You are on page 1of 17

MAKALAH

KONSEP ‘ARIYAH DAN QIRADH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalah

DOSEN PENGAMPU :
ZULFA HUDIYANI, M. A

OLEH :
1. SELVI AYUNDA : 22622022041
2. FADILA NUR ANISA : 22622022038

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN ABDURRAHMAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur atas kehadirat Allah yang maha kuasa, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konsep ‘Ariyah dan Qiradh”.
Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan Baginda Nabi Besar
Muhammad saw. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih
Muamalah. Makalah ini bertujuan untuk memperluas wawasan tentang konsep ‘ariyah dan
qiradh.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Kami sebagai
penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Zulfa Hudiyani, M. A selaku dosen mata kuliah
Fikih Muamalah.
Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini bermanfaat dan dapat digunakan
sebagai salah satu petunjuk bagi pembaca. Kami sebagai penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun di harapan demi
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bintan, Maret 2023

Penyusun

ii
ABSTRAK

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
ABSTRAK.....................................................................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iv
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Konsep ‘Ariyah......................................................................................................................3
2.1.1 Pengertian ‘Ariyah..........................................................................................................3
2.1.2 Dalil Hukum ‘Ariyah.......................................................................................................4
2.1.3 Rukun dan Syarat ‘Ariyah...............................................................................................4
2.1.4 Macam-macam ‘Ariyah...................................................................................................5
2.1.5 Adab Pinjam Meminjam.................................................................................................6
2.1.6 Berakhirnya ‘Ariyah.......................................................................................................6
2.2 Konsep Qiradh.......................................................................................................................7
2.2.1 Pengertian Qiradh...........................................................................................................7
2.2.2 Dasar Hukum Qiradh.......................................................................................................8
2.2.3 Syarat dan Rukun Qiradh................................................................................................9
2.2.4 Hukum Qiradh...............................................................................................................10
BAB III..........................................................................................................................................12
PENUTUP.....................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12
3.2 Saran.....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin pun berlaku pada setiap keadaan, tempat
dan zaman baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang. Kemampuan ajaran islam untuk
menyesuaikan dan mampu untuk menghadapi perkembangan zaman yang sangat cepat
berubah dan juga terhadap kebutuhan umat manusia, baik dalam permasalahan ibadah
maupun muamalah. Aturan syariah Islam ini merangkum seluruh aspek kehidupan, baik
ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Dan di dalam muamalah tersebut mencakup
seluruh sisi kehidupan dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan dan
politik bernegara.
Islam pun sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya ayat-ayat Al-Qur‟an, sunah, maupun ijtihad para ulama yang berbicara mengenai
perekonomian. Bahkan ayat terpanjang dalam Al-Qur‟an justru berisi mengenai masalah
ekonomi, bukan masalah ibadah mahdah atau akidah.1
Kegiatan muamalah dalam bidang perekonomian salah satunya adalah peminjaman, yang
merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari bahkan untuk
menunjang kelangsungan hidup manusia karena manusia memang tidak dapat lepas dari
transaksi tersebut. Pada dasarnya peminjaman adalah pembolehan sesuatu kepada seseorang
untuk dimanfaatkan dengan tanpa ganti (imbalan).2
Untuk menjamin keharmonisan antara sesama dibutuhkan kaidah-kaidah yang
mengaturnya sebagaimana firman Allah sebagai berikut :

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن‬
‫َتَر اٍض ِّم ْنُك ْم ۗ َو اَل َتْقُتُلْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن ِبُك ْم َرِح ْيًم ا‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.(Q.S. An-Nisa‟ (4) : 29)
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dalil hukum, rukun dan syarat, macam-macam,adab dan
berakhirnya Ariyah ?
2. Bagaimana pengertian, dasar hukum, syarat dan rukun dan hukum Qiradh ?
1
Syamsul Hilal, “Urgensi Qawa’id Al-Fiqhiyah dalam Pengembangan Ekonomi Islam”. Jurnal Al-‘Adalah, Vol. X No. 1
(1 Januari 2011), h. 2
2
Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika , 1994) h.
136.

