You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN

Perubahan suasana perasaan dalam tempo singkat yang berupa sedih, kecewa dan gembira yang berlangsung singkat merupakan salah satu gangguan kejiawaan dan disebut sebagai gangguan bipolar. Gangguan bipolar (juga dikenal sebagai ganguan manik depresif) adalah "suatu kondisi yang dicirikan oleh episode depresi yang diselingi dengan periode manakala suasana hati dan energi sangat meningkat. begitu meningkatnya hingga melampaui batas normal suasana hati yang baik". Suasana perasaan mungkin normal, meninggi atau terdepresi. Orang normal mengalami berbagai macam suasana perasaan dan memiliki ekspresi afektif yang sama luasnya, mereka merasa mengendalikan, kurang lebih mood dan afeknya. Gangguan suasana perasaan adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali atau pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Pasien dengan suasana perasaan yang meninggi (elevated) yaitu, mania, menunjukkan sikap meluap-luap, gagasan yang meloncat-loncat (flight of ideas), penurunan kebutuhan tidur, peninggian harga diri dan gangguan gagasan kebesaran. Pasien dengan terdepresi merasakan

hilangnya energi-energi dan minat dan perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan dan pikiran tentang kematiandan perasaan ingin bunuh diri. Tanda dan gejala lain dari gangguan suasana perasaan adalah perubahan tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif (seperti tidur, nafsu makan, aktivitas seksual, dan irama biologis lainnnya). Perubahan tersebuta hampir selalu menyebabkan gangguan fungsi interpesonal, sosial dan pekerjaan. Yang paling berisiko mengalami gangguan bipolar adalah orang-orang yang anggota keluarganya mengidap penyakit itu. Kabar baiknya adalah bahwa ada harapan bagi para penderita. "Jika didiagnosis lebih awal, dan ditangani sepatutnya, " kata buku The Bipolar Child," anak-anak itu serta keluarga mereka dapat menjalani kehidupan yang jauh lebih setabil." Penting untuk diperhatikan bahwa satu gejala saja tidak memperlihatkan adanya depresi atau gangguan bipolar. Seringkali diagnosis didapat dari serentetan gejala yang terlihat selama suatu jangka waktu

Gangguan bipolar I merupakan gangguan bipolar yang paling umum terjadi. Kondisi ini dihubungkan dengan satu atau lebih episode manik. Gangguan bipolar I lebih banyak episode manik daripada depresi. Pasien dengan episode manik dan depresif dan pasien dengan episode manik saja dapat dikatakan menderita gangguan bipolar I. Adapun gangguan bipolar II merupakan kondisi yang diasosiasikan dengan satu atau lebih episode depresi. Gangguan tipe ini lebih banyak mengalami episode depresi. Berbeda dengan gangguan bipolar II, gangguan bipolar campuran antara episode depresi dan episode manik tidak ada aturan. Bisa muncul episode manik terlebih dahulu atau episode depresi dahulu. Ada pun tipe siklotimik merupakan perubahan antara episode depresi dan manik yang berubah cepat sekali dan perubahan suasana perasaan (mood) yang tiba-tiba. Jutaan orang di seluruh dunia menderita gangguan afektif apakah gangguan bipolar atau suatu bentuk depresi klinis. Dampak penyakit-penyakit ini dapat menghancurkan. "Selama bertahun-tahun saya sangat menderita," kata seorang pasien bipolar bernama Steven. "Saya mengalami depresi yang mengerikan dan kemudian euforia yang berlebihan. Terapi dan pengobatan membantu, tetapi saya masih harus berjuang keras." Pasien dengan gangguan suasana perasaan seringkali melaporkan suatu kualitas keadaan patologisnya yang tidak dapat dikatakan tetapi jelas. Konsep tentang

kesinambungan variasi normal pada mood mungkin mencerminkan identifikasi klinis yang berlebihan tentang patologi, jadi kemungkinan mengubah pendekatan kepada pasien dengan gangguan suasana perasaan. Sesuai dengan definisi yang telah dibuat, gangguan skizoafektif memiliki ciri baik skizofrenia dan gangguan afektif (sekarang disebut gangguan skizoafektif) yang telah berubah sesuai dengan berjalannya waktu, sebagian besar dikarenakan perubahan dalam kriteria diagnostik untuk skizofrenia dan gangguan suasana perasaan. Terlepas dari sifat diagnosis yang dapat berubah, diagnosis ini tetap merupakan diagnosis yang terbaik bagi pasien yang sindrom klinisnya akan terdistorsi jika hanya dianggap skizofrenia atau hanya suatu gangguan suasana perasaan .

Berdasarkan sejarah yang ada, pada awal abad ini, pasien dengan gangguan mental dikelompokkan menjadi satu di dalam kelompok gangguan jiwa. Tetapi, berkat kerja Emil Kraepelin dan Eugene Bleuler, maka terbentuk perbedaan pengelompokan diagnosis. Kraepelin dapat membedakan demensia pada usia muda, yang sekarang dikenal sebagai skizofrenia, dengan episode afek yang disebut gangguan bipolar; walaupun terdapat beberapa pasien yang tidak dapat dimasukkan di dalam kategori tersebut. Bleuler yakin bahwa gejala skizofrenia yang muncul, baik yang disertai dengan adanya komponen afek, tetap disebut sebagai skizofrenia. Pasien dengan gejala campuran dari skizofrenia dan gangguan afektif, pertama kali dideskripsikan oleh George Kirby dan August Hoch. Dan pada tahun 1933, Jacob Kasanin memperkenalkan istilah psikosis skizoafektif untuk menggambarkan kelompok pasien dengan gejala skizofrenia yang disertai gangguan afektif. Tetapi bagaimanapun juga, istilah gangguan skizoafektif dapat bertahan dalam beberapa konteks yang berbeda.

Perbandingan Nosologi Kesulitan yang timbul untuk menggunakan diagnosis ini tergantung pada perubahan yang ada di antaranya, yaitu gangguan skizoafektif dipengaruhi oleh adanya perubahan dari kriteria diagnostik pada skizofrenia, gangguan afektif, atau keduanya. Pada DSM-II, gangguan skizoafektif adalah subtipe dari skizofrenia karena ditemukan pada pasien dengan gangguan suasana perasaan saat timbulnya gejala-gejala yang sesuai dengan kriteria diagnosis skizofrenia. Tetapi berdasarkan Research Diagnostic Criteria (RDC) adalah dapat digolongkan gangguan skizoafektif bila terdapat satu atau beberapa gejala skizofrenia pada pasien yang telah memenuhi semua kriteria gangguan skizoafektif. Bila dibandingkan dengan DSM-III, yang sudah dipengaruhi oleh penelitian dari AS dan Inggris, mempersempit diagnosis skizofrenia dan memperluas diagnosis gangguan bipolar. Yang mana gejala-gejala skizofrenia dapat digabungkan dengan gangguan suasana perasaan selama gejala skizofrenia ini tidak ditemukan lagi setelah gangguan suasana perasaannya selesai. Selanjutnya gejala psikotik yang tidak sesuai dengan suasana perasaan (mood-incongruent psychotic) dapat muncul di dalam gangguan bipolar. Hasil akhir yang didapatkan yaitu gangguan skizoafektif adalah bukan termasuk

subtipe skizofrenia, melainkan berdiri sendiri sebagai gangguan psikotik lain (yang tidak tergolongkan). Menurut DSM-III yang telah direvisi (DSM-III-R), pengertian skizoafektif diperluas dengan menambahkan kriteria diagnosisnya, yaitu pasien dengan gangguan skizoafektif harus memenuhi kriteria skizofrenia berupa gangguan suasana perasaan sekurang-kurangnya selama 2 minggu. Dalam DSM-IV, kriteria skizofrenia pada DSMIII-R tetap digunakan, tetapi lebih ditegaskan yaitu harus didapatkan gejala-gejala skizofrenia yang berlangsung kurang lebih 1 bulan dibandingkan dengan 1 minggu didalam kriteria DSM-III-R.

