You are on page 1of 7

Merawat Semangat Bertani Masyarakat Adat Bali dengan Sanghyang Dedari

I Nengah Langgeng masih ingat ketika tiga dekade lalu desa adat Geriana Kauh bagian
dari Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem diserang hama. Padi
milik warga habis dimakan wereng, tikus dan burung. Kala itu kondisinya begitu
menyedihkan sebab warga menggantungkan hidup dari hari panen.

Saat itu warga bertani subsisten di mana mereka memproduksi hasil pertanian untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, sekali panen gagal, pertaruhannya
adalah hidup dengan kelaparan.

Selain berdampak kebutuhan jasmani, ketiadaan hasil panen itu juga berdampak pada
kebutuhan rohani. Ketiadaan hasil sawah untuk kebutuhan upacara agama membuat
mereka semakin resah. Setiap laku ritus warga membutuhkan padi ketan dan padi beras,
terutama bibit lokal, yang disebut dengan padi masa atau padi tahun. Disebut demikian
karena memerlukan waktu hampir setahun untuk persiapan benih, bibit, sampai panen.

Langgeng yang kini menjadi Ketua Tempekan Sebudi, Subak Bangbang Biaung, salah
satu pengurus pertanian di desa adat mereka heran dengan gagal panen saat itu. Warga
pun tak kalah pusing.

Setelah berunding panjang, tetua desa memberikan petunjuk agar warga menghelat
kembali ritus Sanghyang, sebuah ritus tarian kepercayaan warga untuk menolak bala atau
wabah penyakit. Ada dua ritus Sanghyang, yakni Sanghyang Jaran dan Sanghyang
Dedari.
Ritus ini dulu sempat dihentikan karena beragam alasan, dari tidak ada yang mengurus
pengayah atau penari hingga sarana kelengkapannya yang tidak tersedia.

Akhirnya sekitar 1991, Sanghyang dihidupkan. I Wayan Brata, Petengen Jro Raksa atau
bendahara desa adat mengingat terakhir kali digelar sekitar tahun 1971 atau 1972.
Sanghyang Jaran oleh pengayah laki-laki, turun temurun, biasanya orang yang memiliki
pengalaman spiritual seperti Jro Mangku atau pemimpin persembahyangan.

Sedangkan Sanghyang Dedari oleh pengayah anak perempuan yang belum menstruasi.
Pada 1991 itu, Brata mengingat ada 7 anak perempuan yang bersedia ngayah (membantu
secara ikhlas). Setelah menentukan hari baik, warga mohon petunjuk dan izin secara
spiritual di Pura Paibon.

Pengayah Sanghyang Dedari memulai tahapan ritus ini dengan Pangukupan atau
memanggil roh. Pangukupan dilakukan tengah malam dengan menghadapkan wajah ke
Pengasepan (wadah tanah liat yang berasap). Proses ini berlangsung sunyi (pingit), tidak
boleh ada lelaki yang melihat, kecuali Jro Mangku. Para ibu melantunkan gending.
Gending adalah gamelan atau bunyi-bunyian utama dalam ritus Sanghyang yang
memandu pengayah Sanghyang.

“Setelah Sanghyang, hasil panen meningkat, kami meyakini ini tolak bala. Dampaknya
terasa setelah nyolahang (menarikan). Hidup juga lebih aman, apalagi saat Covid,” tutur
Brata yang mengaitkan dengan pandemi Covid-19. Sanghyang ditarikan tiap tahun, ketika
bulir padi mulai terlihat, sebagai ritus agar panen berhasil. Pada 2023 nanti, diperkirakan
ditarikan sekitar April, namun waktu pastinya harus menunggu rapat tetua.

Penghormatan warga yang begitu tinggi pada padi masa menunjukkan keyakinan mereka
pada jenis padi lokal yang ditanam minim input kimia ini. Dalam konteks ini, laku spiritual
berbanding lurus dengan pertaniannya.

