You are on page 1of 22

FEMINISME

Penemuan kembali paham keilahian wanita

Walaupun banyak diskusi tentang keilahian dalam tradisi kekristenan, tidaklah mungkin untuk memahami spiritualitas feminis tanpa mengerti penemuan kembali keilahian yang berperan didalamnya. Secara umum, "keilahian" adalah sebutan untuk roh dan daya ilahi yang digambarkan dalam istilah feminin, sebagaimana sebutan untuk "Allah" yakni istilah bagi roh dan daya ilahi dalam pelukisan maskulin. Dalam Dunia Barat keyakinan ini menyangkut sembah sujud terhadap yang ilahi, ibu utama yang merupakan Ratu Surga sebagai sumber utama bagi kehidupan dan kematian di bumi yang muncul jauh sebelum paham monotheisme patriarkal. Gerda Larner, dalam tulisannya tentang Penciptaan Patriarkal (New York: Oxford, 1986), mencatat perkembangan sistem kemasyarakatan yang menentukan seorang ayah sebagai kepala keluarga dalam masyarakat kuno, pemunculan sistem kerajaan sebagai bentuk pemerintahan dan akhirnya perkembangan monoteisme perempuan sebagai pengesahan penting suatu monarki yang bersifat patriarkal. Poin penting bagi kita adalah bahwa dalam tradisi Yahudi dan kekristenan, ketuhanan yang dipahami sebagai dua pribadi yang unik hampir dipahami secara eksklusif dalam peristilahan kaum lelaki. Monoteisme Yahudi - Kristen bersifat patriarkal dan monarkial yang mendalam, meski keduanya tidak langsung dinyatakan dalam teologi monoteistik. Selanjutnya, walaupun "Allah" bukanlah istilah atau konsep jenis kelamin yang nyata, Allah terus-menerus ditunjuk sebagai "dia" dan dilukiskan sebagai pria yang memiliki unsur kewanitaan yang hadir secara efektif dari keilahian. Dengan demikian, konsekuensi yang muncul menegaskan bahwa wanita berasal dari dunia ilahi. Penemuan kembali istilah keilahian selanjutnya menegaskan bahwa ada hubungan erat antara keilahian dan kewanitaan. Penemuan kembali keilahian sekurang-kurangnya mempunyai tiga bentuk dasar dalam spiritualitas wanita, meski tidak selalu cocok dengan iman kekristenan dan ditandakan dengan bahasa-bahasa petunjuk lainnya. Pertama dan paling radikal adalah theaology yang dibedakan dari theologi yakni pembicaraan tentang yang ilahi dalam perbedaan karena berlawanan untuk berbicara tentang Allah. Hal ini tidak

selalu mampu menjelaskan secara mendalam pembicaraan tentang yang ilahi dalam konteks yang menunjuk pada pribadi nyata, yang sungguh-sungguh ada, seorang yang dapat menyembah atau bagi seorang yang dapat berdoa atau menggunakan istilah sebagai sebuah simbol dari kekuatan kudus yang dialami sebagai wanita daripada lelaki. Namun perbedaan utama antara tradisi kekristenan perihal diskursus tentang Allah dan perbincangan kaum wanita tentang keilahian akhirnya dimengerti sebagai persoalan imanen daripada transenden. Lebih tepat lagi, keilahian lebih bersifat transenden - imanen, dengan demikian tidak hanya pengilahian wanita dengan rahasiarahasia pemberian kehidupan tetapi juga peniadaan yang terbagi antara transenden dan imanen, roh dan tubuh, kudus dan duniawi, surga dan bumi, dan seluruh keturunan manicheanisme dari hirarki yang bersifat mendua. Satu versi perihal bentuk pertama dari keyakinan ilahi dalam spiritualitas feminis dan satu hal yang mendatangkan kedekatan pada kengerian antara wali dari agama patriarkal adalah keyakinan wicca. Wicca (istilah ini maksudnya adalah kebijaksanaan) merupakan revitalisasi tradisi sebelum kekristenan Eropa tentang kaum kafir atau agama alam yang hdiup dalam ketaatan, perayaan dan dihidupi dari rahasia besar alamnya sendiri. Dewi keagamaan-keagamaan itu adalah wanita dan pemggemar-penggemarnya dan imam-imam yang berkuasa meski tidak secara eksklusif disebut wanita. Mereka hadir bersama dalam "bahtera kecil", atau komunitas kecil non hirarkis yang membantu dan mendewakan diri serta sering menyebut diri mereka sendiri sebagai "tukang sihir", yang memprovokasi untuk menjalankannya dengan sengaja bahkan hanya menandakan perasaan mereka yang terus-menerus dengan keturunan wicca tetapi juga pelaksana simbol expiates dari jutaan wanita dalam seluruh sejarah kekristenan. Kebijaksanaan bukanlah "ilmu hitam" atau pesta sex yang gila-gilaan pada malam hari tetapi partisipasi ritual dalam pemberian hidup dan daya penyembuhan alam, yang diakui sebahgai perwujudan atua manifestasi yang ilahi. Bagi kebijaksanaan, alam bukanlah sesuatu yang tidak berdaya tetapi suatu kenyataan hidup dalam segala sesuatu yang terjalin secara intim. Manusia adalah partner dan pemimpin ciptaan bukan menjadi tuan atas ciptaan. Spiritualitas memasukkan daya seksualitas tanpa mengubah hal lain atau menguasainya. Hidup dan cinta adalah niali-nilai utama yang tidak asing lagi bagi kebenaran. Tindakan ritual menjadi aturan yang penting dalam ilmu gaib, sebab tindakan tersebut merupakan tempat dimana roh dan alam bertemu serta menyatu, menguduskan seluruh kenyataan dan menyatukan manusia dengan diri mereka satu sama lain dan alam.

Bentuk kedua dari penyingkapan keilahian dalam spiritualitas feminis disimbolisasikan dengan simbol verbal bagi Allah/ilahi. Wanita yang menunjuk pada dewi model ini seperti Rosemary R. Ruether menerangkan dasar yang tepat bagi wanita seluruhnya adalah kebenaran dalam tradisi tertinggi dan religius tentang Allah. Kedewian menjadi dasar yang tepat bagi semua sebagai kebenaran dalam teologi dan tradisi religius tentang Allah, walaupun tidak mengakui perubahan bentuk partriarkal dan maskulinum tentang tradisi Allah, mereka terus

menghubungkannya dengan wahyu Yahudi - kristen. Kaum wanita menekankan aspek keperempuanan dari Kitab Suci yang bersifat ilahi/dewi, secara khusus sebagaimana mereka uraikan dalam personifikasi perempuan tentang Allah sebagai kebijaksanaan kudus. Mereka juga menuntut agar mengganti persoalan metaforis dari Kitab Suci tentang Yahwe dari perspektif perempuan, menuntut penggunaan bahasa jenis kelamin (gender) bagi keduanya, seperti yang ilahi dan manusiawi dalam doa dan sembah sujud, dan berjuang untuk mengimpikan kembali diri mereka sendiri dan yang lainnya berhadapan dengan Allah kekristenan dalam peristilahan wanita. Mereka memandang bahwa mereka sendiri sebagai kepenuhan dalam bayangan dan keserupaan dengan Allah/dewi hanya berjarak jauh sebagaimana mereka miliki kecakapan spiritual akan pengetahuan dan kehendak sebab mereka juga ikut serta secara jasmaniah dalam daya ilahi yang besar, yang memberi dan memelihara kehidupan. Selanjutnya mereka juga berusaha menerima kembali pemberian kekuatan spiritual, pembaharuan kembali tubuh dan penyatuan kembali bagian-bagian yang terpisah tanpa memisahkan diri mereka sendiri dari tradisi Kitab Suci dan Sakramen Gereja. Bentuk ketiga dari penyingkapan keilahian diantara wanita yang dibutuhkan dalam spiritualitas feminis adalah keutamaan psikologi dan penyembuhan, dan menghadirkan kembali bentuk/modifikasi dari pola dasar teori Jungian (Jung), yang menjadi penting dalam perkembangan beberapa tahun terakhir dalam pendekatan spiritualitas kekristenan. Carl Jung mengakui kemampuan akan hubungan transkultural intrafisik yang disebutnya pola-pola dasar untuk mengumpulkan pemikiran dan perasaan kompleks yang bergerak dalam pengalaman harian kita. Pola dasar yang fundamental menurut Jung adalah jiwa (anima) atau prinsip feminisme dalam psike kelelakian, dan animus (kebencian) atau prinsip kelelakian dalam psike wanita. Masalah utama dengan teori Jung dari perspektif feminis adalah bahwa Jung menetapkan kualitas stereotipe dari budaya lelaki yakni perspektif itu disatukan dengan roh, sebagai akibat, inisiatif, kreativitas, kepemimpinan dll. Untuk prinsip maskulin, dan kualitas stereotipe dari budaya

