Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Disusun Oleh
MUHAMMAD ALIF SANTOSA
104010153
Pembimbing
Dr. H. Oding Djunaedi, SH. MH
Waluyadi, SH. MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2008
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Pidana (KUHP).
..............................................................................................................
..............................................................................................................
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan
..............................................................................................................
..............................................................................................................
B. Saran
..............................................................................................................
..............................................................................................................
DAFTAR PUSATAKA
PENDAHULUAN
Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus pencemaran nama baik Tomy
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita bohong yang
dengan sengaja menimbulkan keonaran dalam masyarakat, pencemaran nama baik
Vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap
koalisi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi pers. Organisasi itu menilai
dikriminalisasikan oleh pengadilan karena tulisan atau pun gambar yang dibuatnya1.
Merdeka, Karim Paputungan, juga dihukum penjara lima bulan dengan masa
dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan karena
dalam masa reformasi ini benar-benar memasung kreatifitas pekerja pers, dan
konstitusi dan Undang Undang nomor 40/1999 tentang Pers. Ia menilai dengan
1
Akuat Supriyanto, Koordinator KAKaP dalam wawancaranya kepada Tempo, dalam rubrik Topik,
Senin, 16 September 2004
digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis menunjukkan, aparat hukum
Kecaman juga datang dari Sabam Leo Batubara, Ketua Harian Serikat Penerbit
Surat Kabar Pusat yang mengatakan, keputusan hakim itu sudah membingungkan
rakyat. Karena baru sekitar dua minggu lalu pengadilan tinggi memenangkan Tempo
dalam kasus sama. Tapi, seperti dikatakan Anggota Dewan Pers ini, sekarang
Sementara itu, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat, M Max Kwak
demokrasi yang sudah dicapai. Padahal, pers adalah elemen yang sangat penting
keunggulan jurnalistiknya3.
Majelis hakim terlalu memaksakan penggunaan pasal-pasal pidana dalam kasus ini.
Penggunaan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dibuat pada jaman
2
Tempo Interaktif 16 September 2004
3
Tempo Interaktif, 16 September 2004
orang diserang dengan tulisan atau pengeras suara di tengah keramaian. Niat jahat itu,
datang sendiri dari si pelaku dan dilakukan sendiri. Tapi ini pers, kerja jurnalistik
secara tim. Perbuatan Tempo tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik,
kritik dan saran untuk kepentingan umum. Jelas, pasal KUHP tidak tepat digunakan
dalam kasus ini.Untuk itu, Todung yang juga merupakan pengacara Tempo mengajak
semua pihak untuk berjuang bersama. Sebagai praktisi hukum dia pun melakukan
Indonesia, 31 Agustus 2007 lalu yang memvonis majalah Time membayar ganti rugi
Serikat (AS) itu dinilai telah mencemarkan nama baiknya. Selain itu, time juga
diwajibkan meminta maaf melalui tiga kali publikasi di media cetak Indonesia dan
beberapa Time di Asia. Kontan putusan itu mengguncang dunia pers Indonesia.
Hampir seluruh media massa di negeri ini menurunkan putusan yang dinilai
kontroversi itu sebagai sebuah berita utama (headline). Sesudah putusan itu diketahui
publik, berbagai ulasan pakar serta praktisi hokum dan tokoh pers muncul mewarnai
4
Kompas Cyber Media, 21 Januari 2004, Koran Tempo Tak Akan Bayar Tomy Winata
halaman opini di sejumlah media massa terkemuka5. Pengaduan atau pemindanaan
Indonesia merosot. Kemerosotan kebebasan pers tahun ini, tidak lepas dengan adanya
Presiden Soehato kepada majalah Time Asia dengan hukuman denda Rp. 1 triliun.
Dalam negara hukum modern, perlindungan terhadap hak asasi warga negara
merupakan perinsip utama yang harus ada dan ditegakkan. Implementasinya salah
satunya dengan cara menjamin hak atas kebebasan untuk memperoleh informasi,
kemerdekaan pers di tanah air kita, baik di era orde baru maupun di era reformasi
dalam arti belum adanya jaminan tidak mengalami distorsi dalam implementasinya,
bersifat sangat mengurangi atau mengganggu terhadap kemerdekaan pers itu sendiri.
5
Prija Djatmika, PK Time Asia demi kebabasan, Jawa Pos, Jum'at (28/9/2007). Dalam artikelnya
menyebutkan, pada tahun 2002, di era semangat reformasi masih panas-panasnya, kebebasan pers di
Indonesia dicatat oleh perserikatan wartawan Australia, ada di peringkat ke-57 diantara 139 negara
yang dipantau. Dia berpendapat ketika pers banyak diperkarakan di pengadilan dengan tuduhan
pencemaran nama baik, peringkat kebabasan pers di Indonesia terus merosot
Sesungguhnya, apa yang dilakukan para pengacara Soeharto, yakni dengan
memperkarakan kasus pencemaran nama baik majalah Time Asia kepada kliennya
melalui gugatan perdata, sudah sesuai dengan semangat reformasi yang sejauh
Belum pernah ada media di dunia ini yang dihukum denda Rp. 1 triliun.
pers, tetapi juga mengancam kualitas kebebasan pers di negara ini. Sebagaimana
ancaman pidana penjara terhadap kerja jurnalistik yang akan membuat para wartawan
mengikutinya selalu.
Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung
kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti
ditegaskan dalam pasal 3 UU Pers (UU No. 40/1999). Yakni, pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan
kepentingan dan nama baik tokoh publik. Baik tokoh itu duduk di lembaga
menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan
kepentingannya.
B. Identifikasi Masalah
Dalam penulisan ini yang menjadi identifikasi masalah adalah sebagai berikut :
baik?
Ada pun yang menjadi maksud dan tujuan dalam penulisan ini adalah :
A. Untuk mengetahui bentuk pemberitaan yang dimuat Majalah Tempo Jakarta yang
D. Kegunaan Penelitian
media massa dalam menyelesaikan kasus dugaan pencemaran nama baik atas
berita yang ditulis. Hal yang suma juga disumbangkan kepada aparat penegak
hukum.
E. Kerangka Pemikiran
dapat dipidana ada sebuah pemberitaan yang berjudul “Ada Tomy di Tenahabang”.
Karena dalam UU Pers No. 40 tahun 1999, Pasal 5 ayat 2 dan 3 sudah diatur
mengenai hak jawah. Sehingga, sudah jelas ada saluran bagi pihak-pihak yang merasa
diselesaikan dengan hak jawab tanpa melalui proses peradilan pidana, terkecuali hak
Tempo tidak melayani hak jawab terhadap pihak yang merasa dirugikan atas sebuah
pemberintaan.
nampaknya belum dapat dimanfaatkan secara baik dan optimal, karena masih banyak
komunitas insan pers sendiri. Kondisi ini sudah barang tentu sangat memprihatinkan,
khususnya distorsi yang dilakukan oleh komunitas insan pers sendiri yang notabene
dinilai lebih memahami kode etik jurnalistik. Indikatornya, akhir-akhir ini banyak
terjadi klaim dari masyarakat berupa tuntutan-tuntutan hukum terhadap insan pers
atau media, sehubungan adanya pemberitaan yang dinilai sumir dan kurang berdasar
insan pers atau media yang dinilai melakukan tindakan melawan hukum.
