You are on page 1of 8

ANTIHISTAMIN

PENDAHULUAN
Histamin merupakan mediator kimiawi yang memperantarai daerah respon seluler yang luas, termasuk reaksi alergi dan peradangan, sekresi asam lambung, dan kemungkinan neurotransmisi bagian otak. Setelah diketahui histamin mempengaruhi banyak proses fisiologis dan patologis, maka di cari obat yang dapat mengantagonis efek histamin tersebut. Histamin sendiri tidak mempunyai kegunaan klinik yang berarti, tetapi obat yang dapat mempengaruhi efek histamin penting pada penggunaan klinis. (1,2,3) Dikenal 3 jenis reseptor histamin di berbagai jaringan, yaitu histamin 1 (H1), histamin 2 (H2), dan histamin 3 (H3). Peran reseptor tersebut berbeda beda. Reseptor H1 terdapat di kulit dan otak. Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi mucus serta menimbulkan rasa gatal. Reseptor H2 terutama menyebabkan rangsangan sekresi asam lambung dan beberapa hormon. Reseptor H3 terdapat di otak dan bertanggung jawab sebagai autoregulasi pelepasan histamin.(1,2,3,4,6) Epinefrin merupakan antagonis histamin fisiologik pertama yang digunakan. Antara tahun 1937 1972, banyak antihistamin di temukan dan sebagian digunakan dalam terapi. Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelanamin dalam dosis terapi efektif dalam mengobati edema, eritem, dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 1

histamin. Antihistamin ini digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1. Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin ini di golongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H2. Kedua jenis anti histamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan menghambat interaksi histamin dengan reseptor histamin H1 dan H2. Sedangkan antihistamin penghambat reseptor H3 yang selektif masih dalam penelitian dan belum tersedia untuk penggunaan klinis. (1,2,6)

DEFENISI Antihistamin (antagonis histamin ) adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin manapun yang digunakan, namun sering kali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin 1 (H1). Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang

disebabkan oleh reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap alergen ( penyebab alergi ), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi ini menunjukkan pelepasan histamine dalam jumlah signifikan didalam tubuh. JENIS JENIS ANTIHISTAMIN Antihistamin digolongkan menjadi antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3).
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 2

1.Antagonis Reseptor Histamin 1 ( AH1 ) AH1 kerjanya menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan. (1,2,3,4,6,7) AH1 dapat pula di kelompokkan menjadi : a. AH1 sedatif (klasik), mempunyai efek sedatif kuat dan bersifat anti kolinergik yang merupakan obat pertama untuk obat alergi akut di kulit dan urtikaria kronik. Bekerja secara inhibitor kompetitif dengan histamin pada sel target, misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang fase lambat pada dermatitis atopik. Pada umumnya AH1 mempunyai efek sedatif kuat yang diharapkan dapat mengurangi rasa gatal. Contohnya terdiri beberapa golongan, yaitu: (1,2,3,4,6,7) 1. Etanolamin 2. Etilendiamin 3. Alkilamin 4. Fenotiazin 5. Piperazin 6. Piperidin : Difenhidramin, doksilamin, karbinoksamin : Tripelanamin, pirilamin, antazolin. : Klorfeniramin, dekslorfeniramin, dimetidine : Prometasin : Setrizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid : Siproheptadin dari

SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 3

b. AH1 Non Sedatif (Non klasik), tidak mempunyai efek sedatif, tidak atau sangat sedikit menembus sawar otak sehingga umumnya efek samping terhadap susunan saraf pusat minimal. Mempunyai waktu paruh yang berbeda dengan dosis efektif dan efek sampingnya bervariasi. Contoh obatnya asetemizol, terfenadin, akrivastin, loratadin, mekuitazin, dan setrizin.
(1,2,3,4,6,7)

2.Antagonis Reseptor Histamin 2 (AH2) Reseptor histamin 2 ditemukan disel sel parietal, kinerjanya adalah

meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian AH2 dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer, penyakit refluks gastroesofagus. Pada beberapa keadaan AH 2 juga dapat digunakan dalam bidang dermatologi . Dimana Pemakaian AH2 dikombinasikan dengan AH 1. Contoh obatnya simetidine, famotidina, ranitidine, nizatidina,

roxatidina, dan lafutidina. (1,2,3,4,6,7) 3. Antagonis Reseptor Histamin 3 (AH3) AH3 merupakan derivate dari AH2, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian AH3 ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping yang minimal. (4,6,7) INDIKASI ANTIHISTAMIN Antihistamin (AH1),digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. (1,2,3,4,6,8)

SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 4

 Penyakit alergi 1. Rinitis alergi dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat mengurangi gejala pilek. 2. Pada reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada

Angioedema berat dengan edema laring, epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi dan memberikan hasil yang paling baik . 3. Pada urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal. Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif lainnya.