wanita yaitu penyatuan dengan tubuh, sebagai emosi, insting, penerima pasif, penyebaran akan fokus mental, dll. terhadap prinsip kewanitaan. Akibatnya adalah manusia (lelaki) dimungkinkan untuk mengatasi gambaran atau menguasai budaya dan memisahkan kualitas kewanitaan dalam ukuran kecil, memperkaya penjelasan, dominasi spiritualitas hidup lelaki tanpa pernah mengenali atau memperkenalkannya dengan mereka. Wanita atas cara lain dapat mencapai sesuatu diatas mereka sendiri, keluar dari alam kerendahan diri dan membebaskan diri dari bidang yang didominasi secara lebih tinggi dengan pikiran dan semangat untuk mengatasi gambaran superioritas kaum pria, sehingga mereka mampu memenuhi fungsi dalam gelanggang di luar sebagai pemimpin politik atau akademis. Namun mereka tidak pernah mengklaim kualitas diri sebagai milik mereka sendiri. Kualitas wanita (i.e. rendah) didesak oleh kaum lelaki sehingga lelaki (penguasa) tetap menekan kaum wanita. Meskipun usaha berani Jung menyatukan keduanya, antara feminin dan maskulin, namun secara respek ia lebih mengurangi kebencian terhadap wanita dibanding dengan pendahulunya Sigmund Freud, dalam pendekatan dua bagian yang mempunyai efek norma stereotipe tradisi sakral dan budaya hirarki maskulin dan feminin dengan mengasingkan wanita dalam semangat yang nyata. Beberapa psikoterapis feminis Jungian mempunyai pembaharuan skema Jung yang menyetujui bahwa ada pola-pola dasar feminin dan maskulin, tetapi mereka melihatnya sebagai kelipatan dan bahkan sebagai fungsi eksklusif contra sexsual. Secara singkat dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalan spiritual tidak dikuasai oleh salah satu kaum feminis yang sering berbicara melalui refleksi, diskurus, dan bidang ritual simbol dari keilahian yang merupakan pokok-pokok partisipasi wanita, dan pengasingan dari yang lain, daya spiritual dan penurunan mereka atau kurungan pada sifat alami, jasmani, material. Pokok-pokok ini mungkin memberikan bentuk-bentuk perbedaan antara wanita katolik yang adalah feminis.

Garis-garis besar Spiritualitas Feminis

Spiritualitas

Feminis

berakar

dalam

pengalaman

wanita,

terutama

pengalaman

akan

ketidakberdayaan dan usaha pemberdayaan kembali. Pengalaman ini didapat dari sharing pengalaman wanita, di mana sebagian besar mereka dicampakkan dari sejarah agama besar. Dua

hal yang diperoleh dari sharing pengalaman ini adalah, pertama membangkitkan kesadaran kaum wanita, kedua menjadi sumber untuk saling mendukung di antara mereka. Melalui cerita pengalamannya, wanita menemukan diri sebagai yang berharga dikala mereka dipandang remeh atau rendah. Melau sharing pengalamannya, mereka menemukan sifat komunalitas dan kekuatan politis, di mana mereka menemukan diri sebagai personal dan pribadi yang utuh. 1. Spiritualitas Feminis meliputi reintegrasi jasmani dan Rohani. Spiritualitas Feminis ikut memberikan suara kepada dan dalam perayaan aspek-aspek kejasmanian, sehingga sehingga agama menutupi kepura-puraan dengan keheningan, terutama pengamanan-pengalaman kaum wanita diasosiasikan dengan pemberian hidup yang direduksikan pada seks dan aspek-

aspekseksualitas kewanitaan yang dianggap sebagai tidak murni karena menstruasi dan melahirkan anak. 2. Spiritualitas Feminis sangat menekankan pada kebaikan dan kekudusan material dan jasmaniah. Teori-teori Feminis mengeksplikasikan secara mendalam koneksi intim antara kekuasaan pria dengan kekerasan eksploitatif terhadap wanita dan alam, di mana laki-laki digolongkan subyek bagi dominion pria. Sebagaimana laki-laki telah memperkosa wanita untuk kenikmatan dan kebutuhan mereka, demikian juga mereka memperkosa lingkungan untuk tujuan yang sama. Kaum Feminis menilai bahwa hanya melalui suatu spiritualitas, memungkinkan nilai wanita dan elemen-elemen dari alam semesta dapat menyumbangkan pembaharuan dan menciptakan dunia yang enak dihuni. Bagaimana pun, Spiritualitas Feminis tidak hanya berkaitan dengan para pencinta lingkungan hidup, yang berdasarkan pada suatu pendekatan antroposentris, melainkan ekologis dalam visi dan komitmennya pada suatu alam semesta sebagai organik tunggal (a single organic universe). 3. Spiritualitas Feminis menekankan ritual yang partisipatif, bergantian, estetis, menjelma, komunikatif yang meningkatkan hidup dan menggembirakan. Spiiritualitas Feminis menolak yang tidak emosional, sangat verbal, hirarkis dan praktek liturgis yang dominatif, sebaliknya mereka mengingnkan spiritualitas yang dapat mengatur diri sendiri, bukan dalam struktur institusional hirarkis agama patriarkal, yang menekankan ketaatan dan keseragaman, melainkan dalam komunitas yang partisipatif dan inklusif. Mereka mengimpikan suatu spiritualitas di mana mereka terlibat dalam pelayanan, liturgi, teologi dan organisasi kegerejaan. 4. Spiritualitas Feminis menekankan komitmen pada keintiman dan kedalaman relasi antara pertumbuhan spiritual personal dan transformasi dengan politik yang berkeadilan sosial. Kaum

Feminis menyerukan "personal adalah politis, yang berarti tidak hanya problem wanita yang telah dialami sebagai personal dan pribadi saja, perhatian yang sungguh-sungguh sistematis, dan hanya dapat dibatalkan melalui perubahan struktural, melainkan juga melalui transformasi sosial yang hanya mungkin melalui dan berdasar pada transformasi personal. Dengan demikian, tidak seperti spiritualitas tradisional yang secara tetap mencari titik temu antara proses pertumbuhan spiritual personal dan komitmen kepada keadilan sosial. Spiritualitas Feminis mulai dengan komitmen supaya secara serempak masuk dan keluar. Perubahan dan pertumbuhan akan terjadi dalam diri wanita jika mereka menjadi dan mengalami diri mereka sebagai manusia yang utuh, saudara-saudari ilahi dan membawa hal tersebut ke dalam dunia, dan perubahan yang sama harus terjadi dalam masyarakat. Singkatnya: reintegrasi apa yang didikotomikan, pemberdayaan apa yang dimarginalkan dan disalahgunakan, pembebasan apa yang dipaksakan dan diperbudak.

