You are on page 1of 10

Penatalaksanaan Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang disertai Fournier's gangren & TB Paru Muhammad Trihatmowijoyo Bundjali Ari

Sutjahjo PENDAHULUAN Diabetes mellitus Tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronik yang memerlukan tatalaksana berkelanjutan untuk menghindari komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Pada tahun 1998, WHO telah memperkirakan prevalensi DM di kalangan orang dewasa di seluruh dunia akan menjadi dua kali lipat, dari 135 juta (4%) menjadi 300 juta (5,4%) pada tahun 2025. Bagian utama dari peningkatan luar biasa ini akan terjadi di negara berkembang, seperti India dan Cina, dimana meningkat sebesar 170%, dari 84 juta diproyeksikan menjadi 228 juta (Guptan & Shah, 2000;Saifullah & Mujtaba, 2009;ADA 2011). Pada umumnya kulit Diabetisi kurang sehat atau kuat dalam hal pertahanannya, sehingga mudah terkena infeksi dan penyakit jamur (Tjokroprawiro, 2006). Bahkan penderita DM telah lama dikenal sebagai penyakit dengan penurunan daya tahan tubuh (Secondary Immuno Deficiency Disease) (Kuntaman, 2001). Pasien dengan DM cenderung memiliki infeksi kulit dimana salah satu penyebab utama adalah hiperglikemia yang menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh. Infeksi yang terjadi dapat berakibat fatal jika tidak terdeteksi lebih awal atau diobati dengan benar. Adalah penting untuk mengenali tanda dan gejala ini , memperlakukan mereka secara tepat atau merujuk pasien ke dokter kulit atau diabetologist (Saifullah & Mujtaba, 2009). Dibandingkan dengan orang normal, penderita DM lebih mudah menderita Tuberculosis (TB) paru. Kurang lebih 12,8% penderita DM di Surabaya mengidap TB paru (Tjokroprawiro, 2006). Dokter sering mengungkapkan keyakinan bahwa pasien diabetes beresiko tinggi untuk berbagai infeksi ketimbang pasien non-diabetes. Ada hubungan antara diabetes dan prevalensi infeksi berikut: sistitis, pyelonefritis, candida vulvovaginitis dan sistitis, pneumonia, influenza, bronkitis kronis, bakteremia, tuberkulosis primer, tuberkulosis reaktivasi, mucormycosis, otitis eksterna, dan infeksi di daerah perineum (Fournier's gangren) (Boyko, 2010). Pada makalah ini akan disampaikan kasus tentang seorang penderita DM dengan Fourniers gangren dan TB paru.

KASUS Seorang laki-laki, Tn.W, umur 53 thn, menikah,suku jawa, pekerjaan sebagai petani , tinggal di Ngawi, pendidikan tamat SD, datang ke IRD RSUD.Sudono, Madiun, tanggal 11 November 2010 dengan keluhan utama: kantung kemaluan bengkak. Dari anamnesis didapatkan, Keluhan utama: Bengkak pada kantung kemaluan.Pasien datang Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSU dr. Soetomo, Surabaya 2011

dengan mengeluh kantung kemaluannya mulai membesar disertai nyeri sejak sekitar seminggu SMRS. Awalnya penderita sering menggaruk-garuk daerah selakangan nya, terutama setelah pulang dari sawah. Bila pada saat gatal pasien menggaruk dengan tangan nya sendiri. Kemudian kantung kemaluan nya dirasakan semakin membesar dan nyeri. 5 hari sebelum MRS dirasakan nyeri yang sangat, kulit agak memerah, keluar cairan seperti nanah dan berbau aneh. Demam dirasakan mulai hari ini, Sampai saat ini pasien belum minum obat apapun untuk bengkaknya. Sejak 1 bulan yang lalu pasien sering kencing, lemas, dan mudah lapar. Pasien minum glibenklamid 1 tablet pagi tidak teratur sejak 3 tahun yang lalu. Pasien minum obat TB dari puskesmas sejak 3 bulan yang lalu. Riwayat sesak, nyeri dada dan stroke tidak didapatkan. BAK : dalam batas normal, dan BAB : normal seperti biasa. Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan, DM sejak 3 tahun yang lalu, darah tinggi (-), cuci darah (-), sakit ginjal (-), alergi obat (-), alergi makanan (-). Riwayat Sosial didapatkan ,tetangga tidak ada yang sakit batuk lama. Riwayat penyakit keluarga didapatkan kedua orang tua tidak punya darah tinggi, saat ini sudah meninggal, Bapak punya penyakit gula (+), keluarga tidak ada yang sakit batuk lama. Pemeriksaan Fisik didapatkan KU: Cukup, kesadaran kompos mentis, ,berat badan 65

