You are on page 1of 40

Politik AS

di Timur Tengah
Versi Ebook

i
i
ii
Judul : P o l i t i k A m e r i ka d i T i m u r T e n g a h
Penyusun : Septian AW
Penerbit : ILKI, Bogor, 2023
Desain & Layout : NgajiBukuID
Suport & Saran : 0852 6000 1924

iii
iv
DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................... v


Pendahuluan .............................................................. 1
Pentingnya Timur Tengah ........................................ 5
Politik AS Saat Perang Dingin ............................... 13
Menghadapi Kebangkitan Arabisme ...................... 19
Menghadapi Radikalisme Islam ............................. 25
Daftar Pustaka ........................................................ 31

v
vi
Pendahuluan

KAWASAN Timur Tengah memiliki peran yang


sangat penting bagi politik dan ekonomi dunia.
Terletak di antara tiga benua (Asia, Afrika, dan
Eropa), kawasan ini memiliki posisi strategis dan
kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas,
dan mineral lainnya. Kawasan ini masih
menempati peringkat teratas sebagai penyumbang
cadangan minyak terbesar di dunia dengan total
mencapai 833,8 triliun barrel. Segala potensi
tersebut membuat negara-negara Barat
menguatkan pengaruhnya di Timur Tengah.
Sejarah kebijakan negara-negara barat di
Timur Tengah dimulai pada abad ke-19 ketika
beberapa negara barat mulai menguasai wilayah
tersebut. Pada awalnya, Inggris dan Prancis
menduduki wilayah ini sesuai dengan kepentingan
mereka, dengan Inggris menguasai Mesir,

1
sementara Prancis menguasai Suriah dan
Lebanon. Setelah Perang Dunia I, kekuasaan
mereka atas wilayah ini semakin kuat. Keduanya
yang menjadi pemenang perang bahkan bisa
mengendalikan kawasan ini sepenuhnya.
Sementara itu, berbeda dengan keduanya,
dominasi politik Amerika Serikat justru baru
dimulai setelah Perang Dunia II. Hingga awal
abad ke-20, kepentingan dan keterlibatan Amerika
Serikat di Timur Tengah masih terbatas dan
berskala kecil. Di tahun-tahun tersebut pengaruh
AS tidak merata dan masih sporadis. Urusan
mereka dengan kawasan ini sebagian besar
bersifat swasta, terutama dalam hal pendidikan
atau komersial.
AS baru menjadi kekuatan utama di Timur
Tengah dalam waktu kurang dari satu dekade
setelah Perang Dunia II. Adanya perubahan
suasana politik setelah perang berdampak
menguntungan bagi eksistensi mereka di kawasan
ini. Dorongan AS untuk semakin mengutamakan
wilayah ini karena dua hal yakni mengamankan

2
akses mereka kepada ladang minyak dan
menjauhkan pengaruh Uni Soviet di wilayah ini.
Selama tujuh dekade setelahnya, pengaruh
mereka telah menunjukkan peningkatan
signifikan. AS sangat mendominasi wilayah Timur
Tengah. Keberadaanya membawa dampak besar
bagi dinamika kehidupan kawasan ini baik dalam
hal politik regional, termasuk urusan ekonomi,
perang, dan keberpihakan para penguasa Arab.
Pada saat ini, isu keislaman yang identik
dengan Timur Tengah juga tidak terlepas dari
pengaruh Amerika Serikat. Saat Amerika
menggencarkan propaganda Global War on
Terrorism (GWOT), yang seringkali
mendiskriditkan Islam dan umatnya, kepekaan
masyarakat dunia terutama yang ada di Timur
Tengah terhadap Islam sangat bergantung
mengikuti arah kepentingan AS.
Bisa dikatakan dalam konteks kontemporer,
memahami politik luar negeri AS di Timur Tengah
tidak semata-mata soal ekonomi, politik dan
militer, melainkan berkaitan juga dengan arah
wacana Islam secara global. Oleh karena itu

3
pemahaman tentang tema politik ini menjadi hal
yang penting diperhatikan oleh umat Islam
kontemporer.
Buku ini akan menelaah perkembangan
politik AS di Timur Tengah. Pembahasan
mencakup tentang awal mula masuknya AS dalam
percaturan politik di kawasan ini hingga
kemudian menjadi pihak yang mampu
mendominasi. Buku ini diterbitkan sebagai modul
belajar di kelas Sejarah Politik Barat di Timur
Tengah yang ditunjukan untuk kalangan terbatas.
Penerbitan buku ini ditulis dengan merujuk
beberapa referensi yang mengeksplorasi tema
yang dibahas. Diantaranya adalah buku karya
Bledar Prifti yang berjudul US Foreign Policy in
the Middle East: The Case for Continuity.

