Professional Documents
Culture Documents
(123dok - Com) Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Pertamba
(123dok - Com) Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Pertamba
TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc
Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc
Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR:
Nurhakim, MT
Riswan, MT
Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
SEMINAR NASIONAL 2011 --ll
PROSIDING
q-s
h $
I
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Fakultas Teknik UNLAM
256 + v hlm, 29 cm
ISBN : 978-602-992-44-8
Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi-Banjarmasin 70123
Telp./Fax. 0511-3304480
Bekerjasama dengan :
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Km 36, Kampus Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714
Telp.0511-9259966
Dep. Energy & Mineral Resources, College of Engineering, Dong-A University, Korea
840, Hadan 2- Dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea
TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc
Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc
Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR:
Nurhakim, MT
Riswan, MT
Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011
"Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan
untuk Negeri"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
PANITIA
Steering Committee:
Pelindung : Prof. Dr. H. Moh. Ruslan, MS (Rektor UNLAM)
Prof. Dr. Sutarto Hadi, MSi, MSc (PR-IV UNLAM)
Ir. Noman Ruslan, MT (Dekan FT UNLAM)
Pengarah : Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng (PD-I FT UNLAM)
Iphan Fitrian Radam, ST, MT (PD-II FT UNLAM)
Mastiadi Tamjidillah, ST, MT (PD-III FT UNLAM)
Penasehat : Ir. Eddy DS, M.App.Sc (Ketua PERHAPI Kalsel)
Ir. Adip Mustopa (Mantan KaPSTP 2005-2009)
Penanggung Jawab : Nurhakim, ST, MT (Ketua PSTP FT UNLAM)
M. Hijrah Salam (Ketua BEM FT UNLAM)
Yanuar Candra (Ketua HIMASAPTA)
Organizing Committee:
Ketua : Riswan, MT
Wakil Ketua : Bahrurrusydi
Sekretaris : Hafidz Noor Fikri, ST
Wakil Sekretaris : Indira Matahari
Bendahara : Sari Melati, ST
Wakil Bendahara : Edwin Noviansyah
Sie Makala/Prosidnig/ISBN : Uyu Saimana, MT
Rizal Malik
Rahmadany Maolana
Dimas Apri Saputra
Sie Acara : Untung D, ST
M. Syapril Ashari
Rizky Hidayat
Kurnia Rahman Ilahi
Sie Dokumentasi : BEM & UPK Fotografi
Sie Perlengkapan/Dekorasi : Jossi Arizon Purba
Andi Pranata
Anton Ferlian Simamora
Sie Umum/Perijinan/Keamanan : BEM FT UNLAM
M. Richy Ambadar
Fantry Abdi Andreano
Faisal Rijani
Sie Kesekretariatan/Pub/Humas : Duan Arpilanoor
Lawrensa Jeriko
Agus Arie Yudha
Mitha Afryana
Sie Usaha/Dana : M. Syafa Marwah
Kiki Indra Kurniawan
Ariadi Prasetya
Sie Konsumsi : Sriwahyuni, A. Ma
Mujaiyanah, A. Ma
Haslinda
M. Fakhry Nugraha
Supriyadi
Azwin Wirya Pratama
ALAMAT SEKRETARIAT:
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Jenderal Achmad Yani Km. 36 Banjarbaru-Kalimantan Selatan 70714
Telp. : 0511-4773858
Fax : 0511-4781730
E-mail : admin@mining-unlam.ac.id,
Website : www. mining-unlam.ac.id
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
254
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
255
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
256
Kata Pengantar
Alhamdulillahi robbil „alamin. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
S.W.T., Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua yang
berupa kesehatan dan kesempatan untuk saling bertemu, bertukar ilmu, dan berdiskusi dalam
kegiatan Seminar Nasional “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” yang
dilaksanakan oleh Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat pada tanggal 30 Juli 2011
di Aula Kantor DPRD Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan.
Seminar Nasional dengan tema “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk
Negeri” , bertujuan untuk menghimpun inovasi dan aplikasi teknologi dibidang pertambangan
untuk mendukung pertambangan yang berkelanjutan dan bewawasan lingkungan serta
menyampaikan informasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian atau inovasi teknologi baru
antara peneliti, praktisi, pengawas pertambangan dan penentu kebijakan.
Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar
nasional tersebut yang terangkum dalam makalah-makalah yang disajikan dalam seminar. Pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah,
Tim reviewer dan Tim editor serta seluruh panitia pelaksana yang telah bekerja keras sehingga
prosiding ini dapat diterbitkan. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan, utamanya akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan pada bidang
Pertambangan serta dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Organizing Committee
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
DAFTAR ISI
halaman
ABSTRACT
Although all asbestos mines in Korea were closed years ago, asbestos-
containing rocks such as Serpentine near mine portals and crushing sites have
been exposed to weathering. In some cases those rocks were fragmented and
used for improving the soil quality in the farms. Asbestos fibers liberated from
the various sources now create concerns for environmental contamination,
particularly soil contamination through atmospheric dispersion over an extended
area. Application of the soil contamination remedy measures has been
considered as the solution.
This paper aims at predicting the distribution of asbestos soil pollution and
defining the area requiring remediation. Two stages of the study were carried
out; (1) particulate re-entrainment study in the wind tunnel and (2) atmospheric
contaminant transport simulation.
The planetary boundary layer was created to mimic the surface boundary
layer in which the settled particulates are re-entrained into the air stream. Since
turbulent intensity is known to be the most critical parameter to determine the re-
entrainment, it was controlled during the experiments. Also the effect of the
moisture content in soil samples was studied. The maximum strength of the
dispersion sources defined as grams across unit area per unit time was derived for
the subsequent atmospheric transport simulation study. ISCST3, the US EPA’s
regulatory model, was applied to predict the short-term as well as long-term
transport and settling amount. Meteorological and topographic data at the study
site were used for the analysis. The final outcome will be used for determining
the specific areas for soil treatment.
1
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. INTRODUCTION
There were 36 asbestos mines in the southern part of Korea peninsula and in
2011 none of those mines is in operation. Most of them had been deserted and
systematic restoration project hade been applied only to few mines. At most of
the mines in the past, crushing and manufacturing facilities were built near the
mine portals and asbestos fiber-rich dust is believed to be generated, dispersed and
deposited on the nearby soil for quite some time. Fortunately, there has been no
concrete data showing the risk of asbestos particles either in the soil or in the air.
However, we have seen a rise in the awareness of environmental issues associated
with the mined areas and among them asbestos dust topped the list. Now, in
order to prevent the possible risk of human exposure, the government agencies are
working together with the academic community to identify the problem status and
plan the necessary restoration works.
This paper aims at studying the possibility of asbestos dust contained in the
soil near the closed down mine portals and ultimately specifying the region that
requires extensive restoration work. Wind tunnel was set up to simulate the
dynamics within the planetary boundary layer and a series of experiments have
been carried out to analyze the possibility of re-entrainment of asbestos fibers.
Asbestos dust re-entrained in the atmosphere will travel long distance and its
dispersion was simulated using an US EPA atmospheric dispersion model. The
simulated results based on the source strength gained from the wind tunnel
experiments show the amount of dust settled on the soil and the concentration in
the air.
2
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Fibers are very thin, usually less than 0.5μm in diameter. In the meantime, fibers
of airborne asbestos is defined by US EPA as fibers with the length longer than
0.5μm and the aspect ratio minimum 5:1, while OSHA’s definition is a little bit
different with the aspect ratio greater than 3:1.
It is known that there are differences in human risk among these minerals;
Crocidolite is the most risky and Chrysotile is the least. Since Asbestos fibers
have relatively sharp shapes and are hardly soluble in the respiratory tract,
asbestos particles can cause numerous diseases such as lung cancer, Mesothelioma,
Asbestosis, Pleural diseases and so on.
In Korea, the threshold limit of asbestos fibers in the indoor air quality
regulated by the government agencies is 0.01fibers/ml. It was not until there
were reports of danger of human risk among the people, particularly residents
near the closed down mines portals that the asbestos fibers re-entrained in the
atmosphere from the mine area has caught the attention of everybody. Thus,
more strict atmospheric preservation standard for the airborne asbestos dust will
be soon formulated or revised aiming at the industries emitting asbestos into the
atmosphere.
3. RE-ENTRAINMENT STUDY
The study sites in this paper are three closed down asbestos mines located in
Seolakmyeon, Gapyong County, Gyeonggi-do, occupying a total area of 141km2.
Asbestos-containing rock is Serpentine formed in the deposit by thermal
processing. Since all three mines were closed down decades ago, nearby regions
are developed either as residential area or farmland. Asbestos-containing rock
abandoned near the portals has been weathered and has high potential to throw
asbestos fibers into the air. In addition, fine particulates generated by the
asbestos milling processes were often mixed with soil and used in farmland.
Figure 1 shows a typical SEM image of Chrysotile fibers found at the site
and a satellite picture of the 4km x 4km area and its topographic map are included
3
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
in Figure 2. Three mine portals located along a stream are approximately 0.8
~1.4km.
In May 2010, 30 soil samples were sampled near the portals and along a
stream. Among them, one sample from the zone with higher contamination
potential and two from the less risky zone were selected for the wind tunnel
4
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
experiment. Zones at the study site were divided by the results of a previous
preliminary study of soil contamination.
Sieving test for particles coarser than 100μm and Andreasen Pipette
employing Stoke’s law for finer particles were applied for the analysis of all sizes.
Its purpose was to quantify the weight of particles by size dispersed during the
wind tunnel experiment. No. 20, 30, 40, 60, 100, 170 sieves were used on the
basis of KS2309 Korean Test Standard, and Figure 3 shows cumulative size
distributions of a sample; two from the sieve test and Andreasen Pipette method,
respectively and the final combined distribution. The soil sample described in
Figure 3 was obtained from farmland and its size analysis shows particles less
than 500μm accounts for approximately 50%; minus 100μm, 1% and minus 10μm,
0.3%, respectively. The other two samples also show similar size characteristics.
c. Complete Size
a. by Sieving b. by Andreasen Pipette
Distribution
Figure 3. Cumulative Size Distribution of a Soil Sample
5
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
is not constant. One of the characteristic of PBL is that wind is turbulent and
gusty within the PBL. Surface friction from vegetation and topography causes
turbulent eddies and chaotic wind patterns to develop, while above the PBL, the
wind speed is much more uniform and stronger due to a marked decrease in
friction.
The parameters governing particle dispersion in the PBL are known to be
wind speed and turbulent intensity, while separation of a particle from pile is
driven by the force acting on the pile surface through pressure fluctuation.
Pressure fluctuation increases with eddies and separation and is closely related to
the turbulent intensity (Ogawa et al., 1991).
Floor mat, fence and vortex generator are installed in the 4.43m long middle
section of the tunnel to simulate the PBL as shown in Figure 5. These increase
surface friction and develop a boundary layer which has profiles of the vertical
velocity and the turbulent intensity similar those within the PBL. Turbulence
Intensity is a scale characterizing turbulence expressed as a percent. An idealized
6
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
flow of air with absolutely no fluctuations in air speed or direction would have a
Turbulence Intensity value of 0%.
Turbulence Intensity (T.I.) is defined in the following equation(1):
T.I. = u’/U
u’ = the Root-Mean-Square (RMS), or Standard Deviation, of the turbulent
velocity fluctuations at a particular location over a specified period of time
U = the average of the velocity at the same location over same time period
7
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Typical values of turbulence intensity measured within the PBL with the
velocity range similar to that in this study is reported to be 8~10% by
Barthelmie(1999). This was very well simulated within the wind tunnel as
shown in Figure 7; the simulated values were in the range of 4 to 14 %. The
lateral and vertical fluctuations of the wind speed at a single location were
assumed to be ignorable and only the axial component was taken into account to
calculate the turbulence intensity.
8
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Under the assumption that the maximum particle size found in the total
9
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
The effects of moisture content in soil were also tested by adjusting the
water contents to 0, 5 and 10%. The tests were performed in outside
environment with constant temperature and humidity in order to avoid the
influences of other variables. As shown in Figure 10, the results indicate soil
particles with higher water content are hard to be dispersed and fine particles in
the dry soil show a 4.5times higher dispersion rate compared with the case with
moisture content of 10%.
10
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
11
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. (x 500) b. (x 5000)
Figure 11. SEM Images of Asbestos Fibers
12
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
13
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
14
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.2 Seasonal Deposition of Asbestos Particles from Three Closed Down Mine
Portals
15
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. In Summer b. In Spring
Figure 15. Seasonal Variation of Deposition Rate of Asbestos Particles
4.3 Deposition of Asbestos Particles for the Five-year Period from Three Closed
Down Mine Portals
A longer-term simulation was done for 5-years. All the scenario data were
identical to those in the previous simulations. Figure 16 illustrates the results;
the estimated deposition rate within the distance of approximately 400m from
three portals was 1.5x10-19g/m2, considerably less than NEN 5707, 0.4g/m2 at the
depth of 2.5cm.
16
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.4 Deposition of Asbestos Particles under the Worst Scenario-All Three Mines
in Operation
Scenarios for the worst case would be the cases when three mines are
assumed to be in operation. These scenarios will provide information about the
soil contamination from three mines in the past. For the worst cases, all the fine
particles dispersed are assumed to be Asbestos fibers; the contamination strength
of 1.69x 10-3g/m2 s. The simulation results for 5-years period from the worst
scenario are summarized in Figure 17. Within the distance, 300~320m from the
portals, the deposition rates are higher than NEN 5707 and indicate that soil in the
vicinity of portals had been contaminated in the past for a quite long period
through the atmospheric dispersion.
5. CONCLUSIONS
This paper aims at analyzing the possibility of human risk created by the
atmospheric dispersion of Asbestos particles from closed down mines. A wind
tunnel was used to simulate the dynamics within the planetary boundary layer
near the earth surface and the strength of Asbestos contamination source was
quantified. Consequently, the atmospheric dispersion was simulated to identify
17
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
the regions near the mine portals contaminated by Asbestos particles carried by
the air.
The results can be summarized as follows:
(1) The PBL can be well created in the wind tunnel through characterizing the
vertical profiles of wind speed and turbulence intensity.
(2) The turbulence intensity, the governing variable for particle re-entrainment,
ranged from 4 to 14% in the wind tunnel, compared to those of 8~10% in
the PBL.
(3) With the wind speed less than 15m/s, the dispersion rate of fine particles
less than 100μm was in the range of 5.5x10-5 and 1.69x10-3 g/s m2.
(4) Asbestos fibers in the study site have the mean length of 17.5μm and the
mean diameter of 1.5μm. Based on this aspect ratio, the Asbestos fiber
dispersion rates range from 1.46E-25 to 2.21E-23 g/m2 s.
(5) The simulation results shows that after several decades since mines were
closed down, none of the regions near the mine portals was found to be
contaminated by Asbestos. However, another simulation with the scenario
of three mines in operation clearly indicates that the area within
approximately 300m from the portals would have been seriously
contaminated by the dispersed Asbestos particles.
(6) At present, in the vicinity of mine portals, there is no possibility of human
risk created by Asbestos. This is found to be true at least in the study site
of this paper.
6. ACKNOWLEDGMENTS
18
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
7. REFERENCES
S.Y. Yoo, W.S. Shim and S.C. Kim, 2005. A Study on the Pollutant Dispersion
over a Mountain Valley Region (Ⅰ) : Wind Tunnel Experiments. Journal of
Society of Air-Conditioning and Refrigerating Engineers of Korea, vol.17,
no.11, pp. 1050~1059.
J.G. Jhun, 1995. Characteristics of Turbulence Intensity in the Surface Layer for
the Various Static Stabilities in South Korea. Journal of The Korean
Meteorological Society, vol.31, no.2, pp. 169~185.
Ogawa, T., Nakayama, M., Murayama, S. and Sasaki, Y., 1991. Characteristics of
Wind Pressure on Basic Structures with Curved Surfaces and Their
Responses in Turbulent Flow. Journal of Fluid Mechanics, vol. 38, pp.
427~438.
J.G. Kim, K.H. Choi, S.J. Oh, Y.J. Chung, D.G. Kang and J.C. Lee, 1994.
Classification of the Length of Ceramic Fibers by Settling Process. Journal
of The Korean Ceramic Society, vol.3, no.2, pp. 161~170.
T. Allen, 1997. Particle Size Measurement, fifth ed. Chapman, London, pp. 33~36.
C.K. Bong, S.D. Kim and H.K. Lee, 2000. The Effect of Similarity Condition for
the Test Results in a Wind Tunnel Test. Journal of Korean Society for
Atmospheric Environment, vol.16, no.4, pp. 351~361.
C.W. Park, S.J. Lee, 2004. Wind Tunnel Experiment on Porous Wind Fence for
Abating Wind Erosion of Coal Dusts in POSCO KwangYang. Journal of
The Wind Engineering Institute of Korea, vol. 2, no.1, pp. 115~126.
19
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Eddy Ibrahim1
1
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Kota
Inderalaya, Indonesia
eddy_ibrahim@yahoo.com
ABSTRAK
Kata kunci : Forward modeling 3D, orientasi antena, batubara dan lempung, bidang
pecah, polarisasi medan listrik, sejajar dan tegak lurus.
20
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
2. METODE
21
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
solusinya dalam bentuk persamaan E x, t E 0 exp i t k.x . Maka untuk H
ˆ
diperoleh H E . Maka E H E 2
k . Jadi E , H , kˆ saling tegak lurus
v,
E E
perbandingan magnitude : ; yang hanya bergantung pada sifat
B H
22
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 2. Gambaran arah polarisasi (arah y) dan arah perambatan medan Listrik
(arah x) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y)
Gambar 3. Gambaran arah polarisasi (arah x) dan arah perambatan medan listrik(arah
y) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y) dan lempung
23
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
3. HASIL
24
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 5 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke
Y)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini akan tereksitasi (amplitudo
gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang pecah)
dan juga tidak terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan batubara.
Pemodelan dengan cara ini akan memperlihatkan batas batubara dengan lempung
secara vertikal lebih tegas.
Untuk arah polarisasi listrik kearah x (tegak lurus bidang-bidang pecah) dengan
dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program simulator
Reflex 3.05 beserta spesifikasi-spesifikasinya dapat dilihat pada gambar 6.
25
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 6 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke
X)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini kurang tereksitasi (amplitudo
gelombang besar karena tidak teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang
pecah) dan juga terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan
batubara. Sehingga pemodelan dengan cara penempatan antena dengan model
batubara dan lempung tersebut akan dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah
batubara secara lateral lebih tegas.
Sebagai perbandingan hasil pengukuran lapangan diterapkan pada model fisik
batubara seperti gambar 7 menunjukkan kesesuaiannya terhadap kedua hasil model
diatas.
26
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Adapun kedua radargram hasil pengukuran untuk kedua cara diatas dapat
dilihat pada gambar 8a dan 8b.
27
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. KESIMPULAN
Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Fisika Bumi ITB dan
Laboratorium Eksplorasi dan Hidrologi Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dekan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Rektor Universitas Sriwijaya Atas bantuan
keuangan untuk dapat menghadiri dan Mempresentasikan Tulisan ini dalam Seminar
Nasional. Khusus kepada Ir. Syaiful Islam, Gunawan Handayani, MSCE, Ph.D, DR.
Bagus Endar NH atas masukan- masukannya, DR. Surono, Muslim Nugraha, Ssi,
Karlan Ssi, Yonathan Ssi, Erlan Dan seluruh yang membantu dalam penyelesaian
tulisan ini.
28
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. DAFTAR PUSTAKA
Annan A, P, (2001) Ground penetrating radar, workshop notes, sensors & software,
Ontario, Canada.
Engheta N. and Papas C.H, (1982) Radiation patterns of interfacial dipole antenna,
Radio science 17, 1557-1566.
Ibrahim E, and Hendrajaya. L and Handayani. G and Fauzi. U and Islam.S. (2003a),
Determination study of coal seams thickness by using GPR method and
presented a oral presentation at Joint Convention Jakarta 2003, The 32nd IAGI
and the 28th HAGI annual convention and exhibition, Proceedings, 2003
Ibrahim, E., and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S.
(2004c), Determination of geometry and bedding plane orientation in coal
seam use of GPR method and presented a poster presentation in session
T08.04, “Magnetotellurics” at 32nd International Geological Congress,
Florence, Italy, Expanded abstract, August, 27, 2004.
Ibrahim, E., (2005) Studi penggunaan GPR multi konfigurasi pada tahap eksploitasi
batubara (studi kasus pada tambang batubara Bukit Asam, Tanjung Enim,
Sumatera Selatan), Disertasi Doktor (S 3), Program Studi Fisika, FMIPA, ITB
(tidak dipublikasikan).
