You are on page 1of 9

Al – Mawardi

A. Biografi
Nama lengkap Imam Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
bin al-Mawardi al-Bashri. Mawardi dilahirkan di Basrah tahun 364 H atau 975 M.
Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam
berorasi, berdebat, beragumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah
yang dihadapinya. Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahiranya.
Masa kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga ia tumbuh dewasa. Mawardi
merupakan seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai
tokoh terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada
dinasti Abbasiyah. Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai
penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari berbagai bidang ilmu seperti
ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politik. Bahkan ia dikenal sebagai tokoh Islam pertama
yang menggagas tentang teori politik bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama
yang menulis tentang politik dan administrasi negara lewat buku karangannya dalam
bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul al-ahkam al- sultaniyah.1

B. 6 pilar negara
Menurut al-Mawardi, berdirinya negara itu membutuhkan adanya enam pilar
sebagai berikut:
Pertama, agama sebagai inspirasi. Agama dibutuhkan sebagai pengontrol hawa
nafsu dan sebagai pembibing hati nurani serta sebagai pondasi kokoh untuk menciptakan
negara yang makmur.
Kedua, penguasa yang punya otoritas yang melekat dalam dirinya dengan
kekuasaannya, maka penguasa dapat mengkompromikan beberapa aspirasi yang berbeda,
dapat membangun negara mencapai tujuan dan pengamalan agama, mewujudkan
kesejahteraan, kehidupan dan martabat warga negara dan martabat warga negara.
Penguasa itu dapat disebut al-Imam, atau khalifah.
Ketiga, keadilan yang menyeluruh. Keadilan akan menciptakan kedamaian dan
kerukunan warga negara, respek dan loyalitas mereka kepada pemimpin kehidupan yang
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 58.
cerah, serta meningkatkan gairah mereka untuk berprestasi. Keadilan itu bermula dari
sikap fair terhadap diri sendiri kemudian kepada orang lain. Keadilan kepada orang lain
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu: pertama, adil kepada bawahan
(subordinat) seperti keadilan kepala negara kepada wakil atau penjabat eksekutif
bawahannya, keadilan pemimpin kepada pengikutnya. Keadilan ini diekspresikan
(ditampakkan) dengan cara kepala negara membuat kebijakan yang mudah di pahami
oleh rakyat, membela kebenaran, tidak memberi beban yang tidak kuat dipikul rakyat
serta tidak berbuat keras kepada rakyat; kedua, adil kepada atasan (superior) yaitu
keadilan yang dilakukan oleh rakyat kepada kepala negara, patuh, loyal dan siap
membantu negara; ketiga, adil kepada sejawat (peer) yaitu keadilan kepada orang yang
setara dengan kita. Diekspresikan antara lain dengan sikap menghormati tingkah laku
mereka, tidak dipermalukan dan tidak diserang
Keempat, keamanan semesta. Keamanan akan memberi inner peace (kedamaian
batin) kepada rakyat dan pada akhirya mendorong rakyat berinisiatif dan berkreatif dalam
membangun negara.
Kelima, kesuburan tanah air. Kesuburan tanah air akan menguatkan inisiatif
rakyat untuk menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan ekonomis lainnya sehingga
konflik antar penduduk dapat dikurangi.
Keenam, harapan bertahan dan mengembangkan kehidupan. Kehidupan manusia
melahirkan generasi-generasi. Generasi sekarang pemberi warisan bagi generasi masa
depan. Generasi sekarang harus mempersiapkan sarana dan sarana, struktur dan
infrastruktur bagi generasi mendatang. Orang yang tidak mempunyai harapan bertahan
(hope of survival) maka ia dalam hidupnya tidak mempunyai semangat dan usaha untuk
hidup mapan, cukup dan lebih dari kebutuhan minimumnya. Ia tidak punya usaha
mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan bagi anak, cucu dan keturunannya. Akan tidak
peduli kepada nasib dan kemakmuran hidup mereka.2

