Professional Documents
Culture Documents
oleh:
Daftar Isi
Daftar Isi Daftar Gambar 1 Gejala Kuantum 1.1 Radiasi Benda Hitam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.1.1 Gejala radiasi termal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.1.2 Hukum Stefan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.1.3 Hukum Raleygh-Jeans . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Model osilator harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Energi rata-rata osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Rapat jumlah osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kerapatan energi radiasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.1.4 Teori kuantum radiasi Planck . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.2 Efek Fotolistrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.3 Efek Compton (1922) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.4 Hipotesis de Broglie (1924) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 Dasar-dasar Kuantum 2.1 Perbedaan Fisika Klasik dan Kuantum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.2 Fungsi Gelombang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.3 Operator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.3.1 Sifat-sifat operator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.3.2 Operator Hermitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.4 Pengukuran Serentak dan Berurutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii iii 1 1 1 1 3 3 4 4 6 6 8 9 10 12 12 13 13 14 15 15
DAFTAR ISI 3 Persamaan Schr dinger o 3.1 Arus Rapat Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.2 Kasus Stasioner . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.3 Partikel Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.4 Partikel dalam kotak potensial takhingga (1 dimensi). . . . . . . . . . . .
ii 17 17 18 19 19 21 22 24 26 31 31 32 38
3.5 Partikel dalam Sumur Potensial Berhingga . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.6 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Tangga . . . . . . . . . . . . . . . 3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang . . . . . . . . . . . . 3.8 Osilator Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 Atom Hidrogen 4.1 Postulat Bohr tentang Atom Hidrogen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Daftar Pustaka
Daftar Gambar
1.1 Kurva intensitas radiasi termal per satuan panjang gelombang . . . . . . . 1.2 Perbandingan antara hasil yang didapat hukum Raleygh-Jeans dan Teori Kuantum Planck . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.3 Skema efek Compton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . y 2 y 2 3.1 Grak tan y = dan cot y = . . . . . . . . . . . . . . . . . . y y
7 9 23
iii
Bab 1
Gejala Kuantum
1.1
1.1.1
Kajian tentang radiasi benda hitam bertujuan menjelaskan fenomena yang terkait dengan intensitasi radiasi (daya emisi) suatu benda pada temperatur tertentu. Pada tahun 1792, T. Wedjwood mendapati bahwa sifat universal dari sebuah objek yang dipanaskan tidak bergantung pada komposisi dan sifat kimia, bentuk, dan ukuran benda. Selanjutnya, pada tahun 1859 G. Kirchoff membuktikan sebuah teorema yang didasarkan pada sifat termodinamika benda bahwa pada benda dalam kesetimbangan termal, daya emisi (pancar) dan daya absorbsi (serap) sama besar. Ide Kirchoff dinyatakan dalam sebuah persamaan ef = J (f, T ) Af , (1.1)
dengan ef adalah daya emisi per frekuensi cahaya tiap satuan luas, f adalah frekuensi cahaya, T suhu mutlak benda, dan Af daya absorbsi (yaitu fraksi daya masuk yang diserap per frekuensi tiap satuan luas. Benda hitam didenisikan sebagai benda yang denisi menyerap semua radiasi elektromagnetik yang mengenainya, sehingga benda tersebut benda menjadi berwarna hitam, atau pada persamaan (1.1) berlaku Af = 1 sehingga ef = hitam J (f, T ) (daya emisi per frekuensi per satuan luas hanya bergantung pada f dan T saja).
1.1.2
Hukum Stefan
Pada tahun 1879, J. Stefan menemukan (secara eksperimental) bahwa daya total tiap satuan luas yang dipancarkan oleh benda padat pada semua frekuensi bergantung pada
Gambar 1.1 Kurva intensitas radiasi termal per satuan panjang gelombang. Jumlah radiasi yang dipancarkan (luas daerah di bawah kurva) bertambah seiring dengan naiknya temperatur. (Gambar diambil dari [1])
etotal =
0
ef (f, T ) df = aT 4 ,
(1.2)
dengan 0 < a <= 1 merupakan koesien serap dan = 5, 67 108 W.m2 .T4 adalah tetapan Stefan-Boltzman. Contoh. Hukum Stefan dapat diterapkan untuk memperkirakan suhu di permukaan bintang. Sebagai contoh, kita akan memperkirakan suhu di permukaan matahari. Diketahui jejari matahari adalah RS = 7, 0 108 m, jarak rata-rata matahari ke bumi adalah R = 1, 5 1011 m, dan uks (daya per satuan luas) energi matahari yang terukur di permukaan bumi adalah 1400 Wm2 . Seluruh energi yang dipancarkan matahari dapat dianggap berasal dari reaksi nuklir yang terjadi di dalamnya, bukan berasal pantulan dari radiasi yang mengenainya (seluruh radiasi yang mengenai matahari dianggap terserap sempurna). Sehingga, matahari dapat dianggap sebagai benda hitam (a = 1). Energi radiasi total yang mengenai bumi dan titik-titik lain di alam semesta yang berjarak R dari matahari adalah et (R) 4R2 , sedangkan energi total yang mening2 galkan permukaan matahari adalah et (RS ) 4RS . Menurut hukum kekekalan energi,
R2 2. RS
(1.3)
1.1 Radiasi Benda Hitam Lalu, menurut hukum Stefan et (RS ) = T 4 , sehingga diperoleh T = et (R)R2 2 RS
1/4
1400W m2
1, 5 1011 m
(R)R2
1/4
5800K.
Berdasarkan persaaan (1.1), untuk benda hitam akan berlaku ef = J(f, T ). Selanjutnya, didenisikan besaran kerapatan spektrum energi per satuan volume per satuan denisi frekuensi u(f, T ), sehingga untuk cahaya (kecepatannya c) akan diperoleh c J(f, T ) = u(f, T ) . 4
f
u(f, T ) (1.5)
Berdasarkan kurva spektrum radiasi benda hitam, Wien membuat tebakan bentuk fungsi tebakan kerapatan spektrum energi tersebut sebagai u(f, T ) = Af 3 e T . Ternyata bentuk fungsi Wien tersebut dikonrmasi secara eksperimental oleh Paschen untuk = 1 4 m (infra merah) dan T = 400 1.600 K (hasil eksperimen untuk lebih besar menyimpang dari prediksi Wien).
