You are on page 1of 9

FAKTOR YANG TERLIBAT DALAM PROSES PENUAAN

Secara internal, proses penuaan sel terjad karena pemrograman genetic yang telah didapatkan. Pada pengamaan jangka panjang, didapatkan bahwa fibroblas manusia dewasa normal pada kultur sel, memiliki rentang masa hidup tertentu; fibroblast berhenti membelah dan menjadi menua setelah kira-kira 50 kali penggandaan (fenomena Hayflick). Fibroblast neoatus mengalami sekitar 65 kali penggandaan sebelum berhenti membelah, sementra itu fibroblast dari pasien progeria, yang berusia premature, hanya memperlihatkan 35 kali penggandaan atau lebih.

Oleh karena mekanisme replikasi DNA, setiap pembelahan sel normal menhasilkan copi tiap kromosom dengan agak sedikit terpotong. Tanpa beberapa mekanisme untuk melindungi ketepatan proses replikasi, gen didekat ujung kromosom akan secara bertahap menghilang setelah sejumlah pembelahan dan sel rupanya menghenikan fuungsi normalnya. Strategi molekular untuk mengatasi masalah inimenggunakan telomer yang merupakan sekuens pendek DNA nontranskripsi yang dapat diulang berulang kali, yang terletak di ujung kromosom. Selain memberikan suatu buffer DNA nontranskripsi yang bisa diperpendek berulang kali tanpa mempengaruhi replikasi gen fungsional, sekuens telomere melindungi ujung terminal kromosom dari fusi dan degradasi. Pada saat sel somatic bereplikasi, satu potogan kecil tiap susunan telomere tidak berduplikasi, dan telomere memendek secara progresif. Akhirnya, setelah pembelahan sel yang multiple, telomere yang terpotong parah diperkirakan mensinyal proses penuaan sel.

Namun demikian, pada sel germ dan sel stem (tetapi bisanya bukan di sel somatik), yang memrlukan siklus replikasi yang tidak menentu, panjang telomere diperbaiki setelah pembelahan tiap sel oleh enzim khusus yang disebut telomerase.

Radikal bebas turut berperan dalam proses penuaan. Radikal bebas merupakan senyawa kimia yang berisi electron yang tidak berpasangan, terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai proses seluler/ metabilsme normal yang melibatkan O2. Karena elektronnya yidak berpasangan, maka radikal beba tersebut akan mencari pasangan electron lain dengan beraksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tak jenuh. Melalui proses oksidasi, radikal bebas yang dihasilkan selama fosforilasi oksidatif dapat menghasilakn berbagai modifikasi makromolekuler.

Sebagai contoh, karena membrane sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga membrane sel mengalami perubahan. Akinatnya, membrane sel membrane sel menjadi lebih permeable terhadap beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membrane secara bebas. Struktur di dalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh membrane yang mengandung lemak sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas. Radikal bebas juga dapat bereaksi dengan DNA, menyebabkan mutasi kromosom dan karenanya merusak mesin genetic normal dari sel. Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membrane sel atau ktomosom sel.

" Hanya sekitar 10% sel yang tersisa ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20 tahun lalu. Bisa dibayangkan, bagaimana terganggunya kerja jantung"

Di tengah memerangi penyakit infeksi, Indonesia mesti menghadapi isu penting; ancaman penyakit degeneratif. Pada dasawarsa terakhir populasi geriatri dan angka harapan hidup makin meningkat. Tak pelak, ancaman penyakit degeneratif di Tanah Air menjadi "gajah" di depan mata .

Menuanya organ tubuh tak lebih dari sebuah proses alamiah. Namun, "sangat sulit membedakan antara penuaan normal yang tidak bisa dicegah dengan kerusakan organ akibat penuaan yang sebenarnya dapat dicegah," ungkap dr. A. Muin Rahman, Sp.PD, KGer. dari divisi Geriatri Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM. Dari seluruh penyakit yang mendera lansia, penyakit kardiovaskular menempati urutan paling atas. Kerusakan akibat penuaan biasanya akan mengalami dua macam interaksi, yang berasal dari penuaan itu sendiri atau proses patologis yang mengikuti penyakit jantung tersebut. Kelompok ini pun sering mengalami kelainan klinis akibat komorbiditas serta polifarmasi

Perubahan Anatomis

Penebalan dinding ventrikel kiri jantung kerap terjadi, meski tekanan darah relatif normal. Begitupun fibrosis dan kalsifikasi katup jantung terutama pada anulus mitral dan katup aorta. Selain itu terdapat pengurangan jumlah sel pada nodus sinoatrial (SA Node) yang menyebabkan hantaran listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang tersisa ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20 tahun lalu. Bisa dibayangkan, bagaimana terganggunya kerja jantung, apalagi jika disertai penyakit jantung lain, seperti penyakit jantung koroner.

Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta kehilangan jaringan elastik. Meski seringkali terdapat aterosklerosis pada manula, secara normal pembuluh darah akan mengalami penurunan debit aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh, terdapat pula perubahan arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di arteri koroner kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan dan posterior di atas usia 60 tahun.

Perubahan Fisiologis

Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya usia adalah perubahan pada fungsi sistol ventrikel. Sebagai pemompa utama aliran darah sistemik manusia, perubahan sistol ventrikel akan sangat mempengaruhi keadaan umum pasien. Parameter utama yang terlihat ialah detak jantung, preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal kardiovaskular.

Oleh karenanya, orang-orang tua menjadi mudah deg-degan. Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan lemah jantung. Awalnya, efek ini diduga terjadi akibat efek blokade reseptor adrenergik, namun setelah diberi -agonis ternyata tidak memberikan perbaikan efek.

Di lain sisi, terjadi perubahan kerja diastolik terutama pada pengisian awal diastol lantaran otot-otot jantung sudah mengalami penurunan kerja. Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium, sebagaimana sangat sering dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan dengan diastol, akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal, akan terjadi penurunan komplians

ventrikel ketika menerima darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan exercise. Hasilnya, akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala klinis utama pasien lansia. Secara umum, yang sering terjadi dan memberikan efek nyata secara klinis ialah gangguan fungsi diastol.

Pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk melihat adanya penyakit jantung koroner, gangguan konduksi dan irama jantung, serta hipertrofi bagian-bagian jantung. Beberapa macam aritmia yang sering ditemui pada lansia berupa ventricular extrasystole (VES), supraventricular extrasystole (SVES), atrial flutter/fibrilation, bradycardia sinus, sinus block, A-V junctional. Gambaran EKG pada lansia yang tidak memiliki kelainan jantung biasanya hanya akan menunjukkan perubahan segmen ST dan T yang tidak khas. Untuk menegakkan diagnosis, perlu dilakukan ekokardiografi sebagaimana prosedur standar bagi para penderita penyakit jantung lainnya.

Perubahan Patologi Anatomis

Perubahan-perubahan patologi anatomis pada jantung degeneratif umumnya berupa degeneratif dan atrofi. Perubahan ini dapat mengenai semua lapisan jantung terutama endokard, miokard, dan pembuluh darah. Umumnya perubahan patologi anatomis merupakan perubahan mendasar yang menyebabkan perubahan makroskopis, meskipun tidak berhubungan langsung dengan fisiologis.

Seperti halnya di organ-organ lain, akan terjadi akumulasi pigmen lipofuksin di dalam sel-sel otot jantung sehingga otot berwarna coklat dan disebut brown atrophy. Begitu juga terjadi degenerasi amiloid alias amiloidosis, biasa disebut senile cardiac amiloidosis. Perubahan demikian yang cukup luas dan akan dapat mengganggu faal pompa jantung.

Terdapat pula kalsifikasi pada tempat-tempat tertentu, terutama mengenai lapisan dalam jantung dan aorta. Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah sentral dan perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah besar dan degenerasi mukoid terutama mengenai daun katup jantung, menyebabkan seringnya terjadi kelainan aliran jantung dan pembuluh darah.

Akibat perubahan anatomis pada otot-otot dan katup-katup jantung menyebabkan pertambahan sel-sel jaringan ikat (fibrosis) menggantikan sel yang mengalami degenerasi, terutama mengenai lapisan endokard termasuk daun katup. Tidak heran, akibat berbagai perubahan-perubahan mikroskopis seperti tersebut di atas, keseluruhan kerja jantung menjadi rusak.

Gagal Jantung

Sekitar 83 persen penderita gagal jantung merupakan lansia. Gagal jantung diastolik merupakan masalah utama disfungsi pendarahan pada orang gaek. Dari para lansia berusia di atas 80 tahun yang menderita gagal jantung, 70 persen di antaranya memiliki fungsi sistolik yang normal. Sedangkan para penderita gagal jantung yang berusia di bawah 60 tahun hanya kurang dari 10 persen yang fungsi sistoliknya masih bagus. Artinya, sebagian besar penderita lansia tidak memiliki kelainan pada fungsi sistolik, namun mengalami kelainan diastol.

Sementara itu, hampir 75 persen pasien geriatri menderita gagal jantung, hipertensi dan atau penyakit arteri koroner. Sedangkan para lansia penderita gagal jantung diastolik akan

mengalami gagal jantung dekompensasi karena biasanya tekanan darahnya relatif tinggi dan tidak terkontrol. Selain itu, sulit membedakan secara klinis antara gagal jantung diastol atau sistol karena keduanya sering bercampur pada orang tua. Gejala yang mendadak merupakan tanda umum gagal jantung akibat kelainan fungsi diastol.

