You are on page 1of 43

KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur marilah kita panjatkan ke khadirat illahi rabbi, yang mana telah memberikan kami nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul Madzhab Ilmu Pengetahuan Hukum dan Penemuan Hukum. Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah kami, dengan makalah ini mudah- mudahan dapat menambah pengetahuan, dan bisa menjadi salah satu model upaya-upaya keritis tersebut diatas. Dalam penyajian makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat sangant kami harapkan, guna perbaikan makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah yang kami buat dapat berguna bagi semua,dan semoga Allah mengampuni segala kekeliruan dan kesalahan serta kekurangan dalm penulisan makalah ini.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................1 DAFTAR ISI..................................................................................................2 PENDAHULUAN...........................................................................................3 Latar belakang.........................................................................................3 Rumusan masalah...................................................................................4 Tujuan masalah ......................................................................................4 Metode.................................................................................................... 4

PENDAHULUAN Latar belakang Kehidupan adalah realitas realitas,ini keniscayaan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Saya ingin menyebut realitas realitas ini sebagai kebudayaan. dalam aras ini ada realitas kehidupan perempuan yang sejak entah kapan yang sampaim hari ini masih berada di sudut sudutb dan pinggir pinggir sosial, mereka dalam realitas ini juga masih dipandanng sebagai makhluk tuhan kelas dua, separoh harga laki laki,sebagai pembantu, tergantung pada kaum laki laki dan sering diperlakukan dengan bahasa yang mungkin agak kasar,setengah budak. Hak hak mereka,lalu dibatasi pada wilayah wilayah kehidupan yang sangat eksklusif dan marjinal, rumah tangga.perspektif ini terjadi dalam hampir seluruh bangunan kehidupan : sosia-politik-ekonomi dan lain lain. Tegasnya, hidup dan mati perempuan seakan akan ditentukan oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah makhluk yang paling mengunggulkan dan menghebatkan laki laki. Boleh laki laki,tetapi boleh juga perempuan itu sendiri. Inilah yang oleh banyak orang disebut dengan kebudayaan patriarki. Orang boleh menyanggah pernyataan ini, tetapi banyak realitas dan datadata empiris yang ditemukan oleh para pemerhaati dan mereka yang peduli dengan masalah masalah perempuan., masih memperllihatkan validnya pernyataan tadi,hal paling nyata sebagai akibat dari berlakunya kebudayaan ini adalah fenome kekerasan terhadap perempuan . hari ini kita menyaksikan betapa kekekrasan pada perempuan masih berlangsung dan semakin semarak sekaligus memilukan nurani. Bukankah ini masalah besar dari proses dialektika kemanusiaaan masyarakat kita? Lalu siapakah yang sesungguhnya memberikan dukungan dan pengokohan atau bahkan pembakuan atas realitas realitas kebudayaan diatas? Dapatkan realitas realitas itu di benarkan oleh pandangan manusisa? Dari mana geranga realitas realitaa ini muncul. Terhadap pernyataan ini sejumlah pandangan mengatakanagama,disamping kekuasaan politik negara dan ideologi ideologi dominan dan hegemonik.

Rumusan masalah 1. Apa pengertian kekerasan ? 2. Apa pengertian perempuan? 3. Apa saja macam yang dapat tergolong pada kekerasan perempuan? 4. Apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan bagai mana penanggulangannya? 5. Bagai mana kekerasan terhadap perempuan dalam persfektif hukum? Tujuan masalah 1. Mengetahui pengertian kekerasan dan perempuaan 2. Mengetahui macam kekerasan yang terjadi terhadap perempuan 3. Mengetahui penyebab dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan 4. Mengetahui dan memahami kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif hukum. Metode

Hukum acara perdata adalah suatu peraturan yang mengatur cara-cara menyelesaikan sengketa hukum melalui jalur litigasi. Hukum acara perdata ini masih berpegangan pada peraturan impor peninggalan jaman Belanda yaitu HIR (untuk jawa dan madura) dan RBg untuk wilayah luar jawa dan madura. Suatu hal yang ironis ketika hakim sebagai corong undang-undang diharapkan dapat menerapkan keadilan yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia, karena pada dasarnya keadilan bersifat relatif dan disesuaikan dengan karakteristik dan budaya masing-masing daerah. Demikian halnya dengan hukum yang merupakan bagian dari kebudayaan, sehingga tiap negara mempunyai karakteristik hukum yang berbeda-beda. Adanya perbedaan kebuadayaan tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pembentukan hukum. Timbul permasalahan ketika perundang-undangan yang dijadikan dasar pegangan hakim dalam memutus perkara adalah perundang-undangan lama yang diimpor dari Belanda. Bagaimana keadilan dapat dicapai jika sumber hukum yang dijadikan acuan saja undang-undang yang mencerminkan karakteristik atau jiwa negara lain. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka hakim diberikan kesempatan untuk melakukan penemuan hukum, meskipun hakim masih terikat dengan undang-undang, namun hakim mempunyai kebebasan untuk melakukan penggalian keadilan diluar undangundang) yang tentunya dengan memperhatikan asas itikad baik (kejujuran dan kepatuhan dalam tahapan penemuan hukum).

A. PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Hal ini dimungkinkan, karena ia mengibaskan cara orang mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri. Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata legal science hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1]. Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam

bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum. Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmuilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5] Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7]. ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kumankuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain. Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial.

Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas. Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.

B.

PERMASALAHAN

Berdasarkan pergerakan-pergerakan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan maka teknologi terus mengalami perubahan secara cepat, oleh karena itu hukum harus bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut, maka dengan sendirinya hukum sebagai suatu bidang ilmu dapat memberikan panduan bagi seorang sarjana hukum yang kini terbawa dan masuk dalam ranah ilmu hukum yang terintegral dengan ilmuilmu lainnya. Hal ini banyak membawa para sarjana hukum berfikir lebih praksis dan bukan lagi berfikir sebagai ilmuwan hukum. Dengan merujuk pernyataan diatas maka penulis mencoba mengkaji permasalahan ilmu hukum yang menjadi pusat perdebatan dikalangan para sarjana hukum itu sendiri dengan permasalahan Bagaimanakah Perspektif Ilmu Hukum Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan Modern.

C. TEORITIS Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang hukum itu. Ketika mempertanyakan tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka[8]. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Menurut Utrecht: Filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch wardeoordeel[9]. Ruang lingkup Filsafat Hukum antara lain dapat ditilik dari perumusan pengertian tentang Filsafat Hukum. Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka tidaklah dapat dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku dan stagnant, namun sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik pangkalnya tetap sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki. Perkembangan terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa hukum ditaati dan sebagainya. Perkembangan ruang lingkup Filsafat Hukum dapatlah ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum sudah bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah dasar yang menjadi perhatian filsuf masa lampau terhadap Filsafat Hukum terbatas pada tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan negara dan hukum, dan sebagainya. Pada masa kini objek kajian atau ruang lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang tidak lagi Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau, melainkan merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut Friedmann menyatakan sebagai berikut.Before the nineteenth century, legal theory was essentially a by product of philosophy, religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were primarily philoshopers, churhmen, politicians. The decisive shift from the philpshopers or politicians to the lawyers legal philosophy is of fairly recent date. It follows period of great developments in juristic research, technique and professional training. The new era of legal philosophy arises mainly from the confrontation of the professional lawyer, in his legal work, with problems of social justice[10]. Socrates yang melakukan dialog dengan Thrasymachus (Sofinsft) berbendapat bahwa ketika mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari ukuranukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi

mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat[11]. Plato juga sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya keadilan (justice), adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari manusia terhadap lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik. Plato juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power)[12]. Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor stabilisasi[13]. Dalam dunia pemikiran terhadap hukum, pada zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum. Dalam hal ini dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan melalui kitab suci; ketiga, Lex naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk kosmik; keempat, Lex human (hukum manusia, human law), mengatur hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan)[14]. Oleh Thomas Kuhn mendefinisikan : Recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners[15]. Sedangkan menurut Liek Wilardjo merumuskan : Sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya unuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan[16]. Lain lagi menurut Angkasa :Pandangan Fundamental Dari Suatu Komunitas Ilmuwan Tentang Model Yang Menunjukkan Pokok Persoalan Yang Mendasar, Teori Beserta Metode Pemecahannya.[17] Sehingga dalam perkembangannya ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan banyak teori-teori yang memacu pemikiran-pemikiran tentang hukum, Hans Kelsen dalam

Teori Hukum Murni[18] mengatakan bahwa sebuah teori hukum positif yang merupakan sebuah teori hukum umum, bukan sebuah presentasi atau implementasi dari peraturan legal khusus. Dengan membandingkan semua fenomena yang mengatasnamakan hukum, ia mencoba mengungkapkan hakikat hukum itu sendiri, menentukan strukturnya dan karateristik bentuk-bentuknya, independen dari konten perubahan yang dialaminya pada waktu yang berbeda dan diantara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda pula. Dengan cara ini ia mendapatkan prinsip-prinsip fundamental yang dengannya tiap peraturan legal dapat dipahami. Sebagai teori, tujuan satu-satunya adalah untuk mengetahui subyeknya. Maka untuk menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu, bukan seperti apa yang seharusnya. Pertanyaan yang disebut belakangan adalah bagian dari bidang politik, sedangkan teori hukum murni adalah pengetahuan ilmiah. Hans Kelsen juga mengatakan kemurnian murni, untuk menghindari rekognisi hukum positif dari semua elemen yang asing, batasan subyek ini dan rekonigsi harus tetap dengan jelas dalam dua arah : ilmu hukum yang spesifik, prinsip yang biasanya disebut jurisprudensi, harus dibedakan dari filsafat keadilan, di satu sisi, dan dari sosiologi, atau kognisirealitas sosial, di sisi lain[19]. Ilmu hukum menunjukkan penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu[20]. Menurut Hegel, pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dijelaskan pula dalam karya Austin maupun Kelsen, pemisahan itu menempatkan keduanya pada bidang yang benar-benar berbeda[21]. Dalam hal ini ilmu hukum dalam mencari bentuk yang lebih modern maka menggunakan model positivisme, hal in dapat dilihat ketika Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre mengatakan Hukum itu adalah susunan logis dari peraturan perundangundangan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu, esensi dari teori Hans Kelsen adalah : 1. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiciplity to unity. 2. Legal theory is science, not volition. It is knowladge of what the law is, not what the law. The law is a normative not a natural science. 3. Legal thery as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms. 4. A theory of law is formal, a theory of the way of ordingring, changing contents in a specific way.[22] Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu terjadi dengan kemunculan aliran socilogical

jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe pound ( 1911)[23].Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat. Aliran dan gerakan keluar dari ranah hukum postif selanjutnya mengalami kemajuan yang cukup mencolok. Perkembangan tersebut oleh Alan Hunt disebut sebagai socialogical movement in law buku Hunt dengan judul yang sama diawali dengan kalimat the twentieth century has produced a movement towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded as the exclusive preserve of legal professionals, whether practioners or academics. There has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal the assault on legal exclucivism..... [24]. Menurut hemat saya bahwa studi ilmu hukum harus benar-benar didasarkan pada subyek dan obyek serta tujuan hukum itu sendiri sebelum keluar dan berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain, sehingga pandangan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan masih berdiri sesuai dengan koridor hukum itu sendiri. Karena hukum bukan berarti bahwa harus menjadi beban dalam masyarakat akan tetapi sebagai suatu seni (art of law) untuk mengatur masyarakat dan hukum bukan sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat sehingga menurut penulis hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai perwujudan dari tingkah laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada umumnya. Atau lebih khusus hukum dapat dikatakan adalah pengulangan dari tingkah laku manusia yang tergabung/terintegral dengan manusia lain yang membentuk suatu masyarakat dengan norma-norma yang secara individu telah ada, dan terbentuk dalam satu aturan yang sakral dan ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan moral baik itu secara memaksa maupun tidak.[25]

D. PEMBAHASAN 1. Perspektif Ilmu Hukum Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan normanorma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi

intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua realitas tersebut. Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus[26]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum. Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain. Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya. Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang normatif. Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal

tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah kemungkinankemungkinan dalam menetapkan standar tersebut. Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[27]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan dengan ilmuilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.

2.

Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (praparadigmatik) Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas. Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah. Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara. Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiaptiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi

dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera. Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibatakibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesarbesarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan. Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara. Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam. Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere). Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam. Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[28]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya. Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satusatunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya

bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.. Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.

E.

PENUTUP

Perkembangan ilmu hukum saat ini mengalami kemajuan yang sengat cepat seiring dengan perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga setiap sarjana hukum harus dapat menyesuaikan ilmunya untuk dapat mengimbangi perkembangan tersebut. Akan tetapi hal tersebut telah berubah dengan meninggalkan siaft-sifat asli dari ilmu yang dipelajarinya. Ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang mandiri dan seharusnya dapat bekerja sendiri sesuai dengan konsep-konsep hukum yang murni dan menghasilkan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang lebih modern. Oleh sebab itu ilmu hukum harus kembali dalam konsep yang utama sebagai ilmu hukum yang murni. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan modern adalah dengan mengembalikan ilmu hukum kedalam eksistensinya sebagai kesatuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari dan dikaji sebagaimana mestinya.

II. Hukum Kekeluargaan II. Hukum Kekeluargaan 1. Perkawinan Didalam KUHPer tidak dijelaskan definisi perkawinan, UU hanya mejelaskan tentang syarat syahnya suatu perkawinan apabilah telah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UU tersebut, sebagaimana diatu dalam pasal 26 KUHPer. Definisi Perkawinan : - Prof. Subekti : Perkawinan ialah pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk waktu yang lama - Doktrin : Perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan hidup yang abadi. - UU No. 1 Tahun 1974 :

Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 (2) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. KONSEPSI PERKAWINAN Menurut KUHPer : Pasal 26, sahnya perkawinan hanya dipandang dari perdatanya, artinya suatu perkaiwan adalah sah apabila telah memnuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam UU tanpa memperhatikan segi agama, biologis, dan motif-motif yang mendorong perkawinan itu. Dan KUHPer menganut asas monogami mutlak yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri dalam waktu sama dan sebaliknya. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 2 konsepsi perkawinan ialah Perkawinan itu tidak hanya dilihat dari segi hubungan keperdataan saja, juga harus memperhatikan segi-segi lain yaitu segi agama yang memegang peranan penting, segi adapt-adat dan motif-motif yang mendorong perkawinan tersebut. UU. No. Tahun 1974 menganut asas Monogami tidak mutlak atau relative, artinya seorang suami dimungkinkan beristeri lebih dari satu dengan persyaratan-persyaratan tertentu 2. Syarat-syarat Perkawinan Syarat Menurut KHUPer, dibedakan menjadi : A. Syarat Materil a. Syarat materil umum/pokok/absolute ekstrem i. Adanya kata sepakat antara kedua calon sumai-isteri ii. Batas usia iii. Masing-masing pihak tidak dalam tempat terikat perkawinan iv. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin, harus lewat 300 hari setelah perceraiannya. v. Tidak ada larangan dalam UU untuk kedua belah pihak melangsungkan perkawinan tersebut. vi. Bagi para pihak yang belum dewasa harus ada izin dari orang yang berhak memberikannya. b. Syarat materil khusus/relative/intern 1. Tentang Larangan Kawin i. Adanya hubungan keluarga yang erat menurut garis lurus keatas, kebawah dan menyampng ii. Adanya hubungan keluarga sementara iii. Dengan teman berzina iv. Perkawinan ketiga kalinya, artinya diantara mereka sudah pernah membubarkan perkawinan dua kali 2. Tentang Izin Kawin