Spiritualitas Feminis Kristiani (Katolik) Dalam kelompok kristiani, khususnya katolik, wanita sebagai kelompok feminis berkaitan erat dengan gerakan spiritualitas feminis. Percampuran dari kedua kelompok itu dilihat sebagai gerakan baru yang sedang mucul, sekaligus suatu langkah yang terus berbenah diri. Dilihat semakin perlu untuk memahami setiap gerakan feminis yang ada. Dan mengetahui manakah yang memiliki hubungan langsung dengan gerakan spiritualitas feminis yang memang dirintis oleh para wanita katolik. Perlu disadari bahwa tidak semua wanita katolik menyadari akan gerakan ini. Tidak semua wanita katolik adalah pendukung kelompok feminis. Dan tidak semua gerakan ini dimengerti serta diperjuangkan oleh kaum feminis menjadi nilai spiritualitasnya. Dengan perkataan lain, spiritualitas wanita dan spiritualitas feminis tidak memiliki kesamaan arti. Bahkan ditemukan beberapa kelompok spiritualitas wanita anti gerakan feminis. Spirituallitas feminis senidri di mulai dari kesadaran akan feminisme yang awalnya muncul dari suatu penyadaran, kemudian kesadaran berlanjut menjadi suatu gerakan dari oleh pengalaman iman bersama.

Sumber Spiritualitas Feminis Diantara Jemaat Katolik Kelompok wanita katolik yang terkait dengan spiritualitas feminis memiliki titik berangkat yang berbeda-beda.

* Pertama adalah kelompok wanita katolik yang secara khusus muncul dari suatu komunitas religius (biarawati). Mereka secara mendalam pengembangan hidup spiritulitas yang telah mereka bina dari waktu ke waktu. Spiritualitas kelompok ini muncul berkat keterlibatannya dengan issu tentang keadilan di dalam masyarakat. Dari situlah mereka kemudian membentuk suatu gerakan feminisme. Kehadiran kelompok ini menampakkan dirinya sebagai kelompok dengan memiliki hidup spiritualitasnya yang khusus. Kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap hal-hal yang kusus. Bentuk pelaksanaan ritus liturgi yang ditekankan kepada kelompok maskuline, ternyata telah memberi citra buruk tentang Allah yang laki-laki. Mereka memprotes kaum pria yang terlalu menguasai sistim pelayanan sakramental. Wanita terlalu dilihat sebagai kelompok yang tertutup. Demikian halnya dalam pandangan tradisi moral Gereja, wanita menjadi bawahan untuk tugas pelayanan. Mereka ditekan (terabaikan) berkaitan dengan permasalahan sexualitas oleh institusi Gereja yang terus berlangsung. Perlakuan seperti itu dirasa semakin jelas memberatkan, menyakitkan dan taktertahankan. * Kelompok kedua adalah wanita katolik yang mengarahkan diri pada gerakan spiritualitas feminis. Mereka merupakan sebuah kelompok terdiri dari orang-orang yang pernah mendapat perlakuan sehingga mengakibatkan penderitaan pada dirinya, termasuk akibat dari perlakuan Gereja sendiri. Sebagai contoh sebuah kelompok religius (kongregasi) yang terlalu dikondisikan kehidupannya (dipaksakan) oleh Vatikan. Kehidupan sebuah pernikahan seorang wanita yang berantakan yang tidak dilindungi secara proposional oleh hukum moralitas seksual. Mereka adalah korban, atau memang menjadi korban oleh pengania oleh orang tua mereka sendiri. Perlakuan seksual yang disebabkan oleh seorang imam. Mereka yang mengalalami perlakuan yang tidak adil saat menjadi pelajar dalam pendidikan di seminary. Para wanita yang ditolak pelantikannya sebagai pelayan gereja tanpa melalui suatu testing. Bentuk pengalaman mendalam sebagai korban dari perlakuan yang semena-mena telah menimbulkan suatu pemahaman bahwa seakan-akan melihat perlakuan Allah sendindiri terhadap diri mereka. Wanita menjadikan dirinya sendiri sebagai suatu kekuatan untuk mencari jalan yang baru kepada Tuhan atau menemukan Tuhan yang baru untuk mencapai suatu tujuan. * Kelompok ketiga yaitu kelompok wanita katolik yang mau berpartisipasi dalam berelasi di luar dari kelompok Gerejanya atau disebut gerakan spiritualitas feminisme post Kristiani. Mereka semakin mantap menemukan hidup gaya spiritualitasnya dibandingkan dengan spiritualitas tradisional kristiani yang condong semakin menurun (meredup). Mereka tetap mengikuti perayaan

misa pada hari Minggu dan bertekun melakukan doa. Kelompok ini semakin mampu memisahkan diri dari sikap hidup penuh emosionalitas, amarah dan kegelilsahan religius karena kurang

menemukan nilai-nilai feminisme. Demikian juga dengan sikap yang mau mencampuradukan perasaan atau kesalahan-kesalahan diri yang terkait langsung dari pembawaan kodrat kewanitaannya. Kelompok ini berusaha menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok spiritualitas feminis lainnya, dan berusah menemukan bentuk-bentuk spiritualitas yang baru. Sulit untuk dijelaskan dengan tepat bagaimana seorang wanita adalah seorang feminis dengan melihat kaitannya antara dirinya selaku seorang feminis dan juga seorang spiritualis. Disadari bahwa keterkaitan diantara kedua hal itu selalu saja ada.

Tiga bidang yang biasanya menyajikan problem utama dalam spiritualitas kaum wanita Katolik, yakni teologi, pelayanan kerohanian dan perkembangan kepribadian.

Perhatian Teologi Secara nyata ada kaitan tertutup dalam satu kepercayaan, yakni iman dan pengalaman iman (spiritualitas). Konsekwensinya adalah androcentrim (pemusatan kaum pria), patriakal (dominasi kaum laki-laki) dan tindakan seksual (penindasan kaum laki-laki), yang merupakan karakteristik teologi Katolik dewasa ini dan juga merupakan masalah besar bagi gerakan feminis (khususnya yang beriman). Meskipun menyangkal Tuhan, yang semata-mata adalah Roh, dijenis-kelaminkan sebagai laki-laki, namun ajaran kuat dan liturgi praktis gereja menyatakan Allah dalam tiga pribadi laki-laki - Bapa, Putera dan Roh Kudus - (sesuatu yang tetap kembali kepada "dia laki-laki -he-" ). Yesus penyelamat, yang secara historis hadir sebagai laki-laki, meminta perhatian pada tahun-tahun belakangan ini. Hal itu berlawanan pada tradisi yang membatasi ruang gerak wanita dalam partisipasi sakramental dalam Gereja. Kaum wanita tidak dapat menggantikan posisi laki-laki dalam pelayanan sakramental tersebut (lih. Kongregasi Suci untuk Doktrin Iman: "Declaration on Question of the Admission of Women to the Ministerial", 1977, bagian 5). Menurut ajaran resmi Gereja Katolik, hirarki patriakat merupakan institusi Ilahi. Sakramensakramen kehidupan seperti Ekaristi dan Pengakuan Dosa hanya dapat diurus oleh laki-laki. Selanjutnya posisi kaum wanita tidak hanya sub-ordinasi tetapi juga tergantung pada sakramen yang dilayankan kaum laki-laki. Kaum wanita juga secara ontologis tidak cakap dalam menerimakan suatu sakramen. Walaupun demikian, ada banyak hal yang dilihat secara ontologis tentang

eksistensi kaum wanita dalam pandangan gereja Katolik. Akan tetapi sebenarnya itu merupakan cara pengagungan wanita dalam teori dan peng-sub-ordinasian dalam praktek. Kesukaran teologi pada pandangan tentang wanita demi pemenuhan kemanusiaan dan kristianitas dalam Gereja Katolik adalah banyak sekali (seperti teologi Maria), yang dengan demikian memberikan konklusi bahwa respek kewanitaan dan katolisitas tidak dapat diperdamaikan. Dan ini merupakan perjuangan gerakan kepada spiritualitas feminis post-kristiani. Sedangakan kaum wanita yang tetap memilih tinggal dalam gereja akan menghadapi banyak rintangan dalam memelihara spiritualitas mereka (hidup rohani) dan dalam mengubah institusi yang baku. Maka besar luasnya spiritualitas feminis dikarakteristik oleh sebuah perjuangan.

