You are on page 1of 79

TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN REDAKSI ATAS PEMBERITAAN YANG

DIINDIKASIKAN SEBAGAI PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN


UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
(STUDI KASUS DI KANTOR MAJALAH TEMPO JAKARTA)

SKRIPSI

Disusun Oleh
MUHAMMAD ALIF SANTOSA
104010153

Pembimbing
Dr. H. Oding Djunaedi, SH. MH
Waluyadi, SH. MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2008
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 6

C. Maksud dan Tujuan Penulisan ............................................................. 7

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 7

E. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 8

F. Metode Penelitian ................................................................................ 14

G. Sistimatika Penulisan ........................................................................... 17

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pers Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).
..............................................................................................................
..............................................................................................................

B. Peranan Media Massa dan Sejarah Kemerdekaan Pers di Indonesia....

1. Pengertian Media Massa ................................................................

2. Sejarah dan Latar Belakang Kemerdekaan Pers di Indonesia ......

C. Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Kemerdekaan Pers .........


1. Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Pertanggung

Jawaban Pidana Pers


........................................................................................................
........................................................................................................

2. Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban Pidana Pers


........................................................................................................
........................................................................................................

D. Pelaksanaan Pertanggungjawaban Kemerdekaan Pers dalam Praktek.

1. Pertanggungjawaban Pidana Pers dalam Praktek


........................................................................................................
........................................................................................................

2. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Kemerdekaan dan

Pertanggung jawaban Pers dalam Praktek


........................................................................................................
........................................................................................................

3. Beberapa Contoh Kasus Pemberitaan Yang Diindikasikan

Sebagai Pencemaran Nama Baik


........................................................................................................
........................................................................................................

BAB III TINJAUAN LAPANGAN

A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo ........................................

B. Struktur Organisasi dan Kegiatan Peliputan Majalah Tempo ..............

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Bentuk pemberitaan yang dimuat Majalah Tempo Jakarta yang

diindikasikan sebagai pencemaran nama baik.


..............................................................................................................

B. Bentuk pertanggungjawaban pidana Pemimpin Redaksi Majalah

Tempo atas dimuatnya pemberitaan yang diindikasikan sebagai

pencemaran nama baik.


..............................................................................................................
..............................................................................................................

Bab V PENUTUP

A. Kesimpulan
..............................................................................................................
..............................................................................................................

B. Saran
..............................................................................................................
..............................................................................................................

DAFTAR PUSATAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hari Kamis, 16 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang Harymurti, Pemimpin

Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus pencemaran nama baik Tomy

Winata, salah satu seorang pengusaha ternama di Jakarta. Bambang Harymurti,

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita bohong yang
dengan sengaja menimbulkan keonaran dalam masyarakat, pencemaran nama baik

dan tindak pidana fitnah secara bersama-sama terhadap Tomy Winata.

Vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti dalam kasus pencemaran

nama baik Tomy Winata menuai kecaman dari banyak kalangan.

Protes keras sempat dikeluarkan Komite Anti Kriminalisasi Pers (KAKaP)-

koalisi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi pers. Organisasi itu menilai

bahwa keputusan tersebut menambah deretan panjang daftar jurnalis yang

dikriminalisasikan oleh pengadilan karena tulisan atau pun gambar yang dibuatnya1.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, Pimpinan Redaksi Rakyat

Merdeka, Karim Paputungan, juga dihukum penjara lima bulan dengan masa

percobaan sepuluh bulan karena dianggap menghina Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Akbar Tanjung; Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman,

dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan karena

dianggap menghina Presiden Megawati.

Ketua Umum AJI Indonesia, Eddy Suprapto menilai, pemenjaraan wartawan

dalam masa reformasi ini benar-benar memasung kreatifitas pekerja pers, dan

merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam

konstitusi dan Undang Undang nomor 40/1999 tentang Pers. Ia menilai dengan

1
Akuat Supriyanto, Koordinator KAKaP dalam wawancaranya kepada Tempo, dalam rubrik Topik,
Senin, 16 September 2004
digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis menunjukkan, aparat hukum

menganggap UU Pers tidak ada2.

Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, keputusan

menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh

kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak mempertimbangkan

Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Kecaman juga datang dari Sabam Leo Batubara, Ketua Harian Serikat Penerbit

Surat Kabar Pusat yang mengatakan, keputusan hakim itu sudah membingungkan

rakyat. Karena baru sekitar dua minggu lalu pengadilan tinggi memenangkan Tempo

dalam kasus sama. Tapi, seperti dikatakan Anggota Dewan Pers ini, sekarang

pengadilan di bawahnya justru mengatakan ada penghinaan dan berita bohong.

Sementara itu, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat, M Max Kwak

mengaku khawatir, keputusan memenjarakan wartawan akan merusak tatanan

demokrasi yang sudah dicapai. Padahal, pers adalah elemen yang sangat penting

dalam demokratisasi di Indonesia.. Apalagi, masalah Tempo ini sangat menjadi

perhatian publik di Amerika Serikat karena reputasi internasional Tempo dalam

keunggulan jurnalistiknya3.

Pengamat hukum media, Hinca IP Panjaitan juga menunjukkan kekecewaanya.

Majelis hakim terlalu memaksakan penggunaan pasal-pasal pidana dalam kasus ini.

Penggunaan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dibuat pada jaman

2
Tempo Interaktif 16 September 2004
3
Tempo Interaktif, 16 September 2004
orang diserang dengan tulisan atau pengeras suara di tengah keramaian. Niat jahat itu,

datang sendiri dari si pelaku dan dilakukan sendiri. Tapi ini pers, kerja jurnalistik

secara tim. Perbuatan Tempo tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik,

karena dilakukan demi kepentingan umum. Undang-undang pers sendiri menekankan

kritik dan saran untuk kepentingan umum. Jelas, pasal KUHP tidak tepat digunakan

dalam kasus ini.Untuk itu, Todung yang juga merupakan pengacara Tempo mengajak

semua pihak untuk berjuang bersama. Sebagai praktisi hukum dia pun melakukan

upaya hukum banding4.

Kemerdekaan pers di Indonesia kembali diguncang dengan ujian besar.

Keterusikan kemerdekaan Pers, terkait dengan putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia, 31 Agustus 2007 lalu yang memvonis majalah Time membayar ganti rugi

Rp 1 Triliun kepada mantan Presiden Soeharto, karena majalah berita Amerika

Serikat (AS) itu dinilai telah mencemarkan nama baiknya. Selain itu, time juga

diwajibkan meminta maaf melalui tiga kali publikasi di media cetak Indonesia dan

beberapa Time di Asia. Kontan putusan itu mengguncang dunia pers Indonesia.

Hampir seluruh media massa di negeri ini menurunkan putusan yang dinilai

kontroversi itu sebagai sebuah berita utama (headline). Sesudah putusan itu diketahui

publik, berbagai ulasan pakar serta praktisi hokum dan tokoh pers muncul mewarnai

4
Kompas Cyber Media, 21 Januari 2004, Koran Tempo Tak Akan Bayar Tomy Winata
halaman opini di sejumlah media massa terkemuka5. Pengaduan atau pemindanaan

terhadap pers di Indonesia merupakan cermin untuk kebebasan pers. .

Karena, pengaduan dan pemindanaan membuat peringkat kebebasan pers di

Indonesia merosot. Kemerosotan kebebasan pers tahun ini, tidak lepas dengan adanya

keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan mantan

Presiden Soehato kepada majalah Time Asia dengan hukuman denda Rp. 1 triliun.

Dalam negara hukum modern, perlindungan terhadap hak asasi warga negara

merupakan perinsip utama yang harus ada dan ditegakkan. Implementasinya salah

satunya dengan cara menjamin hak atas kebebasan untuk memperoleh informasi,

serta pendapat melalui pers, (kemerdekaan pers). mencerminkan masalah

kemerdekaan pers di tanah air kita, baik di era orde baru maupun di era reformasi

sebenarnya bukan lagi merupakan suatu persoalan, karena di dalam konstitusi

maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas

eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya.

Adanya jaminan konstitusi dan perangkat peraturan perundang-undangan,

dalam arti belum adanya jaminan tidak mengalami distorsi dalam implementasinya,

misalnya terjadinya pembatasan ruang gerak, pemukulan terhadap wartawan,

pernghukuman terhadap para wartawan dan lain sebagainya, yang kesemuaannya

bersifat sangat mengurangi atau mengganggu terhadap kemerdekaan pers itu sendiri.

5
Prija Djatmika, PK Time Asia demi kebabasan, Jawa Pos, Jum'at (28/9/2007). Dalam artikelnya
menyebutkan, pada tahun 2002, di era semangat reformasi masih panas-panasnya, kebebasan pers di
Indonesia dicatat oleh perserikatan wartawan Australia, ada di peringkat ke-57 diantara 139 negara
yang dipantau. Dia berpendapat ketika pers banyak diperkarakan di pengadilan dengan tuduhan
pencemaran nama baik, peringkat kebabasan pers di Indonesia terus merosot
Sesungguhnya, apa yang dilakukan para pengacara Soeharto, yakni dengan

memperkarakan kasus pencemaran nama baik majalah Time Asia kepada kliennya

melalui gugatan perdata, sudah sesuai dengan semangat reformasi yang sejauh

mungkin menghindarkan wartawan dari penjara. Namun, jumlah denda yang

dijatuhkan MA sungguh di luar kepatutan dan kepantasan rasa keadilan publik.

Belum pernah ada media di dunia ini yang dihukum denda Rp. 1 triliun.

Keputusan pengadilan seperti tidak hanya membangkrutkan perusahaan-perusahaan

pers, tetapi juga mengancam kualitas kebebasan pers di negara ini. Sebagaimana

ancaman pidana penjara terhadap kerja jurnalistik yang akan membuat para wartawan

melakukan swasensor beritanya karena bayang-bayang pidana penjara yang

mengikutinya selalu.

Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung

ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu

pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang

kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti

ditegaskan dalam pasal 3 UU Pers (UU No. 40/1999). Yakni, pers nasional

mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan

kepentingan dan nama baik tokoh publik. Baik tokoh itu duduk di lembaga

pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah

menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan

kepentingannya.
B. Identifikasi Masalah

Dalam penulisan ini yang menjadi identifikasi masalah adalah sebagai berikut :

A. Bagaimanakah bentuk pemberitaan yang dimuat Majalah Tempo Jakarta yang

diindikasikan sebagai pencemaran nama baik?

B. Bagaimanakan bentuk pertanggungjawaban pidana Pemimpin Redaksi Majalah

Tempo atas dimuatnya pemberitaan yang diindikasikan sebagai pencemaran nama

baik?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Ada pun yang menjadi maksud dan tujuan dalam penulisan ini adalah :

A. Untuk mengetahui bentuk pemberitaan yang dimuat Majalah Tempo Jakarta yang

diindikasikan sebagai pencemaran nama baik.

B. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana Pemimpin Redaksi

Majalah Tempo atas dimuatnya pemberitaan yang diindikasikan sebagai

pencemaran nama baik.

D. Kegunaan Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan agar :

A. Kegunaan teoritis, menambah wawasan penulis tentang hukum pidana pada

umumnya, khususnya pengetahuan tentang pertanggungjawaban pidana pers

sekaligus menambah khasanah kepustakaan hukum pidana.

B. Kegunaan praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat disumbangkan ke redaksi

media massa dalam menyelesaikan kasus dugaan pencemaran nama baik atas
berita yang ditulis. Hal yang suma juga disumbangkan kepada aparat penegak

hukum.

E. Kerangka Pemikiran

Menurut saya, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Herymurti tidak

dapat dipidana ada sebuah pemberitaan yang berjudul “Ada Tomy di Tenahabang”.

Karena dalam UU Pers No. 40 tahun 1999, Pasal 5 ayat 2 dan 3 sudah diatur

mengenai hak jawah. Sehingga, sudah jelas ada saluran bagi pihak-pihak yang merasa

dirugikan atas sebuah pemberitaan. Karenanya, persoalan pemberitan cukup

diselesaikan dengan hak jawab tanpa melalui proses peradilan pidana, terkecuali hak

Tempo tidak melayani hak jawab terhadap pihak yang merasa dirugikan atas sebuah

pemberintaan.

