You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat

melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Ketidak mampuan

seseorang untuk berkomunikasi secara verbal tidak menjadikan orang tersebut tidak

mengalami nyeri dan tidak membutuhkan terapi anti nyeri yang sesuai. Oleh karena

itu perlu ditekankan pentingnya pemeriksaan dan penatalaksanaan nyeri yang teliti

terutama bila berhadapan dengan pasien dengan gangguan kesadaran, pasien anak

dengan gangguan pertumbuhan dan gangguan kemampuan pra verbal, dan pasien

dengan gangguan kemampuan komunikasi akibat penyakit tertentu atau akibat

kendala bahasa.

Hal utama untuk praktek penaggulangan nyeri adalah diagnosis yang tepat.

Teknologi yang semakin canggih dan tuntutan untuk menjadi lebih efisien

mengakibatkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik menjadi kurang

diperhatikan saat merawat pasien. Kurangnya baiknya anamnesis akan membatasi

kesempatan pasien untuk mendapatkan pertolongan nyeri yang tepat.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak melindungi badan kita
dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang
berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik)
misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. [ CITATION lat09 \l 1057 ]

II.1 . Pembagian nyeri [ CITATION lat09 \l 1057 ]

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang dimulai secara tiba-tiba dan biasanya tidak

berlangsung lama. Jika nyerinya hebat, bisa menyebabkan denyut jantung yang cepat,

laju pernafasan meningkat, tekanan darah meninggi, berkeringat dan pupil melebar.

a. Nyeri somatik luar (nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa).

b. Nyeri somatik dalam (nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat).

c. Nyeri viseral (nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam).

2) Nyeri kronik

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan;
istilah ini biasanya digunakan jika:

 Nyeri menetap selama lebih dari 1 bulan

 Nyeri sering kambuhan dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun

 Nyeri berhubungan dengan penyakit menahun (misalnya kanker).

Nyeri kronis biasanya tidak mempengaruhi denyut jantung, laju pernafasan, tekanan
darah maupun pupil; tetapi bisa menyebabkan gangguan tidur, mengurangi nafsu makan
dan menyebabkan sembelit, penurunan berat badan, berkurangnya gairah seksual dan
depresi.
II.2 . Kualitas Nyeri [ CITATION lat09 \l 1057 ]

1. Nyeri cepat (fast pain) singkat, tempatnya jelas sesuai rangsang yang diberi. Nyeri
dihantar oleh serabut saraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi
12-30 m/detik. Misalnya nyeri tusuk, pembedahan.

2. Nyeri lambat (slow pain) sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang
misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut, rasa ngilu, linu. Nyeri dihantar oleh serabut
saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5-2 meter/detik

II.3 . Nyeri Inflamasi

Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimia atau seluler yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya.
Tanda utama inflamasi :

1. Rubor (kemerahan)

2. Kalor (kehangatan)

3. Tumor (pembengkakan)

4. Dolor (nyeri)

5. Fungsio laesa (kehilangan fungsi)

Reseptor nyeri
Ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual muntah melalui peningkatan
sirkulasi katekolain akibat stres.

II.4 . Mekanisme Nyeri [ CITATION lat09 \l 1057 ]


Nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

a) Transduksi

Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang


kemudian menjadi impuls saraf.

b) Transmisi

 Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis


disebut sebagai neuron aferen primer.

 Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut
neuron penerima kedua

 Neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron


penerima ketiga

c) Modulasi

Modulasi nyeri dapat timbul di nosireseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi.

d) Persepsi

Nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas.

II.5 . Zat-zat penghasil nyeri[ CITATION lat09 \l 1057 ]


Pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat nalgesik yang berkumpul di sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya (Tabel 1): bradikinin,
histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostaglandin, substansi P dan
5-hidroksitriptamin. Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.