C. Mekanisme pemilihan kepala daerah

2
Moh. Sholehuddin,” Konsep Kenegaraan dalam Pemikiran Politik al-mawardi,” Jurnal Review Politik Vol 04, No
1 (Juni 2014), h. 110-112.
Pelembagaan khilâfah atau imâmah menurut al-Mawardi adalah suatu hal yang
fardhu kifâyah berdasarkan ijmak ulama. Pandangan ini berdasarkan realitas sejarah yang
terjadi pada masa al-Khulafâ’ al-Rasyîdûn serta khalifah-khalifah sesudah mereka, baik
itu Bani Umayyah ataupun Bani Abbasiyah, yang merupakan lambang kesatuan politik
Islam. Al-Mawardi menyandarkan teori khilâfah (pelembagaan negara) kepada ayat al-
Qur’an yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Syafi‘i Ma‘arif menjelaskan dalam bukunya alasan diperlukan imâmah atau
khilâfah adalah untuk merealisasikan ketertiban dan menghindari keadaan anarkis yang
pasti terjadi. Selain itu, institusi imâmah atau khilâfah berasal dari perintah agama lewat
ijmak. Dan institusi khilâfah atau imâmah (pelembagaan negara) hanyalah mungkin,
apabila konsep taat melekat pada institusi itu. Di samping itu, terdapat juga alasan
sosiologis dan praktis betapa perlunya imâmah atau khilâfah yang berdasarkan nilai-nilai
keagamaan tersebut. Untuk mencapai kehidupan yang teratur dan terhindar dari
kezaliman atau saling bermusuhan, perlu adanya kekuatan yang memaksa. Karena,
manusia cenderung bersaing dalam memperoleh kepentingannya. Menurut al-Mawardi,
ada empat kekuatan yang dapat mencegah seseorang dari berbuat kesalahan di atas bumi,
yaitu akal, agama, kekuasaan, dan kondisi fisik yang lemah, yang tidak memungkinkan
seseorang untuk berbuat aniaya pada orang lain Karena agama dapat mencegah seseorang
dari berbuat dosa, mendorong seseorang untuk selalu mengabdi kepada Tuhan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai dan ikatan kasih sayang sesama umat manusia.
Al-Mawardi mencoba memberikan solusi untuk mengurangi wewenang khalifah
(kepala negara), berupaya untuk menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis, serta
menciptakan blue print prosedur dalam pengangkatan khalifah. Menurut al-Mawardi,
untuk memilih serta mengangkat kepala negara dapat dilakukan dengan dua pola.
Pertama, dengan cara dipilih oleh ahl al-hall wa al-‘aqd (parlemen), mereka yang
memiliki wewenang untuk mengikat serta mengurangi wewenang khalifah atau disebut
model al-ikhtiyâr. Kedua, ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya. Adapun model
pertama senada dengan demokrasi dalam konteks modern. Ia juga menambahkan, bahwa
pemilihan suatu kepala negara harus memenuhi dua unsur. Pertama, ahl al-ikhtiyâr atau
orang yang memiliki wewenang untuk memilih kepala negara (khalîfah). Kedua, ahl al-
imâmah atau ahl al-khilâfah atau orang yang mempunyai hak dalam menduduki suatu
jabatan kepala negara.
Unsur pertama harus memenuhi syarat adil, mengetahui dengan baik kandidat
kepala negara dan memiliki pengetahuan yang luas, dan bijak. Sehingga dapat
mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara, serta bijaksana dan idealis dalam
menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terhitung akan kejujurannya dalam
memimpin umat Islam. Namun, siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyâr dan
bagaimana tata cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan lebih rinci oleh al-
Mawardi.
Dari uraian mengenai beberapa cara pengangkatan khalifah, baik yang melalui
pemilihan maupun penunjukkan, dapat disimpulkan bahwa al-Mawardi hanya
menggambarkan sebagian pendapat tanpa memberikan preferensi serta pilihannya.
Adapun sikap kehatihatiannya itu didasarkan atas fakta sejarah yang menunjukkan tidak
ditemukannya sistem yang baku tentang pengangkatan suatu kepala negara dalam Islam.3

D. Pemakzulan kepala daerah


Imam Al-Mawardi di dalam bukunya, Al-Ahkam As-Sulthaniyah menjelaskan
bahwa terdapat 2 kondisi yang menyebabkan bahwa seorang pemimpin dapat dipecat,
yaitu: (1) Cacat dalam keadilannya; dan (2) Cacat tubuh. Cacat dalam keadilannya dalam
hal ini diartikan sebagai fasik. Cacat dalam keadilannya dibagi menjadi dua. Pertama,
akibat dari syahwat. Kedua, akibat dari syubhat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
“akibat dari syahwat” berkaitan dengan tindakan-tindakan organ tubuh yang mengerjakan
larangan dan kemungkaran karena menuruti syahwat dan tunduk kepada hawa nafsu.
Kefasikan ini membuat seseorang tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan memutus
kelangsungan kepemimpinannya. Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin,
pemimpin tersebut harus mengundurkan diri dan apabila dia kembali ke jalan Allah SWT