Menelaah perjalanan kemerdekaan pers di era reformasi sekarang ini

nampaknya belum dapat dimanfaatkan secara baik dan optimal, karena masih banyak

terjadi distorsi, baik oleh kalangan komponen birokrasi, masyarakat maupun

komunitas insan pers sendiri. Kondisi ini sudah barang tentu sangat memprihatinkan,

khususnya distorsi yang dilakukan oleh komunitas insan pers sendiri yang notabene

dinilai lebih memahami kode etik jurnalistik. Indikatornya, akhir-akhir ini banyak

terjadi klaim dari masyarakat berupa tuntutan-tuntutan hukum terhadap insan pers

atau media, sehubungan adanya pemberitaan yang dinilai sumir dan kurang berdasar

fakta. Persoalannya kemudian adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana

insan pers atau media yang dinilai melakukan tindakan melawan hukum.
Dalam hal ini penulis menelaah kasus pidana pencemaran nama baik pengusaha

Tommy Winatan atas pemberitaan majalah Tempo yang berjudul

”Ada Tommy di Tenahabang” yang kemudian memunculkan gugatan baik secara

pidana maupun perdata. Gugatan hukum itu berimplikasi pada peranan pers selaku

kontrol sosial melalui perberitahuan. Maka dengan pers dimejahijaukan sama artinya

memerosotkan kemerdekaan pers.

Hak atas ganti rugi seseorang bila merugi karena perbuatan orang lain memang

telah jelas diatur pasal 1365 KUHPerdata yakni tiap perbuatan melanggar hukum

yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Hak menuntut ganti rugi atas rasa tersinggung karena penghinaan orang lain

pun disediakan pasal 1372 KUHPerdata yakni tuntutan perdata tentang hal

penghinaan nama baik. Dalam menilai satu dan lain, hakim harus memperhatikan

berat-ringanya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua

belah pihak dan pada keadaan.

Putusan di tingkat PN yang menghukum majalah Tempo menggugah pikiran

kita untuk mempertanyakan “apakah sebenarnya pengadilan itu?”. Karena putusan itu

bisa dibilang tidak sesuai dengan nalar hukum (legal reasoning). Guru besar Emeritus

Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Satijipto Rahardjo

berpendapat reformasi pengadilan tidak hanya berhenti pada usaha memberantas

mafia di pengadilan. Seandainya suatu saat mafia dan korupsi di pengadilan bisa

ditaklukkan. Adakah reformasi selesai sampai di situ?. Masih ada agenda besar,
antara lain membuat pengadilan menjadi suatu lembaga dan kekuasaan yang benar-

benar berwibawa karena memiliki nurani6.

Mempersoalkan pertanggungjawaban pidana insan pers atau media yang dinilai

melakukan perbuatan melawan hukum, sampai saat ini masih terjadi kontroversi,

apakah yang berlaku undang-undang yang bersifat lex spesialist atau undang –undang

yang bersifat lex generalist dan atau apakah yang berlaku Undang-undang No 40

tahun 1999 tentang Pers atau KUHPidana. Karena Undang-undang pokok Pers tahun

1999 hanya mengatur persoalan hak jawab. Terkait kontroversi seputar lex specialist

dan lex generalis, seharusnya tidak perlu terjadi apabila secara cermat memperhatikan

landasan filosofis dibentuknya suatu ketentuan yang bersifat khusus, dimana suatu

undang-undang yang bersifat khusus dibuat untuk memenuhi suatu persoalan yang

memiliki karakteristik khusus dan atau mengandung kepentingan yang memiliki nilai

instrinsik tersendiri.

Oleh karena itu dalam undang-undang yang bersifat khusus (lex specialist).

Memiliki aturan tersendiri, menyimpangi dan atau bahkan bertentangan dengan

ketentuan undang-undang yang bersifat umum (lex generalis).

Dengan demikian, undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers bersifat

khusus, maka insan pers ketika menjalankan profesi jurnalistiknya tindak tunduk

6
Satjipto Rahardjo, Apakah Pengadilan Itu?, Kompas, Senin (24/9/2007). Hakim yang baik akan
memasang telinganya sedemikian rupa sehingga dapat mendengar degub jantung bangsanya yang
berbicara tentang penderitaan, cita-cita, serta harapan-harapannya. Hakim diharap dapat menyuarakan
hal-hal itu, yang sering disebut sebagai suara-suara yang tidak terdengar. Inilah yang dimaksud dengan
nurani pengadilan.
pada instrumen hukum lain, melainkan hanya pada Undang-undang Pers7. persoalan

yang muncul kemudian apabila media memberikan sesuatu yang dinilai melawan

hukum, maka siapakah yang harus bertanggungjawab, insan pers yang menulis atau

pemimpin redaksi di harian itu?. Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang

ada, seolah terjadi dualisme antara Undang-undang Pers tersebut dikatakan bahwa

yang dimaksud dengan petanggungjawab adalah penanggungjawab perusahaan pers

yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Hal ini berarti apabila terjadi

sengketa hukum, baik perdata maupun pidana, maka yang bertanggungjawab adalah

pimpinan redaksi.

Namun demikian, pasal 15 ayat (4) UU No. 11 tahun 1996 menyatakan bahwa

pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawaban terhadap hukum kepada

anggota redaksi dan kepada penulis. Hal ini berarti UU Pers menganut sistem

pertanggungjawaban terbatas. Sebaliknya KUHPidana menganut

pertanggungjawaban personal. Apabila dikaji lebih mendalam sebenarnya tidak

terdapat dualisme di antara kedua undang-undang tersebut. Dianutnya

pertanggungjawaban terbatas dalam UU Pers sudah sejalan dengan asas hukum yang

berlaku, dimana pemilik atau penanggungjawab hanya bertanggungjawab terbatas

atas kerugian yang ditimbulkan oleh anak buahnya dalam menjalankan profesinya,

tidak pada hal-hal yang bersifat kepidanaan.

7
Hinca IP PAnjaitan dan Amir Effendi Siregar, 1001 Alasan Undang-Undang Pers Lex Spesialis,
Serikat Penerbit Surat KAbar, Jakarta 2004, hal 6. Putusan Mahkamah Agung No. 1608 K/PID/2005
tanggal 9 Februari 2006.
Maka, apabila insan pers terbukti melakukan perbuatan melawan hukum,

semisal melakukan tindakan pencemaran nama baik, suap dan lain sebagainya, sudah

barang tentu akan dimintai pertangungjawaban personal sesuai asas hukum pidana

yang berlaku, dan oleh karena kepada yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana

penjara, sedangkan kerugian materiilnya akan dibebankan kepada perusahaan8. Perlu

digaris bawahi di sini, bahwa delik pers itu sendiri sebetulnya hanya istilah atau

pengertian umum dan bukan pengertian atau terminologi hukum. Dalam ilmu hukum,

kita ketahui tidak dikenal istilah “delik pers”. Hukum hanya mengenal delik formil,

materil, aduan, delik umum dan delik khusus. Jika kita buka pasal-pasal KUHP, kita

tidak akan menjumpai ketentuan umum yang dapat digunakan untuk mengkualifikasi

suatu perbuatan pidana sebagai “delik pers”, termasuk delik khusus yang berlaku bagi

pers atau wartawan.

Munculnya kasus-kasus hukum pers telah memunculkan dua kubu yang saling

berseberangan. Kubu pertama adalah pihak yang merasa terjadi pembelengguan

kebebasan pers melalui jalur hukum pidana (KUHP) di luar UU Pers. Kubu ini

umumnya diwakili oleh insan pers. Sedangkan kubu yang lainnya adalah pihak yang

merasa bahwa pers sudah kebablasan sehingga perlu diterapkan hukum pidana. Kubu

ini umunya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, terkadang hakim dan pihak

masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers. Alhasil, terjadilah perang pendapat

hukum9.

8
Ibnu Artadi, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas Hukum Unswagati Cirebon
2006, hlm 254.
9
Juniver Girang, Penylesaian Sengketa Pers, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2007, hlm 7.
Selama 62 tahun ini payung hukum pers belum melindungi kemerdekaan pers.

UU Pers sebagai payung hukum masih lemah. Pemberitaan kontrol pers dapat

dituduh sebagai pencemaran nama baik berdasar KUHP. Karena kemerdekaan pers

berdasar undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 dan bersumber dari kesepakatan

politik pemerintahan serta DPR saat itu statusnya bisa disebut legislatif right maka

nasibnya bisa diubah oleh kompromi politik antara pemerintah dan DPR dalam

pembahasan revisi UU Pers mendatang10.

Kembali pada persoalan distorsi kemerdekaan pers, paling tidak ada 4 (empat)

komponen yang mempengaruhinya yaitu melalui peraturan perundang-undangan,

birokrasi, masyarakat dan komunitas insan pers sendiri11. Distorsi dari peraturan

perundang-undangan dapat terjadi jika peraturan perundang-undangan yang ada

belum sepenuhnya menjamin adanya kemerdekaan pers. Dan atau bisa jadi peraturan

perundang-undangannya sudah memberikan jaminan kemerdekaan pers, tetapi tidak

dilengkapi dengan Peraturan Pelaksanaanya (PP), sehingga menimbulkan multi

interpretatif dalam implementasinya. Disamping itu dapat juga terjadi, PP sudah ada

tetapi tidak memberikan penjelasan secara memadai, misalnya tentang makna

informasi publik, apakah kriterianya dan bagaimana tata cara memperolehnya.

10
Leo Batubara, Revisi UU Pers atau Hak Konstitusional, Kompas, Jum'at (29/6/2007). Pers merdeka
akan selalu terancam bila masih diatur PP dan UU. Pasal 28 UUD 1945 asli dan pasal 28 F
Amandemen II adalah pasal-pasal banci karena tidak berdaya menghadapi peraturan dan perundang-
undangan yang mengekang kemerdekaan pers. Ke mana arah pers merdeka?. Bila yang diinginkan
memperkokoh kemerdekaan pers, solisonya dengan mengamandemen konstitusi agar kemerdekaan
pers mendapat payung hukum berstatus hak konstitusional. Merevisi UU Pers berarti memberi peluang
kembalinya system penyelenggara Pers Orba.
11
Ibnu Artadi, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas Hukum Unswagati,
Cirebon 2006, hlm 251.
Kondisi demikian pada akhirnya akan menyulitkan bagi insan pers dalam

menjalankan profesi jurnalistiknya.

Distorsi dari birokrasi dapat terjadi apabila komponen birokrasi tidak

sepenuhnya memahami pentingnya kemerdekaan pers dalam mewujudkan good

govermance dan participatory development. Sedangkan distorsi dari masyarakat pada

umumnya terjadi karena adanya perbedaan persepsi perihal makna kemerdekaan pers

itu sendiri. Di satu sisi menurut Undang-undang dan kode etik jurnalistik apabila ada

pemberitaan yang dinilai kurang benar, maka masyarakat dapat menyelesaikannya

melalui hak jawab, di sisi lain masyarakat menganggap hak jawab dinilai tidak

memuaskan, sehingga cenderung untuk menyelesaikan melalui tindak premanisme,

yaitu menyelesaikan persoalan dengan cara main hakim sendiri.

Idealnya hal itu tidak perlu terjadi, andaikata masyarakat keberatan atas

pemberitaan suatu media massa dan menilai hak jawab kurang memuaskan, maka

masyarakat dapat mengadukan persoalan tersebut ke organisasi profesi atau melalui

jalur hukum.

Distorsi dari komunitas pers sendiri pada umumnya terletak pada kurangnya

kesadaran dan pemahaman untuk mentaati peraturan perundang-undangan dan kode

etik jurnalistik yang berfungsi sebagai rambu-rambu, kaidah penuntun, sekaligus

pemberi arah bagi insan pers berkaitan dengan apa yang seharusnya dan tidak

seharusnya dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.

Kiranya kemerdekaan pers bukan tanpa batas, absolut dan mutlak, tetapi

dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik jurnalistik. Untuk itu pers
sebagai lembaga masyarakat yang mempunyai fungsi kontrol sosial dalam

mendukung kemajuan masyarakat lingkungannya, bertugas dan bertanggungjawab

penyebarluasan pesan-pesan kepada masyarakat, harus mampu berpikir positif dan

menahan diri untuk tidak terjebak pada pemikiran-pemikiran negatif yang nota bene

merupakan perbuatan melawan hukum, demi terciptanya keadilan sosial masyarakat.

F. Metode Penelitian

A. Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek penelitian ini dibatasi pada penelaahan UU No. 40 tahun

1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kasus Tommy Winata melawan Tempo

yang memenjarakan Pemimpin Redaksi dan Wartawannya.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian dalam hal ini digunakan pendekatan yuridis normatif berkenaan

dengan kasus pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winata melalui pemberitaan

majalah Tempo, dalam hal pertanggungjawaban pidananya. Sebab dari kasus tersebut

menimbulkan terjadinya distorsi kemerdekaan pers. Hal ini menjadi sebuah telaah

yang sangat menarik untuk diteleti.