Tetapi program swasembada pangan pemerintah Orde Baru mengoyak pertanian organik
desa adat di kaki Gunung Agung ini. Untuk mempercepat masa tanam, pemerintah
memaksa warga menanam jenis padi yang memerlukan input kimia seperti urea. Dalam
jangka panjang, petani akhirnya bergantung pada urea dan menanam padi usia pendek
hingga sekarang.

“Tahun 80an masih organik. Kami pernah menolak subsidi pupuk kimia, mending kompos
daun,” sebut Langgeng.

Dulu, warga mengumpulkan dedaunan lalu dilayukan di sawah selama 6 bulan, setelah itu
baru tanah diolah. Namun, revolusi hijau ini tak bisa ditahan. Warga pun menanam padi
umur pendek 2 kali setahun, kemudian baru padi masa.

Selain padi masa, warga di desa adat Geriana Kauh juga melestarikan kebun bambu dan
buah, kedua tanaman ini lekat dengan kebutuhan ritual. Saat berkunjung ke desa adat ini,
tata ruangnya unik khas pola ruang desa-desa kuno Bali. Paling utara adalah tempat
sembahyang dengan sejumlah pura. Di sela-sela pura ada kebun bambu, salak, aren, dan
pohon besar lain.
Setelah itu, di bagian tengah ada pemukiman memanjang berhadapan kanan dan kiri.
Selanjutnya ada ruang publik seperti bale banjar. Kemudian paling hilir adalah
persawahan. Sawah nampak menguning, bulir padi membuat batangnya merunduk tanda
siap panen.

Padi menguning menjadi tanda dimulainya ritual besar. Salah satunya Ngusaba Goreng,
upacara penyelamatan desa dengan menampilkan aneka hasil tani, terutama padi.
Upacara ini berlangsung selama satu minggu.

Salah satu ritualnya adalah Rejang Pusung. Sekitar sembilan anak perempuan belum akil
balik menari dengan gerak gemulai mengelilingi Pura Puseh. Pakaian dan hiasan
rambutnya berwarna cerah dominan kuning.

Pusung artinya seni menggelung rambut agar rapi. Setelah tergelung, mulailah mahkota
bunga dipasang. Alat bantunya adalah kulit jeruk bali. Warga di Geriana Kauh menyebut
jeruk bali muntis, sedangkan orang Bali kebanyakan menyebut jerungga. Di atas kulit jeruk
disusun aneka bunga yang sering jadi sarana sembahyang dan aromanya harum seperti
cempaka, kenanga, dan jepun bulan.

Penari rejang berada dalam barisan lain seperti indra, para tetua, anak muda, ibu-ibu,
anak-anak perempuan, dan anak laki-laki membawa tegenang atau pikulan berisi hasil
bumi. Mereka berjalan mengelilingi pura sembari menyebar bulir padi ke tanah.

Selain ritual, warga juga membuat aneka jajanan seperti glandiran ubi, jaje uli, tape, jaje
goreng, kiping merah, kuning, dan hitam, daldal, dan lainnya. Semua jajanan itu digantung
di beberapa sudut rumah sebagai bentuk syukur sudah diberikan pangan dari sawah dan
kebun.
Selain itu warga juga menggelar upacara Ngusaba Emping, sebuah ritual
penganugerahan bibit padi masa kepada krama atau warga adat. Bibit itu nantinya
ditanam pada awal tahun setelah panen padi usia pendek dan direhatkan dengan
palawija.

Dalam setiap upacara adat dan agama, perempuan memiliki peran tersendiri. Mereka
menjadi pengayah dan menyiapkan jajanan untuk sesajen. Secara simbolik, perempuan
begitu lekat dalam tradisi pertanian di desa. Dalam Sanghyang Dedari mereka menjadi
simbol penolak bala.

Ni Kadek Anggi Riskayanti (18) merasa bangga pernah menjadi pengayah Sanghyang
Dedari saat ia belum akil balik. Saat itu pengurus desa menawarinya menjadi pengayah
karena neneknya dulu juga pernah menjadi pengayah. Baginya, pengalaman menjadi
pengayah itu membuat semakin dekat dengan alam dan pertanian.

“Saya merasa bangga pernah jadi pengayah,” katanya. Anggi berharap ritus Sanghyang
Dedari dikelola sepenuhnya oleh anak muda mulai dari mencari sarana kelengkapan
sampai membuat gelungan.