kg,Tinggi badan 160 cm, kesadaran 4-5-6, tekanan darah (TD) 100/70 mmHg, nadi 100x/m, pernapasan 24x/m, suhu aksiler 38,8C.Pada pemeriksaan kepala leher tidak didapatkan anemia, ikterus, sianosis, sesak napas, pembesaran kelenjar getah bening dan JVP tidak meningkat. Pada pemeriksaan dada didapatkan, suara jantung S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-). Pada paru didapatkan suara napas vesikuler kanan dan kiri, tidak didapatkan adanya ronki dan wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, bising usus normal. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat, tidak didapatkan edema, didapatkan krepitasi pada daerah inguinal sinistra dan scrotum, didapatkan abcess scrotalis dan cairan pus dari lesi regio scrotalis. Dengan ankle brachial index (ABI) kanan dan kiri 1. Pemeriksaan Penunjang 11 November 2010, Hb : 12,5 g/dl, Leko: 21.200/ cmm, granulosit: 83,1%, Trombo: 229.000/cmm, Hct: 36,8 %, LED: 45 mm/jam, SGOT : 20 u/L, SGPT : 23 u/L, Alb: 3,2 g/dl, Asam Urat: 4,5 mg/dl, BUN: 23 mg/dl,SK : 1,06 mg/dl ,GDA : 623 mg/dl ,Na: 131 mEq/L ,K: 4,4 mEq/L ,Chlor: 99 mEq/L. UL dan sedimen urine dalam batas normal. Pada EKG didapatkan irama sinus 100x/menit dengan sumbu aksis frontal dan horisontal normal. USG abdomen dalam batas normal. Thorax foto: didapatkan gambaran infiltrate pada paru kiri mengesankan Koch Pulmonum. Dari konsultasi didapatkan, hasil konsultasi dengan departemen Jantung didapatkan pasien dengan Cardiac Risk Index class I. Hasil konsultasi dengan Paru didapatkan pasien dengan TB paru.Saran: OAT kategori I (Rifampisin 1X450 mg, INH 1X300 mg, Ethamb 1X750 mg, PZN 1X1000 mg). Hasil konsultasi dengan departemen Mata: tidak didapatkan kelainan. Hasil konsultasi dengan departemen Bedah:didapatkan abses regio perineum, pro debridemant. 2