BAB II GANGGUAN BIPOLAR

Gangguan jiwa bukan hanya milik negara-negara miskin atau sedang berkembang seperti Indonesia. Pada kenyataannya, gangguan jiwa menjadi salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara maju. Dan gangguan bipolar termasuk salah satu contohnya. Apa penyebab gangguan bipolar? Salah satunya adalah faktor genetis yang lebih kuat daripada faktor depresi. "Menurut beberapa kajian ilmiah," kata Ikatan Dokter Amerika, "anggota keluarga dekat, orang tua, kakak, adik, atau anak-anak dari penderita depresi bipolar lebih cenderung mengalami penyakit ini 8 hingga 18 kali daripada anggota keluarga dekat dari orang yang sehat. Selain itu, memiliki seorang anggota keluarga dekat yang menderita depresi bipolar dapat membuat Anda lebih rentan terkena depresi mayor." Kontras dengan depresi, gangguan bipolar tampaknya menyerang pria dan wanita dalam jumlah yang sama. Hal ini paling sering dimulai sewaktu seseorang baru menginjak dewasa, tetapi kasus-kasus gangguan bipolar telah didiagnosis pada remaja dan bahkan anak-anak. Meskipun demikian, menganalisis gejalanya dan menarik kesimpulan yang benar dapat sangat sulit bahkan bagi seorang pakar medis. "Gangguan bipolar adalah bunglonnya gangguan kejiwaan, mengubah tampilan gejalanya dari satu pasien ke pasien lain, dan dari satu episode ke episode lain bahkan pada pasien yang sama," tulis dr. Francis Mark Mondimore dari Fakultas Kedokteran di Jhons Hopkins University. Boleh dibilang, insiden gangguan bipolar tidak tinggi, berkisar antara 0,3-1,5%. Namun, angka itu belum termasuk yang misdiagnosis. Risiko kematian terus membayangi penderita bipolar. Biasanya kematian itu dikarenakan mereka mengambil jalan pintas alias bunuh diri. Risiko bunuh diri meningkat pada penderita bipolar yang tidak diterapi yaitu 5,5 per 1000 pasien. Sementara yang diterapi hanya 1,3 per 1000 pasien. Layaknya sebuah magnet, gangguan bipolar memiliki dua kutub yaitu manik dan depresi. Dari situ pulalah nama bipolar itu berasal. Berdasarkan Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, gangguan ini bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung berlangsung lebih lama. Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai tua. Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang menderita bipolar maka risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Gangguan bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan adanya 2 episode yaitu manik dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II ditandai dengan hipomanik dan depresi. PPDGJ III membaginya dalam klasifikasi yang berbeda yaitu menurut episode kini yang dialami penderita [Tabel 1].

Tabel 1. Pembagian Gangguan Afektif Bipolar Berdasarkan PPDGJ III (F31) F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala psikotik F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran F31.7 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya F31.9 Gangguan afektif bipolar yang tidak tergolongkan Dari tabel 1, dapat terlihat bahwa episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat keparahannya yaitu hipomanik, manik tanpa gejala psikotik, dan manik dengan gejala

psikotik. Hipomanik dapat diidentikkan dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa ovulasi (estrus) atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Perasaan senang, sangat bersemangat untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah beberapa contoh gejala hipomanik. Derajat hipomanik lebih ringan daripada manik karena gejala-gejala tersebut tidak mengakibatkan disfungsi sosial. Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis. Perasaan mudah tersinggung dan curiga lebih banyak daripada elasi. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi waham psikotik perlu ditegakkan. Bertolak belakang dengan hipomanik/manik, gejala pada depresi terjadi sebaliknya. Suasana hati diliputi perasaan depresif, tiada minat dan semangat, aktivitas berkurang, pesimis, dan timbul perasaan bersalah dan tidak berguna. Episode depresi tersebut harus berlangsung minimal selama 2 minggu baru diagnosis dapat ditegakkan. Bila perasaan depresi sudah menimbulkan keinginan untuk bunuh diri berarti sudah masuk dalam depresif derajat berat. maka diagnosis mania dengan gejala

ETIOLOGI Etiologi dari gangguan bipolar memang belum dapat diketahui secara pasti, dan tidak ada penanda biologis (biological marker) yang objektif yang berhubungan secara pasti dengan keadaan penyakit ini.

FAKTOR RISIKO Ras Tidak ada kelompok ras tertentu yang memiliki predileksi kecenderungan terjadinya gangguan ini. Namun, berdasarkan sejarah kejadian yang ada, para klinisi menyatakan bahwa kecenderungan tersering dari gangguan ini terjadi pada populasi Afrika-Amerika.

Jenis Kelamin Angka kejadian dari BP I, sama pada kedua jenis kelamin, namun rapid-cycling bipolar disorder (gangguan bipolar dengan 4 atau lebih episode dalam setahun) lebih sering

terjadi pada wanita dibandingkan pria. Insiden BP II lebih tinggi pada wanita daripada pria.

Usia Usia individu yang mengalami gangguan bipolar ini bervariasi cukup besar. Rentang usia dari keduanya, BP I dan BP II adalah antara anak-anak hingga 50 tahun, dengan perkiraan rata-rata usia 21 tahun. Kasus ini terbanyak pada usia 15 19 tahun, dan rentang usia terbanyak kedua adalah pada usia 20 24 tahun. Sebagian penderita yang didiagnosis dengan depresi hebat berulang mungkin saja juga mengalami gangguan bipolar dan baru berkembang mengalami episode manik yang pertama saat usia mereka lebih dari 50 tahun. Mereka mungkin memiliki riwayat keluarga yang juga menderita gangguan bipolar. Sebagian besar penderita dengan onset manic pada usia lebih dari 50 tahun harus dilakukan penelusuran terhadap adanya gangguan neurologis seperti penyakit serebrovaskular. Gangguan bipolar juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi genetik, biokimiawi, psikodinamik dan lingkungan.

Genetik Gangguan bipolar, terutama BP I, memiliki komponen genetik utama. Bukti yang mengindikasikan adanya peran dari faktor genetik dari gangguan bipolar terdapat beberapa bentuk, antara lain : 1. Hubungan keluarga inti dengan orang yang menderita BP I diperkirakan 7 kali lebih sering mengalami BP I dibandingkan populasi umum. Perlu digaris-bawahi, keturunan dari orang tua yang menderita gangguan bipolar memiliki kemungkinan 50 % menderita gangguan psikiatrik lain. 2. Penelitian pada orang yang kembar menunjukkan hubungan 33 90 % menderita BP I dari saudara kembar yang identik. 3. Penelitian pada keluarga adopsi, membuktikan bahwa lingkungan umum bukanlah satu-satunya faktor yang membuat gangguan bipolar terjadi dalam keluarga. Anak dengan hubungan biologis pada orang tua yang menderita BP I atau gangguan depresif hebat memiliki risiko yang lebih tinggi dari

perkembangan gangguan afektif, bahkan meskipun mereka bertempat tinggal dan dibesarkan oleh orang tua yang mengadopsi dan tidak menderita gangguan. 4. Cardno dan kawan-kawan di London menunjukkan bahwa skizofrenia, skizoafektif, dan sindrom manik berbagi faktor risiko genetik dan genetik yang bertanggung jawab terhadap gangguan skizoafektif seluruhnya secara umum juga terdapat pada dua sindrom yang lain tadi. Penemuan ini menimbulkan dugaan suatu genetik tersendiri bertanggungjawab pada psikosis berbagi dengan gangguan suasana perasaan dan skizofrenia. Tsuang dan kawan-kawan mengindikasikan adanya kontribusi genetik pada MDI dengan gambaran psikotik, serta menunjukkan adanya hubungan antara skizofrenia dan gangguan bipolar. 5. Studi tentang ekspresi gen juga menunjukkan orang dengan gangguan bipolar, depresif berat, dan skizofrenia mengalami penurunan yang sama dalam ekspresi dari gen hubungan oligodendrosit-myelin dan abnormalitas substansia nigra pada bermacam daerah otak.