1.1.3
Hukum Raleygh-Jeans
Model osilator harmonik Bentuk kurva spektrum pancar benda hitam juga coba dijelaskan melalui hukum RayleighJeans. Menurut hukum tersebut, benda hitam dimodelkan sebagai sebuah rongga, dan cahaya yang memasukinya membentuk gelombang berdiri. Energi radiasi per satuan volume per satuan frekuensi merupakan moda dari osilator-osilator harmonik per satuan volume dengan frekuensi yang terletak pada selang f dan f +df . Sehingga, kerapatan energi dapat dinyatakan sebagai u(f, T )df = EN (f )df (1.6)
dengan N (f ) menyatakan rapat jumlah osilator per satuan volume per satuan frekuensi. denisi Benda hitam dianggap berada pada kesetimbangan termal, sehingga terbentuk gelom- N (f ) bang elektromagnetik berdiri di dalam rongga (gelombang berdiri EM ekivalen dengan osilator satu dimensi). Fungsi probabilitas osilator klasik memenuhi fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann, P ( ) = P0 e
( 0) kB T
distribusi Maxwell-
(1.7)
Boltzmann
1.1 Radiasi Benda Hitam dengan adalah energi dasar (terendah) osilator,
0,
pakan peluang osilator memiliki energi sebesar mutlak sistem (dalam hal ini rongga). Energi rata-rata osilator
Energi rata-rata osilator dihitung dengan memanfaatkan fungsi probabilitas (1.7), = P( ) , P( ) (1.8) ) berubah menjadi
atau untuk nilai energi yang sinambung (kontinyu), notasi jumlah ( integral. Lalu dengan mengingat persamaan (1.7), diperoleh =
0
P0 e
( 0) kB T
0 P0 e
( 0) kB T
k T e B d 0 k T B d 0 e
(1.9)
Pembilang dan penyebut pada persamaan terakhir dapat dihitung dengan cara sebagai berikut. Misalkan = (kB T )1 , maka penyebut persamaan terakhir menjadi
0
1 e d = e 1 = .
=0
(1.10)
Lalu, dengan memanfaatkan hubungan tersebut, dapat diperoleh d 1 d 0 d 1 e d = 2 d 0 1 e kB T d = 2 0 1 e kB T d = 2 . 0 e d = Sehingga, energi rata-rata osilator adalah =
k T e B d 0 k T B d 0 e
d d
(1.11)
2 1 = = kB T. 1
(1.12)
Rapat jumlah osilator Tinjau sebuah kubus dengan panjang rusuk L yang di dalamnya terdapat gelombang elektromagnetik stasioner. Berdasarkan persamaan Maxwell, diperoleh persamaan gelombang stasioner untuk medan elektromagnetik berbentuk
2
E + k 2 E = 0,
(1.13)
FI3104 Fisika Kuantum 1 2009
5 +
2 , z 2
2 x2
2 y 2
masing merupakan fungsi dari koordinat x, y, z. Dengan menganggap berlakunya separasi variabel pada tiap komponen medan E, misalnya Ex (x, y, z) u(x)v(y)w(z), dan
2 2 2 k 2 = kx + ky + kz diperoleh
d2 u 2 + kx u = 0, dx2 d2 v 2 + ky v = 0, dy 2 d2 w 2 + kz w = 0, dz 2 dengan solusi u(x) = Bx cos(kx x) + Cx sin(kx x), v(y) = By cos(ky y) + Cy sin(ky y), w(z) = Bz cos(kz z) + Cz sin(kz z).
Selanjutnya, diterapkan syarat batas bahwa u = v = w = 0 pada x = y = z = 0 dan x = y = z = L, sehingga Bx = By = Bz = 0 dan kx,y,z = nx,y,z /L dengan nx,y,z merupakan bilangan bulat positif. Dengan demikian, diperoleh u(x) = Cx sin(kx x), v(y) = Cy sin(ky y), w(z) = Cz sin(kz z), yang memberikan solusi untuk komponen Ex Ex (x, y, z) = A sin(kx x) sin(ky y) sin(kz z), dan berlaku pula k2 = (1.23) (1.20) (1.21) (1.22)
2 2 n2 2 nx + n2 + n2 = , y z L2 L2
(1.24)
dengan n menyatakan jumlah osilator dalam kotak. Sebuah kotak dalam ruang k (dimensi/satuannya m1 ) dengan volume
1 8 3 L
berisi
satu buah gelombang berdiri. Sebuah elemen volum berbentuk kulit bola berjejari k yang terletak pada sebuah kotak dengan rusuk k memiliki volum 4k 2 dk (karena kotak
berusuk k menempati satu oktan/perdelapan dari sebuah bola berjejari k). Lalu, diperoleh N (k) yaitu rapat jumlah gelombang berdiri dengan bilangan gelombang terletak antara k dan dk, N (k)dk =
1 8
4k 2 dk
3 L
L3 k 2 dk. 2 2
(1.25)
Dengan mengingat bahwa terdapat dua keadaan polarisasi untuk setiap modus gelombang EM, diperoleh jumlah gelombang berdiri tiap satuan volume (V = L3 ) sebesar k 2 dk N (k)dk , =2 V 2 2
2
N (k)dk
(1.26) dan c =
atau dengan memanfaatkan hubungan besaran-besaran gelombang EM k = f diperoleh N (f )df = Kerapatan energi radiasi 8 8f 2 df N ()d = 4 d. 3 c
(1.27)
Berdasarkan hasil untuk E dan N (f ) seperti di atas, diperoleh nilai kerapatan energi radiasi u(f, T )df = 8f 2 8 kB T df u(, T )d = 4 kB T d. c3
(1.28)
Hasil ini memungkinkan terjadinya bencana ultraviolet, bahwa rapat energi untuk cahaya bencana dengan panjang gelombang kecil (atau frekuensi besar) dapat bernilai takhingga. Dan UV ini bertentangan dengan hasil eksperimen.
1.1.4
Untuk mengatasi masalah yang timbul pada hukum Rayleigh-Jeans, Max Planck mempostulatkan bahwa energi osilator adalah sebanding dengan frekuensi gelombang,
n
= postulat
nhf (n bilangan bulat positif dan h konstanta Planck). Penerapan postulat ini ke per- Planck samaan untuk energi rata-rata menurut statistik Maxwell-Boltzman (persamaan 1.8) memberikan =
nhf nhf e kB T n=0 nhf k T B n=0 e
(1.29)
rn =
n=0
1 1r
|r| < 1,
(1.30)
khfT
B
1 1e
khfT
B
(1.31)
1.1 Radiasi Benda Hitam Bagian pembilang dihitung seperti pada persamaan (1.11). Misalkan = nen =
n hf kB T ,
7 maka
d d d d
en
n
1 1e
khfT
B
(1.32)
1e
khfT
B
khfT
B
khfT
B
1e hf
hf
khfT
B
(1.33)
df u(, T )d = 5
8hc d e
hf kB T
(1.34)
Terlihat bahwa postulat Planck mampu mengatasi masalah yang muncul pada hukum Rayleigh-Jeans. Bahkan, hasil ini sesuai dengan data eksperimen (Gambar ??). Postulat
Gambar 1.2 Kurva intensitas radiasi termal menurut hukum Raleygh-Jeans dan Teori Kuantum Planck. Terlihat bahwa teori Planck sesuai dengna hasil eksperimen (yang dinyatakan oleh titik), sedangkan hukum Raleygh-Jeans hanya sesuai untuk daerah panjang gelombang besar. (Gambar diambil dari [1]) FI3104 Fisika Kuantum 1 2009
Planck juga mampu menjelaskan hukum Stefan-Boltzman. Substitusi persamaan rapat energi radiasi ke persamaan untuk radiasi total, menghasilkan et = =
=0
c 4
u(, T ) d
=0
8hc d e
hf kB T
(1.35)
1
2k BT
Ambil x
hc kB T
hc
dx = khcT B
dx , x2
sehingga
hc dx k B T x2 5 hc (ex xkB T
1)
4 2kB T 4 3 c2 h
ex
x3 dx 1
4
= 15
4 2 5 kB 4 T 15h3 c2
= T 4 , dengan =
(1.36)
(1.37)
