Professional Documents
Culture Documents
0
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Hampir sekitar 72
juta orang di USA dan 1 miliar orang di dunia menderita hipertensi. Sekitar 1-2% dari penderita
hipertensi akan mengalami peningkatan tekanan darah secara mendadak dalam waktu tertentu.
Peningkatan secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik
≥ 120 mmHg dinamakan krisis hipertensi. JNC 7 membagi krisis hipertensi berdasarkan ada
atau tidaknya kerusakan organ sasaran yang progresif, yaitu hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi.1,2 Kerusakan organ yang dimaksud antara lain ensefalopati hipertensi, infark
miokard akut, gagal jantung kiri disertai edema paru, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia.
Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah. Upaya
penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi harus dilakukan segera (<1 jam)
sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga
hari. Penanganan pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan obat
antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi cukup dengan
pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan hipertensi emergensi
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi pemantauan secara ketat atas pemberian
obat antihipertensi intravena. Oleh karena itu, prinsip penatalaksanaan krisis hipertensi sangat
penting untuk diketahui mengingat semakin tingginya angka morbiditas serta mortalitas pada
pasien-pasien hipertensi yang tidak ditangani dengan baik. 1,2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak
sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg, pada penderita hipertensi,
yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis hipertensi dibagi menjadi dua kategori,
yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah peningkatan
secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg
disertai dengan adanya kerusakan target organ akut atau progresif sehingga membutuhkan
penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah peningkatan secara mendadak
tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg tanpa gejala
yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana kondisi ini membutuhkan penurunan
tekanan darah dalam beberapa jam. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat. Hipertensi
mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di dunia. Kebanyakan dari
mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya tidak terdiagnosis. Selanjutnya,
hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika dengan hipertensi memiliki tekanan darah yang
terkontrol. Insiden dari hipertensi meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka
kejadian hipertensi pada pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia
70-79 tahun. Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-Amerika sama atau
lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita hipertensi dan
meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di
Indonesia meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia, mereka
yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari kasus hipertensi di
2
masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosis dan
terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat menyebabkan
semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat mengancam jiwa. Diperkirakan
sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi
antihipertensi, komplikasi ini mencapai angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara
epidemiologis, kejadian krisis hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam
komunitas, dan lebih tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana
pria terkena 2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang mengalami
krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki hipertensi primer dan banyak
diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi dengan kontrol tekanan darah yang tidak
adekuat. Pada beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa pasien dengan krisis
hipertensi memiliki peluang yang lebih besar untuk menderita gangguan somatoform,stroke
serta penyakit jantung hipertensi dan atau penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter,
kegagalan untuk memberikan terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam
memberikan terapi antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk terjadinya
hipertensi emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya kejadian krisis
hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2
2.3 PATOFISOLOGI
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun demikian ada
dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin
2.3.1 Peran peningkatan Tekanan Darah
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi gangguan
autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik yang menimbulkan
kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan terhadap sistem autoregulasi secara
terus-menerus akan memperburuk keadaan pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi
keadaan kerusakan endovaskuler (endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai
nekrosis fibrinoid di arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle)
dimana akan terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif.
Trigernya tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.3,4
3
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-menerus maka sel
endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan selanjutnya melakukan
vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah. Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi
penjalaran kenaikan tekanan darah ditingkat sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat
dari kontraksi otot polos yang lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial
pembuluh darah disertai berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi
endotelial akan ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti
sitokin, endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.3
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel endotelial,
menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem koagulasi yang teraktifasi
ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi akan mengendapkan materi fibrinoid
pada lumen pembuluh darah yang sudah kecil dan sempit sehingga makin meningkatkan
tekanan darah. Siklus ini berlangsung terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh
darah yang makin parah dan meluas.3
4
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 3
2.3.3 Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin
Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting dalam
patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah akan meningkatkan
vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula meningkatkan hormon aldosteron yang
berperan dalam meretensi air dan garam sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula.
Keadaan tersebut diatas bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer
pembuluh darah yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat
terus maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II sehingga terjadi
iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau krisis hipertensi.3,4
5
Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti, luka bakar berat,
feokromositoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler, dan trauma kepala.
2.6 DIAGNOSIS
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun tidak perlu
menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan organ sasaran.
Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif dalam waktu tertentu,
terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis hipertensi adalah keadaan
hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi
keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat
naiknya tekanan darah. 5,6
Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan darah yang
segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau
progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 3,4 :
1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau subdural)
atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung dengan
edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.
Riwayat penyakit ditujukan pada system neurologis dan kardiovaskular, medikasi dan
penggunaan obat. Keluhan neurologi mungkin dramatik, tetapi sering kali berupa gejala yang
6
tidak spesifik seperti nyeri kepala, malaise, dan persepsi yang samar-samar tentang
kemampuan mental, dan merupakan satu-satunya tanda dekompensasi sistem saraf pusat (SSP)
akut. Riwayat penyakit SSP atau serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena komplikasi
terapetik lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. .4,5
Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang
bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik
> 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau kerusakan target organ progresif dan tekanan
darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 4,5
Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi tidak
berbeda dengan penyakit lainnya 3,5 ;
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah rata-rata,
riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi perifer
(raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih dengan nadi
femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan yang
hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantung S3
dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya defisit
neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologis dan
patologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya, penyakit
penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara lain; pemeriksaan
elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis, hitung jenis komponen darah dan
SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.