Biokimiawi 1. Multipel jalur biokimiawi mungkin berperan pada gangguan bipolar, hal ini yang menyebabkan sulitnya mendeteksi suatu abnormalitas tertentu. 2. Beberapa neurotransmitter berhubungan dengan gangguan ini, sebagian besar didasarkan pada respon pasien terhadap agen-agen psikoaktif. 3. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara glutamat dengan gangguan bipolar dan depresi berat. Studi postmortem dari lobus frontal dengan kedua gangguan menunjukkan peningkatan level glutamat. 4. Obat tekanan darah reserpin, yang menghabiskan/mendeplesikan katekolamin pada saraf terminal telah tercatat menyebabkan depresi. Ini berpedoman pada hipotesis katekolamin yang berpegang pada peningkatan epinefrin dan norepinefrin menyebabkan manik dan penurunan epinefrin dan norepinefrin menyebabkan depresi. 5. Obat-obatan seperti kokain, yang juga bekerja pada sistem neurotransmitter ini mengeksaserbasi terjadinya manik. Agen lain yang dapat mengeksaserbasi manik termasuk L-dopa, yang menginhibisi reuptake dopamin dan serotonin.

6. Gangguan dan ketidakseimbangan hormonal dari aksis hipotalamus-pituitariadrenal, menggangu homeostasis dan menimbulkan respon stres yang juga berperan pada gambaran klinis gangguan bipolar. 7. Antidepresan trisiklik dapat memicu terjadinya manik.

Psikososial 1. Mereka melihat depresi sebagai manifestasi dari suatu kehilangan, contohnya hilangnya pegertian terhadap diri dan adanya perasaan harga diri rendah. Oleh karena itu, manik timbul sebagai mekanisme defens dalam melawan rasa depresi (Melanie Klein). 2. Pada beberapa kejadian, suatu siklus hidup mungkin berkaitan langsung dengan stres eksternal atau tekanan eksternal yang dapat memperburuk berulangnya gangguan pada beberapa kasus yang memang sudah memiliki predisposisi genetik atau biokimiawi.

Pengobatan penderita gangguan bipolar melibatkan edukasi penderita awal dan lanjutan. Tujuan edukasi harus diarahkan tidak hanya langsung pada penderita, namun juga melalui keluarga dan sistem di sekitarnya. Lagipula, fakta menunjukkan peningkatan dari tujuan edukasi ini, tidak hanya meningkatkan ketahanan dan pengetahuan mereka tentang penyakit, namun juga kualitas hidupnya.

Tabel 2. Panduan Obat-Obatan Bipolar Berdasarkan British Association of Psychopharmacology (Sumber: Journal of Psychopharmacology 2003)

Obat Lithium

Dosis Dosis tunggal 800 mg,

Monitoring Kadar lithium dalam serum harus dipantau setiap 3-6 bulan, sedangkan

Efek samping Tremor, poliuria, polidipsi, peningkatan berat badan, gangguan

malam hari. Dosis direndahkan

pada pasien diatas 65 tahun dan yang

tes fungsi ginjal dan kognitif, gangguan

10

mempunyai gangguan ginjal.

tiroid diperiksa setiap 12 bulan.

saluran cerna, rambut rontok, leukositosis, jerawat, dan edema

Valproate (divalproate semisodium)

Rawat inap: dosis

Tes fungsi hati pada Nyeri pada saluran 6 bulan pertama. cerna, peningkatan ringan enzim hati, tremor, dan sedasi

inisial 20-30 mg/kg/hari. Rawat jalan: dosis

inisial 500 mg, titrasi 250500 mg/hari. Dosis maksimum 60

mg/kg/hari. Karbamazepin Dosis inisial 400 mg. Dosis maintenance Darah rutin, dan tes fungsi hati dilakukan pada 2 bulan pertama. Lamotrigine Dosis inisial 25 ? Rash kulit, hipersensitifitas, sindrom Steven Johnson, toksik epidermal nekrolisis Lelah, mual, diplopia, pandangan kabur, dan ataxia

200-1600 mg/hari.

mg/hari pada 2 minggu pertama, lalu 50 mg pada minggu kedua dan ketiga. Dosis diturunkan

setengahnya bila pasien juga mendapat valproate.

Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh karena itu, edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini.

11

Gangguan bipolar I

A. Etiologi Banyak usaha untuk mengenali suatu penyebab untuk gangguan bipolar I. Faktor penyebab dibagi menjadi 2 faktor biologis; faktor genetika dan faktor psikososial. a. Faktor Biologis Sejumlah besar penelitian telah melaporkan kelainan di dalam metabolit amin biogenik seperti 5-hydroxyndoleacetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA) dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) di dalam darah, urin dan LCS pada pasien dengan gangguan bipolar. b. Faktor Genetika Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam perkembangan gangguan suasana perasaan adalah genetika, terdapat komponen genetika yang lebih kuat untuk transmisi gangguan bipolar I.

Penelitian Keluarga. Penelitian keluarga telah secara berulang menemukan penurunan gangguan bipolar I juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kira-kira 50% semua pasien gangguan bipolar I memiliki sekurangnya 1 orang tua dengan 1 gangguan suasana perasaan, paling sering gangguan depresi berat. Jika 1 orang tua menderita gangguan bipolar I, terdapat kemungkinan 25% bahwa anaknya menderita suatu gangguan suasana perasaan, jika kedua orang tua menderita gangguan bipolar I, terdapat kemungkinan 50% - 75% anaknya menderita suatu gangguan suasana perasaan.

c. Faktor Psikososial Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan daripada episode selanjutnya.

Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Menurut teori ketidakberdayaan yang dipelajari, depresi dapat membaik jika klinisi mengisi

12

pada pasien yang terdepresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan. Klinisi menggunakan teknik perilaku berupa dorongan yang menyenangkan dan positif di dalam usaha tersebu.

Teori kognitif. Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negatif, pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme, dan keputusasaan. Pandangan negatif yang dipelajari tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Seorang ahli terapi kognitif berusaha untuk mengidentifikasi negatif dengan menggunakan tugas perilaku, seperti mencatat dan secara sadar memodifikasi pikiran pasien.

B. Epidemiologi Gangguan bipolar I mempunyai prevalensi seumur hidup sekitar dua persen, sama dengan angka untuk skizofrenia. Gangguan bipolar mempunyai prevalensi yang sama pada laki-laki dan wanita. Onset gangguan bipolar lebih awal, terentang dari masa anak-anak (usia 5 atau 6 tahun) sampai 50 tahun atau bahkan lebih lanjut pada kasus yang jarang, dengan rata-rata usia adalah 30 tahun. Biasanya pasien dengan gangguan bipolar lebih sering bercerai dan hidup sendirian daripada orang yang menikah.

Gangguan Bipolar I Suatu sindroma dengan kumpulan gejala mania yang lengkap selama perjalanan gangguan. Bahwa episode manik yang jelas dicetuskan oleh anti depresan adalah tidak indikatif untuk gangguan bipolar I.