4
Pentingnya Timur Tengah

BAGI Amerika Serikat dan sekutu Baratnya,


Timur Tengah menjadi salah satu wilayah paling
strategis di dunia. Kawasan ini memiliki posisi
geografis yang unik. Kombinasi lokasi geografisnya
dengan keberadaan sumber daya minyak yang
melimpah menjadikannya sebagai kawasan
dengan kepentingan geostrategis yang tinggi.
Menurut mantan Perdana Menteri Inggris
Raya, Tony Blair (2014), pentingnya Timur Tengah
bertumpu pada empat faktor utama. Pertama,
Timur Tengah terus menjadi salah satu penghasil
minyak terbesar di dunia yang mana stabilitas
pasar global akan terus bergantung pada minyak
ini. Menjadi hub yang menghubungkan wilayah
utama di belahan bumi Utara dan Timur membuat

5
Gambar 1 | Peta Timur Tengah

Timur Tengah sebagai jalur perdagangan yang


penting dan memberikan pengaruh yang tinggi

6
dalam perdagangan global. Banyak sarjana dan
ahli berpendapat bahwa ketidakstabilan di Timur
Tengah merupakan ancaman terhadap aliran
minyak dan stabilitas ekonomi dan politik negara-
negara yang bergantung pada sumber daya ini.
Kedua, kedekatan geografisnya dengan
Eropa membuat kekacauan di Timur Tengah
menjadi bahaya yang jelas dan nyata bagi sebagian
besar negara Eropa, mengancam stabilitas dan
keamanan global. Kasus krisis Suriah serta
gelombang imigrasinya ke Eropa hanyalah contoh
terbaru dari bahaya semacam itu. Ketiga,
pentingnya kawasan ini juga bergantung pada
aliansi strategis antara Israel dan AS dan
kebutuhan untuk mendukung satu-satunya
sekutu mereka di kawasan tersebut.
Terakhir, Blair percaya bahwa
perkembangan politik di Timur Tengah
kemungkinan besar akan menentukan nasib Islam
radikal di seluruh dunia, yang memiliki sifat
ekspansionis dengan mengorbankan jenis sistem
politik dan nilai lainnya. Potensi kekalahan
kekuatan Islam radikal di kawasan akan

7
mengakibatkan kekalahan global mereka dan
keselamatan sistem politik internasional saat ini.
Sebaliknya, kemenangan Islam radikal di
kawasan ini akan mengakibatkan terguncangnya
tantangan politik hari ini.
Bagi Amerika, pentingnya geostrategis
Timur Tengah terlihat selama Perang Dingin
ketika AS berusaha menahan ekspansi Soviet
sebagai kekuatan global yang dominan. Di Timur
Tengah, AS meningkatkan pengaruhnya terutama
di Turki dan Iran, menghalangi perluasan Uni
Soviet di wilayah tersebut dan sekitarnya.
Presiden Reagan mengakui pentingnya Timur
Tengah dalam National Security Strategy Archive
tahun 1988 di mana dia menyatakan: . . . sejak
1945, kami telah berupaya mencegah Uni Soviet
memanfaatkan keuntungan geostrategisnya untuk
mendominasi tetangganya di Eropa Barat, Asia,
dan Timur Tengah, dan dengan demikian secara
mendasar mengubah keseimbangan kekuatan
global menjadi kerugian kita.
Dalam tujuh dekade terakhir, kebijakan luar
negeri AS telah menunjukkan peningkatan

8
keterlibatan dalam politik regional, termasuk
urusan ekonomi, perang, dan operasi rahasia
untuk menggulingkan para pemimpin regional
anti-Amerika. Keterlibatan besar AS terjadi pada
tahun 1953 di Iran ketika Badan Intelijen Pusat
(CIA) bekerja sama dengan dinas rahasia Inggris
mengatur kudeta untuk menggulingkan Perdana
Menteri Iran, Mohammed Mosadegh, yang telah
menasionalisasi minyak dengan mengorbankan
perusahaan minyak asing, yang sebagian besar
adalah orang Inggris.
Momentum Amerika untuk mendominasi
Timur Tengah muncul dalam krisis Suez tahun
1956. Saat itu Inggris Raya dan Prancis, bersama
dengan Israel, melancarkan serangan kepada
Mesir dalam upaya untuk merebut kembali jalur
utama minyak ke Eropa—Terusan Suez—yang
telah dinasionalisasi oleh Perdana Menteri Mesir,
Gamal Abdul Nasr. Penolakan Amerika atas
serangan ini menyebabkan penghinaan dan
mundurnya kekuatan Eropa sekaligus jatuhnya
Timur Tengah di bawah lingkup pengaruh AS.
Dominasi AS di wilayah tersebut berlanjut