Dalam hal ini penulis menelaah kasus pidana pencemaran nama baik pengusaha
pidana maupun perdata. Gugatan hukum itu berimplikasi pada peranan pers selaku
kontrol sosial melalui perberitahuan. Maka dengan pers dimejahijaukan sama artinya
Hak atas ganti rugi seseorang bila merugi karena perbuatan orang lain memang
telah jelas diatur pasal 1365 KUHPerdata yakni tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
Hak menuntut ganti rugi atas rasa tersinggung karena penghinaan orang lain
pun disediakan pasal 1372 KUHPerdata yakni tuntutan perdata tentang hal
penghinaan nama baik. Dalam menilai satu dan lain, hakim harus memperhatikan
kita untuk mempertanyakan “apakah sebenarnya pengadilan itu?”. Karena putusan itu
bisa dibilang tidak sesuai dengan nalar hukum (legal reasoning). Guru besar Emeritus
mafia di pengadilan. Seandainya suatu saat mafia dan korupsi di pengadilan bisa
ditaklukkan. Adakah reformasi selesai sampai di situ?. Masih ada agenda besar,
antara lain membuat pengadilan menjadi suatu lembaga dan kekuasaan yang benar-
melakukan perbuatan melawan hukum, sampai saat ini masih terjadi kontroversi,
apakah yang berlaku undang-undang yang bersifat lex spesialist atau undang –undang
yang bersifat lex generalist dan atau apakah yang berlaku Undang-undang No 40
tahun 1999 tentang Pers atau KUHPidana. Karena Undang-undang pokok Pers tahun
1999 hanya mengatur persoalan hak jawab. Terkait kontroversi seputar lex specialist
dan lex generalis, seharusnya tidak perlu terjadi apabila secara cermat memperhatikan
landasan filosofis dibentuknya suatu ketentuan yang bersifat khusus, dimana suatu
undang-undang yang bersifat khusus dibuat untuk memenuhi suatu persoalan yang
memiliki karakteristik khusus dan atau mengandung kepentingan yang memiliki nilai
instrinsik tersendiri.
Oleh karena itu dalam undang-undang yang bersifat khusus (lex specialist).
khusus, maka insan pers ketika menjalankan profesi jurnalistiknya tindak tunduk
6
Satjipto Rahardjo, Apakah Pengadilan Itu?, Kompas, Senin (24/9/2007). Hakim yang baik akan
memasang telinganya sedemikian rupa sehingga dapat mendengar degub jantung bangsanya yang
berbicara tentang penderitaan, cita-cita, serta harapan-harapannya. Hakim diharap dapat menyuarakan
hal-hal itu, yang sering disebut sebagai suara-suara yang tidak terdengar. Inilah yang dimaksud dengan
nurani pengadilan.
pada instrumen hukum lain, melainkan hanya pada Undang-undang Pers7. persoalan
yang muncul kemudian apabila media memberikan sesuatu yang dinilai melawan
hukum, maka siapakah yang harus bertanggungjawab, insan pers yang menulis atau
ada, seolah terjadi dualisme antara Undang-undang Pers tersebut dikatakan bahwa
yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Hal ini berarti apabila terjadi
sengketa hukum, baik perdata maupun pidana, maka yang bertanggungjawab adalah
pimpinan redaksi.
Namun demikian, pasal 15 ayat (4) UU No. 11 tahun 1996 menyatakan bahwa
anggota redaksi dan kepada penulis. Hal ini berarti UU Pers menganut sistem
pertanggungjawaban terbatas dalam UU Pers sudah sejalan dengan asas hukum yang
atas kerugian yang ditimbulkan oleh anak buahnya dalam menjalankan profesinya,
7
Hinca IP PAnjaitan dan Amir Effendi Siregar, 1001 Alasan Undang-Undang Pers Lex Spesialis,
Serikat Penerbit Surat KAbar, Jakarta 2004, hal 6. Putusan Mahkamah Agung No. 1608 K/PID/2005
tanggal 9 Februari 2006.
Maka, apabila insan pers terbukti melakukan perbuatan melawan hukum,
semisal melakukan tindakan pencemaran nama baik, suap dan lain sebagainya, sudah
barang tentu akan dimintai pertangungjawaban personal sesuai asas hukum pidana
yang berlaku, dan oleh karena kepada yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana
digaris bawahi di sini, bahwa delik pers itu sendiri sebetulnya hanya istilah atau
pengertian umum dan bukan pengertian atau terminologi hukum. Dalam ilmu hukum,
kita ketahui tidak dikenal istilah “delik pers”. Hukum hanya mengenal delik formil,
materil, aduan, delik umum dan delik khusus. Jika kita buka pasal-pasal KUHP, kita
tidak akan menjumpai ketentuan umum yang dapat digunakan untuk mengkualifikasi
suatu perbuatan pidana sebagai “delik pers”, termasuk delik khusus yang berlaku bagi
Munculnya kasus-kasus hukum pers telah memunculkan dua kubu yang saling
kebebasan pers melalui jalur hukum pidana (KUHP) di luar UU Pers. Kubu ini
umumnya diwakili oleh insan pers. Sedangkan kubu yang lainnya adalah pihak yang
merasa bahwa pers sudah kebablasan sehingga perlu diterapkan hukum pidana. Kubu
ini umunya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, terkadang hakim dan pihak
masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers. Alhasil, terjadilah perang pendapat
hukum9.
8
Ibnu Artadi, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas Hukum Unswagati Cirebon
2006, hlm 254.
9
Juniver Girang, Penylesaian Sengketa Pers, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2007, hlm 7.
Selama 62 tahun ini payung hukum pers belum melindungi kemerdekaan pers.
UU Pers sebagai payung hukum masih lemah. Pemberitaan kontrol pers dapat
dituduh sebagai pencemaran nama baik berdasar KUHP. Karena kemerdekaan pers
berdasar undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 dan bersumber dari kesepakatan
politik pemerintahan serta DPR saat itu statusnya bisa disebut legislatif right maka
nasibnya bisa diubah oleh kompromi politik antara pemerintah dan DPR dalam
Kembali pada persoalan distorsi kemerdekaan pers, paling tidak ada 4 (empat)
birokrasi, masyarakat dan komunitas insan pers sendiri11. Distorsi dari peraturan
belum sepenuhnya menjamin adanya kemerdekaan pers. Dan atau bisa jadi peraturan
interpretatif dalam implementasinya. Disamping itu dapat juga terjadi, PP sudah ada
10
Leo Batubara, Revisi UU Pers atau Hak Konstitusional, Kompas, Jum'at (29/6/2007). Pers merdeka
akan selalu terancam bila masih diatur PP dan UU. Pasal 28 UUD 1945 asli dan pasal 28 F
Amandemen II adalah pasal-pasal banci karena tidak berdaya menghadapi peraturan dan perundang-
undangan yang mengekang kemerdekaan pers. Ke mana arah pers merdeka?. Bila yang diinginkan
memperkokoh kemerdekaan pers, solisonya dengan mengamandemen konstitusi agar kemerdekaan
pers mendapat payung hukum berstatus hak konstitusional. Merevisi UU Pers berarti memberi peluang
kembalinya system penyelenggara Pers Orba.
11
Ibnu Artadi, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas Hukum Unswagati,
Cirebon 2006, hlm 251.
Kondisi demikian pada akhirnya akan menyulitkan bagi insan pers dalam
umumnya terjadi karena adanya perbedaan persepsi perihal makna kemerdekaan pers
itu sendiri. Di satu sisi menurut Undang-undang dan kode etik jurnalistik apabila ada
melalui hak jawab, di sisi lain masyarakat menganggap hak jawab dinilai tidak
Idealnya hal itu tidak perlu terjadi, andaikata masyarakat keberatan atas
pemberitaan suatu media massa dan menilai hak jawab kurang memuaskan, maka
jalur hukum.
