You are on page 1of 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

salah satu diantaranya adalah penyakit infeksikecacingan yang ditularkan melalui

tanah(soil transmitted helminths)seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing

tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk

(Trichuris trichiura).Penyakit infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan

menurunnya kondisi kesehatan, status gizi, produktifitas serta menurunnya kualitas

sumber daya manusia(Depkes, 2007).

Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah masih merupakan penyakit

rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi dan menyebabkan gangguan gizi seperti

anemia, gangguan pertumbuhan dan menurunnya tingkat kecerdasan (Sodikin,

2011).Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011, lebih dari 1

milyar penduduk terinfeksi Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi Trichuris

trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus). Jumlah terbanyak infeksi cacing ini terdapat di Afrika,

Amerika, China dan Asia Timur.

Data hasil survei kecacingan oleh Departemen Kesehatan pada anak sekolah

dasar di 27 propinsi di Indonesia menurut jenis cacing tahun 2002-2006 didapatkan

bahwa pada tahun 2002 prevalensi Ascaris lumbricoides 22,0%, Trichuris


trichiura19,9% dan Hookworm 2,4%; tahun 2003 prevalensi Ascaris lumbricoides

21,7%, Trichuris trichiura 21,0% dan Hookworm 0,6%;tahun 2004 prevalensi

Ascaris lumbricoides 16,1%, Trichuris trichiura 17,2% dan Hookworm 5,1%;tahun

2005 prevalensi Ascaris lumbricoides 12,5%, Trichuris trichiura 20,2% dan

Hookworm 1,6% dan pada tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides 17,8%,

Trichuris trichiura 24,2% dan Hookworm 1,0% (Depkes, 2007).

Prevelansi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi yaitu

sebesar 60%-80%. Hasil survei kecacingan 2009 di 10 propinsi oleh Ditjen P2PL

menunjukkan bahwa 31,8% siswa sekolah dasar menderita kecacingandengan

prevalensi Ascaris lumbricoides 30,4%, Tricuris trichiura 21,2%, Ancylostoma

duodenale dan Necatoramericanus 6,5%. Hasil survei kecacingan pada siswa sekolah

dasar di Indonesia tahun 2013 di 175 kab/kota menunjukkan bahwa angka kecacingan

0-85,9% dengan rata-rata prevalensi 28,12% (Depkes, 2014). Hasil penelitian di

sekolah dasar di Semarang didapatkan prevalensi siswa yang terinfeksi sebesar

10,71% dari 56 sampel siswa (Texanto, 2008).

Berdasarkan hasil survei Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, pada

tahun 2007 prevalensi kecacingan di Sumatera Utara adalah 74,3%, pada tahun 2008

sebanyak 66,8%, pada tahun 2009 sebanyak 31,2%, tahun 2011 sebanyak 45,9%, dan

tahun 2012 sebanyak 32,3% (Dinkes ProvSU, 2013). Hasil penelitian Lestari (2009),

di Kota Medan ditemukan prevalensi Ascariasis 29,2%, Trichuriasis 6,3% dan

infeksi campuran (Ascariasis + Trichuriasis) sebesar 58,3%. Pada tahun 2010 sampai

tahun 2012 Dinas Kesehatan Kota Medan telah melakukan Program Pemberian Obat
Cacing pada siswa sekolah dasar di 39 Puskesmas se-Kota Medan termasuk 51

sekolah dasaryang terdapat di Puskesmas Helvetia (Dinkes Kota Medan, 2013)

Siswa sekolah dasar merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat

tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial, sehingga perlu diperhatikan

dan disiapkan agar dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya, namun

beberapa hasil penelitianmasih menunjukan bahwa usia sekolah dasar merupakan

golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan

tanah dan rendahnya personal hygiene siswa. Personal hygiene menjadi salah satu

faktor resiko penyebab terjadinya infeksi kecacingan, personal hygieneyang masih

buruk seperti tangan yang kotor dan kuku panjang dan kotor menjadi

mediapenyebaran penyakit infeksi kecacingan. Penyakit infeksi kecacingan dapat

menular diantara siswa sekolah yang sering berpegangan tangan sewaktu bermain

dengan siswa lain yang kukunya tercemar telur cacing(Depkes, 2007).

