You are on page 1of 3

Keterlambatan pubertas atau delayed pubertas pada seekor betina dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor antara lain genetik, nutrisi dan faktor manajemen reproduksi.
Di daerah tersebut tersedia rumput namun kekurangan konsentrat sehingga
keseimbangan nutrisi masih rendah. Asupan nutrisi dan cadangan energi tubuh
mempengaruhi aktivitas dan respon
ovarium. Kurangnya asupan nutrisi akan mempengaruhi senyawa metabolisme dan hormon
seperti insulin dan insulin-like growth factor-I yang mempengaruhi hipotalamus dan
hipofsis terhadap respon pada ovarium dan sensitiftas gonadotropin hormon pada
hipofsis sehingga energi tubuh akan
menekan pelepasan gonadotropin releazing hormone (GnRH) dan mempengaruhi frekuensi
pulsatil luteinizing hormone (LH) yang diperlukan untuk pertumbuhan folikel.
Kondisi ini akan menyebabkan delayed pubertas akibat folikel tidak berkembang
menjadi folikel dominan atresia maupun dominan ovulasi, selain itu menyebabkan
penurunan fungsi ovarium atau hipofungsi ovarium yang bersifat reversible.
Hipofungsi ovarium yang tidak segera ditangani akan melanjut menjadi atropi ovarium
yang bersifat irreversible (Gutierrez, 2005; Gitonga, 2010).
Metritis adalah kondisi peradangan akibat infeksi pada myometrium.
Metritis umumnya terjadi segera setelah partus atau pada masa puerpureum
sampai hari ke-20 postpartum. Persentase kejadian metritis tertinggi yaitu pada
hari ke-10 postpartum yaitu 40%. Sedangkan kejadian endometritis klinis
sering terjadi pada hari ke-15 sampai 60 atau 70 hari postpartum. Persentase
kejadian endometritis klinis pada sapi adalah 20% pada hari ke-15 sampai
40 hari postpartum (Sheldon et al., 2008). Endometritis adalah kondisi peradangan
pada uterus yang paling umum ditemukan. Endometritis merupakan
suatu proses in?amasi yang mencakup endometrium dan merupakan salah penyebab
penting dari kejadian infertilitas pada sapi (Azawi, 2008; LeBlanc, 2008).
Metritis dan endometritis di daerah ini cukup tinggi hal ini dapat disebabkan
oleh kontaminasi bakteri non spesifk saat perkawinan (alami, inseminasi buatan),
distokia, kebuntingan kembar, retensi plasenta, metritis puerpuralis dan penurunan
atau kegagalan mekanisme aktivitas fagositosis oleh
leukosit pada uterus seperti yang dikemuakakan oleh Azawi, (2008) dan LeBlanc,
(2008). Karakteristik gejala klinis metritis pada sapi adalah adanya
leleran cair hingga kental (viscous) berwarna merah kecoklatan sampai putih
purulent keluar melalui vulva. Endometritis dapat dibedakan menjadi endometritis
subklinis yang sering terjadi segera setelah partus dan tanpa menunjukan gejala
klinis (Azawi, 2008; LeBlanc, 2008; Sheldon et al., 2008).
Karakteristik klinis dari endometritis klinis adalah adanya leleran purulent
berwarna putih keruh kekuningan sampai mucopulent yang keluar melalui vulva dengan
volume leleran bervariasi dan berbau busuk (Azawi, 2008; LeBlanc, 2008). Status
nutrisi, menyusui dan infeksi uterus postpartum
mempengaruhi hipotalamus dan hipofsis terhadap aktivitas ovarium. Aktivitas ovarium
meliputi sintesis dan sekresi hormon steroid (estrogen dan
progesterone) yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan pematangan folikel
ovarium (Burke, 2003; LeBlanc, 2008; Gitonga, 2010).
Fakta di lapangan dan beberapa penelitian telah membuktikan bahwa faktor nutrisi
merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun
pengaruh tidak langsung terhadap fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya.
Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi
genetiknya, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan
meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang
kurang baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya,
tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan. Kekurangan pakan
khususnya untuk daerah tropis yang panas termasuk di Indonesia, merupakan salah
satu penyebab penurunan efsiensi reproduksi karena selalu diikuti oleh adanya
gangguan reproduksi yang menyebabkan timbulnya kemajiran pada ternak betina
(Budiyanto, 2012).
Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran
sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum
pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain
(Arthur, 2001). Aktivitas ovarium postpartum dipengaruhi oleh status nutrisi dan
keseimbangan energi. Status nutrisi dan cadangan energi tubuh
dapat dievaluasi secara klinis melalui BCS. Perbaikan nutrisi yang meliputi
kualitas dan kuantitas harus dilakukan pada sapi yang memiliki BCS < 2 sebelum
terapi hormonal. Faktor genetik, lingkungan dan
manajemen yang baik akan meningkatkan efsiensi reproduksi, produktivitas,
proftabilitas dan keberlanjutan suatu usaha peternakan. Adanya interaksi
yang kompleks antara faktor lingkungan atau manajemen (nutrisi), respon individual,
jenis gangguan reproduksi dan derajat keparahan gangguan
reproduksi akan menimbulkan respon kesembuhan yang bervariasi dari setiap
penanganan gangguan reproduksi.
Tingginya temperatur di negara tropis, seperti halnya di DIY ini dapat
mengganggu efisiensi deteksi estrus. Temperatur tinggi dapat menyebabkan stres,
berdampak pada kelesuan fisik dan mengurangi efisiensi deteksi estrus
pada sapi (Peralta et al.,2005). Dengan pengamatan estrus 3-4 kali sehari, seluruh
kasus estrus dapat diamati dengan baik sehingga
IB dapat dilakukan tepat pada waktunya. Kesalahan dan rendahnya kemampuan
mendeteksi estrus merupakan salah satu penyebab utama rendahnya angka kebuntingan
(Heuwieser et al., 1997: Pursley et al., 1998), dan Thatcher et al., (2006),
melaporkan bahwa deteksi estrus yang dilakukan tiga atau empat
kali sehari, akan meningkatkan angka fertilitas.
Kejadian kawin berulang sapi perah pada tingkat peternak di DIY dipengaruhi
oleh multi faktor yang saling memengaruhi. Faktor risiko
yang berpengaruh terhadap kawin berulang adalah kandang lantai terbuat dari tanah,
kebersihan lingkungan kandang, saluran pembuangan yang buruk, deteksi estrus satu
atau dua kali per hari, sumber air dari sumur dan sungai. Faktor risiko yang
memperkecil kejadian kawin berulang adalah kandang lantai
terbuat dari semen atau kandang lantai semen yang dilapisi karet, pengetahuan
peternak tentang siklus estrus dan estrus yang baik.
Ovarium hipofungsi (hypofunction ovary) adalah ovarium yang beraktivitas
rendah dalam menghasilkan sel telur atau ovum. Sel telur
yang dihasilkan ovarium hipofungsi pada umumnya fertilitasnya rendah sehingga sulit
atau tidak dapat dibuahi walaupun spermatozoa
berkualitas baik. Ternak yang mempunyai ovarium yang hipofungsi pada
umumnya terjadi berahi tenang (silent heat), berahi semu (berahi tanpa ovulasi),
siklus berahinya tidak teratur dan timbulnya berahi
post partum lambat (Luo dan Gu, 2009). Gangguan reproduksi yang terjadi pada ternak
yang mengalami hipofungi ovarium, menunjukkan adanya kesalahan mekanisme hormon
reproduksi. Kesalahan mekamisme
dapat disebabkan ketidakseimbangan nutrisi (Pradhan dan Nakagoshi, 2008), kondisi
tubuh BCS yang tidak baik (Eversole et al. 2009),
lingkungan yang ekstrim dan stres (Gupta, 2015). Hipofungsi ovarium dapat
disembuhkan secara terapi dengan singkronisasi berahi
menggunakan progesteron yang diberikan intravaginal atau progesterone releasing
intravaginal device (Khadrawy et al., 2015).