Ni Ketut Turun salah satu perempuan warga desa adat mengatakan bahwa perempuan
memiliki tugas berat menjaga hasil panen. Di keluarganya, ia masih merawat jineng atau
gelebeg, tempat penyimpanan hasil panen. Ni Ketut terampil menganyam bilah bambu
menjadi bedeg (anyaman bambu), sebuah keterampilan yang kini sudah jarang dimiliki
warga lainnya.

“Dulu semua dari bedeg. Karena sudah rusak dan rumit buat lagi, atap jineng diganti seng.
Rumah-rumah juga sudah berganti beton, mungkin iri lihat orang lain, perlu bahan banyak
dan buatnya lama,” selorohnya.

Tantangan Pertanian Desa

I Nyoman Subrata, Bendesa Adat (kepala desa adat) Geriana Kauh menyebut ada
keinginan untuk memperluas pertanian minim kimia. Namun ia perlu pendamping yang
bisa memberikan contoh yang berhasil.

Ia optimis pertanian di desanya bakal tetap terjaga karena banyak anak muda menjadi
petani meneruskan orang tuanya, meski ada yang memilih merantau seperti kerja kapal
pesiar, hal yang jamak di sebagian desa di Bali.

Untuk luas lahan, dari perhitungannya pasti ada penurunan luas karena pasangan baru
membangun rumah. Tetapi tidak banyak, hanya sekitar 3 rumah atau 50 are lahan
pertanian alih fungsi.

“Tapi ada kekhawatiran bagaimana melindungi sawah, misalnya dibeli pihak luar. Perarem
direncanakan untuk melindungi tanah,” urai Subrata tentang peraturan adat. Misalnya ada
larangan menjual tanah ke luar krama adat.

Kekhawatiran ini beralasan karena sebagian pemilik lahan sawah di kawasan desa
adatnya adalah warga desa tetangga yakni Amertha Buana di Geriana Kangin. Dua
perarem atau aturan adat yang hendak disusun adalah perlindungan tanah dan
pengelolaan sampah.

Upaya melestarikan pertanian juga dilakukan dengan membangun museum Sanghyang


Dedari Giri Amerta yang merekam tradisi pertanian dan ritus Sanghyang.Museum ini
diresmikan pada 2019 dari program pengabdian masyarakat Universitas Indonesia. Lokasi
museum ini berdekatan dengan Pura Puseh dan Pura Pajenengan yang dikenal sebagai
lokasi penyineban (tahapan akhir ritus) Sanghyang.

“Dengan museum, ada edukasi yang bisa dipelajari anak-anak. Dulu kita menerapkan
sistem pertanian tradisional yang sudah makin tidak diketahui,” sebut Subrata. Salah
satunya membajak sawah dengan sapi. Ia ingin menghidupkan ini lagi.

Menurutnya hilangnya sapi sebagai sarana membajak sawah mulai terjadi pada 2017.
Saat itu warga menjual murah sapi karena erupsi Gunung Agung. Sejak saat itu mulai ada
penggunaan traktor. Secara ekonomis, menurut Subrata membajak dengan sapi lebih
hemat, sementara traktor harus menyewa dengan harga Rp400 ribu.

Jineng atau tempat menyimpan padi juga makin menghilang, karena padi habis
dikonsumsi sendiri. Mereka bahkan kekurangan padi untuk upacara adat dan agama.
Tidak semua warga pun bertani. Dari 800an jiwa warga atau 250 Kepala Keluarga, hanya
setengah saja yang bertani. Penghasilan utama warga juga masih dari bekerja sebagai
buruh bangunan dan tukang batu.

Setiap keluarga dikenai iuran tahunan sebesar Rp300 ribu untuk biaya ritual. Biaya itu
digunakan untuk sesajen kolektif di pura, belum termasuk sesajen dan perlengkapannya
untuk di rumah warga atau dibawa ke pura. Ia merasa biaya Dewa Yadnya (upacara di
pura) tidak memberatkan, kecuali Manusa Yadnya seperti pernikahan, kematian, dan
lainnya.