3
Rashda Diana, Siswanto Masruri, Surwandono, “Etika Politik dalam Perspektif al-Mawardi,” Jurnal TSAQAFAH
Vol 14, No 2 (November 2018), h. 375-378.
(tidak fasik) hal tersebut tidak berlaku surut sehingga apabila ingin menjadi pemimpin
harus ada pengangkatan baru.
Kedua, yang dimaksud dengan “akibat dari syubhat” dalam hal ini adalah tidak
sesuai dengan kebenaran. Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai hal ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syubhat menyebabkan seseorang tidak boleh
diangkat sebagai pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Namun,
sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa syubhat tidak menghalangi seseorang untuk
dijadikan pemimpin dan tidak harus mundur dari kepemimpinannya, sebagaimana
syubhat tidak membatalkan jabatan hakim dan saksi.
Di dalam bukunya, Imam Al-Mawardi membagi cacat pada tubuh menjadi 3
bagian, yaitu: (1) Cacat panca indera; (2) Cacat organ tubuh: (3) Cacat tindakan.
1. Cacat Panca Indera
Cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin Ada dua jenis
cacat yang menghalangi seseorang untuk dapat diangkat menjadi pemimpin yaitu hilang
ingatan dan hilang penglihatan.
Hilang ingatan dibagi menjadi dua yaitu:
(a) Hilang ingatan yang mempunyai peluang untuk sembuh. Hilang ingatan seperti ini
tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan tidak
mengharuskannya mundur sebagai pemimpin. Hal ini dikarenakan hilang ingatan seperti
itu termasuk penyakit ringan yang dapat sembuh dalam waktu yang cepat.
(b) Hilang ingatan yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk sembuh. Contohnya
seperti gila. Gila sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, gila terus menerus tanpa ada
harapan untuk sembuh. Gila yang seperti ini menghalangi seseorang untuk dapat
dijadikan pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Kedua, gila
yang pulih dan kembali sehat. Permasalahan seperti ini harus ditinjau secara mendalam.
Apabila masa gilanya lebih lama daripada masa normalnya, maka ia dianggap sebagai
orang yang gila terus menerus. Oleh sebab itu, ia tidak dapat diangkat menjadi pemimpin
dan kepemimpinannya tidak dapat diteruskan.
Selain hilang ingatan, yaitu hilang penglihatan yang terjadi pada seseorang
membuatnya tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan sekaligus menghentikan
kepemimpinannya apabila terjadi pada seorang pemimpin. Namun, apabila gangguan
penglihatannya hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, maka hal tersebut tidak
menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan tidak menghentikan
kepemimpinannya. Adapun lemah penglihatan, jika masih dapat mengenai orang per
orang, maka tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin. Namun, jika tidak
bisa mengenali orang per orang, maka membuatnya tidak bisa diangkat menjadi
pemimpin dan menghentikan kepemimpinannya.
Cacat yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin Cacat
panca indera yang tidak mempengaruhi kepemimpinan ada 2, yaitu:
(a)Cacat di hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu
(b)Kehilangan alat perasa yang membedakan rasa makanan Kedua cacat di atas dianggap
tidak mempengaruhi kepemimpinan dikarenakan kedua cacat tersebut tidak
mempengaruhi pola pikir dan perbuatan.

2. Cacat organ tubuh


Imam Al-Mawardi membagi cacat organ tubuh dalam 4 bagian, yaitu:
1) Hilangnya organ tubuh yang tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin
dan tidak menghentikan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh yang
tidak mempengaruhi pola pikir, perbuatan, gerak, dan ketajaman penglihatan
2) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan
membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh
yang mempengaruhi kerja seperti hilangnya kedua tangan atau kedua kaki yang
menyebabkan pemimpin tidak mampu bekerja dan bertindak cepat
3) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi
pemimpin namun diperdebatkan sah tidaknya kelangsungan kepemimpinannya seperti
hilangnya organ tubuh yang menyebabkan seseorang hanya mampu mengerjakan
sebagian pekerjaan. Contohnya yaitu kehilangan salah satu tangan atau salah satu kaki
4) Hilangnya organ tubuh yang menghentikan kelangsungan kepemimpinan seorang
pemimpin namun diperdebatkan apakah hal tersebut menghalangi seseorang untuk
diangkat sebagai pemimpin yaitu seperti kelainan fisik yang tidak mempengaruhi kerja
dan gerak, seperti hidungnya jelek atau salah satu matanya rabun sehingga tidak dapat
melihat dengan jelas
3. Cacat tindakan
Imam Al-Mawardi membagi cacat tindakan menjadi 2 jenis yaitu:
1) Hajru
Dalam istilah fiqh yang dimaksud dengan Hajru adalah pembatasan gerak yang
ditetapkan pada seseorang dikarenakan selama ini tindakan-tindakannya tidak benar.
Contohnya, orang yang boros dan sering menghambur-hamburkan uang. Hal tersebut
apabila dibiarkan akan membahayakan yang bersangkutan dan masyarakat umum.
Oleh sebab itu, untuk kepentingan umum orang tersebut dapat dikenakan Hajru
(pembatasan gerak). Namun, jika dalam waktu tertentu orang tersebut menyadari
kesalahannya dan mampu mengelola keuangan dengan baik, maka Hajru dapat
dicabut darinya. Sebaliknya, Jika orang tersebut tidak mengakui kesalahannya, maka
Hajru tidak dapat dicabut dari orang tersebut.
2) Kalah
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kalah adalah pemimpin jatuh menjadi tawanan
pihak musuh yang menang dan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman
musuh. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak dibenarkan untuk dijadikan
pemimpin karena dalam kondisi tertawan seseorang tidak mampu memikirkan urusan
dan permasalahan kaum muslimin. Namun, jika seseorang tertawan oleh musuh
ketika sebagai pemimpin, maka seluruh ummat wajib membebaskannya karena di
antara pemimpin yaitu mendapatkan pertolongan.4