Berdasarkan data yang tersedia, maka diagnosis kerja saat itu adalah DM tipe 2 + Fourniers gangren + TB paru. Pasien mendapat terapi : Diet G 2100 kkal/hr, infuse PZ 7 tts/m, Ceftriaxon inj. 2x1gr, Metronidazol infus 3x 500 mg, Metamizole inj. 3x1gram, prn, bila nyeri, RCI 5x4 unit Actrapid, Actrapid 3x12 unit ,SC, AC 15 mnt sebelum makan ,ASA 1x100mg tab. Metilkobalamin 3x500 mg tab. OAT kategori I (Rifampisin 1X450 mg, INH 1X300 mg, Ethamb 1X750 mg, PZN 1X1000 mg) ,Pro debridemant. Monitoring: VS, Keluhan, GDA, GDA post RCI 255 mg/dl, Produksi Urine. Perjalanan Penyakit Pada hari pertama perawatan (12-11-2010), GDP: 284 mg/dl Diagnosa: tetap, Terapi: RCI 1x4 unit ,iv, Actrapid. GDA post RCI : 245 mg/dl, Actrapid 3x4 unit ,SC, 15 mnt sebelum makan, Lantus 0-0-10 unit, terapi lain nya tetap. Pada hari ke-2 perawatan (13-11-2010), Leko: 13.100/ cmm Diagnosa : tetap Terapi: RCI 2x4 unit iv,actrapid (GDA post koreksi: 188), maintenance 3x6 unit sc,ac 15 mnt sebelum makan, Pro debridemant (hari ini), lainnya tetap. Pada hari ke-4 perawatan (15-11-2010). Kel. Utama: nyeri (+) pada daerah operasi, Leko: 10.800/ cmm HbA1c: 10,6% Kultur Urine: Tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Diagnosa: tetap Terapi: RCI 1x4 unit iv,actrapid (GDA post koreksi: 180), maintenance 3x4 unit sc,ac 15 mnt sebelum makan Pada hari ke-5 perawatan (16-11-2010), Hasil Laboratorium : GDP:144 mg/dl GD2jpp: 188 mg/dl Hct:41% Gran:79% GDP: 140 mg/dl GD2jpp:240 mg/dl Gran:79,9 % GDP : 131 mg/dl GD2jpp: 370 mg/dl GD2JPP: 288 mg/dl

Hasil kultur Pus:Kuman E.Coli Diagnosa dan terapi: tetap Pada hari ke-11 perawatan (22-11-2010) GDP: 126 mg/dl GD2jpp: 178 mg/dl

Hasil kultur darah: tidak ada pertumbuhan kuman aerob dan anaerob Diagnosa dan terapi: tetap Pada hari ke-12 perawatan (23-11-2010), 3

GDP: 114 mg/dl

GD2jpp: 170 mg/dl

Diagnosa dan terapi: tetap Pada hari ke-13 perawatan (24-11-2010), Tidak didapatkan keluhan, luka di skrotum membaik. Dari hasil lab. Didapatkan Hb: 13 g/dl, Leko: 6.500/cmm , Trombo: 325.000/cmm, Hct: 45,6 %, GDP: 104 mg/d, Gd2jpp: 168 mg/dl. Penderita dipulangkan dengan diagnosa akhir: DM tipe 2 + Post debridemant Fourniers gangren + TB paru. Penderita KRS dengan terapi: KIE diet ,KIE perbaikan gaya hidup sehat. Diputuskan untuk pemberian terapi kombinasi obat hipoglikemi oral (OHO) dan insulin (TKOI) selama rawat jalan dengan LANTUS 0-0-10 unit SC, dengan OHO : Metformin 3x500mg setelah makan, infus dihentikan, Cefixime 2x100 mg, Metronidazole 3x500mg, ASA 1x100mg tab. ,Metilkobalamin 3x500 mg tab. ,OAT kategori I (Rifampisin 1x450 mg, INH 1x300mg, Ethamb 1X750mg, PZN 1X1000mg), kontrol poli Diabetes, Kontrol poli Bedah, Kontrol poli Paru. PEMBAHASAN DM adalah penyakit metabolik sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif baik oleh karena adanya disfungsi sel beta pankreas atau ambilan glukosa di jaringan perifer, atau keduanya (pada DM tipe 2), atau kurangnya insulin absolut (pada DM tipe 1), dengan tanda-tanda hiperglikemi dan glukosuria, disertai dengan gejala klinis akut (poliuria, polidipsi & penurunan berat badan) dan ataupun gejala kronik atau kadang-kadang tanpa gejala (Tjokroprawiro, 2007). Kriteria diagnosis DM menurut ADA 2011 meliputi A1C 6,5% dimana pengujian harus dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode yang telah bersertifikat National Glycohemoglobin Standardization Program