Izin diperlukan bagi anak yang belum cukup umur B. Syarat Formil 1. Syarat Formil sebelum melangsungkan Perkawinan i. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus menyatakan niatnya kepada pegawai negeri sipil. ii. Pengumuman oleh pegawai negeri sipil iii. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum 10 hari sesudah pengumuman dan paling lama 1 (satu) tahun setelah pengumuman. 2. Syarat Formil sesudah melangsungkan Perkawinan Perkawinan tersebut harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil dengan maksud : i. Memberi sifat terbuka pada perkawinan tersebut ii. Memberi kesempatan keda pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan pencegahan perkawinan. iii. Mencegah adanya perkawinan gelap, menjamin adanya perkawinan yang sah, mencegah perkawinan tergesa-gesa. iv. Menjamin pejabat catatan sipil untuk tidak dengan mudah melangsungkan perkawinan. Syarat Menurut UU No. 1 Tahun 1974 A. Syarat Materil 1. Syarat Materil Umum : 2. Syarat Materil Khusus : B. Syarat Formil Pencegahan Perkawinan Baik KUHPer maupun UU No. 1 Tahun 1974 menganut system Imutatif dalam mengatur pencegahan perkawinan yaitu : Adanya pembatasan-pembatasan terhadap alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan pencegahan. Selanjutnya ada yang disebut dengan Pembatalan Perkawinan yaitu upaya hukum untuk membatalkan perkawinan yang telah dilaksanakan karena bertentangan dengan aturan Per UUan Perkawinan, Ex : Tidak memenuhi syarat meteril dan formil. Adapun alasan untuk menuntut pembatalan : Menurut KUHPer : - Adanya bigamy - Tidak ada persetujuan bebas - Melanggar batas usia - Pelanggaran pasal 33 KUHPer Menurut UU No. 1 Tahun 1974 - Pelanggaran terhadap pasal 6, 7, 8, 10, 11 - Masih ada perkawinan meskipun tidak menggunakan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UU

Perkawinan. - Terjadinya salah sangka terhadap suami/isteri Orang-orang yang berhak menuntut : - Keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri - Suami atau Isteri - Pejabat yang berwenang - Pejabat yang ditunjuk - Orang yang masih terkait dirnya dengan salah satu pihak dari kedua suami-isteri. Mengenai akibat pencegahan perkawinan dan pembatalan, bila ada pencegahan perkawinan maka selama pencegahan itu belum dicabut dari pengadilan maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Akibat Pembatalan Perkawinan : - Anak yang dilahirkan tetap menjadi anak sah. - Selam belum ada pembatalan, perkawinan tetap berlangsung (artinya belum ada putusan pengadilan) - Pihak-pihak lain yang telah memperoleh hak-hak dengan itikad baik dengan suamiisteri dianggap sah. Diposkan oleh Krisna Yudha di 23:52 0 komentar Kamis, 10 September 2009 HUKUM PERORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN (BUKU I) BAGIAN I HUKUM PERORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN BUKU SATU - BAGIAN SATU I. Hukum Perorangan (Hukum Pribadi) Hukum Perorangan dalam arti luas : Ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan Hukum Perorangan dalam arti sempit : Ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja Subjek Hukum Sebelumnya didalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum.

Badan Hukum tidak tercantum didalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum kedalam golongan subjek hukum, dengan demikian Subjek Hukum terdiri dari : 1. Orang (Pribadi Kodrati) 2. Badan Hukum (Pribadi Hukum) Subjek Hukum : Setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum. Orang (Pribadi Kodrati) Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasa 2 KUHPer yang menyatakan bayi yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas). Pasal 2 KUHPer tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat : 1. Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul 2. Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas. 3. Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir. Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan sia anak yang masih didalam kandungan ibunya, dmana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup. Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum, menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni : 1. Orang-orang belum dewasa (dibawah umur). Dewasa menurut hukum adalah orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas atau yang telah/pernah kawin. 2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), antara lain : a. Orang-orang yang terganggu jiwanya b. Orang-orang yang tidak normal fisiknya

c. Orang-orang tertentu karena pemboros 3. Wanita yang telah berseuami (golongan ini tidak berlaku di Indonesia berdasarkan SEMA RI No. 3 tahun 1963 yang kemudian dipertegas dengan UU No. 1 tahun 1974 sebagaimana diatur dalam pasal 34,35 dan 36) Kedudukan seseorang sebagai subjek hukum dapat dipengaruhi oleh beerapa factor, antara lain : 1. Usianya Artinya sebelum mencapai usia 21 tahun sesoarang belum cakap dalam arti hukum, kecuali pernah kawin 2. Kelamin Menurut pasal 29 BW untuk bisa melakukan perkawinan, bagi para pria harus berusia 18 tahun dan wanita 15 tahun dengan ketentuan sudah ada izin dari orang tua yang berhak memberinya. Menurut pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. 3. Keturunan Dibedakan antara anak sah dan anak luar kawin yang belum diakui sah. 4. Kewarganegaraan Ada perbedaan WNI dengan WNA untuk memperoleh hak dan melakukan perbuatan hukum diwilayah RI 5. Perkawinan Dengan melakukan perkawinan dapat menjadi dewasa, dulu, wanita yang melakukan perkawinan menjadi tidak cakap dalam arti hukum. 6. Pengampuan Setiap orang dibawah pengampuan menjadi tidak cakap dalam arti hukum. Teori-teori tentang Badan Hukum Badan hukum dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum berdasarkan teori-teori sebagai berikut : 1. Teori Fictie Teori ini di pelopori oleh FC. Von Savigny, menyatakan bahwa badan hukum merupakan kumpulan dari orang-orang yang dapat digugat dan menggunggat

