You are on page 1of 17

MAKALAH HAM DAN KESEHATAN

SUNAT PADA WANITA

OLEH :

VINSENSIUS TOMMY WIJAYA JAPOLA

NIM : 2015.06.2.0046

MINAT STUDI HUKUM KESEHATAN

PROGRAM STUDI MAGSITER HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sunat pada perempuan merupakan kegiatan memotong sebagian atau


seluruh bagian genital luar perempuan. UNICEF memperkirakan pada 2016
terdapat 200 juta perempuan telah menjalani prosedur ini di 27 negara di Afrika,
80-90 persen berada pada rentang usia 15-49 tahun. Kegiatan ini juga dapat
ditemukan di Asia, Timur Tengah dan pada beberapa komunitas yang berasal dari
area tersebut yang tersebar di seluruh dunia.1

Secara umum ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut
sunat perempuan, yaitu: 1) Female Genitale Cutting (FGC) atau pemotongan alat
kelamin perempuan; 2) Female Genitale Mutilation (FGM) atau mutilasi alat
kelamin perempuan; 3) Female Circumcision (FC) atau sunat perempuan, namun
untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik tersebut, istilah yang
lebih banyak dipakai adalah Female Genitale Mutilation (FGM) oleh pihak-pihak
yang menentang praktik sunat perempuan (WHO, 2008)

Kegiatan ini didasari pada ketidaksetaraan gender, sebagai upaya untuk


mengkontrol seksualitas perempuan, dan pemikiran-pemikiran mengenai
kemurnian, kesopanan dan estetika. Hal ini biasanya dipicu dan dilakukan oleh
perempuan, yang beranggapan bahwa sunat perempuan merupakan sumber
kehormatan, dan yang takut jika anak perempuan dan cucu perempuan dkucilkan
jika tidak disunat.2

Sunat perempuan dianggap perlu untuk menaikan status perempuan dan


untuk mempersiapkan mereka untuk kedewasaan dan perkawinan. Para
perempuan ini sendiri juga berkeinginan menjalani prosedur ini sebagai akibat
tekanan sosial dari sekitar dan karena rasa takut akan stigma dan penolakan oleh
komunitas mereka jika tidak menjalani prosesur ini. Di beberapa tempat, para

1
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
2
Ibid.
perempuan yang menjalani prosedur ini diberikan hadiah seperti perayaan,
pengenalan kepada publik dan hadiah. Oleh karena itu, pada tradisi dimana hal ini
secara luas dilakukan, sunat perempuan menjadi suatu bagian penting dari tradisi
dan memberikan rasa kebanggaan, menjadi dewasa dan menjadi satu dengan
komunitasnya.3

Sunat perempuan sendiri sudah dilarang atau dibatasi pada banyak negara,
namun masih terjadi dikarenakan peraturan hukum yang jelek. Telah banyak
upaya dalam skala internasional sejak tahun 1970an untuk membujuk para praktisi
sunat perempuan untuk meninggalkan kegiatan ini, dan pada tahun 2012 United
Nations General Assembly, mengenalkan sunat perempuan sebagai suatu bentuk
pelanggaran hak asasi manusia.4

Sunat pada perempuan sendiri tidak dapat dipisahkan dari kegiatan


agama/kepercayaan. Khitan dalam kajian fikih (hukum Islam) secara umum
ditempatkan dalam bab ibadah, dan bahkan ada yang lebih spesifik, ditempatkan
pada bagian "bersuci". Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dikaitkan
dengan upaya pensucian diri, baik bersifat hissî maupun ma’nawî.

