You are on page 1of 4

Catatan Kajian

Topik: QS Al-Luqman: 12-19 Tanggal: 14 November 2011 Fasilitator: Bapak Muchlisin E-Mail: emuchtar@gmail.com Blog: http://chippingin.wordpress.com

TOPIK: AL LUQMAN (31):12-19


Catatan: Tulisan berikut merupakan catatan kajian yang saya hadiri plus impresi dan komentar yang terbersit di benak saya ketika mengingat kembali dan menuliskan catatan tersebut. QS 31:12-19 merupakan rangkaian nasihat Lukman kepada anaknya untuk mendapatkan kearifan. Allah akan memberikan kearifan (hidup) sesuai dengan apa yang kita ketahui (pengetahuan kita), setelah kita mempraktikkan apa yang kita ketahui itu. Dan kearifan ini tak tergantung dari banyak atau tidaknya pengetahuan yang dimiliki. Jadi ingat, hadist nabi: Sampaikan dari-Ku walau satu ayat. Rangkaian ayat ini saya tulis tanpa banyak tambahan kata. Sangat gamblang walau tak berarti mudah. Semoga kita diberikan kemudahan dalam mengamalkan/mempraktikkannya.

walaqad aataynaa luqmaana alhikmata ani usykur lillaahi waman yasykur fa-innamaa yasykuru linafsihi waman kafara fa-inna allaaha ghaniyyun hamiidun 12. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Kata berikan dalam ayat ini merupakan terjemahan dari kata aata, bukan wahaba. Kata aata memiliki implikasi bahwa pemberian dilakukan setelah si penerima melakukan ikhtiar dan tergantung kesiapan si penerima. Kearifan hidup tidak tiba-tiba datang begitu saja. Semua tergantung atas cara kita menapaki hidup. Kearifan (hikmat) terbesar yang kita terima adalah: rasa syukur kepada Allah. Apa pun yang kita miliki bukanlah inti sikap kita. Inti sikap kita adalah rasa syukur terdapat segala yang kita miliki. Melalui rasa syukur, kearifan bisa hadir. Bagi orang-orang yang benar-benar bersyukur, semua ekspresi hidupnya semata-mata merupakan ekspresi rasa syukur. Semua titipan Allah yang diterimanya digunakan untuk bersyukur. Menyadari bahwa semua berasal dari Allah dan dikembalikan kepada Allah pula. Tapi mereka yang kufur nikmat, akan merasa bahwa semua ini semata-mata hasil karyanya sendiri. Sadari bahwa semua ini merupakan karunia Allah. Kemudian, senantiasa lihatlah sisi baik kehidupan. Melihat sisi buruk (melulu) hanya akan menimbulkan keresahan dalam hidup. Lebih baik berupaya untuk memahami, menerima, dan mensyukuri hidup apa adanya, dan senantiasa memiliki semangat untuk memperbaiki diri. Ayat 12 ini merupakan kunci kehidupan. Orang-orang yang bersyukur, akan memiliki elemen yang disebutkan pada ayat 13-19.

wa-idz qaala luqmaanu liibnihi wahuwa ya'izhuhu yaa bunayya laa tusyrik biallaahi inna alsysyirka lazhulmun 'azhiimun 13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Luqman merupakan seorang suci. Kata anaknya tidak secara sempit berarti darah dagingnya. Ayat-ayat ini ditujukan kepada siapa pun yang membaca ayat-ayat ini. Ayat 13 menekankan betapa tidak mempersekutukan Allah merupakan landasan bagi kehidupan kita. Mempersekutukan Allah (syirik) itu memiliki tingkatan-tingkatan. Berhati-hatilah terhadap kehalusan kesombongan spiritual. Saat kita merasa sudah berjalan jauh dibandingkan orang lain, siapa kita untuk menilai? Rasulullah menawarkan kalimat-kalimat yang menetralisir diri rasa ini, seperti alhamdulillah inna lillaahi wa inna ilaihi raajiun, subhanallah, allahu akbar, laa hawla wa laa quwwata illa billah. Bisa pula kita menyebutkan (setiap saat): alhamdulillahi alakulli hall.. segala puji bagi Allah atas segala kondisi. Allah akan muncul dalam berbagai wajah dalam kehidupan kita, sesuai dengan kebutuhan kita. Apapun yang kita terima, yakinlah bahwa hal tersebut bertujuan untuk menyempurnakan sisi kita yang masih perlu disempurnakan, sehingga nantinya kita akan kembali pada-Nya. Tauhid kita merupakan upaya pengenalan diri kita terhadap Allah.

wawashshaynaa al-insaana biwaalidayhi hamalat-hu ummuhu wahnan 'alaa wahnin wafishaaluhu fii 'aamayni ani usykur lii waliwaalidayka ilayya almashiiru 14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Perhatikan betapa tingginya strata orang tua. Ayat 12-13 berbicara tentang Allah (vertikal) dan langsung disambung dengan ayat 14 tentang orang tua (horizontal). Tetap Allah menyatakan, bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu. Jadi tauhid (kepada Allah dan hanya Allah) dibenahi dulu, ini yang utama.