melalui pengurusnya. Kalau orang memliki anggota badan seperti kepala, tangan dan kaki sebagai alat, bada hukum juga mempuanyai anggota badan yaitu : direksi, komisaris dan staff sebagai alat menggerakan badan hukum tersebut dalam beraktifitas, sebagaiman berdasarkan haltersebut maka badan hukum secara fisik dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum. 2. Teori Kekayaan Suatu badan hukum dapat dikatakn menjadi subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kekayaan tersendiri yang diperuntukan untuk suatu tujuan tertentu dari kelompok orang-orang yang terhimpun dalam badan hukum itu. 3. Teori Organ Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kemauan untuk tujuan tertentu yang dilaksankan melalui organ-organya yaitu pengurusnya. 4. Teori Milik Bersama Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila segala hak dan kewajiban dari badan hukum itu pada hakekatnya adal hak dan kewajiban dari seluruh orang yang tergabung dalam badan hukum tersebut. Akta Catatan Sipil Diatur dalam Buku I Bab Kedua, mulai dari pasal 4 s/d 16 BW. Pada umumnya manusia mulai sejak lahir sampai meninggal dunia (selama hidupnya) akan berhadapan dengan lima peristiwa penting yang dapat mempengaruhi status dan kedudukannya didalam lalu lintas hukum. Kelima peristiwa penting itu wajib didaftarkan ke kantor catatan sipil guna mendapatkan legalisasi, demi mendapatkan kepastian dan kejelasan status dan kedudukan seseorang tersebut. Kelima Peristiwa tersebut antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. Kalhiran Pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan Perkawinan Perceraian Kematian

Dengan didaftakanya kelima peristiwa tersebut akan memperoleh akta catatan sipil yang mempunya kekuatan yuridis dan kekuatan pembuktian, yaitu suatu kekuatan hukum untuk memberi kepastian selengkap-lengkapnya dan sebesar-besarnnya tentang kelima peristiwa tersebut diatas diri seseorang.

Tentang kekuatan pembuktian undang-undang tidak memberi penjelasan tentang kekuatan [embuktian dari suatu akta catatan. Tapi dianut suatu pendapat bahwa kutipan daftar akta catatan sipil itu mempunyai kekuatan pembuktian bersifat materil dan formil. ASSER dan SCHOLTEN menyatakn bahwa pembentuk undang-undang sengaja tidak memberi penjelasan dengan maksud diberikan suatu kekuatan pembuktian khusus terhadap kutipan dari daftar catatan sipil itu Ex : Tentang embagian harta warisan Yang berhak memperoleh harta warisan ialah keturunan dan keluarga pewaris. Untuk membuktikan seseorang itu adalah anak sah dari pewaris dengan mempergunakan akta kelahiran. KUHPer (BW) hanya mengatur ketentuan-ketentuan catatan sipil unutk warga Negara Eropa saja, menurut pasal 4 BW, bahwa untuk warga Negara keturunan Eropa diperlukan 5 jenis daftar catatan sipil : 1. 2. 3. 4. 5. Daftar Kelahiran Daftar Pemberitahuan Perkawinan Daftar Isian Nikah Daftar Perkawinan dan Perceraian Daftar Kematian

Bandingkan dengan kelima akta catatan sipil diatas yang berlaku di Indonesia. Tempat Kediaman (Domisili) Diatur pada BUku I Bab VII pasal 17 s/d 25 BW, sebagai dasar hukum tempat kediaman (tempat tinggal) adalah pasal 17 BW Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya, dmana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal ini tidak adanya tempat tinggal yang demikian maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal. Seluruh tempat kediaman dapat dikelompokan kedalam beberapa jenis, antara lain : 1. Tempat kediaman sesungguhnya (umum) : tempat kediaman sehari-hari dalam melakukan wewenang perdata pada umumnya. a. Tempat kediaman sukarela atau berdiri sendiri atau bebas b. Tempat kediaman wajib tergantung pada orang lain Ex. Pasal 106 ayat 2 BW : Orang yang termasuk dalam tempat kediaman wajib atau tergantung pada kediaman orang lain :