Masalah khitan terhadap perempuan menjadi isu publik setelah adanya


pelbagai penelitian, baik yang dilakukan secara independen maupun karena ada
sponsor, yang menemukan adanya pelbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari
penyimpangan pelaksanaan khitan terhadap perempuan di beberapa negara. Atas
dasar fakta tersebut, muncul rencana aksi pelarangan khitan terhadap perempuan.
Bahkan, muncul desakan agar pelarangan tersebut dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan disertai hukuman bagi pelakunya. Berkorelasi dengan hal
tersebut, dalam konteks Indonesia, pada pertengahan tahun 2006 muncul Surat
Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang Larangan Medikalisasi Sunat
Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Atas dasar ini pulalah, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan mengajukan surat ke MUI untuk meminta fatwa yang

3
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 6
4
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
mengharapkan adanya larangan khitan terhadap perempuan.5 (fatwa MUI tentang
khitan perempuan)

Khitan pada perempuan sampai saat ini tetap menimbulkan kontroversi,


termasuk di Indonesia, meski khitan pada perempuan sudah dilarang sejak tahun
2006 dengan Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI Nomor
HK 00.07.1.31047 a, tertanggal 20 April 2006, tentang Larangan Medikalisasi
Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Menurut surat edaran itu, sunat
perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.6

Namun, pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia


mengeluarkan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan, yang mengatur
berbagai hal mengenai sunat perempuat, baik definisi, cara pelaksanaan, batasan,
larangan dan lain-lain. Peraturan ini tidak bertahan lama karena pada tahun 2014,
Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan.
Kementerian Kesehatan memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat
perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat
serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan.7

5
M. Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa MUI Tentang Khitan Perempuan, Jakarta, 2012, hal. 35
6
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
7
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sunat

Istilah Female Genital Mutilation digunakan pada tahun 1997. Kata


“Mutilasi” menekankan pada beratnya tindakan ini. Beberapa lembaga
menggunakan istilah “Female Genital Mutilation/Cutting” dimana penambahan
kata “cutting” merefleksikan pentingnya penggunaan istilah yang bersifat tidak
menghakimi. Kedua istilah ini menekankan kepada fakta pelanggaran hak asasi
manusia perempuan.8

Berdasarkan World Health Organization (WHO), Sunat Perempuan


(Female Genital Mutilation/FGM) adalah semua prosedur yang melibatkan
pelepasan baik sebagian maupun semua organ genitalia perempuan atau kegiatan
lainnya yang menyebabkan kerusakan organ genitalia perempuan untuk alasan
non medis. Sedangkan menurut Permenkes Nomor 1636 sunat perempuan adalah
tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai
klitoris.

2.1.1 Asal Usul Sunat Perempuan

Berdasarkan perspektif sejarah, sunat perempuan sudah dilakukan secara


rutin sejak 6000 tahun yang lalu di bagian selatan Afrika, mulai dari Lybia, Mesir,
Timur Tengah, Amerika Selatan, Australia dan Asia Tenggara (Sumarni, 2005).
Tidak mudah untuk menetapkan kapan pemotongan klitoris (klitoridektomi) dan
tradisi-tradisi lainnya berasal. Tetapi, data etnografi dan antropologi menunjuk
pada perpaduan antara mitologi dan keyakinan agama (Anees, 1989). Menurut
Muhamad (1998) menjelaskan bahwa, sunat perempuan bukan ajaran Islam, dapat
dilihat dari tulisan Bryk, seorang etnolog berkebangsaan Jerman pada tahun 1992.

8
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 3
Dalam buku itu ia mengungkapkan bahwa dikepala orang Massai di Afrika
ada kepercayaan bahwa dengan memotong klitoris dan sedikit labia minora, maka
anak perempuan akan dapat dilepaskan dari fantasi seksual. Perlu diingat bahwa
suku Massai bukanlah suku Afrika yang mayoritas beragama Islam. Pengaruh
budaya ini demikian mendalamnya, sehingga orang orang perempuan yang
dikhitan secara simbolis sewaktu masih bayi akan merasa bahwa dirinya masih
belum benar-benar bersih, apalagi ia tidak ingat lagi apakah ia sudah dikhitan atau
belum. Berbagai pendapat tentang asal mula dipraktikkannya sunat perempuan,
menurut WHO (2001) bahwa ada beberapa pendapat asal usul sunat perempuan,
antara lain:

1. Female Genital Mutilation atau sunat perempuan tidak dikenal kapan atau
dimana tradisi sunat perempuan dimulai.
2. Beberapa orang percaya FGM dimulai dari zaman dahulu kala.
3. Beberapa orang percaya ini dimulai selama perdagangan Budak ketika budak
hitam yang dimasukkan masyarakat Arab.
4. Beberapa percaya sunat perempuan dimulai dengan kedatangan Islam di
beberapa bagian sub-sahara Afrika.
5. Yang lain percaya bahwa sunat perempuan dimulai pada saat kemerdekaan di
Afrika, terlebih dahulu kunjungan Islam, orang-orang berpengaruh diantara
serdadu-serdadu.
6. Beberapa percaya sunat perempuan berawal dari dilontarkan kemerdekaan
diantara grup etnik di Afrika sebagai upacara kedewasaan.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asal usul sunat


perempuan tidak dapat diketahui secara pasti, hal ini sangat bergantung terhadap
budaya dan kepercayaan sekelompok masyarakat yang melakukan praktik sunat
perempuan. Sedangkan untuk laporan penyebaran sunat perempuan sampai saat
ini belum tersedia dengan lengkap, hal ini disebabkan karena lemahnya pencatatan
data, jumlah yang sebenarnya perempuan yang disunat lebih besar daripada yang
tercatat dan masih ada data yang belum terungkap.

Penelitian World Health Organization (WHO) mencatat terdapat empat


jenis sunat perempuan yang dikenal secara internasional. Pertama, Clitoridotomy,
yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris dengan atau tanpa eksisi sebagian
atau seluruh klitoris. Hal itu dikenal juga dengan istilah hoodectomy (istilah
”slang”). Kedua, Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora,
jenis sunat perempuan yang lebih ekstensif dari jenis pertama. Negaranegara
bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula banyak
melakukan jenis yang kedua. Ketiga, Infibulasi/Pharaonic Circumcision (Khitan
ala Fir’aun), yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia dan penjahitan
untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya
menyisakan lubang sebesar diameter pensil agar darah saat menstruasi dan urine
tetap bisa keluar. Jenis ketiga merupakan tipe terberat dari FGC.

Keempat, jenis sunat perempuan yang tidak terklasifikasi, termasuk jenis


ini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai
menembus, atau insisi klitoris dan/atau labia; meregangkan (stretching) klitoris
dan/ atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan
sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut),
memasukkan benda korosif atau tumbuhtumbuhan agar vagina mengeluarkan
darah, menipis dan/atau menyempit; serta berbagai macam tindakan yang sesuai
dengan definisi FGC di atas

2.1.2 Faktor-Faktor Praktik Sunat Perempuan

Menurut WHO (2012) bahwa penyebab FGM mencakup campuran faktor


budaya, agama dan sosial dalam keluarga dan masyarakat, diantaranya:

a. Female Genital Mutilation adalah konvensi sosial, tekanan sosial untuk


menyesuaikan diri dengan apa yang orang lain lakukan dan untuk
melakukannya ada sebuah motivasi yang kuat untuk mengabadikan resiko
praktik.
b. Female Genital Mutilation seringkali dianggap sebagai bagian penting dari
membesarkan seorang gadis baik, dan cara untuk mempersiapkan dirinya
sampai dewasa dan menikah.
c. Female Genital Mutilation sering termotivasi oleh keyakinan tentang apa
yang dianggap prilaku seksual yang tepat, prosedur untuk menghubungkan
keperawanan pranikah dan kesetiaan perkawinan. Female Genital Mutilation
di banyak masyarakat diyakini mengurangi libido seks perempuan, karena itu
diyakini membantunya melawan godaan tindakan seksual yang berlebihan.
d. Female Genital Mutilation dikaitkan dengan cita-cita budaya feminitas dan
kerendahan hati, yang mencakup gagasan bahwa anak perempuan "bersih"
dan "indah" setelah pengangkatan bagian tubuh yang dianggap laki-laki
sebagai bagian yang tidak baik.
e. Meskipun tidak ada aturan agama tentang praktik sunat perempuan, namun
masyarakat sering percaya bahwa praktik sunat perempuan merupakan
perintah agama.
f. Para pemimpin agama mengambil posisi yang berbeda-beda berkaitan dengan
FGM, beberapa memperbolehkan praktik tersebut, sedangkan yang lain
beranggapan bahwa sunat perempuan tidak relevan dengan agama, dan yang
lainnya berperan terhadap penghapusannya.
g. Struktur kekuasaan lokal dan otoritas, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama,
penyunatan, dan bahkan beberapa tenaga medis dapat berkontribusi untuk
menegakkan praktik.
h. Sebagian besar masyarakat, FGM dianggap sebagai tradisi budaya, yang
sering digunakan sebagai alasan untuk kelanjutannya.
i. Pada beberapa masyarakat, mula-mulanya praktik ini terkait dengan
menyambung tradisi pada masyarakat sebelumnya.
j. Pada beberapa masyarakat, FGM dilakukan oleh kelompok-kelompok baru
ketika mereka pindah ke daerah di mana penduduk setempat melakukan
praktik FGM.