Interpex, (1996), The definitive solution for Ground Penetrating Radar processing
and interpretation. GRADIX software ver. 1, Colorado.
Yee, K.S, (1966), Numerical solution of initial boundary value problems involving
Maxwell’s equation in isotropic media. IEEE transactions on antennas and
propagation, Vol. 14 pp.302-307.
29
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Indonesia
2
Dosen Program Studi Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Email : nurhakim@ft.unlam.ac.id
ABSTRAK
30
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. LATAR BELAKANG
2. PERMASALAHAN
3. TUJUAN PENELITIAN
31
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme yang terdapat di alam. Dengan usaha dan penanganan yang baik
maka diharapkan dampak negatif yang dikhawatirkan dapat diminimalisasi atau
bahkan dicegah sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga sehingga airdanau
tambang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku.
4. KAJIAN PUSTAKA
Q = 0,278 x C x I x A
Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisi pengontrolan air
tanah yang sulit di atasi. Persamaan Thiem sering digunakan untuk menghitung debit
air tanah yang dasar perhitungannya adalah pengurangan air dalam akuifer. Asumsi-
asumsi yang terlibat dalam persamaan ini adalah bahwa aliran air bersifat steady,
merata baik kearah horizontal maupun radial didalam akuifer, isotropis dan
walaupun terjadi penyebaran air kearah horizontal, tetapi tidak mengurangi penetrasi
terhadap sumur. Persamaan dibawah ini adalah persamaan Thiem.
K2 m (S1 - S2 )
Q
C log 10 (R/r)
32
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dimana :
Variable Keterangan MEINZER DARCY
Q Laju aliran gallon/menit ml/det
K Permeabilitas Meinzer Darcy
M Ketebalan penjenuhan rata- feet cm
rata dari akuifer yang diukur
melalui 2 titik pengamatan
R Jari-jari titik pengamatan Dapat diukur dengan satuan
yang jauh dari sumur sejenis karena hasilnya hanya
R Jari-jari sumur atau titik merupakan perbandingan
pengamatan terdekat
C Konstanta 528 2,3
Viskositas centipoise centipoise
S1 Penurunan air tanah pada titik feet Atm
terdekat sumur pengamatan
S2 Penurunan air tanah pada titik feet Atm
terjauh sumur pengamatan
a. Volume waduk
Volume waduk bekas galian tambang sangat bervariasi tergantung dari volume
lapisan tanah penutup, batuan penutup serta batubara atau mineral lainnya yang
dibuka atau ditambang hingga pada batas akhir penambangan dan menghasilkan
lubang bukaan yang terisi oleh air hujan atau air rembesan/airtanah sehingga lubang
bukaan tersebut akan menjadi waduk atau danau. Volume waduk ditentukan oleh
luas waduk beserta kedalaman air pada waduk tersebut.
33
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Volume waduk = Luas waduk ((b’+ b)/2) x kedalaman air dalam waduk (h)
b. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas,
dinyatakan dalam milimeter.Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan
rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik
tertentu.
Daerah Kalimantan Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis, salah satu
wilayah perusahan pertambangan mempunyaicurah hujan bulanan maksimum 634,7
mm pada bulan Maret tahun 2008 dan curah hujan bulanan minimum mencapai 114
mm pada bulan Juni tahun 2008.
Tabel 1 Curah Hujan Maksimal Daerah Tambang xyz Periode 2004 - 2008
TAHUN
BULAN 2004 2005 2006 2007 2008
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Januari 614 528 276,45 647,1 391,7
Februari 372,5 301 388,95 631,25 288,75
Maret 461,5 600,5 486 289,4 634,7
April 228 374 373,7 582,1 512
May 268 376,3 277,72 416,9 166,5
Juni 174 275 384,9 336,6 114
Juli 163 200,5 98,5 165,75 256
Agustus 7 63 105 206,27 188,5
September 81 126,5 122,5 95,1 131,8
Oktober 18 298 61,5 340,9 262,8
November 417 474,8 176,8 512,7 584,2
Desember 668,5 586,8 452,5 264,05 623,2
c. Evaporasi
Peristiwa air atau es menjadi uap dan naik ke udara disebut penguapan dan
berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang
rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan
suhu, sampaiudara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Tetapi kecepatan
34
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Keterangan:
E = evaporasi (mm/hari).
ea= tekanan uap jenub pada suhu rata-rata harian (mm/Hg).
ed= tekanan uap sebenarnya (mm/Hg).
V = kecepatan angin pada ketingginan 2m di atas permukaan tanah (mile/hari).
d. Transpirasi
Air dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa
inidisebut transpirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung dari kadar
kelembabantanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyaknya transpirasi
yang diperlukanuntuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan
dinyatakan dalamgram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah kira-kira 200
sampai 600 gram danuntuk daerah kering kira-kira dua kali lipat dari itu. Salah satu
persamaan yang digunakan untuk menghitung transpirasi adalah Blaney-Crinddle
(Suyono S: 1999) sebagai berikut:
Dimana:
U = tarnspirasi bulanan (mm)
t = suhu udara rata-rata bulanan (oC)
Kc = Koefisien tanaman bulanan
P = Persentase jam siang bulanan dalam setahun
35
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
e. Infiltrasi
Proses masuknya air hujan kedalam lapisan permukaan tanah dan turun ke
permukaan airtanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama
diabsorsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun
kepermukaan airtanah dan mengalir kesamping (Suyono S: 1999). Untuk penentuan
kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara menggunakan alat ukur infiltrasi dan cara
dengan menggunakan analisa hidrograf.
36
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
37
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dengan pengertian:
Qmd = kebutuhan air (liter/hari)
q = kebutuhan air perorang perhari (Liter / orang /hari)
P = jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun
perencanaan (jiwa)
fmd = faktor maksimum (1,05 – 1,15)
38
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.3. Analisis
a. Perhitungan Volume air netto
Studi kasus pada PT XYZ mempunyai salah satu lubang bukaan pasca tambang
dengan dimensi lubang bukaan yang tidak dapat di timbun kembali, yaitu 309.5 m x
154,8 m x 20.1, dimana debit air yang masuk ke lubang bukaan tersebut dengan
Intensitas curah hujan = 110,12 mm/jam, Luas daerah tangkapan hujan = 4,10 km2,
Koefisien limpasan 0, 9, sehingga laju aliran air permukaan yang masuk (Qs) =
112,95 m3/det. Sedangkan air tanah (Qa) = 1 m3/det (berdasarkan luas penampang
39
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
yang terbuka dan permeabilitas batuannya), sehingga total air yang masuk Qtot =
113,95 m3/det.
Air yang dapat tertampung pada kolam, jika tinggi muka air maksimum dalam
kolam 17,5 m karena ada saluran pembuangan, maka V = 838 435,05m3 (Volume
air netto) dan tinggi muka air minimum dalam kolam pada musim kemarau 15,3 m,
maka V = 737032,18m3
a. Kualitas Air Tambang
Air asam tambang pada daerah PT xyz, sebelum dilakukan perlakuan khusus
(pengolahan) masih belum memenuhi baku mutu limbah batubara yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, berikut
adalah kualitas air tambang pada PT XYZ
40
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
WHO’s Quantity
recommendation available % shortage
No Purpose
liter/person/day liter/person/day c= ((a-b)/a) x100%
(a) (b)
1 Drinking/Cooking 15 5.5 63.3
2 Bathing/Personal 60 10.0 83.3
Washing
3 Utensiles Washing 15 5.0 66.6
4 Cloth Washing, 20 7.5 62.5
Washing
5 House Washing 10 5.0 50.0
6 Flushing/Refuse 60 15.0 40.0
disposal Washing
7 Garden 10 - 100
8 Wastage 20 7.0 65
Total 210 57 72,86
1) Equalisasi
Fungsi dari bak equalisasi adalah untuk menyeragamkan kualitas air limbah
yang sifatnya fluktuatif, baik kandungan pollutannya maupun jumlah air asam
41
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
tambang, tergantung dari jenis proses dan jumlah produksinya.Dengan adanya bak
equalisasi maka kualitas air asam tambang menjadi seragam ( homogen ) sehingga
tidak akan mengganggu proses selanjutnya, terutama proses biologis.
2) Koagulasi
Salah satu cara yang paling sederhana untuk memisahkan polutan terutama
partikel - partikel yang ukurannya besar, dan zat warna ciari air limbah adalah dengan
koagulasi yaitu dengan menambahkan bahan -bahan kimia yang dikenal sebagai
koagulant kedalamnya. Dengan ditambahkannya koagulantmaka partikel-partikel
yang ukurannya kecil menjadi besar sehingga dapat dipisahkan.
3) Lumpur Aktif
Metode pengolahan air asam tambang dengan Lumpur aktif adalah salah
satu metode Biologis, yaitu merupakancara pernisahan polutan-polutan terutama
yang berupa bahan organik biodegradable.Metode ini sangat banyak
digunakan oleh industri, dikarenakan relatif lebih mudah dan efisien.
Air limbah yang berasal dan proses koagulasi setelah dipisahkan lumpurnya
dimasukkan ke bak lumpur aktif dan ditarnbahkan oksigen / udara dengan
menggunakan blower atau aerator.Didalam proses lumpur aktif ini akan terjadi
Lumpur yang merupakan massa dari microorganisme dan dapat dipisahkan
dengan menggunakan bak pengendap atau clarifier.
42
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.50
1.40
1.30
43
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas air danau pertambangan untuk sumber air baku
dapat digunakan setelah melalui proses pengolahan untuk menetralkan pH, Fe dan
Mn. Biaya pengolahan air danau pertambangan ditentukan oleh besarnya debit,
kualitas air limbah serta sistem yang dipergunakan didalam pengolahan, sehingga
antara industri yang satu tidak sama besarnya dengan industri yang lainnya. Dengan
biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk
melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap
lingkungan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Birdie G.S and Birdie J.S. 1990. Water supply and Sanitary Engineering, Dhanpat
Rai and Sons., New Delhi.
Barton, B.A. 1997. Short term effect of higway construction on limnology of small
streem in Southern Ontario. Elsavier Applied Science, London and New York.
Smith M.J. 1974. Acid production in mine drainage system in:Deju R.A. 1974.
Extraction of mineral energy: Today Dilemmas. Ann Arbor Science Publisher
Inc. Mich pg.99.
44
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRACT
45
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. INTRODUCTION
2. BACKGROUNDS
46
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Figure 1. Description of hole viewer system at contour hole in tunnel (hole Dia.
45 mm, damaged zone verification)
Figure 2.Hole viewer test in open mine (looking for faulty area in stony mine)
Figure 4. Endoscope find out faulty area (damaged by drilling impact. Stony
mine. Kim-Hae. Korea )
47
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
The air tube is a cylindrical flexible tube having a predetermined width and
length to be fit in the borehole. An air tube injection port is provided at one end
portion of the air tube. The air tube is made of the sheets and its diameter upon
inflated, becomes smaller than that of the boreholes. The air tube and air injection
port are made from synthetic materials such as polyethylene, polypropylene, and
polyamide. Preferably, the air tube is inflated by using an air injector of air
compressors provided from work sites. For the optimal arrangement, the
explosives and air tubes are alternately charged along the boreholes. Furthermore,
the air tube is charged first at the bottom of the borehole and subsequently a
detonator is charged above the top of the air tube charged in the borehole, and the
explosives and air tubes are charged in an adjacent two boreholes so that they are
located in cross relation each other, therefore, one air tube can face lateral
explosives in an adjacent borehole.
Figure 6. The trial pattern of Air-Tube blasting (self support type, buried in
explosives, reduce specific charge)
48
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
The air tube which is installed above the top of explosives can reduce the
stemming length charged above the air tube as much as extent the air tube. The
explosive charged above the air tube is detonated by sympathetic detonation.
The technique of air decking involves the use of one or more air gaps in the
explosive column as a means of optimising fragmentation for a given charge
length. The theory as proposed by Melnikov and Marchenko (1971) and Melnikov
et al. (1979), postulates that shock waves, when reflected within the borehole,
generate a secondary shock wave that extends the network of microfractures prior
to gas pressurization. The final borehole pressure produced by an explosive is,
however, reduced in this case but the degree of fracture is increased as a result of
repeated loading of the rock by a series of aftershocks. The three main pressure
fonts (shock front, pressure front due to formation of explosive products behind
the detonation font and reflected waves from the bottom of the blasthole and/or
from the base of the stemming) travel within the air deck for different distances
and velocities thereby creating these aftershocks.
3.1. Location
The limestone mine is situated in central Korea southern of Dan-Yang in the
state of Chungchung-nam-do and belongs to Sung-Shin Cement Ltd.
3.2. Topography
Regionally, the area forms undulating terrain with two ridges trending ENE-
WSW. The centre of city crossed by Riv. Yeon-san and annual precipitation rate
in this area is about 1180 mm.
49
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
50
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. FIELD TEST
4.3. Charging
All the blasthole charges with HIMEX (bulk emulsion, Han-Hwa Co.,
specific gravity 1.25) basically, but some holes that found fault zone bottom of
51
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
hole, displaced ANFO as faulty zone starting point. And others installed Air-Tube
between bulk explosives. So average of specific charges down comparing with
conventional blasting method whole the test blasting range.
Figure. 9. Detail description of trial method (left) and air deck method (right)
(bench height 15 m, saved explosives 9-15% in average)
52
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. RESULT
5.1. Fragmentation
53
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
It can be observed in fig. 11 that middle sizes of rocks are smaller than
conventional blasting. The average of middle size was 234.46 mm at conventional
and 164.89 mm at test. It means about 30 % fragmentation improved in air deck
blasting.
Specific charge
In conventional blasting with bulk explosive, a specific charge of 0.25 – 0.33 kg
m3 was used, whereas the specific charge was slightly higher in conventional
blasts with an air deck. In spite of this, the explosive cost is reduced significantly
due to the use of low cost and low-density explosive (ANFO) and better
utilization of available shock energy as explained previously.
Throw
Research conducted by the Swedish Detonic Research Founder (SVEDEFO)
shows that the forward movement of muck pile in conventional charging should
be 140c 228m, where c is the specific charge in kg m3 (Olofson, 1988). The
observed throw in conventional blasts with air decks is compared with the throw
54
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
without air decks estimated after SVEDEFO. It is seen in Fig. 10 that the throw is
drastically reduced in air deck blasting which indicates that significantly less
explosive energy is spent for rock throw in air deck blasting compared to blasting
without an air deck. Thus, air deck blasting makes more efficient use of the
explosive energy.
This is observed rock movement. As shown Fig. 12.two of four trial shot was
excessively throws rock which was on bottom area in the bench.
55
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. CONCLUSION
Depends on Air Tube blasting that each air deck layers are located at weak
point in the holes, the degree of fragmentation was improved.
From observation, the improved fragmentation is caused by preventing
overcharges through which installing air tubes in faulty zone, so density of charge
was stabilized.
By using Air Tube, reduce explosives 9 – 15 % for general method. It is
expected to be a great financial opportunity for the mine.
7. REFERENCE
Kinney, G.F. and Graham, K.J. (1985) Explosives Shocks In Air , Springer, New
York. McCabe, W.L. and Smith, J. (1976) Unit Operations of Chemical
Engineering, McGraw-Hill Book.
56
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena mendominasi 95
% dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi
pengembangan industri suatu bangsa. Kebutuhan besi/ baja nasional mencapai
lebih dari 10 jt ton pertahun dan terus meningkat seiring dengan program
percepatan pembangunan ekonomi dewasa ini. Namun demikian, hingga kini,
hampir seluruh bahan baku industri besi/ baja tersebut diperoleh dari impor baik
berupa pellet maupun skrap dengan harga yang relatif mahal dan tidak stabil.
Sementara itu, sumber daya alam yang berupa bijih besi dan pasir besi lokal
belum diolah untuk tujuan tersebut karena berbagai macam kendalan yang
dihadapi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi
pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.
Pertama, dibahas mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi industri
besi/ baja hulu nasional, seperti ketergantungan bahan baku impor, tata kelola
organisasi pemerintahan dan kebijakan serta kendala teknologi dan R & D.
Kemudian dilanjutkan dengan uraian teknologi terkini yang potensial
dikembangkan di Indonesia. Pendekatan klaster industri besi/ baja hulu menjadi
pilihan yang paling strategis sebagai upaya penguatan daya saing global industri
besi/ baja nasional. Terakhir disampaikan kesimpulan dan rekomendasi
pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.
Kata kunci: Strategi, industri besi/ baja hulu, bahan baku lokal, tata kelola
kebijakan, teknologi pengolahan.
57
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena
mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang
punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Negara-negara maju
berusaha melakukan penguasaan teknologi pengolahan dan produksi baja secara
besar-besaran untuk berkompetisi menguasai seluruh segmen pasar industri baik
di dalam dan di luar negaranya pada era global dewasa ini. Berdasarkan laporan
dari International Iron and Steel Institute, 2010 produksi baja dunia meningkat
dari di bawah 1 milyar ton pertahun pada 2003 mencapai di atas 1,4 milyar ton
pertahun pada 2010. Peningkatan ini diproyeksi akan terjadi dari tahun ke tahun
seiring dengan peningkatan konsumsi baja dunia. Peningkatan konsumsi baja di
masing-masing negara mengindikasikan bahwa proses pembangunan dan
pengembangan industri masih terus berlangsung khususnya di negara-negara
dunia ketiga (seperti China, India, Korea, Brasil dan lain sebagainya). Kondisi ini
mendorong terjadinya perubahan peta industri baja dunia. Industri - industri baja
di dunia melakukan serangkaian strategi untuk 1) mempertahankan eksistensinya,
2) ekspansi, 3) mendapat jaminan pasokan bahan baku dengan menguasai sumber
bahan bakunya, 4) merebut pasar dunia dan lain sebagainya.
Peningkatan konsumsi baja China dan perubahan peta industri baja dunia
berdampak serius bagi industri besi/ baja nasional, dimana hampir semua bahan
baku diperoleh dari impor dengan harga yang mahal dan tidak stabil. Di sisi lain,
Indonesia kaya akan bahan baku, dimana jumlah pasir besi mencapai lebih dari 1
milyar ton yang utamanya tersebar di pulau Jawa dan Flores serta bijih besi
laterite dengan total lebih dari 2 milyar ton di pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Sementara itu, jumlah deposit batubara dengan total melebihi
64 milyar ton dan batu kapur bermilyar - milyar ton tersebar di berbagai wilayah
di Indonesia. Namun demikian kekayaan bahan baku lokal tersebut masih belum
bisa dikelola secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan baja nasional karena
berbagai macam kendala yang dihadapi dan belum adanya strategi yang
terintegrasi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi
58
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 1. Produksi besi kasar dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
(Sumber: http://www.worldsteel.org).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang berupa
mineral bijih besi, pasir besi, batubara dan lain sebagainya. Namun pada
kenyataannya industri besi/ baja nasional masih kekurangan pasokan bahan baku
untuk memenuhi proses produksinya. Kondisi ini disebabkan masih terbatasnya
industri besi/ baja hulu di Indonesia baik dalam jumlah maupun kapasitas
produksinya (Kemenperin, 2009).
Sumber bijih besi di Indonesia tersebar dan karakternya spesifik, tetapi
belum ada industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi tersebut secara
berkelanjutan, bahkan sebagian besar bijih besi, pasir besi dan batubara tersebut
diekspor begitu saja tampa diberikan nilai tambah. Belum adanya industri lokal
yang mengolah bahan baku bijih besi disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu 1)
investasi yang diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan bahan baku bijih
besi lokal masih relatif sangat besar, 2) belum dikuasainya teknologi pengolahan
59
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
2.3. Tata Kelola Kebijakan Industri Besi/ Baja Nasional Belum Terintegrasi
Kondisi ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa kebijakan industri besi/
baja belum menjadi isu nasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh
stakeholder/ kementrian dalam pengembangan industri nasional. Selain itu
60
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
61
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Potensi sumber daya bijih besi/ pasir besi Indonesia sangat mendukung
untuk kemandirian industri besi/ baja nasional jika dilakukan pemilihan teknologi
yang tepat sesuai dengan karakter bahan bakunya. Teknologi untuk mendapat
besi/ baja dari bijih besi/ pasir besi yang digunakan di Indonesia adalah blast
furnace (tanur tiup) dan Direct Reduction Iron berbasis gas alam. Blast furnace
merupakan teknologi generasi pertama pembuatan besi. Bagian-bagian dari tanur
tiup dapat dilihat pada Gambar 2. Sementara Gambar 3 menunjukkan mini blast
furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak
tahun 1985.