Distorsi dari komunitas pers sendiri pada umumnya terletak pada kurangnya
pemberi arah bagi insan pers berkaitan dengan apa yang seharusnya dan tidak
Kiranya kemerdekaan pers bukan tanpa batas, absolut dan mutlak, tetapi
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik jurnalistik. Untuk itu pers
sebagai lembaga masyarakat yang mempunyai fungsi kontrol sosial dalam
menahan diri untuk tidak terjebak pada pemikiran-pemikiran negatif yang nota bene
F. Metode Penelitian
A. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek penelitian ini dibatasi pada penelaahan UU No. 40 tahun
1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kasus Tommy Winata melawan Tempo
B. Pendekatan Penelitian
dengan kasus pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winata melalui pemberitaan
majalah Tempo, dalam hal pertanggungjawaban pidananya. Sebab dari kasus tersebut
menimbulkan terjadinya distorsi kemerdekaan pers. Hal ini menjadi sebuah telaah
Berkaitan dengan obyek yang diteliti, mencakup bidan normatif dan bidang
(UU No. 40 tahun 1999). Bidang empiris meliputi faktor –faktor yang
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Untuk data primer yang dipergunakan diperoleh dari penelitian empiris atas
putusan PN, PT dan MA yang berbeda satu sama lain. Sedangkan data sekunder yang
Bertolak dari jenis dan sumber data di atas maka teknik pengumpulan data yang
a. Studi dokumen, yakni penelitian terhadap berbagai data sekunder yang berkaitan
dengan obyek penelitian baik dalam bentuk data sekunder maupun data dari
sumber primer.
c. Observasi, hal ini dilakukan untuk menunjukkan gambaran apa adanya secara
tingkat PN, PT dan Mahkamah Agung dalam kasus pencemaran nama baik
Teknik yang digunakan untuk menyajikan data yang diperoleh dalam penelitian
ini adalah teknik kualitatif. Teknik kualitatif dipergunakan untuk menyajikan data
berupa informasi, pendapat, konsep, doktrin dan analisa hukum yang ditemukan
b. Analisa Data
pada kasus pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winatan oleh Majalah
berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah sebagai kerangka acuan
G. Sistematika Penulisan
Penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang masing-masing bab terdiri
dari :
Bab I : Dalam bab ini penulis membahas mengenai, Latar Belakang Indentifikasi,
Bab II : Dalam bab ini mengemukakan soal Tinjauan Pustaka, Peranan Pers
BAB III : Tinjauan Lapangan, Sejarah Singkat Kantor Majalah Tempo, Struktur
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi Latar Belakang Kasus Tempo VS
Tommy Winata, Pemberitaan Tak Seimbang, Penggunaan Hak Jawab Belum Diterima
Tentang Hak Jawab, Menjatuhkan Sanksi Bagi Pihak Yang Menghalangi Atau
TINJAUAN PUSTAKA
(KUHP).
Pers adalah salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbit
cetakan yang lain bersifat sebagai sarana penyebarluasan informasi. Berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana pers dalam skripsi ini adalah semua kejahatan yang
rumusan yang pasti tentang pers. Dengan demikian untuk mengetahui kriteria yang
harus dipenuhi oleh suatu kejahatan melalui pers dapat dikatakan sebagai delik pers.
Oemar Seno Adji dengan berpedoman kepada pendapat dari W.F.C. Van
Hattun memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu delik pers
2. Perbutan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan.
12
Delik-delik Pers di Indonesia Bab III Hal. 66
3. Perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat
dengan tulisan-tulisan.
Kriteria ketiga itulah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik
pers. Tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutan
Pendapat lain soal delik pers disampaikan R.Moegono. Menurutnya, delik pers
a. Perbuatan yang diancam hukuman harus terdiri dari pernyataan pikiran dan
perasaan orang.
c. Harus ada publikasi dan unsur ketiga inilah yang paling menentukan, karena tanpa
Dari kedua pendapat di atas, jelas bahwa suatu delik baru dikatakan memenuhi
syarat sebagai delik pers, jika perbuatan kejahatan itu mengandung pernyataan
pikiran atau perasaan seseorang yang kemudian diwujudkan dalam bentuk barang
Delik pers dalam KUHP bukanlah suatu delik yang diatur suatu bab tertentu,
melainkan delik-delik yang tersebar dalam beberapa pasal dalam KUHP. Delik-delik
tersebut adalah penyiaran kabar bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 Tahun 1946);
13
R.Moegono, Kumpulan Kuliah Delik Pers, Tindaka Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomo Pada
Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (Jakarta, 1975) hal. 14.
pembocoran rahasia negara dan rahasia pertahanan keamanan negara (Pasal 112 dan
113 KUHP); penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, terhadap raja atau
kepala negara sahabat, dan terhadap wakil negara asing (Pasal 134, 134 bis, 137, 142,
143, dan 144 KUHP); permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah,
agama, dan golongan (Pasal 154, 155, 156, 156a, dan 157 KUHP); penghasutan
(Pasal 160 dan 161 KUHP); penawaran delik (Pasal 162 dan 163 KUHP); penghinaan
terhadap penguasa atau badan umum (Pasal 207 dan 208 KUHP); pelanggaran
seseorang (Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP); pemberitahuan palsu (Pasal 310
KUHP); penghinaan atau pencemaran nama orang mati (Pasal 320 dan 321 KUHP);
pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519 bis, 533, dan 535 KUHP).
Dalam penyelesaian sengketa pers di pengadilan, maka yang dikenal selama ini
dunia pers dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama
delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.
berbuat". Jadi jika pemberitaan suatu media dinilai mencemarkan nama baik
seseorang, maka yang bertanggung jawab adalah siapa yang secara organisatoris
Persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam kasus pers adalah penegakan
hukum perdata dan pidana terhadap dunia pers harus proporsional. Selain agar tidak
berbenturan dengan asas-asas hukum lain yang berlaku, juga agar tidak sampai
keberlangsungan pers itu sendiri atau menjadikan pers itu mandul dan tidak
berfungsi. Hal itu tentu saja menjadi perhatian dari para hakim-hakim kita yang
terhormat.
Di tahun 2004 kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers
bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi
merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum
dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E
Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Negara telah mengakui bahwa kebebasan
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa
semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan. Asas persamaan di hadapan
hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen
Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau
memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap
Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh
telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam
membuat pemberitaan. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung
jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat
mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar
tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat
menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab. Yang menjadi masalah dalam
pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk
memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita
(news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan
unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu
ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang
pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika
tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa
denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah
UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk
pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk
dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang
tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang
UU Pers tidak mengatur secara tegas mengenai pihak yang harus menjadi
hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan
tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah
mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional
dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai
dengan perananan pers nasional. Menurut pasal 6 UU No.40 tahun 1999, peranan pers
adalah :
benar;
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, Media adalah sarana yang dipergunakan oleh
Media dapat di kategorikan dalam beberapa hal yaitu media antar pribadi, media
Media antar pribadi, media ini bisa berbentuk surat, telepon, ataupun kurir
kelompok uintuk saling berinteraksi. Media ini bisa berupa seminar, konferensi serta
rapat-rapat tradisional yang sering kita temukan didesa-desa dengan berbagai nama.
yang berinteraksi langsung. Media ini bisa berupa rapat akbar, dialog publik dan
orang (massa) yang tersebar tak tidak diketahui dimana meraka berada Media ini
berupa surat kabar, film, televisi , dan radio. Media ini bersifat melembaga, satu arah,
Dalam memahami tentang media dalam suatu komunitas maka kita tak bisa
lepas dari apa yang sering disebut pers. Pers merupakan usaha dari alat komunikasi
14
Drs. Onong Uchjana Effendy, MA, Kamus Komunikasi,.