(NGSP) dan telah distandarisasi oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) atau gula darah puasa 126 mg / dl (7,0 mmol / l) dimana puasa di definisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam atau glukosa 2 jam post-prandial 200 mg / dl (11,1 mmol / l) setelah dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), menggunakan beban glukosa berisi setara dengan 75 g glukosa terlarut dalam air atau pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia didapatkan glukosa plasma acak 200 mg / dl (11,1 mmol / l). Kriteria ini harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan klinis yang khas (ADA, 2011). Diagnose DMT2 ditegakkan berdasarkan atas: penderita datang dengan GDA yang tinggi 623 mg/dl ,gula darah puasa 126 mg/dl, glukosa post-prandial 200 mg/dl, didapatkan keluhan trias DM ,yaitu polifagia, polidipsia, poliuria, dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, didukung oleh riwayat penyakit dahulu berupa DM sejak 3 tahun yang lalu, minum glibenklamid tidak teratur. Penderita DM memerlukan perawatan medis berkelanjutan dan edukasi yang baik untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan jangka panjang. DM meningkatkan kepekaan terhadap infeksi. Risk ratio DM terhadap infeksi lebih tinggi signifikan dibandingkan non DM. Terjadinya perubahan 4

aspek imunitas pada pasien DM mendasari hal tersebut, diantaranya: depresi fungsi sel PMN terutama bersamaan dengan kondisi asidosis, gangguan perlekatan leukosit, gangguan kemotaksis dan fagositosis, gangguan sistem anti oksidan terkait aktifitas bakterisidal, gangguan cell-mediated immunity, serta penurunan jumlah limfosit. Gangguan terhadap fungsi PMN dan monosit memudahkan invasi bakteri piogenik dan bakteri yang lain (Joshi, 1999;Tjokroprawiro, 2001;ADA, 2011). Fournier's gangren terjadi ketika bakteri menginfeksi tubuh melalui luka, biasanya di uretra, perineum, atau daerah kolorektal. Fournier's gangren adalah sebuah fasciitis agresif dan cepat menyebar ke jaringan lunak sekitarnya bahkan dapat mencapai 2 sampai 3 cm/jam bila memang sangat parah. Gangren sendiri adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah suatu proses nekrosis yang disebabkan oleh beberapa infeksi kuman (Tjokroprawiro, 2001;Rajagopalan, 2005;Burch, 2007;Bhatnagar, 2008). Bosgluz dkk menyimpulkan bahwa seseorang dengan DM akan meningkatkan risiko menderita Fournier's gangren. Dimana 10% sampai 60% dari penderita DM bisa mengalami penyakit ini.Faktor jenis kelamin dan genetik bukan faktor resiko penyakit ini namun compromised immune system, poor self care dan poor nutritional yang cenderung mempengaruhi timbulnya penyakit ini. Kondisi sosial-ekonomi yang buruk berkontribusi pada pengembangan Fournier's gangren (Bhatnagar, 2008). Infeksi jaringan lunak dan tulang terdiri dari necrotizing fasciitis, necritizing (malignant) otitis externa, ulkus kaki dan osteomielitis. Fourniers gangren sendiri termasuk ke dalam necrotizing fasciitis. Kriteria diagnosis Fourniers gangren meliputi sebagai berikut: 1). edema skrotum yang berkembang dengan cepat untuk menjadi gangren dengan atau tanpa sebab yang jelas. 2).Penderita tampak sakit berat. 3). Melibatkan sebagian atau seluruh bagian skrotum dan kadang-kadang permukaan bawah penis. 4). Gangren dapat mencakup seluruh kulit skrotum tetapi tidak pernah mencapai testis (Tjokroprawiro A, 2001;Burch, 2007). Pada penderita ini di diagnosis Fournier's gangren dari gejala klinis didapatkan jaringan nekrosis subkutan reg. scrota, reg. inguinal dan demam dengan onset yang cepat dalam 1 minggu. Saat datang ke ugd kondisi pasien tampak sakit berat. E. coli merupakan organisme yang paling sering ditemukan dalam isolasi kuman Fourniers gangren. Fourniers gangren sendiri diasumsikan sebagai infeksi polymicrobial, dan membutuhkan antibiotik yang mampu mencakup spektrum luas kemudian daripada itu tindakan agresif lainnya harus dengan debridemant. Pengobatan untuk memberantas bakteri anaerob yang sering gagal tumbuh atau sulit ditemukan dalam kultur adalah wajib. Fourniers gangren adalah infeksi sinergis yang disebabkan oleh kombinasi organisme aerobik dan anaerobik menciptakan produksi enzim yang mempromosikan infeksi dan penyebaran sangat cepat. Bakteri anaerob berkembang dalam lingkungan tanpa oksigen dan