1. Hembusan udara panas dari tungku
2. Daerah pencairan
3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide)
4. Zona reduksi Fe2O3 (Ferric Oxide)
5. Daerah pemanasan awal
6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan
Kokas
7. Gas sisa pembakaran
8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas
9. Slag
10. pig iron
11. Saluran gas buang
Gambar 2. Ilustrasi skematik tanur tiup secara umum untuk generasi pertama
teknologi iron making.
62
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Reduction Iron). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih
rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini
juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko.
Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX®
Process dan Fastmet® Process. Teknologi lain yang dikembangkan adalah
HOTLINK® Process yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process.
Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan tanur tiup
meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000
ton pada tahun 2005 (Otzuka & Kunii, 1967; Kashiwaya & Ishii, 2004). Bijih besi
yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap
membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.
Gambar 3. Mini tanur tiup yang ada di Balai Pengolahan Mineral Lampung
dengan kapasitas 10 ribu ton/ tahun.
Gambar 4. Plant Reduksi Langsung berbasis gas alam (a) MIDREX® Process, (b)
HOTLINK® Process.
63
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak
terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan
menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan
64
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
kedua). Pasir besi tersebut dapat digunakan tetapi membutuhkan proses yang
panjang agar sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh teknologi
tersebut. Selain itu harga kokas yang masih impor (generasi pertama) dan harga
gas alam (generasi kedua) yang cenderung naik menjadi kendala lain dalam
pengolahan pasir besi di Indonesia.
25
Konsumsi baja nasional (juta ton/ tahun)
20 Tahap III
- Peningkatan kapasitas masing-masing
klaster dari 1 menjadi 3 juta ton/ tahun.
- Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
15 Tahap II
- Pembentukan 6 buah klaster industri baja hulu.
- Peningkatan kapasitas masing-masing klaster
dari 500 rb sampai minimal 1 juta ton/ tahun.
10 Tahap I - Akselerasi penguasaan steel making dan turunannya.
- Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
0
2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025
Tahun
Gambar 6. Proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas pada
strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal
yang mengacu pada visi dan arah yang telah dirumuskan sebelumnya.
65
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
produk turunannya.
industri baja nasional.
blast furnace.
secara masif.
masif.
masif.
2013-2015 2015-2020
2006-2008 2010-2013 Roadmap arah pengembangan
teknologi industri baja nasional
2008-2010 berbasis bahan baku lokal
4.1. Tahap I
Pada 2008 konsumsi baja nasional diskenariokan akan bertambah sekitar 2,2
jt ton (dari 7,8 jt ton di tahun 2006) sehingga mencapai 10 jt ton / tahun. pada
tahun 2010. Sementara itu, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 3,8 jt
ton / tahun, hanya digunakan sekitar 2,5 jt ton untuk konsumsi dalam negeri. Di
sisi lain, kapasitas terpasang industri baja nasional kita dapat mencapai 6,5 jt ton /
tahun dengan hampir seluruh bahan baku (pellet dan skrap) yang didapat dengan
cara impor. Untuk mencapai target produksi 10 jt ton / tahun, maksimalisasi
utilisasi kapasitas terpasang saat ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tambahan
66
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
produksi lebih dari 4 jt ton / tahun. Nilai ini masih terlalu besar untuk dapat
dicapai dengan pembangunan industri hulu dan hilir baru, mengingat waktu Tahap
I ini sudah selesai.
Dengan memperhatikan banyaknya potensi sumber daya bijih besi primer
yang tersebar diberbagai lokasi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, serta
penguasaan teknologi mini blast furnace oleh Balai Pengolahan Mineral Lampung
– LIPI, terlihat bahwa strategi desentralisasi pengembangan industri baja hulu
sangat sesuai untuk tahap awal ini. Untuk langkah awal, perlu didesain mini blast
furnace dengan kapasitas 50 ~ 500 jt ton / tahun dalam jumlah yang relatif banyak
(sekitar 25 ~ 50 buah). Dengan desain ini, cadangan bijih besi yang tersebar
dengan jumlah yang relatif tidak besar (sekitar 1 juta ton) dapat dimanfaatkan
selama kurang lebih 10 tahun secara ekonomis, dengan perkiraan BEP lebih
kurang 3 – 5 tahun sejak mulai beroperasi. Pembangunan mini blast furnace
dengan kapasitas ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat (kurang
dari satu tahun). Jika rata – rata kapasitas mini blast furnace yang dibangun
selama 2 tahun ini adalah 200 rb ton / tahun dan jumlahnya 25 buah, maka sekitar
5 jt ton (200 rb ton x 25 = 5 jt ton) / tahun dapat diproduksi. Dengan demikian,
total produksi pada tahun 2010 akan mencapai 10 jt ton / tahun (5 – 6 jt ton dari
kapasitas terpasang + 5 jt ton dari total produksi mini blast furnace). Perhitungan
ini lebih realistis dibanding dengan pembangunan industri baja hulu sentral yang
besar berkapasitas 5 jt ton / tahun hanya dalam waktu 2 tahun.
Untuk mengawal pengembangan industri baja hulu mandiri tersebut, maka
pemerintah harus membuat berbagai kebijakan seperti yang berkaitan dengan
peraturan ekspor-impor baja dan bahan bakunya, pertambangan dan lain
sebagainya. Di samping itu, perlu dilakukan kajian pembentukan klaster industri
baja hulu yang memiliki nilai strategis. Sekurang – kurangnya ada enam klaster
industri baja hulu yang dapat direkomendasikan dengan pertimbangan potensi
sumber daya bahan baku, infrastruktur, SDM dan teknoekonomi. Adapun wilayah
klaster – klaster tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kalimantan Selatan – Kalimantan Barat (pusat di Kalimantan Selatan),
2) Lampung – Sumatera Barat (pusat di Lampung),
3) Nusa Tenggara Timur (Flores),
67
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4) Jawa Tengah,
5) Sulawesi Selatan,
6) Papua.
Di samping kajian klaster industri baja hulu, pemerintah harus
memprioritaskan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi pembuatam besi
(iron making) dari bijih besi kualitas rendah (low grade) dengan melibatkan
berbagai peneliti dari lembaga penelitian dan industri terkait secara masif. Dalam
dua tahun diharapkan ke depan akan ada terobosan baru yang dapat
memanfaatkan bijih besi low grade menjadi pig iron. Untuk itu, perlu adanya
forum – forum diskusi dan seminar – seminar ilmiah yang dapat mengakselerasi
penguasaan teknologi iron making dari bijih besi kualitas rendah (low grade).
4.2. Tahap II
Pada tahap dua ini, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 15 jt ton /
tahun. Oleh karena itu, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan dari 10 jt ton
menjadi 15 jt ton / tahun pada akhir tahun 2015. Untuk mencapai nilai tersebut,
maka 6 klaster industri baja hulu yang telah dikaji pada tahap sebelumnya, harus
sudah dibangun di akhir tahun 2013 dengan kapasitas awal masing – masing
sekitar 0,5 jt ton / tahun. Kemudian kapasitas tersebut ditingkatkan menjadi 2 kali
lipatnya, sehingga pada tahun 2015 masing – masing dapat memproduksi 1 jt ton /
tahun. Total jumlah produksi 6 klaster diharapkan pada tahun 2015 adalah 6 jt ton
/ tahun. Dengan demikian, total produksi baja hulu nasional akan mencapai 16 jt
ton / tahun, dengan 10 jt ton berasal dari kontinuitas produksi pada Tahap I.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu diterapkan teknologi blast
funace yang berkapasitas minimal 1 jt ton / tahun dengan memanfaatkan bijih besi
primer (high grade) yang jumlah cadangannya melimpah. Penguasaan teknologi
ini dilakukan secara bertahap dari 0,5 jt ton / tahun menjadi 1 jt ton / tahun dengan
rentang waktu sekitar 5 tahun, dari 2010 s/d 2015. Di lain sisi, teknologi iron
making dengan menggunakan bijih besi low grade sudah mulai dikuasai dan dapat
dibuat prototipenya pada akhir tahun 2015. Pada tahap ini juga harus sudah
dimulai riset dan pengembangan teknologi steel making skala nasional dan produk
68
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
PENGEMBANGAN
INDUSTRI BAJA HULU
69
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
industri baja nasional yang terpasang sekarang ini diharapkan sudah bisa
berkembang mencapai 8 jt ton / tahun, sehingga secara matematis jumlah total
produksi baja di tahun 2020 akan mencapai sekitar 26 jt (8 + 18 jt ton) / tahun.
Dengan demikian pada akhir Tahap III, Indonesia akan mengalami over supply
sekitar 6 jt ton / tahun dan dapat diekspor ke negara lain.
Pada tahap ini, teknologi iron making dari bijih besi low grade sudah dapat
diterapkan secara masif bersamaan dengan penerapan teknologi steel making dan
produk turunannya pada industri baja nasional. Di sini diversifikasi produk baja
turunan telah dapat dilakukan dan produk – produk baja nasional telah memasuki
persaingan global dengan daya saing yang tinggi. Sealin itu, industri baja nasional
yang mandiri dan berdaya saing telah eksis dan akan terus berkembang mengawal
pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat.
70
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
71
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
72
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
batubara yang relatif murah dan pasokan bahan baku bisa dari lokal dan berjumlah
melimpah.
Perkembangan industri baja nasional dengan struktur yang kokoh dan
mandiri tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia sebagai pendukung
operasional secara teknis atau manajerial. Aspek ini sangat perlu mendapat
perhatian secara intens. Pengembangan yang paling penting dari aspek SDM
adalah pengembangan dan pemberdayaan melalui transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tentu saja, pengembangan SDM melibatkan banyak pihak, yaitu
lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi serta lembaga riset
yang dikembangkan sendiri oleh industri baja.
Kemajuan Indutri baja Nasional juga perlu mendapat dukungan dari struktur
pasar yang menjanjikan dan iklim investasi yang kondusif. Pengambil kebijakan
berperan penting dalam menciptkan keadaan yang mendukung ini. Langkah
kongkret yang dapat dilakukan untuk menumbukan pasar baja nasional adalah
dengan membuka kran peluang investasi yang luas untuk pembangunan industri
berat nasional seperti industri galangan kapal, kereta api, otomotif, transportasi
dan industri hilir lainnya. Selain itu juga perlu mempercepat laju pembangunan
infrastruktur (gedung, indutri dan peralatannya) yang merupakan pasar bagi
industri hulu perbajaan nasional. Di sini, pengembangan klaster daerah produksi
baja nasional berbasis letak geografis, ketersediaan potensi bahan baku dan
dukungan infrastruktur serta SDM perlu dilakukan. Dengan melakukan kajian dan
pendekatan permasaahan yang komprehensif, diharapkan strategi pengembangan
industri baja nasional berbasis klaster yang mandiri dan berdaya saing dapat
dirumuskan.
73
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
komponen terkait (industri baja nasional, Pemda, lembaga penelitian, stake holder
lainnya dengan sistem klaster yang berdasarkan letak geografis dan kesiapan
infrastruktur serta SDMnya. Kebijakan pemerintah harus dapat menaungi semua
pola interaksi sehingga aktifitas industri baja nasional dapat berjalan dengan
efisien dan mendukung pembangunan di bidang lain menuju peningkatan daya
saing global industri besi/ baja nasional .
7. DAFTAR PUSTAKA
Anameric B. and Kawatra S.K. (2006), Mineral & Metallurgical Engineering 23,
52-56.
Kashiwaya Y. and Ishii K. (2004), ISIJ International 44, 1981-1990.
Kemenperin (2007), Studi Nasional Pemanfaatan Bijih Besi dan Batubara Lokal
dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Bahan Baku Industri Baja. Direktorat
Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian
Perindustrian.
Kemenperin (2009), Strategi dan Langkah Pengembangan Jangka Menegah
Industri Logam 2010-2014. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin
Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian.
Kobayashi I., Tanigaki Y. and Uragami A. (2007), A New Process to Produce
Iron Directly from Fine Ore and Coal. Download Agustus 2007.
www.midrex.com/uploads/documents/ ITmk3%20Paper%201.pdf
Nagata K., Kojima R., Murakami T., Susa M. and Fukuyama H. (2001), ISIJ
International 41, 1316-1323.
Otsuka K. and Kunii D (1967), Jurnal of Chemichal Engineering of Japan, 46-50.
74
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1
School of Chemical Engineering, The University of Queensland, St. Lucia,
Brisbane, QLD 4072 Australia
penulis1@universitas.ac.id
ABSTRACT
A special high pressure multi-component diffusion cell (HPMCDC) apparatus
has been designed and built to measure single and binary gas diffusion, including
co-current and counter-diffusion, from low to high pressures. The apparatus
incorporates capability to investigate scale effects in solid coal specimens, up to 25
mm in diameter and 25 mm in thickness. This paper presents preliminary results of
coal sample characterization prior to the diffusivity measurements. Future
experiments will be conducted to also assess the effect of the counter-diffusion of two
different gases, namely CH4 and CO2, of various temperatures, pressures and for
three distinct ranks of coal.
In developing optimal sample preparation procedures and to minimise any
measurement errors, several literature-sourced techniques have been reviewed and
the best selected. The pore volume shrinkage, moisture content and porosity have
been measured, as they are important properties affecting the ability of gases to
diffuse in coal. It was found that a large portion of pore volume shrinkage occurs
between 20oC and ~50oC, and falls asymptotically with temperature. Heat treatment
reduces density by up to 5%. The diffusivity experiments will also address the
frequent and controversial literature conclusions that the apparent-diffusion of CO2
in coal is larger by an order of magnitude than the apparent-diffusion of CH4.
75
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. INTRODUCTION
76
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
2. LITERATURE REVIEW
(1)
Where :
Gs : Gas storage capacity, SCF/ton
P : Pressure, psia
VL : Langmuir volume constant, SCF/ton
PL : Langmuir pressure constant, psia
77
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
The above equation assumes pure coal, and for application in the field, the
equation is modified to account for ash and moisture contents of the coal:
(2)
Where :
fa : Ash content, fraction
fm : Moisture content, fraction
Fig. 1 shows the incremental amount of gas sorbed per unit increase in pressure
decreases with increasing sorption pressure; the sorbed gas eventually reaches a
maximum value which is represented by Langmuir volume constant (VL). Langmuir
pressure constant (PL) represents the pressure at which gas storage capacity equals
one half of the maximum storage capacity (VL).
Gas desorption from the matrix surface in turn leads to molecular diffusion
occurring within the coal matrix. Diffusion through the coal matrix is controlled by
the concentration gradient and can be described by Fick’s law:
̅̅̅ (3)
Where :
qgm : gas production (diffusion) rate, MCF/day
78
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Diffusivity and shape factor are usually combined into one parameter, referred
to as sorption time, as follows:
(4)
Sorption time ( ) is the time required to desorb 63.2 precent of the initial gas
volume. The sorption time characterizes the diffusion effects and generally is
determined from desorption test results (Aminian, 2003).
79
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
mesopores (>2 and <50 nm) and macropores (>50 nm), (Harpalani and Chen, 1997,
Massarotto, 2002). More than 95% of the coal matrix pores across these pore sizes
act as an adsorption surface in coal (Gray, 1987).
The different coal porosities make a large contribution to the swelling and
shrinkage of coal during adsorption and desorption processes (Harpalani and Chen,
1997, Rodrigues and Lemos de Sousa, 2002).
I II III
Typical pore volume
Mercury Porosimetry
2 50
Pore size (nm)
Note
I : CO2 at 273 K covers pores less than 0.9 nm at 1atm and requires measurement at higher
pressure to cover entire the micropore range.
II : As N2 at 77 K has a diffusional limitation into micropores, covering some mesopores and
macropores, the pore volume obtained from N2 at 77 K is not representing the real pore structure.
III : Macropore volume can be measured by mercury porosimetry.
Fig. 2: Typical pore volume vspore size measurements from adsorption isotherms
(CO2 at 273 K and N2 at 77 K) on coals and mercury porosimetry results
(Bae, J.S)
80
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
In his paper Gauger (1932) ( concluded that the water content in coals
originates from the following sources: (1) decomposition of organic molecules
81
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
The aim of this study was to get some preliminary results for moisture content,
porosity and mass and pore volume losses of reference coal samples before starting
the diffusivity measurements. These parameters are important in their own right as
part of coal characterisation and will also be needed for the interpretation of our
diffusion work in further studies.
A further motivation for this study was to investigate the various experimental
methodologies used in the literature to measure coal diffusion. This study reviews
and comments on their advantages and disadvantages, providing guidance for the
design of improved measurement techniques. We note the surprising conclusion
regarding the greater relative diffusivity of CO2 compared to CH4 in coal seams
reported in the literature (Marecka, 2007, Saghafi et al., 2007, Han et al., 2010, Pan
et al., 2010, Charrière et al., 2010). For these reasons, it is important to understand
the nature of diffusion in microporous solids, to differentiate between diffusion and
other transport phenomena and develop more accurate model.
82
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. EXPERIMENTAL
83
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
84
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
True density is the weight of a unit volume of the pore free solid coal (White et
al., 2005). Helium is the smallest molecule available and has the greatest access to all
the pore volume in a coal sample; thus He can measure the true density of coal
(Kelemen et al., 2006).
Mercury porosimetry gives the apparent and bulk density. Mercury does not
access all the pores at a given pressure range. When done at very high pressure, then
it is possible that there could be fractures in the pores and damaging the pores in the
sample The literature (White et al., 2005, Iyer et al., 2008, Massarotto et al., 2010)
has proposed that the total open pore volume (Vp) and total porosity () of a solid
coal system can be based on density measurements by Helium pycnometry and
Mercury porosimetry, utilising the results as shown in equations 5 and 6:
(5)
( ) (6)
To determine the pore volume and mass loss in coal, a drying oven has been
used. The dimension change has been measured for coal samples by using a
Microscope SZH10. After the original coal sample has been sized and weighed, it is
dried in the oven at intermittent temperatures (20, 40, 60, 80, 100, 120, 150 &
2000C). Samples were re-measured and re-weighed after each 2 h interval between
time steps.
Petrographic, proximate and ultimate analyses of the three reference samples
have been done by an accredited lab and are shown in Table 1, Table 2 and Table 3:
85
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Vitrinite 73.4
Liptinite 0.4
A Inertinite 26.3
Mean maximum 0.69
reflectance
Vitrinite 16.3
Liptinite 4.9
B Inertinite 78.9
Mean maximum 0.90
reflectance
Vitrinite 53.3
Liptinite 3.2
C Inertinite 43.5
Mean maximum 0.65
reflectance
(%) A B C
Carbon 82.50 73.90 81.50
Hydrogen 5.36 4.43 5.19
Nitrogen 1.89 1.53 2.04
Sulphur 0.70 0.20 0.30
Oxygen 9.50 19.94 11.00
*a.d : air dried
*d.a.f : dry ash free
86
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
After a coal sample is dried at each temperature, Helium pycnometry has been
used for measuring the true density of each sample. Figure 4 shows coal density of
samples as a function of temperature. In all three samples, the density decreases
when the samples are dried, i.e. they are losing more mass than bulk volume.
The measurement of total porosities of each sample also has been done by
using He-pycnometry and Hg porosimetry. The total porosities of coal the samples
varied between 12.40 – 12.14%.
The mass and pore volume of coal samples changed when the coal samples
were dried. The mass will slowly decrease when the samples started to be dried from
room temperature to higher temperatures. On the other hand, the pore volume of
samples will decrease sharply when they are dried for the first time from room
temperature to 400C, and then it continued to decrease slowly until heated up to
1000C; at temperatures above 1000C, the volume is almost constant but decreases
87
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
very slightly. The loss in pore volume and loss in mass is shown in Figure 6. These
losses and their total effect on shrinkage will be subject to further study. According
to some researchers, the highest increase in the shrinkage effect is found for under-
saturated wet coals (Balan and Gumrah, 2009).
There are some concerns about affecting the elemental ratios in the case of
drying coal at higher temperatures, where it could destroy the chemical composition
and micro-structure. Additionally, though water can act as a transport agent for gas.
This effect seems to be unimportant at very high temperatures, in which the
thermally induced relaxation of coal micro-structure is undoubtedly more important.
