Professional Documents
Culture Documents
angin puting beliung, atau yang sebangsa itu. disaster yang natural. disaster yang terjadinya
karena faktor god will (skenarionya sang penguasa alam). lha, kalau bencana itu terjadi karena
faktor keteledoran manusia, apa iya disebut bencana alam?
penyebab semburan ’lumpur lapindo’
"enak sekali jadi pengusaha lapindo", demikian komentar seorang teman. setelah proyek
daripada pengeboran daripada pt lapindo brantas inc. itu menimbulkan bencana karena
keteledoran pengusahanya, lalu berlindung di balik tp2ls dpr. itu artinya, tinggal gelangang colong
playu (lari dari tanggung jawab). tinggal pemerintah yang ngurusi gelangang-nya. lha, pemerintah
ini kok ya mau-maunya ditinggali gelanggang.... opo pemerintah wis sugih? (apa pemerintah
sudah kaya?).
sejatinya memang bukan persoalan kaya atau belum kaya, punya uang atau belum punya uang,
dalam menyelesaikan masalah bencana lumpur lapindo. melainkan lebih kepada tanggungjawab
moral dan professional pihak pengusahanya.
jelas-jelas bencana lumpur itu terjadi sebagai akibat dari keteledoran atau kecerobohan pihak
pengusaha dalam memenuhi sop (standart operating prosedure) dalam proses pengeboran. hal
ini sudah banyak dikaji oleh para ahli yang kompeten di bidangnya dan dipublikasi di berbagai
media. maka siapapun tahu siapa yang seharusnya paling bertanggungjawab atas akibat yang
ditimbulkan oleh kegagalan itu.
kini, masalah menjadi meluber seperti luberannya lumpur lapindo di sidoarjo. bukan lagi menjadi
masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara moral dan professional. melainkan
sudah berubah menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara politis. dan,
sidang paripurna dpr pun menggelar pembahasan ini. sementara wapres jusuf kalla menegaskan
: "bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis".
politisasi bencana lumpur lapindo barangkali hanya masalah ketok palu di dpr. tapi "implikasinya
sangat luas dan tidak ringan", kata ahli hukum tata negara ugm, denny indrayana. sebab,
bagaimana menyembuhkan cedera rasa keadilan masyarakat sidoarjo yang menjadi korban
lumpurlah yang sebenarnya paling mendesak diberikan solusi. bagaimana mempersingkat
proses tarik-ulur pemenuhan hak-hak para korban bencana, bukan malah ditarik-tarik terus,
enggaaak.... selesai-selesai. merekalah (mereka masyarakat maksudnya, bukan anggota dpr)
yang paling merasakan beban penderitaan akibat bencana lapindo.
rasa apatis masyarakat terhadap proyek-proyek padat modal dan padat teknologi seharusnya
lebih diutamakan untuk secepatnya diantisipasi. sebab implikasinya bukan tidak mungkin
menumbuhkan rasa tidak percaya masyarakat pada umumnya terhadap proyek-proyek semacam
lapindo, ataupun bentuk-bentuk proyek investasi yang lain. bagaimana agar kelak masyarakat
tidak menjadi trauma dalam menyikapi adanya proyek investasi yang sedang digalakkan
pemerintah. jangan-jangan kalau nanti ada masalah, tidak ada penyelesaian yang adil dan malah
merepotkan saja.
bagaimana melihat multiplier effect dari penanganan bencana semacam lumpur lapindo ini?
mencoba melihat kembali tentang perlunya studi amdal bagi setiap proyek investasi (lihat :
keputusan kepala bapedal no. 8 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan
informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup), maka sosialisasi kepada
masyarakat terhadap proyek yang akan dijalankan adalah salah satu tahap awal yang harus
dilakukan.
apa yang sekarang terjadi ketika tahap sosialisasi itu dijalankan? masyarakat akan bertanya
dengan kritis apa yang akan dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha jika terjadi bencana
"semacam" lumpur lapindo. artinya, efek traumatis masyarakat setiap kali ada proyek investasi di
daerahnya nampaknya memang sudah tertanam.
seorang teman bercerita, kecenderngan masyarakat yang skeptis terhadap adanya proyek
investasi nampak dari komentar mereka : "lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya". itu
karena cara penanganan korban lumpur lapindo selalu menjadi referensi kekhawatiran mereka.
dan, memulihkan atau membalikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap adanya proyek
investasi bukanlah pekerjaan mudah. tidak semudah membelokkan urusan moral dan
professionalisme menjadi urusan politis.
maka sebenarnya dapat dipahami kalau masyarakat sidoarjo muring-muring (marah) lalu menjadi
sensitif kalau sudah bicara tentang upaya memperjuangkan hak-hak mereka. juga harus
dipahami kalau masyarakat di tempat lain menjadi trauma terhadap proyek-proyek investasi yang
sedang digalang pemerintah. bukan saja terhadap proyek yang padat modal dan padat teknologi
yang bersentuhan langsung dengan alam, melainkan juga proyek di berbagai sektor industri.
bagaimana pemerintah menyikapi bencana (dan rentetan dampaknya) lumpur lapindo dengan
bijaksana dengan memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat yang menjadi korban, dan
bagaimana membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek investasi
lainnya, kiranya perlu lebih dikedepankan. agar masyarakat sebagai stakeholder sebuah proyek
investasi tidak sekedar menjadi penonton, atau peminta sumbangan ketika perayaan 17-an.