Berkaitan dengan obyek yang diteliti, mencakup bidan normatif dan bidang

empiris. Bidang normatif meliputi perundang-undangan yang berkaitan dengan pers

(UU No. 40 tahun 1999). Bidang empiris meliputi faktor –faktor yang

melatarbelakangi terjadinya distorsi kebebasan pers. Adapun metode penelitian yang


dipergunakan adalah mengutamakan penelitian kualitatif, yang dalam operasionalnya

ditempuh dengan pendekatan yuridis-normatif dan pendekatan yuridis empiris.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Untuk data primer yang dipergunakan diperoleh dari penelitian empiris atas

putusan PN, PT dan MA yang berbeda satu sama lain. Sedangkan data sekunder yang

digunakan terutama berpusat pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

D. Teknik Pengumpulan Data

Bertolak dari jenis dan sumber data di atas maka teknik pengumpulan data yang

ditempuh dalam penelitian ini adalah :

a. Studi dokumen, yakni penelitian terhadap berbagai data sekunder yang berkaitan

dengan obyek penelitian baik dalam bentuk data sekunder maupun data dari

sumber primer.

b. Wawancara, hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi dengan bertanya

langsung kepada pihak-pihak terkait yang berkompeten dengan permasalahan

pelanggaran kode etik jurnalistik, kebebasan pers dan delik pers.

c. Observasi, hal ini dilakukan untuk menunjukkan gambaran apa adanya secara

netral sehingga hasil penelitian benar-benar obyektif. Observasi dilakukan dengan

cara meninjau langsung ke lapangan berkenaan dengan putusan pengadilan di

tingkat PN, PT dan Mahkamah Agung dalam kasus pencemaran nama baik

pengusaha Tommy Winata melalui pemberitaan yang diterbitkan Majalah Tempo.


Kemudian permasalahan yang terjadi dianalisis berdasarkan UU No. 40 tahun

1999 tentang Pers.

E. Teknik Penyajian dan Analisa Data

a. Teknik Penyajian Data

Teknik yang digunakan untuk menyajikan data yang diperoleh dalam penelitian

ini adalah teknik kualitatif. Teknik kualitatif dipergunakan untuk menyajikan data

berupa informasi, pendapat, konsep, doktrin dan analisa hukum yang ditemukan

dalam penelitian ini.

b. Analisa Data

Menekankan pada upaya untuk merekam fenomena kemerdekaan pers khususnya

pada kasus pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winatan oleh Majalah

Tempo atas sebuah pemberitahaan yang dinilai merugikan dirinya selaku

pengusaha nasional. Selanjutnya melalui permasalah ini dapat dianalisis terfokus

pada masalah pertanggungjawaban pidana saja, untuk selanjutnya dengan

berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah sebagai kerangka acuan

normatifnya dalam memahami putusan di tingkat PN, PT dan MA.

G. Sistematika Penulisan

Penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang masing-masing bab terdiri

dari :
Bab I : Dalam bab ini penulis membahas mengenai, Latar Belakang Indentifikasi,

Indentifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penulisan, Kegunaan Penelitian,

Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, Sistimatika Penulisan.

Bab II : Dalam bab ini mengemukakan soal Tinjauan Pustaka, Peranan Pers

Media Massa, dan Tanggunggungjawab Pemberitaan, Pengertian Media Massa,

Sejarah dan Latar Belakang Kemerdekaan Pers, Tanggungjawab Pemberitaan di

Media Massa,. Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Kemerdekaan Pers,

Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Pertanggung Jawaban Pidana Pers,

Bentuk-Bentuk Kemerdekaan Pers, Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban Pidana

Pers, Pelaksanaan Pertanggungjawaban Kemerdekaan Pers dalam Praktek,

Pertanggungjawaban Pidana Pers dalam Praktek, Hambatan-hambatan dalam

Pelaksanaan Kemerdekaan dan Pertanggung jawaban Pers dalam Praktek, Beberapa

Contoh Kasus Delik Pers.

BAB III : Tinjauan Lapangan, Sejarah Singkat Kantor Majalah Tempo, Struktur

Organisasi, Kegiatan Peliputan

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi Latar Belakang Kasus Tempo VS

Tommy Winata, Pemberitaan Tak Seimbang, Penggunaan Hak Jawab Belum Diterima

Secara Penuh, Lemahnya Undang-undang Pers, Upaya Perlindungan Hukum

Terhadap Wartawan Dalam Peliputan, UU Pers Menjadi Lex Spesialis, Pengaturan

Tentang Hak Jawab, Menjatuhkan Sanksi Bagi Pihak Yang Menghalangi Atau

Melakukan Kekerasan Terhadap Wartawan

Bab V : Berisi Penutup, Kesimpulan dan Saran atas skripsi ini


Terakhir adalah Daftar Pusataka dan Daftar Riwayat Hidup
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pers Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP).

Pers adalah salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbit

secara teratur berupa buku-buku, majalah-majalah, surat kabar dan barang-barang

cetakan yang lain bersifat sebagai sarana penyebarluasan informasi. Berkaitan dengan

pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengertian delik atau

pertanggungjawaban pidana pers dalam skripsi ini adalah semua kejahatan yang

dilakukan melalui sarana pers.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak didapatkan suatu

rumusan yang pasti tentang pers. Dengan demikian untuk mengetahui kriteria yang

harus dipenuhi oleh suatu kejahatan melalui pers dapat dikatakan sebagai delik pers.

Oemar Seno Adji dengan berpedoman kepada pendapat dari W.F.C. Van

Hattun memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu delik pers

antara lain :12

1. Harus dilakukan dengan barang cetakan

2. Perbutan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan.

12
Delik-delik Pers di Indonesia Bab III Hal. 66
3. Perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat

untuk menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan

dengan tulisan-tulisan.

Kriteria ketiga itulah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik

pers. Tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutan

delik pers dalam arti yuridis.

Pendapat lain soal delik pers disampaikan R.Moegono. Menurutnya, delik pers

harus memenuhi beberapa syarat antara lain : 13

a. Perbuatan yang diancam hukuman harus terdiri dari pernyataan pikiran dan

perasaan orang.

b. Harus dilakukan dengan barang cetakan (drukspers)

c. Harus ada publikasi dan unsur ketiga inilah yang paling menentukan, karena tanpa

publikasi tak akan mungkin ada delik pers.

Dari kedua pendapat di atas, jelas bahwa suatu delik baru dikatakan memenuhi

syarat sebagai delik pers, jika perbuatan kejahatan itu mengandung pernyataan

pikiran atau perasaan seseorang yang kemudian diwujudkan dalam bentuk barang

cetakan dan disebarluaskan kepada khalayak ramai atau dipublikasikan.

Delik pers dalam KUHP bukanlah suatu delik yang diatur suatu bab tertentu,

melainkan delik-delik yang tersebar dalam beberapa pasal dalam KUHP. Delik-delik

tersebut adalah penyiaran kabar bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 Tahun 1946);

13
R.Moegono, Kumpulan Kuliah Delik Pers, Tindaka Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomo Pada
Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (Jakarta, 1975) hal. 14.
pembocoran rahasia negara dan rahasia pertahanan keamanan negara (Pasal 112 dan

113 KUHP); penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, terhadap raja atau

kepala negara sahabat, dan terhadap wakil negara asing (Pasal 134, 134 bis, 137, 142,

143, dan 144 KUHP); permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah,

agama, dan golongan (Pasal 154, 155, 156, 156a, dan 157 KUHP); penghasutan

(Pasal 160 dan 161 KUHP); penawaran delik (Pasal 162 dan 163 KUHP); penghinaan

terhadap penguasa atau badan umum (Pasal 207 dan 208 KUHP); pelanggaran

kesusilaan (Pasal 282 KUHP); penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik

seseorang (Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP); pemberitahuan palsu (Pasal 310

KUHP); penghinaan atau pencemaran nama orang mati (Pasal 320 dan 321 KUHP);

pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519 bis, 533, dan 535 KUHP).

Dalam penyelesaian sengketa pers di pengadilan, maka yang dikenal selama ini

adalah pertanggungjawaban pidana dan perdata. Untuk pertanggungjawaban pidana,

dunia pers dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama

delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.

Sementara untuk pertanggungjawaban perdata maka pasal 1365 jo pasal 1372

tentang perbuatan melawan hukum dengan penghinaan yang menyebabkan kerugian

pada orang lain.

Terhadap perbuatan pidana yang berhubungan dengan pers, penetapan

pertanggungjawabannya berdasarkan sistem organisasi pers itu sendiri dengan

mengikuti model pertanggungjawaban "siapa yang bertanggung jawab, maka ia yang

berbuat". Jadi jika pemberitaan suatu media dinilai mencemarkan nama baik
seseorang, maka yang bertanggung jawab adalah siapa yang secara organisatoris

bertanggung jawab di bidang pemberitaan tersebut.

Persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam kasus pers adalah penegakan

hukum perdata dan pidana terhadap dunia pers harus proporsional. Selain agar tidak

berbenturan dengan asas-asas hukum lain yang berlaku, juga agar tidak sampai

keberlangsungan pers itu sendiri atau menjadikan pers itu mandul dan tidak

berfungsi. Hal itu tentu saja menjadi perhatian dari para hakim-hakim kita yang

terhormat.

Di tahun 2004 kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers

Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena

pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang.

Kebebasan pers merupakan unsur penting dalam pembentukan suatu sistem

bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi

merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum

untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodasi di

dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E

Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Negara telah mengakui bahwa kebebasan

mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari

perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.

Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa

yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.Bagaimanapun juga asas


persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap

semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan. Asas persamaan di hadapan

hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen

yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1).

Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau

memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap

tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di

Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh

undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat

perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk

membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.

Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya

telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam

membuat pemberitaan. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung

jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat

mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar

jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik.

Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling

tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat

menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab. Yang menjadi masalah dalam

pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk

memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita
(news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan

unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu

ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang

dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan

pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika

memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada

kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.

UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers belum mengakomodasi permasalahan

tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa

denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah

serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU

No.40 tahun 1999)..

UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk

pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk

sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun

dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang

tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang

dapat timbul dalam pemberitaan pers.

UU Pers tidak mengatur secara tegas mengenai pihak yang harus menjadi

penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan.

Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan

nama dan alamat penanggungjawab dalam perusahaan pers.


Konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan

hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan

tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah

disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan

diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk

mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional

dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai

dengan perananan pers nasional. Menurut pasal 6 UU No.40 tahun 1999, peranan pers

adalah :

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi

hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan

benar;

4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan kepentingan umum;

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

B. B. Peranan Media Massa dan Sejarah Kemerdekaan Pers di Indonesia

1. Pengertian Media Massa

Dalam kamus Bahasa Indonesia, Media adalah sarana yang dipergunakan oleh

komunikator sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan kepada komunikan,


apabila komunikan jauh tempatnya atau banyak,jumlahnya atau kedua-

duanya.14 Media massa adalah sarana yang mentransmisikan pesan-pesan yang

identik kepada sejumlah besar orang yang secara fisik berpencaran.15

Sedangkan informasi merupakan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat yang

berbentuk tulisan maupun rangkaian kata-kata serta menginterpretasikan sesuau hal.

Media dapat di kategorikan dalam beberapa hal yaitu media antar pribadi, media

kelompok, media publik serta media massa.

Media antar pribadi, media ini bisa berbentuk surat, telepon, ataupun kurir

yang mengantarkan informasi tersebut

Media kelompok merupakan sarana untuk menemukan orang-orang dalam

kelompok uintuk saling berinteraksi. Media ini bisa berupa seminar, konferensi serta

rapat-rapat tradisional yang sering kita temukan didesa-desa dengan berbagai nama.

Media publik, merupakan media yang mempertemkan banyak orang (massa)

yang berinteraksi langsung. Media ini bisa berupa rapat akbar, dialog publik dan

kampanye. Media massa memainkan peran untuk menyampaikan informasi pada

orang (massa) yang tersebar tak tidak diketahui dimana meraka berada Media ini

berupa surat kabar, film, televisi , dan radio. Media ini bersifat melembaga, satu arah,

meluas dan serempak, memakai alat, dan terbuka.

Dalam memahami tentang media dalam suatu komunitas maka kita tak bisa

lepas dari apa yang sering disebut pers. Pers merupakan usaha dari alat komunikasi

14
Drs. Onong Uchjana Effendy, MA, Kamus Komunikasi,.
15
H.Frazier Moore, Hubungan Masyarakat, Prinsip, Kasus dan Masalah
massa untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan penerangan, hiburan,

keinginan untuk mengetahui berita yang telah atau akan terjadi di sekitar mereka

khususnya dan dunia umumnya16.

Diskripsi pers pun dibedakan menjadi dua. Pers dalam arti sempit yang

didalamnya termasuk surat kabar (mingguan, harian..), majalah yang tercetak dan

diterbitkan. Sedangkan dalam arti luas termasuk radio, televisi, film.

Sedangkan media berfungsi untuk menyampaikan gagasan masyarakat (Satjipto

Raharjo, 1998) Paus Leo XIII memandang pers sebagai alat perantara massa gereja,

penolong vitalitas kesegaran, keadilan kebenaran kembali ajaran agama waktu itu. 17

Sejak pertumbuhannya pers di Indonesia mencerminkan struktur masyarakat

majemuk dengan berbagai golongan penduduk. Golongan penduduk tersebut adalah

Belanda, Tionghoa, Arab dan India sedangkan Indonesia masih berada dalam

berbagai suku. Pembedaan golongan pers pun kemudian dibedakan sesuai dengan

golongan penduduk yang ada dengan pertimbangan bahasa penyelenggara pers dan

massa yang dituju.