Temperature Vs Volume
2.20
Volume (cm3) A
2.10
Volume (cm3) B
2.00
1.90 Volume (cm3) C
1.80
Volume (cm3)
1.70
1.60
1.50
1.40
1.30
1.20
1.10
1.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220
Temp (0 C)
88
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. CONCLUSIONS
89
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
7. NOMENCLATURE
8. ACKNOWLEDGMENT
9. REFERENCES
90
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
GERAMI, S., DARVISH, M. P., MORAD, K. & MATTAR, L. 2007. Type curves
for dry CBM reservoirs with equilibrium desorption.
GRAY, I. 1987. Reservoir Engineering in Coal Seams: part 1-The Physical Process
of the Gas Storage and Movement in Coal Seams. SPE Reservoir Engineering
(Society of Petroleum Engineers), 2 Number 1, 28-34.
91
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
MASSAROTTO, P. 2002. 4-D Coal Permeability Under True Triaxial Stress and
Constant Volume Condition. PhD Thesis, Queensland.
REEVES, S. & OUDINOT, A. Year. The allison CO2-ECBM Pilot, a reservoir and
economic analysis coal. In: Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa,
AL.
92
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
SAGHAFI, A., FAIZ, M. & ROBERTS, D. 2007. CO2 storage and gas diffusivity
properties of coals from Sydney Basin, Australia. International Journal of Coal
Geology, 70, 240-254.
SUUBERG, E. M., OTAKE, Y., YUN, Y. & DEEVI, S. C. 1993. Role of moisture in
coal structure and the effect of drying uopm the accessibility of coal structure.
Energy & Fuels, 7, 384-392.
WEI, X. 2008. Numerical Simulation of Gas Diffusion and Flow in Coalbeds for
Enhanced Methane Recovery. Doctor of Philosophy, The University of
Queensland.
WHITE, C. M., SMITH, D. H., JONES, K. L., GOODMAN, A. L., JIKICH, S. A.,
LACOUNT, R. B., DUBOSE, S. B., OZDEMIR, E., MORSI, B. I. &
SCHROEDER, K. T. 2005. Sequestration of carbon dioxide in coal with
enhanced coalbed methane recovery - A review. Energy and Fuels, 19, 659-
724.
93
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
The Baturappe prospect located at southern part of Sulawesi island, Indonesia, is a
hydrothermal mineralization district which is characterized by occurrence of
epithermal silver-base metal deposit. The mineralization is hosted in basaltic-
andesitic volcanic rocks of the late Middle-Miocene BaturappeVolcanics. This study
is aimed to characterize the hydrothermal alteration associated with the deposit on
the basis of mineralogical data. Identification of hydrothermal minerals was
conducted by microscopic observation and X-ray diffraction analysis. Hydrothermal
alteration is zoned around the deposits from proximal silicic and argillic to vein-
related propylitic to distal district propylitic alteration. The district propylitic
alteration which is distributed at the periphery of the hydrothermal system is
characterized by an assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote and
quartz. Vein-related propylitic alteration is distributed within approximately 0.5 m to
10 m from the deposits and consists of epidote, chlorite, calcite, quartz and albite.
Argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and
chlorite/smectite, halloysite, kaolinite, and pyrite) and silisic (quartz, calcite, illite,
muscovite, pyrite) alteration are distributed in narrow zones from margin of deposits
to maximum 7 m outward. The argillic and silisic alteration is interpreted as the
centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area,
where its distribution is highly controlled by structure.
94
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. INTRODUCTION
The study area is situated in Baturappe area, Gowa Regency, South Sulawesi
Province, Indonesia. It lies in the southwesternmost part of Sulawesi island, about 50
km southeast of Makassar (Ujung Pandang), the capital city of South Sulawesi
Province. This area is characterized by occurence of epithermal silver-base metal
deposits which are hosted in basaltic-andesitic volcanic rocks of the late Middle-
Miocene BaturappeVolcanics (Nur et al., 2009a,b; 2010).
Hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation is one of
important aspects in the study of genesis and exploration of epithermal deposits.
Hydrothermal activity which is indicated by hydrothermally altered rocks in an
epithermal system, including its periphery, may reach a wide area. Investigation on
zonation of the hydrothermal alteration through detailed hydrothermal alteration
mapping may define the center and periphery of hydrothermal system. Many
hydrothermal minerals are stable over limited temperature and/or pH ranges. Thus,
for an epithermal environment, mapping the distribution of alteration minerals is
crucial (e.g., Hedenquist et al., 2000; Harijoko, 2004). Accordingly, the objectives of
this study are to define the hydrothermal alteration mineral assemblages and its
zonation around the epithermal deposits in the study area. In addition, paragenesis of
the hydrothermal alteration zones is also defined.
95
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
3. GEOLOGICAL BACKGROUND
96
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6.99 Ma, and 7.36 Ma on gabbro (Sukamto and Supriatna, 1982). The basaltic-
andesitic stock and dykes are interpreted as mineralization-bearing rocks in the study
area; this is indicated by the occurence of disseminated ore (i.e., pyrite, chalcopyrite,
sphalerite, galena, covellite, magnetite, hematite) recognized in the field and
microscopic observations. Due to the orientation of the dykes that are consistent to
the trends of the fractures, it is interpreted that the emplacement and distribution of
the dykes brought mineralization is highly controlled by geological structures (Nur et
al., 2009a; Fig.1).
4. MINERALIZATIONS
More than 20 units of quartz veins along with disseminated sulphide and
sulphide stringer are distributed around the periphery of the stock in the study area,
hosted in the lava and dyke units. Among these, eight significant mineralizations are
distributed in four zones: Bincanai-, Baturappe-, Bangkowa- and Ritapayung zone.
The mineralizations include: Bincanai vein, Baturappe vein-1, Baturappe vein-2,
Bungolo vein, Paranglambere vein (clustered in Baturappe zone); Bangkowa vein
and Bangkowa stringer (in Bangkowa zone); and Ritapayung dissemination. The
Bincanai vein and Baturappe veins are distributed and clustered along the main fault
in the study area, the NW-SE trend Bincanai-Baturappe normal fault; while the
Bangkowa- vein and stringer are hosted in NW-SE dykes. Distribution of the
mineralizations and orientation of the veins are shown in Fig.1.
The veins display the typical primary texture of epithermal veins: crustiform
banding texture; from symmetric-, multiphase- to simple crustiform of quartz ±
carbonate – sulphide (dominated by galena). In general, sulphide assemblages
identified in the deposits indicate a range of intermediate- to high sulphidation
epithermal deposits. The sulphides include: galena, sphalerite, chalcopyrite, pyrite,
tennantite, tetrahedrite, bornite, enargite, freieslebenite and polybasite. Supergene
minerals such as covellite, chalcocite, iodargyrite, anglesite, cerrusite, as well as
manganese coronadite and chalcophanite were also identified. Bulk-ore chemical
composition determined by XRF analysis indicates a highest grade of: Pb 17.51%,
97
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Zn 0.35%, Cu 0.66%, Ag 141 g/t, Bi 308 g/t, MnO 10.66% for the veins, and Pb
0.11%, Zn 0.15%, Cu 5.83%, Ag 140 g/t for the dissemination (Nur et al., 2009b;
2010).
98
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. MINERALIZATIONS
The district propylitic zone is distributed from relatively near to the deposits
and extended widely to the whole study area (Fig. 2). This zone is mainly
characterized by dominant occurrence of chlorite, and less calcite, epidote, quartz,
sericite, clay and opaque. In the field, this zone is characterized by light greenish
grey, light green to green in color which is indicated the dominant occurence of
chlorite (Fig. 3.A). Under microscope, this zone is characterized by selective
alteration. Chlorite mainly altered primary pyroxene and plagioclase phenocrysts of
the volcanic rocks. Beside almost totally replaced the phenocrysts, chlorite also
99
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
A B
O
p
Ch
Pl P
l
x
Ep
Qtz, Cl, Ser 0.3
mm
C Clay D
Vein
Epidote
Siderite
Silisic wall Quartz 0.1
rock mm
100
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
commonly occured around the fringe and surface of broken and corroded
phenocrysts, particularly on pyroxene (Fig. 3.B). Veins contain chlorite and less
epidotewere also commonly observed, cross-cutted primary minerals. Quartz, clay
and sericite altered the groundmass (Fig. 3.B).The survived primary phenocrysts or
the selective alteration character of this zone indicates that intensity of alteration is
low. Studies of hydrothermal minerals stability in epithermal environment suggested
that chlorite is formed at temperature range about 200-300oC, at deeper level, and in
neutral pH condition (Hedenquist et al., 1996; 2000). These imply that this zone was
affected by such temperature range, from a neutral-pH fluid, at deeper level and
periphery of the hydrothermal system.
5.2. Vein-Related Propylitic Zone
This alteration zone is distributed within about 0.5 m to 10 m from the veins,
envelopes silisic zone at Bincanai and argillic zone at Baturappe and Bangkowa area
(Fig. 2). Around the Bincanai vein, a 1 m spaced systematic sampling for
hydrothermal alteration study has been conducted within 1-10 m from the vein. In
the samples, altered volcanic rocks in this zone are generally characterized by
greenish grey to dark green in color which indicates a dominant occurence of epidote
and chlorite. Identification of alteration mineral assemblages were conducted both by
microscopic observation and XRD analysis. The results indicate that epidote, chlorite
and calcite are dominant minerals. Other alteration minerals identified in this zone
include quartz and muscovite (sericite). At Baturappe zone, two altered rock samples
at 9 m and 8 m from the Baturappe vein-1 have been collected to be analyzed. At the
outcrops both lithologies showed light green in color. Under microscope, the samples
were observed strongly altered. Dominant alteration minerals are epidote, chlorite
and carbonate which altered primary pyroxene; while quartz, clay and opaque altered
the fringe of plagioclase and the groundmass. Another sample which collected closer
(7 m) from the vein contains minerals which indicate a mixing between propylitic
and argillic assemblages; quartz, smectite, albite, mixed layer illite/smectite,
halloysite and pyrite were identified from XRD analysis. Albite is one of the key
minerals of propylitic alteration in epithermal environment, beside calcite, chlorite
101
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
and epidote (Thompson and Thompson, 1996). This implies that in this area there is
an overprinting between outer (distal) vein-related propylitic zone and inner
(proximal) argillic zone at about 7 m from the vein.
At Bangkowa area, the vein-related propylitic zone is more proximal to the
vein. A sample of altered porphyritic basalt dyke, which collected about 50 cm from
the vein, under microscope contains (in abundance order) epidote, quartz, sericite,
clay, chlorite, carbonate and opaque. While another sample from the same lithology
which collected about 8 m from the vein contains an assemblage of epidote, chlorite
and opaque. Intensity of propylitic alteration in this area is higher compares to the
other two zones; the host rock of the Bangkowa vein, porphyritic basalt, is strongly
altered where its coarse-grained pyroxene phenocrysts have been totally replaced by
epidote (Fig. 3.C).
In general, the vein-related propylitic zone is characterized by dominant
occurrence of epidote. In epithermal environment, epidote is stable under
temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000).
Accordingly, it can be interpreted that the vein-related propylitic alteration in the
study area was formed at such temperature range. The occurrence of epidote and
chlorite also indicates that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid.
Compare to the district propylitic zone, the vein-related propylitic zone is generally
more intensely altered and spacially more proximal to the deposit. This zone is
distributed locally and limited, enveloping all the veins, at the outer area of argillic-
and silisic zone (Fig. 2), with distance range from 0.5 m to 10 m. This indicates that
this alteration zone is geneticly related to the vein formation. Dilation or opening
along the faults and fractures created structurally-controlled permeability for the
hydrothermal fluid to affects the wall rocks and subsequently formed the alteration
zone, overprinted the district propylitic alteration.
102
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
this alteration zone is characterized by clay with grey, greenish grey, light green,
yellowish brown and reddish brown in color (Fig. 3.D).
Identification of alteration minerals in this zone was conducted by XRD
analysis. All clay samples for the analysis were collected from trenches. At
Baturappe area, from the four vein zones, dominant minerals include quartz,
smectite, illite, and halloysite. In addition kaolinite, chlorite, albite, mixed layer-
illite/smectite and chlorite/smectite, dolomite, and pyrite are also occurred in less
quantity. Mineral formed by weathering such as hematite were also identified. At
Bangkowa area, from the sulfide stringer zone, quartz, illite, kaolinite, smectite,
albite and pyrite were identified; while at the Bangkowa vein, quartz, illite, chlorite,
dolomite, albite, pyrite, smectite, halloysite and mixed layer illite/smectite were
recognized.
At Baturappe area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite,
smectite and halloysite. Halloysite occurs under acid pH and in temperature lower
than 100oC, smectite under neutral pH in temperature range of 180-230oC, and illite
under neutral pH in temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al.,
1996; 2000). Halloysite occurs mainly as a supergene weathering product (Corbett
and Leach, 1998), thus it is possible that halloysite in this area was formed by
weathering. Therefore, interpretation of formation temperature of the argillic zone in
Baturappe area is conducted on the basis of the temperature stabilities of smectite
and illite; 230-320oC. Furthermore, the smectite and illite also indicate that this zone
was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid.
At Bangkowa area, illite is the most dominant temperature-sensitive mineral
occurred, thus the interpretation of formation temperature of the argillic zone in this
area is based on the temperature stability of illite, that is 200-320oC. This implies
that the argillic zone in this area was formed in higher temperature and deeper level,
compares to the Baturappe area. The responsible hydrothermal fluid is also neutral in
pH, judging from the dominant occurrence illite.
Based on its distribution which is proximal to the related-veins, it is also
interpreted that the argillic zone is the centre of hydrothermal activities responsible
for the mineralization in Baturappe- and Bangkowa area. The narrow and elongate
103
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
104
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.5. Paragenesis
105
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
• As hydrothermal fluids progressed up, dilation along the fault and fractures at
Baturappe- and Bangkowa area created structurally controlled permeability
leading to a narrow zone (approximately 0.5 m to 10 m) vein-related propylitic
alteration (epidote, chlorite, calcite, quartz, albite) which overprints the district
106
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
propylitic alteration. This more intense selective alteration was formed under
temperature range of 200-320oC, proximal to the veins.
• As the hydrothermal system intensified, argillic (illite, smectite, quartz,
chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, and pyrite) alteration
formed within maximum 7 m from the structural-controlled veins at Baturappe-
and Bangkowa area; silisic (vuggy quartz, barren quartz stockwork, calcite,
siderite, illite, muscovite, pyrite) alteration formed within maximum 0.4 m of
the fault-controlled vein at Bincanai; and silisic (quartz, illite, pyrite) alteration
formed in host rock of disseminated-sulphide at Ritapayung area, as a
lithological-controlled alteration. These argillic- and silisic alteration
overprinted the vein-related- and district propylitic alteration. The argillic
alteration formed under 230-320oC at Baturappe- and Bangkowa area, while
the silisic zone formed under 250-320oC at Bincanai area, and 200-320oC at
Ritapayung area.
107
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
7. ACKNOWLEDGEMENTS
8. REFERENCES
Corbett, G.J., and T.M. Leach (1998), Southwest Pacific rim gold-copper systems:
structure, alteration, and mineralization, Society of Economic Geologists
(SEG) Special Publication, 6, 237 p.
Harijoko, A. (2004), Ore genesis of the Cibaliung epithermal gold deposit in western
Java, Indonesia, PhD. Thesis, Kyushu University, Japan, 136 p.
Hedenquist, J.W., E. Izawa, A. Arribas, and N.C. White (1996), Epitermal gold
deposits: styles, characteristics, and exploration, Resource Geology Special
Publication, 1, Komiyama Printing Co. Ltd., Tokyo, Japan.
Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Sufriadin, A.H.S. Jaya, and U.R.
Irfan(2009a),Geologi endapan urat logam dasar Pbdaerah Baturappe
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Proceedings of the 38thIAGI Annual
Convention and Exhibition, Semarang, Indonesia,Editors: Winarno, T., A.A.
Nagel, R. Syawal, Aveliansyah, 629-637.
108
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Priadi, B., H. Bellon, R.C. Maury, M. Polvé, R. Soeria-Atmadja, and J.C. Philippet
(1994), Magmatic evolution in Sulawesi in the light of new 40K-40Ar age data,
Proceedings of the 23rdIAGI Annual Convention, Indonesia, 355-370.
Reyes, A.G. (1990), Petrology of Philippine geothermal systems and the application
of alteration mineralogy to their assessment, J. Volcanology and Geothermal
Research, 43, 279-309.
Sukamto, R., and S. Supriatna (1982), Geologic map of the Ujung Pandang, Benteng
and Sinjai quadrangles, Sulawesi, Geological Research and Development
Centre, Bandung, Indonesia.
Thompson, A.J.B., and J.F.H. Thompson (1996), Atlas of alteration, a field and
petrographic guide to hydrothermal alteration minerals, Geological Association
of Canada, Mineral Deposits Division, Canada, 118 p.
Yuwono, Y.S., H. Bellon, R. Soeria-Atmadja, and R.C. Maury (1985), Neogene and
Pleistocene volcanism in South Sulawesi,Editors: Koesoemadinata, R.P. and
D. Noeradi, ITB, Bandung, Indonesia, 120-131.
109
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam
mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan
menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini
nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai
masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling
mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap
parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan.
Analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic dapat
memberikan tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari suatu disain lereng.Pendekatan
ini sangat memungkinkan memasukkan seluruh factor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan lereng sehingga hasil analisis dapat diaplikasikan secara operasional.
Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari
ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng. Nilai factor keamanan disain lereng
dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan
tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.
Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal
menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan)
PTBA Tanjung Enim.
Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik distribusi nilai nilai faktor
keamanan lereng tunggal lapisan OB-A1 (claystone) berupa fungsi beta. Bila
memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas kelongsoran, maka
hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter ke bawah masih
memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700 (Nilai PK < 25%).
Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter masih mungkin
menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500.
Mengingat metode analisis kestabilan lereng yang digunakan hanya metode
Bishop, maka perlu dikoreksi juga dengan metode lainnya.
110
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
111
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
2. DASAR TEORI
112
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
probabilitas memiliki sifat-sifat penyebaran yang khas dan unik yang menjadikan
fungsi yang satu akan berbeda dengan fungsi yang lainnya. Tetapi hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa suatu fungsi distribusi merupakan turunan dari fungsi
yang lainnya.Sebagai contoh, fungsi distribusi eksponensial merupakan bentuk
khusus dari fungsi distribusi gamma yang memiliki parameter bentuk (a) bernilai 1.
113
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
114
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Di mana :
K = Jumlah bin
Ni = Jumlah sampel observasi dalam bin ke- i
Ei = Jumlah sampel ekspektasi dalam bin ke-i
b) Kolmogorov-Smirnov
Metode ini digunakan untuk data sampel kontinyu. Metode ini tidak membutuhkan
proses pemecahan sumbu x menjadi beberapa bin, sehingga membuat nilai parameter
statistic ini tidak banyak berubah-ubah. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat
mendeteksi ketidaksesuaian tail dengan baik.
Formulasi untuk menghitung nilai parameter K-S yakni :
[| ̂ |]
Di mana :
n = Total jumlah titik-titik data
̂ = Fungsi distribusi kumulatif proses fitting
∫[ ̂ ] ̂
Di mana :
n = Total jumlah titik-titik data
̂ [ ̂ ]
̂ = Fungsi densitas hipotetik
̂ = Fungsi distribusi kumulatif hipotetik
115
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
3. TAHAP PENELITIAN
116
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
d. Kesimpulan
Hasil penelitian ini akan dapat menilai suatu disain lereng tunggal yang mampu
diterima tidak hanya berdasarkan nilai factor keamanan, namun juga dilihat dari nilai
probabilitas kelongsoran lerengnya.
4. PENGOLAHAN DATA
117
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
118
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang
digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 19 fungsi distribusi beta
dan 8 fungsi weibull (Tabel 3).
5. ANALISIS
119
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
120
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. PENGOLAHAN DATA
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
a. Karakterisasi terhadap parameter batuan lapisan OB-A1 (Claystone) dengan
variasi 3 jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting
menunjukkan fungsi terbaik yang dihasilkan adalah beta.
b. Karakterisasi terhadap nilai faktor keamanan hasil analisis kestabilan lereng
menunjukkan fungsi terbaik adalah beta.
c. Bila memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas
kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter
ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700
(Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter
masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500.
d. Hasil analisis ini perlu dikomparasi dengan metode lainnya sehingga dapat
meningkatkan suatu hasil disain yang dapat diaplikasikan secara operasional.
