You are on page 1of 17

FALSAFAH HUKUM PIDANA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum
Islam Mahasiswa Hukum Keluarga Islam

Oleh :

RENI YASTUTI
(NIM. 742302021052 )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Tak lupa pula kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Watampone, 13 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang..........................................................................................
B. Rumusan masalah.....................................................................................
C. Tujuan penulisan......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Jarimah Dalam Islam…..……..……………………………

B. Batasan Filsafat Dalam Jarimah………..……………………………...

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................
B. Saran ......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Seperti dalam kalimat jana'ala
qaumihijinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata
jana juga berarti "memetik", seperti dalam kalimat janaas-samarat, artinya
"memetik buah dari pohonnya”. Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang
yang dikenai perbuatan disebut Mujnaalaih. Demikian pula menurut Imam al-
San'any bahwa al-jinayah itu jamak dari kata "jinayah" masdar dari "jana" (dia
mengerjakan kejahatan/kriminal).1
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan ole oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut
tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang
oleh syariat dan harus dihindari, karena perbuatan in menimbulkan bahaya yang
nyata terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang
berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai,
menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh
jinayah sama dengan hukum pidana. Sebagian fuqaha lain memberikan
pengertian "jinayah" yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah
"jarimah”, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan
Allah yang pelanggarnya dikenakan hukum baik berupa hal atau ta 'zir.
1
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri' Al-Jindi Al-Islam, (t.c; Beirut: Ar-Risalah, 1998), h. 66.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang di atas, maka masalah pokok di dalam


makalah ini adalah apa saja jenis-jenis jarimah dalam islam dan batasan filsafat
dalam jarimah yang diuraikan kedalam sub masalah sebagai berikut :

1. Apa saja jenis-jenis jarimah dalam islam?


2. Bagaimana batasan filsafat dalam jarimah?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah


penulis uraikan, maka tujuan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jenis-jenis jarimah dalam islam.


2. Untuk mengetahui batasan filsafat dalam jarimah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis-Jenis Jarimah Dalam Islam
Menurut bahasa, kata jarimah berasal dari kata jarama kemudian bentuk
masdarnya adalah jaramatan yang artinya perbuatan dosa, perbuatan salah, atau
kejahatan. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana(peristiwa pidana, delik) dalam hukum pidana positif. Dalam fiqih jinayah,
jarimah disebut juga dengan tindak pidana2.
Pengertian tindak pidana hukum positif, ole Mr. Tresna yaitu rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan maka dikenakan hukuman. Dapat
dipahami bahwa jarimah adalah suatu pelanggaran terhadap perintah dan larangan
agama, baik pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun
akhirat.
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi, diantara
sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, Jarimah dapat dibagi kepada
tiga bagian antara lain:
a. Jarimah qisas dan diyat
Jarimah qisas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qisas atau diyat. Baik qisas maupun diyat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan
hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak
masyarakat), sedangkan qisas dan diyat adalah hak manusia (individu).
Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya
dengan kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena
kepentingannya khusus untuk mereka.
Dalam hubungannya dengan hukuman qisas dan diyat maka
pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa

2
Syeikh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syariah Islam, (cet.2; Jakarta: Bina Aksara, 1985), h.34
dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan
demikian maka ciri khas dari jarimah qisas dan diyat itu adalah:
1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal atau
maksimal;
2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu),
dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan
pengampunan terhadap pelaku. Jarimah qisas dan diyat ini hanya
ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan.
Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
a. Pembunuhan Sengaja
b. Pembunuhan Menyerupai Sengaja
c. Penganiayaan Sengaja
d. Penganiayaan Tidak Sengaja3
b. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syara' dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Dengan demikian ciri khas
jarimah hudud itu sebagai berikut.
1. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya
telah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada
hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih
menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh
Mahmud Syaltut sebagai berikut: hak Allah adalah sekitar yang
bersangkut dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama,
tidak tertentu mengenai orang seorang. Demikian hak Allah, sedangkan
Allah tidak mengharapkan apa-apa melainkan semata-mata untuk
membesar hak itu di mata manusia dan menyatakan kepentingannya
terhadap masyarakat. Dengan kata lain, hak Allah adalah suatu hak
3
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). (t.c;Bandung:Pustaka Setia,2000), h.29.
yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi
seseorang.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain jarimah zina,
jarimah qazaf (menuduh zina). jarimah syurbul khamr (minum-
minuman keras), jarimah pencurian (sariqah), jarimah hirabah
(perampokan), jarimah riddah (keluar dari Islam), jarimah al-bagyu
(pemberontakan).
c. Jarimah Tazir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir.
Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.
Ta'zir juga diartikan ar rad wa al man'u, artinya menolak dan mencegah.
Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Al-Mawardi ta’zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan
kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini
berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu
segi, ta'zir ini sejalan dengan hukum had yakni ia adalah tindakan yang
dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah
orang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama seperti itu. Dengan
demikian ciri khas dari jarimah ta'zir itu adalah sebagai berikut.4
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas.
Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada
batas minimal dan ada batas maksimal.
2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur
masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat
mendadak.