Berahi tenang pada sapi dapat terjadi karena aktivitas ovarium
terganggu akibat kekurangan nutrisi. Sapi yang kekurangan nutrisi parah, dapat
berakibat terjadi gangguan pada edokrin dan timbulnya
berahi (Bolang dan Lonergan, 2003). Gangguan endokrin yang menyebabkan produksi
estrogen rendah sampai tidak mampu menunjukkan
tanda-tanda berahi akan terjadi berahi tenang. Pada kerbau dara kejadian berahi
tenang sebanyak 7,85% (Purohit, 2014). Perbaikan performans reproduksi dapat
ditingkatkan dengan perbaikan nutrisi pakan. Marume et al. (2014) menyatakan bahwa
pemberian suplemen nutrisi, dapat memperbaiki sangat signifikan
kondisi tubuh dan kualitas sex cell yang dihasilkan dan penampilan berahi sehingga
dapat meningkatkan kebuntingan. Perbaikan proses reproduksi dapat dilakukan dengan
memberi kecukupan nutrisi sepanjang pemeliharaan ternak, terutama menjelang
perkawinan, bunting dan laktasi (Amin, 2014). Selain faktor nutrisi, faktor
kecacatan ovarium dapat menyebabkan sapi dara tidak berahi dan
cacat bawaan ovarium pada ternak potong dilaporkan terjadi sebesar 0,2% (Purohit,
2014). Guna menghindari kegagalan reproduksi, akibat
ovarium yang abnormal, diperlukan seleksi yang cermat pada sapi dara yang akan
digunakan sebagai sapi induk.
Korpus luteum persisten dapat berasal dari korpus luteum
periodikum maupun dari korpus luteum graviditum/verum. Secara normal kedua korpus
luteum tersebut akan mengalami lisis karena efek dari PGF2alpha yang dihasilkan
oleh uterus. Korpus luteum persisten terjadi karena PGF2alpha tidak diproduksi atau
produksinya rendah. Akibatnya korpus luteum periodikum tidak mengalami lisis pada
akhir siklus estrus. Demikian juga korpus luteum luteum graviditum tidak mengalami
lisis setelah beranak. Korpus luteum persisten tersebut memproduksi hormon
progesteron akibatnya ternak yang mempunyai korpus luteum persisten tidak akan
menunjukkan gejala-gejala estrus (anestrus).

Korpus luteum persisten terjadi karena adanya gangguan pada uterus yaitu
adanya radang uterus yang kronis (endometritis), pyometra (uterus berisi nanah),
atau karena adanya kematian embrio/fetus yang diikuti terjadi maserasi fetus (fetus
hancur), mumifikasi fetus (fetus mengeras), empisema fetus (fetus membengkak berisi
gas). Adanya gangguan pada uterus tersebut menyebabkan endometrium tidak
memproduksi PGF2a, sehingga korpus luteum tidak mengalami lisis. Korpus luteum
persisten akibat adanya kematian embrio ini berasal dari korpus luteum graviditum.
Korpus luteum persisten dapat pula terjadi setelah melahirkan. Ini sering terjadi
pada sapi yang produksinya tinggi karena hormon prolaktin yang dihasilkan hipofise
anterior pada sapi
yang produksinya tinggi setelah melahirkan menghambat lisis dari korpus luteum.
Diagnosa adanya korpus luteum persisten dengan eksplorasi rectal. Sedangkan
pengobatannya tergantung penyebabnya. Jika penyebabnya karena adanya infeksi pada
uterus diobati dulu dengan antibiotik; setelah sembuh baru disuntik dengan PGF2a.
Jika penyebabnya karena adanya kematian fetus (mumifikasi atau empisema fetus),
fetus yang mati tersebut harus dikeluarkan dulu yaitu dengan oksitosin atau
estradiol benzoate supaya uterus berkontraksi mendorong fetus keluar, kemudian
diikuti pemberian PGF2a. Jika penyebabnya karena produksi susu yang tinggi atau
karena kematian embrio dini cukup dengan PGF2alpha.

You might also like