Pemberiannya cukup sekali sehari sehingga meningkatkan kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah simpatomimetik. 4. Pada dermatitis kontak, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal. Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi. Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat. 5. Pada berbagai dermatosis yang lain seperti Dermatitis Atopik dan Eritroderma.
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 5

 Mabuk Perjalanan dan keadaan lain 1. Dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati mabuk udara, laut dan darat. Obatnya: prometazin, difenhidramin, siklizin dan meklizin. 2. AH1 efektif juga untuk obat antimuntah, pascabedah, mual muntah waktu hamil, dan setelah radiasi. 3. Pada keadaan lain AH1, dapat mengobati penyakit Parkinson, yaitu mengurangi rigiditas dan tremor. Antihistamin 2 (AH2), efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat pertumbuhannya. Dengan dosis kecil, umumnya dapat mencegah kambuhnya tukak lambung. Antihistamin 2 (AH2) pada beberapa keadaan digunakan untuk pengobatan Urtikaria dan Mastositosis, dimana pemakaian AH2

dikombinasikan dengan AH1. Sedangkan Antihistamin 3 (AH3) belum jelas peranannya dalam bidang dermatologi. (1,2,3,6) EFEK SAMPING Pada setiap antihistamin mempunyai efek samping seperti: 1. Depresi atau stimulasi susunan syaraf pusat Berupa sedasi bahkan sampai sopor sering menganggu aktifitas sehari hari. Efek terhadap susunan syaraf pusat yang lain dapat berupa dizzinus, tinnitus, gangguan koordinasi, kosentrasi berkurang dan gangguan penglihatan. Stimulasi susunan syaraf pusat berupa nervous, irritable, insomnia, dan tremor. (1,2,3,4,5,6,8) 2. Efek anti kolinergik berupa: retensi urine, disuria, impontensia dan mulut/mukosa kering.
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 6

3. Hipotensi dapat terjadi pada pemberian antihistamin intravena yang terlalu cepat. (1,2,3,4,5,6,8) 4. Dermatitis kontak elergi, fotosensitisasi, urtikaria dan petechie di kulit terutama setelah pemakaian secara topikal. (1,2,3,4,5,6,8) 5. Keracunan akut meliputi halusinasi, respon emosional yang berlebihan terhadap rangsangan, ataksia, gerakan tak terkoordinasi dan konvulsi. (1,6)

KONTRA INDIKASI DAN INTERAKSI OBAT Kontra indikasi dari antihistamin adalah Glaukoma, penyakit hepar, Hipertropi prostat, epilepsi, kehamilan, ibu menyusui dan hipokalemia. Pada kehamilan muda, setrizin tidak dianjurkan. Untuk pemberian terfenadin, astemizol, dan loratadin harus digunakan dengan sangat hati hati. (1,2,3,4,8) Antihistamin sering berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya simetidin dapat meningkatkan kadar teofilin dan fenitoin dalam darah. Antihistamin juga berinteraksi dengan obat antikolinergik, golongan azol, makrolid. (1,2,3,4,8)

SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 7

DAFTAR PUSTAKA
1. Dewoto Hedi R. Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi, Edisi
5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Hal :273-287

2. Mycek M, Harvey R, Champe P, dkk. Ed. Hartanto H. Autakoid dan Antagonis


Autakoid dalam Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. 2001. Hal : 422-428

3. Munaf S. Histamin Dan Antihistamin. Catatan Kuliah Farmakologi, Bagian I.


Jakarta: EGC. 1992. Hal : 95-114

4. Katzung B, Julius D. Ed. Sjabana D, Raharjo, Sastrowardoyo W, dkk. Histamin,


Serotonin, dan Alkaloida Ergot dalam Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku I, Edisi VI. Jakarta: Salemba Medika. 2001. Hal: 467-487

5. Arndt K. Ed. Santoso B. Antihistamin dalam Pedoman Terapi Dermatologis.


Yogyakarta: Yayasan Essential Medica. 1980. Hal: 222-226

6. Brown N J, Roberts II L J ed. Aisyah C, Elviana E, dkk. Histamin, Bradikinin, dan


Antagonisnya dalam Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, Volume I, Edisi 10. Jakarta: EGC. Hal: 627-639

7. Sekilas info tentang Antihistamin,available; http://apoteker.com 8. Antihistamin,available; http://agungrakhmawan.wordpress.com


SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pembimbing : dr. Suryadharma Hamidah, Sp.KK Presentator : Mutia Sari Putri (FK UNBRAH)

Page 8

You might also like