Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi dan menyebabkan gangguan gizi seperti
2011).Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011, lebih dari 1
milyar penduduk terinfeksi Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi Trichuris
trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Data hasil survei kecacingan oleh Departemen Kesehatan pada anak sekolah
Hookworm 1,6% dan pada tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides 17,8%,
sebesar 60%-80%. Hasil survei kecacingan 2009 di 10 propinsi oleh Ditjen P2PL
duodenale dan Necatoramericanus 6,5%. Hasil survei kecacingan pada siswa sekolah
dasar di Indonesia tahun 2013 di 175 kab/kota menunjukkan bahwa angka kecacingan
tahun 2007 prevalensi kecacingan di Sumatera Utara adalah 74,3%, pada tahun 2008
sebanyak 66,8%, pada tahun 2009 sebanyak 31,2%, tahun 2011 sebanyak 45,9%, dan
tahun 2012 sebanyak 32,3% (Dinkes ProvSU, 2013). Hasil penelitian Lestari (2009),
infeksi campuran (Ascariasis + Trichuriasis) sebesar 58,3%. Pada tahun 2010 sampai
tahun 2012 Dinas Kesehatan Kota Medan telah melakukan Program Pemberian Obat
Cacing pada siswa sekolah dasar di 39 Puskesmas se-Kota Medan termasuk 51
tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial, sehingga perlu diperhatikan
dan disiapkan agar dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya, namun
golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan
tanah dan rendahnya personal hygiene siswa. Personal hygiene menjadi salah satu
buruk seperti tangan yang kotor dan kuku panjang dan kotor menjadi
menular diantara siswa sekolah yang sering berpegangan tangan sewaktu bermain
hidup bersih dan sehat, seperti menghindari kontak dengan tanah yang kemungkinan
terkontaminasi tinja/feses manusia, cuci tangan dengan sabun dan air sebelum
memegang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan makanan
fisik dan kecerdasan. Siswa sekolah dasar yang terinfeksi kecacingan akan terhambat
dalam mengikuti pelajaran dikarenakan siswa akan merasa cepat lelah, menurunnya
tangan sebelum makan, setelah buang air besar, setelah bermain tanah/kontak dengan
tanah, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan angka infeksi kecacingan adalah
55,8%. Hasil penelitian Ginting (2008), kejadian kecacingan pada siswasekolah dasar
masih tinggi karena kebiasaan membuang air besar secara sembarangan, hal ini
bagi pertumbuhan telur cacing. Hasil penelitian Tumanggor (2008) dan Sianturi
mencuci tangan dengan infeksi kecacingan dan hasilnya sebanyak 66 (59,46%) siswa
Pada dasarnya penyakit infeksi adalah salah satu penyebab langsung dari
gangguan status gizi (Azwar, 2007).Banyak penyakit yang diderita anak-anak pada
masa awal kanak-kanaknya (0-5 tahun) akan terus muncul kembali selama masa
sekolah terutama di awal-awal masa sekolah (6-9 tahun) dan infeksi kecacingan
adalah penyakit yang sering dicatat, yang sering terjadi dan lebih banyak jumlahnya
di komunitas siswa sekolah dasar (Rosso dkk, 2009). Beberapa penelitian tentang
Status gizi dan berbagai penyakit infeksi berhubungan timbal balik, dimana
keadaan malnutrisi yang berat akan memperberat keadaan penyakit infeksi yang
diderita dan sebaliknya adanya penyakit infeksi akan memperburuk status gizi.
Infeksi soil transmitted helminths dapat menyebabkan malnutrisi pada anak melalui
gangguan pencernaan dan absorbsi, inflamasi kronis dan kehilangan nutrisi (Casapia,
2006). Hasil penelitian Elmi (2004),kejadian infeksi cacing yang ditularkan melalui
hubungan penyakit infeksi kecacingan dengan status gizi anak. Anak yang tidak
terinfeksi cacing memiliki status gizi yang relatif lebih baik dibandingkan anak yang
terinfeksi cacing.
Keberhasilan upaya mempersiapkan anak yang berkualitas pada saat ini akan
menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan. Salah satu upaya
dalam meningkatkan kualitas SDM adalah melalui peningkatan status gizi. Menurut
Gunanti (2006), anak dengan status gizi yang baik merupakan perwujudan dari
anak harus mengonsumsi makanan dalam jumlah yang memadai dan dengan mutu
gizi yang baik sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan.
Kecamatan Medan Helvetia adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada
di Wilayah Kota Medan dan memiliki luas 1.156,147 Ha. Kecamatan Medan Helvetia
terbagi menjadi 7 (tujuh) kelurahan dan 88 lingkungan dengan jumlah penduduk
193.259 jiwa, 18.851 (9,75%) merupakan siswa sekolah dasar yang mana 7.020 di
30 Sekolah Dasar Swasta (Profil Kecamatan, 2013). Dari 51 Sekolah Dasar terdapat
47 Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) dan 625 siswa yang dibina menjadi dokter kecil
didapatkan hasil bahwa selama ini pemeriksaan laboratorium feses siswa sekolah
dasar belum pernah dilakukan walaupun diagnosa klinis banyak yang menunjukkan
peralatan dan petugas laboratorium untuk jenis penyakit kecacingan. Oleh karena itu,
data mengenai kasus kecacingan yang pasti di Puskesmas Helvetia tidak dapat
diperoleh.
yang bermain di tanah, misalnya bermain kelerang, lompat karet dan permainan
lainnya yang membuat siswa kontak langsung dengan tanah. Pengakuan siswa kepada
penulis menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak menyukai sarapan dan semua
siswa tidak membawa bekal makanan dari rumah (hanya diberi uang jajan), hal ini
membuat siswa lebih sering mengkonsumsi makanan jajanan yang nilai gizinya tidak
begitu baik. Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin menganalisa hubungan
personal hygiene (kebiasaan cuci tangan, kebiasaan mandi, kebiasaan gunting kuku
dan penggunaan alas kaki) dan tingkat kecukupan makanan terhadap infeksi
1.2.Permasalahan
Kecamatan Medan Helvetia memiliki cukup banyak sekolah dasar dan masih
banyak siswa sekolah dasar yang bermain di tanah sehingga resiko terinfeksi telur
penelitian ini adalah bagaimana hubungan personal hygiene dan tingkat kecukupan
Kota Medan.
1.3.Tujuan Penelitian
1.4.Hipotesis
kuku dan penggunaan alas kaki) terhadap infeksi kecacingan di Sekolah Dasar
1. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan bagi pemerintah dan para
kecacingan.