Menurut DSM IV kriteria untuk episode manik adalah sebagai berikut dibawah ini: A. Periode tersendiri kelainan dan suasana perasaan yang meninggi, ekspansif, atau mudah tersinggung (irritable) secara persisten, berlangsung sekurangnya 1 minggu (atau durasi kapan saja jika diperlukan hospitalisasi). B. Selama periode gangguan suasana perasaan, tiga (atau lebih) gejala berikut ini adalah menetap (empat jika mood hanya mudah tersinggung) dan telah ditemukan pada derajat yang bermakna:

13

(1) harga diri yang melambung atau kebesaran (2) penurunan kebutuhan untuk tidur (misalnya, merasa lelah beristirahat setelah tidur hanya 3 jam) (3) lebih banyak bicara dibandingkan biasanya atau tekanan untuk terus berbicara. (4) gagasan yang melompat-lompat (flight of ideas) atau pengalaman subjektif bahwa pikirannya berpacu. (5) mudah dialihkan perhatian (yaitu atensi terlalu mudah dialihkan oleh stimuli eksternal yang tidak penting atau tidak relevan) (6) peningkatan aktivitas yang diarahkan oleh tujuan (baik secara sosial, dalam pekerjaan atau sekolah, atau secara seksual) atau agitasi psikomotor. (7) keterlibatan yang berlebihan dalam aktivitas yang menyenangkan yang memiliki kemungkinan tinggi adanya akibat yang menyakitkan (misalnya, melakukan belanja yang tidak dibatasi, tidak pilih-pilih dalam hubungan seksual, atau investasi bisnis yang bodoh). C. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran D. Gangguan suasana perasaan adalah cukup arah untuk menyebabkan gangguan dalam fungsi pekerjaan atau dalam aktivitas sosial lazimnya atau hubungan dengan orang lain, atau untuk membutuhkan hospitalisasi untuk mencegah bahaya bagi diri sendiri atau orang lain, atau terdapat ciri psikotik. E. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi, atau terapi lain) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hipertiroidisme).

Menurut PPDGJ II, suatu suasana perasaan yang meluap-luap atau lekas marah merupakan tanda dari episode manik. Usia timbul sebelum 30 tahun. Secra luas episode manik timbul secara mendadak, dengan peningkatan cepat dari gejala-gejala dalam waktu beberapa hari. Episode-episodenya biasanya berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa bulan dan berlangsung lebih singkat serta berakhir lebih mendadak.

14

Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ II : A. Terdapat satu atau lebih periode yang jelas (kurun waktu) dimana yang secara predominan menonjol adalah afek (mood) yang meningkat, ekspansif atau iritabel. Peningkatan atau iritabilitas afek (mood) itu harus merupakan bagian yang paling menonjol dari penyakit itu dan berlangsung secara relatif persisten, meskipun keadaan itu dapat silih berganti atau bercampur (intermingle) dengan afek depresif. B. Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu (atau apabila keadaan itu memerlukan perawatan, jangka waktunya tidak ditentukan), paling sedikit terdapat tiga gejala menetap dan cukup berari (atau apabila afeknya yang hanya iritabel, paling sedikit terdapat empat gejala) dari yang berikut : 1. peningkatan aktivitas (di tempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual) atau ketidaktenangan fisik 2. lebih banyak berbicara dari lazimnya atau adanya dorongan untuk berbicara terus-menerus 3. lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa pikirannya sedang berlomba. 4. rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf waham) 5. berkurangnya kebutuhan tidur 6. mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik pada stimulus luar yang tidak penting atau yang tidak berarti. 7. keterlibatan berlebih dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung

kemungkinan resiko tinggi dengan akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara bijaksana, misalnya belanja berlebihan, tingkah laku seksual secara terbuka, penanaman modal secara bodoh, mengemudi kendaraan (ngebut) secara tidak bertanggungjawab dan tanpa perhitungan. C. Apabila sindroma afektif (kriteria A dan B di atas) tidak ada (yaitu sebelum sindroma afektif timbul atau sesudah mereda/remisi) tidak terdapat satupun dari gejala berikut ini : 1. Preokupasi dengan waham atau halusinasi yang tidak serasi afek 2. Tingkah laku aneh

15

D. Tidak bertumpang tindih (superimposed) pada (kelompok) skizofrenia, gangguan skizofreniform (episode skizofrenia akut) atau gangguan paranoid. E. Tidak disebabkan oleh suatu gangguan mental organik, seperti intoksikasi zat (catatan : suatu episode manik adalah gangguan patologik yang mirip tapi tidak seberat episode manik).

C. Perjalanan Penyakit Gangguan bipolar I paling sering dimulai dengan depresi (75% pada wanita, 67% pada laki-laki) dan gangguan yang rekuren. Sebagian besar pasien menjalani episode depresif maupun manik, walaupun 10-20% hanya mengalami episode manik. Episode manik biasanya memiliki onset yang cepat (beberapa jam atau beberapa hari), tetapi dapat berkembang lebih dari satu minggu. Beberapa pasien gangguan bipolar I mengalami episode yang berulang dengan cepat. Gangguan bipolar I dapat mengenai anak yang sangat muda maupun lanjut usia, insidensi gangguan bipolar pada anak dan remaja adalah kira-kira satu persen dan onset awalnya pada usia 8 tahun. Gangguan bipolar I dengan onset awal tersebut disertai prognosis buruk.

D. Prognosis Gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien dengan gangguan depresif berat.. Kira-kira 40-50% pasien gangguan bipolar I memiliki episode manik dalam waktu dua tahun setelah episode pertama. Walaupun profilaksis lithium memperbaiki perjalanan penyakit dan prognosisnya, kemungkinan hanya 5060% pasien mencapai pengendalian bermakna atas gejalanya dengan lithium.

E. Terapi Terapi pada gangguan bipolar ini adalah secara farmakoterapi dan psikoterapi 1. Farmakoterapi Pengobatan gangguan bipolar I telah diubah oleh banyak penelitian yang telah membuktikan kemajuan dua dari anti konvulsan karbamazepin dan valproatdi dalam pengobatan episode manik dan depresif pada gangguan bipolar I.

16

Bila litium dan kemungkinan karbamazepin dan valproat adalah obat lini pertama untuk pengobatan gangguan bipolar I, obat lini kedua sekarang termasuk anti konvulsan lain (clonazepin), suatu penghambat saluran kalsium (verapamil) dan anti psikotik khususnya clozapin; terapi elektrokonvulsif adalah terapi lini ke dua lainnya.

Psikoterapi a. Terapi kognitif b. Terapi interpersonal c. Terapi perilaku d. Terapi berorientasi psikoanalitik e. Terapi keluarga

GANGGUAN BIPOLAR II Gangguan bipolar II mempunyai ciri adanya episode hipomanik. Gangguan bipolar II dibagi menjadi 2 yaitu tipe hipomanik, bila sebelumnya didahului oleh episode depresi mayor dan disebut tipe depresi bila sebelum episode depresi tersebut didahului oleh episode hipomanik. Kriteria untuk Episode Depresif Berat A. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode dua minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya; sekurangnya satu dari gejala adalah salah satu dari gejala adalah salah satu dari (1) suasana perasaan terdepresi atau (2) hilangnya minat atau kesenangan. Catatan: Jangan memasukkan gejala yang jelas karena suatu kondisi medis umum, atau waham atau halusinasi yang tidak sesuai dengan mood.

17

(1) Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya, tampak sedih). Catatan: pada anak-anak dan remaja, dapat berupa mood yang mudah tersinggung. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, atau hampir semua, aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain) (2) Penurunan berat makan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai pertambahan berat badan yang diharapkan (3) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari (4) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi lamban) (5) Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari (6) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit) (7) Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit) (8) Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide bunuh diri yang rekuren tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri. B. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.

