You are on page 1of 4

ANESTESI LOKAL DI RONGGA MULUT BAB 1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Perawatan gigi dan mulut adalah suatu bagian yang penting dalam proses menjaga kesehatan anak sejak dini. Perawatan yang diberikan dokter gigi harus mempertimbangkan perasaan yang dimiliki anak. Dokter gigi harus mampu membangun kepercayaan dan kerjasama dari anak. Perawatan yang simpatik dan baik mempertimbangkan tidak hanya perawatan yang dilakukan sekarang tetapi juga mengusahakan masa depan kesehatan gigi dan mulut anak dengan membentuk sikap positif anak terhadap perawatan gigi yang diberikan (Andlaw dan Rock, 1992:3). Perawatan gigi yang diberikan kepada anak sering memerlukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pada anak. Pengendalian rasa sakit menjadi bagian integral dari kedokteran gigi modern. Pada kedokteran gigi anak, hal ini menjadi bagian penting dalam membentuk perilaku anak dan membantu menciptakan penerimanan yang sifatnya positif dari orang tua terhadap perawatan gigi dan mulut (Nayak dan Sudha, 2006). Pengendalian rasa sakit ini tidak hanya menguntungkan bagi pasien, tetapi juga bagi dokter gigi. Hal ini terjadi karena ketenangan pasien akan memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan dengan tenang dan nyaman sesuai prosedur yang seharusnya. Injeksi jarum pada lokal anestesi merupakan hal yang paling sering dilakukan saat ini untuk mengendalikan rasa sakit ketika melakukan perawatan gigi. Sangat ironis bila pengendali rasa sakit melalui injeksi malah menjadi sumber dari ketakutan dan kegelisahan pada pasien anak-anak. Hal ini mendorong dokter gigi anak melakukan penelitian untuk mendapatkan alat atau bahan yang menimbulkan rasa tidak sakit ketika tindakan anestesti lokal dilakukan. Anestesi topikal kemudian muncul dalam percobaan mereka (Nayak dan Sudha, 2006). Saat ini berbagai macam bahan tersedia untuk anestesi topikal. Lignocaine merupakan standar yang sering digunakan, benzocaine juga terkenal sebagai bahan anestesi permukaan yang baik. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics) diperkenalkan sebagai salah satu anestesi kulit pada tahun 1980an. Penelitian terakhir pada penggunaan EMLA untuk aplikasi mukosa dilakukan oleh Holst dan Evers. Berawal dari penelitian ini kemudian beberapa penelitian dilakukan yang melaporkan penggunaan obat ini di mukosa dengan hasil yang berlawanan (Nayak dan Sudha, 2006:155) . BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Lokal 2.1.1 Pengertian Anestesi Lokal Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf (Latief dkk, 2002:97). 2.1.2 Struktur Kimia Anestesi Lokal Anestesi lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air (hidrofilik) dan alkaloid larut dalam lemak (lipofilik). Bahan anestesi terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik (Latief dkk, 2002:97). Bagian lipofilik biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat esensial untuk aktifitas anestesi. Bagian hidrofilik Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin) (Latief dkk, 2002:97). Gambar 1. Struktur kimia anestesi lokal 2.1.3. Penggolongan Anestesi Lokal Anesteti lokal dibagi menjadi dua golongan a. Golongan ester (-COOC-) Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine). b. Golongan amida (-NHCO-) Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain (citanest).bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine). (Latief dkk, 2002:98) Gambar 2. Struktur kimia tiap golongan anestesi lokal 2.1.4 Mekanisme Kerja Anestesi lokal Anestese lokal bekerja pada reseptor spesifik di saluran natrium (sodium channel). Hal ini mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf (Latief dkk, 2002:99). Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade voltage-gated sodium channels. Membran akson saraf, membran otot jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV. Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mengembalikan lorong sodium ke fase istirahat. Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium tersebut. Akibat turunnya laju depolarisasi, ambang kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat Iaun meningkat, sehingga akhirnya terjadi kehilangan rasa setempat secara reversible. (Sari, 2009).