Pencegahan infeksi berulang sangat penting dengan membiasakan perilaku

hidup bersih dan sehat, seperti menghindari kontak dengan tanah yang kemungkinan

terkontaminasi tinja/feses manusia, cuci tangan dengan sabun dan air sebelum

memegang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan makanan

yang jatuh ke lantai (Lilisari, 2007). Kecacingan dapat menghambat perkembangan

fisik dan kecerdasan. Siswa sekolah dasar yang terinfeksi kecacingan akan terhambat

dalam mengikuti pelajaran dikarenakan siswa akan merasa cepat lelah, menurunnya

daya konsentrasi, malas belajar dan pusing (Wibowo, 2008).


Hasil penelitian Daulay (2008), ada hubungan antara kebiasaan mencuci

tangan sebelum makan, setelah buang air besar, setelah bermain tanah/kontak dengan

tanah, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan angka infeksi kecacingan adalah

55,8%. Hasil penelitian Ginting (2008), kejadian kecacingan pada siswasekolah dasar

masih tinggi karena kebiasaan membuang air besar secara sembarangan, hal ini

disebabkan karena kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga yang dapat

menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja dankondisi ini sangat menguntungkan

bagi pertumbuhan telur cacing. Hasil penelitian Tumanggor (2008) dan Sianturi

(2011), menunjukkan ada hubungan antara higiene perorangan dengan infeksi

kecacingan danhasil penelitian Mutoharoh (2013), ada hubungan antara kebiasaan

mencuci tangan dengan infeksi kecacingan dan hasilnya sebanyak 66 (59,46%) siswa

yang tidak mencuci tangan terinfeksi kecacingan.

Pada dasarnya penyakit infeksi adalah salah satu penyebab langsung dari

gangguan status gizi (Azwar, 2007).Banyak penyakit yang diderita anak-anak pada

masa awal kanak-kanaknya (0-5 tahun) akan terus muncul kembali selama masa

sekolah terutama di awal-awal masa sekolah (6-9 tahun) dan infeksi kecacingan

adalah penyakit yang sering dicatat, yang sering terjadi dan lebih banyak jumlahnya

di komunitas siswa sekolah dasar (Rosso dkk, 2009). Beberapa penelitian tentang

kecacingan pada siswa sekolah dasar membuktikan adanya hubungan antara

kecacingan dengan malnutrisi. Tercurinya zat gizi dari usus menyebabkan

kekurangan micronutrient sehingga siswa yang terinfeksi kecacingan berat akan


kurang gizi dan anemia. Siswa yang terinfeksi kecacingan berat biasanya sering

mengalami diare sehingga kemampuan belajarnya menurun(Maria, 2008).

Status gizi dan berbagai penyakit infeksi berhubungan timbal balik, dimana

keadaan malnutrisi yang berat akan memperberat keadaan penyakit infeksi yang

diderita dan sebaliknya adanya penyakit infeksi akan memperburuk status gizi.

Infeksi soil transmitted helminths dapat menyebabkan malnutrisi pada anak melalui

gangguan pencernaan dan absorbsi, inflamasi kronis dan kehilangan nutrisi (Casapia,

2006). Hasil penelitian Elmi (2004),kejadian infeksi cacing yang ditularkan melalui

tanah pada anak di Desa Tanjung Anom-Sumatera Utara, menunjukkan adanya

hubungan penyakit infeksi kecacingan dengan status gizi anak. Anak yang tidak

terinfeksi cacing memiliki status gizi yang relatif lebih baik dibandingkan anak yang

terinfeksi cacing.