2.1.3 Dampak Sunat Perempuan

Menurut Irianto (2006) bahwa dampak jangka panjang dan jangka panjang dari
sunat perempuan, yaitu:

1. Dampak jangka panjang


a. Infeksi saluran kencing, karena terdapatnya penyakit oleh
mikroorganisme.
b. Dapat mengakibatkan infeksi berulang-ulang pada saluran reproduksi.
c. Menyebabkan terganggunya saluran menstruasi yang menyebabkan
sakit serta penumpukan residu pada vagina.
d. Infeksi seviks yang menyebabkan tersumbatnya tuba fallopi yang
berakibat pada kemandulan.
2. Dampak jangka pendek
a. Pembengkakan pada jaringan sekitar vagina yang akan menghalangi
proses pembuangan cairan.
b. Infeksi akibat pemakaian alat yang tidak steril, serta kontaminasi luka
karena air seni.
c. Pendarahan parah dan shock.
d. Pembuluh darah dari klitoris dapat mengalami pendarahan.
e. Terjadi infeksi.
f. Tercemarnya darah oleh racun dari alat yang tidak steril.
g. Dan kerusakan pada jaringan disekitar klitoris serta labia yang setelah
beberapa waktu akan menyebabkan tersumbatnya urine yang
berimplikasi pada infeksi serius.

Dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan akibat sunat perempuan


sangat mungkin dapat terjadi pada setiap anak perempua. Namun banyak tempat
yang beranggapan bahwa, praktik sunat perempuan tidak berpengaruh besar
terhadap alat kelamin perempuan dan dianggap sebuah kejadian yang biasa-biasa
saja.

2.1.4 Prosedur dan Usia Praktik Sunat Perempuan

Tidak ada prosedur standard dalam melakukan sunat perempuan, karena


prosedur yang dipraktikkan oleh masyarakat dunia sangatlah bervariasi tergantung
pada daerah, kebiasaan masyarakat dan adat-istiadat dimana perempuan tersebut
tinggal. Bagi orang Jawa tradisional yang beragama Islam menekankan
pentingnya sunat perempuan hanya dalam bentuk upacara, dan tidak dengan
melukai klitorisnya (Suparlan dalam Muhamad, 1998), sedangkan masyarakat di
Afrika mengharuskan memotong atau mengiris bagian klitoris.
Dengan melihat dan membandingkan beberapa kebiasaan masyarakat
dunia dalam memperaktikkan sunat perempuan, dapat disimpulkan bahwa
prosedur sunat perempuan secara umum dilakukan dengan cara, yaitu : Seorang
perempuan yang akan melaksanakan sunat perempuan atau FGM akan disuruh
duduk di air dingin untuk mematikan rasa di vulva dan mengurangi kemungkinan
pendarahan. Pada umumnya perempuan tersebut tidak akan diberikan anastesi,
perempuan tersebut akan dipegang oleh perempuan-perempuan yang lebih tua,
agar tidak dapat bergerak, kedua kaki perempuan tersebut akan dibuka selebar
mungkin sehingga bagian vagina akan terlihat jelas.

