You are on page 1of 5

BERPIKIR KRITIS

Dengan semakin majunya dunia pendidikan dan semakin mudah diaksesnya sistem informasi dewasa ini membuat semakin berkembangnya sikap kritis individu. Melalui berbagai forum diskusi, atau media, siapapun bisa mempertanyakan situasi, keputusan, pernyataan dan fenomena yang ada. Bukan saja pertanyaan, ungkapan perasaan, ketidaksesuaian pendapat, bahkan tuntutan juga terdengar, terbaca, dan terlihat. Wacana mengenai kasus malpraktek misalnya dapat melibatkan banyak pihak misalnya mahasiswa kedokteran, organisasi profesi dokter, kementrian kesehatan, rumah sakit, organisasi hak asasi manusia, dan masyarakat banyak. Berpikir kritis selain merupakan pertanda telah tumbuh dan berkembangnya alam demokrasi di tanah air, juga merupakan pertanda bahwa generasi muda khususnya telah mempunyai daya pikir yang lebih maju. Daya pikir yang baik merupakan sebuah elemen penting keberhasilan hidup di era informasi dewasa ini. Agar dapat berpikir kritis kita harus senantiasa mengasahnya di mana pun kita berada. Aturan yang diajarkan orang tua dan guru jaman dulu untuk tidak membantah dan tidak berdebat, serta menjunjung tinggi harmoni tak lagi sesuai dengan upaya pencerdasan bangsa melalui berpikir kritis. Pertumbuhan dan pematangan suatu keputusan dan konsep dapat datang melalui kritikan, pertanyaan, sanggahan, keraguan, dan debat dengan orang lain. Hal-hal yang harus dipunyai seorang pemikir obyektif sebagai berikut : - Berfokus pada isu (obyektif) bukan dengan siapa kita berdiskusi/berdebat (tidak subyektif) - Tidak mengumbar emosi atau kesalahan - Bertanggung jawab mencari solusi terhadap masalah. - Mempelajari dengan cermat dan hati-hati setiap gejala, tulisan, tindakan, atau keputusan yang sedang dibicarakan/diperdebatkan - Dapat membedakan fakta dari pendapat/keyakinan, kasus dari gejala, bias dari pokok isu, dan tidak berpikir hitam putihsaja. - Membuka diri terhadap segala kemungkinan yang tidak kita ketahui sebelumnya.

Dengan membuka pikiran dan menyerap informasi sebanyak-banyaknya, kemudian memilah dan menyaringnya maka faktor-faktor berpikir kritis seperti klarifitas, presisi, akurasi, relevansi, konsistensi, kebenaran berdasarkan logika, kelengkapan/kedalaman, dan fairness dapat tercapai secara optimal.

FAKTOR-FAKTOR BERPIKIR KRITIS :


1. Klarifitas adalah kejelasan dari suatu ungkapan, pengertian, konsep, gagasan sehingga kita dapat memahaminya secara objektif. Dalam banyak kejadian, kita sering tidak paham akan suatu hal secara keseluruhan. Kita hanya mengerti sebagian saja sehingga dapat menimbulkan perbedaan atau salah persepsi. Kita memerlukan klarifikasi sebelum dapat mengevaluasi hal tersebut secara objektif dan menyeluruh. 2. Presisi adalah kebutuhan yang paling menentukan dalam berbagai hal terutama dalam kerja teknologi tinggi. Sikap berkomitmen terhadap presisi adalah bertindak hati-hati, mengamati dengan cermat, dan melalui penalaran logika kita memutuskan sesuatu. 3. Akurasi adalah kesamaan input dan output dalam suatu penyampaian informasi. Akurasi sangat diperlukan karena apabila input yang dimasukkan salah maka output akan ikut salah. Jadi apa yang akan dipikir, diucapkan hendaknya berdasarkan kebenaran agar apa yg dikeluarkan ( baik pendapat ataupun yang lainnya ) berdasarkan kebenaran juga. 4. Relevansi adalah kualitas informasi yang berkaitan. Informasi yang relevan bermanfaat memperjelas masalah, membantu memecahkan masalah, dan dapat memperkuat argumentasi. 5. Konsistensi adalah hal yang bersifat tetap/fokus pada tujuan dan tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan. Dalam kehidupan kita sering mendengar istilah konsisten terhadap tujuan. Apabila tidak konsisten maka kita mudah digoyahkan oleh faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Ketidak-konsisten-an ( inkonsistensi ) terbagi 2 : inkonsistensi logis yaitu melibatkan ucapan yang menyangkut keyakinan tentang benda itu dan inkonsistensi praktis yaitu menyangkut pengakuan / ucapan tentang sesuatu tapi melakukan yang lain