Media informasi merupakan suatu hal yang sangat berperan dan penting dalam

kehidupan masyarakat, terbukti dengan media informasi komunikasi bisa berlangsung

dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada awal kemerdekaan dan perjuangan

mempertahan kemerdekaan media sungguh berperan penting untuk melakukan

konsolidasi untuk aksi. Selain itu pada jauh hari sebelum kemerdekaan, sebelum

16
Drs. Taufiq, 1997
17
Prof.Umar Seno Adji, 1997
perjuangan bahkan, media telah berperan dengan memberikan gambaran-gambaran

kehidupan dari belahan dunia yang lain.

Pada konteks Indonesia misalnya dengan memperlihatkan budaya daerah lain

atau kehidupan akibat penjajahan Belanda. Diakui atau tidak media dapat membentuk

watak dan karakter bangsa Indonesia. Terbukti ada perbedaan kontras watak bangsa

Indonesia antara masa pra kemerdekaan dan jauh sebelum masa perang kemerdekaan

dengan watak bangsa Indonesia saat ini. Watak bangsa Indonesia (meski istilah

Indonesia saat itu belum ada) pada masa pra kemerdekaan yang terpecah-pecah

cenderung kesuku-sukuan kemudian bergeser pada persatuan bangsa sehingga

lahirlah perang kemerdekaan sampai berhasil.

Namun saai ini watak bangsa Indonesiapun mulai bergeser dengan melupakan

watak para pendahulu dan founding fathernya. Masyarakat Indonesia cenderung

konsumtif egois dan banyak hal yang membedakannya.

Belajar dari masa lalu tentunya kita tidak ingin bila pers dan media kembali

dipolitisasi oleh kekuasaan.

Hal lainnya tentunya kita menjaga agar dengan media masyarakat tidak serta

merta menerima apa yang ada didalamnya. Untuk hal ini tentunya harus dipersiapkan

Undang-Undang Pers dan penyiaran yang berpihak pada rakyat dengan selalu

mengunggulkan aspek sosial dibanding dengan liberalisme dan otoritarianisme.

Di antara sejumlah tanggung jawab yang diemban oleh pers yang bebas, tugas

pers yang paling penting untuk ditegakkan adalah mencegah agar jangan sampai
bagian mana pun dari pemerintah menipu masyarakat18. Saat ini banyak kritikus yang

paling tajam memberikan peringatan bahwa ancaman yang paling serius terhadap

demokrasi jutru datang dari pers yang bertugas melindunginya.

Pada pemilihan kepala daerah, media selalu menyoroti hal-hal negatif tentang

figur mengakibatkan masyarakat memilih untuk tidak memilih, fakta tersebut

anehnya tak pernah menjadi perhatian media. Boleh jadi, hal ini disebabkan karena

medialah yang mendorong tren anti demokrasi. Ini sebuah ancaman keterpurukan

sebuah media yang kemudian bisa mematikan fungsi media sebagai sarana informasi

yang benar dan sesuai fakta.

2. Sejarah dan Latar Belakang Kemerdekaan Pers di Indonesia

Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan

pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu

perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers

mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem

politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen

sosial-politik yang kuat.

Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem

itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada.

Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.

18
Danny Schechter, editor eksekutif Mediachanel.org dan salah satu produser CNN, dalam bukunya
yang berjudul “Matinya Media”.
Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan

keterikatan tersebut.

Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan

bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial."

Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu

tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat

dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat

modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.

Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan

kontrol sosial.

Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit

dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan

korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara

demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan

suci yang tak bisa disentuh.

Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas rambu itu

sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era

regim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan

dengan pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.

Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali

dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu

dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan
tidak ada pembreidelan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor

ekonomis/usaha, bukan isi berita.

Berbicara tentang "kebebasan pers," maka mengenal "Pers Pancasila." Di sini

akan terlihat, bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk melegitimasi

berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers. Sidang Pleno XXV

Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila yang orientasi, sikap dan

tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945."

Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan

bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang

benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Kalau

mengacu buku Sistem Pers Indonesia19, disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers

Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD

1945. Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan

pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi

pembangunan.

Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan

nasional. Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak

diterapkan di negara sedang berkembang lainnya. Meski sepintas kedengarannya juga

masih bagus, implikasinya adalah: karena pembangunan dianggap sudah merupakan

program regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers

19
(Atmadi:1985)
sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak

sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah. Lalu siapa yang berhak

menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan

dengan pembangunan? Dalam prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri.

Dan karena pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-

politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan

pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo,

dalam membungkam pers yang dianggap "melanggar batas."

Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "kontrol sosial" dan

berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers

yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk

menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.

Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "kontrol sosial"

kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi

perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah.

Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar.

Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses

memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan

informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir

bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat.

Pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba. Pers itu

bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung
semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa

saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang

bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan

pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah.

Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu

kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "senjata" untuk

mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah. Suara pemerintah bisa menjadi

bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan

pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa

yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya'

dimaksudkan.

Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant.

Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan

masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai

pemerintah.

Banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan.

Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah

didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-

event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas

berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan

sumber resmi pemerintah.


C. Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Kemerdekaan Pers

1. Ketentuan Perundang-Undangan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana

Pers

Di negara Indonesia, setiap kebijakan pemerintah ataupun keputusan hukum

berdasarkan Undang-Undang pastilah mempunyai dampak terhadap objeknya. Pers

sebagai media masa, sebagai media politik, maupun sebagai penyalur lidah rakyat

kepada pemerintah ataupun sebaliknya, mempunyai tugas yang sangat berat.

Di sisi lain kepentingan pemilik media masa tersebut ikut berperan dalam setiap

berita yang dikeluarkan media dan dikonsumsi oleh rakyat baik itu melalui media

cetak, maupun media elektronik. Pers boleh dan berhak mengambil setiap momen

atau kejadian yang berhubungan dengan kepentingan khalayak banyak. Terlebih pers

sekarang di Indonesia mengupas habis sisi hidup selebiritis maupun publik figur yang

dengan mudah dikonsumsi oleh masyarakat.

Adanya peran common sense tentu memudahkan pers dalam pemberitaan.

Karena kita selalu senang melihat sisi hidup orang lain, baik itu selebritis maupun

publik figur, tentu celah bagi pers sangat terbuka lebar.

Lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjadi tonggak sejarah

kemerdekaan pers di Indonesia. Kebebasan pers juga merupakan prinsip dasar yang

dijamin dalam UUD dan sistem kenegaraan Republik Indonesia. Hak jawab dan

penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan

lembaga pers dan individu atau kelompok.


UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya

jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang

diinginkan oleh masyarakat pers pun akhirnya didapat tetapi menjadi satu-satunya

UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan

menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen.

Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup

menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan

juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau

kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers. Meski

Mahkamah Agung melalui putusannya dalam kasus Bambang Harymurti telah

menyatakan kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya

demokrasi dan negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil

terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi

dan negara berdasarkan hukum. Proses pemidanaan terhadap pers tidak mengandung

upaya penguatan pers bebas malah membahayakan kehidupan pers bebas.

Sampai saat ini masih terdapat empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan

pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktuf

Eksekutif Harian Rakyat Merdeka) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden,

Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus pencemaran

nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus
penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian

Rakyat Merdeka), dalam kasus pencemaran nama baik.20

Ujian terhadap UU Pers untuk mampu menyandang gelar lex specialis masih

menemui jalan panjang dan berliku. Dibutuhkan suatu terobosan untuk mengukuhkan

kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UUD RI dan juga instrumen hukum

lainnya serta berbagai putusan Mahkamah Agung.

Terobosan ini dapat dilakukan melalui revisi UU Pers. Tetapi revisi ini akan

mengundang reaksi keras dari anggota masyarakat pers, karena pada umumnya

masyarakat pers memandang curiga bahwa revisi UU Pers justru akan mengundang

campur tangan pemerintah seperti yang telah terjadi dalam UU No 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran serta berpotensi untuk melemahkan kemerdekaan pers.

Terobosan lain yang perlu dipikirkan adalah membentuk RUU tentang

Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers (RUU P4) untuk merespon berbagai

tuntutan pidana maupun gugatan perdata yang melanda media dan jurnalis di

Indonesia dan juga merespon kebuntuan perdebatan tentang penting tidaknya revisi

terhadap UU Pers.

UU Pers memiliki kelemahan. Mahkamah Agung yang menyatakan diperlukan

adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum

terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist

diakui oleh Mahkamah Agung, UU Pers belum mampu memberikan perlindungan

terhadap kemerdekaan pers terutama delik pers.

20
LBH Pers, 26 April 2007, Hukum Online
Meski untuk kasus gugatan perdata Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa

penyelesaian yang disediakan melalui UU Pers harus ditempuh terlebih dahulu (kasus

Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri

Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi) namun sejatinya

UU Pers juga tidak memberikan kewenangan yang cukup kuat kepada Dewan Pers

dalam hal menangani sengketa pemberitaan.

Kewenangan Dewan Pers yang diberikan oleh UU Pers dalam hal penanganan

sengketa pemberitaan hanyalah sebagai lembaga konsiliasi, oleh karena itu bentuk

”putusan” dari Dewan Pers adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).

Dalam konteks hukum putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para

pihak yang bersengketa.

Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa ada pihak yang

tidak menginginkan penyelesaian melalui Dewan Pers, disamping itu masih kuatnya

keinginan dari beberapa pihak yang tidak menginginkan adanya kemerdekaan pers

tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Pembentukan RUU P4 menjadi sangat penting untuk mengukuhkan

kemerdekaan pers tanpa harus mengundang campur tangan pemerintah ke dalam

kehidupan pers. Sehingga tujuan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan

melalui penguatan fungsi dan peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian

sengketa pemberitaan pers satu-satunya (pengadilan pers) dapat tercapai melalui

pembentukan RUU P4.


Dengan dibentuknya RUU P4, maka diharapkan kontroversi tentang lex

specialist tidaknya UU Pers menjadi hilang dan juga dapat sebagai senjata bagi

masyarakat pers untuk membendung keinginan pemerintah melakukan revisi terhadap

UU Pers. Karena UU Pers tetap berlaku namun pada saat yang sama kedudukan

Dewan Pers semakin diperkuat sebagai tempat pengadilan pers di Indonesia. Untuk

itu kekhawatiran akan adanya kriminalisasi menggunakan KUHP atau R KUHP

menjadi hilang, karena Dewan Pers menjadi pintu masuk pertama untuk melakukan

penyaringan terhadap adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Selain itu RUU P4

juga dapat menetapkan pidana denda sebagai satu-satunya hukuman pidana bagi

media dan jurnalis.

2. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Pers

Suatu pemberitaan dipublikasikan melalui proses penulisan, pengeditan,

penyuntingan, percetakan, koreksi sampai diedarkannya berita tersebut. Dalam proses

itu, terlibat beberapa orang yang secara langsung berkecimpung di dalamnya antara

lain :

1. Penulis (pengarang), penggambar (pelukis atau pemotret)

2. Penerbit;

3. Pencetak;

4. Pengedar;
Masalah yang terjadi jika terjadi suatu tindak pidana pers ialah siapa sajakah

yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut? Untuk menjawab masalah

itu kita tinjau satu persatu peranan orang-orang tersebut jika terjadi suatu delik pers.

1. Penulis, wartawan, fotografer, kolumnis

Mengenai penulis, penggambar, pengarang, pemotret atau pelukis, sudah jelas

merekalah yang mula-mula harus bertanggung jawab atau dapat dikatakan sebagai

pelaku utama (dader) terhadap suatu deli pers, seperti dimaksudkan oleh pasal 55

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kecuali mereka dapat membuktikan bahwa

tulisan, gambar, potret atau lukisan yang dijadikan berita tersebut dibuat dalam

keadaan terpaksa yang tak dapat dihindarkan karena adanya suatu ancaman atau

paksaan dari pihak lainseprti termuat dalam pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana atau dapat pengecualian seperti termuat dalam pasal 44 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

2. Penerbit

Pertanggungjawaban penerbit diatur dalam pasal 61 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana sebagai berikut:

a. Jika kejahatan dilakukan dengan memprgunakan percetakan, maka penerbit

(uitgever) sebagai demikian tidak dituntut jika pada barang cetakan itu disebutkan

nama dan tempat tinggalnya dan sipembuat itu sudah diketahui, atau pada waktu
diberi peringatan yang pertama kali sesudah penuntutan muali berjalan

diberitahukan oleh penerbit.

b. Peraturan ini tidak berlaku, jika sipembuat kejahatan pada waktu barang cetakan

itu diterbitkan tak dapat dituntut atau berdiam di luar negeri.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita lihat bahwa seorang penerbit tiidak akan

dapat dituntut apabila;

1) Pada barang cetakan telah dimuat nama dan tempat tinggal penerbit;

2) Penulis, penggambar atau pembuat berita tersebut sudah diketahui atau

sesudah penuntutan sudah berjalan pada waktu itu diberi peringatan pertama

kepada penerbit. Pembuat termasuk pemotret, pelukis atau penggambar.