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penegertian, dalil hukum, rukun dan syarat, macam-macam,adab dan
berakhirnya Ariyah.
2. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat dan rukun dan hukum Qiradh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep ‘Ariyah


2.1.1 Pengertian ‘Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Menurut etimologi, ariyah
diambil dari kata ‫ راع‬yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah
berasal dari kata ‫رواعتال‬, yang sama artinya dengan saling tukar menukar dan
mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Bisa juga berarti pinjaman,
sesuatu yang dipinjam, pergi dan beredar. Pinjam meminjam diartikan memberikan
sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak
merusak zatnya, agar dapat dikembalikan zat barang itu.
Pengertian ariyah menurut istilah para ulama mendefenisikan dengan
formulasi yang berbeda:
1. Menurut Hanafiyah, Ariyah ialah : kepemilikan atas manfaat secara cuma-cuma.
2. Menurut malikiyah, Ariyah ialah : Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa mbalan.
3. Menurut syafi’iyah, Ariyah adalah :“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang
yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah :“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang
tanpa imbalan dari peminjam atau yanglainnya.”
5. Menurut Syarkhasih, Ariyah adalah : Pemindahan hak kepemilikan tentang
suatu manfaat tanpa ganti rugi.
6. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, Ariyah adalah : pembolehan memanfaatkan
barang (orang lain) tanpa ganti rugi.
7. Menurut Ibnu Rif’ah ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang
dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya
(Ghazaly, 2010: 247).
Dari definisi yang diungkapkan oleh para ulama mazhab tersebut dapat
disimpulkan bahwa, ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang
diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti rugi atau secara cuma-
cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat
disebut ‘Ariyah.

3
2.1.2 Dalil Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Adapun
landasan/ dasar hokum dibolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat
Al-Quran dan Hadis-hadis sebagai berikut :3
1. Al – Qur’an

‫َو َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقٰو ۖى َو اَل َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اِاْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن‬
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Al-Maidah : 2).

‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْلٰم ٰن ِت ِآٰلى َاْهِلَها‬


Artinya: “Sesungguhnya Allah memrintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya” (An-Nisa: 58).
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak
berkewajiban mengganti kerugian”. (HR. Daruquthni).
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak
membayarnya maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (HR. Bukhari) (Suhendi,
2016: 94).
Ada beberapa hal yang menyebabkan hukum ‘ariyah menjadi wajib, sunnah sebagai
berikut :
a. Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnah, terkadang pula menjadi wajib seperti
meminjamkan sampan untuk menyelamatkan yang akan hanyut. Terkadang haram
meminjamkannya seperti meminjamkan rumah untuk perzinahan.
b. Orang yang meminjam sewaktu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjam
oleh orang lain.
c. Sesudah yang meminjam mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan
akadnya, ia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
d. Pinjam-meminjam tidak berlaku dengan matinya atau gilanya salah seorang dari
peminjam atau yang meminjamkan (Nurhayati dan Sinaga, 2018: 174).
2.1.3 Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut mayoritas ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah hanya membutuhkan
ungkapan ijab dari peminjam saja, sedangkan Kabul dari orang yang meminjamkan tidak
termasuk rukun karena cukup dengan mennyerahkan barang kepada peminjam barang hal