Soal Latihan
1. Turunkan hukum pergeseran Wien, m T = C, dengan memaksimumkan u(, T ).
1.2
Efek Fotolistrik
Tugas 1 (28 Agustus 2009)
3. Cahaya dengan intensitas 1,0 W/cm2 jatuh pada permukaan besi seluas 1,0 cm2 . Anggap bahwa besi memantulkan 96% cahaya yang mengenainya dan hanya 3% dari energi yang terserap terletak pada daerah ultraviolet. (a) Hitunglah intensitas yang dipakai untuk menghasilkan efek fotolistrik! (b) Jika panjang gelombang sinar ultraviolet adalah 250 nm, hitunglah banyaknya elektron yang diemisikan tiap detik! (c) Hitunglah besar arus yang ditimbulkan pada efek fotolistrik! (d) Jika frekuensi cut off f0 = 1, 1 1015 Hz, carilah fungsi kerja 0 untuk besi!
1.3
Efek Compton adalah gejala yang timbul jika radiasi (sinar x) berinteraksi dengan partikel (elektron). Foton sinar x bersifat sebagai partikel dengan momentum p =
hf c h = .
Skema efek Compton diberikan pada gambar 1.3. Efek Compton dapat dijelaskan meng-
Gambar 1.3 Skema efek Compton. Foton datang dengan momentum p dan menumbuk elektron yang diam. Lalu foton terhambur dengan momentum p dan elektron terhambur dengan momentum pe . Sudut hamburan foton dihitung terhadap arah datangnya. (Gambar diambil dari [1])
gunakan konsep momentum dan tumbukan. Tumbukan dianggap bersifat lenting sempurna, sehingga berlaku hukum kekekalan energi, E + me c2 = E + Ee Ee = hf hf + me c2 . (1.38)
dengan E adalah energi foton sebelum tumbukan, me c2 energi elektron sebelum tumbukan (berupa energi diam), E energi foton setelah tumbukan, dan Ee energi elektron setelah tumbukan. Seperti kasus tumbukan pada umumnya, pada peristiwa efek Compton juga berlaku kekekalan momentum. Pada arah sumbu x (searah dengan arah datang foton) p = p cos + pe cos p2 + p 2 cos2 2pp cos = p2 cos2 e (1.39)
10
dengan p momentum foton sebelum tumbukan, p momentum foton setelah tumbukan, pe momentum elektron setelah tumbukan, dan sudut hambur elektron (dihitung terhadap arah foton datang). Pada arah sumbu y (tegaklurus arah datang foton) p sin = pe sin p 2 sin2 = p2 sin2 . e Jumlah dari kedua persamaan terakhir menghasilkan p2 + p 2 2pp cos = p2 . e (1.41) (1.40)
Dengan mengingat hubungan antara momentum dengan frekuensi, persamaan terakhir dapat ditulis menjadi p2 = e hf c
2
hf c
2h2 f f cos . c2
(1.42)
(1.43)
hf c
hf c
2h2 f f cos . c2
+ me c2
(1.44)
(1.45)
yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang foton terhambur ( ) dan sudut hamburannya () dengan panjang gelombang foton datang () dan massa diam elektron (me ). Persamaan tersebut telah sesuai dengan hasil percobaan.
1.4
Pada kasus radiasi benda hitam, efek fotolistrik, dan efek Compton telah ditunjukkan bahwa cahaya (yang sebelumnya dikenal sebagai gelombang) ternyata memiliki sifat partikel. Berdasarkan kenyataan tersebut, de Broglie membuat hipotesis bahwa partikel
11
pun dapat memiliki sifat gelombang. Panjang gelombang dari sebuah partikel bergantung pada momentumnya, dengan hubungan yang sama seperti pada gelombang = h h = , p mv (1.46)
Bab 2
Dasar-dasar Kuantum
Terdapatnya gejala-gejala sis yang tidak dapat dijelaskan menggunakan hukum-hukum sika yang telah ada mendorong para ilmuwan untuk menyadari akan perlunya cara pandang baru dalam memahami dan menjelaskan gejala sis.
2.1
Perbedaan antara Fisika klasik dan kuantum dapat dipandang dari dua sisi: formulasi dan pengamatan. Pada tingkat perumusan (formulasi), dinamika partikel dalam Fisika klasik digambarkan oleh hukum dinamika Newton, F =m d2 x dp = , 2 dt dt (2.1)
dengan solusi berupa ruang fasa {r, p}. Sedangkan pada sika kuantum, dinamika sistem digambarkan oleh persamaan Schrdinger, o
2
2m
(2.2)
dengan solusi (r, t) disebut fungsi gelombang, vektor keadaan, atau amplitudo probabilitas. Fungsi (r, t) tidak memiliki makna sis, namun informasi sis bisa didapatkan darinya. Pada tingkat pengamatan, hasil pengamatan berupa {r, p} pada sika klasik sama persis dengan prediksi yang diberikan oleh formulasi. Dengan demikian, menurut sika klasik pengukuran sama sekali tidak mengganggu keadaan sistem. Sementara itu, pada sika kuantum pengukuran akan mengganggu sistem, sehingga hasil pengukuran selalu mengandung ketidakpastian terhadap nilai sesungguhnya. Nilai |(r, t)|2 menyatakan fungsi probabilitas (sesuai interpretasi Born), dan antarvariabel konjugat memenuhi keti-
12
13
2 2
2.2
Fungsi Gelombang
Agar dapat menggambarkan sistem sis secara mudah, fungsi gelombang haruslah memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Invarian (tidak berubah) terhadap perkalian dengan sebuah skalar, sehingga dan a (a C) menggambarkan keadaan kuantum yang sama. 2. Invarian terhadap pergeseran fasa, sehingga ei ( R) bermakna sis sama dengan . 3. Memenuhi lim|x| ||2 = 0, atau konvergen pada |x| . 4. Sinambung (kontinyu) dan mulus (smooth) pada seluruh ruang.
2.3
Operator
Dalam kuantum, besaran-besaran sis diperoleh dengan menerapkan operator-operator kepada fungsi gelombang . Contoh operator dalam kuantum dan besaran yang bersesuaiab dengannya pada sika klasik diberikan pada tabel 2.1. Operator bekerja secara serial kepada fungsi gelombang, sehinga menghasilkan observabel sis. Karena bekerja secara serial, maka pada umumnya hasil pengukuran dua observabel sis yang dilakukan berurutan akan bergantung pada urutan pengukuran, AB = B A. Contoh. Operator posisi dan momentum masing-masing dinyatakan sebagai x = x dan p = i atau (atau dalam satu dimensi p = i
x ).