Pembuatnya dapat dituntut pada waktu diterbitkan tulisan, gambar atau potret

oleh penerbit. Artinya sipenulis atau penggambar dari pemberitaan tersebut tidak

dalam sakit ingatan atau tidak meninggal dunia pada waktu pemberitaan itu

diterbitkan.

Pembuat pada waktu itu berada di Indonesia

Apabila syarat-syarat penerbitan dimaksud oleh pasal 61 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana tersebut tidak dapat dipenuhi maka penerbit dapat dituntut

berdasarkan atas pasal 438 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

"Barang siapa menerbitkan suatu tulisan atau gambar yang dapat dihukum

menurut sifatnya, dihukum selama-lamanya satu tahun atau empat bulan atau

kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

jika;
Orang yang membuat tulisan atau gambar itu tidak dikenal atau tidak

diberitahukan dalam permintaan yang pertama kali setelah ada perintah perkara itu

untuk dikemukakan kepada hakim. Orang yang menerbitkan itu sudah mengetahui

atau sudah menduga bahwa orang yang membuat tidak dapat dituntut atau tinggal

diluar Negara Indonesia pada karangan atau gambar itu diterbitkan.

Orang yang menerbitka itu sudah mengetahui atau dapat menduga bahwa orang

yang membuat tidak dapat dituntut atau tinggal di Negara Indonesia pada ketika

karangan atau gambar itu diterbitkan.

Dari kedua pasal tersebut diatas diatur secara jelas kedudukan penerbit dalam

tindak pidana tersebut, apakah sebagai pembantu atau peserta. Hal ini sangat penting

karena sebagai peserta kedudukan sangat berbeda dengan kedudukan sebagai

pembantu dalam suatu tindak pidana. Sebagai peserta ancaman hukumannya sama

dengan pelaku sedangkan kalau sebagai pembantu hukumannya dikurangi

sepertiganya dari ancaman yang dijatuhkan kepada pelaku. Dalam persoalan tersebut

penulis menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh "R. Moegono, yang condong

memasukan penerbit sebagai peserta pelaku (mededader) karena delik pers hanya

dapat terjadi setelah adanya kerja sama antara penerbit dengan penulis/ pengarang/

penggambar atau sipemotret).

Disamping masalah tersebut diatas perlu diingat bahwa dalam perusahaan

penerbitan pers seperti dimaksudkan oleh pasal 14 Undang-undang Nomor 11 Tahun

1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan

Undang-undang Perubahan kedua Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu penerbit pers

terdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Dengan

adanya ketentuan tersebut timbul permasalahan di tangan siapakah letak tanggung

jawab jika terjadi suatu tindk pidana pers. Dalam hal ini kita harus

menghubungkannya dengan ketentua pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11 Tahun

1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan

Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pers sebagai berikut:

(1) Pimpinan Umum bertanggungjawab atas keseluruhan penerbitan bai

kedalam maupun keluar.

(2) Pertanggungan jawab Pimpinan Umum terhadap hukum dapat

dipindahkan kepada Pimpinan Redaksi mengenai isi penerbitan

(redaksional) dan kepada Pimpinan Perusahaan mengenai soal-soal

perusahaan.

(3) Pimpinan Redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksional dan

wajib melayani hak jawab dan koreksi.

(4) Pimpinan Redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap

hukum mengenai sebuah tulisan kepada anggota redaksi yang lain atau

kepada penulisnya yang bersangkutan.

Melihat ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomot 4 Tahun 1967 dan Undang-

undang Perubahan Kedua tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, terutama dalam


ayat (4) bahwa pertanggunjawaban pidana terhadap deli pers terletak pada pihak

siapa pertanggungjawaban hukum dilimpahkan ketika berita itu diterbitkan. Bisa pada

Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, anggota redaksi atau bahkan pada penulisnya,

tergantung pada ada atau tidaknya pemindahan pertanggungjawaban. Untuk

memudahkan ada atau tidaknya pemindahan pertanggungjawaban hukum dalam

penerbitan pers, di dalam undang-undang seharusnya sudah ditentukan bahwa

pemindahan pertanggungjawaban hukum tersebut hanya bisa dilakukan secara

tertulis. Karena disamping memudahkan dalam pembuktian, juga akan menjamin

adanya kepastian hukum dalam pertanggungjawaban penerbitan pers.

3. Pencetak

Pertanggungjawaban pencetak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 484.

Pasal 62 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai berikut:

(1) Jika kejahatan dipergunakan dengan mempergunakan percetakan maka

pencetak (drukker) sebagai demikian tidak dituntut jika pada barang

cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggal pencetak dan orang

yang menyuruh mencetak sudah diketahui atau pada waktu diberi

peringatan pertama kali sesudah penuntutan mulai berjalan

diberitahukanoleh pencetak.
(2) Peraturan ini tidak berlaku, jika pada waktu mencetak itu orang yang

menyuruh mencetak tidak dapat dituntut atau berdiam di luar Negara

Indonesia.

Sedangkan di dalam Pasal 484 disebutkan bahwa:

"Barang siapa mencetak suatu tulisan atau gambar yang dapat dihukum karena

sifatnya, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan

selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500.,- jika orang

yang menyuruh mencetak tukisan atau gambar itu, tidak dikenal atau tidak

diberitahukan pada permintaan yang pertama kali setelah ada perintah perkara itu

untuk dikemukakan kepada pihak hakim.

a. Orang yang mencetak itu sudah mengetahui atau dapat menduga bahwa orang

yang menyuruh mencetak itu dapat dituntut atau tinggal diluar Negara Indonesia

pada ketika tulisan atau gambar itu diterbitkan.

Dipelajari secara mendalam kedua pasal tersebut (Pasal62 dan Pasal 484

KUHP) dapat kita kemukakan bahwa pada dasarnya ketentuan kedua Pasal itu hampir

sama dengan Pasal 61 dan 483 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang

pencetaknya, sama halnya dengan penerbit, pencetak akan dituntut apabila ia:

b. Tidak mencantumkan nama dan alamatnya pada barang yang dicetaknya.

c. Tidak mengetahui atau tidak memberitahukan pada teguran pertama setelah ada

perintah perkara itu dikemukakan dimuka hakim.


d. Orang yang menyuruh mencetak tidak dapat dituntut karena menderita sakit

ingatan atau karena adanya alasan lainnya seperti termuat dalam Pasal 44 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.

e. Orang yang menyuruh mencetak berada diluar negeri/

Disamping pemilik percetakan ada karyawan atau pegawai percetakan yang ikut

serta dalam proses percetakan tersebut. Dengan demikian akan timbul permasalahan,

apakah karyawan atau pegawai percetakan itu ikut bertanggung jawab dalam suatu

tindak pidana pers. Mengenai masalah ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung

Nomor 52/K/Kr/1955 dalam perkara Goei Po An, Pimpinan Umum harian "Trompet

Masyarakat Surabaya, telah menetapkan: "Bahwa pegawai/buruh percetakansebagai

alat yang tidak berkehendak apa-apa (kecuali semata-mata mencari nafkah) dan

karena itu menurut Ketentuan Hukum Pidana Indonesia tidak bertanggung jawab (tak

dapat dimintaka pertanggungjawaban). Jadi berdasarkan keputusan Mahkamah Agung

tersebut pegawai atau buruh percetakan tidak dapat dituntut dalam tindak pidana pers.

4. Pengedar

Mengenai pengedar pers seperti di toko-toko, agen-agen, loper dan lain

sebagainya dapat dituntut berdasarkan delik penyebaran seperti termuat dalam Pasal

137, 155, 157, 208, Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang, permusuhan,

penghasutan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah atau pasal-pasal yang

lainnya.
D. HAK TOLAK ATAU HAK INGKAR

Di dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-undang

Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers ditetapkanm

bahwa "dalam mempertanggungjawabkan suatu tulisan terhadap hukum, Pemimpin

Umum, Pemimpin Redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak.

Penulis yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah wartawan. Hak tolak (ingkar) ini

adalah hak untuk membebaskan diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ,

seperti termuat dalam pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu

bagi mereka yang karena pekerjaannya harkat martabatnya diwajibkan menyimpan

rahasia. Maksud adany pasal tersebut diatas adalah untuk melindungi sumber

pemberitaan. Menurut Oemar Seno Adji, hal tersebut merupakan suatu aspek

stafprocesrechtelijk dari persoalan pers dan timbul karena adanya suatu contraverse

antara pertimbangan-pertimbangan etis dari pers, yang tidak bersedia untuk nenyebut

"zegmannya dan pertimbangan-pertimbangan yudicial, yang menghendaki agar

supaya seorang saksi dalam suatu proses pidana harus memberikan keterangannya

sebagai saksi. Tiga kemungkinan dapat dihadapi dalam hal demikian:

a. Ia menimbulkan suatu impasse, tanpa memberikan pemecahan persoalan dan

menempatkan kedua belah pihak dalam posisi yang berhadapan satu sama lain

kadang-kadang secara bermusuhan.


b. Kebijakan diambil oleh pengadilan-pengadilan yang tidak mau memaksa pers

untuk meninggalkan apa yang dinamakan kode etik untuk tidak menyebut sumber

informasinya. Konflik secara terang-terangan demikian dihindari.

c. Mengetahui hak ingkar tersebut

Kalau kita lihat ketentuan diatas hak tolak yang dimaksudkan adalah hak tolak

sebagai saksi bukan sebagai terdakwa. Tetapi hak tolak ini tidaklah bersifat mutlak,

karena seperti termuat dalam penjelasan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun

1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan

Perubahan Kedua Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok pers (UU No.

21 Tahun 1982 ), menyatakan bahwa hak tolak tersebut tidak belaku pada perkara-

perkara yang membahayakan keselamatan Negara.


BAB III

TINJAUAN LAPANGAN

A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo

Majalah Tempo memiliki sejarah panjang di negeri ini. Kantor Majalah

Mingguan Tempo yang berlokasi di Jalan Proklamasi No.72, Jakarta, itu tak bisa

dilepaskan dengan perkembangan pemerintahan di Indonensia. Andilnya cukup besar

baik dalam membantu penegakan hukum, memberikan wawasan kepada masyarakat

dan masih banyak lagi. Walaupun pernah ditutup, pada 21 Juni 1994 oleh

Pemerintahan Orde Baru tetapi terus hidup dan semakin eksis.

Saat ini majalah Tempo, The Leading News Magazine di Indonesia dengan

pembaca 535.000 orang. Sebagai majalah tertua di Indonesia yang diluncurkan di

bulan Maret 1971, majalah ini adalah pemegang rekor media yang paling sering

dibredel. Hal ini membuktikan bahwa Tempo lebih mengutamakan independensi,

walaupun hal tersebut bukanlah hal yang ringan dan mudah.

Sejak diterbitkan kembali, dengan mengharmonikan tahunan pengalaman

dengan energi darah muda, tidaklah mudah bagi Tempo untuk dapat kembali

memimpin industri majalah di tengah persaingan dan menjamurnya majalah-majalah

baru.

Saat ini majalah Tempo telah kembali melayani sekitar 535.000 pembaca yang

berasal dari pembaca yang tetap loyal, sekaligus memikat hati pembaca muda yang

berasal dari kalangan orang perkotaan dari kelas menengah atas. Mereka tentunya
mapan secara ekonomis, berpendidikan dan diharapkan menjadi motor perkembangan

bangsa ini.

Terbit dengan 120,000 eksemplar per minggu dengan jumlah pembaca 535,000.

Jaringan distribusi yang merata di Jakarta (44,5%), Botabek (27,3%) Bandung

(4,1%), Medan (4,3%), Surabaya (4,3%), Gerbang Kertasila (1,9%), Semarang

(1,5%) Makasar (3,4%), (Yogyakarta 2,1%), Sleman-Bantul (2,4%), Palembang

(3,4%) dan Denpasar (0,90%). Cakupan pembaca Majalah TEMPO adalah 71% pria

dan 21% wanita. Jenis pekerjaan terbanyak (55%) adalah white collar. Untuk

pendidikan, 65% pembaca kami adalah lulusan SMA dan post graduate dengan

tingkat pengeluaran kelas AB (65%).