7
Tabel 2. Kategori Diagnostik dan Evidence Kerusakan Organ Target 5
2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena penundaan akan
memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi di pihak lain,
penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah
ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke
tingkat yang diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi, perubahan
aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan obat anti hipertensi
efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping obat. .3,4,5
8
AUTOREGULASI
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah. Dengan pengetahuan
autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara mendadak dimaksudkan untuk
melindungi organ vital agar tidak terjadi iskemi. Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi,
jika tekanan darah naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak
masih tetap pada fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus perhitungan
MAP ialah :
Sistolik + 2 x Diastolik
MAP =
3
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini
gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme
miogenik yang disebabkan oleh stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun
hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal
dengan normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-120-
140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat
ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva dimana dipertahankan
pada MAP tinggi yaitu 120-160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah terjadi pada
tekanan darah yang lebih tinggi.3,4,5
9
Gambar 2. Autoregulasi aliran darah otak pada individu normotensi dan hipertensi 6
Pada orang yang normotensi maupun hipertensi batas terendah dari autoregulasi otak
adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi, misalnya penurunan tekanan darah pada penderita aorta diseksi
akut ataupun edema paru akibat gagal jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan
bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark
serebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan tekanan darah dilakukan lebih
lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170–180/100
mmHg. 3,4,5
10
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15
sampai 30 menit.
Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan darah
> 220/130 mmHg.
Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia
renal, serebral dan miokardium.
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui intravena (IV).
Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang digunakan, antara lain :
11
Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :
HIPERTENSI URGENSI
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah sama seperti
hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penderita dengan hipertensi
urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan di
ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah
masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral
antihipertensi dalam menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi
oral yang diberikan, antara lain 5,6,7:
12
Nifedipine
Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10 menit), oral
(onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal. Efek samping:
sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
Clonidine
Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam. Dosis: 0,1-0,2
mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7 mg. Efek samping: sedasi,
mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok derajat 2 dan 3, bradikardi, sick sinus
syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril
Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai
kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal ginjal akut pada penderita
bilateral renal arteri stenosis.
Prazosin
Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu. Efek
samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala.
Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak
20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga captopril, prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekolamin. Perlu diingat
bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah yang cepat dan berlebihan bahkan sampai ke batas hipotensi, walaupun hal ini jarang
sekali terjadi. 5,6,7
Selain itu, reaksi hipotensi akibat pemberian oral nifedipine dapat menyebabkan
timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis nifedipine ataupun
clonidin biasanya tekanan darah dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari
MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif
terhadap penambahan terapi. Untuk penderita hipertensi dengan riwayat penyakit
serebrovaskular dan koroner, pasien umur tua serta pasien dengan volume depletion maka dosis
obat nifedipine dan clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit
selama 6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan
13
timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang diobati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 5,6,8
14
Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papiledema, peningkatan tekanan
intrakranial sampai kejang.
Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan krisis
hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
2.8.1.3 CEDERA KEPALA DAN TUMOR INTRAKRANIAL
Pada kasus cedera kepala, tumor intrakranial terdapat gejala tekanan intrakranial yang
meningkat, seperti : sakit kepala hebat, muntah proyektil/tanpa penyebab
gastrointestinal, papiledema, kesadaran menurun/berubah
Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana pengukuran
dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan krisis
hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
Khusus untuk tumor intrakranial hipofisis perlu dilakukan pemeriksaan hormonal dan
penatalaksanaan sesuai dengan krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.
15
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah
Atasi rasa nyeri dengan morfin intravena. Kemudia, menurunkan tekanan darah
sistolik segera dalam 10-20 menit dengan target tekanan darah sistolik 110-120
mmHg dan frekuensi nadi 60 x/menit.
B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi shear stress dan
mengontrol tekanan darah.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta desenden tanpa
komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi ginjal, ekstremitas dan mesenterika.
Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti dengan oral.
16
1. O2 dengan target saturasi O2 perifer > 95%, bila perlu dapat digunakan CPAP
atau ventilasi mekanik non-invasif bahkan ventilasi mekanik invasif
2. Pemberian nitroglycerin sublingual, bila perlu dilanjutkan dengan pemberiaan
drip
3. Pemberiaan diuretik loop intravena (furosemid)
4. Pemberiaan obat anti-hipertensi intravena atau sublingual
5. Bila tidak ada kontra indikasi morfin IV dapat dipertimbangkan
Target penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik sebesar 30 mmHg dalam
beberapa menit. Sasaran akhir tekanan darah sistolik < 130 mmHg dan tekanan darah
diastolik < 80 mmHg sebaiknya dicapai dalam 3 jam .9
17
2.8.3 KRISIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL
Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh krisis hipertensi. Gagal ginjal akut dapat
ditandai dengan proteinuria, mikroskopik hematuria, oligouria dan/atau anuria. Penatalaksanan
terbaik untuk gagal ginjal akut akibat krisis hipertensi masih kontroversial. Walaupun
nitroprusside sering digunakan, namun dapat menyebabkan keracunan cyanida atau
thiocyanida. Fenoldopam mesylate (a dopamine-1 receptor agonis) telah menunjukkan hasil
yang menjanjikan dan keamanan yang dapat dijamin. Pemberian fenoldopam menghindari
terjadinya potensi keracunan cyanida atau thiocyanida akibat nitroprusside untuk gagal ginjal
akut dan memiliki efek meningkatkan fungsi ginjal yang dapat diukur melalui kreatinin klirens.
9
18
masuk stadium eklampsia. Krisis hipertensi hanya dapat diakhiri dengan proses persalinan dan
penanggulangan dilakukan sesuai penanggulangan krisis hipertensi dengan perhatian khusus
pada kehamilan. Keputusan untuk melakukan terminasi kehamilan/proses persalinan dilakukan
oleh ahli medis dibidang kebidanan.9
19