Perhatian Pelayanan Kerohanian. Di samping itu, pengalaman pelayanan dalam praktek kerja kaum rohaniwan yang dididik dalam seminari dengan tuntutan hidup selibat, sering kurang dewasa dalam berelasi dengan kaum wanita. Sebenarnya pelayanan kaum wanita makin bertambah di bidang tugas yang biasanya disediakan bagi kaum rohaniwan (laki-laki). Namun di satu pihak, mereka dihalangi oleh ketidak-mampuan mereka dalam melakukan upacara-upacara seperti Ekaristi, Pertobatan, Sakramen Orang Sakit, Perkawinan, Pemakaman orang meninggal dan juga kepemimpinan dalam paroki, rumah-sakit, pelayanan penjara, dan dalam melayani spiritualitas kategorial. Karena banyak wanita tidak cakap dalam pelayanan semacam itu dalam Gereja, maka pelayanan mereka dialihkan kepada pelayanan sekular dan dikembangkan kepada pelayanan lain, misalnya bekerja di dalam kantor resmi, pelayanan resmi gereja, yang dari sana mereka bisa membawa perubahan di dalamnya. Perhatian pada Perkembangan Seperti Joann Conn dalam "Spiritualitas dan Kedewasaan Personal" menunjukkan bahwa spiritualitas Katolik tradisional digalakkan dengan bentuk kultural yang membatasi perkembangan psikologis wanita, khususnya dalam hormat kepada prestasi dan otonomi pribadi yang tepat. Kewanitaan kristiani yang ideal sering digambarkan melalui perubahan pandangan-pandangan dalam Mariologi. Hati wanita dibesarkan kepada ketetapan psikologis dan spiritual yang belum matang dan sub-ordinasi kepada kaum laki-laki. Sebagai wanita Katolik yang kesadaran mereka terus berkembang, sering menemukan konflik dengan bermacam-macam hal dalam tradisi spiritualitas Katolik dan dalam sebuah situasi yang tidak menentu, dalam kesalahan dan dalam kemarahan.

Feminitas Katolik dan Gerakan Feminis Katolik sama-sama memberikan kesadaran feminim dan komitmen, tetapi mereka berbeda di dalam stasus kedudukan sosial yang mengedepankan hal utama dalam situasi institusi Gereja dan kemudian pada institusi kaum laki-laki. Sementara itu ada perhatian alternatif gereja dalam bidang spiritual, maka gereja terlebih dahulu memusatkan

perhatian pada isu kelangsungan hidup, pertumbuhan, perubahan dan kemudian isu penciptaan ekspresi spiritual baru. Tantangan wanita dan kelahiran gerakan feminis dalam gereja Katolik membuka kemungkinan bagi pengembangan spiritual feminis Katolik yang masih merupakan sebuah fenomen yang sangat muda dan masih akan terus berkembang.

Spiritualitas feminis katolik dapat digolongkan dalam doa model, yaitu katolik yang feminis, yang identik dengan Gereja Katolik dan feminis katolik, pergerakan wanita katolik. Kedua model spiritualitas ini disebut sebagai wanita Gereja.

Secara umum perjuangan akan hak-hak wanita yang dilakukan oleh Gereja Katolik, terutama berasal dari wanita dalam Gereja itu yang ditopang oleh semangat hidup doa dan diungkapkan dalam komitmen yang kuat untuk melayani. Pandangan wanita pada abat pertengahan menempatkan wanita sebagai pelengkap dalam komunitas orang-orang percaya karena jenis kelamin yang berbeda. Pandangan ini rasanya tidak adil jika mau berbicara mengenai spiritualitas wanita. Maka muncullah perjuangan dari kaum wanita, yang dicirikan dengan rasa merah dan jengkel terhadap Gereja dan ingin mereformasinya. Ungkapan dan kejengkelan ini tentu tidak sama dari setiap periode, sebab setiap orang dan golongan memiliki problem tersendiri, namun yang terus-menerus yang menjadi alasan perjuangan ini ialah wanita dalam Gereja selalu mendapat perlakuan yang tidak adil, mereka menjadi korban dari struktur Gereja yang mengutamakan kaum pria dan mengesampingkan kaum wanita. Feminis katolik meminta atau menuntut agar terlibat dan berpartisipasi dalam dalam Gereja, ini sebuah krisis spirtual dalam Gereja. Selain perlakuan tidak adil dalam gereja, kaum wanita juga mengalami ketidak adilan dalam kelurga dan masyarakat sosial. Maka kemarahan mereka ini semakin dibenarkan oleh relasi antara wanita dan pria..... Perjuangan akan spiritual yang sehat, para feminis dalam agenda mereka mencoba berusaha untuk mencapai otonomi yang dewasa dan Gereja mencoba menanggapi perjuangan ini dengan

memberi tempat Khusus bagi wanita. Para pejuang wanita menggali sumber dari dalam Gereja dan para teolog dan psikolog wanita banyak memberi masukan demi persamaan hak dalam Gereja terutama keterlibatan dalam perayaan ritual Gereja. Dari luar tampak bahwa spiritualitas wanita katolik adalah sebuah komitmen aktif untuk mereformasi Gereja dari dalam. Para feminis berbicara seharusnya Gereja memperjuangkan hakhak anggota gereja dari dalam dirinya, tetapi yang tampak bahwa gereja banyak berbicara soal hak di luar Gereja itu sendiri. Teolog feminis katolik seperti Anne Carr dan Elisabeth Jhonson dilibatkan dalam merefisi tradisi katolik. Hasilnya diakui bahwa kaum pria sangat mendominasi akademis katolik sehingga ajaran dan praktek dalam gereja dikuasai oleh kaum pria. Hasil yang lain dari pertemuan ini ialah dilibatkannya wamita dalam pelayanan pastoral dengan menolak perbedaan jenis kelamin.

Spiritualtas ini identik pada dirinya bukan terutama berhubungan dengan institusi Gereja atau religius tertentu tetapi dalam feminis itu sendiri. Landasannya ialah wanita Gereja yang berada di luar hirarki. Mereka berjuang untuk kesejatian religius, yaitu persamaan hak antara pria dan wanita. Banyak pejuang yang tergabung dalam kelompok ini, seperti wanita katolik, protestan, budhis yang berasal dari suku dan ras yang berbeda. Mereka tidak terikat pada identitas keagamaan mereka dan bergabung dalam sebuah perjuangan demi keadilan dan perdamaian dan ingin mereformasi institusi. Spiritulaitas anggota wanita gereja mengutamakan keistimewaan feminis. Misalnya spiritualitas feminis katolik terlibat dalam kegiatan ritual dalam kelompok penyanyi, penari, pembaca puisi dan pencerita. Persaudaraan wanita dipenuhi oleh komitmen keadilan sosial yang diakibtkan oleh berbagai bentuk penindasan. Feminis katolik bersama dengan para religius yang lain bergerak untuk mereformasi Gereja. Mereka bergerak untuk membangun sebuah ritual yang sifatnya tidak menindas mereka tetapi yang memberi hidup dan pengharapan. Mereka secara bersama tidak ragu-ragu untuk menulis ulang cerita biblis yang mendukung pendirian wanita, agar cerita yang ada tidak legi bersifat menindas dan meminggirkan mereka. Mereka ingin menulis sebuah cerita yang baru yang non-partrialkal. Mereka berjuang untuk menentang segala jenis penindasan seperti kontrasepsi, perceraian, dan aborsi. Maka Gereja memandang bahwa pergerakan wanita dalam gereja adalah sesuatu yang baru dan perlu dihormati dan didukung.