7. DAFTAR PUSTAKA
@RISK software, Palisade
Cisar P., Cisar S.M., 2010, Skewness and Kurtosis in Function of Selection of
Network Traffic Distribution, Acta Polytechnica Hungarica, Vol.7 No.2.
121
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hammah, R.E., Yacob, T.E., Curran J., 2003, The Influence of correlation and
distribution truncation on slope stability analysis results.
Hoek E., Factor of Safety and Probability of Failure, Chapter 8 - Rock Engineering.
Mandzic E.H., 1992, Mine Water risk in open pit slope stability.
Park H.J., 2005, A New Approach for Persistence in Probabilitic Rock Slope
Stability Analysis, Geoscience Journal, Vol.9, p287-293.
Pathak S., Poudel R.K., Kansakar B.R., 2006, Application of Probabilistic Approach
in Rock Slope Stability Analysis — An Experience from Nepal, pp. 797–802,
Universal Academy Press, Inc. - Tokyo, Japan.
Pine. R.J. 1992. Risk analysis design applications in mining geomechanics. Trans.
Inst. Min.Metall. (Sect.A) 101, 149-158.
Pine, R.J. and W.J. Roberds. 2005. A risk-based approach for the design of rock
slopes subject to multiple failure modes – illustrated by a case study in Hong
Kong. International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences 42
(2005), Elsevier Ltd., pp. 261 – 275.
Steffen, O.K.H. et.al, 2008, A risk evaluation approach for pit slope design.
Terbrugge P.J.et.al., 2006, A risk consequence approach to open pit slope design.
122
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Pada kegiatan penambangan, peledakan merupakan salah satu tahapan kegiatan yang
bertujuan untuk membongkar atau melepaskan batuan dari batuan induknya menjadi
bentuk fragmen-fragmen batuan dengan ukuran tertentu, guna mempermudah proses
selanjutnya. Ada beberapa parameter untuk mengetahui apakah suatu kegiatan
peledakan berhasil baik atau gagal. Salah satu indikator untuk menentukan
keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan.
Ukuran fragmentasi batuan yang dihasilkan dari kegiatan peledakan harus sesuai
dengan kebutuhan, yaitu kemudahan saat pemuatan, pengangkutan dan pada proses
pengolahan. Kesulitan yang biasa dijumpai pada saat perhitungan ukuran fragmen
dan distribusinya bila menggunakan cara manual atau konvensional adalah
prosesnya yang membutuhkan waktu lebih lama dan perlu peralatan bantu yang
cukup merepotkan.
Split-desktop merupakan alat bantu perhitungan yang merupakan suatu program
komputer yang proses kerjanya didasarkan atas pembacaan hasil citra (image)
gambar atau foto dari suatu obyek berupa partikel atau gragmen. Program
perhitungan ini sangat mudah digunakan dan cukup akurat untuk mengestimasi dan
menentukan distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan.
123
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
2. TINJAUAN UMUM
124
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
interaksi gelombang kejut, dan mekanika batuan. Teori yang ada hingga saat ini
selalu membahas faktor – faktor yang mempengaruhi fragmentasi dan kriteria
rancangan peledakan secara umum.
Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor rancangan yang
tidak dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang dapat dikendalikan (Gambar 1).
1. Faktor Rancangan yang tidak dapat dikendalikan
Faktor ini di luar kemampuan manusia untuk men-setting atau mengendalikannya
(uncontrolled factor ). Hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara
alamiah, seperti faktor : karakteristik dan perilaku massa batuan, struktur geologi,
pengaruh air, dan kondisi cuaca.
2. Faktor rancangan yang dapat dikendalikan
Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam
merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan,
antara lain seperti geometri pemboran, geometro peledakan, pola pemboran dan
pola peledakan.
Suatu kegiatan peledakan disebut berhasil bila dapat terpenuhi beberapa
parameter sebagai berikut :
- Target produksi yang ingin dicapai dapat terpenuhi.
- Hasil peledakan tidak membentuk back break/over break.
- Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merata dan tidak terdapat banyak boulder .
- Lantai jenjang yang terbantuk relatif datar.
- Efek peledakan terkontrol seperti ground vibration, air blast, dan fumes.
- Tidak terjadi gagal ledak ( miss fire ).
Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan
adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Diharapkan ukuran fragmen batuan yang
dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan penambangan selanjutnya. Untuk
mengetahui ukuran fragmen batuan dapat dilakukan perhitungan dengan melalui
beberapa cara, yaitu :
1. Melakukan pengamatan pada material hasil peledakan, apakah dapat termuat atau
tidak oleh mangkuk alat mekanis.
125
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
2. Mencurahkan sejumlah material pada suatu grizzly dengan beberapa tahap setting
grizzly.
3. Pengambilan gambar atau foto dengan pengolah program Split-desktop.
Pengukuran distribusi fragmen batuan hasil peledakan yang dilakukan secara
manual (analitik) mempunyai kekurangan tingkat hasil ketelitian yang diperoleh
kurang akurat serta kurang efisien. Cara pertama hanya dapat menentukan ukuran
fragmen batuan saja, sedangkan estimasi distribusi ukurannya (persentasi) sangat
kasar (berdasarkan perkiraan saja). Cara ke-dua membutuhkan sejumlah peralatan
dan pengaturan yang cukup membutuhkan waktu dan biaya. Kelemahan pada
perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan secara teknis (cara pertama
dank e-dua di atas) telah dapat diatasi dengan adanya program bantu komputasi Split-
desktop sehingga diharapkan dapat menghemat waktu, tenaga, biaya dan harapan
pada tingkat ketelitian hasil yang lebih akurat.
3. PENGOLAHAN DATA
126
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Diameter lubang ledak Sistim penyalaan
Kedalaman lubang ledak Urutan penyalaan
Kedalaman subdrilling Bidang bebas
Kemiringan lubang ledak Tipe bahan peledak
Tinggi stemming Energi bahan peledak
Tinggi jenjang Metode pemuatan
Pola peledakan Air tanah (kadang-kadang
tidak dapat dikontrol)
Perbandingan burden dan spasi
Dimensi dan konfigurasi Peledakan
(B) Peubah yang tidak dapat dikendalikan
Geologi
Sifat dan kekuatan batuan
Struktur diskontinuitas
Kondisi cuaca
Air tanah (kadang-kadang dapat dikontrol)
Proses Peledakan
Hasil Peledakan
Fragmentasi
Perpindahan material hasil peledakan
Profil tumpukan hasil peledakan
Getaran tanah (ground vibration)
Ledakan udara (air blast)
Batu terbang (fly rock)
Missfires
Gambar 1. Peubah terkendali dan tidak terkendali dalam rancangan peledakan 2)
127
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
128
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. PEMBAHASAN
Pada dasarnya hasil yang ingin dicapai dari perangkat lunak ini adalah
bagaimana mengoptimalkan perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan.
Hasil pengkajian ini diharapkan berupa definisi-definisi yang akan digunakan
sebagai dasar menyusun bukti formal dan rincian teori yang memungkinkan pada
pemecahan masalah.
Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merupakan salah satu faktor penting
dalam kegiatan penambangan khususnya peledakan. Salah satu kriteria agar kegiatan
peledakan berhasil dengan baik yaitu ukuran fragmen batuan hasil peledakan sesuai
dengan yang diharapkan sehingga kegiatan penambangan selanjutnya dapat berjalan
dengan lancar.
Perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu dengan perhitungan analitik (cara manual), program komputer
(software), atau gabungan dari keduanya. Sejak berkembangnya teknologi
informatika terutama di bidang pertambangan, penghitungan secara manual sudah
129
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
130
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
(a)
(b)
(c)
131
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Keterangan:
P20 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 20%,
artinya terdapat 20% material yang lolos ayakan berukuran 47,17 mm. P50
merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 50%, artinya
terdapat 50% material yang lolos ayakan berukuran 107,44 mm. P80 merupakan
ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 80%, artinya terdapat 80%
material yang lolos ayakan berukuran 192,89 mm. Top Size merupakan ukuran
material terbesar yang ada dalam sampel tersebut, dalam grafik di atas adalah 307,74
mm.
132
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. KESIMPULAN
6. DAFTAR PUSTAKA
Hustrulid W., (1999), Blasting Principles For Open Pit Mining . Colorado School of
Mines, Golden, Colorado, USA.
133
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Nurhakim
ABSTRAK
Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu
usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Kawasan
Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah
daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi
16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta Kepulauan Nusa
Tenggara dan Maluku. Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan
masih di bawah rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun
2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki
IPM di bawah rata-rata nasional. Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses
atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan,
dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Setidaknya terdapat beberapa kelompok
teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain:
Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam, Teknologi Sistem
Informasi Sumber Daya Alam (SISDA), Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan
pengolahan, Teknologi telekomunikasi dan transportasi. Akhirnya, kekayaan alam
yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat.
134
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
135
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan
luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah
Indonesia, meliputi 16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta
Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku (Gambar 1). Provinsi Papua mempunyai luas
wilayah daratan paling besar (421.981 km2) atau 32% dari luas KTI, sementara
Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9% dari
luas wilayah KTI.
136
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
137
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
138
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
KTI yang luas ini seharusnya didukung oleh prasarana dan sarana fisik yang
memadai (terutama listrik, perhubungan dan telekomunikasi), namun pada
kenyataanya keberadaan prasarana dan sarana tersebut belum cukup tersedia.
Rendahnya tingkat aksesibilitas antar kawasan di KTI mengakibatkan masih
banyaknya dijumpai kawasan-kawasan yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan
ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir, dan daerah pedalaman.
Hal ini diperparah dengan belum ada akses langsung ke pasar internasional. Padahal,
sebelum dibangun infrastruktur yang memadai, maka sulit bagi pemerintah untuk
menawarkan KTI kepada dunia usaha. Mengingat, kawasan tersebut belum cukup
atraktif sebelum dibangun infrastrukturnya. Di lain pihak, sarana pendidikan dan
kesehatan juga jauh dari dapat dikatakan memadai.
139
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
140
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Kaltim, Kalbar, Sulut, Papua, Papua Barat, NTT, serta Maluku Utara dan
Maluku.
Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan ; maksud dari teknologi
ini adalah bagaimana “mengambil” dan meningkatkan nilai tambah dari
suatu komoditas. Pengembangan pola agroindustri terpadu dengan
mengembangkan potensi pertanian skala besar (agriculture estate) yang
dilengkapi dengan sistem manajemen modern berbasis teknologi
(technology-based farming system). Di samping itu dengan adanya
pengembangan kelautan yang terpadu, dimana peningkatan teknologi
kelautan dan perikanan dilakukan secara bertahap, serta pemanfaatan SDA
yang belum tergali secara berkelanjutan. Pengembangan ini tidak terfokus
pada wilayah pesisir saja tetapi juga dilakukan di kawasan pedalaman
hingga kawasan terluar (ZEE). Dengan demikian, komoditas pertanian,
kehutanan, perkebunan, budi daya laut, dan hasil tambang yang selama ini
dijual dalam bentuk bahan mentah, dilakukan pendekatan teknologi agar
diperdagangkan dalam bentuk bahan baku atau barang jadi.
Teknologi telekomunikasi dan transportasi ; selain berbagai teknologi yang
telah diuraikan diatas, infrastruktur telekomunikasi dan transportasi juga
perlu dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya. Adanya sarana
jalan, bandara maupun pelabuhan terutama di beberapa provinsi yang
berpotensi besar dalam kegiatan ekspor, akan sangat membantu percepatan
pembangunan.
Pertanyaan besar selanjutnya adalah “bagaimana berbagai teknologi di atas
dapat diaplikasikan?” Sinergi… adalah satu kata yang mungkin dapat mewakili
jawaban pertanyaan di atas. Selama ini, Pemerintah, Industri dan Institusi Pendidikan
dan Litbang, seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset-riset perguruan tinggi dan lembaga
riset pemerintah jarang dipakai untuk industri dan hanya menumpuk di perpustakaan.
Inovasi teknologi Industri pun sangat minim, akibatnya sulit bersaing dengan produk
luar. Kebijakan dan anggaran pemerintah untuk riset dan pengembangan teknologi
sangat dibutuhkan.
141
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Selama ini, anggaran pemerintah kita untuk riset teknologi sangat minim,
bahkan lebih rendah daripada anggaran riset sebuah perusahaan asing. Jika investasi
di bidang teknologi lebih mendapat perhatian, output dan outcome yang
dihasilkannya akan sangat menjanjikan dalam jangka panjang. Dengan teknologi,
pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan lebih optimal. Akhirnya,
kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan
digunakan untuk kemakmuran rakyat.
4. PENUTUP
Sumber daya alam adalah anugrah dan amanah Allah Yang Maha Kuasa, serta
titipan generasi penerus. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan
secara serius dan berkesinambungan. Pengelolaan yang salah, serta kelalaian
manusia telah menjadi penyebab utama penurunan kualitas sumber daya alam.
Keberadaan data yang akurat serta pemanfaatan teknologi yang tepat akan
menjadi kunci peningkatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Dengan
demikian, masing-masing Pemerintah Daerah dapat membuat rencana industrialisasi
sesuai dengan keunggulan komoditas yang dimilikinya.
Namun dibalik itu semua, SDM terdidik dan terampil sangat berpengaruh
terhadap kesuksesan pembangunan KTI bahkan menjadi modal utama menuju
terciptanya Negara yang mandiri dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia..…
The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its
performance is solely dependent on its soldiers(Douglas MacArthur, General, US
Army, 1945).
142
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. DAFTAR PUSTAKA
----------, 2006,KTI’s Export Potential: Awakening the Sleeping Giant, BEI NEWS
32nd Edition Year V, July-August 2006
----------, 2004, Jakstra Program dan Rencana Tindak Bidang Penataan Ruangdalam
Mendorong Percepatan Pembangunan di KTI, Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, Departemen PU RI
Rajasa, M.H., 2009, Karakter Bangsa Sebagai Modal Sosial Untuk Menghadapi
Tantangan Pembangunan Global, http://www.setneg.go.id/
Solihin, D., 2008, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Kawasan Timur
Indonesia, Bappenas
http://www.datastatistik-indonesia.com
143
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Email: riswan@mining-unlam.ac.id
ABSTRAK
Bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT.
Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan
produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi
pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri
yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode
ekologi industri. Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan
pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam
konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-
industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam
kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses
produksinya. Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk
membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya
mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik
bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK).
Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara
(coal), dan batu kapur (limestone).
144
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari bahan yang diperoleh melalui
proses penambangan, kehidupan manusia modern sudah sangat bergantung kepada
sarana transportasi udara, laut dan darat yang kesemuanya mengandalkan bahan
tambang dari besi untuk kerangkanya, tembaga untuk komponen-komponen listrik,
nikel untuk bagian-bagian yang tidak boleh berkarat, aluminium untuk roda, dan
berbagai campuran baja untuk berbagai komponen.
Potensi mineral besi di lndonesia cukup besar terutama mineral besi lateritik
yang tersebar di Kalimantan Selatan seperti Pulau Sebuku Kab. Kotabaru,,
Pegunungan Kukusan Kab. Tanah Bumbu dan kabupaten, Kab. Tanah laut dan Kab.
Balangan cadangannya mencapai ratusan juta ton.
Potensi cadangan sumberdaya ini belum termanfaatkan sama sekali untuk
menunjang kebutuhan bahan baku didalam negeri, seperti PT. Krakatau Steel seluruh
bahan bakunya masih diimpor yang berupa pelet sekitar 2,2 juta tor pertahun (Yusuf
dan Aryono, 2005) , sementara ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan ke China
lebih dari 1 (satu) juta ton per tahun (Pramusanto, dkk, 2008)
Peranan strategis industri baja nasional sebagai agent of development hanya
dapat dicapai apabila industri baja nasional mampu menghasilkan produk dengan
harga dan kualitas yang kompetitif sehingga memungkinkan bagi industri hilir untuk
berkembang. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap terhadap
bahan baku impor, kelangkaan gas alam, serta keterbatasan pasokan listrik, maka PT.
Krakatau Steel (Persero) yang mengemban misi "Steel as National Power", telah
memulai langkah strategis melalui pengembangan industri baja berbasis bahan baku
lokal yang saat ini dalam tahap persiapan konstruksi. Pabrik yang akan dibangun di
Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut dirancang untuk
menggunakan 100% bijih besi lokal serta batubara non-coking coal yang banyak
terdapat di Indonesia. Sedangkan kebutuhan energi listrik diperoleh melalui
pemanfaatan gas buang (off-gas) yang dihasilkan dari proses reduksi (Irvan K dan
Hartono, 2008).
145
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pada saat ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana perpektif
teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin
sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan
limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah
memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja
lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri.
Bijih Besi yang banyak digunakan untuk bahan baku dalam industri baja
adalah bijih besi “Primer” yang merupakan senyawa besi-oksida dengan mineral
utamanya adalah magnetit (Fe3O4) dan hematite (Fe2O3) di Indonesia banyak
ditemukan namun sebarannya dalam satu lokasi jumlahnya tidak besar. Bijih besi
yang ditemukan di Kalimantan Selatan dengan jumlah depositnya relatif besar
(dalam satu lokasi) adalah bijih besi "Laterit". Genesa bijih ini berasal dari
pelapukan batuan ultra basa yang menghasilkan mineral utama Goethite
(HFeO 2 ) dan Lepidocrite FeO(OH) sehingga sering disebut sebagai hydros-ore
(mengandung air kristal), berdasarkan data Dinas ESDM Propinsi Kalimantan
Selatan sebaran bijih besi (Tabel 1).
Umumnya daerah yang berpotensi mengandung bijih besi berada di lokasi
yang sulit dicapai karena keterbatasan infrastruktur. Sebagian diantaranya berada di
kawasan konservasi atau merupakan tanah milik adat. Selain itu hasil
survey Tim PTKS di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah yang berpotensi mengandung bijih besi telah mempunyai KP
yang dikuasai oleh pihak lain namun belum ada kegiatan eksplorasi yang berarti
(Tim PIBB, 2007)
146
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
SUMBERDAYA
NO. LOKASI KET.
TERUKUR TERUNJUK TEREKA HIPOTETIK
1 2 3 4 5 6 7
1 Kab. Tanah Bumbu
- Pengunungan. Kukusan - - 100.0000 -
2 Kab. Kotabaru
- Pulau Sebuku - 86.1207 - -
4 Kab. Balangan
- G. Tanalang - - - 21.0594
- G. Batuberani - - - 4.5000
- G. Batubesi - - - 4.0000
5 Kab. Banjar - - - -
6 Kab. Hulu S. selatan - - - -
7 Kab. Tabalong - - - -
Total - 89.1235 100.8401 30.0014
Sumber Dinas ESDM Kalsel 2008
147
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
PT. Krakatau Steel (KS), yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN)
sebagai ujung tombak industri baja telah memulai produksinya sejak tahun 1970
sampai sekarang masih mengimpor pelet (bahan baku bijih besi), scrap (potongan),
148
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
slab sebagai bahan baku pembuat baja. Impor bahan dasar (pellet, sponge Iron, Pig
Iron & scrap) dan baja kasar (slab, bilet, ingot) dan nilai impor dapat dari tahun
2003-2007 ( Gambar1).
Gambar 1. Impor Bahan Dasar dan Baja Kasar dan Nilai Impor
149
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4000
X 1000 MT
3000
2161
2000
1000 835
639
114
0
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Kendala teknis yang dihadapi PT. Krakatau adalah letak geografis cadangan
bijih besi yang menyebar serta ketidaksesuaian karakteristik bijih besi lokal dengan
fasilitas pengolahan yang telah dimiliki PT.Krakatau Steel dan tantangan lain adalah
kondisi kepemilikan kuasa penambangan (KP) serta daya dukung infrastruktur yang
kurang memadai.
Menghadapi kendala diatas strategi yang ditempuh untuk mempercepat realisasi
pemanfaatan bahan baku lokal adalah:
1. Mengupayakan kontinuitas suplai bahan baku melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang
telah memiliki KP dan telah melakukan eksplorasi detail sesuai dengan kaidah
good mining practices.
2. Menyusun master plan pengembangan industri besi baja (ekologi industri), dengan fokus
ke long-product, sesuai dengan kebutuhan daerah Kawasan Timur Indonesia.
3. Memilih teknologi proses yang sesuai dengan karakteristik bahan baku lokal.
4. Membangun secara bertahap dimulai dari pabrik, pengolahan bijih besi. Ekspansi
berikutnya adalah kearah hilir dengan membangun pabrik baja long product untuk
menghasilkan billet dan batang kawat.
