You are on page 1of 3

biasanya yang namanya bencana alam itu ya seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami,

angin puting beliung, atau yang sebangsa itu. disaster yang natural. disaster yang terjadinya
karena faktor god will (skenarionya sang penguasa alam). lha, kalau bencana itu terjadi karena
faktor keteledoran manusia, apa iya disebut bencana alam?
penyebab semburan ’lumpur lapindo’

setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas


tersebut.

pertama, adalah aspek teknis. pada awal tragedi, lapindo


bersembunyi di balik gempa tektonik yogyakarta yang terjadi pada hari yang
sama. hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan
lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) yogya yang
mengakibatkan kerusakan sedimen.7 namun, hal itu dibantah oleh para ahli,
bahwa gempa di yogyakarta yang terjadi karena pergeseran sesar opak tidak
berhubungan dengan surabaya.8 argumen liquefaction lemah karena biasanya
terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung,
bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.9 lagipula, dengan merujuk gempa di
california (1989) yang berkekuatan 6.9 mw, dengan radius terjauh
likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter gempa, maka karena
gempa yogya lebih kecil yaitu 6.3 mw seharusnya radius terjauh likuifaksi
kurang dari 110 km.10 akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka,
seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton
sebagai sampul.11 hal itu diakui bahwa semburan gas lapindo disebabkan
pecahnya formasi sumur pengeboran.12 sesuai dengan desain awalnya, lapindo
harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20
inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing
13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 ketika lapindo mengebor lapisan bumi dari
kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing
9-5/8 inci. akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang
menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur.
sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap
blow out preventer (bop) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
namun, dari informasi di lapangan, bop telah pecah sebelum terjadi
semburan lumpur. jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis
dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur
operasional standar

"enak sekali jadi pengusaha lapindo", demikian komentar seorang teman. setelah proyek
daripada pengeboran daripada pt lapindo brantas inc. itu menimbulkan bencana karena
keteledoran pengusahanya, lalu berlindung di balik tp2ls dpr. itu artinya, tinggal gelangang colong
playu (lari dari tanggung jawab). tinggal pemerintah yang ngurusi gelangang-nya. lha, pemerintah
ini kok ya mau-maunya ditinggali gelanggang.... opo pemerintah wis sugih? (apa pemerintah
sudah kaya?).

sejatinya memang bukan persoalan kaya atau belum kaya, punya uang atau belum punya uang,
dalam menyelesaikan masalah bencana lumpur lapindo. melainkan lebih kepada tanggungjawab
moral dan professional pihak pengusahanya.

jelas-jelas bencana lumpur itu terjadi sebagai akibat dari keteledoran atau kecerobohan pihak
pengusaha dalam memenuhi sop (standart operating prosedure) dalam proses pengeboran. hal
ini sudah banyak dikaji oleh para ahli yang kompeten di bidangnya dan dipublikasi di berbagai
media. maka siapapun tahu siapa yang seharusnya paling bertanggungjawab atas akibat yang
ditimbulkan oleh kegagalan itu.
kini, masalah menjadi meluber seperti luberannya lumpur lapindo di sidoarjo. bukan lagi menjadi
masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara moral dan professional. melainkan
sudah berubah menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara politis. dan,
sidang paripurna dpr pun menggelar pembahasan ini. sementara wapres jusuf kalla menegaskan
: "bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis".

politisasi bencana lumpur lapindo barangkali hanya masalah ketok palu di dpr. tapi "implikasinya
sangat luas dan tidak ringan", kata ahli hukum tata negara ugm, denny indrayana. sebab,
bagaimana menyembuhkan cedera rasa keadilan masyarakat sidoarjo yang menjadi korban
lumpurlah yang sebenarnya paling mendesak diberikan solusi. bagaimana mempersingkat
proses tarik-ulur pemenuhan hak-hak para korban bencana, bukan malah ditarik-tarik terus,
enggaaak.... selesai-selesai. merekalah (mereka masyarakat maksudnya, bukan anggota dpr)
yang paling merasakan beban penderitaan akibat bencana lapindo.

rasa apatis masyarakat terhadap proyek-proyek padat modal dan padat teknologi seharusnya
lebih diutamakan untuk secepatnya diantisipasi. sebab implikasinya bukan tidak mungkin
menumbuhkan rasa tidak percaya masyarakat pada umumnya terhadap proyek-proyek semacam
lapindo, ataupun bentuk-bentuk proyek investasi yang lain. bagaimana agar kelak masyarakat
tidak menjadi trauma dalam menyikapi adanya proyek investasi yang sedang digalakkan
pemerintah. jangan-jangan kalau nanti ada masalah, tidak ada penyelesaian yang adil dan malah
merepotkan saja.
bagaimana melihat multiplier effect dari penanganan bencana semacam lumpur lapindo ini?
mencoba melihat kembali tentang perlunya studi amdal bagi setiap proyek investasi (lihat :
keputusan kepala bapedal no. 8 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan
informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup), maka sosialisasi kepada
masyarakat terhadap proyek yang akan dijalankan adalah salah satu tahap awal yang harus
dilakukan.

apa yang sekarang terjadi ketika tahap sosialisasi itu dijalankan? masyarakat akan bertanya
dengan kritis apa yang akan dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha jika terjadi bencana
"semacam" lumpur lapindo. artinya, efek traumatis masyarakat setiap kali ada proyek investasi di
daerahnya nampaknya memang sudah tertanam.

seorang teman bercerita, kecenderngan masyarakat yang skeptis terhadap adanya proyek
investasi nampak dari komentar mereka : "lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya". itu
karena cara penanganan korban lumpur lapindo selalu menjadi referensi kekhawatiran mereka.
dan, memulihkan atau membalikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap adanya proyek
investasi bukanlah pekerjaan mudah. tidak semudah membelokkan urusan moral dan
professionalisme menjadi urusan politis.

maka sebenarnya dapat dipahami kalau masyarakat sidoarjo muring-muring (marah) lalu menjadi
sensitif kalau sudah bicara tentang upaya memperjuangkan hak-hak mereka. juga harus
dipahami kalau masyarakat di tempat lain menjadi trauma terhadap proyek-proyek investasi yang
sedang digalang pemerintah. bukan saja terhadap proyek yang padat modal dan padat teknologi
yang bersentuhan langsung dengan alam, melainkan juga proyek di berbagai sektor industri.

bagaimana pemerintah menyikapi bencana (dan rentetan dampaknya) lumpur lapindo dengan
bijaksana dengan memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat yang menjadi korban, dan
bagaimana membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek investasi
lainnya, kiranya perlu lebih dikedepankan. agar masyarakat sebagai stakeholder sebuah proyek
investasi tidak sekedar menjadi penonton, atau peminta sumbangan ketika perayaan 17-an.

perusahaan adalah pihak yang paling berkewajban memposisikan masyarakat sebagai


stakeholder, dan paling bertanggungjawab menyelesaikan jika terjadi masalah. bukannya malah
tinggal gelanggang colong playu itu tadi. tinggal gelanggang-nya diurus pemerintah dan
masyarakatnya yang menjadi korban.

You might also like