www.harefa.com

FEMINISME
Penemuan kembali paham keilahian wanita

Walaupun banyak diskusi tentang keilahian dalam tradisi kekristenan, tidaklah mungkin untuk memahami spiritualitas feminis tanpa mengerti penemuan kembali keilahian yang berperan didalamnya. Secara umum, "keilahian" adalah sebutan untuk roh dan daya ilahi yang digambarkan dalam istilah feminin, sebagaimana sebutan untuk "Allah" yakni istilah bagi roh dan daya ilahi dalam pelukisan maskulin. Dalam Dunia Barat keyakinan ini menyangkut sembah sujud terhadap yang ilahi, ibu utama yang merupakan Ratu Surga sebagai sumber utama bagi kehidupan dan kematian di bumi yang muncul jauh sebelum paham monotheisme patriarkal. Gerda Larner, dalam tulisannya tentang Penciptaan Patriarkal (New York: Oxford, 1986), mencatat perkembangan sistem kemasyarakatan yang menentukan seorang ayah sebagai kepala keluarga dalam masyarakat kuno, pemunculan sistem kerajaan sebagai bentuk pemerintahan dan akhirnya perkembangan monoteisme perempuan sebagai pengesahan penting suatu monarki yang bersifat patriarkal. Poin penting bagi kita adalah bahwa dalam tradisi Yahudi dan kekristenan, ketuhanan yang dipahami sebagai dua pribadi yang unik hampir dipahami secara eksklusif dalam peristilahan kaum lelaki. Monoteisme Yahudi - Kristen bersifat patriarkal dan monarkial yang mendalam, meski keduanya tidak langsung dinyatakan dalam teologi monoteistik. Selanjutnya, walaupun "Allah" bukanlah istilah atau konsep jenis kelamin yang nyata, Allah terus-menerus ditunjuk sebagai "dia" dan dilukiskan sebagai pria yang memiliki unsur kewanitaan yang hadir secara efektif dari keilahian. Dengan demikian, konsekuensi yang muncul menegaskan bahwa wanita berasal dari dunia ilahi. Penemuan kembali istilah keilahian selanjutnya menegaskan bahwa ada hubungan erat antara keilahian dan kewanitaan. Penemuan kembali keilahian sekurang-kurangnya mempunyai tiga bentuk dasar dalam spiritualitas wanita, meski tidak selalu cocok dengan iman kekristenan dan ditandakan dengan bahasa-bahasa petunjuk lainnya. Pertama dan paling radikal adalah theaology yang dibedakan dari theologi yakni pembicaraan tentang yang ilahi dalam perbedaan karena berlawanan untuk berbicara tentang Allah. Hal ini tidak

www.harefa.com

selalu mampu menjelaskan secara mendalam pembicaraan tentang yang ilahi dalam konteks yang menunjuk pada pribadi nyata, yang sungguh-sungguh ada, seorang yang dapat menyembah atau bagi seorang yang dapat berdoa atau menggunakan istilah sebagai sebuah simbol dari kekuatan kudus yang dialami sebagai wanita daripada lelaki. Namun perbedaan utama antara tradisi kekristenan perihal diskursus tentang Allah dan perbincangan kaum wanita tentang keilahian akhirnya dimengerti sebagai persoalan imanen daripada transenden. Lebih tepat lagi, keilahian lebih bersifat transenden - imanen, dengan demikian tidak hanya pengilahian wanita dengan rahasiarahasia pemberian kehidupan tetapi juga peniadaan yang terbagi antara transenden dan imanen, roh dan tubuh, kudus dan duniawi, surga dan bumi, dan seluruh keturunan manicheanisme dari hirarki yang bersifat mendua. Satu versi perihal bentuk pertama dari keyakinan ilahi dalam spiritualitas feminis dan satu hal yang mendatangkan kedekatan pada kengerian antara wali dari agama patriarkal adalah keyakinan wicca. Wicca (istilah ini maksudnya adalah kebijaksanaan) merupakan revitalisasi tradisi sebelum kekristenan Eropa tentang kaum kafir atau agama alam yang hdiup dalam ketaatan, perayaan dan dihidupi dari rahasia besar alamnya sendiri. Dewi keagamaan-keagamaan itu adalah wanita dan pemggemar-penggemarnya dan imam-imam yang berkuasa meski tidak secara eksklusif disebut wanita. Mereka hadir bersama dalam "bahtera kecil", atau komunitas kecil non hirarkis yang membantu dan mendewakan diri serta sering menyebut diri mereka sendiri sebagai "tukang sihir", yang memprovokasi untuk menjalankannya dengan sengaja bahkan hanya menandakan perasaan mereka yang terus-menerus dengan keturunan wicca tetapi juga pelaksana simbol expiates dari jutaan wanita dalam seluruh sejarah kekristenan. Kebijaksanaan bukanlah "ilmu hitam" atau pesta sex yang gila-gilaan pada malam hari tetapi partisipasi ritual dalam pemberian hidup dan daya penyembuhan alam, yang diakui sebahgai perwujudan atua manifestasi yang ilahi. Bagi kebijaksanaan, alam bukanlah sesuatu yang tidak berdaya tetapi suatu kenyataan hidup dalam segala sesuatu yang terjalin secara intim. Manusia adalah partner dan pemimpin ciptaan bukan menjadi tuan atas ciptaan. Spiritualitas memasukkan daya seksualitas tanpa mengubah hal lain atau menguasainya. Hidup dan cinta adalah niali-nilai utama yang tidak asing lagi bagi kebenaran. Tindakan ritual menjadi aturan yang penting dalam ilmu gaib, sebab tindakan tersebut merupakan tempat dimana roh dan alam bertemu serta menyatu, menguduskan seluruh kenyataan dan menyatukan manusia dengan diri mereka satu sama lain dan alam.

www.harefa.com

Bentuk kedua dari penyingkapan keilahian dalam spiritualitas feminis disimbolisasikan dengan simbol verbal bagi Allah/ilahi. Wanita yang menunjuk pada dewi model ini seperti Rosemary R. Ruether menerangkan dasar yang tepat bagi wanita seluruhnya adalah kebenaran dalam tradisi tertinggi dan religius tentang Allah. Kedewian menjadi dasar yang tepat bagi semua sebagai kebenaran dalam teologi dan tradisi religius tentang Allah, walaupun tidak mengakui perubahan bentuk partriarkal dan maskulinum tentang tradisi Allah, mereka terus

menghubungkannya dengan wahyu Yahudi - kristen. Kaum wanita menekankan aspek keperempuanan dari Kitab Suci yang bersifat ilahi/dewi, secara khusus sebagaimana mereka uraikan dalam personifikasi perempuan tentang Allah sebagai kebijaksanaan kudus. Mereka juga menuntut agar mengganti persoalan metaforis dari Kitab Suci tentang Yahwe dari perspektif perempuan, menuntut penggunaan bahasa jenis kelamin (gender) bagi keduanya, seperti yang ilahi dan manusiawi dalam doa dan sembah sujud, dan berjuang untuk mengimpikan kembali diri mereka sendiri dan yang lainnya berhadapan dengan Allah kekristenan dalam peristilahan wanita. Mereka memandang bahwa mereka sendiri sebagai kepenuhan dalam bayangan dan keserupaan dengan Allah/dewi hanya berjarak jauh sebagaimana mereka miliki kecakapan spiritual akan pengetahuan dan kehendak sebab mereka juga ikut serta secara jasmaniah dalam daya ilahi yang besar, yang memberi dan memelihara kehidupan. Selanjutnya mereka juga berusaha menerima kembali pemberian kekuatan spiritual, pembaharuan kembali tubuh dan penyatuan kembali bagian-bagian yang terpisah tanpa memisahkan diri mereka sendiri dari tradisi Kitab Suci dan Sakramen Gereja. Bentuk ketiga dari penyingkapan keilahian diantara wanita yang dibutuhkan dalam spiritualitas feminis adalah keutamaan psikologi dan penyembuhan, dan menghadirkan kembali bentuk/modifikasi dari pola dasar teori Jungian (Jung), yang menjadi penting dalam perkembangan beberapa tahun terakhir dalam pendekatan spiritualitas kekristenan. Carl Jung mengakui kemampuan akan hubungan transkultural intrafisik yang disebutnya pola-pola dasar untuk mengumpulkan pemikiran dan perasaan kompleks yang bergerak dalam pengalaman harian kita. Pola dasar yang fundamental menurut Jung adalah jiwa (anima) atau prinsip feminisme dalam psike kelelakian, dan animus (kebencian) atau prinsip kelelakian dalam psike wanita. Masalah utama dengan teori Jung dari perspektif feminis adalah bahwa Jung menetapkan kualitas stereotipe dari budaya lelaki yakni perspektif itu disatukan dengan roh, sebagai akibat, inisiatif, kreativitas, kepemimpinan dll. Untuk prinsip maskulin, dan kualitas stereotipe dari budaya