E. Teori kontrak social


Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanah dari Allah untuk
menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia. Dari situ, manusia dituntut
untuk saling membantu dan bekerja sama antarsesama. Dalam pandangan al-Mawardi,
ada dua faktor utama mengapa manusia harus hidup bekerja sama dan saling
tolongmenolong. Pertama, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang lemah, baik secara
fisik ataupun secara psikis. Kedua, manusia diciptakan Allah dengan kemampuan yang

4
Catur Alfath Satriya,” Perbandingan Syarat Impeachment di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pemikiran
Imam Al-Mawardi.” Jurnal Syariah 4 (Juli 2016), h. 71-74.
berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sehingga antarmereka harus bersinergi dan
bekerja sama.
Meskipun pada dasarnya manusia suka saling menolong, tapi manusia cenderung
destruktif dan suka menguasai milik orang lain. Maka kebersamaan tidak menjamin
keselamatan jiwa dan harta seseorang dari perampasan dan penindasan orang lain, tanpa
adanya ikatan yang kuat yang menjadikan seseorang saling terikat. Menurut al-Mawardi,
ikatan sosial ini muncul karena faktor agama (al-dîn), pertalian darah (nasab),
perkawinan (mushâharah), dan persaudaraan serta kasih sayang antarumat manusia
(mawaddah), bahkan muncul karena keinginan bersama untuk mewujudkan kebaikan (al-
birr) di muka bumi.
Ikatan sosial ini, menurut al-Mawardi, akan mampu secara efektif meredam
konflik yang muncul dari dalam negara sekaligus menumbuhkan kesejahteraan bagi
warganya. Dalam ikatan-ikatan tersebut juga terdapat sendi dasar utama bagi tegaknya
stabilitas sosial dan politik sehingga kemakmuran menjadi merata di antara mereka.
Kontrak sosial ini merupakan perjanjian atas dasar suka rela. Karenanya, al-Mawardi
menyatakan bahwa kepala negara sebagai lingkup garapan khalifah kenabian bertugas
untuk memelihara agama serta mengatur dunia dan mengesahkannya. Yang menarik
adalah bahwa al-Mawardi telah mengemukakan teori kontrak sosialnya pada abad XI
Masehi, sedangkan teori ini baru muncul pertama kali di Eropa pada abad XVI Masehi.
Artinya, pandangan al-Mawardi tentang teori kontrak sosial merupakan pemikiran
modern yang sekarang banyak dianut oleh bangsa-bangsa maju. Kontrak sosial ini
meniscayakan check and balance antara pemerintah dan rakyat. Maka dari itu,
pemerintah tidak dapat berbuat sewenang-wenang karena adanya koridor-koridor yang
harus diikutinya.
Menurut al-Mawardi, untuk menciptakan kerja sama yang baik antarwarga
masyarakat, maka institusi dalam suatu negara menjadi sangat diperlukan.
Penyelenggaraan pemerintah (kenegaraan) harus melalui kontrak sosial, yakni koperasi
antara kepala negara (eksekutif) dengan kelompok ahl al-hall wa al-‘aqd (legislatif).
Sistem pemerintahan model al-Mawardi ini bersifat realistis karena berangkat dari
kondisi riil masyarakat itu sendiri. Bagi al-Mawardi, suksesi kepemimpinan haruslah
melalui dewan legislatif (ahl al-ikhtiyâr) dengan melihat syarat-syarat kelayakan
kepemimpinan yang dimiliki. Al-Mawardi tidak memastikan dengan mutlak bagaimana
pelaksanaan suksesi yang dimaksud. Jadi, pelaksanaan suksesi bisa saja dilakukan dengan
cara pemilihan (pemilu), melalui tim formatur, atau penunjukan langsung.5

5
Rashda Diana, Siswanto Masruri, Surwandono, “Etika Politik dalam Perspektif al-Mawardi,” Jurnal TSAQAFAH
Vol 14, No 2 (November 2018), h. 378-379.

You might also like