menghasilkan molekul yang memicu reaksi kimia yang mempercepat penyebaran infeksi lebih lanjut (Bhatnagar, 2008; Stockinger, 2004). Pengobatan dengan antibiotik spektrum luas yang diberikan secara parenteral efektif mengatasi bakteri gram positif dan gram negatif. Sebuah regimen antibiotik empiris, cephalosporin generasi ketiga adalah pilihan yang baik untuk mengatasi bakteri gram positif dan organisme gram-negatif tersebut. Klindamisin atau metronidazole untuk mengatasi bakteri anaerob. Namun, perlakuan utama Fourniers gangren tetap debridemant (Stockinger, 2004). Pentalogi pengelolaan selulitis dan gangrene diabetik meliputi: 1) 2) Regulasi DM : diet gangren (Diet: G) dan insulin, Pengelolaan neuropati: dengan Vitamin B1, B6, B12, dapat juga dicoba alpha lipoic acid & gamma linoleic 3) Pengelolaan vaskulopati: dapat diberikan salah satu atau kombinasi Pentoksifilin 2 x400 mg, Clopidogrel 1x 75 mg atau ASA 100 mg sesudah makan 4) Antibiotik : dapat diberikan kombinasi amoksisilin-klavulanat atau quinolon serta metronidazol jika dicurigai terdapat infeksi anaerob 5) Pengelolan penyakit penyerta terkait DM seperti Hipertensi, dislipidemia, hiperfibrinogen dan hiperurisemia. Selain itu diperlukan terapi bedah yang meliputi eksisi, drainase pus dan debridemant sehingga mempercepat penyembuhan luka (Puruhito, 2010) Selama perawatan penderita ini mendapatkan diet G sesuai kondisi klinis, kemudian insulin basal dan prandial diberikan untuk meregulasi gula darah puasa dan post prandial nya yang cenderung tinggi dan diharapkan dapat memberikan efek anti inflamasi. Untuk pengelolaan neuropati, penderita ini diberikan metilkobalamin yang mempunyai efek penurunan intensitas nyeri. Kemudian ASA pada pasien ini diberikan untuk vaskulopati yang cenderung dapat terjadi pada penderita DM dengan gangrene. Hasil pembiakan kuman pus didapatkan : E.Coli. sesuai dengan teori, dimana pada Fourniers Gangrene ditemukan polymicrobial infeksi dengan aerob & anaerob organism. Maka dari itu pasien di berikan antibiotika Ceftriaxon (generasi ketiga cephalosporin) yang mampu membunuh gram positif maupun gram negative dan metronidazol untuk membunuh kuman anaerob. Pasien ini juga direncanakan untuk dilakukan debridemant yang dilaksanakan pada hari ke-2 perawatan. Selama perawatan tidak didapatkan penyakit penyerta yang memperberat kondisi klinis . DM juga diakui sebagai faktor risiko independen untuk mengembangkan infeksi saluran pernafasan bawah. TB terjadi seiring dengan peningkatan frekuensi penderita diabetes dan menyebabkan tingkat kematian meningkat secara signifikan. Peningkatan reaktivasi lesi tuberkulosis juga dapat meningkat pada penderita diabetes. Pada saat yang sama, TB muncul untuk memperburuk kondisi diabetes (Guptan & Shah, 2000). hipoalbumin,