www.harefa.com

wanita yaitu penyatuan dengan tubuh, sebagai emosi, insting, penerima pasif, penyebaran akan fokus mental, dll. terhadap prinsip kewanitaan. Akibatnya adalah manusia (lelaki) dimungkinkan untuk mengatasi gambaran atau menguasai budaya dan memisahkan kualitas kewanitaan dalam ukuran kecil, memperkaya penjelasan, dominasi spiritualitas hidup lelaki tanpa pernah mengenali atau memperkenalkannya dengan mereka. Wanita atas cara lain dapat mencapai sesuatu diatas mereka sendiri, keluar dari alam kerendahan diri dan membebaskan diri dari bidang yang didominasi secara lebih tinggi dengan pikiran dan semangat untuk mengatasi gambaran superioritas kaum pria, sehingga mereka mampu memenuhi fungsi dalam gelanggang di luar sebagai pemimpin politik atau akademis. Namun mereka tidak pernah mengklaim kualitas diri sebagai milik mereka sendiri. Kualitas wanita (i.e. rendah) didesak oleh kaum lelaki sehingga lelaki (penguasa) tetap menekan kaum wanita. Meskipun usaha berani Jung menyatukan keduanya, antara feminin dan maskulin, namun secara respek ia lebih mengurangi kebencian terhadap wanita dibanding dengan pendahulunya Sigmund Freud, dalam pendekatan dua bagian yang mempunyai efek norma stereotipe tradisi sakral dan budaya hirarki maskulin dan feminin dengan mengasingkan wanita dalam semangat yang nyata. Beberapa psikoterapis feminis Jungian mempunyai pembaharuan skema Jung yang menyetujui bahwa ada pola-pola dasar feminin dan maskulin, tetapi mereka melihatnya sebagai kelipatan dan bahkan sebagai fungsi eksklusif contra sexsual. Secara singkat dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalan spiritual tidak dikuasai oleh salah satu kaum feminis yang sering berbicara melalui refleksi, diskurus, dan bidang ritual simbol dari keilahian yang merupakan pokok-pokok partisipasi wanita, dan pengasingan dari yang lain, daya spiritual dan penurunan mereka atau kurungan pada sifat alami, jasmani, material. Pokok-pokok ini mungkin memberikan bentuk-bentuk perbedaan antara wanita katolik yang adalah feminis.

Garis-garis besar Spiritualitas Feminis

Spiritualitas

Feminis

berakar

dalam

pengalaman

wanita,

terutama

pengalaman

akan

ketidakberdayaan dan usaha pemberdayaan kembali. Pengalaman ini didapat dari sharing pengalaman wanita, di mana sebagian besar mereka dicampakkan dari sejarah agama besar. Dua

www.harefa.com

hal yang diperoleh dari sharing pengalaman ini adalah, pertama membangkitkan kesadaran kaum wanita, kedua menjadi sumber untuk saling mendukung di antara mereka. Melalui cerita pengalamannya, wanita menemukan diri sebagai yang berharga dikala mereka dipandang remeh atau rendah. Melau sharing pengalamannya, mereka menemukan sifat komunalitas dan kekuatan politis, di mana mereka menemukan diri sebagai personal dan pribadi yang utuh. 1. Spiritualitas Feminis meliputi reintegrasi jasmani dan Rohani. Spiritualitas Feminis ikut memberikan suara kepada dan dalam perayaan aspek-aspek kejasmanian, sehingga sehingga agama menutupi kepura-puraan dengan keheningan, terutama pengamanan-pengalaman kaum wanita diasosiasikan dengan pemberian hidup yang direduksikan pada seks dan aspek-

aspekseksualitas kewanitaan yang dianggap sebagai tidak murni karena menstruasi dan melahirkan anak. 2. Spiritualitas Feminis sangat menekankan pada kebaikan dan kekudusan material dan jasmaniah. Teori-teori Feminis mengeksplikasikan secara mendalam koneksi intim antara kekuasaan pria dengan kekerasan eksploitatif terhadap wanita dan alam, di mana laki-laki digolongkan subyek bagi dominion pria. Sebagaimana laki-laki telah memperkosa wanita untuk kenikmatan dan kebutuhan mereka, demikian juga mereka memperkosa lingkungan untuk tujuan yang sama. Kaum Feminis menilai bahwa hanya melalui suatu spiritualitas, memungkinkan nilai wanita dan elemen-elemen dari alam semesta dapat menyumbangkan pembaharuan dan menciptakan dunia yang enak dihuni. Bagaimana pun, Spiritualitas Feminis tidak hanya berkaitan dengan para pencinta lingkungan hidup, yang berdasarkan pada suatu pendekatan antroposentris, melainkan ekologis dalam visi dan komitmennya pada suatu alam semesta sebagai organik tunggal (a single organic universe). 3. Spiritualitas Feminis menekankan ritual yang partisipatif, bergantian, estetis, menjelma, komunikatif yang meningkatkan hidup dan menggembirakan. Spiiritualitas Feminis menolak yang tidak emosional, sangat verbal, hirarkis dan praktek liturgis yang dominatif, sebaliknya mereka mengingnkan spiritualitas yang dapat mengatur diri sendiri, bukan dalam struktur institusional hirarkis agama patriarkal, yang menekankan ketaatan dan keseragaman, melainkan dalam komunitas yang partisipatif dan inklusif. Mereka mengimpikan suatu spiritualitas di mana mereka terlibat dalam pelayanan, liturgi, teologi dan organisasi kegerejaan. 4. Spiritualitas Feminis menekankan komitmen pada keintiman dan kedalaman relasi antara pertumbuhan spiritual personal dan transformasi dengan politik yang berkeadilan sosial. Kaum

www.harefa.com

Feminis menyerukan "personal adalah politis, yang berarti tidak hanya problem wanita yang telah dialami sebagai personal dan pribadi saja, perhatian yang sungguh-sungguh sistematis, dan hanya dapat dibatalkan melalui perubahan struktural, melainkan juga melalui transformasi sosial yang hanya mungkin melalui dan berdasar pada transformasi personal. Dengan demikian, tidak seperti spiritualitas tradisional yang secara tetap mencari titik temu antara proses pertumbuhan spiritual personal dan komitmen kepada keadilan sosial. Spiritualitas Feminis mulai dengan komitmen supaya secara serempak masuk dan keluar. Perubahan dan pertumbuhan akan terjadi dalam diri wanita jika mereka menjadi dan mengalami diri mereka sebagai manusia yang utuh, saudara-saudari ilahi dan membawa hal tersebut ke dalam dunia, dan perubahan yang sama harus terjadi dalam masyarakat. Singkatnya: reintegrasi apa yang didikotomikan, pemberdayaan apa yang dimarginalkan dan disalahgunakan, pembebasan apa yang dipaksakan dan diperbudak.