18

C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. D. Gejala bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hiportirodisme) E. Gejala tidak lebih diterangkan oleh dukacita, yaitu, setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor. Klinisi telah lama melaporkan bahwa pada beberapa pasien gejala utama tampaknya adalah episode depresif, tetapi perjalanan gangguan diselingi oleh episode gejala manik ringan (yaitu, episode hipomanik). Gangguan tersebut dinamakan gangguan bipolar II karena gangguan tersebut berada di dalam spektrum gangguan bipolar DSM-IV mendiagnosis sebagai gangguan bipolar II. Epidemiologi gangguan bipolar II tidak diketahui secara tepat karena baru diketahuinya gangguan ini. DSM-IV memungkinkan penentu sifat perjalanan penyakit berikut ini, yaitu dengan perputaran cepat, pola musiman, dan dengan onset pasca persalinan. Gambaran klinis gangguan bipolar II menunjukkan gambaran gangguan depresif berat dikombinasikan dengan gambaran episode hipomanik. Walaupun datanya terbatas, beberapa penelitian menyatakan bahwa gangguan bipolar II berhubungan dengan perceraian, perkawinan dan onset pada usia yang lebih awal daripada gangguan bipolar I. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien gangguan bipolar II berada pada resiko lebih besar untuk berusaha dan untuk melakukan bunuh diri dibandingkan pasien gangguan bipolar I dan gangguan depresif berat. Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan bipolar II baru diteliti, namun data pendahuluan menyatakan bahwa keadaan ini adalah diagnosis yang stabil, seperti yang ditunjukkan oleh tingginya kemungkinan bahwa pasien dengan gangguan bipolar II akan tetap memiliki diagnosis yang sama pada masa lima tahun kemudian.

19

Pengobatan gangguan bipolar II harus dilakukan secara berhati-hati karena pengobatan episode depresif dengan anti depresan sering sekali dapat mencetuskan suatu episode manik. Apakah strategi tipikal untuk gangguan bipolar I (contohnya lithium dan antikonvulsan) adalah efektif atau tidak efektifbdi dalam pengobatan pasien gangguan bipolar II masih di dalam penelitian. "Terapi psikososial untuk gangguan bipolar bukan terapi alternatif, melainkan suatu suplemen," ujar Profesor Myrna M Weissman dari Columbia University. Selain itu, ada metode lain, yakni dengan terapi sinar. Sebuah studi terbaru mengungkapkan terapi sinar dapat mengurangi gejala depresi pada wanita dengan gangguan bipolar.Terapi sinar merupakan salah satu jalan untuk mengurangi depresi karena musim dingin. Meski demikian, terapi sinar efektif diberikan pada penderita depresi dan tidak tergantung pada musim. Penelitian terhadap gangguan bipolar yang dipublikasikan dalam sebuah jurnal kesehatan mengungkapkan, manfaat terapi sinar ini juga dirasakan pada penderita gangguan bipolar, dengan perubahan suasana perasaan dari depresi ke manik. Penelitian kecil ini melibatkan sembilan perempuan penderita bipolar dengan masa depresi. Sebelumnya, subjek tidak menunjukkan respon yang bagus dengan terapi konvensional. Kelompok perempuan berada dalam kotak yang diberi paparan sinar selama 15,30, dan 45 menit tiap hari selama dua minggu. Empat orang mendapat sinar pada pagi hari, sedangkan sisanya mendapat sinar pada siang hari. Sebanyak empat yang lain mendapat perawatan sinar matahari pagi, tiga di antaranya mengalami sedikit perbaikan gejala seperti perasaan sensitif, ingin tidur, cemas, dan tidak bergairah. Adapun, pasien yang mendapat sinar saat siang hari menunjukkan respon yang lebih stabil.

20

BAB III GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

A. DEFINISI Sebagaimana istilahnya, gangguan skizoafektif memiliki ciri baik skizofrenia dan gangguan afektif. Terlepas dari sifat diagnosis yang dapat berubah, diagnosis skizoafektif tetap merupakan diagnosis yang terbaik bagi pasien yang sindroma klinisnya akan terdistorsi jika hanya dianggap sebagai skizofrenia atau gangguan mood.

B. EPIDEMIOLOGI Penelitian epidemiologi psikiatri untuk mengetahui insidens atau prevalensi gangguan skizoafektif pada populasi secara umum sebenarnya tidak ada. Walaupun penelitian tersebut ada, tetapi data-data tersebut tidak dapat digunakan sekarang karena diagnosis untuk masa sekarang sudah berubah. Angka prevalensi untuk pasien-pasien selanjutnya yang sudah di diagnosis di dalam pengobatan psikiatri dapat diketahui, yang mana hasilnya berkisar antara 2 sampai 29 persen, yang secara potensial signifikan diperlukan pengobatan. Terdapat beberapa bukti yang mendukung pemikiran bahwa terjadi peningkatan prevalensi gangguan skizoafektif pada kelompok perempuan. Kelompok perempuan mempunyai prevalensi yang lebih tinggi untuk gangguan depresi berat dibandingkan laki-laki, dan perempuan dengan skizofrenia menunjukkan lebih banyak gejala-gejala afektif dibandingkan laki-laki dengan skizofrenia. Di dalam penelitian terhadap keluarga pasien penderita gangguan skizoafektif, yaitu keluarga dari pasien perempuan dengan gangguan skizoafektif mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi untuk menderita skizofrenia dan gangguan depresi, dibandingkan dengan keluarga dari pasien laki-laki penderita gangguan skizoafektif. Onset timbulnya gangguan skizoafektif berdasarkan umur yaitu, seperti pada skizofrenia, timbul pada masa dewasa akhir atau masa kanak-kanak awal. Sebenarnya tidak ada hubungan yang spesifik, yang dilaporkan, terhadap jenis

21

kelamin, ras, daerah geografis ataupun kelas sosial ekonomi, terhadap timbulnya gangguan skizoafektif.

C. ETIOLOGI BIOPSIKOSOSIAL DAN PATOFISIOLOGI Hampir setengah abad berjalan, teori etiologi yang ada tentang skizofrenia adalah teori hipotesis dopamin, yang dalam deskripsi singkat dapat diartikan bahwa timbulnya abnormalitas dikarenakan banyaknya dopamin di daerah otak yang menjadi penyebab utama psikosis, dan pengobatan yang dilakukan dengan antipsikotik yang mengarah pada blok dopamin dapat berhasil. Hipotesis ini dapat diterima karena dukungan keberhasilan penggunaan clozapine (clozaril) dan antagonis dopamin-serotonin. Saat ini, perbandingan antara neurotransmiter dopamin dan serotonin diyakini sebagai hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengobatan skizofrenia. Bersamaan dengan itu, teori tentang adanya abnormalitas dari serotonin dan norepinefrin yang ditemukan dalam gangguan suasana perasaan juga dapat diterima. Sebagian dari teori ini dapat diterima bila dipikirkan kembali sebagai penyebab gangguan skizoafektif. Kemungkinannya adalah perbandingan dari dopamin dan serotonin, sedikit banyak mempengaruhi timbulnya gangguan skizoafektif, yang juga mengarah pada gangguan psikosis kronik dan berulang. Penyebab gangguan skizoafektif sebenarnya adalah tidak diketahui, tetapi empat model konseptual telah diajukan yaitu : 1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe gangguan suasana perasaan, 2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama dari skizofrenia dan gangguan suasana perasaan, 3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan suasana perasaan, 4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan pertama.