2.3 Operator Selisih kedua persamaan tersebut adalah (x xp) (x) = i (x), p sehingga diperoleh hubungan komutasi [, x] = i , p dengan A, B AB B A. Nilai rata-rata dari suatu observabel dinyatakan oleh
14
(2.7)
(2.8)
A =
(x)A(x)dx,
(2.9)
p =
(x) i
(x)dx,
(2.10)
p =
(p)p(p)dp.
(2.11)
2.3.1
Sifat-sifat operator
[A, B] = AB BA = [B, A] , [A, ] = 0 dengan bilangan kompleks, (2.12) (2.13) (2.14)
[A, B] = [A, B] = [A, B] , [AB, C] = ABC CAB = ABC ACB + ACB CAB = A (BC CB) + (AC CA) B = A [B, C] + [A, C] B, [A, BC] = B [A, C] + [A, B] C, [AB, CD] = AC [B, D] + A [B, C] D + C [A, D] B + [A, C] DB.
Dengan memanfaatkan hubungan aljabar di atas dan hubungan komutasi operator posisi dan momentum, diperoleh hubungan yang bermanfaat berikut: [, p] = i , x x, p2 = p [, p] + [, p] p x x = 2i p, x, p3 = x, p2 p = p2 i (2.18)
FI3104 Fisika Kuantum 1 2009
2.4 Pengukuran Serentak dan Berurutan Berdasarkan hubungan di atas, diperoleh hubungan yang lebih umum berupa [, pn ] = ni pn1 = i x dn p . d p
15
(2.19)
2.3.2
Operator Hermitian
Suatu matriks H dikatakan hermitian jika berlaku H = H, dengan tanda menyatakan konjugat transpos. Nilai eigen dari sebuah matriks hermitian bersifat riil. Dalam mekanika kuantum, nilai observabel sis diberikan oleh nilai eigen dari operator yang berkaitan. Agar memiliki makna sis, nilai eigen dari matriks operator tersebut haruslah bernilai riil. Sehingga, representasi matriks dari operator-operator dalam mekanika kuantum haruslah berupa matriks hermitian. Contoh. Operator posisi p = i
x
p =
= i = i
dx x dx x
d ||2 d dc dx dx
= i ||2
+i
d dx
dc
() dx p (2.20)
x
= p . Dengan cara yang sama dapat dibuktikan pula bahwa operator energi E = i hermitian.
juga
2.4
Pada dasarnya, karena operator kuantum bekerja secara serial, maka dua pengukuran atau lebih hanya dapat dilakukan secara berurutan, dan tidak dapat dilakukan secara serentak. Akan tetapi, selang waktu antarpengukuran dapat dibuat sangat singkat sehingga keadaan sistem belum banyak berubah dan pengukuran dua besaran atau lebih dapat dianggap serentak. Ketidakpastian dari dua pengukuran serentak Q1 dan Q2 diberikan oleh Q1 Q2 1 2 Q1 , Q2 . (2.21)
16
Pada sika klasik, selalu didapatkan Q1 , Q2 (karena operator Q merupakan skalar) sehingga Q1 Q2 = 0. Dengan demikian, dalam sika klasik dua pengukuran dapat dilakukan tanpa ketidakpastian (kecuali ketidakpastian yang disebabkan karena kekurangan pada alat atau pengukur).
Bab 3
(3.1)
dengan H adalah operator energi total. Pada sika klasik telah diketahui bahwa energi total adalah jumlah dari energi kinetik (K = = dan energi potensial
(V = V (r, t)). Dengan menuliskan besaran momentum p dan potensial V dalam bentuk operator, diperoleh operator energi total H= i 2m
2 2 2
2m
dengan V adalah operator energi potensial. Dengan demikian, persamaan Schrdinger o dituliskan sebagai
2
2m
(3.3)
Dengan diketahuinya V , akan diperoleh solusi persamaan diferensial untuk yang menggambarkan dinamika sistem kuantum.
3.1
Rapat probabilitas menemukan partikel di titik x pada saat t adalah P (x, t) = |(x, t)|2 . Maka rapat probabilitas menemukan partikel pada daerah a x b adalah
b
(3.4)
P (a x b, t)
a
P (x, t)dx 1.
(3.5)
17
3.2 Kasus Stasioner Sehingga, perubahan P terhadap t dapat dinyatakan sebagai d d [P (a x b, t)] = dt dt d = dt
b b
18
P (x, t)dx
a b a
=
a
Dengan mengingat kembali persamaan Sechrdinger satu dimensi untuk partikel bebas o (V = 0), i 2 = t 2m x2 serta memperhatikan | d | dx d dx d dx d dx =
2
dan
i 2 = , t 2m x2
(3.7)
d d d2 d2 d + 2 2 = dx dx dx dx dx | d | dx
2
d dx
d dx d dx
(3.8)
d dx
d2 d d d2 d + = 2 2 dx dx dx dx dx
d dx
(3.9)
i 2 i 2 + dx 2m x2 2m x2 d dx d dx
b
i 2m i 2m
b a b a
+ d dx .
d dx
d dx
dx
d dx
d dx
dx
d dx
d dx
d dx
i d d 2m dx dx
x=a
Akhirnya, secara umum didenisikan besaran rapat arus probabilitas sebagai j(x, t) dP (x, t) i d(x, t) d (x, t) = (x, t) (x, t) . dt 2m dx dx
3.2
Kasus Stasioner
Pada kasus gelombang y(x, t) = A sin(kx t), gelombang berdiri/stasioner dinyatakan oleh fungsi y(x, t) = A sin kx cos t. Terlihat bahwa fungsi gelombang dapat dipisahkan (separable) menurut variabel-variabel yang menyusunnya. Dengan demikian, kasus stasioner pada kuantum digambarkan oleh (r, t) = (r)T (t). (3.12)
FI3104 Fisika Kuantum 1 2009
3.3 Partikel Bebas Substitusi persamaan ini ke persamaan Schrdinger menghasilkan o T (t) + V (r, t) (r) = i (r) t 2 1 i T (t) 2 (r) + V (r)(r) = . 2m (r) T (t) t T (t)
2 2
19
2m
(3.13)
Terlihat bahwa ruas kiri dari persamaan di atas hanya merupakan fungsi dari posisi sedangkan ruas kanannya hanya fungsi dari waktu. Sehingga kedua ruas haruslah bernilai konstan, misal E, dengan dimensi energi. Sehingga diperoleh dua persamaan terpisah,
2 (r) + V (r)(r) = E(r), 2m dT i = T (t)E T (t) eiEt/ . dt 2
(3.14) (3.15)
Sehingga solusi persamaan Schrdinger ditulis sebagai (r, t) = (r)eiEt/ , dengan o (r) akan ditentukan oleh V (r).