5. Menyiapkan ekspansi ke hulu dengan mengupayakan perolehan KP bijih besi dan batubara.
150
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
151
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
152
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
153
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
154
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
155
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
heat recovery boiler. Untuk setiap DR-RK berkapasitas 350 ton/hari atau setara dengan
100.000 ton/tahun dapat dibangkitkan listrik sebesar 7 MW, sedangkan pemakaian listrik
untuk keperluan internal DR-RK hanya 1,5 MW (Prasad, 2008).
- Bijih Besi
- BatuBara Stack
Rotary
Cooler
Steam
Generator
Magnetic
Separator
LISTRIK
BESI SPONS
Kemudian Tailing dari usaha Pertambangan bijih besi, batubara dan industri
baja ini menjadi pusat perhatian ketika pembuangannya dilakukan tanpa
memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut
mengandung unsur-unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal
(Pb), dan kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan
penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan:
metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing;
rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta
pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.
156
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. PROSPEK PENGEMBANGAN
Pabrik yang akan dibangun pada tahap pertama rotary kiln diperlengkapi
dengan pembangkit listrik memanfaatkan gas buang (off-ga s) proses reduksi.
Kapasitas yang akan dibangun pada tahap awal adalah 2 x 500 ton/hari atau
setara dengan 300.000 ton/tahun (Irvan dan Hartono, 2008). Lahan yang akan
digunakan pada tahap pertama tahun 2009 seluas 30 Ha. (hectare), tahap II tahun
2010 dilanjutkan perluasan 5 (lima) Ha. untuk membangun pabrik pig iron(smelter)
dengan produksi 250.000 ton per tahun, Pada tahun 2011 perluasan 55 Ha. untuk
peningkatan kapasitas produksi seperti pada tahap I dan II. Peningkatan 10 Ha terus
berlanjut sampai tahun 2017, kemudian tahun 2021 perluasan 80 Ha dan tahun 2025
seluas 10 Ha. Sampai terwujud Cilego mini di Kalimantan Selatan (Banjarmasin
Post, 10 Januari 2009).
Pada sebuah lokasi yang hanya mempunyai cadangan 3 juta ton sudah
dapat dibangun pabrik Rotary Kiln dengan kapasitas 350 ton/hari atau setara
dengan 100.000 ton/tahun dengan pasokan bahan baku yang terjamin selama 15
tahun. Keterbatasan pasokan listrik dapat diatasi dengan pemanfaatan gas
buang. Sebagai gambaran, setiap Rotary Kiln berkapasitas 100.000
ton/tahun mempunyai kemampuan untuk menghasilkan listrik sebesar 7
MW. Dengan kebutuhan internal untuk mengoperasikan Rotary Kiln hanya
sebesar 1,5 MW, maka terdapat akses listrik sebesar 5,5 MW dapat digunakan
untuk kepentingan industri hilir dan masyarakat di sekitar lokasi pabrik (Irvan
dan Hartono, 2008).
7.1. Kesimpulan
Pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit
proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang
dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada
157
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih
baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri
Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau
Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan
lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah
yang dibuang ke lingkungan.
Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi
industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di
Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah
polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta
aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri
yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis
secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam.
Tujuan utama dari sistem ekologi adalah untuk mengorganisasi sistem industri
sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri
ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada,
membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses
dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber
energi yang tidak terbarukan.
7.2. Saran
Diperlukan perencanaan yang matang agar sistem ekologi dan simbiosis
industri dapat berjalan serta penerapan program perlindungan terhadap lingkungan
melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan
dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan
pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun
dimaksud.
158
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
8. DAFTAR PUSTAKA
Deni Swantomo, Maria Christina, P., Kartini Megasari, 2007. Kajian penerapan
ekologi industri di Indonesia, Yokyakarta: Seminar Nasional III SDM
Teknologi Nuklir.
Irvan Kamal H., Hartono. 2008. Pengembangan Pabrik Besi Baja Berbahan Baku
lokal Oleh PT. Krakatau Steel (Persero). Bandung: Indonesian Process
Metalurgy.
http://www.depperin.go.id
Tim PIBB Kalimantan. 2007. Laporan Hasil Trial bahan baku Lokal.
159
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
160
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
161
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Analisis keuangan dan keekonomian dapat dilakukan berdasaran konsep aliran kas
disconto (discounted cash flow analysis) sebagai dasar analisis,komponen-komponen
biaya capital, biaya produksi, tingkat produksi batubara dan perkiraan harga jual
batubara, dimana operasi penambangan dapat dilakukan sendiri dengan peralatan
sewa atau operasi penambangan diserahkan kepada kontraktor.
162
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pasal 42 (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 47 IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
dengan cara lelang.
Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hectare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP
kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling
banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
163
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
164
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dari table diatas dapat diperkiran jumlah biaya yang dikeluarkan pada tahap
perizinan, namun karena rumitnya birokrasi dan lamanya pengurusan kadang-kadang
ada biaya-biaya yang tak terduga seperti biaya pelicin (pungutan liar) yang dapat
mencapai ± 20% dari biaya normal .
Adapun besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Iuran Tetap/Landrent : Pusat 20%, Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota 64%.
Iuran Produksi/Royalty : Pusat 20%, Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil
32% dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32%.
3. PENYELIDIKAN UMUM
4. EKSPLORASI
165
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. KAJI KELAYAKAN
Pengkajian atau evaluasi ini untuk mengkaji secara teknis dan ekonomis atas
suatu endapan bahan galian, apakah layak/ tidak untuk ditambang. Kegiatan yang
dilakukan antara lain perencanaan teknik penambangan, pengolahan/ pemurnian dan
pengangkutan, perencanaan insfrastruktur, fasilitas sosial, studi pemasaran dan
analisis keuangan. Biaya yang dipersiapkan untuk studi kelayakan ± 500 jt (relative)
166
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Analisa Batubara
a) Preparasi Sampel Preparation Per sampel Rp 27.500,00
b) Proksimat/Proximate Analysis
(1) Air Lembab/ Air Dried Moisture (ASTM D. 3173/BS Per sampel Rp 50.000,00
(2) Abu/Ash (ASTM D. 3174/BS 1016 Part 3 73) Per sampel Rp 10.000,00
(3)Zat Terbang/Volatile Matter (ASTM D.3175/BS 1016
Part3/73) Per sampel Rp 15.000,00
(4)Carbon Padat / Fixed Carbon (Dengan Perhitungan/By
Difference) Per sampel Rp 25.000,00
c) Analisa Ultimat/Ultimate Analysis
(1) Carbon Total/Total Carbon (ASTM D.3178) Per sampel Rp 280.000,00
(2) Hydrogen Total/Total Hydrogen (ASTM D.3178) Per sampel Rp 70.000,00
(3) Nitrogen/Nitrogen (BS 1016 Part 677) Per sampel Rp 70.000,00
(4) Belerang Toatal/Sulfur Total (ASTM D.3177/BS 1015
Part 677) Per sampel Rp 70.000,00
(5) Oksigen/Oxygen (Dengan Perhitungan/By Difference) Per sampel Rp 70.000,00
d) Nilai Kalor / Calorivic Value (ASTM D.3286 atau D.2015) Per sampel Rp 50.000,00
e) Bentuk Belerang/Form of Sulfur
(1) Belerang Sulfat/Sulphate Sulphur Per sampel Rp 120.000,00
(2) Belerang Pirit/Pyritic Sulphur (ASTM D 2492/BS
1016 Part 11 77) Per sampel Rp 50.000,00
(3) Belerang Organik / Organic Sulphur (Dengan
Perhitungan/By Difference) Per sampel Rp 70.000,00
f) Khlor/Chiorine (BS 1016 Part 8 77) Per sampel Rp 75.000,00
g) Carbon Dioksida/Carbon Dioxide (BS 1016 Part 6 77) Per sampel Rp 70.000,00
h) Sifat Ketergerusan / Hardgrove Grindability Index (ASTM
D.409) Per sampel Rp 70.000,00
i)Nilai Muai Bebas / Free Sweelling Index (ASTM D.720) Per sampel Rp 20.000,00
j)Berat Jenis sesungguhnya / true Specific Gravity) Per sampel Rp 15.000,00
k)Relative Density Per sampel Rp 15.000,00
l) Bulk Density Per sampel Rp 20.000,00
m) pH Per sampel Rp 10.000,00
c) Petrografi Batubara
(1) Analisa Maseral Per sampel Rp 200.000,00
(2) Pengukuran Reflektan Per sampel Rp 100.000,00
(3)Analisa Titik Leleh Abu Batubara Per sampel Rp 200.000,00
*Sumber PP No.45 Tahun 2003
Kajian lingkungan ini bahagian kaji kelayakan (feasibility study) khusus untuk
mengkaji dan mengamati keadaan fisik-kimia, biologi dan sosial dan ekonomi
budaya suatu wilayah yang diperkirakan terkena dampak kegiatan usaha
pertambangan yang direncanakan. Termasuk dalam kajian AMDAL ini adalah
167
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
7. KONSTRUKSI
8. EKSPLOITASI
168
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tahapan ini merupakan usaha pemindahan dan penjualan bahan galian ini dari
hasil tempat pengolahan/ pemurnian atau dari daerah eksplorasi untuk dijual
kepasaran (konsumen).
11. REKLAMASI
169
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
PT. X mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang
dengan tambang terbuka (open pit mining). Berdasarkan studi kelayakan SR
cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383
ton dengan nilai kalori rata-rata 6998kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%.
Dari desai tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari
1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar
bukaan sekitar 100 meter. Dalam kegiatan penambangannya dibagi menjadi 2 blok
dengan panjang masing-masing blok 500 meter.
170
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
171
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
172
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
BIAYA JUMLAH
NO DESKRIPSI SATUAN VOLUME
(US$) (US$)
1 Bengkel unit 1 3.500 3.500
2 Gudang unit 1 3.500 3.500
3 Instalasi Listrik unit 1 2.100 2.100
4 Penyimpanan Solar unit 1 2.000 2.000
5 Penyimpanan Bensin unit 1 2.000 2.000
6 Instalasi Air unit 1 850 850
7 Perlengkapan Kantor unit 1 8.000 8.000
8 Kantor Satpam unit 1 1.500 1.500
Total Fasilitas Tambang 23.450
173
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Biaya produksi dibedakan menjadi biaya produksi langsuug dan biaya produksi tidak
langsung. Biaya produksi langsung dibedakan menjadi biaya penanganan tanah
penutup, biaya penanganan batubara dan biaya land clearing. Biaya ini dihitung
berdasarkan biaya operasi alat-alat tambang yang terlibat langsung pada ketiga
kegiatan tersebut. Biaya produksi tidak langsung terdiri dari biaya-biaya operasi
174
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
peralatan pendukung stockpile, kendaraan, dan tenaga kerja pendukung yang terlibat
didalam proyek.
1 335.000 12.766.850
2 322.382 12.654.557
13. KESIMPULAN
175
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
176
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Uyu Saismana
ABSTRAK
Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini.Karakter dari endapan
besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali ditemukan
berasosiasi dengan mineral logam lainnya.Kadang besi terdapat sebagai kandungan
logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.Endapan
besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limonite dan siderite.
Inventarisasi bijih besi dimaksudkan untuk mendapatkan data cebakan besi primer
agar dapat mengetahui secara pasti tata letak serta sebarannya secara lateral dan
untuk mendapatkan data dari lokasi lain yang memungkinkan dapat dikembangkan
lebih lanjut. Lokasi inventarisasi cebakan besi primer adalah wilayah Kec.Menthobi
Raya dan Kec.Semanu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kec. Bulik Kabupaten
Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.Metodologi penelitian yang dilakukan
adalah pengumpulan data sekunder dan pengukuran langsung posisi cebakan besi
yang sudah diketahui dari berbagai literatur yang ada untuk mengetahui
kedudukannya secara tepat menggunakan Global Positioning System (GPS) dan
melacak penyebarannya secara lateral serta pengambilan conto bijih besi untuk
dilakukan analisis kimia.Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah
Formasi Kuayan (TRvk) yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar
Pangkalanbuun, Kalimantan. Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai
wilayah penelitian seluas 12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam. Sumberdaya bijih besi
pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan densitas bijih besi 2,4
ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton. Kualitas sample bahan galian
bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 –
18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3: < 0,01 – 0,05%
177
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. LATAR BELAKANG
178
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
2 111 32 32 2 7 26
3 111 32 48 2 7 26
4 111 32 48 2 10 2
2. PERUMUSAN MASALAH
Dengan dijumpainya bahan galian bijih besi maka perlu dilakukan kegiatan
eksplorasi untuk mengetahui bagaimana geologi regional dan lokal, penentuan
daerah yang potensial, perhitungan sumberdaya dan kualitas bijih besi yang ada
dijumpai di daerah penelitian.
179
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk menentukan kondisi geologi regional dan lokal
daerah penelitian, melineasi daerah yang potensial bahan galian bijih besinya,
menghitung sumberdaya bijih besi, dan mengetahui kualitas bahan galian bijih besi
yang terdapat di daerah penelitian.
4. METODE PENELITIAN
180
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. GEOLOGI
181
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
182
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.3. Stratigrafi
183
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
lanjut dan diperkirakan berumur Trias. Di daerah peninjauan formasi batuan ini
yang tersebar di lapangan.
3. Granit Mandahan,terdiri dari granit, graniot biotit dan diorit. Satuan batuan ini
menerobos batuan gunung api yang lebih tua (Formasi Kuayan), dan
diperkirakan terbentuk pada waktu terjadinya pengangkatan pada zaman Kapur
Akhir.
4. Batuan Gunung Api Kerabai, terdiri dari tuf, breksi tufan, lava, batupasir
kuarsa tufan, dan batulempung tufan. Setempat dijumpai lapisan tipis karbon,
dengan struktur perarian silangsiur. Satuan ini merupakan kelanjutan dari
Batuan Gunung Api Kerabai pada Lembar Kendawangan yang diperkirakan
berumur Kapur Akhir – Paleosen.
5. Formasi Dahor, terdiri dari konglomerat, batupasir dan perselingan lempung
yang mengandung sisipan lignit dengan lingkungan pengendapan peralihan,
tebal formasi sekitar 500 meter, berumur Miosen Tengah – Plioplistosen.
6. Endapan Rawa, terdiri dari gambut, lanau pasiran dan sisipan pasir, lempung
kaolinitan dan sisa tumbuhan.
7. Aluvium, terdiri dari lempung, pasir, kerikil, kerakal, bongkah, dijumpai
sebagai endapan sungai dan pantai.
Secara umum satuan batuan/formasi yang dijumpai pada daerah penyelidikan
dari yang termuda sampai yang tertua adalah :
1. Endapan Aluvial (Qa)
Tersusun atas material lepas lempung, lanau, pasir dan kerikil.Terbentuk pada
kisaran umur Holosen.Pola penyebaran satuan batunan ini mengikuti pola
aliran sungai di wilayah penyelidikan.
2. Formasi Kuayan (TRvk)
Tersusun atas breksi gunung api, lava, dasit, riolit, andesit, dan tuf. Terbentuk
pada kisaran umur Jura Awal – Tengah, terdapat hampir di seluruh wilayah
penyelidikan dengan luas sekitar 4.700 Hektar.
184
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
185
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
186
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
bekas lubang gas. Dari segi indeks warna, lava yang ditemui masuk dalam batuan
beku asam – intermediet.
Secara megaskopis tuff dijumpai banyak mengandung butiran mineral kuarsa,
berwarna putih.secara umum dijumpai pada kedalaman antara 200 – 300 cm di
bawah permukaan, setempat dijumpai berwarna merah karena pengaruh oksidasi.
Blok Bukit Hitam diasumsikan sebagai bukit yang dibentuk oleh litologi siliceous
tuff, yaitu batuan vulkanik yang didominasi oleh tuff yang mengandung mineral
kuarsa.
Morfologi Bukit Batu Hitam merupakan suatu bentukan morfologi
bergelombang sedang, memiliki elevasi antara 67 – 110 meter di atas permukaan laut
dengan kemiringan lereng antara 10% - 20%.
187
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. HASIL PENELITIAN
Indikasi cebakan bijih besi primer berdasarkan data yang ada di Kabupaten
Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, dicirikan oleh adanya bongkah bijih
berbagai ukuran pada puncak bukit, salah satu diantaranya adalah Bukit Batu Hitam
yang menjadi fokus wilayah penyelidikan. Secara geologi daerah ini memberikan
kemungkinan adanya kandungan mineral bijih besi yang cukup potensial berdasarkan
data-data batuan induk, proses magmatisme purba, serta proses mineralisasi dan
alterasi.
Berdasarkan data kegiatan eksplorasi survey lapangan, yang telah dilakukan
terdapat 67 titik bor dengan kedalaman antara 50 – 60 meter dengan jarak antara 500
– 1000 meter. Telah dibuat 67 titik sumur uji dengan dimensi 1 x 4 x 3 meter.Telah
dibuat parit uji sebanyak 8 titik dengan dimensi 20 x 1 x 3 meter.
Ciri–ciri endapan yang terdapat di Bukit Hitam adalah berwarna hitam dan
sebagian berwarna coklat kekuningan akibat adanya oksidasi.Terdapat tufa yang
sebagian telah mengalami pelapukan.
Jenis Bahan galian yang akan ditambang berupa bahan galian bijih besi yang
sebagian masih bersifat masif dalam hal ini bijih besi high magnetism dan sebagian
telah berubah menjadi hematite dan limonite. Bijih besi dapat digunakan sebagai
pelapis logam maupun rangka logam pada industri elektroplatting.Sehingga perlu
kualitas yang memadai.Keterdapatan mineral Fe dalam sample yang dianalisa,
terdapat bijih besi dengan kualitas tinggi yang mencapai kadar 63,27%. Berdasarkan
uji kualitas laboratorium, dapat ditunjukkan kandungan mineral seperti pada Tabel 2.
Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya adalah dengan
menggunakan metode contour yaitu dengan asumsi ketebalan dan kadar bijih besi
mengecil dari tengah ke tepi cebakan. Koordinat daerah prospeksi dapat dilihat pada
Tabel 3.
Hasil perhitungan adalah hasil dari penemuan singkapan yang dikorelasikan
dengan bentuk morfologi dari topografi serta hasil dari test pit, trenching pit maupun
hasil dari pemboran yang dilakukan dengan radius 500 meter.
188
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1 566,767.32 9,763,946.96
2 566,898.88 9,763,946.96
3 566,900.01 9,763,853.96
4 566,767.32 9,763,851.69
189
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
7. PENUTUP
1. Lokasi Studi termasuk ke wilayah Kecamatan Menthobi Raya dan Sematu Jaya
yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau,
Kalimantan Tengah.
2. Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah Formasi Kuayan (TRvk)
yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun,
Kalimantan.
3. Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai wilayah penelitian seluas
12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam.
4. Sumberdaya bijih besi pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan
densitas bijih besi 2,4 ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton.
5. Kualitas sample bahan galian bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe
total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 – 18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3:
< 0,01 – 0,05%.
8. DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Volume II, Economic
Geology, Special Edition of the Bureau of Mines, Indonesian Government
Printing Office, The Hague, Indonesia,
Hermanto, B., Bachri S., dan Atmawinata, S., 1994, Peta Geologi Lembar
Pangkalanbuun, Kalimantan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung,
190
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
191
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
192
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
193
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
194
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
195
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
196
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Sampah menjadi masalah bagi kota-kota besar di Indonesia saat ini termasuk kota
Kabila. Hal ini yang mendorong pemda Bone Bolango, Gorontalo untuk berbenah
diri mencari lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Salah satu lokasi yang dipilih
sebagai tempat pembuangan ahkhir sampah adalah desa Kopi karena lokasi tersebut
jauh dari kota Kabila, akses transportasinya mudah dijangkau dan jauh dari
pemukiman warga. Untuk mengetahui apakah pemilihan lokasi desa Kopi layak atau
tidak sebagai tempat pembuangan sampah, maka perlu dilakukan kajian secara
geofisika dengan metode geolistrik resistivitas konfigurasi schlumberger untuk
mengetahui daya dukung batuan bawah permukaan. Analisa hasil pengukuran
geolistrik dari dua lokasi di desa Kopi adalah: lokasi I desa Kopi sangat baik karena
terdapat lapisan kedap air tanah yaitu batuan beku diorit dengan ketebalan antara 1
meter hingga 4 meter yang berada diantara lapisan soil dan akifer, lokasi II desa
Kopi kurang baik karena tidak adanya lapisan kedap air yang menutupi lapisan air
tanah (akifer), sehingga sangat mungkin ketika ada limbah cair dari sampah, limbah
tersebut akan terinfiltrasi ke dalam lapisan akuifer air tanah dan pada akhirnya akan
mencemari air tanah.