22

Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan tersebut yaitu dari pemeriksaan riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobatan jangka pendek, dan hasil akhir jangka panjang. Sebagian besar penelitian telah menganggap pasien dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu kelompok yang homogen. Penelitian terakhir telah memeriksa tipe bipolar dan depresif dari gangguan skizoafektif secara terpisah. Walaupun banyak pemeriksaan terhadap keluarga dan genetika yang dilakukan untuk mempelajari gangguan skizoafektif didasarkan pada anggapan bahwa skizofrenia dan gangguan suasana perasaan adalah keadaan yang terpisah sama sekali, beberapa data menyatakan bahwa skizofrenia dan gangguan suasana perasaan mungkin berhubungan secara genetik. Beberapa masalah yang timbul yang belum terselesaikan dalam penelitian keluarga pada pasien dengan gangguan skizoafektif, dapat mencerminkan perbedaan yang tidak absolut antara dua gangguan primer. Dengan demikian tidak mengejutkan bahwa penelitian terhadap sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif telah melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak ditemukan diantara sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif tipe bipolar, tetapi sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif, mungkin berada dalam risiko yang lebih tinggi menderita skizofrenia daripada suatu gangguan suasana perasaan. Tergantung pada tipe gangguan skizoafektif yang diteliti, peningkatan prevalensi skizofrenia atau gangguan suasana perasaan mungkin ditemukan pada sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif. Kemungkinan bahwa gangguan skizoafektif adalah terpisah dari skizofrenia dan gangguan suasana perasaan tidak didukung oleh pengamatan bahwa hanya sejumlah kecil sanak saudara pasien dengan gangguan skizoafektif menderita gangguan skizoafektif. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia dan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan suasana perasaan. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif berespon terhadap pengobatan dengan lithium dan cenderung mengalami perjalanan penyakit yang tidak memburuk.

23

Penggabungan Data Satu kesimpulan yang dapat dipercaya dari data yang tersedia bahwa pasien dengan gangguan skizoafektif adalah suatu kelompok yang heterogen: beberapa menderita skizofrenia dengan gejala afektif yang menonjol, yang lainnya menderita suatu gangguan suasana perasaan dengan gejala skizofrenik yang menonjol, dan suatu kelompok ketiga yang memiliki sindroma klinis yang berbeda. Hipotesis bahwa pasien dengan gangguan skizoafektif menderita baik skizofrenia maupun suatu gangguan suasana perasaan tidak dapat dipertahankan, karena perhitungan kejadian bersama (cooccurrence) dari kedua gangguan tersebut adalah jauh lebih rendah daripada insidensi gangguan skizoafektif.

SKIZOFRENIA Untuk mengetahui dam memahami perjalanan penyakit skizofrenia diperlukan pendekatan yang sifatnya holistik, yaitu sudut organobiologik, psikodinamik, psikoreligius dan psikososial.

FAKTOR BIOLOGIS 1. Genetik Penelitian tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan pada tahun 1930 an. Dimana diketemukan bahwa kemungkinan seseorang akan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia. Kemungkinan seseorang menderita skizofrenia berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut (sebagai contohnya, sanak saudara derajat pertama atau derajat kedua). Pada penelitian yang sekarang dengan dilakukan observasi dengan berbagai peralatan biologi molecular dan genetic molecular. Terdapat beberapa hubungan yang dilaporkan pada pasien dengan skizofrenia, meliputi kromosom 3,5,6, 8,13,dan 18. Dan disamping itu juga diketemukan trinucleotide repeats ( CAG/ CTG) pada kromosm 17 dan 18. 2. Biokimia Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari skizofrenia adalah hipotesis dopamine. Hipotesis ini secara sederhana menyatakan

24

bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamine ( D 2 ) reseptor. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa, dalam kondisi experimental yang terkontrol, konsentrasi asam homovanilinic (sebagai metabolit dopamine utama) dalam plasma dapat mencerminkan konsentarasi asam

homovanilinic dalam susunan saraf pusat. Penelitian tersebut menunjukan hubungan positif antara konsentrasi asam homovanilinik praterapi yang tinggi dengan : keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat anti psikotik. Disamping itu perlu juga dipikirkan neurotransmitter lainnya seperti serotonin dan asam amino GABA sebagai etiologi dari skizofrenia. Secara spesifik antagonism pada reseptor serotonin ( 5 hidroxy- tryptamine) tipe 2 ( 5 HT2) menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan gangguan tersebut antagonism D2. Neurotransmiter lainnya yang juga berperan adalah asam amino GABA inhibitor, dimana pada beberapa pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA nergik di dalam hipokampus. Kehilangan inhibitor GABA ergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergic. berhubungan dengan

FAKTOR PSIKOSOSIAL Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang berasal dari keluarga berekspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam, dan kritis. Disamping itu stress psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol. Di Negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok sosioekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah karena penyakitnya. Suatu penjelasan

25

alternative adalah hipotesis akibat sosial, yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaimana penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial.

GANGGUAN AFEKTIF Dasar umum untuk gangguan depresif berat tidak diketahui. Banyak usaha untuk mengenali suatu penyebab biologis atau psikososial untuk gangguan mood telah dihalangi oleh heterogenitas populasi pasien yang ditentukan oleh sistem diagnostik yang didasarkan secara klinis yang ada, termasuk DSM-IV. Faktor penyebab dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika, dan faktor psikososial. Perbedaan tersebut adalah buatan karena kemungkinan bahwa ketiga bidang tersebut berinteraksi di antara mereka sendiri. Sebagai contohnya, faktor psikososial dan faktor genetika dapat mempengaruhi faktor biologis (sebagai contohnya, konsentrasi neurotransmiter tertentu). Faktor biologis dan psikososial juga dapat mempengaruhi ekspresi gen. Dan faktor biologis dan genetika dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stresor psikososial

FAKTOR BIOLOGIS
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit amin biogenik seperti 5-hydroxyindolacetic acid (5-HIAAA),

homovanillic acid (HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) di dalam darah, urine dan cairan serebrospinalis pada pasien dengan gangguan suasana perasaan. Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan mood adalah berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik. Amin biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Pada model binatang, hampir semua terapi antidepresan somatik yang efektif yang telah diuji adalah disertai dengan penurunan kepekaan reseptor pascasinaptik adrenergik-

26

beta dan 5-hydroxytryptamine tipe 2 (5-HT2) setelah terapi jangka panjang. Respon temporal perubahan reseptor tersebut pada model binatang adalah berkorelasi dengan keterlambatan perbaikan klinis selama satu sampai tiga minggu yang biasanya ditemukan pada pasien. Disamping norepinefrin, serotonin dan dopamin, bukti-bukti mengarahkan pada disregulasi asetil-kolin dalam gangguan suasana perasaan.

FAKTOR GENETIKA Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam perkembangan gangguan suasana perasaan adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan suasana perasaan pada sekurangnya beberapa orang. Disamping itu, terdapat komponen genetika yang lebih kuat untuk transmisi gangguan bipolar I daripada untuk transmisi gangguan depresi berat.

FAKTOR PSIKOSOSIAL Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan. Satu pengamatan klinis yang telah lama yang telah direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresif berat dan gangguan bipolar I. Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stres yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem pemberi signal intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhirnya dari perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor eksternal.

27

FAKTOR PSIKOANALITIK DAN PSIKODINAMIKA Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introyeksi mungkin merupakan cara satusatunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.