Table 1. zat yang timbul akibat nyeri

Menimbulkan Efek pada


Zat Sumber
Nyeri Aferen Primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandi
Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
n
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Substansi P Aferen Primer ± Sensitisasi

II.6 . Penilaian nyeri[ CITATION Mar09 \l 1057 ]

Penilaian dan pengukuran derajat nyeri sangatlah penting dalam proses


diagnosis penyebab nyeri. Dengan penilaian dan pengukuran derajat nyeri dapat
dilakukan tata laksana nyeri yang tepat, evaluasi serta perubahan tata laksana sesuai
dengan respond pasien. Nyeri harus di periksa dalam suatu kerangka biopsikososial
dengan memperhatikan faktor fisiologis, psikologis serta lingkungan.

Penilaian nyeri meliputi:

1. Anamnesis umum

2. Pemeriksaan fisik

3. Anamnesis spesifik nyeri dan evaluasi ketidakmampuan yang ditimbulkan nyeri:

a. Lokasi nyeri
b. Keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri

c. Karakter nyeri

d. Intensitas nyeri

e. Gejala yang menyertai

f. Efek nyeri terhadap aktivitas

g. Tatalaksana yang sudah di dapat

h. Riwayat penyakit yang relevan dengan rasa nyeri

i. Faktor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien

Dengan penilaian nyeri yang lengkap dapat di bedakan antara nyeri nosiseptif
(somatic dan visera) dengan nyeri neuropatik.

- Nyeri somatic dapat dideskripsikan sebagai nyeri tajam, panas atau


menyengat, yang dapat di tunjukkan lokasinya serta di asosiasikan dengan
nyeri tekan lokal di sekitarnya.

- Nyeri visera di deskripsikan sebagai nyeri tumpul, kram atau kolik yang tidak
terlokalisir dan dapat disertai dengan nyeri tekan lokal, nyeri alih, mual,
berkeringat dan perubahan kardiovaskular.

- Nyeri neuropatik memiliki ciri khas:

 Deskripsi nyeri seperti terbakar, tertembak atau tertusuk.

 Nyeri terjadi secara paroksismal atau spontan serta tanpa terdapat


faktor presipitasi.

 Terdapatnya diastesia (sensasi abnormal yang tidak menyenangkan


yang timbul spontan ataupun dipresipitasi, hyperalgesia (peningkatan
derajat respon terhadap stimulus nyeri normal), alodinia (nyeri yang
dirasakan akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak
menyebabkan nyeri) atau adanya hipoestesia.
 Perubahan system otonom regional (perubahan warna, suhu dan
keringat) serta phantom phenomena. Sangatlah penting untuk
mengetahui tipe nyeri yang diderita, karena durasi nyeri dan respon
terhadap pemberian obat analgesia beragam antar tipe nyeri.

II.7 . Pengukuran derajat nyeri[ CITATION Mar09 \l 1057 ]

Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena sangat


dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologis, psikologi, lingkungan
(pengalaman, budaya, prognosis, strategi mengatasi masalah, rasa takut, ansietas)
karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan mandiri pasien yang bersifat
sensitive dan konsisten sangatlah penting.
Pada keadaan dimana tidak mungkin mendapatkan penilaian mandiri pasien
seperti ada keadaan gangguan kesadaran, ganguan kognitif, pasien pediatrik,
kegagalan komunikasi, tidak adanya kerjasama atau ansietas hebat dibutuhkan cara
pengukuran yang lain.
Modalitas yang sering digunakan untuk memberikan informasi tambahan
tentang derajat nyeri pasien antara lain derajat hyperalgesia (ambang respon
mekanik), respon stress (kortisol plasma), respon perilaku (ekspresi wajah), tidak
mampu batuk, serta respon fisiologis (perubahan laju jantung)
Kebutuhan analgesia pasien (contoh total dosis opioid yang dibutuhkan
pasien) juga dapat digunakan sebagai pengukuran post hoe nyeri.
Saat ini derajat nyeri ditetapkan sebagai tanda vital kelima yang bertujuan
untuk meningkatkan kepedulian akan rasa nyeri dan diharapkan dapat memperbaiki
tatalaksana nyeri akut.
Pengukuran derajat nyeri yang regular dan berulang akan membantu
mengetahui adekuat atau tidaknya terapi analgesia. Frekuensi pemeriksaan ulang yang
tepat ditentukan oleh lama dan beratnya nyeri, respon pasien, serta jenis tatalaksana
yang diberikan.
Pengukuran nyeri sebaiknya dilakukan baik pada posisi statik (istirahat)
maupun dinamis (duduk, batuk). Pengukuran nyeri statik
berhubungan dengan kemampuan pasien untuk tidur, sedangkan pengukuran nyeri
dinamik berhubungan dengan hyperalgesia mekanik dan menentukan apakah
analgesia yang diberikan cukup untuk fungsi penyembuhan.
Bila nyeri tidak dapat di kendalikan, harus dipikirkan adanya diagnosis
diferensial lain seperti adanya komplikasi operasi atau adanya nyeri neuropatik.
Pertimbangkan konsultasi degan Acute Pain Service atau spesialis lainnya.
a. Skala Kategorik