Gambar 3. Ilustrasi mekanisme kerja anestesi lokal

2.2 Cara Pemberian Anestesi Lokal di Rongga Mulut 2.2.1. Anestesi Topikal Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton dan Blogg, 1994: 117). 2.2.2. Anestesi Infiltrasi Cara ini juga disebut sebagai injeksi supraperiosteal, karena tempat injeksinya didalam jaringan dimana bahan anestesi dideponir dalam hubungannya dengan periosteum bukal dan labial. Bahan anestesi yang dideponir di atas periosteum setinggi apeks gigi akan mengalir ke dalam periosteum dan tulang melalui proses difusi. Bahan anestesi akan berpenetrasi ke dalam serabut syaraf yang masuk ke apeks gigi sehingga menginervasi alveolus dan membran periodontal. Dalam keadaan normal, akan terbentuk keadaan anestesia pada struktur-struktur tersebut (Purwanto, 1993:7). Gambar 4. Titik injeksi pada anestesi infiltrasi 2.2.3. Anestesi Blok Istilah blok berarti anestesi dideponir pada suatu titik diantara otak dan daerah yang dioperasi. Anestesi ini akan menembus batang saraf atau serabut syaraf pada titik tempat bahan anestesi dideponir sehingga memblok sensasi yang datang dari distal. Jenis anestesi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu, daerah teranestesi yang luas bisa diperoleh hanya dengan sedikit titik suntikan, dan dapat menganestesi tempat-tempat yang merupakan kontraindikasi dari injeksi supraperiosteal (Purwanto, 1993:19). Gambar 5. Anestesi blok mandibula Terdapat dua cara dalam melakukan anestesi blok yaitu sebagai berikut ini. a. Field blok Field blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi pada sekeliling lapangan operasi, sehingga menghambat semua cabang syaraf proksimal sebelum masuk kedaerah operasi. b. Nerve blok Nerve blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi lokal langsung pada syaraf, sehingga menghambat jalannya rangsangan dari daerah operasi yang diinnervasinya. (Humz, 2009) 2.2.4. Anestesi Intraligamen Anestesi intraligamen dilakukan dengan injeksi yang diberikan di dalam periodontal ligamen. Injeksi ini menjadi populer setelah adanya syringe khusus untuk tujuan tersebut. Injeksi intraligamen dapat dilakukan dengan jarum dan syringe konvensional, tetapi lebih baik dengan syringe khusus, karena lebih mudah memberikan tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikannya ke dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75). Jarum yang biasa digunakan adalah jarum dengan ukuran 30 gauge pendek atau sangat pendek, dan syringe dapat dipakai untuk larutan anestesi 1,8 atau 2,2 ml. Untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan karena vasokonstriksi, dianjurkan untuk tidak menggunakan larutan yang mengandung adrenalin, karena tekanan pada larutan yang disuntikkan tersebut menghasilkan vasokontriksi dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75). Injeksi intraligamen mempunyai beberapa kelebihan dibanding metode konvensional. Injeksi ini biasanya lebih nyaman daripada injeksi blok nervus dental inferior atau injeksi palatal atau infiltrasi bukal pada premaksila . Analgesia diperoleh dengan sangat cepat dan jaringan lunak disekitarnya sedikit terpengaruh. Karena analgesia gigi rahang bawah dapat diperoleh melalui cara ini, ini merupakan salah satu pilihan injeksi yang berguana apabila harus menghindari injeksi blok pada nervus dental inferior ( Andlaw dan Rock, 1990:76). Gambar 6. Anestesi intraligamen rahang bawah 2.2.5. Injeksi intrapapila Injeksi intrapapila dapat diberikan untuk menghasilkan analgesia jaringan palatal atau lingual, untuk menghindari suntikan yang lebih terasa sakit yaitu langsung kedalam jaringan palatal atau lingual (Andlaw dan Rock, 1990:77). 2.3 Anestesi Topikal Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton, Blogg, 1994: 117). Terdapat aroma buah-buahan seperti, melon, apel, anggur, jeruk, strawberi, dan lain-lain. 2.3.1. Mekanisme Kerja Anestesi topikal menghambat hantaran saraf secara reversible, bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup. Konduksi impuls syaraf diblokir dengan cara penurunan permeabilitas membran sel syaraf terhadap ion sodium kemungkinan dengan bersaing dengan ikatan kalsium yang mengendalikan permeabilitas sodium. Perubahan pada permeabilitas ini mengakibatkan penurunan depolarisasi dan meningkatkan ambang batas rangsang yang tentunya mencegah terbentuknya potensial aksi (Windle, 2009). Anestesi topikal yang digunakan umumnya berupa gel dengan aneka aroma yang disukai pasien. 2.3.2. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics)