i. Para Isteri Tempat kediamannya adalah tempat kediaman suami dengan tidak dalam keadaan pisah meja atau pisah ranjang. ii. Anak dibawah umur (Minderjaringen) Tempat kediamannya adalah salah satu orang tuanya atau walinya. iii. Anak Dewasa (Meerdejaringan) dibawah pengampuan (Curatele) Tempat kediamannya adalah tempat kediaman kuratornya atau pengamunya. iv. Buruh (Arbeiders) Menurut pasal 22 BW, para buruh bertempat kediaman dirumah majikannya, apabila mereka ikut itnggal bersama masjikannya. Menurut pasal 21 BW, kalau wanita yang telah bersuami, tempat kediamannya adalah tempat kediaman suami, walaupun isteri tinggal dirumah majikannya. 2. Tempat kediaman yang dipilih atau khusus : tempat kediaman yang ditunjuk oleh salah satu pihak atau lebih dalam hubungannya melakkan perbuatan hukum tertentu. Ex : Jual beli, dapat dipilih sebagai tempat pembayaran di kantor Notaris. 3. Tempa kediaman pegawai umum (pasal 20 BW) yaitu tempat pekerjaan atau tempat jabatan. 4. Tempat tinggal orang yang meninggal dunia (pasal 23 BW) yaitu tempat tinggal terakhir seseorang didalam hidupnya, Tempat kediaman ini sangat penting, umpamanya dalam hubungan masalah pewarisan. Diposkan oleh Krisna Yudha di 19:54 0 komentar Kamis, 27 Agustus 2009 Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan (Buku I) I. Hukum Perorangan (Hukum Pribadi) Hukum Perorangan dalam arti luas : Ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan Hukum Perorangan dalam arti sempit :

Ketentuan-ketentuan orang sebagai subjek hukum saja

Subjek Hukum Sebelumnya didalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum.

Badan Hukum tidak tercantum didalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum, setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum kedalam golongan subjek hukum, dengan demikian Subjek Hukum terdiri dari : 1. Orang (Pribadi Kodrati) 2. Badan Hukum (Pribadi Hukum)

Subjek Hukum : Setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban, artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum.

Orang (Pribadi Kodrati) Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasa 2 KUHPer yang menyatakan bayi yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak (bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada (pengertian subjek hukum diperluas).

Pasal 2 KUHPer tersebut berlaku apabila memenuhi syarat-syarat :

1. Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul 2. Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas. 3. Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir. Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan sia anak yang masih didalam kandungan ibunya, dmana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.

Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum/tidak cakap hukum, menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni : 1. Orang-orang belum dewasa (dibawah umur). Dewasa menurut hukum adalah orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas atau yang telah/pernah kawin. 2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), antara lain : a. Orang-orang yang terganggu jiwanya b. Orang-orang yang tidak normal fisiknya c. Orang-orang tertentu karena pemboros 3. Wanita yang telah berseuami (golongan ini tidak berlaku di Indonesia berdasarkan SEMA RI No. 3 tahun 1963 yang kemudian dipertegas dengan UU No. 1 tahun 1974 sebagaimana diatur dalam pasal 34,35 dan 36)

Kedudukan seseorang sebagai subjek hukum dapat dipengaruhi oleh beerapa factor, antara lain : 1. Usianya Artinya sebelum mencapai usia 21 tahun sesoarang belum cakap dalam arti hukum, kecuali pernah kawin 2. Kelamin Menurut pasal 29 BW untuk bisa melakukan perkawinan, bagi para pria harus berusia 18 tahun dan wanita 15 tahun dengan ketentuan sudah ada izin dari

orang tua yang berhak memberinya. Menurut pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. 3. Keturunan Dibedakan antara anak sah dan anak luar kawin yang belum diakui sah. 4. Kewarganegaraan Ada perbedaan WNI dengan WNA untuk memperoleh hak dan melakukan perbuatan hukum diwilayah RI 5. Perkawinan Dengan melakukan perkawinan dapat menjadi dewasa, dulu, wanita yang melakukan perkawinan menjadi tidak cakap dalam arti hukum. 6. Pengampuan Setiap orang dibawah pengampuan menjadi tidak cakap dalam arti hukum.

Teori-teori tentang Badan Hukum Badan hukum dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum berdasarkan teori-teori sebagai berikut :

1. Teori Fictie Teori ini di pelopori oleh FC. Von Savigny, menyatakan bahwa badan hukum merupakan kumpulan dari orang-orang yang dapat digugat dan menggunggat melalui pengurusnya. Kalau orang memliki anggota badan seperti kepala, tangan dan kaki sebagai alat, bada hukum juga mempuanyai anggota badan yaitu : direksi, komisaris dan staff sebagai alat menggerakan badan hukum tersebut dalam beraktifitas, sebagaiman berdasarkan haltersebut maka badan hukum secara fisik dipersamakan dengan orang sebagai subjek hukum.

2. Teori Kekayaan

Suatu badan hukum dapat dikatakn menjadi subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kekayaan tersendiri yang diperuntukan untuk suatu tujuan tertentu dari kelompok orang-orang yang terhimpun dalam badan hukum itu.

3. Teori Organ Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila badan hukum itu mempunyai kemauan untuk tujuan tertentu yang dilaksankan melalui organ-organya yaitu pengurusnya.