Skala kategorik adalah skala pengukuran derajat nyeri yang menggunakan


kata-kata untuk mendeskripsikan tingkat nyeri atau derajat perbaikan nyeri. Skala
deskripsi verbal (SDV) adalah skala yang paling sering digunakan (dengan
menggunakan kategori: tidak nyeri sama sekali, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat). Berkurangnya derajat nyeri juga dapat dikategorikan dengan
menggunakan SDV (tidak ada perbaikan, sedikit perbaikan, perbaikan sedang,
perbaikan total)

Terdapat kolerasi yang baik antara SDV dengan skala analog visual, namun
SDV kurang sensitive mengukur hasil terapi nyeri dibandingkan dengan Skala
Analog Visual (SAV).

Skala kategorik memiliki beberapa kelebihan yaitu pengukuran lebih cepat,


mudah serta masih dapat digunakan pada pasien usia lanjut, pasien dengan
gangguan penglihatan ataupun anak-anak tertentu. Disisi lain skala kategorik
memiliki pilihan lebih sedikit dibandingkan dengan skala numerik sehingga
menimbulkan kesulitan dalam mendeteksi ada tidaknya perbedaan efikasi
beberapa terapi.

b. Skala Numerik

Skala numerik (Numerical Rating Scale) terdiri atas 2 bentuk, verbal dan
tertulis. Pasien mengukur intensitas nyeri yang dirasakannya dalam skala 0 – 10
dimana 0 menunjukan tidak ada nyeri dan 10 menunjukan nyeri terburuk yang
dapat dibayangkan, ataupun tingkat berkurangnya nyeri mulai dari 0 yang tidak
ada perbaikan hingga 10 menunjukan perbaikan total

Skala Analog Visual (SAV, VAS = Visual Analog Scale) merupakan garis
horizontal sepanjang 100 mm dengan “tanda” verbal pada kedua ujungnya.
Pasien diminta membuat tanda pada garis tersebut dan skor yang didapat ialah
jarak dalam mm dari tanda disebelah kiri skala hingga tanda yang dibuat. VAS
adalah skala yang paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
dengan kata “tidak nyeri” diujung kiri dan “sangat nyeri” diujung kanan,
sementara bila digunakan untuk mengukur berkurangnya nyeri, tanda verbal yang
digunakan adalah “tidak ada perbaikan” dan “perbaikan total”. VAS dapat pula
digunakan untuk mengukur aspek lain dari nyeri (seperti komponen afektif,
kepuasan pasien, efek samping).

Nilai VAS lebih dari 70 mm dikategorikan sebagai nyeri berat dan 0-5 mm
“tidak nyeri” ; 5-44 mm “nyeri ringan” dan 45-74 “nyeri sedang”

Kelebihan VAS dibandingkan skala pengukuran yang lain adalah: mudah


dan cepat digunakan, serta menghindari penggunaan istilah yang tidak tepat.
Walaupun demikian, skala ini memerlukan konsentrasi dan koordinasi lebih untuk
digunakan, tidak cocok digunakan pada anak dibawah 5 tahun serta mungkin
tidak cocok pada hampir 26% pasien dewasa.