EMLA merupakan bahan anestesi lokal yang merupakan campuran cairan dan mencair pada temperatur yang lebih rendah dari komponen nya sehingga memungkinkan konsentrasi anestesi yang kebih tinggi. Anestesi lokal ini tersdiri dari 25 mg per ml lidokain dan 25 mg per ml prilokain yang diemulsikan dan penambahan air suling hingga mecapai pH 9,4. EMLA diaplikasikan secara lapisan yang tebal (1-2 g per 10 cm2 ) pada permukaan kulit. dengan permukaan yang tebal. Kedalaman anestesi tergantung waktu kontak dengan EMLA. Anestesi ini sebaiknya tidak digunakan pada telapak tangan dan kaki karena variabel penetrasinya. EMLA disetujui oleh FDA (US Food and Drug Administration) untuk digunakan kulit yang utuh dan nonmukosa. Namun, penelitian terbaru menunjukkan hasil bahwa EMLA juga dapat secara efektif digunakan pada luka di ekstrimitas (Kundu dan Achar, 2002). Gambar 7. Contoh sedian anestesi topikal EMLA 2.3.3. Benzocaine Benzocaine tersedia dalam kemasan salep atau cairan. Biasanya mengandung 7,5%-20% bahan anestesi. Benzocaine adalah obat anestesi yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat penyuntikan. Bahan ini bekerja seperti cara kerja lidokain. Obat ini juga merupakan satu-satunya anestesi topikal yang dijual bebas di toko-toko untuk rasa sakit di mulut. Produk ini sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit dan ketidaknyamanan pada sakit gigi, sariawan, braket, saat gigi akan tumbuh dan akibat pemakaian gigi tiruan (Anonim, 2009). Gambar 8. Contoh sediaan anestesi topikal benzocaine 2.3.4. Lidocaine (lignocaine, xylocaine, lidonest) Lidocaine biasanya tersedia dalam bentuk salep. Obat ini biasanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit saat mendapatkan luka tembak. Lidocaine viskous berbentuk cairan kental. Bahan ini juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada kondisi dry soket yang dialami oleh beberapa orang setelah ekstraksi gigi. Lidocaine yang digunakan dimulut, disepakati merupakan obat yang hanya dipakai di praktek dokter gigi. Produk yang dijual bebas di toko-toko yang mengandung lidocaine sebaiknya tidak digunakan di mulut. Produk-produk ini termasuk salep yang digunakan untuk mengobati luka (Anonim, 2009).

Gambar 9. Contoh sediaan anestesi topikal lignocaine BAB 3. PEMBAHASAN Pada fase 1 di penelitian yang dilakukan Nayak dan Sudha (2006), penelitian kecepatan mulai kerja EMLA, benzocaine dan lignocaine dilakukan terhadap 30 pasien. Gel (18% benzocaine) menunjukkan kecepatan mulai kerja yang paling tinggi yaitu 75 detik 15,81. Namun hasil diatas tidak mendukung klaim pabrik yang menyatakan waktu mulai kerja bahan ini adalah 10 detik dimulai saat aplikasi. Hal ini terjadi karena konstanta disosiasi benzocaine yang rendah (pKa=3.4). Obat anestesi topikal yang mempunyai pKa kurang dari pH fisiologis, sebagai dasar lokal anestesi untuk dapat berdifusi melalui membran mukosa menuju akhiran saraf bebas. Salep Lignocaine 5%, menunjukkan rata-rata waktu mulai kerja 105 detik berbeda dengan melawan 15dtk yang disarankan di literatur. Aplikasi lignocaine oleh Cawson dan Spector direkomdasikan 1-2 menit kontak dengan mukosa karena diketahui bahwa bahan ini mempunyai aktivitas anastesi permukaan yang lemah. Krim EMLA mempunyai waktu mulai kerja yang paling lambat (138detik15.49). Mulai kerja yang lambat ini dapat terjadi karena viskositas bahan yang rendah dan konsekuensinya kesulitan pada saat meletakkan bahan pada tempat aplikasi. Holst dan Evers menyarankan waktu aplikasi 5 menit untuk batas waktu toleransi pada penggunaan klinis krim EMLA. Haasio et al menyarankan 4 menit untuk waktu aplikasi dan menemukan bahwa efek analgesik maksimum mencapai 13-8 menit. Vickers dan Punnia Moorthy menggunakan waktu aplikasi 2 menit dan mendapati pengurangan rasa sakit yang signifikan saat penetrasi jarum. Meechan dan Webery menyarankan bahwa idealnya anastesi topikal di aplikasikan untuk 2 menit. Pada penelitian Nayak dan Sudha, topikal anestesi diamati minimal 1 menit untuk mencapai permukaan anastesi yang baik. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ADA dan FDA. Mulai kerja anestetika lokal bergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat. 2. Alkalinisasi anestetika local membuat mulai kerja cepat 3. Konsentrasi obat anestetika lokal (Latief dkk, 2002:99). Anestetik lokal dengan pKa tinggi cenderung mempunyai mula kerja yang lambat. Jaringan dalam suasana asam (jaringan inflamasi) akan menghambat kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama. Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi. Dari kedua bentuk di atas yaitu B dan BH, bentuk yang berperan dalam menimbulkan efek blok anestesi masih banyak dipertanyakan. Dikatakan baik basa bebas (B) maupun kationnya (BH) ikut berperan dalam proses blok anestesi. Bentuk basa bebas (B) penting untuk penetrasi optimal melalui selubung saraf, dan kation (BH) akan berikatan dengan reseptor pada sel membran. Cara kerja anestetik lokal secara molekular (teori ikatan reseptor spesifik) adalah sebagai berikut: molekul anestetik lokal mencegah konduksi saraf dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik pada celah natrium. 3,8 Seperti diketahui bahwa untuk konduksi impuls saraf diperlukan ion natrium untuk menghasilkan potensial aksi saraf (Humz, 2009). Data terkait efektifitas anastesi topikal sangat jarang dan hasilnya sering berlawanan satu sama lain. Fase 2 pada penelitian Nayak dan Sudha (2006) ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas EMLA, lignocaine dan benzocaine dalam mengurangi rasa sakit pada injeksi intraoral. 60 subyek yang digunakan dibagi dalam 3 kelompok dengan masing masing kelompok sebanyak 20 subyek. Pengukuran dalam penelitian ini dilakukan dalam 2 bentuk yaitu menggunakan skala analog visual dan skala motorik suara-mata untuk pengukuran rasa sakit dan memeperkirakan intensitasa subyektif dan obyektif rasa sakit pada anak.