Keberhasilan upaya mempersiapkan anak yang berkualitas pada saat ini akan

menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan. Salah satu upaya

dalam meningkatkan kualitas SDM adalah melalui peningkatan status gizi. Menurut

Gunanti (2006), anak dengan status gizi yang baik merupakan perwujudan dari

terpenuhinya kecukupan makanan sesuai dengan kebutuhan sepanjang masa

pertumbuhan dan perkembangannya. Agarterpenuhinya kebutuhan gizi anak, maka

anak harus mengonsumsi makanan dalam jumlah yang memadai dan dengan mutu

gizi yang baik sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan.

Kecamatan Medan Helvetia adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada

di Wilayah Kota Medan dan memiliki luas 1.156,147 Ha. Kecamatan Medan Helvetia
terbagi menjadi 7 (tujuh) kelurahan dan 88 lingkungan dengan jumlah penduduk

193.259 jiwa, 18.851 (9,75%) merupakan siswa sekolah dasar yang mana 7.020 di

antaranya terdaftar di 21 Sekolah Dasar Negeri dan 11.541 di antaranya terdaftar di

30 Sekolah Dasar Swasta (Profil Kecamatan, 2013). Dari 51 Sekolah Dasar terdapat

47 Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) dan 625 siswa yang dibina menjadi dokter kecil

(Puskesmas Helvetia, 2013).

Sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa petugas Puskesmas Helvetia

didapatkan hasil bahwa selama ini pemeriksaan laboratorium feses siswa sekolah

dasar belum pernah dilakukan walaupun diagnosa klinis banyak yang menunjukkan

gejala kecacingan. Hal ini dikarenakan di Puskesmas Helvetia belum memiliki

peralatan dan petugas laboratorium untuk jenis penyakit kecacingan. Oleh karena itu,

data mengenai kasus kecacingan yang pasti di Puskesmas Helvetia tidak dapat

diperoleh.

Pengamatan di lapangan juga menunjukkan masih banyak siswa sekolah dasar

yang bermain di tanah, misalnya bermain kelerang, lompat karet dan permainan

lainnya yang membuat siswa kontak langsung dengan tanah. Pengakuan siswa kepada

penulis menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak menyukai sarapan dan semua

siswa tidak membawa bekal makanan dari rumah (hanya diberi uang jajan), hal ini

membuat siswa lebih sering mengkonsumsi makanan jajanan yang nilai gizinya tidak

begitu baik. Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin menganalisa hubungan

personal hygiene (kebiasaan cuci tangan, kebiasaan mandi, kebiasaan gunting kuku
dan penggunaan alas kaki) dan tingkat kecukupan makanan terhadap infeksi

kecacingan di Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

1.2.Permasalahan

Kecamatan Medan Helvetia memiliki cukup banyak sekolah dasar dan masih

banyak siswa sekolah dasar yang bermain di tanah sehingga resiko terinfeksi telur

cacing semakin tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana hubungan personal hygiene dan tingkat kecukupan

makanan terhadap infeksi kecacingan di Sekolah Dasar Kecamatan Medan Helvetia

Kota Medan.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan personal hygienedan

tingkat kecukupan makanan terhadap infeksi kecacingan di Sekolah Dasar Kecamatan

Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014.

1.4.Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan personal hygiene(kebiasaan cuci tangan, mandi, kebersihan

kuku dan penggunaan alas kaki) terhadap infeksi kecacingan di Sekolah Dasar

Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

2. Ada hubungan tingkat kecukupan makanan terhadap infeksi kecacingan di

Sekolah Dasar Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.


1.5.Manfaat Penelitian

1. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah dan para

pembaca dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit

kecacingan.

2. Memberikan tambahan pengetahuan kepada siswa-siswi sekolah dasar tentang

penyakit cacingan dan cara pencegahannya, sehingga dapat terhindar dari

faktor resiko penyebab penyakit kecacingan.

3. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bahan informasi untuk

referensi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lebih lanjut.

You might also like