You are on page 1of 13

AGENDA PERSIDANGAN

A. Perkara Pidana

1. Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum


Dakwaan adalah surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak
pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari pemeriksaan
pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan.
Kemudian, bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.
Pasal 14 huruf d KUHAP menerangkan bahwa membuat surat dakwaan adalah
salah satu kewenangan dari penuntut umum. Berdasarkan ketentuan pasal 140
ayat (1) KUHAP, surat dakwaan dibuat secepatnya apabila penuntut umum
berpendapat bahwa dapat dilakukannya penuntutan dari hasil penyidikan. Surat
dakwaan yang dibuat tersebut akan disertakan penuntut umum saat melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 143 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan

Fungsi dari surat dakwaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori:

1. Bagi pengadilan atau hakim: sebagai dasar sekaligus membatasi ruang


lingkup pemeriksaan dan menjadi dasar petimbangan dalam penjatuhan
keputusan.
2. Bagi penuntut umum: sebagai dasar pembuktian atau analisis yuridis,
tuntutan pidana, dan penggunaan upaya hukum.
3. Bagi terdakwa: sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Pembuatan Surat Dakwaan

Terkait pembuatannya oleh penuntut umum, Pasal 143 ayat (2)


KUHAP menerangkan bahwa surat yang dibuat harus diberi tanggal dan
ditandatangani. Adapun isinya memuat informasi sebagai berikut.

1. Identitas terdawa : Identitas terdakwa berupa nama lengkap, tempat lahir,


umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,
dan pekerjaan. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan
2. Bentuk-bentuk surat dakwaan: Bentuk pasti surat dakwaan tidak dimuat dalam
undang-undang. Namun, sebagaimana diterangkan Surat Edaran Jaksa Agung,
dalam perkembangannya, ada lima jenis surat dakwaan, yakni tunggal,
alternatif, subsidair, kumulatif, dan kombinasi.
2. Eksepsi
Eksepsi atau tangkisan adalah jawaban atau tanggapan terdakwa atau
penasihat hukumnya terhadap dakwaan jaksa penuntut umum. Eksepsi hanya
diajukan untuk hal-hal yang bersifat formalitas dan tidak langsung mengenai
pokok perkara. Setelah dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum, hakim
akan menanyakan pada terdakwa akan mengajukan eksepsi atau tidak. Hakim lalu
akan memberi kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk
membuat dan menyusun eksepsi untuk dibacakan pada sidang berikutnya.

3. Tanggapan atas eksepsi oleh jaksa penunntut umum (jika ada)


Setelah terdakwa atau penasehat hukum memberikan eksepsi atau jawaban
atas dakwaan penuntut umum, selanjutnya pihak penuntut umum mengajukan
kembali tanggapan atas eksepsi tersebut, hal ini sifatnya tidak wajib dalam artian
bisa ada bisa juga tidak ada, dan biasanya jika penuntut umum tidak mengajukan
tanggapan, setelah majelis hakim menanyakan Kembali kepada penuntut umum
“apakah penuntut umum akan memberikan tanggapan atas eksepsi?” maka
jawaban penuntut umum adalah “kami tetap pada dakwaan yang mulia”

4. Putusan sela
Putusan Sela adalah keputusan yang dikeluarkan sebelum hakim memberikan
putusan akhir, yang bertujuan untuk memudahkan kelanjutan pemeriksaan
perkara. Putusan ini merupakan bagian dari jenis putusan pengadilan yang bersifat
formil atau bukan putusan akhir yang berkaitan dengan surat dakwaan

5. Pembuktian (pemeriksaan alat bukti dan barang bukti)


Pembuktian sebagai bentuk gambaran yang berkaitan tentang kebenaran atas
suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa tersebut dapat diperoleh kebenaran yang
dapat diterima oleh akal.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Hanya alat-alat bukti yang sah menurut UU yang dapat dipergunakan
untuk pembuktian. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, di mana alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

6. Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan adalah wewenang yang dimiliki oleh penuntut umum atau Jaksa
Penuntut Umum (JPU). Tuntutan pidana dari JPU akan dituangkan ke dalam surat
tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan di sidang
pengadilan selesai. Hal ini tertuang dalam Pasal 182 Ayat 1 huruf a UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi,
"Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana."
7. Pledoi (nota pembelaan) oleh terdakwa / penasehat hukum

Pledoi dilakukan untuk menolak, menyanggah, dan melakukan perlawanan di


muka persidangan yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun dengan alasan
apapun. Pembacaan pledoi dapat dilakukan oleh terdakwa atau oleh penasihat
hukum setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan pidana.