15
H.Frazier Moore, Hubungan Masyarakat, Prinsip, Kasus dan Masalah
massa untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan penerangan, hiburan,
keinginan untuk mengetahui berita yang telah atau akan terjadi di sekitar mereka
Diskripsi pers pun dibedakan menjadi dua. Pers dalam arti sempit yang
didalamnya termasuk surat kabar (mingguan, harian..), majalah yang tercetak dan
Raharjo, 1998) Paus Leo XIII memandang pers sebagai alat perantara massa gereja,
penolong vitalitas kesegaran, keadilan kebenaran kembali ajaran agama waktu itu. 17
Belanda, Tionghoa, Arab dan India sedangkan Indonesia masih berada dalam
berbagai suku. Pembedaan golongan pers pun kemudian dibedakan sesuai dengan
golongan penduduk yang ada dengan pertimbangan bahasa penyelenggara pers dan
Media informasi merupakan suatu hal yang sangat berperan dan penting dalam
dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada awal kemerdekaan dan perjuangan
konsolidasi untuk aksi. Selain itu pada jauh hari sebelum kemerdekaan, sebelum
16
Drs. Taufiq, 1997
17
Prof.Umar Seno Adji, 1997
perjuangan bahkan, media telah berperan dengan memberikan gambaran-gambaran
atau kehidupan akibat penjajahan Belanda. Diakui atau tidak media dapat membentuk
watak dan karakter bangsa Indonesia. Terbukti ada perbedaan kontras watak bangsa
Indonesia antara masa pra kemerdekaan dan jauh sebelum masa perang kemerdekaan
dengan watak bangsa Indonesia saat ini. Watak bangsa Indonesia (meski istilah
Indonesia saat itu belum ada) pada masa pra kemerdekaan yang terpecah-pecah
Namun saai ini watak bangsa Indonesiapun mulai bergeser dengan melupakan
Belajar dari masa lalu tentunya kita tidak ingin bila pers dan media kembali
Hal lainnya tentunya kita menjaga agar dengan media masyarakat tidak serta
merta menerima apa yang ada didalamnya. Untuk hal ini tentunya harus dipersiapkan
Undang-Undang Pers dan penyiaran yang berpihak pada rakyat dengan selalu
Di antara sejumlah tanggung jawab yang diemban oleh pers yang bebas, tugas
pers yang paling penting untuk ditegakkan adalah mencegah agar jangan sampai
bagian mana pun dari pemerintah menipu masyarakat18. Saat ini banyak kritikus yang
paling tajam memberikan peringatan bahwa ancaman yang paling serius terhadap
Pada pemilihan kepala daerah, media selalu menyoroti hal-hal negatif tentang
anehnya tak pernah menjadi perhatian media. Boleh jadi, hal ini disebabkan karena
medialah yang mendorong tren anti demokrasi. Ini sebuah ancaman keterpurukan
sebuah media yang kemudian bisa mematikan fungsi media sebagai sarana informasi
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan
perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers
politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem
itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada.
Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.
18
Danny Schechter, editor eksekutif Mediachanel.org dan salah satu produser CNN, dalam bukunya
yang berjudul “Matinya Media”.
Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan
keterikatan tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan
Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu
tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat
Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan
kontrol sosial.
Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit
dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan
demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan
Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas rambu itu
sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era
regim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan
dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu
dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan
tidak ada pembreidelan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor
akan terlihat, bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk melegitimasi
berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers. Sidang Pleno XXV
Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila yang orientasi, sikap dan
1945."
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Kalau
mengacu buku Sistem Pers Indonesia19, disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers
Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD
1945. Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan
pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi
pembangunan.
nasional. Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak
program regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers
19
(Atmadi:1985)
sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak
sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah. Lalu siapa yang berhak
menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan
Dan karena pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-
politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan
pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo,
Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "kontrol sosial" dan
berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers
yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk
Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "kontrol sosial"
Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar.
informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir
Pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba. Pers itu
bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung
semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa
saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang
bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan
kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "senjata" untuk
yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya'
dimaksudkan.
Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan
pemerintah.
Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah
didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-
event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas
berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan
Pers
sebagai media masa, sebagai media politik, maupun sebagai penyalur lidah rakyat
Di sisi lain kepentingan pemilik media masa tersebut ikut berperan dalam setiap
berita yang dikeluarkan media dan dikonsumsi oleh rakyat baik itu melalui media
cetak, maupun media elektronik. Pers boleh dan berhak mengambil setiap momen
atau kejadian yang berhubungan dengan kepentingan khalayak banyak. Terlebih pers
sekarang di Indonesia mengupas habis sisi hidup selebiritis maupun publik figur yang
Karena kita selalu senang melihat sisi hidup orang lain, baik itu selebritis maupun
kemerdekaan pers di Indonesia. Kebebasan pers juga merupakan prinsip dasar yang
dijamin dalam UUD dan sistem kenegaraan Republik Indonesia. Hak jawab dan
jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang
diinginkan oleh masyarakat pers pun akhirnya didapat tetapi menjadi satu-satunya
UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan
menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan
juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau
kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers. Meski
menyatakan kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya
demokrasi dan negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil
dan negara berdasarkan hukum. Proses pemidanaan terhadap pers tidak mengandung
Sampai saat ini masih terdapat empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan
pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktuf
Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus pencemaran
nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus
penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian
Ujian terhadap UU Pers untuk mampu menyandang gelar lex specialis masih
menemui jalan panjang dan berliku. Dibutuhkan suatu terobosan untuk mengukuhkan
kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UUD RI dan juga instrumen hukum
Terobosan ini dapat dilakukan melalui revisi UU Pers. Tetapi revisi ini akan
mengundang reaksi keras dari anggota masyarakat pers, karena pada umumnya
masyarakat pers memandang curiga bahwa revisi UU Pers justru akan mengundang
campur tangan pemerintah seperti yang telah terjadi dalam UU No 32 Tahun 2002
tuntutan pidana maupun gugatan perdata yang melanda media dan jurnalis di
Indonesia dan juga merespon kebuntuan perdebatan tentang penting tidaknya revisi
terhadap UU Pers.
terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist
20
LBH Pers, 26 April 2007, Hukum Online
Meski untuk kasus gugatan perdata Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa
penyelesaian yang disediakan melalui UU Pers harus ditempuh terlebih dahulu (kasus
Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri
Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi) namun sejatinya
UU Pers juga tidak memberikan kewenangan yang cukup kuat kepada Dewan Pers
Kewenangan Dewan Pers yang diberikan oleh UU Pers dalam hal penanganan
sengketa pemberitaan hanyalah sebagai lembaga konsiliasi, oleh karena itu bentuk
”putusan” dari Dewan Pers adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).
Dalam konteks hukum putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para
Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa ada pihak yang
tidak menginginkan penyelesaian melalui Dewan Pers, disamping itu masih kuatnya
keinginan dari beberapa pihak yang tidak menginginkan adanya kemerdekaan pers
melalui penguatan fungsi dan peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian
specialist tidaknya UU Pers menjadi hilang dan juga dapat sebagai senjata bagi
UU Pers. Karena UU Pers tetap berlaku namun pada saat yang sama kedudukan
Dewan Pers semakin diperkuat sebagai tempat pengadilan pers di Indonesia. Untuk
menjadi hilang, karena Dewan Pers menjadi pintu masuk pertama untuk melakukan
penyaringan terhadap adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Selain itu RUU P4
juga dapat menetapkan pidana denda sebagai satu-satunya hukuman pidana bagi
itu, terlibat beberapa orang yang secara langsung berkecimpung di dalamnya antara
lain :
2. Penerbit;
3. Pencetak;
4. Pengedar;
Masalah yang terjadi jika terjadi suatu tindak pidana pers ialah siapa sajakah
yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut? Untuk menjawab masalah
itu kita tinjau satu persatu peranan orang-orang tersebut jika terjadi suatu delik pers.
merekalah yang mula-mula harus bertanggung jawab atau dapat dikatakan sebagai
pelaku utama (dader) terhadap suatu deli pers, seperti dimaksudkan oleh pasal 55
tulisan, gambar, potret atau lukisan yang dijadikan berita tersebut dibuat dalam
keadaan terpaksa yang tak dapat dihindarkan karena adanya suatu ancaman atau
paksaan dari pihak lainseprti termuat dalam pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana atau dapat pengecualian seperti termuat dalam pasal 44 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
2. Penerbit
(uitgever) sebagai demikian tidak dituntut jika pada barang cetakan itu disebutkan
nama dan tempat tinggalnya dan sipembuat itu sudah diketahui, atau pada waktu
diberi peringatan yang pertama kali sesudah penuntutan muali berjalan
b. Peraturan ini tidak berlaku, jika sipembuat kejahatan pada waktu barang cetakan
Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita lihat bahwa seorang penerbit tiidak akan
1) Pada barang cetakan telah dimuat nama dan tempat tinggal penerbit;
sesudah penuntutan sudah berjalan pada waktu itu diberi peringatan pertama
Pembuatnya dapat dituntut pada waktu diterbitkan tulisan, gambar atau potret
oleh penerbit. Artinya sipenulis atau penggambar dari pemberitaan tersebut tidak
dalam sakit ingatan atau tidak meninggal dunia pada waktu pemberitaan itu
diterbitkan.