VAS telah terbukti merupakan skala yang linear bila diterapkan pada pasien
dengan nyeri pasca bedah akut dengan intensitas ringan – sedang. Sebagai skala
linear, derajat nyeri terdistribusi merata sepanjang skala sedemikian sehingga
perbedaan derajat nyeri yang dirasakan pasien untuk tiap pertambahan satuan
skala adalah sama.

Skala numerik vebal (SNV, VNRS = Verbal Numerical Rating Scale) adalah
pengukuran derajat nyeri yang dilakukan dengan meminta pasien mengukur
derajat nyeri dengan membayangkan 0 sebagai “tidak nyeri” dan 10 sebagai
“sangat nyeri”. Pengukuran dengan skala ini cukup mudah dilakukan, serta
memberikan hasil yang konsisten dan berkolerasi baik dengan VAS.
c. Pengukuran Nyeri Multidimensi

Pengukuran nyeri multidimensional dapat digunakan untuk mengukur


derajat nyeri, sekaligus memberikan informasi lebih lanjut mengenai karakteristik
nyeri dan dampaknya terhadap individu. Contohnya kuesioner nyeri McGill yang
digunakan untuk mengamati dimensi sensorik, afektif dan evaluative dari nyeri.

Alat pengukur derajat nyeri unidimensional seperti VAS tidaklah cukup


ketika digunakan untuk mengkuantifikasi nyeri neuropatik. Skala spesifik telah
dikembangkan untuk mengidentifikasi (dan/atau mengkuantifikasi) factor
deskriptif spesifik untuk nyeri neuropatik dan memungkinkan evaluasi respond
pengobatan nyeri neuropatik.

d. Pengukuran Nyeri Unidimensional

Beberapa skala dapat digunakan untuk mengukur derajat nyeri ataupun


derajat perbaikan nyeri setelah intervensi. Skala pengukuran nyeri dapat
digunakan untuk membandingkan efikasi beberapa terapi nyeri.

II.8 . Jenis-jenis jalur pemberian analgesia

a. Jalur Pemberian sistemik[ CITATION Mar09 \l 1057 ]

Obat analgesia opioid dan non opioid bisa diberikan secara sistemik dengan
berbagai cara. Pemilihan cara pemberian obat bisa ditentukan dengan dberbgai
faktor meliputi etiologi, keparahan, dari nyeri: kondisi dari pasien beroperasi
menyeluruh dan karakteristik dari teknik pemberian yang dipilih. Faktor
tambahan yang bisa dipertimbangkan lagi adalah mudahnya cara penggunaan,
kecepatan analgesia onset, realitas efeknya pada pasien, durasi obat, harga dan
penerimaan pasien pada cara tersebut pemberian. Keterbatasan fleksibilitas dalam
penjadwalan pemberian dosis analgesia terutama dengan cara intermiten dan prn
(tergantung kebutuhan) dalam menghilangkan nyeri terbukti tidak efektif dalam
pembahasan cara pemberian obat analgesia. Penilaian berkala pada tingkat nyeri
pasien dan respon mereka pada terapi yang (termasuk timbulnya berbagai efek
samping) lebih baik dibandingkan dengan sekedar ketaatan pemberian dosis obat.
[ CITATION Mar09 \l 1057 ]

