical Properties of Squeeze Cast and Semi-Solid Cast Mg-Al Alloys,
Journal of Light Metals, vol. 2, pp. 277-280.

Longworth, S.J.P. (2001), The Bolting of Magnesium Components in Car Engines ,


Dissertation Submitted for The Degree of Master of Philosophy The University
of Cambridge, pp 6-10.

Mordike, B.L., Ebert, T. (2001), Magnesium Properties-Applications-Potential,


Journal of Material Science and Engineering, vol. A302, pp. 37-45.

Perez-Prado, M.T., del Valle, J.A., and Ruano, O.A. (2005), Achieving High Strength
in Comercial Mg Cast Alloys Through Large Strain Rolling, Journal of
Material Latter, vol. 59, pp. 3299-3303.

Siswanto, Rudi, (2011), Pengaruh Temperatur Dan Waktu Peleburan Pengecoran


Tuang Terhadap Struktur Mikro Paduan Al-21%Mg, Jurnal Media Sains, Vol.
3 (1), pp. 87-96.

Sudarsono, (2008), Pengaruh Temperatur Tuang, Temperatur Cetakan dan Tekanan


Pada Pengecoran Squeeze Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro
Magnesium Paduan (Mg-44%Al), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Surdia, T., dan Saito, S. (1985), Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramitha,
Jakarta.

Young, M.S. and Clegg, A.J. (2004), Process Optimization for a Squeeze Cast
Magnesium Alloy, Journal of Material Processing Technology, vol. 145 (1),
pp. 134-141.

253
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
NURHAKIM, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Optimalisasi Sumberdaya Dan Teknologi Dalam Peningkatan Pembangunan Di Kawasan Timur Indonesia”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
ADIP MOSTOFA, ST
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Prespektif Teknik dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel di Batulicin
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
RISWAN, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Biaya Pertambangan Batubara di Indonesia”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
IBRAHIM SOTA, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Rencana Lokasi Tempat Pembuangan Sampah
Di Desa Kopi, Bone Bolango ”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
AGUS MIRWAN, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul

“Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
DONI RAHMAT WICAKSO, M.Eng
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul

“Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi ”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
UYU SAISMANA, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi Di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya Dan Kec. Sematu Jaya,
Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat

SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
RUDI SISWANTO, M.Eng
Atas partisipasi aktif sebagai :

PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Pe a faata Ro gsoka S rap Padua Al-Mg Se agai Baha Baku Produk Pe ge ora Loga
Me ggu aka Metode Pe ge ora Tua g”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat

Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc. Ir. H. Norman Ruslan, MT


4*,4
_n..'ikll

{,t
'?,
1"". eall ""
*Y
--

r.r
t' r ,.\* ';'
'l t.'..,qt'
r rt?;r r

ISBN 9?B-b0e-109e-qq-6
ilil il lllil ilillllilllilrll
9il7860291109244811

PS. TEKNIK PERTAMBANGAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
http : /www.mining-unlam.ac.id
admin@mining unlam.ac.id
Ph : +62 - 51 '9255996
fax: +62 - 51 - 4787595
Jl. JendralA. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714,lndonesia

You might also like