9
sepanjang Perang Dingin karena bertujuan untuk
menahan penyebaran pengaruh Soviet di wilayah
tersebut dan di seluruh dunia.
Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 dan
disintegrasi Uni Soviet menandai dimulainya abad
baru Amerika di Timur Tengah. Tantangan
berubah saat mereka harus menghadapi potensi
kekuatan baru di kawasan ini baik dari para
penguasa lokal ataupun kekuataan Islam radikal.
Pada awal Agustus 1990, menyusul invasi Irak ke
Kuwait yang kaya minyak, AS segera bereaksi
dengan membangun koalisi militer pimpinan
Amerika dan memaksa Irak mundur. Lebih dari
tujuh tahun kemudian, pada bulan Desember
1998, AS meluncurkan kampanye yang menekan
Irak dalam dalam isu penggunaan senjata
pemusnah massal. AS berhasil memaksa Irak
untuk mematuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB
yang disepakati. Keterlibatan besar AS berikutnya
di kawasan itu adalah invasi ke Afghanistan,
menyusul serangan teroris 9/11 di tanah Amerika
dan tuduhan bahwa Afghanistan mendukung
teroris yang melakukan serangan itu. Dua tahun

10
kemudian, AS terlibat dalam konflik paling
kontroversial di abad baru: invasi Irak tahun 2003.
Namun, Perang Irak tidak mengakhiri
pengaruh atau keterlibatan AS di Timur Tengah.
Sebaliknya, perang membuka babak baru dalam
kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah,
yang berlanjut hingga hari ini dengan keterlibatan
langsung dalam aksi militer melawan ISIS di Irak
dan Suriah. AS juga meluaskan pengaruhnya
dalam intervensi diplomatik dengan Republik
Islam Iran dan negara-negara kawasan lainnya.
Dinamika politik AS di Timur Tengah
menggambarkan adanya kepentingan hegemoni
yang dipertahankan. Para pejabat Amerika
melihat stabilitas dan persahabatan negara-
negara Timur Tengah sebagai hal yang penting
untuk kepentingan keamanan nasional mereka.
Mempertahankan Timur Tengah di orbit mereka
akan memastikan mereka pada aset manusia,
strategis, dan ekonomi di kawasan ini.

11
12
Politik AS Saat Perang Dingin

SEBELUM tahun 1940-an, pemerintah AS tidak


terlalu tertarik dengan Timur Tengah.
Kepentingan AS di kawasan ini sebagian besar
masihbersifat swasta, terutama dalam hal
pendidikan atau komersial. Pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20, misionaris Kristen Amerika
meluncurkan pelayanan penginjilan dan
kesejahteraan sosial di seluruh wilayah dan dalam
proses mendirikan institusi yang bertahan lama
seperti Universitas Amerika di Beirut dan
Universitas Amerika di Kairo.
Pada awal abad ke-20, bisnis AS, terutama
yang terlibat dalam pencarian minyak,
menambahkan dimensi komersial pada
pengalaman Amerika di Timur Tengah. Pada
tahun 1930-an, perusahaan minyak AS memiliki
saham signifikan dari perusahaan yang

13
memompa, memurnikan, dan mengangkut minyak
Arab Saudi, Irak, Kuwait, dan Bahrain ke pasar
Barat. Sementara, sebelum Perang Dunia II,
pemerintah AS umumnya tunduk pada Inggris
Raya dan Prancis yang memerintah Timur Tengah
atas nama dunia Barat. Kedua kekuatan Eropa itu
mendominasi kawasan ini dengan menjalankan
mandat Liga Bangsa-Bangsa atau melanggengkan
bentuk kontrol kolonial lainnya di Mesir,
Palestina, Yordania, Irak, Suriah, dan Lebanon.
Selama Perang Dunia II, pemerintah AS
mulai melihat Timur Tengah lebih politis.
Ancaman bahwa tentara Poros di Afrika Utara
atau rezim lokal yang bersimpati di Timur Tengah
akan menguasai wilayah tersebut dan dengan
demikian menyerahkan sumber daya alam,
pangkalan militer, dan jalur komunikasinya ke
kendali Nazi Jerman atau bahwa Jerman dan
Jepang akan membangun hubungan geostrategis
melalui Timur Tengah dan dengan demikian
mengkonsolidasikan dominasi mereka atas Dunia
Lama yang memotivasi para pejabat AS untuk
berkontribusi pada pertahanan wilayah tersebut.