1. Jalur oral

Pemberian obat analgesia beroperasi oral adalah sangat mudah, non invasif,
memiliki efikasi yang baik dan diterima dengan baik oleh pasien. Selain dalam
penanganan nyeri akut yang berat, pemberian beroperasi oral tidak ada
kontraindikasi penggunaannya. Jalur oral adalah cara yang banyak dipilih dalam
pemberian sebagian besar obat analgesia. Keterbatasan pemberian oral adalah
muntah atau memperlambat waktu pengosongan lambung. Bila analgesia oral
dengan dosis multipel diberikan sebelum motilitas lambung kembali normal, akan
menimbulkan akumulasi dosis yang kemudian masuk melalui usus halus kedalam
tubuh kembali secara bersamaan (efek dumping). ini akan menghasilkan
penyerapan sistemik yang tidak bisa diduga dari obat tersebut dan meningkatkan
risiko terjadinya efek samping yang merugikan.[ CITATION Mar09 \l 1057 ]

2. Jalur intra vena


Obat analgesia yang diberikan secara intravena memiliki onset yang lebih
cepat dibandingkan dengan cara pemberian melalui rute lain.[ CITATION
Mar09 \l 1057 ]
3. Infus kontinyu
Infus kontinyu dari obat golongan opioid menghasilkan tingkat obat yang
konstan level obat yang konstan dalam plasma darah setelah kira-kira 4 waktu
paruh opioid dipergunakan. Tujuan dari penggunaan infus ini adalah untuk review
menghindari masalah akibat puncak kadar obat dalam plasma darah melalui
teknik pemberian intermiten. Akan tetapi beberapa variasi respon pasien akibat
perubahan intensitas nyeri akut dan jeda waktu antara pemberian dosis infus dan
efek yang diharapkan menghasilkan ketidakadekuatan terapi yang
penanggulangan nyeri akut atau menimbulkan efek samping yang tertunda seperti
depresi nafas. Dibandingkan dengan PCA. Infus opioid intravena kontinyu pada
ruang perawatan umum menghasilkan peningkatan insiden depresi nafas
sebanyak 5 kali.[ CITATION Mar09 \l 1057 ]
4. Jalur intra muskular dan subkutan
Injeksi analgesia secara IM dan subkutan (biasanya golongan opioid) masih
sering digunakan untuk untuk menangani nyeri sedang sampai berat. Absorbsinya
dapat terganggu oleh keadaan yang berfusinya sangat jelak (misalnya
hipovolemik, syok, hipotermi atau imobilitas) hal ini juga disebabkan oleh karena
terlambatnya pemberian analgesia dan absopsi yang lambat dari debo obat saat
perfusi sudah kembali normal.[ CITATION Mar09 \l 1057 ]
5. Jalur rektal
Pemberian obat melalui rektal adalah sangat bermanfaat apabila rute yang
yang lain tidak bisa dipergunakan. Hasilnya yaitu melalui penyerapan kedalam
pleksus vena submukosa dari rektum dimana drainasenya pada vena rektalis
superior, medius dan rendah. Obat diserap dari separuh bagian bawah rektum
akan menuju kedalam vena rektalis medius dan inferior lalu menuju vena cava
inferior melalui sistem porta dan mengalami first hepatic metabolism. Masalah
potensial yang dialami melalui rute rektal pada pemberian suatu obat adalah
berkaitan dengan variasi absorpsinya, menyangkut juga masalah yang memang
ada pada rektal itu sendiri dan faktor kultural. Kontraindikasi panduan tatalaksana
nyeri perioperatif penggunaan rute ini adalah terdapatnya lesi direktal, pasca
bedah koloektal yang belum lama berselang dalam penurunan respon imun.
Apabila obat tersebut diberikan pada pasien yang masih sadar atau dalam
pengaruh anestesia adalah sangat penting dalam memberikan inform consent
kepada pasien atau keluarganya sebelum diberikan melalui rute tersebut.
6. Jalur transdermal
Salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan farmasi/obat
berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit, namun
mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
7. Jalur Transmukosa
Obat yang diberikan transmukosa (intranasal, sublingual, bukan dan paru )
di absorpsi secara cepat menuju sirkulasi sistemik tanpa melewati first hepatic
matabolism .obaat-obatan yang sering dipakai dalam penatalaksanaan nyeri akut
adalah opioid yang cepat larut dalam lemak.