Spiritualitas Feminis Kristiani (Katolik) Dalam kelompok kristiani, khususnya katolik, wanita sebagai kelompok feminis berkaitan erat dengan gerakan spiritualitas feminis. Percampuran dari kedua kelompok itu dilihat sebagai gerakan baru yang sedang mucul, sekaligus suatu langkah yang terus berbenah diri. Dilihat semakin perlu untuk memahami setiap gerakan feminis yang ada. Dan mengetahui manakah yang memiliki hubungan langsung dengan gerakan spiritualitas feminis yang memang dirintis oleh para wanita katolik. Perlu disadari bahwa tidak semua wanita katolik menyadari akan gerakan ini. Tidak semua wanita katolik adalah pendukung kelompok feminis. Dan tidak semua gerakan ini dimengerti serta diperjuangkan oleh kaum feminis menjadi nilai spiritualitasnya. Dengan perkataan lain, spiritualitas wanita dan spiritualitas feminis tidak memiliki kesamaan arti. Bahkan ditemukan beberapa kelompok spiritualitas wanita anti gerakan feminis. Spirituallitas feminis senidri di mulai dari kesadaran akan feminisme yang awalnya muncul dari suatu penyadaran, kemudian kesadaran berlanjut menjadi suatu gerakan dari oleh pengalaman iman bersama.

Sumber Spiritualitas Feminis Diantara Jemaat Katolik Kelompok wanita katolik yang terkait dengan spiritualitas feminis memiliki titik berangkat yang berbeda-beda.

www.harefa.com

* Pertama adalah kelompok wanita katolik yang secara khusus muncul dari suatu komunitas religius (biarawati). Mereka secara mendalam pengembangan hidup spiritulitas yang telah mereka bina dari waktu ke waktu. Spiritualitas kelompok ini muncul berkat keterlibatannya dengan issu tentang keadilan di dalam masyarakat. Dari situlah mereka kemudian membentuk suatu gerakan feminisme. Kehadiran kelompok ini menampakkan dirinya sebagai kelompok dengan memiliki hidup spiritualitasnya yang khusus. Kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap hal-hal yang kusus. Bentuk pelaksanaan ritus liturgi yang ditekankan kepada kelompok maskuline, ternyata telah memberi citra buruk tentang Allah yang laki-laki. Mereka memprotes kaum pria yang terlalu menguasai sistim pelayanan sakramental. Wanita terlalu dilihat sebagai kelompok yang tertutup. Demikian halnya dalam pandangan tradisi moral Gereja, wanita menjadi bawahan untuk tugas pelayanan. Mereka ditekan (terabaikan) berkaitan dengan permasalahan sexualitas oleh institusi Gereja yang terus berlangsung. Perlakuan seperti itu dirasa semakin jelas memberatkan, menyakitkan dan taktertahankan. * Kelompok kedua adalah wanita katolik yang mengarahkan diri pada gerakan spiritualitas feminis. Mereka merupakan sebuah kelompok terdiri dari orang-orang yang pernah mendapat perlakuan sehingga mengakibatkan penderitaan pada dirinya, termasuk akibat dari perlakuan Gereja sendiri. Sebagai contoh sebuah kelompok religius (kongregasi) yang terlalu dikondisikan kehidupannya (dipaksakan) oleh Vatikan. Kehidupan sebuah pernikahan seorang wanita yang berantakan yang tidak dilindungi secara proposional oleh hukum moralitas seksual. Mereka adalah korban, atau memang menjadi korban oleh pengania oleh orang tua mereka sendiri. Perlakuan seksual yang disebabkan oleh seorang imam. Mereka yang mengalalami perlakuan yang tidak adil saat menjadi pelajar dalam pendidikan di seminary. Para wanita yang ditolak pelantikannya sebagai pelayan gereja tanpa melalui suatu testing. Bentuk pengalaman mendalam sebagai korban dari perlakuan yang semena-mena telah menimbulkan suatu pemahaman bahwa seakan-akan melihat perlakuan Allah sendindiri terhadap diri mereka. Wanita menjadikan dirinya sendiri sebagai suatu kekuatan untuk mencari jalan yang baru kepada Tuhan atau menemukan Tuhan yang baru untuk mencapai suatu tujuan. * Kelompok ketiga yaitu kelompok wanita katolik yang mau berpartisipasi dalam berelasi di luar dari kelompok Gerejanya atau disebut gerakan spiritualitas feminisme post Kristiani. Mereka semakin mantap menemukan hidup gaya spiritualitasnya dibandingkan dengan spiritualitas tradisional kristiani yang condong semakin menurun (meredup). Mereka tetap mengikuti perayaan

www.harefa.com

misa pada hari Minggu dan bertekun melakukan doa. Kelompok ini semakin mampu memisahkan diri dari sikap hidup penuh emosionalitas, amarah dan kegelilsahan religius karena kurang

menemukan nilai-nilai feminisme. Demikian juga dengan sikap yang mau mencampuradukan perasaan atau kesalahan-kesalahan diri yang terkait langsung dari pembawaan kodrat kewanitaannya. Kelompok ini berusaha menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok spiritualitas feminis lainnya, dan berusah menemukan bentuk-bentuk spiritualitas yang baru. Sulit untuk dijelaskan dengan tepat bagaimana seorang wanita adalah seorang feminis dengan melihat kaitannya antara dirinya selaku seorang feminis dan juga seorang spiritualis. Disadari bahwa keterkaitan diantara kedua hal itu selalu saja ada.

Tiga bidang yang biasanya menyajikan problem utama dalam spiritualitas kaum wanita Katolik, yakni teologi, pelayanan kerohanian dan perkembangan kepribadian.

Perhatian Teologi Secara nyata ada kaitan tertutup dalam satu kepercayaan, yakni iman dan pengalaman iman (spiritualitas). Konsekwensinya adalah androcentrim (pemusatan kaum pria), patriakal (dominasi kaum laki-laki) dan tindakan seksual (penindasan kaum laki-laki), yang merupakan karakteristik teologi Katolik dewasa ini dan juga merupakan masalah besar bagi gerakan feminis (khususnya yang beriman). Meskipun menyangkal Tuhan, yang semata-mata adalah Roh, dijenis-kelaminkan sebagai laki-laki, namun ajaran kuat dan liturgi praktis gereja menyatakan Allah dalam tiga pribadi laki-laki - Bapa, Putera dan Roh Kudus - (sesuatu yang tetap kembali kepada "dia laki-laki -he-" ). Yesus penyelamat, yang secara historis hadir sebagai laki-laki, meminta perhatian pada tahun-tahun belakangan ini. Hal itu berlawanan pada tradisi yang membatasi ruang gerak wanita dalam partisipasi sakramental dalam Gereja. Kaum wanita tidak dapat menggantikan posisi laki-laki dalam pelayanan sakramental tersebut (lih. Kongregasi Suci untuk Doktrin Iman: "Declaration on Question of the Admission of Women to the Ministerial", 1977, bagian 5). Menurut ajaran resmi Gereja Katolik, hirarki patriakat merupakan institusi Ilahi. Sakramensakramen kehidupan seperti Ekaristi dan Pengakuan Dosa hanya dapat diurus oleh laki-laki. Selanjutnya posisi kaum wanita tidak hanya sub-ordinasi tetapi juga tergantung pada sakramen yang dilayankan kaum laki-laki. Kaum wanita juga secara ontologis tidak cakap dalam menerimakan suatu sakramen. Walaupun demikian, ada banyak hal yang dilihat secara ontologis tentang

www.harefa.com

eksistensi kaum wanita dalam pandangan gereja Katolik. Akan tetapi sebenarnya itu merupakan cara pengagungan wanita dalam teori dan peng-sub-ordinasian dalam praktek. Kesukaran teologi pada pandangan tentang wanita demi pemenuhan kemanusiaan dan kristianitas dalam Gereja Katolik adalah banyak sekali (seperti teologi Maria), yang dengan demikian memberikan konklusi bahwa respek kewanitaan dan katolisitas tidak dapat diperdamaikan. Dan ini merupakan perjuangan gerakan kepada spiritualitas feminis post-kristiani. Sedangakan kaum wanita yang tetap memilih tinggal dalam gereja akan menghadapi banyak rintangan dalam memelihara spiritualitas mereka (hidup rohani) dan dalam mengubah institusi yang baku. Maka besar luasnya spiritualitas feminis dikarakteristik oleh sebuah perjuangan.