Pemotongan akan dilakukan dengan mempergunakan alat pemotong


seperti pecahan kaca, besi tipis, gunting, silet atau benda-benda tajam lainnya.
Pelaksanaan dari prosedur sunat perempuan ini dapat dilakukan di rumah pribadi,
tetangga, kerabat, pusat kesehatan, atau bila sunat perempuan sebagai proses
inisiasi maka akan dipilih pohon atau sungai tertentu, prosedur ini dapat dilakukan
oleh perempuan lebih tua, Dukun, tukang cukur, atau Bidan dan Dokter yang
professional.

Seperti halnya prosedur sunat perempuan, usia seorang perempuan disunat


juga sangat bervariasi, tergantung pada adat dan kebudayaan nasyarakat tersebut.
Sunat dapat dilakukan pada seorang perempuan pada saat ia masih bayi, anak-
anak usia 7-10 tahun, remaja maupun perempuan dewasa. Pada beberapa
masyarakat seperti di Somalia disunat pada usia berkisar antara 18-68 tahun, di
Ethiopia dan Eritrean usia sunat perempuan berkisar antara 30-52 tahun, tetapi
usia paling umum sunat perempuan dilaksanakan adalah 4-8 tahun.

2.1.5 Praktik Sunat Perempuan di Indonesia

Sunat perempuan dapat dikatakan juga terjadi di Indonesia secara luas,


namun sunat perempuan di Indonesia pada umumnya dipraktikkan pada taraf yang
ringan bahkan hanya secara simbolis. Menurut Putranti (2003) yang mengutip
pendapat Feillard dan Marcoes bahwa di Indonesia, sunat perempuan baru mulai
dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai Gender, seksualitas, dan
kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis perempuan kira-kira sejak 5 tahun
terakhir ini. Sebelumnya, isu ini kurang mendapat perhatian karena prevalensinya
tidak diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannya dipandang tidak cukup
membahayakan kesehatan.

Satu-satunya informasi mengenai sunat perempuan di Indonesia yang


cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang mengindikasikan
dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah Jawa, beberapa
daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin),
Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau Alor, dan
suku Sasak di Lombok.

Studi tersebut juga melaporkan bahwa sunat perempuan pada umumnya


dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, dan dengan cara menghilangkan
sebagian kecil ujung klitoris.

Praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh petugas kesehatan, bertindak


berdasarkan Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 pasal 4 Ayat 2 yaitu,
menetapkan pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan
sebagai berikut :

a. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10
a. (sepuluh) menit.
b. Gunakan sarung tangan steril.
c. Pasien terbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati.
d. Fiksasi lutut dengan tangan, vulva ditampakkan.
e. Cuci vulva dengan povidon iodine 10%, menggunakan kain kasa.
f. Bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan
gland klitoris sampai bersih.
g. Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris
(frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai
berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.
h. Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodine 10%.
i. Lepas sarung tangan. dan
j. Cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.
2.2 Hak Asasi Manusia Internasional

Kampanye global dan usaha lainnya untuk memberantas sunat pada


perempuan awalnya berfokus ada konsekuensi kesehatan dari praktik tersebut.
Pada awal tahun 1990an, kegiatan ini awalnya gagal karena beberapa alasan, yang
utama karena kampanye ini tidak menghasilkan penurunan prevalensi yang
signifikan namun juga karena berfokus pada kesehatan yang secara tidak langsung
mempromosikan “medikalisasi” dari kegiatan tersebut sehingga terjadi
peningkatan sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga medis profesional.

Female Genital Mutilation dikonsep ulang sebagai isu hak asasi manusia.
Pada tahun 1993, konferensi dunia Wina tentang hak asasi manusia merupakan
peristiwa penting yang menerbitkan dua hal penting yaitu: pertama, “Female
Genital Mutilation” diklasifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia perempuan; kedua, pelanggaran hak asasi manusia menjadi pertama kali
diketahui berada dibawah bagian hak asasi manusia internasional.