Hukum Pidana tersebut tidak dapat dipenuhi maka penerbit dapat dituntut
"Barang siapa menerbitkan suatu tulisan atau gambar yang dapat dihukum
menurut sifatnya, dihukum selama-lamanya satu tahun atau empat bulan atau
jika;
Orang yang membuat tulisan atau gambar itu tidak dikenal atau tidak
diberitahukan dalam permintaan yang pertama kali setelah ada perintah perkara itu
untuk dikemukakan kepada hakim. Orang yang menerbitkan itu sudah mengetahui
atau sudah menduga bahwa orang yang membuat tidak dapat dituntut atau tinggal
Orang yang menerbitka itu sudah mengetahui atau dapat menduga bahwa orang
yang membuat tidak dapat dituntut atau tinggal di Negara Indonesia pada ketika
Dari kedua pasal tersebut diatas diatur secara jelas kedudukan penerbit dalam
tindak pidana tersebut, apakah sebagai pembantu atau peserta. Hal ini sangat penting
pembantu dalam suatu tindak pidana. Sebagai peserta ancaman hukumannya sama
sepertiganya dari ancaman yang dijatuhkan kepada pelaku. Dalam persoalan tersebut
penulis menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh "R. Moegono, yang condong
memasukan penerbit sebagai peserta pelaku (mededader) karena delik pers hanya
dapat terjadi setelah adanya kerja sama antara penerbit dengan penulis/ pengarang/
1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan
terdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Dengan
jawab jika terjadi suatu tindk pidana pers. Dalam hal ini kita harus
1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan
perusahaan.
hukum mengenai sebuah tulisan kepada anggota redaksi yang lain atau
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomot 4 Tahun 1967 dan Undang-
siapa pertanggungjawaban hukum dilimpahkan ketika berita itu diterbitkan. Bisa pada
Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, anggota redaksi atau bahkan pada penulisnya,
3. Pencetak
cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggal pencetak dan orang
diberitahukanoleh pencetak.
(2) Peraturan ini tidak berlaku, jika pada waktu mencetak itu orang yang
Indonesia.
"Barang siapa mencetak suatu tulisan atau gambar yang dapat dihukum karena
sifatnya, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan
selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500.,- jika orang
yang menyuruh mencetak tukisan atau gambar itu, tidak dikenal atau tidak
diberitahukan pada permintaan yang pertama kali setelah ada perintah perkara itu
a. Orang yang mencetak itu sudah mengetahui atau dapat menduga bahwa orang
yang menyuruh mencetak itu dapat dituntut atau tinggal diluar Negara Indonesia
Dipelajari secara mendalam kedua pasal tersebut (Pasal62 dan Pasal 484
KUHP) dapat kita kemukakan bahwa pada dasarnya ketentuan kedua Pasal itu hampir
sama dengan Pasal 61 dan 483 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang
pencetaknya, sama halnya dengan penerbit, pencetak akan dituntut apabila ia:
c. Tidak mengetahui atau tidak memberitahukan pada teguran pertama setelah ada
ingatan atau karena adanya alasan lainnya seperti termuat dalam Pasal 44 Kitab
Disamping pemilik percetakan ada karyawan atau pegawai percetakan yang ikut
serta dalam proses percetakan tersebut. Dengan demikian akan timbul permasalahan,
apakah karyawan atau pegawai percetakan itu ikut bertanggung jawab dalam suatu
tindak pidana pers. Mengenai masalah ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung
Nomor 52/K/Kr/1955 dalam perkara Goei Po An, Pimpinan Umum harian "Trompet
alat yang tidak berkehendak apa-apa (kecuali semata-mata mencari nafkah) dan
karena itu menurut Ketentuan Hukum Pidana Indonesia tidak bertanggung jawab (tak
tersebut pegawai atau buruh percetakan tidak dapat dituntut dalam tindak pidana pers.
4. Pengedar
sebagainya dapat dituntut berdasarkan delik penyebaran seperti termuat dalam Pasal
137, 155, 157, 208, Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang, permusuhan,
lainnya.
D. HAK TOLAK ATAU HAK INGKAR
Umum, Pemimpin Redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak.
Penulis yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah wartawan. Hak tolak (ingkar) ini
adalah hak untuk membebaskan diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ,
seperti termuat dalam pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu
rahasia. Maksud adany pasal tersebut diatas adalah untuk melindungi sumber
pemberitaan. Menurut Oemar Seno Adji, hal tersebut merupakan suatu aspek
stafprocesrechtelijk dari persoalan pers dan timbul karena adanya suatu contraverse
antara pertimbangan-pertimbangan etis dari pers, yang tidak bersedia untuk nenyebut
supaya seorang saksi dalam suatu proses pidana harus memberikan keterangannya
menempatkan kedua belah pihak dalam posisi yang berhadapan satu sama lain
untuk meninggalkan apa yang dinamakan kode etik untuk tidak menyebut sumber
Kalau kita lihat ketentuan diatas hak tolak yang dimaksudkan adalah hak tolak
sebagai saksi bukan sebagai terdakwa. Tetapi hak tolak ini tidaklah bersifat mutlak,
1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan
21 Tahun 1982 ), menyatakan bahwa hak tolak tersebut tidak belaku pada perkara-
TINJAUAN LAPANGAN
Mingguan Tempo yang berlokasi di Jalan Proklamasi No.72, Jakarta, itu tak bisa
dan masih banyak lagi. Walaupun pernah ditutup, pada 21 Juni 1994 oleh
Saat ini majalah Tempo, The Leading News Magazine di Indonesia dengan
bulan Maret 1971, majalah ini adalah pemegang rekor media yang paling sering
dengan energi darah muda, tidaklah mudah bagi Tempo untuk dapat kembali
baru.
Saat ini majalah Tempo telah kembali melayani sekitar 535.000 pembaca yang
berasal dari pembaca yang tetap loyal, sekaligus memikat hati pembaca muda yang
berasal dari kalangan orang perkotaan dari kelas menengah atas. Mereka tentunya
mapan secara ekonomis, berpendidikan dan diharapkan menjadi motor perkembangan
bangsa ini.
Terbit dengan 120,000 eksemplar per minggu dengan jumlah pembaca 535,000.
(3,4%) dan Denpasar (0,90%). Cakupan pembaca Majalah TEMPO adalah 71% pria
dan 21% wanita. Jenis pekerjaan terbanyak (55%) adalah white collar. Untuk
pendidikan, 65% pembaca kami adalah lulusan SMA dan post graduate dengan
Menengok sejarah, Tempo lahir dan mati di zaman Orde Baru. Beberapa pendiri
Tempo adalah para aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan
Orde Baru. Beberapa di antaranya lalu mendirikan Tempo, setelah gagal berkongsi
dengan pengusaha pers kala itu, BM Diah, untuk majalah Ekspres-nya. Tempo luput
dari pembredelan dua kali pada masa Orde Baru, tahun 1974 dan 1978, tetapi tak bisa
mengelak ketika pemberitaannya pada 1982 saat terjadi insiden Lapangan Banteng
Untuk itu, Goenawan Mohamad (GM) selaku pemimpin redaksi majalah Tempo
setiap pemberintaan yang ditulis Tempo selalu menimbulkan reaksi dari pemegang
kekuasan. Salah satunya, ketika terjadi peristiwa Tanjung Priok, peristiwa kerusuhan
saat kampanye pemilu 1982, peristiwa Timor Timur tahun 1991, hingga ke
pemberitaan soal pembelian kapal laut bekas Jerman Timur yang membawa Tempo
menuangkan ide pemikirannya melalui tulisan opini dan karikatur seperti Ong Hok
Ham dan Abdurrachman Wahid. Namun, situasi ini bergeser ketika kemudian Tempo
Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, dan Tempo pun yang
menghasilkan kelas menengah tersebut. Untuk itu Tempo merupakan bagian dari
fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Jika kita cermati, periode ketika
Jumlahnya minimal mencapai 50 persen dari total belanja iklan tersebut. Sejak
tahun 1982 itu, televisi yang ada kala itu, TVRI, tak lagi boleh beriklan. Maka, kue
iklan itu pun lari ke media-media cetak. Inilah yang membuat majalah Tempo
menjadi cukup kaya untuk pindah kantor ke wilayah elite di daerah Kuningan. Gaji
terjadi eksodus puluhan wartawan di sana. Mereka keluar dari Tempo untuk
mendirikan majalah Editor. Beberapa wartawan yang turut keluar menyatakan bahwa
Tempo telah berubah, tidak lagi merupakan institusi perjuangan melainkan institusi
bisnis; dalam banyak hal manajemen sering kali membela pemilik dan tidak lagi
perlahan tapi pasti, kue iklan yang tadinya didominasi media cetak pun mulai
terenggut oleh media televisi. Di sinilah letak pergeseran strukturalnya dan kondisi ini
terus bertahan hingga sekarang. Industri media cetak saat ini hanya memiliki porsi
20-30 persen dari total belanja iklan yang ada, sementara untuk media televisi
jumlahnya bisa mencapai 50 persen walau harus dibagi dengan semakin banyak
stasiun televisi.