Menurut Maria, pada TB paru dengan diabetes gambaran radiologi nya dapat berbeda dengan pasien tanpa diabetes mellitus. Biasanya pada pasien TB paru non-diabetes didapatkan lebih sering menyerang pada lobus superior, sangat jarang yang menyerang lobus inferior. Namun, berbeda pada penderita TB paru dengan DM yang lebih sering atypical atau tidak teratur lokasinya, bahkan bisa didapatkan multi-lobar involvement yang diikuti pembentukan cavities. (patel, 2011). Root mempelajari hubungan antara diabetes dan TB kemudian membuat kesimpulan bahwa: 1).Perkembangan tuberkulosis terjadi sepuluh kali lebih sering pada penderita diabetes, 2).Penderita diabetes sebenarnya sudah memiliki resiko menderita TB sebesar 85%, 3). Resiko terjadinya TB paru meningkat dengan durasi/ lamanya mengidap diabetes. Pada pasien ini telah di diagnose sebagai TB paru 3 bulan yang lalu dimana 3 tahun yang lalu sudah terlebih dahulu didiagnosa sebagai DM. Sesuai dengan teori dimana penderita DM cenderung beresiko mengidap tuberculosis. Penderita telah minum OAT kategori I (Rifampisin 1X450 mg, INH 1X300 mg, Ethamb 1X750 mg, PZN 1X1000 mg) sejak 3 bln SMRS. Dari gambaran foto thorax

didapatkan gambaran infiltrate pada paru kiri mengesankan Koch Pulmonum, namun pada pemeriksaan dahak didapatkan BTA negative yang mungkin dapat dikarenakan telah mengkonsumsi OAT kategori I. Hubungan antara infeksi dan hiperglikemi seperti vicious circle. Infeksi pada pasien DM dapat mencetuskan terjadinya krisis hiperglikemi pada DM, bahkan infeksi ringan sekalipun dapat meningkatkan kebutuhan insulin. Kondisi stress berat termasuk infeksi dapat meningkatkan glukoneogenesis dan resistensi insulin, sedangkan hiperglikemi bersifat pro-inflamasi yang memperburuk kondisi infeksi nya itu sendiri. Pengendalian faktor metabolik serta kontrol infeksi lokal yang adekuat akan memperbaiki kondisi klinis pasien DM dengan infeksi yang mengancam (Tjokroprawiro, 2001). Meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada DM disebabkan oleh berbagai faktor (multifaktorial), baik yang disebabkan oleh hiperglikemi maupun gangguan immunitas. Salah satu bukti bahwa hiperglikemi sebagai salah satu penyebab rentannya infeksi pada DM ialah pada penderita dengan ketoasidosis dimana ditemukan hiperglikemi berat sering ditemukan komplikasi infeksi. Beberapa hal dapat menerangkan hiperglikemi sebagai penyebab kerentanan infeksi pada diabetes melitus, yaitu : 1. Pembawa kuman Penderita DM ternyata membawa lebih banyak kuman dan jamur yang mengidap di tubuhnya. 2. Gangguan fungsi sel neutrofil dan monosit . Status hiperglikemi sendiri dapat mengganggu berbagai fungsi dari neutrofil dan monosit (makrofag) meliputi proses kemotaksis, perlekatan (adherence), fagositosis dan proses membunuh mikroorganisme intraseluler (intracellular killing). Semua proses ini terutama penting untuk membatasi invasi bakteri piogenik dan bakteri yang lain. Empat tahapan tersebut diawali dengan kemotaksis, kemudian terjadi perlekatan (adherence) mikroorganisme pada leukosit, lalu terjadi fagositosis dan 7