3.3
Partikel Bebas
Pada partikel bebas adalah partikel yang berada pada daerah dengan potensial V = 0. Untuk kasus ini, persamaan Schrdinger bebas waktu menjadi berbentuk o d2 (x) = E(x) 2m dx2
2
(3.16)
Solusi persamaan diferensial tersebut adalah (x) ex dengan 2 = 2mE atau 1,2 = 2 i
2mE
2
. Sehingga solusi umum persamaan Schrdinger untuk partikel bebas ini adalah o (x) = Ae
i
2mE 2 x
+ Be
2mE 2 x
= A (cos kx + i sin kx) + B (cos kx i sin kx) ; = (A + B) cos kx + i(A B) sin kx = C cos kx + D sin kx.
2mE
2
(3.17)
Karena tidak ada syarat batas apapun, nilai kn dapat bernilai berapapun (asal riil dan berhingga), sehingga energi E pun dapat bernilai berapapun (riil dan berhingga).
3.4
L 2
(3.18)
3.4 Partikel dalam kotak potensial takhingga (1 dimensi). Pada daerah x < L dan x > 2
2 L 2,
20
Schrdinger untuk daerah ini adalah o lim d2 +V 2m dx2 (x) lim V (x) = E(x).
V
(3.19)
Karena nilai E berhingga, maka haruslah (x) = 0. Pada daerah L < x < 2 adalah d2 (x) = E(x) 2m dx2
2 L 2,
(3.20)
Serupa dengan kasus partikel bebas, solusi umum persamaan Schrdinger untuk daerah o dalam kotak potensial ini adalah (x) = Ae
2mE 2 x
+ Be
2mE 2 x
(3.21)
Selanjutnya, diterapkan syarat batas kesinambungan fungsi gelombang pada titik batas x = L dan x = 2
L 2,
bahwa L = 2
L 2
Sehingga, dapat dipilh dua kasus khusus: C = 0 dan D = 0, sehingga sin kL = 0 atau k = 2 C = 0 dan D = 0, sehingga cos kL = 0 atau k = 2
2n L ,
dengan n = 1, 2, 3, . . .. dengan n = 1, 2, 3, . . ..
(2n1) , L
Dengan demikian, solusi lengkap persamaan Schrdinger terdiri atas solusi ganjil (beruo pa fungsi cos yang genap) dan solusi genap (berupa fungsi sin yang ganjil) sebagai berikut C cos (k x) , n ganjil, n (x) = D sin (kn x) , n genap.
Lalu berdasarkan nilai k yang diperoleh di atas, didapatkan nilai eigen energi E= 2 2 2 n , mL2 n = 1, 2, 3, . . .
partikel
Nilai konstanta C dan D diperoleh dari normalisasi fungsi gelombang (x) sebagai dalam kotak potensial
21
1=
|(x)| =
L 2
L 2
L 2
cos (2kn x) + 1 2
L 2
d (kn x)
L 2
(3.26)
2 L.
3.5
L 2
(3.27)
Untuk kasus energi partikel V0 < E < 0, penerapan syarat batas pada persamaan Schrdinger bebas waktu untuk partikel ini adalah: o pada x < L dan x > L , V (x) = 0 sehingga, 2 2 d2 (x) = E (x) = C1 eKx + D1 eKx , dengan K = 2m dx2
2
2mE
2
. (3.28)
Karena pada x harus berlaku (x) 0, maka haruslah D1 = 0 sehingga (x) = C1 eKx . pada L < x < 2
2 L 2.
Karena E < V , maka solusi persamaan tersebut adalah (x) = A cos qx + B sin qx, dengan q = .
pada x > L , V (x) = 0 sehingga diperoleh hasil mirip pada x < L namun 2 2 dengan menerapkan syarat limx (x) = 0, yaitu (x) = D2 eKx . Dengan dengan demikian, diperoleh solusi lengkap C1 eKx , x < L 2 (x) = D2 eKx , x>
L 2.
L 2
(3.30)
22
Tetapan-tetapan yang ada pada solusi di atas ditentukan dengan menerapkan syarat batas keinambungan fungsi dan turunanya pada daerah x = L = a. 2 pada x = a: C1 eKa = A cos qa B sin qa C1 KeKa = q (A sin qa + B cos qa) . pada x = a D2 eKa = A cos qa + B sin qa D2 KeKa = q (A cos qa + B sin qa) . (3.33) (3.34) (3.31) (3.32)
Dengan membagi persamaan (3.32) dengan (3.31) serta (3.34) dengan (3.33), diperoleh K= q (A sin qa + B cos qa) q (A sin qa + B cos qa) = . A cos qa B sin qa A cos qa + B cos qa (3.35)
Jadi, salah satu dari A dan B haruslah bernilai nol. Jika keduanya bernilai nol, maka akan diperoleh (x) = 0 di daerah (a, a), dan ini tidak boleh terjadi. Dengan demikian, solusi untuk daerah (a, a) adalah (x) = A cos qa atau (x) = B sin qa. Substitusi hasil ini ke persamaan (3.35) akan menghasilkan K = q tan qa dan K = cot qa. Dengan memperkenalkan sebuah tetapan = qa =
2m(V0 E)
2
2mV0 a2
2
dan menuliskan y =
K q
y 2 y
dan cot y =
y 2 . y
3.6
Suatu partikel berada pada daerah dengan potensial 0, x < 0 V (x) = V0 , x 0. Solusi persamaan Schrdinger bebas waktu untuk kasus ini adalah o Aeikx + Beikx , x < 0, k = 2mE 2 (x) = 2m(V0 E) DeKx , x 0, K = .
2
(3.37)
(3.38)
23
y 2 y
y 2 y
atas, tan y dan cot y sama-sama naik. Titik-titik potong pada kedua grak di atas menyatakan nilai eigen diskrit untuk q (yang berkaitan dengan E).
Penerapan syarat batas pada x = 0 menghasilkan A + B = D dan ik (A B) = KD. Dari persamaan tersebut, diperoleh menghasilkan
D A B A
(3.39)
ik+K ikK .
2k k+iK .
Selanjutnya, nilai
(dan
D 2 A )
menyatakan probabilitas
partikel pantul (dan transmisi), dan disebut koesien reektansi (dan koesien transmisi). Dengan demikian, solusi lengkap untuk kasus potensial tangga adalah A eikx + kiK eikx , x < 0, k = 2mE 2 k+iK (x) = A 2k eKx , x 0, K = 2m(V0 E) . 2 k+iK Lalu, probabilitas partikel pantul untuk kasus ini adalah pantul (x)
2
(3.40)
= A
k + iK k iK
eikx . A
k iK k + iK
eikx = |A|2 .
(3.41)
3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang Sedangkan probabilitas gelombang transmisinya |transmisi (x)|2 = A 2k k iK eKx . A 2k k + iK eKx = 4k 2 k2 + K 2
24
Terlihat bahwa limx |transmisi (x)|2 = 0. Selanjutnya, arus probabilitas pada tiap daerah adalah: pada x < 0 jdatang = jpantul pada x 0 jtransmisi = 0. (3.45) i k |A|2 ik |A|2 (ik) = |A|2 , 2m m k = |A|2 . 2m (3.43) (3.44)
Lalu, bagaimanakah jadinya jika E > V0 ? Solusi umum untuk kasus ini akan berupa Aeikx + Beikx , x < 0, k = 2mE 2 (x) = (3.46) 2m(EV0 ) CeiKx + DeiKx , x 0, K = . 2 Untuk partikel yang datang dari arah kanan ke kiri, diperoleh D = 0. Lalu dengan menerapkan syarat batas seperti sebelumnya, akan diperoleh A eikx + kK eikx , x < 0, k = k+K E (x) = A 2k eiKx , x 0, K = k+K Lalu, dengan menuliskan amplitudo probabilitas pantul tas transmisi
D A,
2mE
2
2m(EV0 )
2
(3.47) .