4
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Fauzal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
(t.c: Jakarta: Anggota IKPAPI. 2004). h. 164.
Jarimah ta'zir di samping ada yang diserahkan penentuannya
sepenuhnya kepada ulilamri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh
syara', seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk ke dalam
kelompok ini jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan
hukumannya oleh syara' (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk
dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian
yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab
pencurian, yaitu seperempat dinar.

2. Ditinjau dari segi niat, jarimah terbagi menjadi:

a. Jarimah Sengaja (Jarimah al-Maqshudah).


Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh
seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan
hukuman.
b. Jarimah Tidak Sengaja (Jarimah Ghayr al-Madhsudah/Jarimah
Khata).
Jarimah tidak sengaja adalah jarimah di mana pelaku tidak
sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan
perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya).
5

3. Ditinjau dari Segi Waktu Tertangkapnya, jarimah terbagi menjadi:


a. Jarimah tertangkap basah
Jarimah tertangkap basah adalah jarimah di mana pelakunya
tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya
tetapi dalam masa yang dekat.
b. Jarimah tidak tertangkap basah

5
Imam Al-Mawardiy,al-Ahkamal-Sultaniyyahwaal-Wilayatal-Diniyyah,(t.c:Beirut:al-Maktab al-
Islami, 1996), h. 236.
Jarimah tidak tertangkap basah adalah jarimah di mana
pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut,
melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak sedikit.

4. Dari Cara Melakukannya


a. Jarimah positif (jarimah ijabiah)
Jarimah positif (jarimah ijabiah) adalah kejahatan dengan
melanggar larangan yang dapat berupa perbuatan aktif (komisi)
maupun pasif atau jarimah ijabiah taqa'u bi thariq al-salab (komisi
tidak murni) seperti tidak memberi seorang makan hingga mati.
b. Jarimah negatif (jarimah salabiah)
Jarimah negatif (jarimah salabiah) adalah kejahatan dengan
melanggar perintah (komisi murni).
5. Dari Segi Objeknya
a. Jarimah perseorangan
Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah di mana hukuman
terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan
meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga
berarti menyinggung masyarakat6.
b. Jarimah masyarakat
Jarimah masyarakat adalan suatu jarimah di mana hukuman
terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik
jarimah tersebut mengenai perseorangan maupun mengenai
ketenteraman masyarakat dan keamanannya. Menurut para fuqaha
penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut tidak ada pengampunan
atau peringanan atau menunda-nunda pelaksanaan. Jarimah-jarimah
hudud termasuk dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian ada
juga yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf
(penuduhan zina). Jarimah-jarimah ta 'zir sebagian ada yang termasuk
6
Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan dalam Syariat Islam dalam
Konteks Modernisasi, (t.c; Bandung: Asy Syamil & Gratika, 2017), h. 140.
jarimah masyarakat, kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seperti
penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan sebagainya.

B. Batasan Pengkajian Filsafat Dalam Jarimah

Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi

yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni

kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang

singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara

mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang

merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid7.

Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal,

kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima

unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Menurut al-

Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada

dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-gawaid

al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah al-khamsah

(lima kebutuhan pokok).

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi

mengemukakan tiga peringkat maqashid al-syariah (tujuan syariat), yaitu

pertama adalah tujuan primer (maqashid al-daruriyyah), kedua adalah tujuan

sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tersier (maqashid al-

7
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah menurut Al-Syaitibi, (t.c; Jakarta: Rajawali Prs.,
1996), h. 71.
tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum

pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya.