mulailah proses intra seluler untuk bunuh-kuman tersebut oleh radikal bebas oksigen (RBO=O2) dan hydrogen peroksida (H2O2). Dalam keadaan normal, kedua bahan dihasilkan dari glukosa melalui proses Hexose Monophosphate Shunt yang memerlukan NADPH ( Nicotine Adenine Dinucleotide Phospate) sebagai cofactor. Pada keadaan hiperglikemi, Aldose Reductase (AR) mengubah glukosa menjadi Sorbitol, dan proses ini membutuh kan NADPH. Akibat proses ini, sel akan kekurangan NADPH untuk membentuk O2 dan H2O2 ( Reaksi 1= Respiratory Burst) karena NADPH digunakan di reaksi 2. Pada DM, Respiratory Burst terganggu dan berkaitan dengan menurunnya fungsi intracellular killing dan berbagai mikroba.Gangguan ini akan lebih parah apabila regulasi DM memburuk. Ini berarti bahwa Respiratory Burst (reaksi 1) sejalan dengan kemampuan intracellular killing (Tjokroprawiro, 2001;Abbas, 2007;PERKENI, 2007;Adam , 2011) Pada pasien ini mengalami hiperglikemi 623 mg/dl, dengan HbA1c 10,6% , maka pasien secepatnya dilakukan RCI 5x4 unit actrapid, setelah dilakukan RCI , di cek GDA sebesar 255 mg/dl. Pasien memberikan respon yang baik setelah dikoreksi hiperglikemi yang pertama. Maka pemberian terapi insulin intravena kontinyu belum perlu diberikan saat itu juga. Formula TKOI atau terapi kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin seringkali dipergunakan untuk mempersiapkan pasien rawat inap ke rawat jalan, jadi untuk merubah dari insulin prandial ke insulin basal dan OHO atau pasien rawat jalan yang telah menggunakan OHO dengan dosis maksimal namun gula darah belum teregulasi, sehingga perlu untuk menambahkan insulin basal (Murtiwi, 2010). Indikasi TKOI dapat dibedakan menjadi primer dan sekunder. Untuk indikasi primer a).menurut konsensus PERKENI 2006 apabila hampir dosis maksimal OAD beserta pola makan dan pola aktivitas yang sudah benar, tapi diabetes tetap tidak terkendali secara optimal, b).Indikasi rasional TKOI adalah 1).apabila dipenuhi formula 2-4-8, 2).HOMA-B 35% (normal: 70-150%), 3). Insulin diberikan bila: HOMA-B<50% dan Penurunan berat badan lebih dari 10%. Kemudian untuk indikasi sekunder menurut pengalaman klinik dengan tujuan untuk anabolik dan kebugaran sel-sel tubuh, TKOI dapat digunakan apabila penderita DMT2 juga mengidap 1).Penurunan berat badan lebih dari 10-20% atau penurunan badan yang tidak terkendali lagi, 2).Fraktur, 3).TB paru yang lanjut, 4).Sirosis Hepatis Dekompensata 5).Nefropati diabetik yang perlu anabolik 6).Gangren diabetik 7).Kasus spesifik yang lain

(Tjokroprawiro, 2007) Pada saat keluar RS kondisi infeksi Fourniers gangren membaik dan glukosa darah relatif stabil, pasien mendapatkan TKOI dengan Lantus 0-0-10 unit SC malam hari, Metformin 3x500mg setelah makan. Penderita direncanakan kontrol ke poli diabetes, poli bedah dan poli paru.

Meskipun diberikan terapi agresif, DM dengan Fourniers gangren memiliki prognosis kurang baik karena sifat agresif dari infeksi dan adanya faktor komorbid yang mendasari dapat meningkatkan angka mortalitas yang tinggi mencapai 54 %. Prognosis Fourniers gangrene dapat berbanding lurus dengan usia pasien, tingkat toksisitas sistemik serta keterlibatan jaringan disekitarnya. Faktor tambahan yang memperberat lainnya seperti sepsis, gagal ginjal, dan disfungsi hati. Kegagalan multiorgan diikuti dengan infeksi kuman gram negatif adalah prediktor paling mudah bahwa penderita ini memiliki

prognosis yang buruk. Penegakan diagnosa dan tindakan dini secara agresif sangat penting untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan penyakit ini. (Burch, 2007;Santora, 2009). Pada saat pasien ini datang ke IRD RSUD Sudono, Madiun, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratoris, maka pasien ini dapat didiagnosa sebagai Fourniers gangrene yang kemudian diberikan antibiotik spektrum luas yang diharapkan mampu membunuh kuman gram negative, positif dan kuman aerob/ anaerob. Pada hari ke-2 pasien ini langsung direncanakan tindakan agresif debridemant untuk Fourniers gangren nya sebagai sumber infeksi. Tindakan agresif tersebut