197
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
198
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
kota-kota besar terpaksa tinggal di daerah sekitar tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah. Beberapa diantaranya memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum.
Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih di daerah sekitar tempat pembuangan akhir
(TPA) biasanya tidak terjangkau pelayanan yang disediakan oleh pemerintah melalui
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).Jika terjadi pencemaran air tanah akibat
meresapnya air lindi yang berasal dari pembusukan sampah, maka hal ini bisa
menjadi penghambat bagi kelangsungan hidup penduduk disekitar tempat
pembuangan akhir (TPA) tersebut.
Oleh karena itu, rencana tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di desa Kopi
kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango harus memperhatikan aspek
kesehatan, estetika dan lingkungan. Jauh dari pemukiman warga sehingga
keberadaan tempat pembuangan akhir tersebut tidak mengganggu kenyamanan
warga bila hendak melakukan aktifitas di luar rumah. Jauh dari fasilitas umum
sehingga tidak mengganggu keindahan dan pemandangan kota. Secara kesehatan
harus memperhatikan jenis batuan di lokasi yang akan dijadikan tempat pembuangan
akhir sampah dan arah angin supaya bau yang ditimbulkan tidak berhembus kearah
pemukiman warga.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dalam perencanaannya harus
melibatkan berbagai disiplin ilmu, salah satunya adalah geofisika. Metode geolistrik
resistivitas konfigurasi schlumberger merupakan salah satu metode geofisika yang
mudah, murah dan efisien serta tidak merusak lingkungan. Metode ini
memanfaatkan variasi nilai resistivitas batuan bawah permukaan untuk mendeteksi
struktur geologi atau formasi batuan bawah permukaan (Sehah dan Hartono, 2010).
Berdasarkan parameter nilai resistivitas batuan (Laesanpura, 2005), maka dapat
ditentukan apakah batuan di lokasi penelitian sangat kompak sehingga tidak bisa
merembeskan air lindi atau batuannnya renggang sehingga gampang merembeskan
air lindi. Dengan demikian metode geolistrik resistivitas tersebut sangat cocok untuk
mengetahui apakah lokasi penelitian layak atau tidak dijadikan tempat pembuangan
akhir sampah.
Pengukuran geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger menggunakan
empat buah elektroda yang terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda
199
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
potensial. Pengukuran tahanan jenis dilakukan dengan cara arus listrik diinjeksikan
ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensial diukur melalui
dua elektroda potensial seperti pada Gambar 1. Nilai resistivitas yang diperoleh
menggunakan persamaan sebagai berikut
V
a K
I ……….………………………….(1)
dimana k menyatakan faktor geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Untuk
konfigurasi Schlumberger persamaan faktor geometri konfigurasi elektroda
sebagai berikut (Telford et.al., 1990):
K
L 2
b2 …………………………………..(2)
2b
2. METODOLOGI PENELITIAN
201
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
202
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil inversi titik sounding I-1 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 1. Resistivitas lapisan pertama sebesar 39,9
ohm.m dengan kedalaman 0,578m dan ketebalan 0,578m diinterpretasikan sebagai
top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan
kedua sebesar 77,9 ohm.m dengan kedalaman 1,75 m dan ketebalan 1,17 m
diinterpretasikan sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup
(cap rock). Resistivitas lapisan ketiga sebesar 20,1 ohm.m dengan kedalaman 13,9
m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar 57,8 ohm.m
dengan kedalaman >13,9 m diinterpretasikan batuan diorit.
Resistivitas (ohm.m)
203
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil inversi titik sounding I-2 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 2. Resistivitas lapisan pertama sebesar 30,6
ohm.m dengan kedalaman 3,0m dan ketebalan 3,0m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 75,7 ohm.m dengan kedalaman 7,3 m dan ketebalan 4,3 m diinterpretasikan
sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup (cap rock).
Resistivitas lapisan ketiga sebesar 10,7 ohm.m dengan kedalaman 19,8 m dan
ketebalan 12,5m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar
68,4 ohm.m dengan kedalaman >19,8 m diinterpretasikan batuan diorit.
Air tanah
204
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil inversi data resistivity sounding di dua titik sounding di lokasi II Desa
Kopi ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
205
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Resistivitas (ohm.m)
Hasil inversi titik sounding II-1 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding II-1 ditunjukan pada gambar 6 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 3. Resistivitas lapisan pertama sebesar 32,5
ohm.m dengan kedalaman 1,0m dan ketebalan 1,0m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 10,9 ohm.m dengan kedalaman 5,24 m dan ketebalan 4,24 m
diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan
akuifer air tanah. Resistivitas lapisan ketiga sebesar 1052 ohm.m dengan
kedalaman >5,24 m diduga batuan diorit.
206
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil inversi titik sounding II-2 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil
pengolahan data titik sounding II-2 ditunjukan pada gambar 7 dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 4. Resistivitas lapisan pertama sebesar 35,6
ohm.m dengan kedalaman 0,33m dan ketebalan 0,33m diinterpretasikan sebagai top
soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan kedua
sebesar 16,7 ohm.m dengan kedalaman 7,07 m dan ketebalan 6,74 m
diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan
akuifer air tanah. Resistivitas lapisan ketiga sebesar 945,2 ohm.m dengan
kedalaman >7,07 m diduga batuan diorit.
Resistivitas (ohm.m)
207
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Air tanah
sungai
208
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. KESIMPULAN
1. Lokasi I desa Kopi layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah. Hal ini karena adanya lapisan batuan diorite yang kedap air di antara
top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk
memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada
fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut tidak
akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer
air tanah sehingga aman dari pencemaran.
2. Lokasi II desa Kopi tidak layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah. Hal ini karena tidak adanya lapisan batuan yang kedap air di
antara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk
memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada
fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut akan
terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air
tanah sehingga tidak aman dari pencemaran.
209
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. DAFTAR PUSTAKA
Laesanpura, A., 2005, Final Report on Field Research of Geophysics Study in the
Kangean Islands, LPPM-ITB and MMM-Université de la Rochelle.
Fetter, C.W., 1994, Applied hydrogeology 3rd ed., Macmillan College Publishing
Company, Inc.
Telford, W.M., L.P. Geldart, and R. E. Sheriff, 1990, Applied Geophysics, Second
Edition, Cambridge and Hall, New York.
210
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Kalimantan Selatan merupakan daerah yang dikelilingi banyak sungai namun
kondisi airnya belum layak untuk dikonsumsi. Salah satu sungai yang ada adalah
sungai Martapura yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan
masyarakat sekitar bantaran untuk keperluan air minum, mandi, mencuci, dan sarana
transportasi. Namun kualitiasnya mengandung zat-zat padat yang tersuspensi,
berwarna kecoklatan, pH yang agak rendah dan tingkat kekeruhan (turbidity) yang
sangat tinggi.Disis yang lain adanya kegiatan pertambangan batubara tentunya akan
selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu dampaknya adalah munculnya air asam tambang (AAT) yang merupakan
air lindian dari mineral sulfida dengan tingkat keasaman dan kandungan senyawa ion
logam yang tinggi seperti Al3+, Fe3+, dan lainnya yang berpotensi besar dapat
dijadikan sebagai koagulan .Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mempelajari
manfaat AAT sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan pH air
sungai Martapura. AAT yang digunakan berasal dari kota Binuang Kabupaten Tapin
dan kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu kalimantan Selatan. Proses koagulasi
dan flokulasi menggunakan beaker glass yang dilengkapi dengan pengaduk (jar-test).
Proses koagulasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 1 menit.
Proses flokulasi dengan kecepatan pengadukan 40 rpm selama 5 menit, danproses
dekantasi yang dilakukan selama 15 menit.Hasil penelitian menunjukan bahwa AAT
batubara dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam menurunkan tingkat kekeruhan
air sungai Martapura dengan tingkat kekeruhan & pH sebesar 3,75 NTU dan 6,25
dari kondisi 713 NTU dan 7,18 untuk AAT batubara daerah Binuang sebanyak 0,3
mg/L. Sedangkan AAT batubara daerah Batulicin menunjukan tingkat kekeruhan &
pH sebesar 45,6 NTU dan 7,33 dengan jumlah konsentrasi juga sebesar 0.3 mg/L.
Penurunan tingkat kekeruhan air sungai Martapura seiring dengan penambahan
jumlah konsentrasi AAT batubara sehingga tidak menyebabkan perubahan yang
signifikan terhadap nilai pH.
211
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
212
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Sampel air sungai yang digunakan berasal dari sungai Martapura tepatnya di
Desa Tunggul Inang Kabupaten Martapura Kalimantan Selatan dimana
masyarakatnya masih sangat tergantung air sungai dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pengambilan sampel air dilakukan pada kondisi musim hujan sehingga
mempunyai tingkat kekeruhan (turbidity) yang tinggi dan pH yang agak rendah.
AAT batubara yang digunakan sebagai koagulan berasal dari sisa pertambangan
batubara di daerah Binuang kabupaten Tapin dan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu
Kalimanatan Selatan. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari rangkaian
alat proses koagulasi dan flokulasi yang dilengkapi dengan pengaduk (Gambar 1),
beaker glass,gelas ukur, pipet volum, neraca analitik, stopwatch, pH meter, dan
turbidimeter. Bahan yang digunakan terdiri dari air sungai Martapura, AAT batubara
daerah Binuang, dan AAT batubara daerah Batulicin.
213
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4 Keterangan:
5 2 1. Beaker glass
2. Tombol power
3. Pengaduk
6 3
4. Pengatur kecepatan
pengadukan
5. Pengatur waktu
6. Lampu
1
Gambar 1. Rangkaian Alat Proses koagulasi dan flokulasi air dari sungai Martapura
(sumber: Mirwan 2009)
Proses penjernihan air dari sungai Martapura meliputi proses awal, koagulasi,
flokulasi, dan dekantasi yang pada akhirnya akan diperoleh 2 (dua) kurva hasil
analisis tingkat kekeruhan dan pH terhadap jumlah konsentrasi koagulan yang
digunakan (AAT batubara daerah Binuang dan AAT batubara daerah Batulicin).
Hasil pengamatan awal analisis pH untuk AAT batubara daerah Binuang dan
Batulicin adalah 3,41 dan 4,97. Sedangkan hasil analisis tingkat kekeruhan dan pH
214
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
awal air sungai Martapura dan kondisi akhir setelahpenambahan AAT batubara
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analsis turbidity dan pH pada kondisi awal dan setelah penambahan
koagulan AAT batubara
Variasi
penambahan
Kondisi
jumlah konsentrasi
Jenis awal air
No Parameter Standar koagulan AAT
koagulan sungai
batubara
Martapura
10 20 30 40
% % % %
1. Turbidity(N <5 AAT 713 313 5,9 3, 3,00
TU) batubara 4 75
2. pH <6 daerah 7,18 6,62 6,2 6, 5,90
Binuang 5 12
215
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
sungai Martapura sehingga membentuk flok yang besar, berat dan akhirnya
mengendap. Hal tersebut menjadikan tingkat kekeruhan air sungai Martapura makin
rendah seiring dengan bertambahnya jumlah konsentrasi AAT batubara baik dari
daerah Binuang maupun Batulicin.
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0% 10% 20% 30% 40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara
7
pH
5
0% 10% 20% 30% 40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara
216
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. KESIMPULAN
5. DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G & Santika, S. S (1987), Metode penelitian air, Usaha Nasional. Surabaya.
Arifin (2008), Pengendalian proses koagulasi pada suatu instalasi pengolahan air,
Mediun.
Fair, GM (1971),Elements of water supply and waste water disposal. 2nd Ed.Tokyo.
217
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Karbito &Slamet A (2003), Optimasi dosis tawas, tanah gambut dan kapur tohor
sebagai koagulan dalam pengolahan air gambut menjadi air bersih, Jurnal
Purifikasi Jurusan Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya., 4-1, 1411-3465.
Kusnaedi (2000), Mengolah air gambut dan air kotor untuk air minum. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta
Mirwan, A., (2009), Pemanfaatan limbah padat lumpur PDAM sebagai tawas cair
untuk penjernihan air dari sungai Barito Kalimantan Selatan.
ProceedingSeminar Nasional Inovasi & Aplikasi Teknologi di Industri. ITN
Malang.
Mirwan, A., (2011), Pemanfaatan kembali limbah padat lumpur (LPL) PDAM Intan
Banjar sebagai koagulan penjernih dari sungai Martapura Kalimantan Selatan.
ProceedingSeminar Nasional &rapat Tahunan Bidang Ilmu MIPA
(SEMIRATA BKS-PTN B). Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.
Qasim, S R., Edward M. Motley., & Zhu, G (2000), Water works engineering
planning, desain and operation, Prentice Hall, USA.
Rao S R., Gerh R., Riendeau M., Lu D., & Finch J. A. (1992), Acid mine drainage as
a coagulant, Mineral Engineering Journal., 5-9, 1011-1020.
SNI 06-6989.25-2005 tentang cara uji kekeruhan air dan air limbah.
SNI 06-6989.11-2004 tentang cara uji derajat keasaman (pH) air dan air limbah.
218
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu, massa dan
kecepatan stirrer dalam proses adsorpsi pada pemurnian etanol 96 % dengan
menggunakan adsorben fly ash batubara.Penelitian ini dimulai dengan aktivasi secara
kimia dan fisika, fly ash batubara yang telah teraktivasi kemudian di adsorpsi
menggunakan etanol 96 %. Setelah keadaan tertentu di lakukan penyaringan, filtrat
yang didapat dianalisis dengan metode berdasarkan berat jenis.Berdasarkan
pengujian dengan variasi waktu 10, 20, 30 dan 40 menit didapatkan waktu optimum
sebesar 20 menit. Jika waktu yang digunakan lebih dari 20 menit, maka kadar etanol
yang dihasilkan akan semakin turun. Hal yang serupa juga terjadi untuk variasi
massa fly ash 5, 10, 15 dan 20 gram, semakin banyak massa adsorben yang
digunakan, semakin kecil tingkat penyerapannya. Sedangkan untuk variasi
kecepatan stirrer sebesar 50, 60 dan 70 rpm dapat diketahui bahwa semakin tinggi
kecepatan stirrer yang digunakan proses adsorpsi akan sulit dilakukan. Kadar
optimum etanol sebesar 99,9864 % di dapat dari massa fly ash 10 gram dengan
kecepatan stirrer 50 rpm.
219
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
220
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
( Shaw, 1983). Jumlah zat yang teradsorpsi oleh tiap gram adsorben tergantung
pada luas permukaan adsorben, konsentrasi adsorben, temperatur dan sifat-sifat
molekul yang terlibat.
Salah satu dari adsorben yang belum termanfaatkan dengan baik adalah abu
layang batubara. Abu layang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Adapun komponen utama dari abu terbang
batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3),
dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang
(Putri, 2008). Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya
berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran
batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara
2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode
permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg (Pratama dan Putranto,
2007 dalam Putri, 2008). Atas dasar tersebut maka abu layang batubara merupakan
adsorben yang potensial untuk segera dimanfaatkan.
2. PENELITIAN
2.1. Bahan
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah etanol 96%, HCl 6 M, H2SO46
M, aquadest, es batu dan fly ash batubara (ukuran 200 mesh).
2.2. Alat
Rangkaian alat yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
221
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
pada suhu kamar, lalu menyaring dan mencuci sampel dengan aquadest. Setelah itu
sampel dikeringkan dalam oven selama 2,5 jam dan mengkalsinasinya pada suhu
600oC.
Keterangan:
1
1. Termometer
2 2. Gelas beker
3 3. Erlenmeyer
4 4. Magnetic stirrer
5. Hot plate
5 6. Tombol pengatur kecepatan stirrer
7 E-5
6 7. Tombolpengaturpanas
3. PEMBAHASAN
Pengaruh waktu adsorbsi terhadap kadar etanol dapat dilihat pada Gambar 2
dan 3.
222
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
100.0
99.5
99.0 kecepatan 50 rpm
Kadar Etanol (%) 98.5 kecepatan 60 rpm
98.0 kecepatan 70 rpm
97.5
97.0
96.5
96.0
95.5
0 10 20 30 40 50
Waktu Pengadukan (menit)
Gambar 2. Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%)
untuk sampel 5 gram fly ash batubara teraktivasi dan 50 ml etanol 96 %.
100.0
99.5
Kadar Etanol (%)
Gambar 3.Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%)
untuk sampel 10 gram fly ash batubara teraktivasi, 50 ml etanol 96 %.
Dari Gambar 2dan3dapat dilihat bahwa jika waktu yang digunakan lebih dari
20 menit, maka kadar etanol yang dihasilkan akan semakin turun, sehingga proses
pengadukan dengan waktu 20 menit lebih baik dibandingkan 10, 30 dan 40 menit
baik untuk fly ash batubara 5 gram maupun 10 gram. Hal ini terjadi karena dengan
waktu 20 menit proses adsorpsi dengan fly ash batubara pada penelitian ini
mengalami kondisi jenuh, dimana kapasitas adsorpsinya sudah maksimal. Semakin
lamanya waktu (lebih dari 20 menit), maka molekul-molekul air yang sudah terikat
223
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
dapat lepas kembali (mengalami desorpsion), sehingga kadar etanol akan semakin
menurun.
3.2. Pengaruh Massa Fly Ash Batubara Teraktivasi Terhadap Kenaikan Kadar
Etanol
Untuk mengetahui pengaruh massa fly ash teraktivasi, maka dibuat grafik
hubungan massa fly ash teraktivasi dengan kadar etanol (%) pada pengadukan 20
menit seperti Gambar 5.
100.0
99.8
Kadar Etanol (%)
Gambar 5. Hubungan antara massa fly ash batubara yang teraktivasi (gram) dengan
kadar etanol (%) dengan waktu pengadukan 20 menit pada kecepatan
stirrer 50, 60 dan 70 rpm
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya massa fly ash yang
digunakan, maka kadar etanol yang dihasilkan semakin menurun untuk setiap
kecepatan yang sama. Kecuali untuk kecepatan 50 rpm, dari hasil terlihat bahwa
kadar etanol maksimum dapat tercapai pada massa fly ash sebesar 10 gram yaitu
sebesar 99,9864 %. Sedangkan massa fly ash di atas 10 gram mengalami penurunan.
Hal ini bisa terjadi karena pergerakan molekul pada berat fly ash di atas 10 gram
terjadi secara lambat dan larutan semakin pekat, hampir membentuk slurry, sehingga
kadar air dalam etanol susah untuk diserap.
224
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
100.0
99.8
99.6
Kadar Etanol (%)
Gambar 6. Hubungan antara kecepatan stirrer (rpm) dengan kadar etanol (%) dengan
waktu pengadukan 20 menit pada masing-masing massa fly ash batubara
teraktivasi
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi kecepatan stirrer yang
digunakan, proses adsorpsi akan menjadi sulit untuk dilakukan. Terlihat dari hasil
yang didapatkan bahwa kecepatan stirrer di atas 50 rpm, membuat kadar etanol yang
dihasilkan jadi semakin menurun. Hal ini bisa terjadi karena kecepatannya terlalu
cepat, membuat pergerakan larutan yang diaduk menjadi bergejolak dan
menimbulkan fortek (putaran cepat). Dimana molekul-molekul air yang semula
terserap pada permukaan fly ash menjadi semakin berkurang (mengalami desorpsi).
225
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. DAFTAR PUSTAKA
Greer, D., 2005, “Creating Cellulosic Ethanol: Spinning Straw into Fuel”, cellulosic
Ethanol.htm, eNews Bulletin, April 2005.
Riyanti, E.I., 2009, “Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol”, Jurnal Litbang
Pertanian 28(3), Kementerian Pertanian. Hal. 101 – 110
Rouquerol,F.,RouquerolJ.,Sing,K.,1999,“AdsorptionbyPowdersandPorousSolids.Pri
nciples,MethodologyandApplications”,AcademicPress,pp.6-7.
Thomas,W.J.danCrittenden,B.,1998,“AdsorptionTechnologyandDesign”,
ElsevierScienceandTechnologyBooks,pp.1-7.