8. Replik dan Duplik

Replik adalah jawaban atas jawaban yang diucapkan atau diajukan secara
tertulis oleh pihak penggugat setelah ia mendengarkan jawaban tergugat atas
gugatannya. Sedangkan duplik adalah jawaban kedua sebagai penjelasan dalam
proses sidang di pengadilan. Duplik disebut juga sebagai jawaban atas replik
(terutama dalam acara peradilan yang uraian-uraian pihak yang berperkara baik
yang tertulis maupun yang lisan, dilakukan menurut urutan gugatan, jawaban,
replik, duplik) pada dasarnya, KUHAP secara implisit tidak memuat ketentuan
mengenai pengertian replik ataupun duplik. Pengertian replik dan duplik sendiri
dapat dilihat melalui doktrin hukum. Monang Siahaan berpendapat, bahwa replik
adalah jawaban penuntut umum atas pledoi penasihat hukum. Sementara duplik
adalah jawaban penasihat hukum atau pembelaan terdakwa atas replik penuntut
umum.

9. Putusan Hakim

a. Putusan bebas : Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP,
yang menyatakan bahwa putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan
hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang
pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan

b. Putusan lepas dari segala tuntutan: Dasar hukum putusan lepas dari segala
tuntutan tertuang dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, pada putusan
pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum
memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi
terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa
tersebut bukan “perbuatan pidana” tetapi masuk ke ranah hukum perdata,
hukum dagang, atau hukum adat.

c. Putusan pemidanaan: Putusan pemidanaan ditentukan dalam Pasal 193


ayat (1) KUHAP, putusan pemidanaan adalah putusan yang dikeluarkan
berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan. Majelis hakim
berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana.
B. Perkara Perdata

1. Tahap Pertama, UPAYA DAMAI

Majelis Hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai.

2. Tahap Kedua, PEMBACAAN GUGATAN/PERMOHONAN

Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara
dengan membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon.

3. Tahap Ketiga, JAWABAN TERGUGAT/TERMOHON

Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan


Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis.

4. Tahap Keempat, REPLIK

Kesempatan Penggugat/Pemohon untuk menanggapi jawaban Tergugat/Termohon, baik


secara lisan maupun tertulis.

5. Tahap Kelima, DUPLIK

Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab kembali tanggapan (replik)


Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis.

6. Tahap Keenam, PEMBUKTIAN

Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan dalil-
dalil gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk
menguatkan bantahannya.

7. Tahap Ketujuh, KESIMPULAN

Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon menyampaikan kesimpulan akhir terhadap


perkara yang sedang diperiksa.

8. Tahap Kedelapan, MUSYAWARAH MAJELIS

Majelis Hakim akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan mengenai perkara yang
sedang diperiksa.

9. Tahap Kesembilan, PEMBACAAN PUTUSAN

Majelis Hakim akan membacakan putusan hasil musyawarah Majelis Hakim.


PERBEDAAN TEKNIK BERACARA PIDANA DAN PERDATA

A . Pidana

Pada dasarnya proses pertama dalam hukum acara pidana dimulai dari penyelidikan
kemudian penyidikan, penuntutan, putusan hakim. Dalam penyelidikan yang bertugas untuk
melakukannya adalah Kepolisian Republik Indonesia. Akan tetapi, dalam Penyidikan yang
memiliki wewenang adalah Kepolisian Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian untuk tahap
penuntutan berada dalam wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dan terakhir untuk
putusan terhadap suatu tindak pidana berada dalam wewenang hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara

1. Penyelidikan : Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan pengertian diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyelidikan
bertujuan untuk menyatakan apakah suatu perbuatan itu digolongkan ke dalam suatu
tindak pidana atau bukan.

2. Penyidikan: Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dapat juga ditarik kesimpulan bahwa
penyidikan itu merupakan suatu tindakan lanjutan dari penyelidikan dimana sudah
dapat ditentukan bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana.