6. Kebenaran logis adalah kebenaran yang berlandaskan pada pemikiran yang logis yaitu menyimpulkan dengan tepat dari keyakinan yang kita miliki. Dalam berpikir kritis, kita membutuhkan akurasi dan didukung keyakinan bahwa apa yang kita pikirkan benar namun disertai dengan nalar yang logis. 7. Kelengkapan adalah salah satu faktor yang penting dalam menggali informasi agar didapatkan informasi sedalam-dalamnya. Pemahaman yang sampai kulit luar saja dan tidak memahami sampai ke dalam permasalahan akan menggiring kita pada kesimpulan yang spekulatif, bisa salah bisa benar. 8. Fairness adalah sifat terbuka, tidak memihak, dan bebas dari distorsi bias serta segala praanggapan. Tidak memihak adalah salah satu unsur keadilan.

HAMBATAN DALAM BERPIKIR KRITIS, CONTOH DALAM DUNIA KEDOKTERAN


1. Kurangnya pengetahuan kita tentang informasi yang relevan. Contoh : Dokter yang tidak pernah memperbarui dan mengikuti perkembangan teknologi kedokteran modern atau tidak mengenal dan mempelajari obat-obat baru lambat laun akan tertinggal. 2. Prasangka Contoh : Karena dokternya tidak pernah memberikan penjelasan proses pengobatannya , seorang pasien curiga kepada dokter yang memintanya melakukan pemeriksaan dengan peralatan canggih.. Ia berprasangka bahwa dokter itu hanya bermaksud mengeruk uangnya. 3. Penstereotipan Contoh : Dokter di suatu daerah terpencil menstereotipkan semua pasiennya yang demam dengan malaria dan membagikan obat malaria tanpa memeriksanya lagi.

4. Kebohongan Contoh : Seorang dokter diminta membuat surat keterangan sakit oleh pasiennya yang koruptor sebagai alasan agar yang bersangkutan tidak perlu hadir di kantor polisi, padahal koruptor itu sebenarnya sehat-sehat saja dan sedang mencari celah untuk lepas dari tanggung jawabnya.. 5. Pemikiran yang sempit Contoh : Pasien berpikiran sempit percaya bahwa obat generik pasti kurang bermutu dan obat paten pasti bagus mutunya. Kesembuhan penyakitnya ditentukan oleh mahalnya obat, bukan oleh ketepatan dokter memilihkan obat untuk diagnosisnya yang jitu. 6. Pentahyulan Contoh : Pasien percaya bahwa jika ada bagian dirinya yang dibuang, maka hidupnya di kemudian hari tidak sejahtera. Padahal pasien ini terkena apenditis yang bila tidak dioperasi maka akan membahayakan tubuhnya dan dapat menyebabkan kematian. 7. Egosentrisme ( self-centered thinking ) Contoh : Seorang dokter bedah yang egosentris kedatangan pasien dengan keluhan sakit perut kanan bawah. Tanpa diagnosa yang cermat dan tanpa berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam, ia memutuskan pasien harus dibedah dengan dugaan apenditis. Setelah dibedah ternyata tidak ditemukan penyakit sesuai praduga dokter tersebut. 8. Sosiosentrisme ( group-centered thinking ) Contoh : Sejumlah dokter di suatu rumah sakit beramai-ramai membela rekan seprofesi mereka yang sedang menghadapi tuntutan hukum karena kasus malpraktek. 9. Tekanan kelompok Contoh : Seorang dokter yang bekerja pada sebuah organisasi olahraga amatir didesak oleh pimpinan organisasi tersebut untuk memberikan steroid kepada atlet-atlet yang dibinanya agar prestasi mereka cepat meningkat. 10. Mayoritasisme Contoh : Mayoritas dokter perempuan lebih teliti dan sabar memeriksa pasien, tetapi mayoritas dokter pria lebih terampil dan jitu dalam mendiagnosis.

11. Kedaerahan Contoh : Sebagian pasien lebih percaya kepada dokter yang sukunya atau daerah asalnya sama dengan si pasien. 12. Adat/ tradisi Contoh : Upacara adat nujuh bulani harus dilakukan supaya ibu dan bayi yang dikandungnya sehat dan selamat. 13. Kemapanan Contoh : Seorang dokter yang sudah mapan di kota besar, menolak dipindahkan ke daerah pedalaman yang miskin dan serba terbatas fasilitasnya. 14. Khayalan Contoh : Seorang pasien memimpikan berjumpa seorang dokter yang sangat hebat sehingga sudah tahu apa penyakitnya hanya dengan memandangnya saja.

15. Primordialisme Contoh : Terapi alternatif yang mengarah pada konsep kembali ke alam tidak seluruhnya salah tetapi juga belum tentu semuanya benar.

You might also like