II.9 . Farmakologi analgetik

Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu :[ CITATION Muc12 \l 1057 ]
[ CITATION Ari14 \l 1057 ]
a) analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic
(misalnya asetosal dan acetaminofen).
b) analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya
morfin)

a. Analgetika non opioid

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim

siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya

adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah memblok

pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang

terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak

berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung

usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping

biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar. Obat-

obat Nonopioid Analgesics ( Generic name ) Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib,

Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,

Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin,

Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin. Deskripsi

Obat Analgesik Non-opioid.

1. Salicylates

Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis

prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada

dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun

tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung

(intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (minum aspirin

bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).


2. p-Aminophenol Derivatives

Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat

ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek

anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti

nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-

kadang timbul 10 kali peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat

menimbulkan pusing, mudah terangsang dan disorientasi.

3. Indoles and Related Compounds

Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin,

merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek

terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan

pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.

4. Derivat Fenamates

Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam fenamat,

mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-obat AINS baru

yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya. Obat ini meningkatkan efek

antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada kehamilan.

5. Arylpropionic Acid Derivatives

Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis rendah dengan

berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip

hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping:

gejala saluran cerna.

6. Pyrazolone Derivatives

Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis rmatoid,

dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat.
Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia aplastik,

anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.

7. Oxicam Derivatives

Contoh obatnya : Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru. Waktu

paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka.

Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.

8. Acetic Acid Derivatives

Contoh Obatnya : Diclovenac (Volatren) : Obat ini adalah penghambat

siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi , analgetik, dan antipiretik. Waktu

paruhnya pendek, dianjurkan untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan berbagai

kelainan otot rangka. Efek sampingnya distress saluran cerna, perdarahan saluran cerna

dan tukak lambung.

b. Analgetik Opioid

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea,
yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal tempat
kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di
reseptor µ dan sisanya di reseptor k.[ CITATION lat09 \l 1057 ][ CITATION Muc12 \l
1057 ][ CITATION Ari14 \l 1057 ]

Opioid digolongkan menjadi :

1. Agonis

Mengaktifkan reseptor. Contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin,


demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, kodein, alfaprodin.

2. Antagonis

Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis


merangsang reseptor. Contoh: nalokson, naltrekson

3. Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin.

Dalam klinik opiodi digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat


(morfin), tetapi penggolongan ini kurang populer. Penggolong lain diantaranya :
[ CITATION lat09 \l 1057 ]

a. natural (morfin, kodein, papaverin dan tebain),


b. semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivat tebain) dan
c. sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

1) Morfin[ CITATION Muc12 \l 1057 ]

Efek samping : Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya)

meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia,

pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan

hipotensi.

Dosis dan sediaan : Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.

Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis

anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/

kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yang diperlukan.

1) Petidin[ CITATION Muc12 \l 1057 ]

Dosis dan sediaan : Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ;

suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50

mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis

untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

Efek samping : Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang

ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan

lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

2) Fentanil[ CITATION Muc12 \l 1057 ]


Farmakodinamik : Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid

poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan

dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan

kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil

(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan

itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi

menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf

tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan

neureptanalgesia.

Farmakokinetik : Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara

kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru

ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-

dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat

urin.

Indikasi : Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.

Dosis 1-3 mg/kgBBanalgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya

dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis

besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan

anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah

jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

Efek samping : Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung

yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat

mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron

dan kortisol.

3) Sufentanil
Sufat sufentanilkira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat

dari fentanil. Efek analgeniknya kira-kira 5-10 kali fentanil.dosisnya 0,1-0,3

mg/kgBB.

4) Alfentanil

Kekuatan analgesiknya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual muntahnya sangat

besar. Mulai kerjanya cepat. Dosis analgesil 10-20 µg/kgBB.

5) Tramadol

Tramadol atau tramal adalah anagesik sentral dengan afinitas rendah pada

reseptor µ(mu) dan kelemahan analgesiknya 10-20% dibandingkan morfin.