Posisi GM memang tak tergantikan. Tak mungkin mencari ganti penulis Catatan
PK Ojong— apalagi kalau itu diserahkan ”hanya” pada para calon reporter.
Posisi GM yang memang unik di Tempo ini tak tergantikan. Sampul buku ini
saja telah menunjukkan seakan GM adalah lakon utama dalam buku ini. Lepas dari
psikologi yang tak menyelesaikan skripsi, negosiator dengan pemodal, ”terpaksa” jadi
manager, penulis tetap kolom Catatan Pinggir, editor pemberitaan setiap minggu,
lobbyist dengan sejumlah pejabat, menjadi aktivis jalanan, hingga akhirnya memilih
untuk tidak lagi menduduki jabatan puncak sebagai Pemimpin Redaksi dan posisinya
Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di
di Indonesia saat ini, banyak di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut
majalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di
hidup antara tahun 1998 hingga hari ini. Tantangannya jauh lebih kompleks dan
dalam deru industri media yang makin menyodorkan dunia yang makin ”flat”
(mengambil istilah buku terbaru Thomas Friedman), tak lagi mungkin mengejar
jumlah oplah hingga ratusan ribu eksemplar seperti pada masa sebelumnya.
tahun—Tempo menjadi terbata-bata untuk bisa terus eksis di periode berikut. Logika
pasar punya cara berpikir sendiri untuk terus hidup, dan kalau formula lama mau terus
Bagi sebuah majalah yang terus berjuang untuk eksis dan mengedepankan mutu
jurnalistik serta suatu model perusahaan media yang sehat dan modern, Tempo masih
penulisan yang ”enak dibaca dan perlu” itu memang masih dibutuhkan oleh publik.
Konservasi macam begini makin sempit lahannya, tetapi harus terus dipelihara
sembari memberi ruang lebih luas bagi sumber daya manusia yang hidup di
dalamnya.
Kalau nilai seperti ini yang hendak dianut, kecepatan penyampaian informasi
dari media mana pun, tak akan bisa mengalahkan kedalaman dan kejelasan
penyampaian informasi yang jadi tujuan Tempo. Dalam era informasi serba instan,
1. Struktur Organisasi
2. Kegiatan Peliputan
Menghasilkan setiap pekan majalah berita sejenis ini adalah proses yang makan
urat saraf. Dua kali setiap minggu, untuk menyiapkan sebuah nomor halaman, hampir
seluruh Tempo siaga penuh. Itu hari-hari deadline. Melanggar batas waktu ini berarti
Khususnya pada Senin malam dan Selasa dinihari. Itu jam-jam paling tegang.
Pemimpin redaksi, wakilnya, para redaktur pelaksana, para penanggung jawab rubrik,
para reporter, petugas perpustakaan, petugas lab dan dokumentasi foto, para staf
koordinasi reportase - dan terutama tenaga di bagian tata muka - harus hadir.
kantor-kantor Tempo di luar Jakarta, kesiagaan yang serupa berlaku. Sampai Selasa
Beberapa jam kemudian, setelah sebentar tidur (kalau pun bisa tidur), mulai lagi
awal persiapan nomor halaman berikutnya. Dengan dihangatkan oleh kopi dan
beberapa potong kue, rapat dibuka. Tentu saja masih ada yang terkantuk-kantuk.
Suatu diskusi dihidupkan. Usul dari seluruh Indonesia dan dari koresponden di luar
kerja Tempo. Setelah itu, bergeraklah seluruh tenaga wartawan, memenuhi rencana
yang sudah disepakati. Sementara itu (tak boleh lupa), tiap wartawan harus berpikir,
tengok kiri tengok kanan, adakah cerita yang akan ditulisnya tak tergolong
pengecekan redaksi majalah Tempo tentang berita yang perlu didalami. Sejumlah
berbagai sumber. Semua wartawan Tempo yang terlibat dalam pengumpulan bahan
untuk berita melaksanakan tugasnya mengumpulkan bahan berita, sumber berita dan
laporan itu digabung dengan hasil temuan di lapangan dan hasil riset pustakanya.
Setelah tulisan selesai dibuat, hasilnya langsung dikirim ke jenjang berikut pada
sistem komputer redaksi Tempo untuk menjalani proses editing. Pada kompartemen
itu diedit agar mengalir lebih lancar sehingga memenuhi kualifikasi "enak dibaca dan
perlu".
bahasanya dan setelah diperbaiki, dikirim ke bagian kreatif untuk di tata letak oleh
bagian desain. Tugas pemimpin redaksi adalah memeriksa tulisan-tulisan yang telah
tertata di bagian desain dan mengoreksi bahkan membatalkannya bila dianggap perlu.
Penulisan berita "Ada Tomy di Tenabang?". Tulisan yang dimuat pada halaman
30 dan 31 majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 itu menuai masalah. Pemimpin
Redaksi majalah Tempo Bambang Harymurti dan dua wartawannya Ahmad Taufik
yang menangani perkara itu yakni Hakim Andriani Nurdin, Suripto dan Kusriyanto.
Trimoelja D. Soerjadi, Djoko P. Saebani, Ahmad Yani, Maqdir Ismail dan Darwin
Aritonang.
Jaksa Bastian Hutabarat menjerat ketiga terdakwa dengan pasal XIV ayat (1)
Undang-Undang No. 1/1946 serta pasal 310 dan 311 KUHP. Pasal XV UU No.
1/1946 berbunyi :
dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,”
2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
penjara. Ketiganya didakwa bersalah melakukan fitnah dan pencemaran dalam berita
majalah Tempo berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dalam penilaian jaksa, akibat
pemberitaan itu terjadi keonaran di kalangan masyarakat. Berita itu telah memicu
ancaman yang ditujukan terhadap Tomy Winata. Juga telah memicu demonstrasi
karyawan Artha Graha Group ke kantor majalah tersebut di Jl. Proklamasi Jakarta
Pusat.
Tanahabang senilai Rp53 miliar itu dinilai jaksa mengandung kebohongan. Dalam
bahasa jaksa, para terdakwa 'telah membakar emosi dan menyebarkan keresahan di
ancaman via telepon. Namun tidak dijelaskan siapa yang mengancam dan kapan
ancaman via telepon itu dia terima. Tentu saja, tugas majelis hakim untuk memastikan
dimulai pada hari Senin, 24 Februari 2003, ketika redaksi majalah Tempo
mengadakan rapat perencanaan rutin untuk membahas usulan berita yang akan
Abang yang baru saja ditulis di majalah Tempo yang terbit hari itu. Karena saudara
Ahmad Taufik bertugas sebagai penulis di kompartemen nasional dan ia yang menulis
artikel tentang kebakaran Tanah Abang, maka yang bersangkutan ditugaskan untuk
mempersiapkan penulisan artikel lanjutan (follow up) kebakaran Tanah Abang
kawasan Tanah Abang hingga mempunyai banyak teman dan melalui pertemanannya
Kabar ini disampaikan Saudara Ahmad Taufik pada rapat rutin pengecekan
redaksi majalah Tempo pada Rabu, 26 Februari 2003. Karena infonya masih sumir,
rapat meminta Saudara Ahmad Taufik agar mendalami informasi itu, antara lain
dianggap perlu.
dengan seorang temannya, seorang kontraktor arsitektur yang banyak terlibat dalam
proyek-proyek pemerintah daerah DKI. Melalui sumbernya ini, yang minta jati
dirinya dirahasiakan, Ahmad Taufik diantar bertemu dengan seorang pejabat yang
khawatir identitas dirinya dapat terlacak jika foto kopi itu tersebar.