B A
diperoleh probabilitas pantul dan transmisi sebagai berikut: jpantul kK 2 || = R= = 0, k+K jdatang 4kK jtransmisi | |2 = = 0. 2 T = j (k + K) datang
2
(3.48) (3.49)
3.7
Suatu partikel berada pada daerah dengan potensial penghalang berbentuk V , 0xL 0 V (x) = 0, lainnya.
(3.50)
3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang Solusi umum persamaan Schrdinger untuk kasus ini adalah o Aeikx + Beikx , dengan k =
2mE
2
25
x<0 (3.51)
(x) =
dan K =
2m(V0 E)
2
kanan (dan tidak ada partikel yang bergerak dari kanan ke kiri), diperoleh F = 0. Lalu dengan menerapkan syarat kesinambungan fungsi dan turunannya di x = 0 dan x = L, diperoleh A + B = C + D, ik (A B) = K (C + D) , CeKL + DeKL = EeiKL K CeKL + DeKL = ikEeikL . (3.52) (3.53) (3.54) (3.55)
Jumlah dari persamaan (3.52) dan (3.53) serta (3.54) dan (3.55) akan menghasilkan 2ikA = C(ik K) + D(ik + K), 2KDeKL = (K + ik) EeikL (3.56) (3.57)
Selisih persamaan (3.54) yang dikalikan dengan K dengan persamaan (3.55) adalah C= K ik (ik+K)L e E. 2K (3.58)
Substitusi (3.57) dan (3.58) ke (3.56) memberikan E 4ikK = 2 (ik+K)L A (K ik) e + (K + ik)2 e(ikK)L 4ikKeikL = (K + ik)2 eKL (K ik)2 eKL 4ikKeikL = (K 2 k 2 + 2iKk) eKL (K 2 k 2 2iKk) eKL 4ikKeikL = (K 2 k 2 ) (eKL eKL ) + 2iKk (eKL + eKL ) 2ikKeikL = . (K 2 k 2 ) sinh KL + 2iKk cosh KL
(3.59)
26
E = A = = = =
E A
(2kK)2 (K 2 k 2 )2 sinh2 KL + 4K 2 k 2 cosh2 KL 2K 2 k 2 (2kK)2 cosh2 KL sinh2 KL + 2K 2 k 2 cosh2 KL + (K 4 + k 4 ) sinh2 KL (2kK)2 1 + sinh2 KL + (K 4 + k 4 ) sinh2 KL , (3.60)
2K 2 k 2 + 2K 2 k 2
(ingat bahwa cosh2 x sinh2 x = 1). Terlihat bahwa nilai KL yang kecil, akan menyebabkan semakin besar kemungkinan partikel menembus potensial penghalang (T 1).
3.8
Osilator Harmonik
1 Fungsi potensial untuk kasus osilator harmonik berbentuk V (x) = 2 kx2 , sehingga per-
samaan Schrdinger untuk kasus ini berbentuk o d2 (x) 1 2 + kx (x) = E(x). 2m dx2 2
x2 2
Solusi persamaan tersebut diambil berbentuk (x) (x)e persamaan diferensial Hermite d2 d 2x + ( 1) = 0, 2 dx dx dengan nilai berkaitan dengan energi menurut E = tukan melalui metode Frobenius. Misal (x) =
1 2
k+ , k=0 ak x
akan dicari kemudian. Selanjutnya, diperoleh turunan pertama dan kedua dari (x) terhadap x sebagai berikut:
(x) =
k=0
ak (k + ) xk+1 ak (k + ) (k + 1) xk+2 .
k=0
(3.63) (3.64)
(x) =
(3.65)
27
(3.66)
yang hanya akan dipenuhi jika = 0 atau = 1 dan 2 + 1 = 0. Lalu untuk memudahkan diambil solusi = 0, sehingga persamaan Hermite menjadi
= 0.
(3.67)
Persamaan tersebut akan berlaku jika koesien dari setiap suku dalam deret tersebut bernilai nol, suku x2 : a0 .0(0 1) = 0 a0 = tetapan sembarang, suku x1 : a1 .1(1 1) = 0 a1 = tetapan sembarang, suku x0 : suku x1 : suku x2 : ... atau didapat rumus rekursif, ak+2 = 2k ( 1) ak . (k + 2) (k + 1) (3.68) 1 a0 2 2 ( 1) a1 a3 .3(3 1) a1 (2 + 1) = 0 a3 = 3.2 2.2 ( 1) a2 a4 .4(4 1) a2 (2.2 + 1) = 0 a4 = 4.3 a2 .2(2 1) a0 (0 + 1) = 0 a2 =
Dengan demikian (x) merupakan jumlah dari solusi ganjil (k ganjil) dan genap (k genap). Selanjutnya dilakukan uji konvergensi dari solusi (x) (x)x 0 (artinya e
2 x 2 x2 2
. Karena limx e
x2 2
konvergen), maka konvergensi dari (x) hanya ditentukan oleh (x). Uji
perbandingan (ratio test) terhadap (x): pada k : ak+2 xk+2 2k ( 1) 2 = lim x = 0, k k k (k + 2) (k + 1) ak x lim Jadi (x) pada kasus ini konvergen untuk semua x. pada k >> : ak+2 xk+2 2k ( 1) 2 2x2 = lim x . k>> k>> (k + 2) (k + 1) k ak xk lim
2x2 k ,
2 2
(3.69)
(3.70)
Untuk menentukan konvergensi pada kasus ini, dipilih deret yang sifat konvergensinya mirip dengan yaitu ex (sebab ex =
xk k=0 ( k )! , 2
dengan k genap).
28
Bukti untuk kemiripan sifat konvergensi kedua fungsi diberikan melalui uji perbandingan untuk ex sebagai berikut. xk+2 ak+2 xk+2 xk Un+1 k+2 k = = Un ak xk 2 ! 2 ! sehingga limk>> bang. Agar (x) konvergen, (x) dibuat konvergen dengan cara memotong nilai k hanya sampai nilai tertentu (berhingga). Dengan mengambil pangkat tertinggi pada deret untuk (x) sebagai k, maka ak+2 = ak+4 = . . . = 0. Lalu, berdasarkan persamaan (3.68) diperoleh = 2k + 1, sehingga akhirnya diperoleh nilai energi dari osilator harmonik berbentuk 1 E= = 2 monik adalah berbentuk (x) = An (x)e
x2 2 2
x2 , k 2 +1
2 x2 2
(3.71)
x2 2
Un+1 Un
2x2 k .
x2 2
ex e
=e
. Dengan
demikian (x) bersifat divergen dan tidak dapat berperan sebagai fungsi gelom-
k+
1 2
(3.72)
Solusi lengkap dari persamaan Schrdinger bebas waktu untuk kasus osilator haro
(3.73)
dengan An adalah amplitudo (tetapan) yang diperoleh melalui normalisasi fungsi gelombang. Secara umum, fungsi Hermite (x) dapat dituliskan sebagai Hn (x) yang memenuhi persamaan diferensial Hermite bentuk dHn (x) d2 Hn (x) 2x + 2nHn (x) = 0. 2 dx dx Selanjutnya, persamaan gelombang dapat dituliskan sebagai (x) = An Hn (x)e malisasi fungsi gelombang menghendaki
m (x)n (x)dx = A An m Hm (x)Hn (x)ex = mn .