Menengok sejarah, Tempo lahir dan mati di zaman Orde Baru. Beberapa pendiri

Tempo adalah para aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan

Soekarno dan kemudian menempuh jalan masing-masing untuk ”mengisi” zaman

Orde Baru. Beberapa di antaranya lalu mendirikan Tempo, setelah gagal berkongsi

dengan pengusaha pers kala itu, BM Diah, untuk majalah Ekspres-nya. Tempo luput

dari pembredelan dua kali pada masa Orde Baru, tahun 1974 dan 1978, tetapi tak bisa

mengelak ketika pemberitaannya pada 1982 saat terjadi insiden Lapangan Banteng

menjelang Pemilu 1982 dianggap pemerintah mengganggu keamanan.

Untuk itu, Goenawan Mohamad (GM) selaku pemimpin redaksi majalah Tempo

harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan untuk tidak

meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga ”Cendana”.


Tempo besar karena pemberitaanya yang tajam dan kritis. Karenanya, dalam

setiap pemberintaan yang ditulis Tempo selalu menimbulkan reaksi dari pemegang

kekuasan. Salah satunya, ketika terjadi peristiwa Tanjung Priok, peristiwa kerusuhan

saat kampanye pemilu 1982, peristiwa Timor Timur tahun 1991, hingga ke

pemberitaan soal pembelian kapal laut bekas Jerman Timur yang membawa Tempo

pada pembredelan keduanya.

Kantor Tempo pertama di Senen. Di kantor pertama itulah, para seniman,

budayawan dan wartawan berbagi pengetahuan. Beberapa penulis yang turut

menuangkan ide pemikirannya melalui tulisan opini dan karikatur seperti Ong Hok

Ham dan Abdurrachman Wahid. Namun, situasi ini bergeser ketika kemudian Tempo

pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran modern di kawasan Kuningan.

Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, dan Tempo pun yang

menghasilkan kelas menengah tersebut. Untuk itu Tempo merupakan bagian dari

fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Jika kita cermati, periode ketika

Tempo berjaya pada dekade 1980-an, anggaran belanja iklan perusahaan-perusahaan

banyak masuk ke media cetak.

Jumlahnya minimal mencapai 50 persen dari total belanja iklan tersebut. Sejak

tahun 1982 itu, televisi yang ada kala itu, TVRI, tak lagi boleh beriklan. Maka, kue

iklan itu pun lari ke media-media cetak. Inilah yang membuat majalah Tempo

menjadi cukup kaya untuk pindah kantor ke wilayah elite di daerah Kuningan. Gaji

para wartawan Tempo pun mencapai puncaknya saat itu.


Setelah perpindahan Tempo ke Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian

terjadi eksodus puluhan wartawan di sana. Mereka keluar dari Tempo untuk

mendirikan majalah Editor. Beberapa wartawan yang turut keluar menyatakan bahwa

Tempo telah berubah, tidak lagi merupakan institusi perjuangan melainkan institusi

bisnis; dalam banyak hal manajemen sering kali membela pemilik dan tidak lagi

menganggap wartawan sebagai aset berharga.

Masuk ke awal 1990-an perlahan-lahan iklan di televisi swasta muncul, dan

perlahan tapi pasti, kue iklan yang tadinya didominasi media cetak pun mulai

terenggut oleh media televisi. Di sinilah letak pergeseran strukturalnya dan kondisi ini

terus bertahan hingga sekarang. Industri media cetak saat ini hanya memiliki porsi

20-30 persen dari total belanja iklan yang ada, sementara untuk media televisi

jumlahnya bisa mencapai 50 persen walau harus dibagi dengan semakin banyak

stasiun televisi.

Posisi GM memang tak tergantikan. Tak mungkin mencari ganti penulis Catatan

Pinggir yang sudah khas milik Goenawan Mohamad—sama dengan Kompasiana-nya

PK Ojong— apalagi kalau itu diserahkan ”hanya” pada para calon reporter.

Posisi GM yang memang unik di Tempo ini tak tergantikan. Sampul buku ini

saja telah menunjukkan seakan GM adalah lakon utama dalam buku ini. Lepas dari

itu, GM sendiri mengalami evolusi tersendiri. GM yang seniman, mahasiswa

psikologi yang tak menyelesaikan skripsi, negosiator dengan pemodal, ”terpaksa” jadi

manager, penulis tetap kolom Catatan Pinggir, editor pemberitaan setiap minggu,

lobbyist dengan sejumlah pejabat, menjadi aktivis jalanan, hingga akhirnya memilih
untuk tidak lagi menduduki jabatan puncak sebagai Pemimpin Redaksi dan posisinya

digantikan Bambang Harymurti.

Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di

Indonesia yang alumninya diakui di mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media

di Indonesia saat ini, banyak di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut

majalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di

dalamnya. Suka atau tidak, tetapi inilah kenyataannya.

Padahal, tantangan sesungguhnya datang ketika Tempo masuk dalam periode

hidup antara tahun 1998 hingga hari ini. Tantangannya jauh lebih kompleks dan

dalam deru industri media yang makin menyodorkan dunia yang makin ”flat”

(mengambil istilah buku terbaru Thomas Friedman), tak lagi mungkin mengejar

jumlah oplah hingga ratusan ribu eksemplar seperti pada masa sebelumnya.

Dalam sebuah landscape yang berubah—walau mereka ”hanya” absen selama 4

tahun—Tempo menjadi terbata-bata untuk bisa terus eksis di periode berikut. Logika

pasar punya cara berpikir sendiri untuk terus hidup, dan kalau formula lama mau terus

dikembangkan, ada persoalan dengan audience yang juga berubah.

Bagi sebuah majalah yang terus berjuang untuk eksis dan mengedepankan mutu

jurnalistik serta suatu model perusahaan media yang sehat dan modern, Tempo masih

harus membuktikan bahwa kedalaman pemberitaan yang ditulisnya serta cara

penulisan yang ”enak dibaca dan perlu” itu memang masih dibutuhkan oleh publik.

Konservasi macam begini makin sempit lahannya, tetapi harus terus dipelihara
sembari memberi ruang lebih luas bagi sumber daya manusia yang hidup di

dalamnya.

Kalau nilai seperti ini yang hendak dianut, kecepatan penyampaian informasi

dari media mana pun, tak akan bisa mengalahkan kedalaman dan kejelasan

penyampaian informasi yang jadi tujuan Tempo. Dalam era informasi serba instan,

kedalaman informasi dan makna pentingnya bagi pengembangan masyarakat lebih

luas harus terus dipelihara dan dikembangkan mati-matian.

B. Struktur Organisasi dan Kegiatan Peliputan Majalah Tempo

1. Struktur Organisasi

Struktur organisasi dibidang redaksional majalah Tempo meliputi, Pemimpin

Redaksi, Redaktur Eksekutif, Wakil Redaktur Eksekutif, Redaktur Senior, Redaktur

Utama, Redaktur, Sidang Redaksi. Desain Kreatif, Fotografer, Redaktur Bahasa,

Dokumentasi dan Riset

Penerbit PT Tempo Inti Media Tbk

2. Kegiatan Peliputan

Menghasilkan setiap pekan majalah berita sejenis ini adalah proses yang makan

urat saraf. Dua kali setiap minggu, untuk menyiapkan sebuah nomor halaman, hampir

seluruh Tempo siaga penuh. Itu hari-hari deadline. Melanggar batas waktu ini berarti

merusakkan seluruh jaringan kerja.

Khususnya pada Senin malam dan Selasa dinihari. Itu jam-jam paling tegang.

Pemimpin redaksi, wakilnya, para redaktur pelaksana, para penanggung jawab rubrik,
para reporter, petugas perpustakaan, petugas lab dan dokumentasi foto, para staf

koordinasi reportase - dan terutama tenaga di bagian tata muka - harus hadir.

Mereka terpaksa makan malam bersama di kantor - dan juga menginap. Di

kantor-kantor Tempo di luar Jakarta, kesiagaan yang serupa berlaku. Sampai Selasa

pukul 9 pagi. Atau, bila perlu, sampai tengah hari.

Beberapa jam kemudian, setelah sebentar tidur (kalau pun bisa tidur), mulai lagi

awal persiapan nomor halaman berikutnya. Dengan dihangatkan oleh kopi dan

beberapa potong kue, rapat dibuka. Tentu saja masih ada yang terkantuk-kantuk.

Suatu diskusi dihidupkan. Usul dari seluruh Indonesia dan dari koresponden di luar

negeri diseleksi, mana yang layak dijadikan isi Tempo mendatang.

Diskusi dan perencanaan betapapun merupakan bagian penting dalam proses

kerja Tempo. Setelah itu, bergeraklah seluruh tenaga wartawan, memenuhi rencana

yang sudah disepakati. Sementara itu (tak boleh lupa), tiap wartawan harus berpikir,

tengok kiri tengok kanan, adakah cerita yang akan ditulisnya tak tergolong

"berbahaya". Artinya, bisa menyebabkan Tempo kena "musibah".

Untuk melakukan peliputan pada minggu berikutnya, dilaksanakan rapat rutin

pengecekan redaksi majalah Tempo tentang berita yang perlu didalami. Sejumlah

reporter Grup Tempo melakukan kegiatan pencarian informasi dan konfirmasi ke

berbagai sumber. Semua wartawan Tempo yang terlibat dalam pengumpulan bahan

untuk berita melaksanakan tugasnya mengumpulkan bahan berita, sumber berita dan

konfirmasi ke pihak terkait.


Semua hasil laporan para reporter ini dijadikan bahan untuk menulis. Laporan-

laporan itu digabung dengan hasil temuan di lapangan dan hasil riset pustakanya.

Setelah tulisan selesai dibuat, hasilnya langsung dikirim ke jenjang berikut pada

sistem komputer redaksi Tempo untuk menjalani proses editing. Pada kompartemen

Nasional, tanggung jawab pengeditan berada di pundak redaktur pelaksana. Tulisan

itu diedit agar mengalir lebih lancar sehingga memenuhi kualifikasi "enak dibaca dan

perlu".

Hasil editing kemudian dikirim ke redaktur bahasa untuk diperiksa kaidah

bahasanya dan setelah diperbaiki, dikirim ke bagian kreatif untuk di tata letak oleh

bagian desain. Tugas pemimpin redaksi adalah memeriksa tulisan-tulisan yang telah

tertata di bagian desain dan mengoreksi bahkan membatalkannya bila dianggap perlu.

Pemimpin Redaksi memberikan persetujuan pada artikel atau laporan investigasi

untuk dikirim ke percetakan karena dianggap telah memenuhi syarat.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk pemberitaan yang dimuat Majalah Tempo Jakarta yang

diindikasikan sebagai pencemaran nama baik.

Penulisan berita "Ada Tomy di Tenabang?". Tulisan yang dimuat pada halaman

30 dan 31 majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 itu menuai masalah. Pemimpin

Redaksi majalah Tempo Bambang Harymurti dan dua wartawannya Ahmad Taufik

dan Iskandar Ali pun menjadi terdakwa.

Sidang pertamanya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis Hakim

yang menangani perkara itu yakni Hakim Andriani Nurdin, Suripto dan Kusriyanto.

Sedangkan terdakwa didampingi sejumlah penasehat hukum. Antara lain advokat

Trimoelja D. Soerjadi, Djoko P. Saebani, Ahmad Yani, Maqdir Ismail dan Darwin

Aritonang.

Meski dalam berkas terpisah, mereka didakwa melakukan tindak pidana

penghinaan dan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata.

Jaksa Bastian Hutabarat menjerat ketiga terdakwa dengan pasal XIV ayat (1)

Undang-Undang No. 1/1946 serta pasal 310 dan 311 KUHP. Pasal XV UU No.

1/1946 berbunyi :

(1) Barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,

dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum

dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.


(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan

pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan

rakyat, sedang ia patut dapat menyangka bahwa berita atau

pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan hukuman

penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 310 KUHP

1) Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang

dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui

umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,”

2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,

dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena

pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan

atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 311 KUHP

1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan

untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan

tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam

melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan.

Berdasarkan pasal tersebut, ketiganya terancam hukuman maksimal 10 tahun

penjara. Ketiganya didakwa bersalah melakukan fitnah dan pencemaran dalam berita
majalah Tempo berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dalam penilaian jaksa, akibat

pemberitaan itu terjadi keonaran di kalangan masyarakat. Berita itu telah memicu

ancaman yang ditujukan terhadap Tomy Winata. Juga telah memicu demonstrasi

karyawan Artha Graha Group ke kantor majalah tersebut di Jl. Proklamasi Jakarta

Pusat.

Berita tentang dugaan Tomy Winata mendapat proyek renovasi pasar

Tanahabang senilai Rp53 miliar itu dinilai jaksa mengandung kebohongan. Dalam

bahasa jaksa, para terdakwa 'telah membakar emosi dan menyebarkan keresahan di

kalangan masyarakat terutama masyarakat korban kebakaran pasar Tanahabang.

