Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
NIM : 2015.06.2.0046
FAKULTAS HUKUM
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut
sunat perempuan, yaitu: 1) Female Genitale Cutting (FGC) atau pemotongan alat
kelamin perempuan; 2) Female Genitale Mutilation (FGM) atau mutilasi alat
kelamin perempuan; 3) Female Circumcision (FC) atau sunat perempuan, namun
untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik tersebut, istilah yang
lebih banyak dipakai adalah Female Genitale Mutilation (FGM) oleh pihak-pihak
yang menentang praktik sunat perempuan (WHO, 2008)
1
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
2
Ibid.
perempuan yang menjalani prosedur ini diberikan hadiah seperti perayaan,
pengenalan kepada publik dan hadiah. Oleh karena itu, pada tradisi dimana hal ini
secara luas dilakukan, sunat perempuan menjadi suatu bagian penting dari tradisi
dan memberikan rasa kebanggaan, menjadi dewasa dan menjadi satu dengan
komunitasnya.3
Sunat perempuan sendiri sudah dilarang atau dibatasi pada banyak negara,
namun masih terjadi dikarenakan peraturan hukum yang jelek. Telah banyak
upaya dalam skala internasional sejak tahun 1970an untuk membujuk para praktisi
sunat perempuan untuk meninggalkan kegiatan ini, dan pada tahun 2012 United
Nations General Assembly, mengenalkan sunat perempuan sebagai suatu bentuk
pelanggaran hak asasi manusia.4
3
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 6
4
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
mengharapkan adanya larangan khitan terhadap perempuan.5 (fatwa MUI tentang
khitan perempuan)
5
M. Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa MUI Tentang Khitan Perempuan, Jakarta, 2012, hal. 35
6
Anonim, “Female Genital Mutilation”, https://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_mutilation,
diakses 6 Agustus 2016
7
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sunat
8
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 3
Dalam buku itu ia mengungkapkan bahwa dikepala orang Massai di Afrika
ada kepercayaan bahwa dengan memotong klitoris dan sedikit labia minora, maka
anak perempuan akan dapat dilepaskan dari fantasi seksual. Perlu diingat bahwa
suku Massai bukanlah suku Afrika yang mayoritas beragama Islam. Pengaruh
budaya ini demikian mendalamnya, sehingga orang orang perempuan yang
dikhitan secara simbolis sewaktu masih bayi akan merasa bahwa dirinya masih
belum benar-benar bersih, apalagi ia tidak ingat lagi apakah ia sudah dikhitan atau
belum. Berbagai pendapat tentang asal mula dipraktikkannya sunat perempuan,
menurut WHO (2001) bahwa ada beberapa pendapat asal usul sunat perempuan,
antara lain:
1. Female Genital Mutilation atau sunat perempuan tidak dikenal kapan atau
dimana tradisi sunat perempuan dimulai.
2. Beberapa orang percaya FGM dimulai dari zaman dahulu kala.
3. Beberapa orang percaya ini dimulai selama perdagangan Budak ketika budak
hitam yang dimasukkan masyarakat Arab.
4. Beberapa percaya sunat perempuan dimulai dengan kedatangan Islam di
beberapa bagian sub-sahara Afrika.
5. Yang lain percaya bahwa sunat perempuan dimulai pada saat kemerdekaan di
Afrika, terlebih dahulu kunjungan Islam, orang-orang berpengaruh diantara
serdadu-serdadu.
6. Beberapa percaya sunat perempuan berawal dari dilontarkan kemerdekaan
diantara grup etnik di Afrika sebagai upacara kedewasaan.
Menurut Irianto (2006) bahwa dampak jangka panjang dan jangka panjang dari
sunat perempuan, yaitu:
a. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10
a. (sepuluh) menit.
b. Gunakan sarung tangan steril.
c. Pasien terbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati.
d. Fiksasi lutut dengan tangan, vulva ditampakkan.
e. Cuci vulva dengan povidon iodine 10%, menggunakan kain kasa.
f. Bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan
gland klitoris sampai bersih.
g. Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris
(frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai
berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.
h. Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodine 10%.
i. Lepas sarung tangan. dan
j. Cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.
2.2 Hak Asasi Manusia Internasional
Female Genital Mutilation dikonsep ulang sebagai isu hak asasi manusia.
Pada tahun 1993, konferensi dunia Wina tentang hak asasi manusia merupakan
peristiwa penting yang menerbitkan dua hal penting yaitu: pertama, “Female
Genital Mutilation” diklasifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia perempuan; kedua, pelanggaran hak asasi manusia menjadi pertama kali
diketahui berada dibawah bagian hak asasi manusia internasional.
9
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 16
pada pasal 28 B ayat (2), yaitu “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
10
United Nation Childern Fund, Female Genital Mutilation/Cutting, New York, 2013, hal. 3
2.3.6 Fatwa MUI nomor 9A Tahun 2008 Tentang Khitan Perempuan
Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dikaitkan dengan upaya
pensucian diri, baik bersifat hissî maupun ma’naw.
Pertama, status hukum khitan perempuan.
(1) Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah
(aturan) dan syiar Islam.
(2) Khitan terhadap perempuan adalah makrûmah, pelaksanaannya sebagai
salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kedua, hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. Pelarangan khitan
terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena
khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan)
dan syiar Islam.
Ketiga, batas atau cara khitan perempuan. Dalam pelaksanaannya, khitan
terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan
selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris;
(2) Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti
memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang
mengakibatkan dharar.
Keempat, rekomendasi.
Pertama, meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi
tentang masalah khitan perempuan.
Kedua, menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan
untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk
melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sunat pada perempuan disebabkan oleh multifaktor, baik sosial, agama,
mitos, kesehatan dan lain-lain. Sunat pada perempuan jika ditinjau dari segi
kesehatan tidak memiliki manfaat sama sekali, namun sunat pada perempuan
tidak dapat dilarang begitu saja karena masih banyak faktor yang
mempengaruhinya. Suatu peraturan tidak boleh dibuat jika hanya melihat dari
satu faktor saja. Suatu peraturan yang dibuat akan menjadi baik jika
mempertimbangkan berbagai faktor yang mendasari suatu permasalahan.
Begitu juga pada kasus sunat wanita.
3.2 Saran
Pemerintah Indonesia sebaiknya menetapkan sebuah peraturan yang secara
jelas dan rinci yang mengatur tentang sunat wanita, akan lebih baik lagi jika
peraturan ini dibuat dengan tingkatan undang-undang. Melalui adanya
peraturan yang jelas, maka perlindungan hukum akan mencakup berbagai
pihak baik dari petugas kesehatan hingga perempuan itu sendiri. Dengan
adanya peraturan tersebut juga sebaiknya diatur mengenai tata acra sunat pada
perempuan yang baik dan benar
DAFTAR BACAAN