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa krim EMLA mempunyai kemampuan mengurangi rasa sakit lebih tinggi dibanding dengan benzocaine dan lignocaine. Holst dan Evers juga melaporkan keunggulan 5% EMLA diatas 5% xylocaine. Pada penelitian ini, diketahui bahwa krim EMLA mempunyai viskositas yang rendah dan sulit untuk dikendalikan. Lokalisasi obat ini hanya pada tempat injeksi sulit untuk dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan ini, Svenson dan Peterson merekomendasikan penggunaan perban, walaupun Tulga dan Muthu melaporkan kesulitan dalam memepatkan perban ini di mukosa. Disamping kesulitan-kesulitan teknis ini, keunggulan krim EMLA pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh tingginya pH yaitu 9,6. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setnikar bahwa peningkatan pH akan meningkatkan kemampuan bahan anastesi topikal. Selain itu, kombinasi beberapa obat dalam bahan tunggal dapat meningkatkan effisiensinya. Lama kerja anestetika local dipengaruhi oleh: a. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika local adalah protein. b. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi. c. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian. Lama kerja anestesi lokal secara langsung sebanding dengan karakter ikatan protein. Bahan yang mempunyai ikatan protein yang tinggi (contohnya etidocaine dan bupivacaine) mempunyai lama kerja yang lebih panjang, sementara itu bahan yang mempunyai ikatan protein lebih rendah (contoh lidocaine dan mepivacaine) mempunyai waktu kerja yang lebih pendek. Hubungan antara ikatan protein dari anestesi lokal dan lama kerja adalah konsisten dengan struktur dasar dari memberan sayaraf. Jumlah Protein sekitar 10% dari memberan syaraf. Bahan yang berpenetrasi protein akan cenderung mempunyai waktu kerja yang lebih panjang dalam aktifitasnta (Mathewson dan Primosch, 1995: 163). BAB 4. KESIMPULAN 1. Benzocaine 18% mempunyai kecepatan mulai kerja tertinggi yaitu 75 detik dan diikuti oleh lignocaine 5% yaitu 105 detik dan krim EMLA yaitu 138 detik 2. Walaupun mulai kerjanya lambat namun krim EMLA membuktikan mempunyai kemampuan yang tertinggi dalam mengurangi rasa sakit dan diikuti oleh benzocaine 18% dan lignocaine 5% DAFTAR PUSTAKA Andlaw, R.J. dan Rock, W.P. 1992. Perawatan Gigi Anak edisi 2. Alih Bahasa: Agus Djaya. Jakarta : Widya Medika Anonim. 2009. Topical Anesthetics in the Dental Office. http://www.simplestepsdental.com. [3 Maret 2010] Boulton, T.B. dan Blogg, C.E. 1994. Anestesiologi. Alih Bahasa: Jonatan Oswari. Anaesthetics for Medical Student. Jakarta:EGC. Humz, R.2009. Anestesi Lokal Maksila. http://blogs.myspace.com. [19 Februari 2010] Kundu, S. Dan Achar, S. 2002. Principles of Office Anesthesia: Part II. Topical Anesthesia. www.aafp.org. [ 3 Maret 2010] Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R.2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI Nayak, R. Dan Sudha, P. 2006. Evaluation of Three Topical Anaesthetic Agents Against Pain: A Clinical Study. Indian J Dent Res 2006;17:155-60. Purwanto, 1993. Petunjuk Praktis Anestesi Lokal. Jakarta: EGC Sari, I.Y.P. 2009. Anestetika Lokal. www.scribd.com. [2 Maret 2010] Windle, M.L. 2009. Anesthesia, Topical. http://emedicine.medscape.com.[ 2maret 2010]

You might also like