3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 93-94

4
tersebut berdasarkan dari istihsan (perbuatan yang dianggap baik oleh syara’ dan adat
kebiasaan).4
Menurut ulama mazhab Syafi‟iyah, di dalam ‘ariyah mensyaratkan adanya lafazh
shighat akad, yakni ucapan serah terima atau sering disebut ijab kabul dari peminjam dan
yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang
tergantung pada adanya izin dari satu pihak.
Adapun rukun ‘ariyah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
1. Mu’ir ( Orang yang meminjamkan ).
2. Musta’ir ( Orang yang meminjam ) .
3. Mu’ar (Barang yang dipinjam ).
4. Sighat ‘Ariyah (Lafal atau sighat pinjaman).5
Sama halnya dengan pelaksanaan dengan akad-akad lainnya, para ulama
mengharuskan supaya akad atau transaksi ‘ariyah ini memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh syara’.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut :
1. Orang yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap bertindak
hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercaya memegang amanah.
Padahal barang ’ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang
yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh
tidak boleh melakukan akad, atau transaksi ‘ariyah.
2. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau
musnah seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah yang
apabila dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan.
3. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung
barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsunhg pula.
4. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan
oleh syara’. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya kendaraan
itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti
digunakan untuk silahturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya. Apabila
kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat-tempat maksiat maka peminjam
dicela oleg syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela
karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan syara’ yaitu tolong menolong
dalam hal kebaikan.6
2.1.4 Macam-macam ‘Ariyah
Secara umum macam-macam ‘Ariyah terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

1. Al-Ariyah Mutlak
4
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 94
5
Asy-Syarbaini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dar Fikri, 1978), jilid ll, hlm.26
6
Ibid. Hlm.266

5
Al-ariyah mutlak adalah bentuk peminjaman barang yang di dalamnya tidak ada
syarat apapun, sehingga peminjam bebas mempergunkannya dikarenakan tidak jelas
apakah hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam saja atau boleh untuk orang lain.
2. Al-Ariyah Muqayyad (pinjaman Terbatas)
Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang dibatasi dari segi
penggunaannya, waktu, dan tempat. Hukumnya, peminjam diwajibkan unutk menaati
batasan tersebut dan dilarang untuk melanggarnya, kecuali adanya kesusahan yang
menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan
demikian peminjam dibolehkan melanggar batasan tersebut.7
3. ‘Ariyah yang dibatasi waktu pemanfaatan. Namun, ia bebas dalam cara pemanfaatan.
Misalnya, seseorang berkata: ‘Saya pinjamkan rumah ini kepada anda selama 1
tahun. Namun, tidak dibatasi cara pemanfaatannya.
4. ‘Ariyah yang dibatasi cara pemanfaatan, namun tidak dibatasi waktu
pemanfaatannya. Dalam pembagian ini, peminjam tidak boleh memanfaatkan barang
pinjaman menurut ketentuan yang ditetapkan pemilik barang.
2.1.5 Adab Pinjam Meminjam
Adab pinjam meminjam terbagi menjadi 2 yaitu untuk Musta’ir dan Mu’ir :

a. Untuk Musta’ir
1) Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
2) Berniat melunasinya
3) Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shahih
4) Meminjam sesuai dengan kebutuhan
5) Lunasi tepat waktunya dan jangan menundanya
6) Membayar dengan cara yang baik
b. Untuk Mu’ir
1) Niat yang benar yang benar dalam memberi pinjaman
2) Bersikap baik dalam menagih pinjaman
3) Memberi tenggang waktu jikayang meminjam belum mampu membayar pada
waktunya
4) Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikannya
2.1.6 Berakhirnya ‘Ariyah
Para ulama menjelaskan bahwa peminjaman dapat berakhir disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:
1) Berakhirnya waktu yang sudah disepakati khusus dalam akad peminjaman yang
dibatasi oleh waktu (muqayyad).
2) Pihak yang meminjamkan barang tersebut (mu’ir) menarik atau mengambil
barang yang dipinjamkannya dari pihak yang dipinjamkan (musta’ir) dalam
keadaan yang memang diperbolehkan oleh hukum Islam untuk mengambilnya
sehingga tidak merugikan peminjam.
7
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah……, h. 144