Dalam salinan dakwaan tersebut, jaksa menjelaskan bahwa Tomy mendapat

ancaman via telepon. Namun tidak dijelaskan siapa yang mengancam dan kapan

ancaman via telepon itu dia terima. Tentu saja, tugas majelis hakim untuk memastikan

benar tidaknya ancaman yang disebutkan jaksa.

Mengapa berita itu muncul?. Dalam pledoi Bambang Harrymurti, awalnya

dimulai pada hari Senin, 24 Februari 2003, ketika redaksi majalah Tempo

mengadakan rapat perencanaan rutin untuk membahas usulan berita yang akan

diterbitkan pada edisi Senin berikut.

Di antara banyak usulan berita yang dibahas, kompartemen nasional

mengusulkan untuk melakukan laporan lanjutan peristiwa kebakaran pasar Tanah

Abang yang baru saja ditulis di majalah Tempo yang terbit hari itu. Karena saudara

Ahmad Taufik bertugas sebagai penulis di kompartemen nasional dan ia yang menulis

artikel tentang kebakaran Tanah Abang, maka yang bersangkutan ditugaskan untuk
mempersiapkan penulisan artikel lanjutan (follow up) kebakaran Tanah Abang

tersebut, antara lain dengan membuat lembar penugasan dan memonitor

perkembangan keadaan Tanah Abang. Kebetulan saudara Ahmad Taufik dibesarkan di

kawasan Tanah Abang hingga mempunyai banyak teman dan melalui pertemanannya

itu ia mendengar berbagai informasi menarik. Termasuk di antaranya kabar yang

menginformasikan bahwa pengusaha Tomy Winata telah mengirim proposal untuk

merenovasi pasar Tanah Abang sekitar tiga bulan sebelum kebakaran.

Kabar ini disampaikan Saudara Ahmad Taufik pada rapat rutin pengecekan

redaksi majalah Tempo pada Rabu, 26 Februari 2003. Karena infonya masih sumir,

rapat meminta Saudara Ahmad Taufik agar mendalami informasi itu, antara lain

dengan melakukan pengecekan ulang dan konfirmasi ke berbagai sumber yang

dianggap perlu.

Ahmad Taufik kemudian melakukan reportase ke Tanah Abang dan bertemu

dengan seorang temannya, seorang kontraktor arsitektur yang banyak terlibat dalam

proyek-proyek pemerintah daerah DKI. Melalui sumbernya ini, yang minta jati

dirinya dirahasiakan, Ahmad Taufik diantar bertemu dengan seorang pejabat yang

mempunyai akses pada proposal itu. Ahmad Taufik diperbolehkan membaca

dokumen tersebut namun tak diperkenankan memfotokopinya karena sumber tersebut

khawatir identitas dirinya dapat terlacak jika foto kopi itu tersebar.

Sementara itu, berdasarkan lembar penugasan yang dibuat Saudara Ahmad

Taufik, sejumlah reporter Grup Tempo melakukan kegiatan pencarian informasi dan

konfirmasi ke berbagai sumber. Juli Hantoro, yang saat itu bertugas di Koran Tempo,
dan reporter Indra Darmawan yang sedang bertugas di Tempo News Room (TNR)

mewawancarai Wali Kota Jakarta Pusat dalam kesempatan yang terpisah. Reporter

Cahyo Junaedi (TNR) mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat di pasar Tanah Abang.

Reporter Sam Cahyadi (TNR) mewawancarai Buhar Tambunan, Kepala Pasar Tanah

Abang. Reporter Dewi Retno mewawancarai Gubernur DKI, General Manager PLN

Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang, dan sejumlah pejabat lainnya.

Reporter Bernarda Rurit melakukan wawancara konfirmasi dengan Tomy

Winata melalui telepon kantor pada tanggal 27 Februari 2003 dan merekamnya

setelah minta izin. Wawancara itu kebetulan disaksikan oleh dua rekan kerjanya,

karena mereka kebetulan sedang berada di lokasi dekat tempat wawancara

berlangsung. Kecuali Dewi Retno, semua wartawan Tempo yang terlibat dalam

pengumpulan bahan ini telah memberikan kesaksiannya di sidang pengadilan,

termasuk dua wartawan yang menyaksikan wawancara telepon Bernarda Rurit dan

Tomy Winata.

Semua hasil laporan para reporter ini dijadikan bahan untuk menulis oleh

Saudara Ahmad Taufik. Laporan-laporan itu digabung dengan hasil temuannya

sendiri di lapangan dan hasil riset pustakanya--termasuk tulisan Juli Hantoro di Koran

Tempo edisi 20 Februari 2003 di halaman B-4 dengan judul "Masa Depan Tanah

Abang Ada di Sini". Tulisan Juli Hantoro tentang rencana pembangunan Sentra Bisnis

Primer Tanah Abang itu juga sudah digunakan Ahmad Taufik ketika menulis berita

kebakaran Tanah Abang di majalah Tempo edisi sebelumnya dan tak pernah menuai

protes.
Setelah tulisan selesai dibuat, hasilnya langsung dikirim ke jenjang berikut pada

sistem komputer redaksi Tempo untuk menjalani proses editing. Pada kompartemen

Nasional, tanggung jawab pengeditan sebenarnya berada di pundak redaktur

pelaksana (saat itu) R. Wahyu Muryadi. Namun, karena ia sedang disibukkan dengan

artikel yang lain, beban pengeditan ini dialihkan ke Saudara Teuku Iskandar Ali. Oleh

Saudara T. Iskandar Ali, tulisan itu diedit agar mengalir lebih lancar sehingga

memenuhi kualifikasi "enak dibaca dan perlu", antara lain dengan mengganti kata

"Tanah Abang" pada judul menjadi Tenabang dan mengubah kata "pengusaha besar"

menjadi "pemulung besar" (dalam tanda petik) di dalam tubuh berita.

Hasil editing ini kemudian dikirim ke redaktur bahasa untuk diperiksa kaidah

bahasanya dan setelah diperbaiki, dikirim ke bagian kreatif untuk di tata letak oleh

bagian desain. Tugas saya sebagai pemimpin redaksi adalah memeriksa tulisan-tulisan

yang telah tertata di bagian desain dan mengoreksi bahkan membatalkannya bila

dianggap perlu. Saya lalu memberikan persetujuan pada artikel ini untuk dikirim ke

percetakan karena dianggap telah memenuhi syarat. Artikel berjudul "Ada Tomy di

Tenabang?" itu kemudian terbit dalam majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2004.

B. Bentuk pertanggungjawaban pidana Pemimpin Redaksi Majalah Tempo

atas dimuatnya pemberitaan yang diindikasikan sebagai pencemaran nama

baik.

Perkara pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winata atas pemberitaan

Tempo, menyeret Pemimpin Redaksi Bambang Harrymurti sebagai terdakwan.


Dakwaan jaksa yang telah dibacakan pada sidang Senin, 19 Juli lalu, akibat

penerbitan artikel itu Bambang Harrymurti dalam menjalankan tugas sebagai

pemimpin redaksi majalah Tempo, telah terbukti melanggar Pasal XIV ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan juga melanggar Pasal 310 dan 311

KUHP, semuanya dengan pen-juncto-an Pasal 55 ayat (1) ke-1e.

Tuntutan itu adalah bentuk keyakinan jaksa bahwa karena bertanggung jawab

terhadap penerbitan majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003, terutama dengan

dimuatnya artikel "Ada Tomy di Tenabang?" pada halaman 30 dan 31 penerbitan

tersebut, maka Bambang Harrymurti selaku Pemimpin Redaksi selaku

penanggungjawab berita didakwa telah melakukan tindak pidana.

Menurut pendapat jaksa, dengan terbitnya artikel itu maka Bambang Harrymurti

selaku Pemimpin Redaksi, terbukti terlibat dalam kegiatan penyebarluasan suatu

berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan

rakyat.

Juga disimpulkan terbukti menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan

pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan

Bambang Harrymurti, setidak-tidaknya patut menduga, bahwa kabar demikian akan

atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Karenanya, Bambang

Harrymurti telah mencemarkan nama baik saksi pelapor, Tomy Winata, karena dalam

pemberitaan Tempo ditulis sebagai berpotensi menjadi "pemulung besar" (di antara

tanda petik) dan diberitakan "konon mengirim proposal renovasi pasar Tanah Abang

sekitar tiga bulan sebelum terjadi kebakaran".


Pertimbangan Jurnalistik

Dalam pledoinya, Bambang Harrymurti menyatakan meloloskan tulisan "Ada

Tomy di Tenabang?" hasil editing Saudara Teuku Iskandar Ali tanpa koreksi sedikit

pun. Hal ini dia lakukan bukan karena kelalaian, atau karena sedang lelah baru tiba

dari perjalanan dinas ke Singapura, tetapi karena karya itu memang dinilai telah

memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku. Penilaian yang sama telah pula

muncul dari berbagai saksi di persidangan maupun di luar sidang.

Namun, dalam memilih saksi mana yang perlu dipertimbangkan penilaiannya di

mata hukum, Majelis Hakim dapat merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang No. 40

Tahun 1999 yang mengamanatkan tugas Dewan Pers antara lain: menetapkan dan

mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (pasal 15 ayat 2c) dan memberikan

pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-

kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers (pasal 15 ayat 2d).

Dengan rujukan ini, maka pendapat saudara Hinca I.P. Panjaitan, S.H., yang

menjabat sebagai Ketua Bidang Komisi Hukum Dewan Pers dan memberikan

kesaksian pada sidang tanggal 31 Mei 2004, maupun Drs. Sabam Leo Batubara, yang

menjabat sebagai Ketua Bidang Komisi Pengaduan Dewan Pers, yang secara tegas

telah menyatakan bahwa artikel "Ada Tomy di Tenabang?" memenuhi kaidah

jurnalistik adalah fakta hukum yang kuat. Pendapat setara juga diutarakan saksi ahli

ilmu komunikasi Prof. Abdul Muis (kesaksian tanggal 23 Maret 2004), saksi ahli

bahasa jurnalistik Masmimar Mangiang (kesaksian 10 Mei 2004), maupun saksi ahli

jurnalistik Abdullah Alamudi (kesaksian 10 Mei 2004).


Alasan Bambang mengambil judul "Ada Tomy di Tenabang?" yakni dalam

dunia jurnalistik, judul dengan nama tokoh publik yang diberi tanda tanya termasuk

jenis penggoda. Pertanyaannya sekarang adalah apakah layak diloloskan dan

mengapa. Dia meloloskannya dengan pertimbangan karena judul ini: mencerminkan

isi tulisan, tidak menghakimi, dan menggoda orang untuk membacanya.

Jika keseluruhan artikel dibaca, maka terlihat dari alur ceritanya bahwa tulisan

ini adalah sebuah perjalanan sang penulisnya dari mulai mendengar isu Tomy Winata

membuat proposal renovasi pasar Tanah Abang sekitar tiga bulan sebelum kebakaran,

melacaknya hingga melihat sendiri proposal itu dan mendapatkan bantahan Direktur

Utama Pasar Jaya dan Tomy Winata, lalu menulis apa adanya. Karena Ahmad Taufik

melihat sendiri nama Tomy Winata pada proposal, sedangkan Tomy Winata

membantahnya, maka ada tiga kemungkinan: Ahmad Taufik bohong, Tomy Winata

bohong, atau ada penulis nama Tomy Winata dalam proposal melakukannya tanpa

sepengetahuan Tomy Winata.

Dalam hal ini, penulis melakukan prinsip praduga tak bersalah dengan menulis,

"Tomy Winata, 45 tahun, juga menyangkal keterkaitannya dengan rencana renovasi

Pasar Tanah Abang. Ia merasa belum pernah berbicara tentang hal itu. "Anda orang

keenam yang telepon. Saya belum pernah bicara dengan siapapun baik sipil, swasta,

maupun pemerintah," katanya geram.

"Saya ini engga makan nangkanya (tapi) dikasih getahnya. Kalau (mereka)

berani ketemu muka saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti atau data-data yang

mengatakan saya deal duluan, saya kasih harta saya separuh." Kemudian, dalam
alinea berikut, ditulis: Dugaan bahwa pasar grosir itu dibakar dibantah Kepala Pasar

Tanah Abang Buhar Tambunan ataupun Gubernur DKI Sutiyoso. Perusahaan Listrik

Negara juga menyangkal gardu listrik PLN dalam pasar sebagai penyebab kebakaran.

"Sumber kebakaran dari korsleting listrik masih abu abu, belum jelas," kata Margo

Santoso, General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang.

Namun, sulitnya mengajak ratusan pedagang menyetujui rencana renovasi pasar

membuat dugaan kesengajaan pembakaran "masuk akal". Bukankah kebakaran-

disengaja atau tidak--akan lebih memudahkan pelaksanaan rencana itu? Dan Tomy

pun kena getahnya.