D. GAMBARAN KLINIS Tanda dan gejala klinis gangguan skizoafektif adalah termasuk semua tanda dan gejala skizofrenia, episode manik, dan gangguan depresif. Gejala skizofrenik dan gangguan suasana perasaan dapat ditemukan bersama-sama atau dalam cara yang bergantian. Perjalanan penyakit dapat bervariasi dari suatu eksaserbasi dan remisi sampai satu perjalanan jangka panjang yang memburuk. Banyak peneliti dan klinisi telah berspekulasi tentang ciri psikotik yang tidak sesuai dengan suasana perasaan (mood-incongruent); isi psikotik (yaitu, halusinasi atau waham) adalah tidak konsisten dengan suasana perasaan yang lebih kuat. Pada umumnya, adanya ciri psikotik yang tidak sesuai dengan suasana perasaan pada suatu gangguan suasana perasaan kemungkinan merupakan indikator dari prognosis yang buruk. Hubungan tersebut kemungkinan juga berlaku untuk skizoafektif, walaupun data-datanya terbatas. Dari diskusi satu contoh kasus dapat disimpulkan bahwa selama periode awal penyakitnya, pasien menunjukkan gejala skizofrenik karakteristik seperti waham yang aneh (orang dapat mendengar apa yang dipikirkannya) dan halusinasi dengan (suara-suara teman dan orang asing berbicara satu sama lain). Terdapat pemburukan fungsi sampai titik di mana ia tidak mampu merawat rumahnya. Dengan pengobatan, setelah kira-kira sembilan minggu gejala psikotik menghilang, tetapi ia ingat telah kembali menjadi normal hanya kira-kira satu minggu. Ia selanjutnya menderita gejala karakteristik dari episode depresif berat, dengan suasana perasaan yang gangguan

28

terdepresi, nafsu makan jelek, insomnia, kurang berenergi, kehilangan gairah, dan konsentrasi yang buruk. Periode depresifnya berlangsung kira-kira sembilan bulan. Kasus tersebut tampak sebagai suatu contoh di mana adalah tidak mungkin untuk membuat suatu diagnosis banding dengan suatu derajat kepastian di antara suatu gangguan suasana perasaan dan skizofrenia atau gangguan skizofreniform; dengan demikian, suatu diagnosis gangguan skizoafektif tampaknya tepat. Diagnosis menyampaikan tidak adanya kepastian dan menonjolnya ciri afektif maupun mirip skizofrenik.

E. DIAGNOSIS Karena konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik skizofrenia maupun gangguan suasana perasaan, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi lain. Kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif telah banyak berubah dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disordres edisi ketiga (DSM-III) ke edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R) dan sekarang edisi keempat (DSM-IV). Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1.) adalah bahwa pasien telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif berat atau episode manik yang bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik untuk fase aktif dari skizofrenia. Di samping itu, pasien harus memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua minggu tanpa adanya gejala gangguan suasana perasaan yang menonjol. Gejala gangguan suasana perasaan juga harus ditemukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan residual. Pada intinya, kriteria dituliskan untuk membantu klinisi menghindari mendiagnosis suatu gangguan suasana perasaan dengan ciri psikotik sebagai gangguan skizoafektif. DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe manik atau suatu episode campuran atau suatu episode manik atau

29

campuran dari episode depresif berat. Selain itu, pasien diklasifikasikan sebagai penderita tipe depresif.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu, terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode campuran dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia. Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: suasana perasaan terdepresi. B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala suasana perasaan yang menonjol. C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode suasana perasaan ditemukan untuk sebagian bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit. D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

Tipe spesifik : 1. Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau suatu manik atau suatu episode campuran dan episode depresif berat). 2. Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.

Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4. Hak cipta American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan ijin.

Para klinisi juga harus dapat mendiagnosis gangguan skizoafektif dengan tepat, dan harus dipastikan apakah memenuhi kriteria episode manik atau episode depresif, dan juga menentukan jangka waktunya dengan tepat dari episode tersebut. Lamanya tiap episode tersebut dapat ditentukan dengan: a) Memenuhi kriteria B (adanya gejala psikotik tanpa adanya gangguan suasana perasaan ) dengan

30

mengetahui kapan berakhirnya episode afektif dan berlanjutnya episode psikosisnya; b) Memenuhi kriteria C yaitu lamanya semua episode suasana perasaan harus dibandingkan dengan total waktu lamanya sakit. Disebut memenuhi kriteria tersebut bila komponen suasana perasaan muncul hanya sebagian dari total lamanya sakit. Tetapi kedua alasan tersebut sulit dikerjakan, oleh karena itu dalam prakteknya, kebanyakan klinisi mencari komponen suasana perasaan kurang lebih 15-20 persen dari total waktu lamanya sakit. Pasien dengan episode manik penuh selama 2 bulan yang juga menderita gejala skizofrenia selama kurang lebih 10 tahun, tidak termasuk dalam kriteria gangguan skizoafektif. Masih belum dapat dijelaskan apakah tipe bipolar atau tipe depresif dapat membantu penggolongan diagnosis, karena keduanya dapat dilakukan terapi secara langsung. Diagnosis gangguan skizoafektif tidak dapat dibuat bila gejala ditimbulkan oleh penggunaan obat-obatan ataupun kondisi medis sekunder.

F. DIAGNOSIS BANDING Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan suasana perasaan perlu dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan skizoafektif. Pasien yang diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan phencyclidine (PCP), dan beberapa pasien dengan epilepsi lobus termporalis secara khusus kemungkinan datang dengan gejala skizofrenik dan gangguan suasana perasaan , yang bersama-sama. Diagnosis banding psikiatrik juga termasuk semua kemungkinan yang biasanya dipertimbangkan untuk skizofrenia dan gangguan suasana perasaan. Di dalam praktek klinis, psikosis pada saat datang mungkin mengganggu deteksi gejala gangguan suasana perasaan pada saat tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi boleh menunda diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut telah terkendali.

G. TERAPI Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah sakit, medikasi dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari

31

farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan dan antimanik diikuti jika semuanya diindikasikan, dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk pengendalian jangka pendek. Terdapat beberapa rekomendasi untuk terapi ini. Pada prinsipnya adalah mengobati gejala yang ada pada pasien, dan bukan hanya diagnostiknya saja. Golongan obat-obatan yang dapat digunakan adalah : 1. Stabilizer suasana perasaan Adalah terapi utama untuk gangguan bipolar, dan diharapkan menjadi terapi yang penting untuk gangguan skizoafektif. Beberapa penelitian telah memeriksa efek dari obat ini, dibedakan dengan penelitian terhadap lithium, valproat (depakot), dan penggunaan karbamazepin (tegretol) yang lebih sedikit pada gangguan bipolar I. Dari studi perbandingan antara lithium dan karbamazepin menunjukkan bahwa karbamazepin lebih superior untuk digunakan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, tetapi dapat pula digunakan untuk tipe bipolar. Dalam praktek, obat ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan golongan yang sama, atau dengan antipsikotik 2 Antidepresan Dari definisi yang diketahui, banyak pasien gangguan skizoafektif menderita episode depresif berat. Harus diperhatikan agar tidak terjadi peralihan yang berturut-turut dari episode depresi sampai mania dengan obat antidepresan ini. Pilihan penggunaan inhibitor serotonin reuptake (seperti fluoxetine/Prozac) dan sertraline (zoloft), biasanya sebagai pilihan pertama karena kurang menimbulkan efek ke jantung. Penggunaan antidepresan trisiklik dapat menimbulkan agitasi ataupun insomnia. Tetapi dalam semua kasus depresi, perlu dipertimbangkan penggunaan ECT (Electro Convulsive Therapy) 3 Antipsikotik Seperti telah disebutkan di atas bahwa antipsikotik adalah penting untuk terapi gangguan skizoafektif. Perkenalan penggunaan Chlorpromazine pada tahun 1950an menunjukkan bahwa obat ini dapat menghambat kerja

32

neurotransmiter dopamin yang mana efektif untuk terapi psikosis, dan gejala psikotik pada pasien gangguan skizoafektif.

Selain obat-obatan, juga sangat diperlukan adanya terapi psikososial dalam pengobatan skizoafektif ini, yang mana dapat berupa kombinasi dari terapi keluarga, pelatihan kemampuan sosial, dan rehabilitasi kognitif. Selain itu, pasien dan keluarga pasien harus dijelaskan mengenai penyakit apa yang diderita pasien dan terapi apa saja yang bisa dilakukan sehingga didapatkan prognosis yang lebih baik.

H. PROGNOSIS Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan gangguan suasana perasaan. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, dan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian yan mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan gangguan itu sendiri. Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar I yaitu pasien dengan gangguan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak ada faktor pencetus; menonjolnya gejala psikotik, khususnya gejala defisit atau gejala negatif; onset yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakteristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit. Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan bahwa perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.