6
3) Hilang akalnya salah satu pihak baik orang yang meminjamkan maupun yang
dipinjamkan.
4) Terhalang untuk melakukan akad dikarenakan bodoh atau pailit .
5) Rusak atau hilangnya barang yang dipinjamkan dengan adanya keharusan untuk
memperbaiki barang apabila rusak dan mengganti barang apabila hilang.8
2.2 Konsep Qiradh
2.2.1 Pengertian Qiradh
Qiradh temasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah qiradh
digunakan oleh orang Hijaz. Dengan demikian, qiradh atau mudharabah adalah dua
istilah untuk maksud yang sama. Istilah qiradh juga dikenal dengan istilah mudharabah.
Istilah qiradh banyak digunakan di kalangan Syafi’iyah, dan Malikiyah, sedangkan istilah
mudharabah digunakan di kalangan Mazhab Hanafi, Hambali dan Zaidiyah. Dalam
skripsi ini penulis menggunakan istilah qiradh.
Secara bahasa mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau
berjalan, pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan qiradh barasal dari kata al-
qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Sedangkan menurut istilah, ulama mendefinisikannya berbeda-beda dengan tujuan
mereka masing-masing diantaranya adalah :

a. Wahbah al-Zuhayly mengatakan bahwa qiradh adalah :


“Qiradh ialah memberikan harta sesuai dengan perjanjian yang ditentukan, atau
dengan kata lain akad yang bertujuan untuk memberikan harta kepada orang lain
dan dikembalikan semisalnya”.9
b. Al-Shan’ani mendefinisikan dengan :
“Qiradh adalah memperkerjakan seseorang dengan bagi keuntungan”.
c. Ibnu Rusyd mendefinisikan qiradh sebagai :
“Memberikan modal kepada seseorang untuk diperdagangkan yang
pembagiannya diambil dari laba dagangan, tersebut sesuai dengan perjanjian”10
d. Anshari Umar dalam buku “fiqih wanita” mendefinisikan Qiradh :
“Akad atas uang tunai supaya dijadikan modal berdagang oleh seseorang
pengusaha, sedangkan labanya nanti dbagi dua oleh orang tersebut menurut
perjanjian yang mereka adakan”
e. Umar bin Khatab ra. Sebagaimana dikutif oleh M. Rawwas Qal’ahji :
“Qiradh adalah persekutuan antara dua orang dimana modal atau investasinya
dari satu pihak dan perkerjaan dari pihak lain. Sedangkan untungnya akan dibagi

8
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah,..... h. 63.
9
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Waladillatuh, (Dar al-Fikri, tt). Juz IV. Hal 720
10
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Darl al- Llya al-Kutub al-Arabiyah, tt), Juz II, hal 178

7
di antara mereka berdua sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung
oleh pihak investor”11
Keberadaan qiradh dalam terminology hukum Islam adalah kontrak di mana harta
tertentu atau stok diberikan oleh pemilik modal kepada kelompok lain untuk membentuk
kerja sama bagi hasil di mana kedua kelompok tadi akan berbagi hasil keuntungan,
kelompok lain berhak terhadap keuntungan sebagai upah kita karena mengeluarkan
harta.12
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diambil suatu
pengertian umum bahwa Qiradh adalah suatu ikatan kerja sama antara dua orang pihak
yang telah membuat kesepakatan bahwa satu pihak menyandang dana dan pihak yang
lain menjadi pengelola. Keuntungan yang diperoleh mereka bagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh penyandang dana
selama kerugian ini bukan diakibatkan kelalaian pihak pengelola.
2.2.2 Dasar Hukum Qiradh
1. Al – Qur’an
Secara umum kegiatan qiradh lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanakan
usaha. Hal ini beberapa ayat dan hadits yang melandasinya :

