You are on page 1of 2

Bankir dan Gaya Hidup

Susidarto ; Praktisi Perbankan, Tinggal di Yogyakarta

SUARA MERDEKA, 31 Oktober 2013

PERHATIAN sebagian masyarakat kita belakangan ini terbetot oleh pemberitaan


seputar internal frauddi Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bogor. Beberapa petinggi bank
itu kini tengah menjalani proses penyidikan Bareskrim Polri karena diduga menyalahgunakan
wewenang untuk menyalurkan kredit fiktif hingga mencapai Rp 102 miliar kepada 197 debitur.
Banyak orang terkesima, kaget, dan tidak percaya atas kejadian itu namun itulah realitasnya.
Bahwa tampang penjahat yang kerap digambarkan bertampang sangar, kini bermetamorfosis.
Penjahat masa kini bisa menjelma dalam sosok pejabat publik, wakil rakyat, dan yang terkini
’’diwakili’’ oleh bankir klimis, bergaya flamboyan, berpenampilan glamor, yang telah mengecoh
banyak orang.
Itulah potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan perilaku konsumif sebagai panglima
sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Padahal, untuk mengongkosi gaya hidup
semacam itu sangatlah mahal. Seandainya gaji tak mencukupi maka yang biasa dilakukan adalah
menambah penghasilan lewat cara ilegal, yakni mencuri uang nasabah. Fenomena itulah yang
kental mewarnai kasus pengucuran kredit fiktif BSM Bogor.
Realitas dalam kasus BSM dan beberapa kasus (fraud) perbankan lainnya, menunjukkan ada
sebab-musabab yang melatarbelakangi. Faktor itu berkelindan antara kelemahan sistem
pengendalian internal dan faktor manusia. Gabungan dua hal tersebut acap ditandai kepercayaan
berlebihan bahwa tiap pejabat bank mampu bekerja sesuai standard operating procedure (SOP)
dan menafikan kemungkinan curang.
Situasi ini bertambah buruk manakala terjadi hubungan kenasabahan antara nasabah (bisa debitur
bank) dan bank (diwakili oleh tenaga account officer/AO, termasuk kepala cabang) yang
kebablasan sehingga bisa menyusun rancangan jahat.
Saking dekatnya hubungan acap bukan lagi hubungan bisnis profesional melainkan berubah
menjadi hubungan personal (saling percaya). Artinya, si nasabah memberikan kepercayaan
penuh kepada petugas bank, tenaga AO atau saling kongkalikong. Akhirnya bisa ditebak, terjadi
persengkongkolan jahat antara debitur dan pegawai bank.
Hal semacam inilah yang akhirnya membuka peluang bagi pegawai bank atau karyawan internal
bank (termasuk petingginya) yang memang memiliki iktikad tidak baik atau bermoral buruk,
untuk menggelapkan dana nasabah melalui berbagai cara dan trik. Praktik ini sebenarnya
memiliki modus konvensional, yakni mencuri uang secara langsung dari kredit fiktif yang
dikucurkan bank secara sembrono. Kejahatan semacam ini makin dramatis apabila proses dual
control dan mekanisme kontrol internal tidak berjalan baik.
Fraud internal dalam bentuk kredit fiktif ini sebenarnya sulit terjadi pada sebuah kantor cabang,
bila semua proses dual control terlaksana dengan baik. Bisa dibayangkan, proses sebuah kredit
sangatlah panjang, dari inisiasi awal, analisis, persetujuan, akad, pembukuan, dan monitoring
kredit, yang melibatkan banyak unit kerja.
Kita bisa menyebut mulai dari unit pembukaan rekening, account officer, team leader kredit,
komite kredit cabang (lebih dari dua orang), administrasi kredit, legal, notaris (PPAT), apraisal
independen (atau internal), dan internal control unit(ICU). Kalau kredit fiktif bisa lolos dan
nilainya fantastis, bahkan mencapai lebih dari 100 debitur, berarti ada yang salah dalam
memproses sebuah kredit.

Saksi Ahli
Seandainya pun terjadi berarti semua pihak (unit kerja) terlibat alias terjadi internal fraud secara
berjamaah. Kasus semacam ini harus ditelisik lebih mendalam karena proses pengucuran kredit
tidak sederhana, semisal hanya melibatkan kepala cabang dan seorang account officer.
Mabes Polri sebaiknya melibatkan saksi ahli, yang dapat melihat persoalannya secara
proporsional sehingga semua pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkannya. Ini untuk
membuat efek jera sekaligus pembelajaran bagi bankir untuk tidak gegabah.
Intinya memang berpulang pada moral petugas bank. Apabila semua SOP dilanggar, bisa
dipastikan bank bobol. Sebenarnya bank mudah mengurai benang kusut pelanggaran SOP seperti
pembatasan limit kewenangan, proses dual control transaksi, mekanisme verifikasi dan
konfirmasi transaksi kepada nasabah atau prosedur lain yang dilanggar.
Namun, dari sisi moral sangat sulit diuraikan. Pasalnya sebaik-baiknya sistem, apabila manusia
di belakangnya ingkar terhadap nuraninya dan tdak memiliki pemahaman bahwa kehomatan diri
terletak pada kepatuhan terhadap SOP maka ancaman fraud perbankan akan tetap ada.
Terlebih masalah moral ini kadang terpancing dan terkalahkan oleh berbagai kebutuhan hidup
dan gaya hidup materialistik hedonis, jika imannya tidak kuat berakar. Gaya hidup dan pergaulan
neokapitalis, metropolis, kerap memorakporandakan bangunan moral yang terbangun sejak
kecil. Inilah jerat pola salah pergaulan.
Karena itu, rumusan paling sederhana adalah kembali ke masalah moral karyawan bank itu.
Kalau ingin hidup kaya raya, dan materialistik, jangan menjadi karyawan (bank), apa pun
levelnya, yang pendapatannya serbaterukur. Lebih baik jadilah pengusaha yang income-nya bisa
sangat tak terbatas. ●

You might also like