Perhatian Pelayanan Kerohanian. Di samping itu, pengalaman pelayanan dalam praktek kerja kaum rohaniwan yang dididik dalam seminari dengan tuntutan hidup selibat, sering kurang dewasa dalam berelasi dengan kaum wanita. Sebenarnya pelayanan kaum wanita makin bertambah di bidang tugas yang biasanya disediakan bagi kaum rohaniwan (laki-laki). Namun di satu pihak, mereka dihalangi oleh ketidak-mampuan mereka dalam melakukan upacara-upacara seperti Ekaristi, Pertobatan, Sakramen Orang Sakit, Perkawinan, Pemakaman orang meninggal dan juga kepemimpinan dalam paroki, rumah-sakit, pelayanan penjara, dan dalam melayani spiritualitas kategorial. Karena banyak wanita tidak cakap dalam pelayanan semacam itu dalam Gereja, maka pelayanan mereka dialihkan kepada pelayanan sekular dan dikembangkan kepada pelayanan lain, misalnya bekerja di dalam kantor resmi, pelayanan resmi gereja, yang dari sana mereka bisa membawa perubahan di dalamnya. Perhatian pada Perkembangan Seperti Joann Conn dalam "Spiritualitas dan Kedewasaan Personal" menunjukkan bahwa spiritualitas Katolik tradisional digalakkan dengan bentuk kultural yang membatasi perkembangan psikologis wanita, khususnya dalam hormat kepada prestasi dan otonomi pribadi yang tepat. Kewanitaan kristiani yang ideal sering digambarkan melalui perubahan pandangan-pandangan dalam Mariologi. Hati wanita dibesarkan kepada ketetapan psikologis dan spiritual yang belum matang dan sub-ordinasi kepada kaum laki-laki. Sebagai wanita Katolik yang kesadaran mereka terus berkembang, sering menemukan konflik dengan bermacam-macam hal dalam tradisi spiritualitas Katolik dan dalam sebuah situasi yang tidak menentu, dalam kesalahan dan dalam kemarahan.

www.harefa.com

Feminitas Katolik dan Gerakan Feminis Katolik sama-sama memberikan kesadaran feminim dan komitmen, tetapi mereka berbeda di dalam stasus kedudukan sosial yang mengedepankan hal utama dalam situasi institusi Gereja dan kemudian pada institusi kaum laki-laki. Sementara itu ada perhatian alternatif gereja dalam bidang spiritual, maka gereja terlebih dahulu memusatkan

perhatian pada isu kelangsungan hidup, pertumbuhan, perubahan dan kemudian isu penciptaan ekspresi spiritual baru. Tantangan wanita dan kelahiran gerakan feminis dalam gereja Katolik membuka kemungkinan bagi pengembangan spiritual feminis Katolik yang masih merupakan sebuah fenomen yang sangat muda dan masih akan terus berkembang.

Spiritualitas feminis katolik dapat digolongkan dalam doa model, yaitu katolik yang feminis, yang identik dengan Gereja Katolik dan feminis katolik, pergerakan wanita katolik. Kedua model spiritualitas ini disebut sebagai wanita Gereja.

Secara umum perjuangan akan hak-hak wanita yang dilakukan oleh Gereja Katolik, terutama berasal dari wanita dalam Gereja itu yang ditopang oleh semangat hidup doa dan diungkapkan dalam komitmen yang kuat untuk melayani. Pandangan wanita pada abat pertengahan menempatkan wanita sebagai pelengkap dalam komunitas orang-orang percaya karena jenis kelamin yang berbeda. Pandangan ini rasanya tidak adil jika mau berbicara mengenai spiritualitas wanita. Maka muncullah perjuangan dari kaum wanita, yang dicirikan dengan rasa merah dan jengkel terhadap Gereja dan ingin mereformasinya. Ungkapan dan kejengkelan ini tentu tidak sama dari setiap periode, sebab setiap orang dan golongan memiliki problem tersendiri, namun yang terus-menerus yang menjadi alasan perjuangan ini ialah wanita dalam Gereja selalu mendapat perlakuan yang tidak adil, mereka menjadi korban dari struktur Gereja yang mengutamakan kaum pria dan mengesampingkan kaum wanita. Feminis katolik meminta atau menuntut agar terlibat dan berpartisipasi dalam dalam Gereja, ini sebuah krisis spirtual dalam Gereja. Selain perlakuan tidak adil dalam gereja, kaum wanita juga mengalami ketidak adilan dalam kelurga dan masyarakat sosial. Maka kemarahan mereka ini semakin dibenarkan oleh relasi antara wanita dan pria..... Perjuangan akan spiritual yang sehat, para feminis dalam agenda mereka mencoba berusaha untuk mencapai otonomi yang dewasa dan Gereja mencoba menanggapi perjuangan ini dengan

www.harefa.com

memberi tempat Khusus bagi wanita. Para pejuang wanita menggali sumber dari dalam Gereja dan para teolog dan psikolog wanita banyak memberi masukan demi persamaan hak dalam Gereja terutama keterlibatan dalam perayaan ritual Gereja. Dari luar tampak bahwa spiritualitas wanita katolik adalah sebuah komitmen aktif untuk mereformasi Gereja dari dalam. Para feminis berbicara seharusnya Gereja memperjuangkan hakhak anggota gereja dari dalam dirinya, tetapi yang tampak bahwa gereja banyak berbicara soal hak di luar Gereja itu sendiri. Teolog feminis katolik seperti Anne Carr dan Elisabeth Jhonson dilibatkan dalam merefisi tradisi katolik. Hasilnya diakui bahwa kaum pria sangat mendominasi akademis katolik sehingga ajaran dan praktek dalam gereja dikuasai oleh kaum pria. Hasil yang lain dari pertemuan ini ialah dilibatkannya wamita dalam pelayanan pastoral dengan menolak perbedaan jenis kelamin.

Spiritualtas ini identik pada dirinya bukan terutama berhubungan dengan institusi Gereja atau religius tertentu tetapi dalam feminis itu sendiri. Landasannya ialah wanita Gereja yang berada di luar hirarki. Mereka berjuang untuk kesejatian religius, yaitu persamaan hak antara pria dan wanita. Banyak pejuang yang tergabung dalam kelompok ini, seperti wanita katolik, protestan, budhis yang berasal dari suku dan ras yang berbeda. Mereka tidak terikat pada identitas keagamaan mereka dan bergabung dalam sebuah perjuangan demi keadilan dan perdamaian dan ingin mereformasi institusi. Spiritulaitas anggota wanita gereja mengutamakan keistimewaan feminis. Misalnya spiritualitas feminis katolik terlibat dalam kegiatan ritual dalam kelompok penyanyi, penari, pembaca puisi dan pencerita. Persaudaraan wanita dipenuhi oleh komitmen keadilan sosial yang diakibtkan oleh berbagai bentuk penindasan. Feminis katolik bersama dengan para religius yang lain bergerak untuk mereformasi Gereja. Mereka bergerak untuk membangun sebuah ritual yang sifatnya tidak menindas mereka tetapi yang memberi hidup dan pengharapan. Mereka secara bersama tidak ragu-ragu untuk menulis ulang cerita biblis yang mendukung pendirian wanita, agar cerita yang ada tidak legi bersifat menindas dan meminggirkan mereka. Mereka ingin menulis sebuah cerita yang baru yang non-partrialkal. Mereka berjuang untuk menentang segala jenis penindasan seperti kontrasepsi, perceraian, dan aborsi. Maka Gereja memandang bahwa pergerakan wanita dalam gereja adalah sesuatu yang baru dan perlu dihormati dan didukung.

You might also like