a. Dalam surat al-Muzzamil ayat 20 Allah mengatakan : “Dan dari orang-orang yang
berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT”.
b. Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman : “Apabila telah ditunaikan sholat
maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT…”
c. Dalam surat al-Baqarah ayat 198 Allah berfirman : “Tidak ada dosa (halangan) bagi
kamu untuk mencari karunia tuhanmu…”
2. As-Sunnah
Selain ayat-ayat al-Quran di atas, Nabi Muhammad juga memberikan dorongan
kepada kita untuk melakukan transaksi dengan Qiradh. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam hadits berikut :
a. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
“Dari Shalih bin Shuhaib ra bahwa Rasulullah saw bersabda; tiga hal yang
didalamnya terdapat kebaikan jual beli secara tangguh, qiradh, dan mencampurkan
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. 13
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Daruqutni :
“Diriwayatkan dari Hakim r.a; sesungguhnya ia pernah mensyaratkan kepada
seseorang apabila ia memberikan dan kemitra usahanya secara qiradh; bahwa tidak
boleh menempatkan hartanya ditempat yang basah, tidak boleh dibawa mengarungi
lautan, dan tidak boleh menyemberangi sungai, maka jika mitranya tersebut berbuat
11
M. Rawwas Qal’ahji, Enseklopedi Fiqh Umar bin Khatab ra. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hal 573
12
A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persad, 1993), hal 467
13
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, (Beirut : Dar al-Fikr, tt). Hal 72

8
sesuatu dari yang dilarang tadi, maka mitranya itu yang bertanggung jawab atas harta
beliau tersebut”
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam Islam. Hukum qarad
adalahdianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan
hadits diatas jugaada hadits lainnya yaitu :
Artinya :
“ Abu Hurairah berkata, “ Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan
dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya
Allahmelepaskaan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa
memberikelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan
memberikelonggaran baginya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib)
seorang muslim, niscaya allah menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Dan Allah
selamanyamenolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.”(HR.
Muslim)”
2.2.3 Syarat dan Rukun Qiradh
a) Syarat- syarat Qiradh
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya pelaksanaan qiradh :
1. Modal hendaknya berupa uang legal, sedangkan menggunakan perhiasaan buah-
bauhan dan barang dagangan lainnya diperselisihkan ulama.
2. Pengelola tidak boleh dipersulit dalam melaksanakan jual beli, karena
menyebabkan tidak tecapainya tujuan qiradh. Kadang-kadang pengusaha
memperoleh kesepakatan manis untuk memperoleh laba, akan tetapi karena di
tanya-tanya terus oleh pemilik modal, akhirnya usahanya itu gagal. Dengan
demikian gagal pula tujuan qiradh yang sebenarnya yaitu memperoleh
keuntungan.
3. Laba dibagi bersama antara pengusaha dengan pemilik modal, yang satu
mendapat bagian laba dari jerih payahnya dan yang lain mengambil bagian laba
dari modalnya.
4. Pembagian laba hendaknya sudah di tentukan dari akad.
5. Akad hendaknya tidak ditentukan berapa lama, karena laba itu tidak bisa
diketahui kapan waktunya, seorang pengusaha kadang-kadang belum berlaba hari
ini, akan tetapi mungkin baru akan memperoleh laba beberapa hari kemudian.
6. Laba tidak boleh ditentukan saatnya, seperti dikatakan “ berdaganglah pada tahun
ini, labanya kita bagi dua, dan tahun depan labanya hanya untuk saya (shahibul
maal) Karena mungkin saja tahun ini tidak ada laba maka mudharib tidak
memperoleh apa-apa tahun depan ada laba tapi mudharib juga tidak mendapat
apa-apa.
b) Rukun Qiradh
1. Harus dengan uang tunai dan dapat diketahui banyaknya