3. Penuntutan: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara


pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Penuntutan merupakan
suatu rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan. Setelah
Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka ia akan segera
mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan
kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila
dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang
harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara kepada Penuntut
Umum.
4. Putusan Hakim : Pada dasarnya putusan hakim dalam hukum acara pidana merupakan
suatu bentuk keadilan tertinggi yang diberikan kepada terdakwa dan putusan tersebut
dianggap benar serta memiliki kekuatan yang mengikat sepanjang tidak ada upaya
hukum yang dilakukan oleh terdakwa terhadap putusan tersebut. Dalam hal hakim
memutus suatu perkara pidana, maka ia harus berlandaskan asas keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana
harus berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan. Dalam
teori hukum pembuktian, sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem hukum
Eropa Kontinental yaitu negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian
hukum pidana dilakukan menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti
dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan batasan untuk
hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang harus
berdasarkan keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti. Adapun bunyi Pasal 183
KUHAP adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
5. Upaya Hukum: Pada hakikatnya dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal
adanya upaya hukum yang dilakukan oleh Terdakwa ataupun Penuntut Umum apabila
merasa keberatan dengan putusan hakim pengadilan tingkat I. Upaya hukum adalah
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Upaya Hukum terdiri dari 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa
a. Upaya hukum biasa: Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding dan
upaya hukum kasasi. Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum tidak menerima
putusan pengadilan tingkat I, dapat dilakukan upaya hukum banding sebagai
upaya hukum pertama. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa upaya hukum banding
tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, serta
putusan pengadilan dalam acara cepat. Adapun pengaturan mengenai upaya
hukum banding tertuang dalam pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP.
Dalam hal Terdakwa atau Penuntut Umum ingin melakukan upaya hukum
banding, maka maksimal jangka pengajuan banding adalah 7 hari sejak putusan
pengadilan tingkat I dibacakan oleh Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara. Upaya hukum selanjutnya adalah upaya hukum kasasi.
Upaya hukum kasasi tertuang didalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 262
KUHAP. Jangka waktu pengajuan kasasi adalah maksimal 14 hari setelah putusan
Pengadilan Tinggi diberitahukan. Upaya hukum kasasi ini dilakukan apabila salah
satu pihak tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi. Terhadap putusan bebas,
Penuntut Umum juga dapat melakukan upaya hukum kasasi.
b. Upaya hukum luar biasa: Upaya hukum luar biasa merupakan tahap akhir dari
segala upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.
Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan
Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah
Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali dapat
diajukan terhadap putusan kasasi apabila pada putusan sebelumnya diketahui
terdapat kesalahan atau kekhilafan yang nyata pada hakim dalam memutus
perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam
persidangan.
Hakim dalam Persidangan
1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam Hukum Acara
yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :
a. Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision)
dimana setiap orang berhak untuk inengajukan perkara dandilarang menolak untuk
mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang serta putusan harus
dijatuhkan dalam waktu yang pantas dantidak terlalu lama.
b. Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan danperlakuan yang sama
untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajuan bukti -bukti
serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan (a fair hearing).
c. Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau
pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resud).
d . Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dandapat dimengerti serta
bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and
argumentations of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi
(controleerbaarheid) dandiikuti serta dapat dipertanggung-jawabkan (account ability)
guna menjamin sifat keterbukaan (trans parancy) dankepastian hukum (legal
certainity) dalam proses peradilan.
e. Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2. Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati
kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3. Harus bersifat sopan, tegas danbijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun dalam perbuatan.
4. Harus menjaga kewibawaan dankehidmatan persidangan antara lain serius dalam
memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.

B . Perdata
1. Acara Gugatan
Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau
kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan disampaikan
kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan da lam buku
Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan
oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR). Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu
membayar biaya perkara, hal mana harus di buktikan dengan surat keterangan dari Kepala
Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan gugatannya secara prodeo.
Kompetensi Relatif (pasal 118 (1) HIR) :
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi;
 Dimana tergugat bertempat tinggal;
 Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya);
 Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat yang tempat
tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri;
 Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah
sebagai yang berhutang dan penjaminnya;
 Penggugat atau salah satu dari penggugat ber tempat tinggal dalam hal :
 tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia berada;
 tergugat tidak dikenal;
 Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak
bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak bergerak terletak;
 Ketentuan HIR dalam hal ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal 142 RBg, apabila
objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri dimana tanah itu terletak.

Kuasa / Wakil :
Untuk bertindak sebagai Kuasa / Wakil dari penggugat / tergugat ataupun pemohon,
seseorang harus memenuhi syarat-syarat :
 Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan dipersidangan. atau pemberian
kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh
pihak yang ber perkara/pemohon didalam persidangan secara lisan;
 Memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Menkeh No. 1/1985 jo Keputusan
Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P.14-2-11;
 Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara praktek di kantor Pengadilan
Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara khusus telah di izinkan untuk
bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu;
 Permohonan banding atau kasasi yang diaju kan oleh Kuasa/Wakil dari pihak yang
bersang kutan barus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan
permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di Pengadilan Negeri telah
menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau
kasasi;
 Untuk menjadi kuasa dari pihak tergugat juga berlaku hal-hal tersebut diatas;
 Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan Stbl. 1922
No. 522 dan pasal 123 ayat 2 HIR, yaitu :
 Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah;
 Jaksa;
 Orang tertentu atau Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh Instansi-instansi yang
bersangkutan.