4. Teori Milik Bersama Suatu badan hukum dapat dikatakan sebagai subjek hukum apabila segala hak dan kewajiban dari badan hukum itu pada hakekatnya adal hak dan kewajiban dari seluruh orang yang tergabung dalam badan hukum tersebut. Diposkan oleh Krisna Yudha di 13:01 0 komentar Sistematika Hukum Perdata SISTEMATIKA HUKUM PERDATA Sistematika Hukum Perdata terdapat 2 (dua) versi antara lain 1. Sistematika menurut pembentuk undang-undang : BUKU I Berjudul Perihal Orang (van Personen) yang memuat Hukum Perorangan (Hukum Pribadi) dan Hukum Kekeluargaan. BUKU II Berjudul Perihal Benda (van Zaken) yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris. BUKU II Berjudul Perihal Perikatan (van Verbintenissen) yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu. BUKU IV Berjudul Pembuktian dan Daluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring) yang memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan

hukum. 2. Sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) Hukum Perorangan (personenrecht) atau Hukum Pribadi Mengatur tentang : kedudukan pribadi seseorang sebagai subjek hukum. Hukum Keluarga (Familierecht) Mengatur tentang : hubungan seseorang dengan sesorang lainnya karena perkawinan Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) Mengatur tentang : hubungan-hubungan hukum yang dapat dimiliki dengan uang Hukum Waris (Efrecht) Mengatur tentang : pembagian dan cara-cara beralihnya harta peninggaln sesorang kepada ahli warisnya Diposkan oleh Krisna Yudha di 11:47 0 komentar Sabtu, 25 Juli 2009 Pembagian Hukum Perdata Hukum Perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu : I. Dilihat dari Pengertiannya, dibedakan menjadi : a. Hukum Perdata Materiel : Hukum Perdata Materiel adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang timbul dari adanya hubungan hukum Ex : KUHPer (B.W.), KUHDagang (WVK) dan Peraturan Perundang-undangan lainnya Contoh : Tetang Jual Beli : Dalam hal apa yang menjadi hak dan kewajiban yang timbul didalam perjanjian tersebut kepada Para Pihak, diatur oleh Hukum Perdata Materiel (Hukum Perikatan) b. Hukum Perdata Formil Hukum Perdata Formil ialah keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur caracara bagaiman untuk mempertahankan dan menegakkan hak-hak dan kewajibankewajiban yang timbul dalam Hukum Perdata Materiel Ex : Hukum Acara Perdata : HIR Contoh : Tentang Jual Beli (contoh : a) apabila diantar pihak terjadi wanprestasi, misal pembeli tidak membayar lunas harga yang dibelinya. Dalam hal ini Penjual akan menggugat

Pembeli ke Pengadilan untuk diproses Perkaranya, dalam hal ini cara-dara, prosedur dan proses dari mengajukan gugatan hingga perkara diputus dan pelaksanaan putusan (eksekusi) semuanya diatur dalam Hukum Perdata Formil. II. Dilihat dari Bentuknya, dapat dibedakan : a. Hukum Perdata dalam arti luas : Keseluruhan ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan, baik yang terdapat dalam BW dan yang terdapat dalam WVK, dalam hal ini BW merupakan ketentuan atau hukum yang bersifat Lex Generalis terhadap WVK. Sedangkan WVK bersifat Lex Spesialis terhadap BW. Artinya apabila terjadi pertentangan antara BW dengan WVK tentang suatu kasus tertentu, maka berlaku azas Lex Spesialis Derograt Lex Generalis, jadi dalam hal ini WVK dapat mengalihkan/mengesampingkan BW, artinya yang diberlakukan adalah ketentuan WVK tersebut. b. Hukum Perdata dalam arti sempit Ketentuan-ketentuan mengenai keperdataan yang terdapat dalam WVK (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) atau peraturan perundang-undangan lainnya tentang keperdataan yang berada diluar BW (KUHPer). Contoh : UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia. Diposkan oleh Krisna Yudha di 12:52 0 komentar Keadaan Hukum Perdata di Indonesia Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dibagi dalam 3 Fase : I. Fase Pemerintahaan Hindia Belanda Faktor Hukum Perdata di Indonesia bersifat Pluralistik disebabkan antara lain : 1. Faktor Etnis (Penduduk 2. Faktor Juridis Keadaan tersebut diciptakan Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menjalankan politiknya di Indonesia melalui faktor Etnis yang dituangkan dalam Pasal 163 I.S dan faktor Juridis yang dituangkan dalam Pasal 131 I.S. a. Faktor Etnis Dilihat dari Pasal 163 I.S. dari aspek penduduk adalah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan hukum adatnya yang berbeda-beda. Perbedaan penduduk Indonesia berdasarkan 163 I.S tibagi atas 3 (tiga) golongan, yaitu: 1. Golongan Eropa : a. Orang Belanda b. Orang Eropa Lainnya yang mempunya hukum kekeluargaan seazas dengan Belanda c. Orang Jepang dengan maksud mempermudah perdagangan dengan Jepang pada saat itu

