You are on page 1of 13

Tetanus Ismoedijanto, Widodo Darmowandowo

BATASAN Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.

PATOGENESIS Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.

GEJALA KLINIK

Gejala klinik yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul dengan kejang tonik dan klonik. Masa inkubasi 5-14 hari, period of onset (waktu antara gejala pertama sampai timbul kejang pertama) yang pendek dapat dijadikan indikator tetanus berat dengan berbagai penyulit. Gejala awal adalah trismus; pada neonatus tidak dapat/sulit menetek, mulut mencucu. Pada anak besar berupa trismus, akibat kekakuan otot masseter. Disertai dengan kaku kuduk, risus sardonikus (karena kekakuan otot mimik, opistotonus, perut papan. Selanjutnya dapat diikuti kejang apabila dirangsang atau menjadi makin berat dengan kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi status konvulsivus. Spasme larynx merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai, bronchopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas nafas dan status konvulsivus. Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan perjalanan klinik. Digunakan kriteria berat penyakit Surabaya yang lebih sederhana dibanding cara penilaian dari Abblet, skor Phillips, skor Dakar atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian Rizal menunjukkan adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan Kriteria Abblet. Penilaian klinis yang menitik beratkan pada perbedaan jenis kejang, dapat dilakukan oleh paramedik, sehingga perubahan dosis dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.

Derajat penyakit tetanus Surabaya Derajat I (tetanus ringan)


Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm) Kekakuan umum Tidak dijumpai kejang Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)


Trismus (lebar kurang dari 1 cm) Kekakuan umum makin jelas Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Derajat III a. tetanus berat


Trismus berat (kedua baris gigi rapat) Otot sangat spastis, timbul kejang spontan Takipnea, takikardia Apneic spell (spasme laryng)

Derajat III b. tetanus dengan gangguan saraf otonom


Gangguan otonom berat Hipertensi berat dan takikardi, atau Hipotensi dan bradikardi Hipertensi berat atau hipotensi berat

LANGKAH DIAGNOSTIK Anamnesis Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi. Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi tetanus/BUMIL/WUS

Pemeriksaan fisik Adanya kekakuan lokal atau trismus Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki Adanya penyulit

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Diagnosis 1. 2. 3. Anamnesis : partus non steril, status imunisasi, masa inkubasi, period of onset, luka tusuk, otitis media Pemeriksaan fsik : kekakuan otot, kejang, kesadaran baik. Diagnosis berdasarkan data klinik, tidak ada pemeriksaan penunjang yang membantu

Diagnosa banding Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler

Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies keracunan striknin, efek simpang fenotiazin, tetani, epilepsi.

PENYULIT Waspadai adanya : Gangguan ventilasi paru, Aspirasi pneumonia, Bronkopneumonia, atelektasis Emfisema mediastinal, pneumotoraks, Sepsis, Fraktur vertebra atau fraktur tulang paha.

TATALAKSANA Terapi dasar tetanus Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam

Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai. Imunisasi aktif-pasif Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m. Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.

Anti konvulsi

Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) : Bila datang dengan kejang diberi diazepam : neonatus bolus 5 mg iv anak bolus 10 mg iv

Dosis rumatan maximal : anak 240 mg/hari neonatus 120 mg/hari

Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi. Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari) Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.

Perawatan luka atau port dentree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi. Terapi suportif Bebaskan jalan nafas Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien) Pemberian oksigen Perawatan dengan stimulasi minimal Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Tetanus ringan dan sedang Diberikan pengobatan tetanus dasar Tetanus sedang Terapi dasar tetanus Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi) Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.

Tetanus berat/sangat berat Terapi dasar seperti di atas Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi Balans cairan dimonitor secara ketat. Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam. Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan -blocker seperti propanolol/ dan - blocker labetalol.

PENCEGAHAN I. Imunisasi aktif a. Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi). b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card). II. Pencegahan pada luka

Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang Luka ringan dan bersih Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin

Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

Luka sedang/berat dan kotor Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain. Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U.

MONITORING I. Sekuele

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama. Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat. Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang


Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 : 981. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill living stone, Edenburgh, hal. 759-786. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.

6.

Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis Childhood, 53 : 737-79. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin pharm therap 4 : 36-61. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 1-16.

7. 8. 9.

10. M. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan kriteria Ablett. Karya Akhir. 11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South East Asia Journal of Tropical medicine and hygine.

TERAPI IMUNOGLOBULIN PADA TETANUS Dibuat oleh: Kristy K,Modifikasi terakhir pada Tue 07 of Jun, 2011 [23:17 UTC] Abstrak Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan mneingkatnya tonus otot dan spame, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Chlostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neuroligis local. Pasien perempuan usia 58 tahun dengan keluhan sulit membuka mulut dan kejang yang terjadi berulang. Pasien demam tidak begitu tinggi, seluruh tubuh terasa nyeri dan kaku, sulit untuk digerakkan. Kejang terjadi berulang-ulang selama 2- menit, sebelum kejang tubuh terasa amat nyeri, badan melengkung (epitotonus), dan tidak didapatkan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus, kaku kuduk, dan rigiditas pada anggota gerak. Pasien tersebut dirawatinapkan dalam ruang isolasi dengan minimal stimulant dan mendapatkan terapi antibiotic boardspectrum golongan sefalosporin, immunoglobulin antitoksin tetanus, muscle relaxan, dan antipiretik-analgesik golongan NSAID. Kata kunci : tetanus, immunoglobulin