Diketahuinya tujuan-tujuan hukum islam itu akan mempermudah ahli

hukum dalam mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat

menyelesaikan hukum suatu peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-

tujuann tersebut, setiap peristiwa hukum akan dengan mudah diselesaikan.

Pengkategorian yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer,

sekunder, dan tertier seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan

lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu,

pengkategorian ini mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan

tetapi mengacu pula kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum

yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia8.

Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat

tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan

hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhab Khallaf

memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum Pidana

Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pada manusia dalam

bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh.

1. Memelihara agama (hifzh al-din)

Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah,

hukum, dan undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur

hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan


8
Abd al-WahhabKhallaf, 'Ilmu Ushul al- Fiqh (t.c; Al-Qahirah: Dar al-'Ilm li al-Thiba'ahwaal-
Nasyrwaal-Tawzi', 1978), h. 200.
antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini

dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad

untuk memerangi orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk

menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan melarang

murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan

terancamlah eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh

memerangi orang yang murtad dan musyrik.

2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)

Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk

mendapatkan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat

tinggal. Tampa kebutuhan tersebut maka akan terancamlah jiwa

manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash

(hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang

menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri

ke jurang kebinasaan (bunuh diri).

3. Memelihara akal (hifzh al-'aql)

Untuk menjaga dan memelihara akal in Allah mengharuskan

manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta

mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah

mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan

ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Disamping itu,


ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang

meminum minuman keras.9

4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)

Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan

dan sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan

ketentuan ini, akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau

larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah mengancam dengan

hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali.

5. Memelihara harta (hifzh al-mal)

Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara

pemilikanharta, misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja

sama. Disamping itu, Allah mengharamkan mencuri atau merampas

hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika larangan

mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman

potong tangan.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut

merupakan hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh

untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya.

Sebaliknya, Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan

atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau

sanksi atas larangan itu bersifat tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain

hanyalah untuk menjaga eksistensi dari lima kebutuhan pokok manusia tadi.

9
Abd al-Wahhab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh.... h. 204.
Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk

kemaslahatan manusia. Dengan ancaman hukuman yang berat itu orang akan

takut melakukan perbuatan terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut.

Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana islam itu juga untuk

menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan:
1. Terdapat beberapa bentuk jarimah yang dapat dilihat dari beberapa segi,
yakni dari segi berat ringannya hukuman, dari segi niat, dari segi waktu
tertangkapnya, dari cara melakukannya, dari segi objeknya, dan ditinjau dari
tabiatnya.
2. Batasan-batasan dalam pengkajian jarimah menjadi sebuah inti dalam tindak
pidana dan sanksinya. Seperti dalam jarimah qadzf, jarimah syurbal-khamr,
jarimah al-baqhyu, jarimah ar-riddah, jarimah sariqah, dan jarimah
hirabah.

B. Saran
Tindak pidana adalah hal yang kerap terjadi di kalangan masyarakat.
Dalam menjatuhkan sebuah hukuman, maka tidak terlepas dari pada hukum
Islam itu sendiri yang mana di Indonesia ini penduduknya mayoritas muslim.
Maka dari itu tindak pidana sepantanya diadili dan dihukumi berdasarkan
peraturan yang berlaku, hal ini dilakukan agar tidak merajalelanya tindakan yang
sama
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardiy Imam, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, t.c
Beirut: al- Maktab al-Islami, 1996.
Al-Wahhab Adb. Khallaf, 'Ilm Ushul al- Fiqh t..c; Al-Qahirah: Dar al-'Ilm li al-
Thiba'ah wa al- Nasyr wa al-Tawzi', 1978.
Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), t.c;Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Jaya Asafri Bakri, Konsep Maqashid Syari 'ah menurut Al-Syaitibi, t.c; Jakarta:
Rajawali Prs., 1996.
Mahmud Syeikh Syaltut, Akidah dan Syariah Islam, cet.2; Jakarta: Bina Aksara,
1985.
Mubarok Jaih dan Enceng Arif Fauzal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum
Pidana Islam), t.c; Jakarta: Anggota IKPAPI, 2004.
Qadir Abdul Audah, At-Tasyri' Al-Jindi Al-Islam, t.c; Beirut: Ar-Risalah, 1998.
Santoso Topo, Menggagas Huklum Pidana Islam Penerapan dalam Syari'atIslam
dalam Konteks Modernisasi, t.c; Bandung: Asy Syamil & Grafika, 2017.

You might also like