226
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Isna Syauqiah1
1
Tenaga Pengajar, Prodi Teknik Kimia, FT, Unlam
iissnnaa_tk_ftunlam@yahoo.com
ABSTRAK
Banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja
oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang dinginkan sudah berkurang,
mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu
dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang yang ditinggalkan atau penambang
harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan sebelum melakukan proses
penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana penutupan dan penyelesaian
tambang supaya tidak berdampak buruk pada lingkungan setelah ditinggalkan.
Sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan untuk pengelolaan lubang bekas tambang
tersebut sebagai reservoir air diantaranya dengan melakukan (1) studi kelayakan
pendahuluan; (2) studi kelayakan; (3) perencanaan teknis; (4) pelaksanaan
pembangunan.
227
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
228
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
229
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
yang ditinggalkan atau penambang harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan
sebelum melakukan proses penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana
penutupan dan penyelesaian tambang supaya tidak berdampak buruk pada
lingkungan setelah ditinggalkan. Karena lubang/sumur bekas galian tambang tidak
mungkin lagi ditutup sehingga perlu dilakukan bagaimana pengelolaannya salah
satunya direncanakan akan dilakukan pengelolaannya dengan menjadikan
lubang/sumur tersebut menjadi reservoir air yang nantinya air tersebut bisa
digunakan untuk keperluan industry atau masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengelolaan atas lubang-lubang galian bekas
penambangan agar tidak terjadi bencana ekologi dimasa yang datang.
2. TUJUAN
3. TINJAUAN TEORITIS
230
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
bukit kecil yang tidak beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila bekas areal
tambang tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, maka sangat sulit dalam
pengelolaannya. Untuk mengembalikan kualitas bekas areal sehingga dapat dijadikan
lahan pertanian memerlukan inverstasi yang sangat besar, yang sebenarnya
kewajiban penambang.
Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor
karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-besaran
juga menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam (morfologi dan topografi),
yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan, penimbunan tanah
penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan perubahan pada drainase,
debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan. Menurut Rahmi (1995),
aspek tersebut adalah:
a. Aspek Hidrologi
Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di
kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut kering
karena disepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa lembah yang
agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang cukup besar
terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai kenampakan air
yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh, warna hijau kebiruan
sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di dalam kolam-kolam
tersebut juga beragam.
b. Aspek Geologi
Tumpukan batuan penutup (overburden) yang dibiarkan tertumpuk secara tidak
teratur sekitar bukaan tambang menghasilkan bukit-bukit kecil dan lubang-lubang.
Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan menghasilkan
lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang banyak terdapat
kolam berisi air hujan, mengindikasikan bahwa timbunan tanah bekas galian bersifat
kedap air, resapan air hujan hujan untuk membentuk system air tanah sangat kecil.
231
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
c. Erosi Tanah
Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari
aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu
menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan
sedimentasi sungai. Sedimen hasil erosi tanah diangkut oleh aliran air larian (runoff)
masuk ke dalam sungai di ujung tekuk lereng dalam daerah tangkapan (catchment
area ).
d. Longsoran Tanah
Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan
berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup banyak.
Hal ini berdampak negative terhadap lingkungan yang bersifat permanen.
e. Sedimentasi Sungai
Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian yang
masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan dampak
yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang signifikan.
Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimen yang masuk ke sungai,
tetapi juga ditentukan oleh factor-faktor hidrologi sungai seperti kecepatan arus, pola
arus sungai, kelandaian dasar sungai dan morfologi dasar sungai.
f. Gangguan Estetika Lahan
Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan
terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan
pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah
bervegetasi yang berwarna hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya
nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi. Hal
ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis.
g. Pencemaran Air
Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi
karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta dari air genangan di
lubang tambang dan pencemaran pada badan sungai ini akan mempengaruhi kualitas
air.
232
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
233
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.5. Revegetasi
234
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
235
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus melewati zona mengandung sulfida
logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeable.
Hal ini untuk menghindari pelarutan sulfide logam yang potensial menghasilkan air
asam tambang.
Sebagai upaya menjaga kelestarian air maka berbagai usaha telah dilakukan
baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Upaya non fisik diantaranya pembuatan
peta potensi catchmen area, mengatur penggunaan DAS, pembuatan master plan
pengendalian banjir dan mekanisme perijinan alih fungsi lahan yang ketat. Upaya
fisik diantaranya pembangunan reservoir air berupa bendungan dan waduk yang
diharapkan dapat menampung laju air sungai sehingga dapat meresap ke dalam tanah
serta berfungsi sebagai pengendali banjir di daerah hilir.
Pada dasarnya bendungan adalah konstruksi bangunan yang digunakan untuk
menampung air. Hasil tampungan air berupa genangan tersebut yang dinamakan
waduk. Jadi bendungan dan waduk merupakan satu kesatuan system yang
berhubungan. Di Indonesia, keberadaan waduk memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia dalam bidang pertanian, energy, supply air baku, pariwisata dan
pengendalian banjir. Di sisi lain keberadaan waduk dapat merugikan manusia
terutama bagi mereka yang terkena dampak relokasi.
Waduk atau danau buatan yang besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari
15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang
dari 15 m. Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk
komponen tata airnya pada umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga
volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air
diketahui dengan pasti.
Pengelolaan sumber daya air di dalam waduk/bendungan tertuang dalam UU
No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang terdiri dari 3 komponen yaitu
konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada
peraturan lain seperti PP No 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, PP No 82
tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian pencemaran Air, PP
236
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
No 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, serta Keppres No 123 Tahun 2001
tentang koordinasi Pengelolaan sumber Daya Air pada tingkat propinsi, wilayah
sungai, kabupaten dan kota. Berbagai produk hukum tersebut dapat dijadikan dasar
hukum dalam upaya konservasi air untuk kehidupan. Namun pada kenyataannya
konservasi sumberdaya air masih jauh dari harapan malah semakin rusak baik
kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan
sumber daya air waduk/bendungan antara lain :
Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk yaitu
setiap instansi lebih mementingkan ego sektoralnya daripada upaya
konservasinya.
Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air waduk sehingga
menimbulkan konflik kepentingan.
Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah
tempat berlokasinya waduk untuk melakukan konservasi.
Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan
konservasi.
Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan, untuk
melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS atau penduduk di
sekitar waduk.
Adapun manfaat dari keberadaan waduk/bendungan adalah sebagai berikut :
a) Penyediaan air baku penduduk
Keberadaan bendungan/waduk dapat dijadikan cadangan ketersediaan air bagi
penduduk ketika musim kemarau telah tiba.
b) Suplay air irigasi daerah persawahan.
Lahan pertanian membutuhkan air secara terus menerus. Ketersediaan air yang
melimpah menjadikan tanaman dapat supply air dan tidak hanya mengandalkan
dari datangnya hujan.
c) Pengendalian banjir.
Melalui bendungan maka laju air dapat dikendalikan sebagai upaya pengendalian
banjir di hilir bendungan.
237
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
d) Pengembangan pariwisata.
Keberadaan bendungan/waduk sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata
yang berujung pada peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dan kesejahteraan
masyarakat sekitar.
e) Suplay air untuk kegiatan industri.
Kegiatan industri membutuhkan air baku yang relatif banyak. Oleh karena itu
dapat merangsang investor untuk mendirikan industri.
Adapun permasalahan-permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan
bendungan/waduk adalah sebagai berikut :
a) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan komunitas setempat.
Kondisi seperti ini berlaku pada area rencana waduk yang terdapat penduduk di
dalamnya. Permasalahan yang sering terjadi adalah masyarakat setempat harus
direlokasi dan terancam kehilangan tempat tinggal, tanah dan keberlangsungan
hidup termasuk mata pencaharian.
b) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan habitat berbagai jenis
hewan.
Hutan, lahan basah, dan habitat lain dibanjiri air. Waduk juga dapat memisahkan
habitat hewan dan menghalangi rute migrasi.
c) Keberadaan waduk/bendungan dapat menciptakan permasalahan kesehatan.
Berbagai penyakit seperti malaria akan meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah nyamuk.
d) Bendungan/waduk dapat membunuh ikan.
Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada ikan di sungai.
e) Hasil panen berkurang
Waduk akan membanjiri lahan pertanian di sekitar sungai atau pinggiran sungai.
f) Waduk sebagai salah satu faktor penyebab cuaca buruk bagi daerah sekitarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2009) terdapat korelasi
antara keberadaan bendungan/waduk dengan tingkat curah hujan. Waduk dapat
meningkatkan proses penguapan yang kemudian meningkatkan kadar kelembapan
238
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
pada atmosfer. Hal inilah yang menyebabkan curah hujan di sekitar waduk
meningkat.
4. PENUTUP
Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan, karena segala sesuatu kebutuhan
hidupnya tersedia dan diambil dari lingkungan. Dan untuk pemenuhan kebutuhannya
manusia akan melakukan eksploitasi terhadap lingkungannya, yang mana eksploitasi
ini dapat berdampak positif maupun negatif. Untuk pemerintah dampak positifnya
berupa bertambahnya pemasukan berupa pendapatan daerah, sedangkan bagi
masyarakat, penambangan dapat memberikan lapangan pekerjaan kemudian dampak
negatifnya terhadap lingkungan yaitu tanah-tanah ataupun bukit-bukit yang
mengandung sumber daya alam akan terkeruk, terkupas dan tersedot yang berakibat
membentuk sumur. Untuk itu maka diperlukan suatu pengelolaan terhadap
lubang/sumur belaks tambang tersebut diantaranya dengan memanfaatkannya
sebagai reservoir air yang mana untuk hal tersebut perlu dilakukan (1) Studi
kelayakan pendahuluan; (2) Studi kelayakan; (3) Perencanaan teknis; (4)
Pelaksanaan pembangunan.
5. DAFTAR PUSTAKA
Blinker, L.R. (Ed.), 1999. Mining and the natural environment: an overview.
UNCTAD 6, pp. 6–8
239
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
͞Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri͟
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pond, G.J, M.E. Passmore, F.A. Borsuk, L, Reynolds and C.J. Roses. 2008.
Downstream effects of mountaintop coal mining: comparing biological
conditions using family- and genus-level macroinvertebrate bioassessment
tools. J.N.A..Benthol. Soc.2008. 27(3)717-737
240
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Rudi Siswanto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan rongsokan paduan Al-Mg sebagai
bahan baku produk pengecoran logam dengan mengetahui pengaruh temperatur dan
waktu peleburan terhadap massa jenis dan kekerasan. Metode pengecoran yang
digunakan adalah pengecoran tuang dimana suatu logam cair dituang ke dalam
cetakan tanpa adanya tekanan, selanjutnya dibiarkan membeku dalam cetakan
dengan pendinginan temperatur ruang. Tungku untuk peleburan menggunakan
tungku jenis krusibel dan cetakan dari logam dengan bahan bakar briket batubara.
Material untuk pengecoran digunakan paduan aluminium magnesium (Al-21%Mg)
sekrap. Bahan fluks untuk melindungi logam cair agar tidak kontak dengan udara
adalah campuran KCl, MgCl2 dan BaCl2. Paduan Al-Mg dilebur dalam tungku pada
variasi temperatur 650 oC, 700 oC dan 750 oC dengan waktu peleburan 5, 10 dan 15
menit, kemudian dituang dalam cetakan logam (temperatur 200 oC), dan selanjutnya
dibiarkan membeku dan dingin dalam cetakan. Kemudian coran dibuat spesimen
untuk dilakukan pengujian massa jenis dan kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, rongsokan paduan AL-21%Mg bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku
produk pengecoran logam. Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan
massa jenis dan meningkatkan kekerasan, kekerasan tertinggi diperoleh pada
temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 15 menit. Semakin lama
waktu peleburan akan meningkatkan kekerasan, tetapi massa jenis tidak
menunjukkan adanya hal tersebut, massa jenis tertinggi diperoleh pada temperatur
peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 5 menit.
241
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN
Material untuk pengecoran logam terdiri dari logam ferro dan non ferro.
Termasuk logam ferro yaitu besi tuang, baja karbon, baja paduan dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk logam non ferro yaitu aluminium, magnesium, nikel,
tembaga, seng, mangan dan sebagainya. Penggunaan logam sebagai material
pengecoran tidak hanya logam murni, tetapi dicampur dengan unsur logam lainnya
disebut dengan logam paduan. Logam paduan ringan yang banyak digunakan adalah
aluminium dan magnesium.
Magnesium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat mudah terbakar
jika saat peleburan kontak dengan oksigen dan reaktif. Magnesium paduan banyak
digunakan pada komponen struktur pesawat, otomotif dan elektronik. Pemanfaatan
magnesium pada industri otomotif adalah untuk menghasilkan produk kendaraan
ringan, sehingga pemakaian bahan bakar lebih hemat dan mengurangi emisi gas
buang. Beberapa jenis kendaraan terbaru menggunakan gearbox housing dan engine
block yang dibuat dari magnesium hingga bobotnya turun 25%, dibandingkan
menggunakan aluminium.
Pada industri kecil pengecoran biasanya paduan yang mengandung unsur
magnesium dianggap material yang mengganggu, karena magnesium cair akan
terbakar jika kontak dengan udara saat peleburan dan penuangan. Inilah salah satu
kesulitan dalam pengecoran magnesium, mencegah teroksidasinya magnesium cair
dengan udara.
Penggunaan fluks sebagai pelindung logam cair unsur paduan magnesium agar
tidak kontak dengan udara, menggunakan campuran dengan komposisi KCl 55%,
MgCl2 34% dan BaCl2 9% (Arifin, 2008). Jumlah fluks 1,5 % dari persen berat sudah
cukup untuk melindungi lapisan atas dari cairan paduan magnesium dari kontak
dengan udara. Penggunaan fluks kering 1 % sampai 3 % dapat mengurangi gas dan
mencegah gelembung udara serta lubang jarum, disamping itu juga memperbaiki
sifat-sifat mekaniknya (Surdia dan Chijiwa, 1996).
242
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
243
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Da
Wa .Dw
Wa Ww
Dimana :
Da = massa jenis actual
Dw = massa jenis air
Wa = berat specimen dalam udara
Ww = berat specimen dalam air
Uji kekerasan dilakukan dengan pengujian kekerasan Vickers (HVN). Nilai
VHN dapat ditentukan dari persamaan :
P
VHN = 1,8544.
d2
Dimana :
P = beban yang bekerja pada penetrator intan (kg)
d = panjang diagonal rata-rata bekas penekan (mm)
136o
d
244
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan coran (paduan Al-
21%Mg dari mesin chainsaw scrap ), bahan cetakan (logam), bahan bakar (briket
batubara) dan bahan pelindung (fluks : KCl 55 %, MgCl2 34 %, BaCl2 9 %).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu peralatan pengecoran (tungku
krusibel dan cetakan), peralatan ukur (stop wacth, termo kopel), timbangan digital,
timbangan vakum dan alat uji kekerasan (Vickers).
245
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tungku krusibel dipanaskan terlebih dulu dengan bahan bakar yang sudah
dinyalakan sampai temperatur tungku merata, untuk mengoptimalkan pembakaran
udara dihembuskan dengan blower yang konsumsi udaranya bisa diatur melalui
jendela udara. Setelah panas tungku sudah tercapai, hal ini bisa dilihat dari warna
cawan peleburan (kowi) sudah menunjukkan warna merah membara, kemudian
bahan baku yaitu berupa paduan AL-Mg sekrap yang telah dibersihkan dan dipotong
kecil-kecil dimasukkan ke dalam kowi. Bersama dengan itu cetakan logam
dipanaskan juga dalam tungku.
Ketika paduan sekrap kelihatan mulai mencair fluks dimasukkan, agar
terhindar kontak dengan udara. Temperatur tungku dipertahankan sesuai dengan
temperatur yang dikehendaki. Setelah waktu yang ditentukan tercapai kemudian
logam cair dituang ke dalam cetakan logam yang sudah dipanaskan (temperatur
cetakan 200 oC), selanjutnya cetakan ditutup rapat agar terhindar kontak langsung
dengan udara. Setelah logam cair dituang ke dalam cetakan, dibiarkan sampai
membeku dan dingin didalam cetakan dengan pendinginan temperatur ruang. Setelah
dingin mendekati temperatur ruang, coran dikeluarkan dari cetakan.
246
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu : temperatur
peleburan (T1=650, T2=700, T3=750 (ºC)), waktu peleburan ( t1=5 , t2 =10 , t3=15
(menit)), temperatur cetakan 200 oC, massa bahan baku 250 gram/spesimen.
Sedangkan variabel terikat adalah massa jenis dan kekerasan.
Alur Penelitian
Start
Pembersihan, pemotongan
Penuangan Cetakan
Pembuatan Spesimen
Pengujian :
Massa jenis
Kekerasan
Hasil pengujian
Stop
247
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
248
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2 adalah data hasil pengujian massa jenis. Kode X merupakan hasil
pengujian massa jenis bahan pengecoran sebelum dilakukan peleburan dan
penuangan. Kode A, B dan C merupakan hasil pengujian massa jenis setelah
dilakukan peleburan dan penuangan.
(a) (b
Dari tabel 2 dan gambar 4 (a,b) menunjukkan bahwa hasil pengujian massa
jenis pada temperatur peleburan 650 oC tersebut menunjukkan bahwa pada waktu
peleburan 10 menit mempunyai massa jenis paling rendah dibanding dengan waktu
peleburan 5 dan 15 menit, akan tetapi tidak didapatkan ada kecenderungan kenaikan
atau penurunan massa jenis.
Pada temperatur peleburan 700 oC tersebut menunjukkan bahwa waktu
peleburan semakin lama massa jenis cenderung makin meningkat. Jika dibandingkan
dengan bahan baku paduan sekrap yang mempunyai massa jenis 2,66 gram/cm2. Hal
ini bisa dilihat dari kenaikan massa jenis bahwa di atas waktu peleburan 5 menit,
massa jenis paduan semakin mendekati bahan baku paduan sekrap.
249
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
250
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hubungan Waktu Peleburan & Kekerasan (HVN) HUbungan Temperatur Peleburan & Kekerasan
(HVN)
120.0
100.0 120.0
HVN (MPa)
80.0 5
60.0 700 oC
60.0 10
40.0 750 oC 40.0 15
20.0 20.0
0.0 0.0
5 10 15 650 oC 700 oC 750 oC
251
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
252
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. DAFTAR PUSTAKA
ASM Handbook editor Baker, H. (2004), Alloy Phase Diagrams, Vol.3, ASM
Handbook Committee.
Kleiner, S., Beffort, O., Wahle, A., and Uggowitzer, P.J. (2002), Microstructure and
Mechanical Properties of Squeeze Cast and Semi-Solid Cast Mg-Al Alloys,
Journal of Light Metals, vol. 2, pp. 277-280.
Perez-Prado, M.T., del Valle, J.A., and Ruano, O.A. (2005), Achieving High Strength
in Comercial Mg Cast Alloys Through Large Strain Rolling, Journal of
Material Latter, vol. 59, pp. 3299-3303.
Surdia, T., dan Saito, S. (1985), Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramitha,
Jakarta.
Young, M.S. and Clegg, A.J. (2004), Process Optimization for a Squeeze Cast
Magnesium Alloy, Journal of Material Processing Technology, vol. 145 (1),
pp. 134-141.
253
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea
Bekerjasama dengan
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
NURHAKIM, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Optimalisasi Sumberdaya Dan Teknologi Dalam Peningkatan Pembangunan Di Kawasan Timur Indonesia”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
ADIP MOSTOFA, ST
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Prespektif Teknik dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel di Batulicin
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
RISWAN, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Biaya Pertambangan Batubara di Indonesia”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
IBRAHIM SOTA, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Rencana Lokasi Tempat Pembuangan Sampah
Di Desa Kopi, Bone Bolango ”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
AGUS MIRWAN, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
DONI RAHMAT WICAKSO, M.Eng
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi ”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
UYU SAISMANA, MT
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi Di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya Dan Kec. Sematu Jaya,
Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT
Diberikan Kepada
RUDI SISWANTO, M.Eng
Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA
Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan
Dengan Judul
“Pe a faata Ro gsoka S rap Padua Al-Mg Se agai Baha Baku Produk Pe ge ora Loga
Me ggu aka Metode Pe ge ora Tua g”
BANJARBARU, 30 JULI 2011
Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat Universitas Lambung Mangkurat
{,t
'?,
1"". eall ""
*Y
--
r.r
t' r ,.\* ';'
'l t.'..,qt'
r rt?;r r
ISBN 9?B-b0e-109e-qq-6
ilil il lllil ilillllilllilrll
9il7860291109244811