Perkara Gugur :
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang,
meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah,
sedangkan tergugat atau ku asanya yang sah datang, maka gugatan digugur kan dan
penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan gu
gatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telab
dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.

Putusan Verstek :
Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat atau semua
tergugat tidak datang padahal telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim
kuasanya yang sah, sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang, maka perkara
akan diputus verstek. Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau tidak
mengirim kuasanya yang sah, tetapi’jlka ia mengajukan jawaban tertulis beru pa
tangkisan tentang tidak berwenang mengadili, maka perkara tidak diputus dengan verstek.

Tangkisan / Eksepsi :
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama
dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak berwenangnya
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam pertimbangan hukum
dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan :
Dalam eksepsi : ……. (pertimbangan lengkap).
pokok perkara : …….(pertimbangan lengkap).

Pencabutan Surat Gugatan :


Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika perkara
sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus
mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272 RV).

Perubahan / Penambahan Gugatan :


Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari sidang
pertama dimana para pihak hadir, tetapi hat tersebut harus ditanyakan pada pihak
lawannya guna pembelaan kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar
pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah
pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.
Perdamaian :
Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha mendamaikan mereka.
Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan
meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus dibacakan
terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum Hakim menjatuhkan putusan
yang meng hukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang berkuatan
hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara
persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan
dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan
penerjemah (pasal 131 HIR).

2. Acara permohonan
Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon
atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal
pemohon. Permohonan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan
dalam buku Register dan diberi Nomor urut, setelah pemohon membayar persekot biaya
perkara, yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR). Bagi
pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus
dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat
mengajukan permohonannya secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut
(pasal 120 HIR).

Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri yaitu :
 Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa;
 Permohonan pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya
atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun;
 Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi
wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri (pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974);
 Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6
ayat (5) Undang-undang No. I tahun 1974);
 Permohonan pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27 Undang -undang No.1
tahun 1974);
 Permohonan pengangkatan anak (diperhatikan SEMA No. 6/1983);
 Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila
nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut;
 Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit, oleh karena para
pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.

Hakim dalam Persidangan


 Hakim pasif dan hakim aktif
terdapat pandangan bahwa hakim perdata multak bersifat pasif. Sikap pasif tidak
hanya dalam arti hakim bersifat menunggu (tidak mencari-cari perkara) atau luas
ruang lingkup sengketa tergantung para pihak, tetapi meliputi hakim pasif dalam
memimpin persidangan. Asumsinya karena perkara adalah kehendak para pihak
sehingga hakim tidak perlu mencampuri jalannya perkara. Perihal bagaimana
proses persidangan berjalan, pengajuan bukti-bukti, ataupun bagaimana para pihak
menetapkan hubungan hukum merupakan urusan para pihak. Hakim hanya
bertugas mengawasi agar peraturan hukum acara dilaksanakan oleh para pihak.

 Kewajiban hakim aktif


Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
merupakan legitimasi yuridis keaktifan hakim. Ketentuan tersebut menegaskan
bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya. Sederhana mengandung makna pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan secara efektif dan efisien, sedangkan biaya ringan berarti biaya perkara
dapat dijangkau oleh masyarakat.
HIR/RBg telah menempatkan hakim dalam posisi aktif dalam tahap pra
persidangan, persidangan dan pasca persidangan (eksekusi). Berikut adalah
ketentuan dalam HIR/RBg yang menempatkan peran hakim aktif, yaitu :
Pasal 119 HIR/Pasal 143 RBg : Ketua pengadilan negeri berwenang memberi
nasihat dan bantuan hukum kepada penggugat atau wakilnya atau kuasanya
dalam hal mengajukan gugatannya.
Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg : Jika ketua menganggap perlu agar perkara dapat
berjalan dengan baik dan teratur, maka pada saat pemeriksaan perkara, dia
dapat memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan guna menunjukkan
upaya hukum dan keterangan yang dapat mereka pergunakan.
Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206 ayat (1) RBg : Dalam hal menjalankan putusan
pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh
pengadilan negeri maka dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan ketua
pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut
cara yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut.
Saat ini hakim aktif kembali mendapatkan penegasan dalam Pasal 14 PERMA
No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
Ketentuan tersebut memberikan guidence bagi hakim dalam persidangan gugatan
sederhana agar aktif memberikan penjelasan mengenai acara persidangan,
menyelesaikan perkara secara damai, menuntun para pihak dalam pembuktian dan
menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak

You might also like