Dengan dimasukannya “Female Genital Mutilation” sebagai suatu bentuk


kejahatan melawan perempuan, Konvensi Dunia dan eliminasi dari segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan dapat dilakukan. 26 negara di Afrika dan Timur
Tengah telah melarang sunat perempuan. Dengan perkecualian Guinea dan
Republik Afrika Tengah, yang telah melarang sunat perempuan pada pertengahan
1960an.9

2.3 Hukum Sunat Perempuan Indonesia


Di Indonesia sendiri, hak asasi manusia khususnya perempuan diatur oleh
berbagai hukum, baik yang paling tinggi yaitu Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 hingga aturan-aturan lain yang ada dibawahnya.

2.3.1 UUD 1945


Hak Asasi Manusia dijamin pada pasal 28 UUD 1945. Sedangkan hak
asasi manusia yang berhubungan dengan perempuan dijamin lebih rinci

9
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 16
pada pasal 28 B ayat (2), yaitu “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”

2.3.2 UU RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Pada pasal 2 dijelaskan bahwa
“Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut. “

2.3.3 UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM


Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera
lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan hak miliknya

2.3.4 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsipprinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

2.3.5 Peraturan Menteri Kesehatan no. 1636/MENKES/PER/2010


Peraturan ini sudah dicabut/dihentikan pada tahun 2014, Kementerian
Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan.
Kementerian Kesehatan memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan
sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan
yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan.10

10
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 3
2.3.6 Fatwa MUI nomor 9A Tahun 2008 Tentang Khitan Perempuan
Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dikaitkan dengan upaya
pensucian diri, baik bersifat hissî maupun ma’naw.
Pertama, status hukum khitan perempuan.
(1) Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah
(aturan) dan syiar Islam.
(2) Khitan terhadap perempuan adalah makrûmah, pelaksanaannya sebagai
salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kedua, hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. Pelarangan khitan
terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena
khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan)
dan syiar Islam.
Ketiga, batas atau cara khitan perempuan. Dalam pelaksanaannya, khitan
terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan
selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris;
(2) Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti
memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang
mengakibatkan dharar.
Keempat, rekomendasi.
Pertama, meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi
tentang masalah khitan perempuan.
Kedua, menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan
untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk
melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sunat pada perempuan disebabkan oleh multifaktor, baik sosial, agama,
mitos, kesehatan dan lain-lain. Sunat pada perempuan jika ditinjau dari segi
kesehatan tidak memiliki manfaat sama sekali, namun sunat pada perempuan
tidak dapat dilarang begitu saja karena masih banyak faktor yang
mempengaruhinya. Suatu peraturan tidak boleh dibuat jika hanya melihat dari
satu faktor saja. Suatu peraturan yang dibuat akan menjadi baik jika
mempertimbangkan berbagai faktor yang mendasari suatu permasalahan.
Begitu juga pada kasus sunat wanita.

3.2 Saran
Pemerintah Indonesia sebaiknya menetapkan sebuah peraturan yang secara
jelas dan rinci yang mengatur tentang sunat wanita, akan lebih baik lagi jika
peraturan ini dibuat dengan tingkatan undang-undang. Melalui adanya
peraturan yang jelas, maka perlindungan hukum akan mencakup berbagai
pihak baik dari petugas kesehatan hingga perempuan itu sendiri. Dengan
adanya peraturan tersebut juga sebaiknya diatur mengenai tata acra sunat pada
perempuan yang baik dan benar
DAFTAR BACAAN

United Nation Childern Fund, 2013, Female Genital Mutilation/Cutting, New


York.
M. Asrorun Ni’am Sholeh, 2012, Fatwa MUI Tentang Khitan Perempuan,
Jakarta.
Anonim, “Female Genital Mutilation”,
https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga

Peraturan Menteri Kesehatan no. 1636/MENKES/PER/2010

You might also like