Kasus Seorang perempuan usia 58 tahun datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sulit membuka mulut dan kejang berulang-ulang. Tiga hari SMRS seluruh badan terasa kaku dan kemeng, dan sulit untuk berjalan. Seluruh badan terasa nyeri, perut terasa kaku dan keras. Susah membuka mulut, bicara susah dan tidak begitu jelas, sulit mengunyah dan menelan makanan. Tidak ada nyeri telan. Pasien demam tidak begitu tinggi, keluar banyak keringat, tidak menggigil, tidak mengigau. Pasien kejang berulang-ulang dengan posisi badan melengkung, kejang terjadi 2-3 menit. Sebelum kejang seluruh badan pasien terasa nyeri. Selama kejang pasien sadar. pasien mengaku tidak mengalami luka dalam 1 minggu terakhir. Pasien bekerja sebagai petani dan tidak pernah menggunakan alas kaki selama bekerja. Riwayat penyakit degenerative dan epilepsy disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 150/80 mmHg. Pada pemeriksaan kepala didapatkan trismus dan kaku kuduk. Pemeriksaan thorax tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan peristaltic (+) menurun, abdomen teraba tegang dan nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen. Kedua ekstrimitas inferior terasa nyeri dan sulit diangkat. Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis (AL: 14.300).

Diagnosis Tetanus

Terapi Penatalaksanaan pasien tersebut dengan menempatkan pasien pada ruang isolasi dengan minimalisir stimulus. Pada pasien terpasang infuse ringer laktat 20 tetes permenit. Pemberian immunoglobulin TAT 50.000 U secara intravena dan TAT 50.000 U secara intramuscular. Pemberian antibiotic broad spectrum golongan sefalosforin (ceftriaxon 2 x 1 gram) bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, antikonvulsan golongan diazepam ( 2 ampul per drip), antipiretik-analgesik golongan NSAID (paracetamol 3 x1).

Dikusi Pasien datang dengan keluhan sulit membuka mulut dan menelan. Keluhan ini diikuti dengan demam dan nyeri pada seluruh badan, selain itu pasien kejang yang terjadi berulang-ulang. Setiap kejang didahului dengan rasa nyeri pada seluruh tubuh. Kejang tejadi selama 2-3 menit, badan melengkung setiap kejang (epitotonus), dan pasien sadar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus (+), rigiditas pada anggota gerak, dan kaku kuduk (+). Nyeri tekan didapatkan pada seluruh lapang pandang abdomen, peristaltic usus makin hari makin menurun. Untuk menegakkan diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Adanya riwayat luka bukanlah sebagai dasar diagnosis tetanus, karena tetanus dapat terjadi pada individu yang mengaku tidak pernah mengalami luka yang kotor dan dalam. Pasien ini diberikan TAT (tetanus antitoxin) 50.000 unit IV dan 50.000 IM. Pemberian antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang pernah terikat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera. Sedangkan antitoksin tetanus kuda lebih murah disbanding antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas dan sserum sickness syndrome. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis 3000-6000 unit intramuscular, biasanya dengan dosis terbagi karena volemenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Immunoglobulin intravena merupakan alternative lain daripada TIG tetapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Mafaat memberikan antitoksin pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh

antitoksin yang panjang. Antibody tidak dapat menembus sawar darah otak. Pemberian antibody intratekal masih merupakan eksperimen.

Kesimpulan Diagnosis tetanus ditegakkan mutlak berdasarkan temuan klinis, trias tetanus: rigiditas, spasme otot, dan gangguan otonomik. Penatalaksanaan pasien tersebut dengan merawatinapkan apsien di ruang isolasi dengan minimal stimulant, pemasangan jalur intravena, pemberian antibiotic broad spectrum untuk mengeradikasi sel vegetative, pemberian immunoglobulin sebagai antitoksin tetanus, dan pemberian muscle relaxant untuk mencegah kejang. Pemberian immunoglobulin dapat diberikan seawal mungkin untuk mencegah perburukan kondisi tetanus.

Referensi 1. Iamanoe. G., 2006, Tetanus, dalam Sudoyo. A. W. et al, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, 4th ed, Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokterran Indonesia, Jakarta: 1779-1807 2. Dire. D. J., 2010, Tetanus in Emergency Medicine, J. of. Medscape, http://www.medscape.com 3. Davis. C., 2011, Tetanus Causes, Symptoms, Treatment, Vaccine and Prevention, http://www.emedicinehealth.com

TETANUS Oleh : IDewaAyuVanessaV.M. NIM : H1A 003 022 I . T I N J A U A N P U S T A K A Pendahuluan Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi dim a s y a r a k a t t e r u t a m a m a s y a r a k a t k e l a s m e n e n g a h k e b a w a h . D i R S U D r . S o e t o m o sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1) .A n g k a k e j a d i a n t e t a n u s t i n g g i d i n e g a r a - n e g a r a b e r k e m b a n g , t e r u t a m a disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usias e k o l a h , s i r k u m s i s i p a d a l a k i - l a k i , k e h a m i l a n d e n g a n a b o r t u s . P e n y a k i t i n i d a p a t dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi denganangka kematian yang tinggi pula (2) . D i n e g a r a m a j u , k a s u s t e t a n u s j a r a n g d i t e m u i . Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proseskelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negarayang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (4) .

You might also like