2
(3.74)
x2 2
. Nor-
(3.75)
g(x, h) = e2xhh =
n=0
Hn (x)
hn , n!
(3.76)
dengan h sebuah parameter. Dengan memanfaatkan fungsi pembangkit tersebut, dapat diperoleh ex g 2 (x, h) = e(x2h)
2 2
+2h2
=
n m
ex Hm Hn
hm+n . m!n!
(3.77)
3.8 Osilator Harmonik Integrasi persamaan tersebut pada selang (, ) memberikan rrl e2h Sehingga diperoleh
2
29
=
n
ex Hm Hn
2
2h) =
n
m h2n
hm+n dx m!n!
(n!) (n!)
2 ex Hn dx 2 ex Hn dx 2 ex Hn dx
2 2 2
e2h
=
n
h2n
2
n (2h2 )
n!
=
n
n2
n h2n
=
n
2 ex Hn dx
2 2 ex Hn dx = 2n n! .
(3.78)
2 2 ex Hn dx = 1 An = 2n n!
1 2
.
x2 2
(3.79) e
iEt
dengan
menggunakan metode mekanika matriks, dan mendapatkan hasil yang sama. Heisenberg menyatakan fungsi gelombang sebagai vektor keadaan |n , dan mendapatkan nilai eigen energi dengan mengerjakan operator energi (Hamiltonian) yang dinyatakan dalam operator kreasi dan anihilasi osilator harmonik.
dengan p dan x masing-masing menyatakan operator momentum dan posisi (kedua op erator tersebut memenuhi hubungan komutasi [, p] = i I, I adalah matriks identitas). x Jika H dikerjakan pada fungsi gelombang |E akan diperoleh H |E = E |E . Ambil = k = m = 1 sehingga H = 1 p2 + x2 dan [, p] = iI. Denisikan operator x
2
i p x a = ( i) 2
i dan a = ( + i) , p x 2
(3.81)
30
sebagai operator jumlah (yang memenuhi N |n = n |n ). Hubungan komutasi antara operator-operator di atas adalah a, a = I, N , a = , a N , a = a . (3.83)
(notasi {A, B} AB + BA disebut antikomutasi). Dengan memanfaatkan hubungan komutasi antar operator di atas dan denisi operator jumlah, operator energi dapat dituliskan sebagai 1 H= I + a a + a a 2 1 I + 2N = 2 I =N+ . 2
(3.85)
Dengan hubungan terakhir ini, dapat diperoleh fakta bahwa operator energi dan jumlah saling linear dan saling komut, sehingga keduanya dapat memiliki vektor eigen yang sama (|E = |n ). Selanjutnya, diperoleh H |E = E |E = atau 1 En = n + . 2 Hasil ini sama persis dengan persamaan (3.72). (3.86) I |n N+ 2 1 n+ |n , 2
Bab 4
Atom Hidrogen
4.1 Postulat Bohr tentang Atom Hidrogen
Teori kuantum telah berhasil membuktikan postulat Planck tentang osilator harmonik. Pada bagian ini, akan diberikan pembuktianteori kuantum untuk postulat Bohr tentang atom hidrogen (bahwa tingkat-tingkat energi atom H adalah En = 13,6 eV). n2 Menurut postulat Bohr, elektron dalam atom hidrogen mengelilingi inti atom (proton) pada orbit stasioner berbentuk lingkaran (misal dengan jejari a). Pada orbit elektron, gaya Coulumb berperan sebagai gaya sentripetal, sehingga berlaku 1 Ze2 mv 2 = 40 a2 a Sehingga energi kinetik elektron adalah 1 1 Ze2 K = mv 2 = . 2 80 a Postulat Bohr: keadaan stasioner sistem dikarakterisasi oleh momentum sudut p = mva = n , n = 1, 2, 3, . . . .
n ma .
mv 2 =
1 Ze2 . 40 a
(4.1)
(4.2)
(4.3)
4 2 2 n 0, 528n2 A. mZe2
(4.4)
(4.5)
32
4.2
Atom hidrogen terdiri atas proton dan elektron. Misal posisi kedua partikel tersebut menurut suatu kerangka koordinat (kerangka lab) masing-masing r1 dan r2 . Operator energi (Hamiltonian) untuk sistem ini adalah p2 1 e2 p2 H= 1 + 2 2m1 2m2 40 |r1 r2 | 2 2 1 e2 2 2 = . 1 2 2m1 2m2 40 |r1 r2 | Sehingga persamaan Schrdinger dituliskan sebagai o
2
(4.6)
2m1
2 1
2m2
2 2
1 e2 = Etotal . 40 |r1 r2 |
(4.7)
Persamaan diferensial di atas sulit untuk dipecahkan karena tercampurnya variabel posisi kedua partikel (r1 dan vecr2 ). Agar lebih mudah dipecahkan, persamaan tersebut dituliskan dalam sistem koordinat pusat massa (R) dan relatif (r = r1 r2 ) sebagai berikut: R(X, Y, Z) = m1 r1 + m2 r2 m1 + m2 (4.8) (4.9)
(4.10) (4.11)
dalam koordinat pusat massa. Dalam koordinat lab, operator diferensial dinyatakan sebagai
1
(4.12) (4.13)
Karena x1 , y1 , z1 dan x2 , y2 , z2 masing-masing merupakan fungsi dari X, Y , Z dan x, y, z, yaitu menurut persamaan (4.8) dan (4.9), maka X Y Z x y z = + + + + + x1 x1 X x1 Y x1 Z x1 x x1 y x1 z m1 +0+0+ +0+0 = m1 + m2 X x
m + . m2 X x (4.14)
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen Dengan cara yang sama akan diperoleh y1 z1 x2 y2 z2 = = = = = m + m2 Y y m + m2 Z z m m1 X x m + m1 Y y m + . m1 Z z
33
m m2
r,
m m1
r.