14
Pada tahun 1945, pemerintah AS memasok
tentara Inggris yang berhasil mempertahankan
Mesir dari serangan Axis, dan membangun
lapangan terbang militer di Arab Saudi. Perang
dunia juga menarik perhatian pada pentingnya
menjaga akses ke sumber daya minyak yang besar
di Timur Tengah pada tahun-tahun yang tidak
menentu setelah perang.
Permulaan Perang Dingin pada tahun 1945
dan setelahnya membuat Amerika Serikat
menaruh minat yang jauh lebih besar pada Timur
Tengah. Saat mereka membentuk strategi untuk
menahan Uni Soviet secara global, para pejabat
Amerika melihat stabilitas dan persahabatan
negara-negara Timur Tengah sebagai hal yang
penting untuk kepentingan keamanan nasional
mereka. Mempertahankan Timur Tengah di orbit
Barat akan memastikan akses ke aset manusia,
strategis, dan ekonomi di kawasan itu dan
menjauhkan hadiah yang sama untuk Uni Soviet.
Para pejabat Amerika secara khusus
menghargai susunan fasilitas militer, terutama
pangkalan udara, yang didirikan Inggris di

15
negara-negara Arab. Mereka menghitung bahwa
kepemilikan pangkalan semacam itu dapat
menentukan perbedaan antara kemenangan dan
kekalahan jika perang tembak-menembak meletus
melawan Uni Soviet.
Untuk alasan seperti itu, pejabat AS
mempraktikkan penahanan anti-Soviet di Timur
Tengah selama Perang Dingin. Taktik penahanan
termasuk pengakuan persahabatan dan dispensasi
bantuan keuangan ke negara lokal setempat. Para
pejabat Amerika juga mendirikan berbagai perisai
keamanan di wilayah tersebut, seperti perluasan
Pakta Pertahanan Atlantik Utara untuk Yunani
dan Turki pada tahun 1952, pembentukan Pakta
Baghdad pada tahun 1955, dan deklarasi Doktrin
Eisenhower pada tahun 1957. Mereka juga
berusaha, dengan sedikit keberhasilan, untuk
membangun sistem komando militer antar sekutu
yang akan mengintegrasikan Mesir dan kekuatan
Arab lainnya ke orbit pertahanan Barat. Amerika
Serikat mengirim petugas aksi rahasia untuk
melakukan perubahan politik yang
menguntungkan di Iran pada tahun 1953 dan

16
Suriah pada tahun 1956–1957. Presiden Dwight D.
Eisenhower memerintahkan Marinir A.S. untuk
menduduki Lebanon pada Juli 1958 untuk
memadamkan pemberontakan populer yang
menandakan reorientasi negara itu dari Barat.
Dua kerumitan mendasar menimpa upaya
AS untuk mempraktikkan penahanan anti-Soviet
di Timur Tengah. Pertama, para pemimpin di
Washington mendukung pembentukan dan
kelangsungan hidup Israel meskipun negara-
negara dan masyarakat Arab bersumpah untuk
menentang negara semacam itu. Untuk kombinasi
alasan kemanusiaan, budaya, dan politik dalam
negeri, Presiden Harry S. Truman mendukung
pendirian Israel pada tahun 1948, dan penerusnya,
karena berbagai kombinasi alasan yang sama,
menganggap tidak mungkin menarik dukungan
tersebut. Beberapa presiden AS, terutama
Eisenhower dan Jimmy Carter, mempromosikan
rencana perdamaian Arab-Israel berdasarkan
konsesi dan kompromi bersama dengan harapan
menstabilkan kawasan dan memperbaharui
persahabatan dengan semua pihak dalam konflik

17
Arab-Israel. Para pemimpin lain di Washington,
terutama Presiden Richard M. Nixon dan Ronald
Reagan, memandang Israel sebagai mitra strategis
yang layak mendapat dukungan kuat atas nama
keamanan nasional AS dan oleh karena itu
menunjukkan minat yang kurang terhadap
kepekaan Arab. Namun secara konsisten selama
akhir abad ke-20, dukungan AS untuk Israel
mengasingkan banyak negara lain yang menjadi
sandaran kerja sama kebijakan penahanan anti-
Soviet AS. Dengan demikian, Uni Soviet
memperoleh pengaruh politik di negara-negara
seperti Mesir dan Suriah.