membuahkan hasil dengan tanda turun nya lekosit yang awalnya 21.200/ cmm saat MRS menjadi10.800/ cmm setelah post-op debridemant dan Leko: 6.500/cmm saat KRS. RINGKASAN Dilaporkan seorang penderita Tn.W, 53 tahun, diketahui keluhan awal penderita adalah kantung kemaluan bengkak. Diagnosis pasti berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratoris yang memenuhi kriteria sebagai DM tipe 2 dengan Fourniers gangren dan TB paru. Setelah dilakukan pemberian antibiotik broad spectrum dan dilakukan tindakan agresif berupa debridemant, kondisi penderita membaik. Penderita dirawat selama 13 hari perawatan dan dipulangkan dengan KIE perbaikan gaya hidup sehat, TKOI, antibiotik spektrum luas OAT kategori I,kontrol poli Diabetes, Kontrol poli Bedah, Kontrol poli Paru.

KEPUSTAKAAN Abbas AK ,Lichtman AH ,Pilai S (2007) Innate Immunity. In: Cellular And Molecular Immunology 6th Edition, pp 35-37 Adam J. MF (2011) Diabetes Mellitus Dan Infeksi. Available at http://dokterangk97.com. Accesed on April 22, 2011 American Diabetes Association (2011) Standards of Medical Care in Diabetes, pp 11- 61 Bhatnagar AM ,Mohite PN ,Suthar M (2008) Fournier,s Gangrene: Review of 110 Cases for Aetiology, Predisposing Conditions, Microorganisms, and Modalities for Coverage of Necrosed Scrotum with Bare Testes. The New Zealand Medical Journal, pp 46-55 Boyko EJ et al (2010) Infection And Diabetes. Chapter 22, pp 485-496 9

Burch DM (2007) Fourniers Gangrene : Be alert for this Medical Emergency. Available at www.jaapa.com. Accesed on April 5, 2011 Guptan A & Shah A (2000) Tuberculosis and Diabetes : An Appraisal. Ind.J tub, pp 2-7 Hadi U (2010) SEPSIS: Pathophysiology and Management. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XXV pp 66-71 Joshi N et al (1999) Infections in Patients with Diabetes Mellitus. Review article, The New England journal of Medicine, pp 1906 - 1912 Kuntaman (2001) Microbiological Aspect of Surabaya Diabetes Update-IX, pp 221-234 Murtiwi S (2010). Combination of Basal Insulin with Glimepiride and/or Metformin in Daily Practice. In: SUMETSU-6 MECARSU-6, Surabaya, pp 157 - 166 Patel AK (2011) Radiological Presentation of Patients of Pulmonary Tuberculosis with Diabetes Mellitus. Available at www.lungindia.com. Accesed on April 7,2011 Perkumpulan Endrokinologi Indonesia (PERKENI) (2007) Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus. Petunjuk Praktis. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp 26-28 Cellulitis-Gangrene in Diabetes Mellitus. In:

Puruhito (2001) Cellulitis and Gangrene in Patients with Diabetes Mellitus. In : Surabaya Diabetes Update-IX, pp 235 -246 Rajagopalan S (2005) Serious Infections in Elderly Patients with Diabetes Mellitus. Invited Article, Aging and Infectious Disease, pp 990-995 Saifullah & Mujtaba G (2009) Diabetics Skin: A Storehouse of Infections Journal of Pakistan Association of Dermatologist, pp 34-37 Santora T, Rukstalis DB (2009) Fourniers Gangrene . Available at http://www.emedicine.com/. Accesed on April 7,2011 Schuetz et al (2011) Diabetes and Sepsis: Preclinical Finding and Clinical Relevance. . Available at http://www.diabetesjournal.org. Accesed on April 7,2011 Stockinger ZT ( 2004) Case Report: Fourniers Gangrene. In: Hospital Physician, pp 37-40 Tjokroprawiro A (2001) Diabetes And Infection (Focused on Diabetic Foot). In: Surabaya Diabetes Update-IX, pp 207-226 Tjokroprawiro A (2006) Hidup Sehat Dan Bahagia Bersama Diabetes Mellitus. Gramedia Pustaka Umum, pp 1-26 Tjokroprawiro A (2007) Diabetes Mellitus. Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University Press. pp 29-76 10

You might also like