. 2

wa-in jaahadaaka 'alaa an tusyrika bii maa laysa laka bihi 'ilmun falaa tuthi'humaa washaahibhumaa fii alddunyaa ma'ruufan waittabi' sabiila man anaaba ilayya tsumma ilayya marji'ukum fa-unabbi-ukum bimaa kuntum ta'maluuna 15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Kita bisa bilang tidak kepada ortu, bila ajakannya menuju syirik kepada Allah. Bagaimanapun Allah tetap yang utama. Tetapi sikap kita terhadap orang tua, harus tetap ihsan (baik, layak) dan tanpa memutuskan silaturahmi.

yaa bunayya innahaa in taku mitsqaala habbatin min khardalin fatakun fii shakhratin aw fii alssamaawaati aw fii al-ardhi ya/ti bihaa allaahu inna allaaha lathiifun khabiirun 16. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Ayat ini menekankan pada kesadaran akan Tuhan (God consciousness), atau dalam bahasa yang kita kenal ketakwaan terhadap Tuhan. Takwa itu 24/7, 24 jam terus menerus tanpa henti, menjaga kesadaran akan Allah. Sikap merasa aman, tenteram, dan damai dengan Allah, yang akan berbuah iman. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah (Islam), yang buahnya kedamaian (Islam). Dan hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan buahnya pun akan tampak di kehidupan sehari-hari kita.

yaa bunayya aqimi alshshalaata wa/mur bialma'ruufi wainha 'ani almunkari waishbir 'alaa maa ashaabaka inna dzaalika min 'azmi al-umuuri 17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) Kembali berbicara tentang hubungan vertikal. Menarik bolak baliknya, vertikal, horizontal, vertikal lagi. Ini memang diperlukan dalam kehidupan agar berimbang dan menyeluruh. Setelah shalat (vertikal), kembali menyebutkan horizontalnya mengajak (mengerjakan; menjadi contoh) mengerjakan yang baik, mencegak yang mungkar, dan bersabar. Seperti ada kita dalam hubungan horizontal kita merupakan indikasi shalat kita. Shalat sendiri bisa dilihat sebagai syariat (lima waktu wajib) dan bisa dilihat dari makna katanya Shalat seperti kalau melihat kata shilaturahmi yang berarti menyambung = bersilaturahmi dengan Allah. *merinding* Seperti yang disebutkan dalam QS20:14)

innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau'budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii 3

14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Jadi sejauh ini, yang vertikal adalah tauhid dan shalat; dengan horizontal sebagai indikasi: syukur, sikap terhadap orang tua, kesadaran akan Allah 24/7, mengajak ke kebaikan dan bersabar.

walaa tusha''ir khaddaka lilnnaasi walaa tamsyi fii al-ardhi marahan inna allaaha laa yuhibbu kulla mukhtaalin fakhuurin 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Plus: tawaddu, rendah hati, tidak sombong atau angkuh.

waiqshid fii masyyika waughdhudh min shawtika inna ankara al-ashwaati lashawtu alhamiiri 19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Plus: Sederhanakan dalam berjalan, lunakkan suara. Banyak konteksnya di sini adalah berupa buah dan akhlaknya; yang bisa menjadi bahan kontemplasi, introspeksi kita sudah sejauh apa kita dalam berjalan; dalam bertauhid kepada Allah, dalam menjalankan shalat kita. Dan salah satu jalan tercepat ke Tuhan, adalah dengan melayani sekitar kita. Seselesai kita membaca ini, bershalat, melakukan retreat, dsb, smoga aku yang kecil menjadi Aku yang besar (Allah). Fokus kita nantinya insya allah bukan lagi kita/individu, melainkan umat. Kita pun menyapa manusia, memberikan makan kepada yang lapar, memberikan tongkat kepada yang buta, dan memberikan pakaian kepada yang telanjang. Hakikat manusia adalah spiritualitasnya. Tanpa spiritualitas, kita sebenarnya sedang tidur. Setiap yang datang kepada kita, kita perlu menyikapi dan melihatnya dengan segala keawasan dan ketundukan kita. Setiap yang datang, bisa menjadi hikmah, bisa pula menjadi hijab. Bisa mendekatkan diri kita kepada Tuhan, bisa pula menjauhkan. Itu pilihan kita. Setiap napas, kata, pikiran serta tindakan kita hendaknya merahmati. Kita menjadi rahmat bagi sekalian alam. Seperti apa (pikiran, kata, tindakan) yang cocok, inilah kearifan yang kita butuhkan. Semoga bermanfaat. Lebih kurangnya, saya meminta maaf. Salaam.

You might also like