(4.20)
Lalu,
0 2 1
= =
m m2 m m2 m m1
2 2 R 2 2 R 2 2 R
+ + +
m 2 r +2 m2
2 r, 2 r,
(4.21) (4.22)
2m1 m2
m2 m2 2 +
2 R
2 r
2 R
2m2
2
m2 m2 m2 1
m1 m2 2
m2 2 + m2 R 1 1 1 + m1 m2
2 r 2 r
Lalu, dengan mengingat denisi dari massa tereduksi m dapat diubah menjadi 2 2M
EPM 2 R+ 2
m1 m2 m1 +m2 ,
persamaan terakhir
2m
2 r
1 e2 40 r
(4.24)
Erel.
dengan M = m1 + m2 adalah massa total kedua partikel. Suku pertama pada ruas kiri menyatakan operator energi menurut kerangka pusat massa (PM) sedangkan suku kedua menyatakan operator energi menurut kerangka relatif.
34
Persamaan Schrdinger terakhir dapat diselesaikan dengan metode pemisahan (sepo arasi) variabel. Anggap (R, r) (R)(r) sehingga persamaan Schrdinger dituliskan o sebagai
2
(r) 1 (R)
2M
2
2 R (R) 2 R (R)
+ (R) + 1 (r)
2M
2M
2 R (R)
= EPM
(4.26) (4.27)
2m
2 r (r)
(r) e2 40 r
(R, r) = Erel.
(4.28)
Untuk mendapatkan solusi persamaan diferensial untuk di atas, dilakukan separasi variabel (r) = (r, , ) = R(r)Y(, ) (digunakan koordinat bola). Operator Laplacian dalam koordinat bola dinyatakan sebagai
2
1 r2 r
r2
1 1 r2 sin
1 40
sin
1 2 . sin2 2
(4.29)
Sehingga, persamaan Schrdinger (4.27) dituliskan sebagai (untuk mempersingkat peo nulisan, selanjutnya digunakan satuan = 1)
1 d e2 1 + E r2 R = r Y sin d
sin
dY d
1 d2 Y sin2 d2 (4.30)
Ruas kiri persamaan di atas hanya merupakan fungsi dari r sementara ruas kanan fungsi dari dan saja. Dengan demikian, kedua ruas haruslah bernilai konstan. Ambil konstanta tersebut bernilai l(l + 1) dengan l = 0, 1, 2, 3, . . ., sehingga diperoleh 1 d r2 dr r2 dR dr + e2 l(l + 1) +E R=0 2 r r2 1 d dY 1 d2 Y sin + = l(l + 1)Y. sin d d sin2 d2 2m (4.31) (4.32)
35
Persamaan radial
Dengan memisalkan u = rR, persamaa radial dapat dituliskan sebagai 2m d2 u + 2 dr2 e2 +E r l(l + 1) u = 0. r2 (4.33)
Karena elektron dan proton saling terikat, maka ditinjau keadaan E < 0. Pada keadaan asimtotik r sangat besar, persamaan tersebut tereduksi menjadi d2 u dr2 dengan solusi u exp 2mE
2
2mE
2
u 0,
(4.34)
r ,
(4.35)
(solusi negatif pada eksponensial dipilih agar limr u = 0). Sehingga solusi umum untuk persamaan radial dapat dituliskan sebagai u(r) = w(r) exp Substitusi solusi ini ke (4.33) menghasilkan d2 w 2 dr2 2mE dw + 2 dr me2 2 l(l + 1) 2 r r2 w = 0. (4.37) 2mE
2
r .
(4.36)
r1 +
me2
2
= 0.
(4.38)
Dengan memperhatikan koesien untuk suku r2 didapat ( 1) = l(l + 1) yang berlaku jika = l + 1 atau = l. Ambil solusi = l + 1 > 0, sehingga secara umum w dapat dinyatakan sebagai deret pangkat
w(r) =
k=l+1
ak rk .
(4.39)
ak k(k 1)rk2 2
k=l+1
2mE
2
krk1 +
me2
2
= 0.
(4.40)
Dengan menggunakan teknik seperti pada penentuan solusi persamaan gelombang untuk partikel pada kasus osilator harmonik (lihat kembali bagian 3.8), diperoleh persamaan rekursif untuk koesien ak sebagai berikut 2k ak+1 =
2mE
2
2me2
2
k(k + 1) l(l + 1)
ak ,
dengan k > l.
(4.41)
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen Pada k yang sangat besar, berlaku 2 2mE 2 2 ak+1 ak k+1
2mE
2
36
.
2mE
2
Secara umum sifat dari fungsi w(r) akan setara dengan exp 2
osilator harmonik, bukti kesamaan sifat konvergensi kedua fungsi diberikan melalui uji perbandingan, exp 2 2mE
2 2mE
2
2 r =
k
(k + 1)!
ak
rk ,
(4.43)
lalu ak+1 = ak 2 = 2 Sehingga, pada k diperoleh u(r) = w(r) exp exp 2 exp 2mE
2
2mE
2
2mE
2
(k + 2)!
2mE
2
(k + 1)!
k+2
2mE
2
(4.44)
r 2mE
2
2mE
2
r . exp
r (4.45)
2mE
2
r ,
yang bersifat divergen untuk r . Agar konvergen, maka deret untuk w(r) diambil hingga nilai k tertentu saja (berhingga). Sehingga, ak+1 = ak+2 = . . . = 0. Berdasarkan rumus rekursif untuk ak pada persamaan (4.41), diperoleh 2k 2mE
2
(4.46)
2me2
2
=0E=
me4 1 , 2 2 k2
mp 2000 ),
(4.47)
dengan k = l + 1, l + 2, ldots dan l = 0, 1, 2, . . .. Untuk atom hidrogen, karena massa proton (m1 = mp ) jauh lebih besar dibanding massa elektron (m2 = me besarnya massa tereduksi akan mendekati massa elektron, m= mp me me . mp + me (4.48) massa
Sehingga, besar energi atom hidrogen yang diperoleh melalui perumusan teori kuantum sama dengan model Bohr, Ek = 13,6 eV. k2
FI3104 Fisika Kuantum 1 2009
37
Persamaan sferis
Dilakukan separasi variabel untuk fungsi harmonik sferis, Y(, phi) = P ()(), sehingga persamaan sferis menghasilkan d sin d atau 1 d sin P d sin dP d + l(l + 1) sin2 = 1 d2 = m2 , d2 (4.50) sin dP d + P d2 = l(l + 1)P , sin2 d2 (4.49)
dengan m konstanta (bukan massa terduksi!). Solusi untuk bagian adalah () eim , sedangkan bagian membentuk persamaan 1 d sin d sin dP d + l (l + 1)
d d
(4.51)
m2 sin2
P = 0.
(4.52)
d d d d
+ l(l + 1)
m2 1 2
P = 0.
(4.53)
Solusi persamaan tersebut berupa associated Legendre function, Plm () = (sin )m dl+m 2 ( 1)l . 2l l! dl+m (4.54)
Bentuk akhir dari fungsi harmonik sferis adalah Y(, ) = (1)m 2l + 1 (l m)! im e Plm (cos ). 4 (l + m)! (4.55)
Daftar Pustaka
[1] S. Gasiorowicz, Quantum Physics, John Wiley and Sons, 1996. [2] J. J. Sakurai, Modern Quantum Mechanics, Addison-Wesley, 1994.
38