Taufik, sejumlah reporter Grup Tempo melakukan kegiatan pencarian informasi dan
konfirmasi ke berbagai sumber. Juli Hantoro, yang saat itu bertugas di Koran Tempo,
dan reporter Indra Darmawan yang sedang bertugas di Tempo News Room (TNR)
mewawancarai Wali Kota Jakarta Pusat dalam kesempatan yang terpisah. Reporter
Reporter Sam Cahyadi (TNR) mewawancarai Buhar Tambunan, Kepala Pasar Tanah
Abang. Reporter Dewi Retno mewawancarai Gubernur DKI, General Manager PLN
Winata melalui telepon kantor pada tanggal 27 Februari 2003 dan merekamnya
setelah minta izin. Wawancara itu kebetulan disaksikan oleh dua rekan kerjanya,
berlangsung. Kecuali Dewi Retno, semua wartawan Tempo yang terlibat dalam
termasuk dua wartawan yang menyaksikan wawancara telepon Bernarda Rurit dan
Tomy Winata.
Semua hasil laporan para reporter ini dijadikan bahan untuk menulis oleh
sendiri di lapangan dan hasil riset pustakanya--termasuk tulisan Juli Hantoro di Koran
Tempo edisi 20 Februari 2003 di halaman B-4 dengan judul "Masa Depan Tanah
Abang Ada di Sini". Tulisan Juli Hantoro tentang rencana pembangunan Sentra Bisnis
Primer Tanah Abang itu juga sudah digunakan Ahmad Taufik ketika menulis berita
kebakaran Tanah Abang di majalah Tempo edisi sebelumnya dan tak pernah menuai
protes.
Setelah tulisan selesai dibuat, hasilnya langsung dikirim ke jenjang berikut pada
sistem komputer redaksi Tempo untuk menjalani proses editing. Pada kompartemen
pelaksana (saat itu) R. Wahyu Muryadi. Namun, karena ia sedang disibukkan dengan
artikel yang lain, beban pengeditan ini dialihkan ke Saudara Teuku Iskandar Ali. Oleh
Saudara T. Iskandar Ali, tulisan itu diedit agar mengalir lebih lancar sehingga
memenuhi kualifikasi "enak dibaca dan perlu", antara lain dengan mengganti kata
"Tanah Abang" pada judul menjadi Tenabang dan mengubah kata "pengusaha besar"
Hasil editing ini kemudian dikirim ke redaktur bahasa untuk diperiksa kaidah
bahasanya dan setelah diperbaiki, dikirim ke bagian kreatif untuk di tata letak oleh
bagian desain. Tugas saya sebagai pemimpin redaksi adalah memeriksa tulisan-tulisan
yang telah tertata di bagian desain dan mengoreksi bahkan membatalkannya bila
dianggap perlu. Saya lalu memberikan persetujuan pada artikel ini untuk dikirim ke
percetakan karena dianggap telah memenuhi syarat. Artikel berjudul "Ada Tomy di
Tenabang?" itu kemudian terbit dalam majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2004.
baik.
pemimpin redaksi majalah Tempo, telah terbukti melanggar Pasal XIV ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan juga melanggar Pasal 310 dan 311
Tuntutan itu adalah bentuk keyakinan jaksa bahwa karena bertanggung jawab
terhadap penerbitan majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003, terutama dengan
Menurut pendapat jaksa, dengan terbitnya artikel itu maka Bambang Harrymurti
rakyat.
Harrymurti telah mencemarkan nama baik saksi pelapor, Tomy Winata, karena dalam
pemberitaan Tempo ditulis sebagai berpotensi menjadi "pemulung besar" (di antara
tanda petik) dan diberitakan "konon mengirim proposal renovasi pasar Tanah Abang
Tomy di Tenabang?" hasil editing Saudara Teuku Iskandar Ali tanpa koreksi sedikit
pun. Hal ini dia lakukan bukan karena kelalaian, atau karena sedang lelah baru tiba
dari perjalanan dinas ke Singapura, tetapi karena karya itu memang dinilai telah
memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku. Penilaian yang sama telah pula
mata hukum, Majelis Hakim dapat merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang No. 40
Tahun 1999 yang mengamanatkan tugas Dewan Pers antara lain: menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (pasal 15 ayat 2c) dan memberikan
Dengan rujukan ini, maka pendapat saudara Hinca I.P. Panjaitan, S.H., yang
menjabat sebagai Ketua Bidang Komisi Hukum Dewan Pers dan memberikan
kesaksian pada sidang tanggal 31 Mei 2004, maupun Drs. Sabam Leo Batubara, yang
menjabat sebagai Ketua Bidang Komisi Pengaduan Dewan Pers, yang secara tegas
jurnalistik adalah fakta hukum yang kuat. Pendapat setara juga diutarakan saksi ahli
ilmu komunikasi Prof. Abdul Muis (kesaksian tanggal 23 Maret 2004), saksi ahli
bahasa jurnalistik Masmimar Mangiang (kesaksian 10 Mei 2004), maupun saksi ahli
dunia jurnalistik, judul dengan nama tokoh publik yang diberi tanda tanya termasuk
Jika keseluruhan artikel dibaca, maka terlihat dari alur ceritanya bahwa tulisan
ini adalah sebuah perjalanan sang penulisnya dari mulai mendengar isu Tomy Winata
membuat proposal renovasi pasar Tanah Abang sekitar tiga bulan sebelum kebakaran,
melacaknya hingga melihat sendiri proposal itu dan mendapatkan bantahan Direktur
Utama Pasar Jaya dan Tomy Winata, lalu menulis apa adanya. Karena Ahmad Taufik
melihat sendiri nama Tomy Winata pada proposal, sedangkan Tomy Winata
membantahnya, maka ada tiga kemungkinan: Ahmad Taufik bohong, Tomy Winata
bohong, atau ada penulis nama Tomy Winata dalam proposal melakukannya tanpa
Dalam hal ini, penulis melakukan prinsip praduga tak bersalah dengan menulis,
Pasar Tanah Abang. Ia merasa belum pernah berbicara tentang hal itu. "Anda orang
keenam yang telepon. Saya belum pernah bicara dengan siapapun baik sipil, swasta,
"Saya ini engga makan nangkanya (tapi) dikasih getahnya. Kalau (mereka)
berani ketemu muka saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti atau data-data yang
mengatakan saya deal duluan, saya kasih harta saya separuh." Kemudian, dalam
alinea berikut, ditulis: Dugaan bahwa pasar grosir itu dibakar dibantah Kepala Pasar
Tanah Abang Buhar Tambunan ataupun Gubernur DKI Sutiyoso. Perusahaan Listrik
Negara juga menyangkal gardu listrik PLN dalam pasar sebagai penyebab kebakaran.