Gejala dan tanda gagal jantung akibat penuaan relatif sama pada gagal jantung orang muda, namun biasanya gejala klinis dan keluhan utama pasien tua seringkali berbeda dan sangat tersembunyi. Biasanya pasien tidak sadar dengan penyakitnya, yang dia alami ialah sebuah perasaan yang tidak berharga, tidak berguna, dan relatif menerima keadaan apa adanya seiring dengan bertambahnya usia. Namun biasanya, karena gagal jantung orang tua cenderung berupa kegagalan diastol, maka gejalanya akan timbul tiba-tiba dan membuat orang tua jadi uring-uringan.

Secara umum, lansia dengan gagal jantung mesti bed rest agar mengurangi risiko tromboemboli dan kondisi lain yang membuat fisik menjadi lemah. Penggunaan stocking untuk kompresi dibarengi antikoagulan (terbatas sampai gejala dekom berkurang) dapat dilakukan guna menghindari emboli dan trombosis vena. Diet restriksi cairan tidak perlu dilakukan karena biasanya orang tua yang sedang sakit akan sangat sulit untuk makan secara normal. Lansia pun cenderung cardiac cahexia dengan mekanisme yang belum jelas, namun menyebabkan sangat rendahnya absorbsi dan penimbunan lemak pada lansia dengan penyakit jantung. Sebelum sampai pada tata laksana farmakologis, sangat penting peran dokter untuk menyemangati hidup para lansia ini, mengajak keluarganya untuk merawat bersama, serta meyakinkan bahwa mereka akan mendapatkan penanganan yang prima. Sebab, kekuatan

psikologis jauh lebih berarti mengingat banyaknya obat yang cenderung menjadi 'tidak mempan' untuk orang-orang tua akibat penurunan fungsi organ yang hampir total.

Tata laksana gagal jantung lansia relatif sama dengan pasien muda. Diuretik loop lebih sering digunakan karena Thiazide tidak efektif pada GFR orang tua yang relatif rendah (kurang dari 30-40 ml/min). Penggunaan diuretik hemat kalium sebaiknya dihindari karena lebih sering terjadi retensi kalium ketimbang hipokalemia pada lansia. Orang-orang tua relatif lebih irritable, sehingga pemberian diuretik, terutama diuretik loop sebaiknya dilakukan gradual dengan titer yang meningkat. Alih-alih menjadi sembuh, tak jarang para pasien malah menjadi kesal dengan dokternya.

Penggunaan ACE-I dengan kaptopril dosis standar merupakan prosedur standar tata laksana gagal jantung pada lansia. Asalkan fungsi ginjal senantiasa dimonitor, ACE-I memberikan efek yang baik pada hemodinamik dan fungsi jantung. Para lansia yang telah mengalami aterosklerosis sistemik dapat menjadi pencetus stenosis arteri renal yang mengakibatkan peningkatan risiko gagal ginjal akibat ACE-I. Selain itu, ACE-I juga sering mengakibatkan batuk. Kadang batuk ini menjadi saru dengan gejala paroxysmal nocturnal dyspnoea yang umum menyerang lansia. Jika pasien intoleransi dengan ACE-I, dapat digunakan hidralazine dengan kombinasi isosorbid mononitrat.

Selain obat-obatan tersebut di atas, inotropin (digoxin) dapat pula digunakan meskipun memiliki rentang keamanan yang relatif sangat sempit. Tidak digunakannya beta blocker dan spironolakton untuk gagal jantung lansia menjadikan terapi gagal jantung degeneratif menjadi sangat spesial.

Penyakit Kardiovaskular Lainnya

Lansia sangat rentan menderita penyakit jantung dengan manifestasi yang beraneka ragam. Penyakit Jantung Koroner (PJK), aritmia, dan hipertensi merupakan penyakit lazim yang berkaitan dengan jantung pada lansia. Sekitar 75 persen penderita infark miokard akut (IMA) merupakan lansia, 5 persen lansia sehat (tanpa penyakit jantung) ternyata mengalami fibrilasi atrium, sedangkan setengah dari populasi lansia mengalami hipertensi. Tekanan sistolik dan diastolik akan meningkat linear dari mulai dewasa hingga 65 tahun, sedangkan di atas usia tersebut tekanan sistolik akan tetap bertambah namun justru terdapat penurunan pada tekanan diastolik. Akibatnya, terjadi hipertensi sistolik pada sebagian besar lansia.

Manajemen penyakit jantung pada lansia relatif sama dengan penyakit jantung pada umumnya. Menurut dr. Czeresna Hendriawan S, Sp.PD. KGer. yang juga dari divisi Geriatri IPD FKUI-RSCM, penekanan konsep geriatri diperlukan agar penegakan diagnosis lebih tepat dan penanganan lebih komprehensif.

You might also like