Seperti diakui oleh saksi ahli bahasa Maryanto M. Hum., saksi ahli komunikasi

massa Dr. Ibnu Hamad Msi., saksi ahli jurnalistik Abdullah Alamudi, saksi ahli

bahasa jurnalistik Masmimar Mangiang dan saksi ahli psikologi Prof. Dr. Sarlito

Wirawan Sardjono, peribahasa "engga makan nangkanya dapat getahnya" secara

tegas membedakan bahwa orang yang "makan nangkanya" pasti berbeda dengan

orang yang "dapat getahnya". Oleh karena dalam artikel itu ditulis "dan Tomy pun

kena getahnya", maka si penulis telah menyimpulkan Tomy Winata tidak "makan

nangkanya". Artinya dengan sebuah kesimpulan sementara Tomy Winata

kemungkinan adalah korban tudingan karena ada pihak yang berkeinginan

mendapatkan proyek renovasi yang mencantumkan namanya. Maka, karena Tomy

Winata hanya dapat getahnya, sementara beredar isu yang menuding ia makan

nangkanya, membuat tema penulisan memang tentang nasib Tomy Winata. Itu

sebabnya nama Tomy Winata menjadi judul artikel.


Mengapa judul itu diberi tanda tanya? Karena memang penulisnya tidak

mendapatkan bukti keterlibatan langsung Tomy Winata pada renovasi pasar Tanah

Abang itu. Yang diyakini penulisnya adalah keberadaan proposal renovasi itu, karena

dilihat sendiri. Namun, sebagai wartawan profesional, Ahmad Taufik sadar bahwa

pencantuman nama Tomy Winata di proposal itu belum tentu atas izin si pemilik

nama, dan memang dalam wawancara yang berlangsung kemudian, Tomy Winata

membantah keterlibatannya pada proyek renovasi tersebut. Sebagai sosok yang

memiliki citra sebagai "orang kuat" ia mengaku cukup sering namanya

disalahgunakan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan. Belakangan,

dalam kesaksiannya di pengadilan, kepala sekuriti Artha Graha, Andry Siantar,

mengaku setiap hari ia disibukkan oleh laporan kegiatan penyalahgunaan nama

bosnya yang harus diklarifikasi. Dalam keadaan seperti ini, penggunaan tanda tanya

sebagai judul sudah tepat, karena menyiratkan pesan belum dapat dipastikan sehingga

jauh dari kesan menghakimi.

Bahwa judul "Ada Tomy di Tenabang?" menggoda orang untuk membaca

semata-mata karena dalam jurnalistik berlaku diktum "nama membuat berita" (name

makes news). Sebagai seorang pengusaha besar yang memiliki beberapa perusahaan

terbuka, Tomy Winata otomatis masuk dalam kategori tokoh publik (public figure).

Apalagi banyak pemberitaan media mengenai Tomy Winata hampir selalu

mengaitkannya dengan dunia judi kendati ia selalu membantahnya. Maka penggunaan

namanya sebagai judul berita pasti punya kekuatan menggoda calon pembaca.
Setelah membahas judul, mari kita kupas penulisan subjudul atau taicing

"Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp

53 miliar. Proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran".

Taicing ini diloloskan karena memenuhi ketiga persyaratan seperti yang berlaku

pada judul, yaitu sesuai dengan isi tulisan, tidak menghakimi dan menggoda

pembaca. Kesamaan syarat ini memang karena judul dan subjudul punya peran yang

boleh dikata serupa, hanya saja subjudul dirancang jauh lebih panjang. Maka ada

tempat untuk menampilkan proposal yang ditemukan penulis dan nilainya, namun

masih diberi kata "konon" karena dalam tulisan Tomy Winata membantah terlibat

dengan proyek renovasi tersebut kendati namanya tercantum di proposal itu. Kata

"konon" adalah informasi ketidakpastian apakah nama Tomy Winata dicantumkan

dengan atau tanpa izin pemilik nama.

Isi tulisan telah memenuhi kaidah jurnalistik yang berlaku karena dilakukan

secara berimbang, berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan dan keterangan para

pejabat yang mempunyai otoritas. Peredaran isu yang mencurigai keterlibatan Tomy

Winata dalam rencana proyek renovasi saya anggap telah menjadi fakta karena

beredar luas sehingga Tomy Winata sendiri sempat ditanya oleh lima orang lain

mengenai hal ini sebelum diwawancarai Bernarda Rurit dari Tempo. Asas praduga tak

bersalah juga telah dipatuhi karena penulis pada akhir tulisannya menyiratkan Tomy

Winata hanya "kena getahnya", alias ada pihak lain yang mendapatkan "nangkanya".

Sekarang mari kita uji artikel "Ada Tomy di Tenabang?" ini dengan standar

internasional yang diakui secara luas dalam dunia profesi jurnalistik global. Standar
ini dikembangkan oleh jurnalis tersohor Bill Kovach & Tom Rosenthal dan

dibukukan dengan judul Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen itu adalah:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Artikel "Ada Tomy di

Tenabang?" jelas sesuai dengan asas ini karena dimaksudkan untuk menguak

kebenaran terhadap isu terlibatnya Tomy Winata dalam proyek renovasi Pasar

Tanah Abang. Artikel ini mencari informasi ke berbagai sumber dan

menampilkannya apa adanya, kendati harus dibayar dengan serbuan massa dan

hujan gugatan perdata maupun tuntutan pidana.

2. Loyalisme pertama jurnalisme kepada warga. Justru karena loyal kepada warga

inilah majalah Tempo kini harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hitam

yang dekat dengan sejumlah penguasa sipil, militer maupun kepolisian.

3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Jelas artikel Tempo telah bersusah

payah menemui banyak sumber untuk melakukan verifikasi.

4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Tak ada satu

pun sumber berita artikel "Ada Tomy di Tenabang?" punya kaitan ketergantungan

dengan wartawan Tempo yang meliputnya.

5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; Artikel Tempo tentang

kebakaran dan renovasi Pasar Tanah Abang diturunkan dalam semangat ini.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan

warga; Ini sudah dijalankan sehari hari oleh Tempo.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan. Pasar

Tanah Abang yang terbakar adalah pasar terbesar di Asia Tenggara yang
melibatkan nasib ribuan pedagang di berbagai pelosok Indonesia bahkan hingga

ke luar negeri. Tak banyak hal yang lebih penting, menarik dan relevan ketimbang

menulis tentang terbakarnya pasar ini dan cerita di balik kegiatan pasar ini?

8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Komentar

para anggota Dewan Pers, tajuk harian Kompas dan pernyataan tokoh pers

Atmakusumah Astraatmadja tentang artikel Tempo mendukung hal in.

9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Ini sebabnya kami

yang terlibat dalam penulisan artikel Tempo bersikukuh mempertahankan

kebenaran yang kami yakini, meskipun risikonya tinggi, termasuk masuk penjara.

Sebagai pemimpin redaksi, Bambang Harrymurti selaku Pemimpin Redaksi

Majalah Tempo mempunyai hak prerogatif untuk menerbitkan atau tak menerbitkan

tulisan wartawan Tempo atau tulisan pihak lain di majalah Tempo. Oleh karena itu,

apabila ada konsekuensi hukum dari artikel yang diterbitkan di majalah Tempo, maka

Pemimpin Redaksi adalah penanggungjawabnya. Sebagai pertanggungjawaban

jabatan profesi. seperti yang dimaksudkan oleh pasal 12 Undang-Undang no 40 tahun

1999.

Pasal 61 ayat (1) KUHP berbunyi: Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan

pencetakan, penerbitnya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakan

disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya terkenal, atau setelah

dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh penerbit.

Namun, karena UU no 40 tahun 1999 adalah lex specialis untuk bidang pers

dan artikel yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah mengenai pemberitaan,
maka Pemimpin Redaksi mengambil alih pertanggungjawaban hukum penerbitan

artikel "Ada Tomy di Tenabang?", dan karena itu dua wartawan Tempo yakni Ahmad

Taufik maupun Teuku Iskandar Ali dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Ini sesuai

dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan: Kalau bagi suatu perbuatan yang

dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka

ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan.

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Bangsa Indonesia tidak hidup sendirian di dunia ini. Kita adalah bagian dari

bangsa dunia. Oleh karena itu, adalah wajar jika kita perlu belajar dari bangsa lain

dalam menggapai cita-cita konstitusi. Bila generasi pendahulu kita, seperti ditulis

dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945, telah berhasil "mengantarkan rakyat

Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur," maka kini menjadi tugas kita bersama agar keadaan

merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur itu dapat dicapai.

Berbicara soal kemerdekaan, pers nasional juga berada di dalamnya. Penulis

berpendapat bahwa kebebasan pers bukanlah sebuah kemewahan. Ini adalah inti

pembangunan yang berkeadilan. Media dapat mengekpos korupsi. Pers mengawasi

kebijakan publik dengan menyorot kebijakan pemerintah. Media memungkinkan

orang banyak menyuarakan pendapat-pendapat mereka yang beragam tentang

pemerintahan dan reformasi, dan membantu terciptanya konsensus untuk

mengadakan perubahan.

. Pers dapat memfasilitasi perdagangan, menyalurkan gagasan, dan inovasi

melewati batas-batas negara. Media berperan penting dalam pembangunan manusia,

menyebarluaskan informasi pendidikan dan kesehatan ke desa-desa terpencil.

Kondisi hukum adalah salah satu prasyarat agar pers di sebuah negara mampu

menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu hambatan yang perlu diperhatikan

adalah mengenai pasal-pasal tentang pencemaran nama baik dan penghinaan atau
fitnah. Pasal-pasal itu memang dibutuhkan untuk melindungi reputasi pribadi dan

untuk memastikan akurasi dalam pemberitaan namun dapat pula digunakan untuk

mengancam jurnalis, sehingga mengakibatkan terjadinya sensor diri (self-censorship)

oleh media.

Ada tiga persoalan pokok yang muncul dari masalah ini: (a) jika pencemaran

nama baik adalah pidana, bukan perdata, jurnalis umumnya cenderung melakukan

sensor diri. (b) Jika kebenaran tak dapat menangkis pasal penghinaan, jurnalis akan

membatasi kegiatan investigasinya; (c) Jika undang-undang melindungi jurnalis yang

melakukan investigasi untuk kepentingan publik dari ancaman pasal-pasal ini--

kecuali dilakukan dengan sangat ceroboh-maka kemerdekaan pers terjaga."

Pengakuan terhadap pentingnya kemerdekaan pers bagi kemaslahatan bangsa

inilah yang menyebabkan maraknya kecenderungan mendekriminalisasikan ancaman

hukum terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi dan kemerdekaan pers. Undang-

Undang Pers bukanlah UU yang sempurna, masih banyak kekurangannya untuk

secara tegas dinyatakan sebagai lex specialis.

Kendati demikian, bukan berarti tidak dapat mempraktekkan judicial activism

untuk menganggapnya lex specialis. Sebab masa reformasi memang membutuhkan

penyegaran kembali atas interpretasi hukum yang biasanya telah berusia puluhan

bahkan ratusan tahun.

Kalau Undang-Undang no 40 tahun 1999 tentang Pers bukan dianggap sebagai

UU khusus (lex specialis), maka kalangan pers akan berupaya agar kegiatannya tak
masuk dalam kategori pers seperti diatur dalam UU ini, sebab hanya akan menambah

ancaman hukuman saja, yaitu selain dari KUHP juga dari UU ini.

Oleh karena itu, pers akan membuat dirinya sebagai pamflet gelap saja, agar

hanya terncam oleh KUHP saja. Bukankah ini keadaan yang tak masuk akal sehat?

Oleh karena itu, memang tak ada pilihan lain kecuali menerapkan UU no 40 tahun

1999 ini sebagai UU khusus dan diterapkan sesuai pasal 63 ayat (2) KUHP yang

berbunyi: Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,

diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang

dikenakan.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2007, Beberapa Aspek Hukum Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ 2007. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Pustaka


Magister, Semarang.

_ _ _ _ _ _ _ _ 2007. Perkembangan Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka


Magister, Semarang.

Artadi, Ibnu, 2006, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas
Hukum Unswagati Cirebon.

Borjesson, Kristina, Mesin Penindas Pers, 2006, Terj. Yanto Musthofa, Q-Press,
Bandung

Dewan Pers, 2003, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga
Informasi Nasional, Jakarta.

_ _ _ _ _ _ _ _ 2006. Data Penerbitan Pers Indonesia, Dewan Pers Jakarta.

Girsang, Juniver, 2007 Penyelesaian Sengketa Pers, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

Hafid, Meutya, 2007, 168 Jam dalam Sandera, Hikmah, Jakarta.

Lubis, Todung Mulya, 2001. Soeharto VS Time Pencarian dan Penemuan Kebenaran,
Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Panjaitan, Hinca IP dan Siregar, Amir Effendi, 2004, 1001 Alasan UU Pers Lex
Spesialis, Serikat Penerbit Suratkabar, Jakarta.

UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, 2006, Pustaka Yustisia, Yogayakarta.

You might also like