18
Menghadapi
Kebangkitan Arabisme

MUNCULNYA nasionalisme Arab dan Iran menjadi


tantangan kedua bagi kebijakan Perang Dingin AS
di Timur Tengah. Sampai tingkat tertentu,
nasionalisme semacam itu merupakan produk
sampingan dari pergolakan di seluruh dunia oleh
bangsa-bangsa terjajah melawan penguasa Eropa
mereka, sebuah pemberontakan yang dipicu oleh
gejolak dan dislokasi Perang Dunia II.
Namun para pejabat AS memperburuk
dimensi anti-Barat dari nasionalisme semacam
itu, sebagian dengan mendukung Israel atas
oposisi Arab dan sebagian dengan memperkuat
atau mengambil hak prerogatif Inggris—seperti
pangkalan militer di negara-negara Arab—yang
tampaknya penting untuk alasan keamanan

19
nasional. Para pemimpin nasionalis seperti Gamal
Abdel Nasser dari Mesir dan Muammar al-Qaddafi
dari Libya terus-menerus menantang kepentingan
Barat di wilayah tersebut.
Para pejabat Amerika memahami asal-usul
dan kekuatan nasionalisme, dan mereka kadang-
kadang mencoba meredakan atau
meringankannya dengan gerakan dan konsesi
politik. Tetapi mereka juga terkadang
memutuskan untuk membungkam kaum
nasionalis, seperti pada tahun 1953 ketika
Presiden Eisenhower menggunakan metode
rahasia untuk menggulingkan perdana menteri
anti-Barat Iran Mohammed Mossadegh dengan
alasan bahwa dia membuat negaranya siap untuk
eksploitasi komunis. Tindakan Eisenhower ini
memulihkan kekuasaan Shah Mohammed Reza
Pahlavi, yang memerintah Iran dengan syarat
bersahabat dengan Amerika Serikat selama 26
tahun tambahan. Tetapi warisan dari tindakan
Eisenhower juga mempertajam persepsi anti-
Amerika dari gerakan revolusioner yang

20
menguasai Iran pada 1979 dan memerintahnya
selama beberapa dekade setelahnya.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an terjadi
peningkatan tajam dalam tingkat keterlibatan
pemerintah AS di Timur Tengah. Mengadvokasi
rencana seperti Doktrin Nixon dan proposal
konsensus strategis, masing-masing, Presiden
Nixon dan Reagan berusaha untuk
mempromosikan kepentingan keamanan AS
dengan bermitra dengan kekuatan lokal melawan
pengaruh Soviet. Presiden Carter memusatkan
energinya untuk memecahkan kebuntuan Arab-
Israel yang mengakar, mencapai keberhasilan
sementara dengan menengahi perjanjian
perdamaian Mesir-Israel tahun 1979. Reagan
menganggap perlu menggunakan kekuatan militer
untuk membela kepentingan Amerika—
mengirimkan pesawat tempur untuk menyerang
Libya sebagai pembalasan atas dukungan negara
itu terhadap terorisme internasional dan
mengirim kapal angkatan laut ke Teluk Persia
untuk memerangi Iran ketika negara itu menolak
upaya AS untuk mengakhiri Iran–Perang Irak —

21
dan dia mengorganisir operasi rahasia yang besar
dan efektif untuk merongrong pendudukan Soviet
di Afghanistan.
Berakhirnya Perang Dingin menyiapkan
panggung untuk ledakan operasi militer AS yang
terkonsentrasi di wilayah tersebut. Dalam Perang
Teluk Persia 1990–1991, Presiden George H. W.
Bush memimpin Amerika Serikat, dalam
hubungannya dengan koalisi internasional yang
luas, dalam keterlibatan militer besar yang
dirancang untuk membalikkan penaklukan Irak
atas Kuwait. Setelah mengerahkan pasukan ke
Arab Saudi untuk mencegah ekspansi Irak ke
negara itu, Bush mengorganisir serangan balasan
multinasional yang membebaskan Kuwait.
Presiden memilih untuk tidak membebaskan Irak,
sebagai gantinya memilih kebijakan jangka
panjang untuk menahan Irak melalui campuran
sanksi keuangan, perlucutan senjata wajib, dan
pembatasan mobilitas militer. Kebijakan
penahanan ini diperpanjang oleh Presiden William
J. Clinton hingga awal tahun 2000-an. Dalam
proses menahan Irak, Amerika Serikat