2. Golongan Timur Asing : a. Tionghoa b. India c. Pakistan 3. Golongan Pribumi (Orang Indonesia asli / disebut dengan Bumiputra) b. Faktor Juridis Menurut Pasal 131 I.S. terdapat penggolongan/pengelompokan hukum dengan penundukan diri yang berbeda-beda berdarakan penggolongan penduduk yang diatur dalam pasal 163 I.S. Pengelompokan hukum dengan penundukan diri golongan penduduk dibagi menjadi : 1. Hukum Barat Hukum Barat berlaku bagi golongan Eropa yaitu hukum yang terdapat dalam BW dan WVK. 2. Bagi Golongan Timur Asing hukum yang berlaku adalah Stb. 1855 No. 79 dan Stb. 1917 No. 129 / Stb. 1855 No. 79 mengatur hukum yang berlaku bagi golongan timur non Tionghoa yaitu :

Sebagai Hukum Barat yaitu mnyangkut Hukum Kekayaan dan Hukum Benda. Mengenai Hukum Kekeluargaan, Hukum Perorangan, Hukum Waris tunduk pada Hukum Adat Negara masing-masing. lebih lanjut diatur dalam Stb. 1924 No. 556 yang mengatur bahwa bagi mereka berlaku BW dan WVK terutama hukum Harta Kekayaan sedangkan Hukum Kekeluargaan, Hukum Pribadi dan Hukum Waris berlaku Hukum Adat Negara masing-masing.

3. Stb. 1917 No. 129 mengatur tentang hukum yang berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa yaitu berlaku BW dan WVK kecuali : a. Pasal-pasal mengenai catatan sipil tidak berlaku BUku I dan IV bagian 2 dan 3 BW tentang upacara yang mendahului perkawinan tidak berlaku Mengenai adopsi, berhubungan BW tidak mengenal adopsi maka untuk golongan Tionghoa dibentuk lembaga adopsi yang diatur dalam Stb. 1917 No. 129 yang kemudian diubah dengan Stb. 1924 No. 557. II. Fase Jaman Jepang Pada Jaman Jepang hanya dikeluarkan satu Undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 1942 dalam pasal 3 dikatakan bahwa semua Badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya serta hukum dan Undang-undang dari permerintah lama tetap berlaku sementara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer Jepang, dengan demikian BW dan WVK tetap berlaku. III. Fase Kemerdekaan RI Hukum Perdata yang berlaku saat ini didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 : "Segala badan negara peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini" artinya ketentuan yang ada pada zaman

Hindia Belanda, khususnya Hukum Perdata, masih berlaku di Indonesia, Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (Rechtvacuum) di bidang keprdataan. Bebrapa para ahli menyimpulkan yang dirangkum dari berbagai pendapat bahwa Dasar Hukum berlakunya Hukum Perdata adalah UUD 1945, Pancasila, Peraturan Perundang-undangan dan dibutuhkan, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan keempat hal tersebut. Diposkan oleh Krisna Yudha di 09:12 0 komentar Sejarah Umum Hukum Perdata SEJARAH HUKUM PERDATA Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata-Belanda] Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt. 2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD. Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah

kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda. Berdasarkan atas gabungan berbagai ketentuan tersebut, maka pada tahun 1838, kodifikasi Hukum Perdata Belanda ditetapkan dengan Stb. 1838, sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1848 berdasarkan asa konkordansi, bahwa hukum yang berlaku di negri jajahan (Hindia Belanda) sama dengan ketentuan hukum yang berlaku di negeri Belanda yang ditetapkan dengan Stb. 1848, pada saat itulah Hukum Perdata Belanda mulai berlaku di Indonesia, yang hanya berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka.

Penemuan Hukum Pengantar Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.

Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan. A. Pengertian Penemuan Hukum Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaianpenyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum. Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusankeputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, diantaranya yaitu : a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang

hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja. b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat. Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undangundang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Quran sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena

hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undangundang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar hakim, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu. Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut : 1. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelasjelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan. 2. Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya. 3. Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian besar masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya. 4. Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan

putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara. Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan. B. Kegunaan Penemuan Hukum Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa : a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan; b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat; 1. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi. Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah : 1. Unsur sistem hukum, meliputi : 1. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum. 2. Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian. 3. Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan. 4. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional. 5. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

2. Pembidangan sistem hukum 1. Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku). 2. Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku) Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu 3. Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum 1. Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian. 2. Subyek hukum 3. Hukum dan kewajiban 4. Peristiwa hukum 5. Hubungan hukum ; sederajat dan timpang 6. Obyek hukum Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan. C. Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang menyatakan : segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law. Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.

Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendalakendala tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya. Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undangundang, dimana peranan dari kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undangundang (rule adjudication function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making function). Sehingga diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai . Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 19. Untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen). Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris kemudian ke daerahderah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat, Canada, Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada perkembangannya kedua sistem hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan peranan yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan

sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa Kontinental. Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya ialah : a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya; b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali; 1. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; dan d. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah : a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan terpaksa menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat; b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila hukum resmi tidak memadai atau tidak ada. Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan

hakim melakukan penemuan hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu kepada suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas secara hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan pribadinya. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat. Melihat dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan faktafakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi antara kepentingan individuindividu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh hukum. Pada konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum (rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut : pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun

demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam hukum common law. Pengertian judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama. Dalam konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam ketentuanketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap. Pada konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut : (1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. (2). Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari

aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara. Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia, misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973 dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar. Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario. Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa prinsip di bawah ini : 1. Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.

2. Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya. 3. Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut; 4. Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu. Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.

You might also like