Tamadol dapat diberikan secara oral, im, atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat

diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.

ANTAGONIS

6) Nalokson

Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu,

delta, kappa, signa. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan morfin

akan terliat laju napas meningkat, kantuk hilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah

sebelumnya rendah akan meningkat.

Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir

pembedahan dengan dosis cicil 1-2µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5

menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan.

Dposis intramuskuler 2 kali dosis intravena . pada keracunan opioid diberikan

nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml , sehingga setiapa ml mengandung 0,04

ml.

7) Naltrekson
Merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan peroral,

pada pasien ketergantungan opioid . waktu paro plasma 8-12 jam. Permberian oral

dapat bertahan selama 24 jam. Naltrekson peroral 5 atau 10 mg dapat mengurangi

pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa

menghilangkan efek analgesianya.

7. Penatalaksanaan nyeri[ CITATION Rog16 \l 1033 ]


Tabel 2. Kesimpulan Intervensi Untuk Penanganan Nyeri Post Operasi
Intervensi Saran penggunaan Komen Kontraindikasi dan
perhatian

Terapi non
farmakologi
Pertimbangan Biasanya dioleskan pada bagian yang Alat pacu jantung
 Rangsangan sebagai tambahan akan di insisi. atau atau
elektrik manajemen defibrilator implan,
transkutaneus perawatan nyeri lymphedema, kulit
saraf pascaoperasi yang rusak.
lainnya
Termasuk pencitraan terpadu dan
metode relaksasi lainnya, hipnosis, Tidak ada, hati-hati
Pertimbangan saran intraoperatif dan musik pada pasien dengan
 Modalitas sebgai tambahan Mungkin memerlukan pendidikan pra riwayat psikosis
kognitif perawatan operasi dan pelatihan pasien untuk
manajemen nyeri hasil yang optimal
pasca operasi
lainnya

Terapi
farmakologi
sistemik
Digunakan Tidak jelas pemberian perbedaan antara Acetaminofen :
 Acetami
sebagai i.v dan oral hepatotoxicity
nophen komponen dari
dan analgesis  Mengurangi penggnaan opioid NSAIDs :
NSAIDs multimodal postoperatif perdarahan
gastrointestinal dan
 Celecoxib dosis 200-400 mg,
ulserasi, penyakit
30 menit sampai 1 jam
jantung, disfungsi
preoperatif dan kemudian 200
ginjal.
mg dua kali sehari postopertif
 Acetaminofen dosis biasa 500
– 1000 mg p.o atau i.v setiap 6
jam
 Beberapa bukti pengamatan
menghubungkan antara dosis
tinggi NSAIDs dan nonunion
pada fusi spinal dan
pembedahan untuk fraktur,
dan antara penggunaan
NSAID dan kebocoran
anastomosis pada operasi
usus.
 NSAID dikontraindikasikan
pada pasien yang menjalani
operasi bypass arteri koroner.

Opioid oral Digunakan Oral adalah cara pilihan untuk pasien Depresi pernafasan,
sebagai yang dapat minum per oral. berpotensi untuk
komponen ketergantungan dan
analgetik kematian,
multimodal mengantuk, mual
dan muntah,
konstipasi

Pasien dikontrol Digunakan ketika Hindari infus basal opioid pada orang Lihat opioid oral
dengan jalur parenteral dewasa yang baik-baik saja dengan
menggunakan dibutuhkan opioid
analgesik i.v dan setelah lebih dari
opioid sejam untuk
analgetik sistemik
postoperatif

Gabapentin dan Pertimbangkan Gabapentin dosis bervariasi; Dalam uji Pusing, mengantuk;
pregabalin sebagai coba yang biasanya dilakukan pada 600 dosis diturunkan
komponen sampai 1200 mg 1 sampai 2 jam pada gangguan
analgesia sebelum operasi, 600 mg pasca operasi ginjal.
multimodal, (dosis tunggal atau beberapa dosis)
terutama Pregabalin dosis bervariasi; Dalam uji
dipelajari pada coba yang biasanya dilakukan pada 100
pasien yang atau 300 mg sebelum operasi, atau 150
BAB III