22
mengembangkan kemitraan keamanan baru
dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Berakhirnya Perang Dingin dan kemenangan
dalam Perang Teluk Persia juga menciptakan peluang
bagi Amerika Serikat untuk mempromosikan upaya
perdamaian Arab-Israel. Kemenangan AS di teluk
membuat pemerintah di Washington memiliki tingkat
kredibilitas di benak para pemimpin Timur Tengah,
sementara runtuhnya Uni Soviet menghilangkan
negara pelindung radikal Arab dan dengan demikian
membuat mereka terbuka untuk proposal perdamaian
Barat. Pemerintahan George H. W. Bush memecahkan
kebekuan dengan mengatur Konferensi Madrid pada
Oktober 1991, yang menjadi preseden untuk negosiasi
damai yang berlangsung selama satu dekade. Pada
1993, para pemimpin Israel dan Palestina mencapai
kesepakatan untuk menegosiasikan perbedaan mereka
dalam jangka waktu yang terbatas, dan pada tahun
1994, Israel dan Yordania menandatangani perjanjian
perdamaian formal. Pejabat Amerika juga mendesak
keras untuk perjanjian Suriah-Israel dan untuk
interaksi politik dan ekonomi antara Israel dan
negara-negara Arab lainnya.

23
24
Menghadapi Radikalisme
Islam

SEMENTARA itu, Amerika Serikat juga


menghadapi masalah yang berkembang dengan
terorisme. Meskipun terorisme telah menurun
dalam skala global sejak 1980-an, Amerika Serikat
mengalami peningkatan serangan teroris dari
fundamentalis Islam pada 1990-an. Jaringan al-
Qaeda, yang bermula di bawah kepemimpinan
Osama bin Laden sebagai gerakan perlawanan
terhadap pendudukan Soviet di Afghanistan pada
1980-an, pada dasarnya menyatakan perang
terhadap Amerika Serikat dan negara-negara
Timur Tengah seperti Arab Saudi pada 1990-an.
Pada 1993–2000, al-Qaeda banyak
melakukan serangan pada aset AS di Amerika
Serikat, Kenya, Tanzania, Arab Saudi, dan

25
Yaman. Kemudian, yang paling terkenal, mereka
juga mengklaim telah melakukan serangan 11
September 2001 di AS. Strategi awal Clinton
untuk memerangi terorisme melalui aktivitas
intelijen, penegakan hukum, dan aktivitas militer
yang terbatas segera berubah setelah 9/11 menjadi
perang yang lebih tegas dan agresif melawan
terorisme yang diumumkan oleh Presiden George
W. Bush. Invasi AS ke Afghanistan pada 2001
membuyarkan kepemimpinan al-Qaeda dan
menghancurkan rezim Taliban yang telah
memberinya perlindungan.
Presiden Bush juga membuat keputusan
kontroversial untuk menghubungkan prakarsa
anti-terorisme dengan kebijakan lama untuk
membendung Irak. Di bawah bayang-bayang 9/11,
dia mengartikulasikan ketakutan bahwa
pemimpin Irak Saddam Hussein mungkin
mengembangkan senjata pemusnah massal dan
memberikannya kepada kelompok teroris, dengan
konsekuensi bencana bagi rakyat Amerika.
Meskipun kritik di dalam dan luar negeri
menuduh bahwa keadaan tidak memerlukan