"Sumber kebakaran dari korsleting listrik masih abu abu, belum jelas," kata Margo
disengaja atau tidak--akan lebih memudahkan pelaksanaan rencana itu? Dan Tomy
Seperti diakui oleh saksi ahli bahasa Maryanto M. Hum., saksi ahli komunikasi
massa Dr. Ibnu Hamad Msi., saksi ahli jurnalistik Abdullah Alamudi, saksi ahli
bahasa jurnalistik Masmimar Mangiang dan saksi ahli psikologi Prof. Dr. Sarlito
tegas membedakan bahwa orang yang "makan nangkanya" pasti berbeda dengan
orang yang "dapat getahnya". Oleh karena dalam artikel itu ditulis "dan Tomy pun
kena getahnya", maka si penulis telah menyimpulkan Tomy Winata tidak "makan
Winata hanya dapat getahnya, sementara beredar isu yang menuding ia makan
nangkanya, membuat tema penulisan memang tentang nasib Tomy Winata. Itu
mendapatkan bukti keterlibatan langsung Tomy Winata pada renovasi pasar Tanah
Abang itu. Yang diyakini penulisnya adalah keberadaan proposal renovasi itu, karena
dilihat sendiri. Namun, sebagai wartawan profesional, Ahmad Taufik sadar bahwa
pencantuman nama Tomy Winata di proposal itu belum tentu atas izin si pemilik
nama, dan memang dalam wawancara yang berlangsung kemudian, Tomy Winata
bosnya yang harus diklarifikasi. Dalam keadaan seperti ini, penggunaan tanda tanya
sebagai judul sudah tepat, karena menyiratkan pesan belum dapat dipastikan sehingga
semata-mata karena dalam jurnalistik berlaku diktum "nama membuat berita" (name
makes news). Sebagai seorang pengusaha besar yang memiliki beberapa perusahaan
terbuka, Tomy Winata otomatis masuk dalam kategori tokoh publik (public figure).
namanya sebagai judul berita pasti punya kekuatan menggoda calon pembaca.
Setelah membahas judul, mari kita kupas penulisan subjudul atau taicing
"Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp
Taicing ini diloloskan karena memenuhi ketiga persyaratan seperti yang berlaku
pada judul, yaitu sesuai dengan isi tulisan, tidak menghakimi dan menggoda
pembaca. Kesamaan syarat ini memang karena judul dan subjudul punya peran yang
boleh dikata serupa, hanya saja subjudul dirancang jauh lebih panjang. Maka ada
tempat untuk menampilkan proposal yang ditemukan penulis dan nilainya, namun
masih diberi kata "konon" karena dalam tulisan Tomy Winata membantah terlibat
dengan proyek renovasi tersebut kendati namanya tercantum di proposal itu. Kata
Isi tulisan telah memenuhi kaidah jurnalistik yang berlaku karena dilakukan
secara berimbang, berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan dan keterangan para
pejabat yang mempunyai otoritas. Peredaran isu yang mencurigai keterlibatan Tomy
Winata dalam rencana proyek renovasi saya anggap telah menjadi fakta karena
beredar luas sehingga Tomy Winata sendiri sempat ditanya oleh lima orang lain
mengenai hal ini sebelum diwawancarai Bernarda Rurit dari Tempo. Asas praduga tak
bersalah juga telah dipatuhi karena penulis pada akhir tulisannya menyiratkan Tomy
Winata hanya "kena getahnya", alias ada pihak lain yang mendapatkan "nangkanya".
Sekarang mari kita uji artikel "Ada Tomy di Tenabang?" ini dengan standar
internasional yang diakui secara luas dalam dunia profesi jurnalistik global. Standar
ini dikembangkan oleh jurnalis tersohor Bill Kovach & Tom Rosenthal dan
dibukukan dengan judul Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen itu adalah:
Tenabang?" jelas sesuai dengan asas ini karena dimaksudkan untuk menguak
kebenaran terhadap isu terlibatnya Tomy Winata dalam proyek renovasi Pasar
menampilkannya apa adanya, kendati harus dibayar dengan serbuan massa dan
2. Loyalisme pertama jurnalisme kepada warga. Justru karena loyal kepada warga
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Jelas artikel Tempo telah bersusah
4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Tak ada satu
pun sumber berita artikel "Ada Tomy di Tenabang?" punya kaitan ketergantungan
kebakaran dan renovasi Pasar Tanah Abang diturunkan dalam semangat ini.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan. Pasar
Tanah Abang yang terbakar adalah pasar terbesar di Asia Tenggara yang
melibatkan nasib ribuan pedagang di berbagai pelosok Indonesia bahkan hingga
ke luar negeri. Tak banyak hal yang lebih penting, menarik dan relevan ketimbang
menulis tentang terbakarnya pasar ini dan cerita di balik kegiatan pasar ini?
para anggota Dewan Pers, tajuk harian Kompas dan pernyataan tokoh pers
9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Ini sebabnya kami
kebenaran yang kami yakini, meskipun risikonya tinggi, termasuk masuk penjara.
Majalah Tempo mempunyai hak prerogatif untuk menerbitkan atau tak menerbitkan
tulisan wartawan Tempo atau tulisan pihak lain di majalah Tempo. Oleh karena itu,
apabila ada konsekuensi hukum dari artikel yang diterbitkan di majalah Tempo, maka
1999.
Pasal 61 ayat (1) KUHP berbunyi: Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan
pencetakan, penerbitnya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakan
disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya terkenal, atau setelah
dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh penerbit.
Namun, karena UU no 40 tahun 1999 adalah lex specialis untuk bidang pers
dan artikel yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah mengenai pemberitaan,
maka Pemimpin Redaksi mengambil alih pertanggungjawaban hukum penerbitan
artikel "Ada Tomy di Tenabang?", dan karena itu dua wartawan Tempo yakni Ahmad
Taufik maupun Teuku Iskandar Ali dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Ini sesuai
dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan: Kalau bagi suatu perbuatan yang
dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangsa Indonesia tidak hidup sendirian di dunia ini. Kita adalah bagian dari
bangsa dunia. Oleh karena itu, adalah wajar jika kita perlu belajar dari bangsa lain
dalam menggapai cita-cita konstitusi. Bila generasi pendahulu kita, seperti ditulis
berdaulat, adil dan makmur," maka kini menjadi tugas kita bersama agar keadaan
berpendapat bahwa kebebasan pers bukanlah sebuah kemewahan. Ini adalah inti
mengadakan perubahan.
Kondisi hukum adalah salah satu prasyarat agar pers di sebuah negara mampu
menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu hambatan yang perlu diperhatikan
adalah mengenai pasal-pasal tentang pencemaran nama baik dan penghinaan atau
fitnah. Pasal-pasal itu memang dibutuhkan untuk melindungi reputasi pribadi dan
untuk memastikan akurasi dalam pemberitaan namun dapat pula digunakan untuk
oleh media.
Ada tiga persoalan pokok yang muncul dari masalah ini: (a) jika pencemaran
nama baik adalah pidana, bukan perdata, jurnalis umumnya cenderung melakukan
sensor diri. (b) Jika kebenaran tak dapat menangkis pasal penghinaan, jurnalis akan
penyegaran kembali atas interpretasi hukum yang biasanya telah berusia puluhan
UU khusus (lex specialis), maka kalangan pers akan berupaya agar kegiatannya tak
masuk dalam kategori pers seperti diatur dalam UU ini, sebab hanya akan menambah
ancaman hukuman saja, yaitu selain dari KUHP juga dari UU ini.
Oleh karena itu, pers akan membuat dirinya sebagai pamflet gelap saja, agar
hanya terncam oleh KUHP saja. Bukankah ini keadaan yang tak masuk akal sehat?
Oleh karena itu, memang tak ada pilihan lain kecuali menerapkan UU no 40 tahun
1999 ini sebagai UU khusus dan diterapkan sesuai pasal 63 ayat (2) KUHP yang
berbunyi: Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2007, Beberapa Aspek Hukum Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Artadi, Ibnu, 2006, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas, Syariah Fakultas
Hukum Unswagati Cirebon.
Borjesson, Kristina, Mesin Penindas Pers, 2006, Terj. Yanto Musthofa, Q-Press,
Bandung
Dewan Pers, 2003, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga
Informasi Nasional, Jakarta.
Lubis, Todung Mulya, 2001. Soeharto VS Time Pencarian dan Penemuan Kebenaran,
Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Panjaitan, Hinca IP dan Siregar, Amir Effendi, 2004, 1001 Alasan UU Pers Lex
Spesialis, Serikat Penerbit Suratkabar, Jakarta.