KESIMPULAN

BAB IV  Berdasarkan Guidelines on the Management of Postoperative Pain

 
2016 terdapat 3 rekomendasi kuat lainnya dengan bukti berkualitas tinggi dalam
penangan nyeri post opersi yaitu:

• Penggunaan acetaminophen dan / atau NSAID sebagai bagian dari analgesia


multimodal untuk penanganan nyeri pasca operasi pada orang dewasa dan
anak-anak tanpa kontraindikasi;
• Pertimbangan teknik anestesi regional spesifik lokasi pembedahan pada orang
dewasa dan anak-anak untuk prosedur dengan bukti yang menunjukkan
keefektifan; dan
• Gunakan analgesia neuraksial untuk prosedur toraks dan abdomen mayor,
terutama pada pasien yang berisiko mengalami komplikasi jantung atau ileus
berkepanjangan.
BAB V Rekomendasi yang kuat dengan bukti kualitas moderat meliputi:
• Mengadministrasikan opioid oral melalui intravena (IV) pada pasien yang
dapat menggunakan jalur oral;
• Menghindari rute intramuskular untuk pemberian analgesik;
• Memilih analgesia yang dikendalikan oleh pasien IV (PPP) bila diperlukan
rute parenteral;
• Tidak menggunakan infus rutin opioid dengan PCA IV pada orang dewasa
opioid-naif;
• Mengingat dosis praoperatif celecoxib oral pada orang dewasa tanpa
kontraindikasi;
• Menimbang gabapentin atau pregabalin sebagai komponen analgesia
multimodal;
• Menggunakan analgesik lokal topikal yang dikombinasikan dengan blok saraf
sebelum disunat;
• Menghindari analgesia intrapleural dengan anestesi lokal untuk pengendalian
nyeri setelah operasi toraks;
• Menggunakan teknik analgesik analgesik regional berbasis anestesi lokal
kontraktual bila kebutuhan analgesia cenderung melebihi durasi efek injeksi
tunggal; dan
• Menghindari pemberian magnesium, benzodiazepin, neostigmin, tramadol,
dan ketamine secara neurotial.
BAB VI
BAB VII Meskipun ada bukti berkualitas rendah, panel tersebut sangat
merekomendasikan agar dokter
• Berikan pasien pendidikan, termasuk informasi tentang pilihan pengobatan;
• Lakukan evaluasi pra operasi, termasuk penilaian komorbiditas medis dan
psikiatri, obat bersamaan, riwayat sakit kronis, dan penyalahgunaan zat;
• Sesuaikan rencana manajemen nyeri berdasarkan kecukupan pereda nyeri dan
adanya efek samping;
• Gunakan alat penilaian rasa sakit yang telah divalidasi untuk melacak respons
terhadap perawatan nyeri pascaoperasi dan sesuaikan rencana pengobatan;
• Memantau dengan tepat sedasi, status pernapasan, dan efek samping lainnya
pada pasien yang menerima opioid sistemik; dan
• Berikan pemantauan yang sesuai untuk pasien yang telah menerima intervensi
neuraksial untuk analgesia perioperatif.
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Said A. Petunjuk Praktik Anestesiologi. Bagian anestesiologi dan terapi

intensif FK UI. Edisi Ke-2. Jakarta: FK UI. 2009

2. Marsaban, Arief. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PP IDSAI. Jakarta:

2009

3. Muchtar, Armen. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Badan Penerbit FK UI.

Jakarta. 2012

4. Arif, Azalia. Cara Mudah Belajar Farmakologi. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.

2014

5. Roger, Chou. Management Postoperative Pain: A Clinical Practice Guideline

From the American Pain Society. Journal American Pain Society. 2016

You might also like