Desa adat ini memang masih memegang teguh keyakinan ritual-ritualnya. Termasuk kala
bencana. Warga percaya keteguhan menggelar ritual itu membuat desanya selamat dari
erupsi besar Gunung Agung pada 1963 yang mengubur banyak desa dan menghilangkan
ribuan jiwa.

Tetapi dalam bencana banjir dan longsor yang belakangan terjadi berbagai kabupaten dan
kota di Bali berdampak besar pada desa. Sawah dan rumah beberapa warga hancur
terkubur material batu dan pasir dari hulu, yang diperkirakan bersumber dari lokasi
penambangan galian C di kaki gunung.

“Alam rusak diperkosa, cuaca ekstrem karena penguapan dari perubahan iklim. Manusia
terlalu rakus,” ujar Subrata.

Salah satu hal solusi mencegah bencana menurutnya mengembalikan kearifan pertanian.
“Padi lokal kalah waktu, kalau organik trauma perlakuan pada petani tidak adil misal
permainan harga tengkulak,” keluh Subrata.

Pertanian Hanya Jargon Pariwisata

Pemerintah selalu membanggakan pariwisata Bali yang berbasis pertanian. Faktanya, alih
fungsi lahan makin tak terkendali. Ida Bagus Wisnuwardhana, Kepala Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Provinsi Bali menyebut rata-rata alih fungsi lahan tani sekitar 700
hektar per tahun. Data pada 2020 disebut luas sawah sekitar 79 ribu sekitar 14% dari
wilayah Bali. Ini dinilai masih bagus.

Ketika pandemi Covid-19 menghajar industri pariwisata Bali, sebagian besar perantau
kembali ke desa untuk kerja di sawah, ladang, dan lainnya. Sayangnya hal ini tidak
dimanfaatkan pemerintah yang menunggu penerbangan internasional dibuka.

Minimnya dampak pariwisata ini pada pertanian diakui Made Sarjana, akademisi
Universitas Udayana yang meneliti pertanian dan pariwisata. “Pariwisata berbasis
pertanian adalah upaya sharing benefit pariwisata ke komunitas petani. Selama ini banyak
aset pertanian seperti pemandangan alam, kebun, dan komoditas pertanian digunakan
sebagai daya tarik wisata namun petani tak dapat apa-apa,” katanya.

Ada berbagai peristiwa protes langsung petani pada pariwisata di Bali. Misalnya di
Jatiluwih, Tabanan, kawasan warisan budaya dunia ada yang memagari sawahnya agar
turis tidak bisa masuk. Di obyek wisata sawah Ceking, Tegalalang, petani memasang
cermin agar pantulannya mengganggu wisatawan. Ada juga kampanye Not For Sale dari
seniman di Ubud yang mengingatkan rentannya posisi petani.

Sarjana juga mengingat ada petani membuat kandang sapi dengan seng agar
memantulkan cahaya ke wisatawan di hotel-hotel di tebing Sungai Tukad Ayung.

“Ketika sudah ada sharing benefit pariwisata kan konfliknya bisa diatasi. Ide pariwisata
berbasis pertanian, upaya memberdayakan petani agar mendapat benefit pariwisata
dengan persentase lebih tinggi,” jelasnya.

Menurutnya pariwisata berbasis pertanian membantu petani mengemas aset-aset


pertanian menjadi daya tarik wisata dan petani terlibat langsung dalam pengelolaannya. Ia
mengatakan dukungan pemerintah pada daya tarik ini belum optimal. Pemerintah hanya
terlibat setelah kunjungan pengunjung mulai meningkat atau daya tarik wisata tersebut
sudah bisa berkontribusi pada pendapatan daerah.

Sementara itu selama pandemi, ada rasionalisasi anggaran untuk penanganan Covid-19.
Tidak ada kebijakan untuk menyokong pembangunan pertanian secara khusus.
Pembangunan pertanian sebagai sabuk pengaman di masa krisis Covid-19 dinilai berjalan
alamiah, atau minim campur tangan dari pemerintah.

You might also like