33

BAB IV PERBEDAAN ANTARA GANGGUAN BIPOLAR DENGAN GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

GANGGUAN BIPOLAR

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF

Definisi

Gangguan

perubahan

suasana Gangguan yang terdapat gejala-gejala

perasaan (mood) yang secara periodik definitif skizofrenia dan gangguan afektif berganti-ganti atau episode berulang sama-sama menonjol pada saat yang (minimal 2 episode) bersamaan bergantian. Etiologi Belum diketahui pasti, salah satunya adalah faktor genetik (bipolar I lebih penting komponen genetiknya) 5 6 4 Teori hipotesis banyaknya (simultaneously) atau

Dopamin di otak Faktor genetik Disregulasi norepinefrin serotonin dan

Prevalensi

y y

Laki-laki sama dengan wanita Onset sejak masa kanak

Wanita lebih sering daripada lakilaki

sampai 50 tahun (rata-rata usia 30 tahun)

Onset dewasa akhir atau masa kanak-kanak (rata-rata usia

kurang dari 45 tahun) Insidens y 0,3 - 1,5 % populasi dan tidak ada perbedaan antar ras y Sosioekonomi tinggi dan y y Secara umum tidak ada tapi beberapa penelitian hasilnya

berkisar antara 2 29 % Sosioekonomi rendah

berpendidikan tinggi

Gejala klinik

y y

Tidak terdapat halusinasi Episode manik :

Terdapat gejala yang memenuhi kriteria A skizofrenia fase aktif

34

1. Aktivitas meningkat 2. Banyak bicara 3. Harga diri meningkat (waham grandiosa) atau terlalu optimis 4. Perhatian mudah teralih dan konsentrasi menurun 5. Penurunan kebutuhan tidur (hanya 3 jam/hari) y

dan gangguan afektif (mood) untuk episode manik, berat atau campuran Terdapat halusinasi waham auditorik aneh dan depresif

minimal

selama 2 minggu tanpa gejala mood yang menonjol

6. Loncat gagasan (flight of ideas) 7. Banyak energi 8. Mudah tersinggung

Episode depresif :

 Energi menurun  Aktivitas menurun  Tidak ada semangat dan minat  Pesimis, perasaan bersalah dan tidak berguna (waham nihilistik)  Kebutuhan tidur meningkat atau menurun

Episode hipomanik : gejala lebih ringan daripada episode manik

Perjalanan penyakit

Terdapat

penyembuhan

sempurna Bervariasi mulai dari eksaserbasi, remisi sampai jangka panjang yang memburuk

atau remisi total antar episode

Hospitalisasi

Bipolar I memiliki indikasi untuk Lebih berindikasi untuk rawat inap di RS

35

dirawat inap di Rumah Sakit daripada Bipolar II

Diagnosis banding

y y

Gangguan depresi berat Gangguan ambang kepribadian

y y y

Skizofrenia Gangguan afektif (mood) Penyalah gunaan amfetamin atau phencyclidine

Beberapa pasien epilepsi lobus temporalis

Prognosis

Dapat sembuh sempurna tanpa gejala Lebih baik daripada skizofrenia tetapi sisa (remisi total) lebih buruk daripada gangguan afektif (mood)

Terapi

1. Psikofarmakologik  Episode manik : Antimanik 2x250 mg) Antikonvulsan (Karbamanzepin 2x300 mg dan (Litium

 

Rawat inap di RS Psikofarmakologik

1) Antidepresan : Sertraline 2x50 mg 2) Antimanik : Lithium,

Carbamazepin dan Valproate 3) Antipsikotik : Chlorpromazine 1x100 mg 4) ECT    Terapi psikososial Terapi keluarga Pelatihan kemampuan sosial dan rehabilitasi kognitif

Valproate 3x250 mg)  Episode depresi :  Sertraline 2x50 mg 2. ECT 3. Terapi psikososial 4. Terapi kognitif 5. Terapi interpersonal 6. Terapi keluarga

36

BAB V KESIMPULAN

Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh. Oleh karena itu, edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini. Gangguan skizoafektif merupakan gangguan psikotik lain yang menunjukkan gejala gangguan skizofrenia dan gangguan afektif. Diagnosis skizoafektif dapat ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan kriteria diagnostik dari skizofrenia dan gangguan afektif tersebut seperti yang telah disebutkan di dalam DSMIV, yang mana dibedakan dalam dua spesifik tipe yaitu tipe bipolar dan tipe depresif. Penatalaksanaan yang dilakukan untuk gangguan skizoafektif ini terutama ditujukan pada gejala yang timbul serta intervensi psikososial, dapat berupa dukungan dari keluarga pasien untuk menunjang penyembuhannya ataupun kegiatan pelatihan lain yang dilakukan pasien agar didapatkan prognosis yang lebih baik. Cardno dan kawan-kawan di London menunjukkan bahwa skizofrenia, skizoafektif, dan sindrom manic berbagi faktor resiko genetik. Penemuan ini menimbulkan dugaan suatu genetik tersendiri bertanggungjawab pada psikosis berbagi dengan gangguan mood dan skizofrenia. Tsuang dan kawan-kawan mengindikasikan adanya kontribusi genetik pada MDI dengan gambaran psikotik, serta menunjukkan adanya hubungan antara skizofrenia dan gangguan bipolar. Prognosis gangguan bipolar lebih baik dari pada gangguan skizoafektif, karena gangguan bipolar dapat sembuh sempurna disetiap episode sedangkan gangguan skizoafektif ada gejala residu atau tidak dapat remisi total.

37

DAFTAR PUSTAKA
1) Harolod I. Kaplan, Benjamin J. Sadock. Skizofrenia, Sinopsis Psikiatri ; edisi VII. Binarupa Aksara. Jakarta : 1997. Hal 777-852 2) PPDGJ II, Edisi II Departemen Kesehatan R.I., Direktorat Jenderal Pelayanan Medis, 1993. hal. 133-134 3) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, 1994. page. 350-363 4) Felix, Memahami kepribadian dua kutub, http://www.medicastore.com/med/berita.php?id=40&iddtl=&idktg=&id obat=&UID=2008022716340461.94.104.185 5) Jari Tiihonen, Kristian Wahlbeck, Jouko Lnnqvist, Timo Klaukka, John P A Ioannidis, Jan Volavka, Jari Haukka, Effectiveness of antipsychotic treatments in a nationwide cohort of patients in community care after first hospitalisation due to schizophrenia and schizoaffective disorder: observational follow-up study, http:/British Medical

Journals.com/2009/09/15/Effectiveness of antipsychotic treatments in a nationwide cohort of patients in community care after first

hospitalisation due to schizophrenia and schizoaffective disorder: observational follow-up study 6) R.H. Belmaker, M.D. Bipolar Disorder, http://New England Journals Medical.com/2009/04/10/bipolar disorder. 7) American Psychiatric Association, Schizophrenia and Other Psychotic Disorder, dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), 4th edition, Washington DC:292-296 8) Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan R.I, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia; Edisi III; Jakarta; 1993.137-167

38

9) Kaplan HI, Sadock BJ; Other Psychotic Disorder-Schizoaffective Disorder, dalam Comprehensive Text Book of Psychiatry, vol. IA, 7th edition, Williams and Wilkins, Philadelphia, 2000:1232-1236 10) Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA; Other Psychotic DisorderSchizoaffective Disorder, dalam Synopsis of Psychiatry-Behavioral Science Clinical Psychiatry, 7th edition, Williams and Wilkins, Baltimore USA, 1994:500-503 11) Stahl, Stephen M; Psychosis and Schizophrenia, dalam Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and Practical, 3rd edition, Cambrige University Press, USA, 2008:247-283 http://www.mentalhealth.com

39

You might also like