9
2. Pekerjaan dengan syarat tidak boleh dibatasi dengan tempat, waktu dan barang-
barang yang harus diperdagangkan
3. Keuntungan, dengan syarat pada akad supaya ditentukan bagian masing-masing
dari keuntungan yang akan diperoleh
4. Orang yang bermodal dan yang akan menjalankan; dengan syarat baliqh, berakal
dan merdeka14
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad qiradh adalah :
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Objek qiradh (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belak pihak (ijab-qabul)
4. Nisbah keuntungan
Menurut ulama syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu :
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2. Orang yang berkerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3. Aqad qiradh, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal
5. Amal, yaitu perkerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba
6. Keuntungan15
Apabila qiradh tersebut telah memenuhi rukun dan syarat, maka hukum-hukumnya
adalah sebagai berikut :
a. Modal ditangan pekerja dalah berstatus amanah dan seluruh tindakannya sama
dengan tindakan seorang wakil dalam jual beli, apabila terdapat keuntungan maka
status perkerja berubah menjadi serikat dagang yang memiliki pembagian dari
keuntungan dengan tersebut.
b. Perkerja dalam aqad qiradh berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan
kesepakatan bersama
2.2.4 Hukum Qiradh
a. Hukum qiradh fasid
Salah satu contoh qiradh fasid adalah mengatakan :
“ Berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita. “ ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak
dapat dikatakan hukum qiradh yang fasih karena pengusaha (pemburu) Berhak
mendapatkan upah atas pekerjaanya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Beberapa hal lain dalam qiradh fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain :

14
Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 978) hal. 419
15
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Muammalt), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
hal 170

10
1. Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual,
memberi atau mengambil barang
2. Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak berkerja kecuali atas izinnya
b. Hukum qiradh sahih
Hukum qiradh sahih yang tergolong sahih cukup banyak, diantaranya berikut ini :
1. Tanggung jawab pengusaha Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha
bertanggung jawab atas modal yang ada ditangannya, yaitu sebagai titipan hal ini,
karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemiliknya.
2. Tasharruf pengusaha Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda
tergantung pada qiradh mutlak dan terikat.
1) Qiradh Mutlak Menurut ulama Hanafiyah jika qiradh mutlak, maka
pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang
menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli.
2) Qiradh Terikat Secara umum, hukum yang terdapat dalam qiradh terikat
sama dengan ketetapan yang ada pada qiradh mutlak. Namun, ada
beberapa pengecualian antara lain : Penentuan tempat, Penentuan orang,
Penentuan waktu
3. Hak-hak penguasa (al-mudharib) Pengusaha memiliki dua hak atas harta qiradh
yaitu :
a. Hak nafkah (membelanjakan)
b. Hak mendapatkan laba
c. Hak pemilik modal
Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilakan
laba, jika tidak laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
gvhgvhyugyvhvb

3.2 Saran
ffb

12
DAFTAR PUSTAKA

al-Kahlani, M. b. (n.d.). Subulus Salam. Beirut : Dar al-Fikr.


al-Khatib, A.-S. (1978). Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar Fikri.
Al-Zuhaily, W. (n.d.). Al-Fiqh Al-Islam Waladilatuh. Dar al-Fikri.
Hasan, M. A. (2003). Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Muammalt). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Hidayat, E. (2016). Transaksi Ekonomi Syariah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hilal, S. (2011). "Urgensi Qawa'id Al-Fiqhiyah dalam Pengembangan Ekonomi Islam". Jurnal
Al-'Adalah,Vol.X No. 1, 2.
l., A. R. (1993). Penjelasan Lengkap Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lubis, C. P. (1994). Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cet. l. Jakarta: Sinar Grafika.
Mubarok, A. L. (2019). Praktik Pinjam Meminjam Uang dalam prespektif Hukum Islam. Jurnal
Hukum Islam 2(1), 1-16.
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenada Media Group.
Qal'ahji, M. (n.d.). Ensik;opedia Fiqh Umar bin Khatab ra. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rifa'i, M. (1978). Fiqh Islam Lengakp . Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Rusyd, I. (n.d.). Bidayatul Mujtahid. Dari al-Liya al-Kutub al-Arabiyah.
Saprida, M. d. (2020). Sosialaisasi 'Ariyah dalam Islam di Kecamatan Air Kumbang Kabupaten
Banyuasin. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 13-19.
Saputra, J. (2021). Konsep Al-'Ariyah, Al-Qardh dan Al-Hibah. Jurnal Ekonomi Islam 2(1), 19-
34.
Suhendi, H. (2005). Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe'i, R. (2001). Fiqih muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

13

You might also like