26
serangan pendahuluan, sebagian besar rakyat
Amerika, yang terguncang oleh 9/11, memberi
presiden kebebasan yang luas. Pada Maret 2003,
Bush memerintahkan invasi ke Irak yang dengan
cepat menghancurkan rezim Saddam Hussein.
Dalam serangan yang berlangsung selama tiga
minggu, pasukan AS dan sekutu membongkar
pemerintah, menyebarkan tentara, dan
menduduki ibu kota. Diktator itu sendiri menjadi
buronan dan tertangkap bersembunyi di gudang
bawah tanah dekat Tikrit pada Desember 2003.
Euforia Amerika atas penaklukan cepat
kepada Irak segera memberi jalan bagi
keputusasaan atas pemberontakan hebat yang
melanda negara itu. Salah langkah taktis oleh
pejabat Amerika — seperti kekurangan staf
pasukan pendudukan AS dan membubarkan
tentara Irak — memungkinkan pemberontak
mengorganisir perlawanan bersenjata yang
menentang rencana Amerika untuk membangun
kembali negara itu. Pemberontak membunuh
ribuan tentara AS, orang asing yang bekerja untuk
otoritas pendudukan AS, dan PBB serta pekerja

27
bantuan dan lebih banyak orang Irak yang bekerja
sama dengan pendudukan AS. Terlepas dari
tantangan seperti itu, para pejabat AS bekerja
dengan tekun untuk membangun pemerintahan
yang stabil dan demokratis di Irak, mengadakan
pemilihan untuk menentukan kepemimpinan Irak
dan untuk menyetujui konstitusi yang ditulis oleh
majelis Irak terpilih. Namun, pada awal 2006,
pemberontakan tersebut telah memicu kekerasan
antarsektarian antara Muslim Syiah dan Sunni
yang mengancam akan meletus menjadi perang
saudara skala penuh.
Awal tahun 2000-an juga menyaksikan
lonjakan kekerasan Israel-Palestina yang sangat
membahayakan ambisi jangka panjang Amerika
untuk mempromosikan perdamaian Arab-Israel.
Kekerasan melanda Israel dan wilayah
pendudukan dan menghalangi rencana
perdamaian peta jalan yang diusulkan oleh koalisi
internasional dan dipromosikan oleh Amerika
Serikat. Kematian pemimpin Palestina Yasser
Arafat pada tahun 2004 tampaknya meredakan
ketegangan, dan penarikan Israel secara sepihak

28
oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dari
Jalur Gaza pada tahun 2005 menawarkan dasar
untuk penyelesaian. Ketidakmampuan Sharon
pada awal 2006, pemilihan pemerintah Palestina
yang didominasi oleh Hamas, dan gejolak politik di
kalangan warga Palestina, bagaimanapun,
memberikan alasan pesimisme di antara para
pendukung penyelesaian damai.
Tantangan yang dihadapi Amerika Serikat
di Timur Tengah diperparah oleh perbedaan
budaya yang nyata antara rakyat Amerika dan
Muslim Timur Tengah. Sementara pengamat AS
mencatat bukti keharmonisan antarkomunitas
dan sementara para pemimpin pemerintah
menekankan cita-cita universalis di balik
kebijakan Amerika dan toleransi mereka terhadap
keyakinan dan nilai-nilai Islam, suara-suara lain
menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang
berada di jalur berbahaya dengan Muslim Timur
Tengah karena perbedaan agama, suku, ideologi,
dan sejarah. Minoritas kecil di kedua belah pihak,
dalam banyak kasus diilhami oleh dogma agama,
sebenarnya mendukung konflik semacam itu.

29
30
Daftar Pustaka

Benjamin, Thomas. Encyclopedia of Western


Colonialism since 1450. Detroit: Macmillan
Reference USA, 2007.
Cleveland, William L. dan Martin Bunton. A History of
the Modern Middle East. Boulder: Westview Press,
2009.
Felton, John. Contemporary Middle East: A
Documentary History. Washington: CQ Press, 2008.
Fredriksen, John C.. Chronology of American Military
History. New York: Facts On File, 2010.
Halliday, Fred. The Middle East in International
Relations: Power, Politics and Ideology. Cambridge:
Cambridge UP, 2005.
Mattar, Philip. Encyclopedia Of The Modern Middle
East & North Africa. Farmington Hills: Thomson
Gale, 2004.
Remini, Robert V.. Short History of the United States.
New York: Harper Collins, 2009.
Tucke, Ernest. The Middle East in Modern World
History. New York: Routledge, 2019.
Tucker, Spencer C. (ed.). The Encyclopedia of Middle
East Wars: The United States in the Persian Gulf,

31
Afghanistan, and Iraq Conflicts. Santa Barbara:
ABC-CLIO, 2010.
Prifti, Bledar. US Foreign Policy in the Middle East:
The Case for Continuity. London: Palgrave
Macmillan, 2017.

32
33

You might also like