You are on page 1of 11

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO.

2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI


MARGI AGUNG PURA BESAKIH
(SUATU KAJIAN LATAR BELAKANG FILOSIFIS)

Oleh:
I Gusti Bagus Oka
Dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana
Email: igboka@yahoo.com

ABSTRAK
Pura Besakih merupakan pura terbesar di Bali. Jalan utama atau margi agung menuju ke pura,
posisinya simetris dengan candi bentar atau gerbang utama dari Pura Penataran Agung. Gerbang
tersebut merepresentasikan keagungan, kesucian dan kekeramatan dari kawasan suci ini.
Kawasan permukiman yang berlokasi di kiri - kanan margi agung kadang-kadang menimbulkan
permasalahan yang dapat mencemarkan kawasan ini, khususnya saat penyelenggaraan kegiatan upacara
yang ditujukan untuk para leluhur (pitra yadnya) penduduknya. Disamping itu terganggunya kelancaran
dan kenyamanan lalu lintas menuju pura, disebabkan karena adanya berbagai kombinasi sirkulasi seperti
pemedek, wisatawan, dan prosesi upacara itu sendiri yang dilangsungkan di margi agung.
Hasil pengkajian yang dilakukan menunjukkan bahwa margi agung kawasan suci Besakih
merupakan sumbu utama yang sakral dan merupakan pusat orientasi bagi permukiman disekitarnya.
Disamping itu perlu dilakukan penataan kembali kios-kios disepanjang margi agung.
Saran-saran yang dapat diberikan adalah tetap menjaga kelestarian, kesakralan dan kesucian
margi agung kawasan suci Besakih.
Kata Kunci: margi agung, candi bentar, dan kawasan suci,.

ABSTRACT
Besakih temple is the greatest temples in Bali. The main road or margi agung leading to the
temple, located in a symmetrical axis with candi bentar or main gate of the Penataran Agung Temple, as
an exit gate. This gate is representing the greateness, holiness, and sacredness of this holy area.
Residence area which located in left and right side if this margi agung, sometime create some
problem because that is, some think could be given result in disgrace of this holy area, especially when
the people in this residence establishing a ceremonial event subjected to their forefather. In addition,
there are many others problem which can disturb the smoothness and the pleasantness of the traffic
toward the temple, caused by combined circulation such as pemedek, tourist, and ceremonial procession
itself, which done in margi agung.
The result shows that main road of Besakih holy area is a sacred main axis and main orientation
for housing around them. The other hand, we need restructuring kiosks all along margi agung.
So I suggest that we must keep conservation, holiness, and sacredness of main road of Besakih
holy area.
Key Word: main road, main gate, and holy area.

56
KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI MARGI AGUNG PURA BESAKIH (I GUSTI BAGUS OKA)

dalam pikiran (niranjana), tidak dapat ternoda


PENDAHULUAN
dan maha suci dan lain sebagainya. Di dalam
Penduduk Pulau Bali terdiri dari buku Bhakti Marga dan Karma Marga ini Tuhan
campuran dari berbagai etnis dan agama, namun Yang Maha Esa dipahami sebagai yang
sebagian besar memeluk Agama Hindu. Dalam berwujud (personal God), disimboliskan melalui
Agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa tidak berbagai bentuk diantaranya arca, pratima (salah
berwujud (impersonal God), sangat luhur satu bentuk simbol Tuhan) ataupun melalui
(trancendent), meresapi serta memenuhi segala- daksinasthana (tempat bersemayamnya Tuhan
galanya di jagat raya ini (vyapivyapaka), hal-hal dalam bentuk simbol) dan kemudian
ini sangat sulit untuk dipahami oleh umat pada dipersembahkan beraneka upacara dan upakara
umumnya. Pemahaman terhadap Tuhan seperti yadnya disertai dengan acara persembahyangan.
ini terbatas hanya pada kalangan vipra atau
Untuk melakukan persembahyangan dan
jnanin, yakni orang-orang yang sangat tinggi
berbagai upacara serta upakara yadnya tersebut
pengetahuannya dibidang Brahmatattva
memerlukan tempat, yaitu berupa pura yang
(pengetahuan tentang Tuhan), dan para yogi
salah satu di antaranya adalah Pura Besakih
(orang yang telah menempuh jalan yoga), yang
sebagai salah satu pura terbesar di Pulau Bali,
menempuhnya melalui Jnana (pengetahuan
sebagai tempat bersemayamnya Tuhan
tentang Tuhan) dan Yoga Marga (salah satu
(manifestasi Tuhan).
jalan untuk menyatukan diri dengan Tuhan)
(Titib, 1993: 1). Pura Besakih sebenarnya sudah ada
sebelum kedatangan Empu Kuturan ke Bali yang
Bagi masyarakat awam pada umumnya,
membawa banyak perubahan tata keagamaan,
jalan yang paling mudah ditempuh dan dipahami
mengajarkan membuat Sad Kahyangan Jagat
adalah Bhakti Marga maupun Karma Marga.
(enam pura yang dipuja oleh seluruh umat
Jalan Bhakti adalah usaha untuk mendekatkan
Hindu, yaitu Lempuyang, Goa Lawah, Uluwatu,
diri kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang
Watukaru, Pucak Mangu dan Besakih),
Maha Esa diantaranya melalui pelaksanaan
Kahyangan Catur Lokapala (empat pura yang
sembahyang, melakukan Japa (pengucapan kata-
dianggap memegang empat penjuru angin),
kata suci secara berulang-ulang) dan
Kahyangan Rwabhineda (dua pura yang
melaksanakan Tirthayatra (perjalanan suci).
tertinggi, yaitu Pura Batur dan Pura Besakih) dan
Sedangkan Jalan Karma, disamping melakukan
memperbesar Pura Besakih dengan mendirikan
karya yang dilandasi hati yang tulus ikhlas, juga
palinggih meru (tempat Tuhan berstana yang
diantaranya dengan mempersembahkan berbagai
beratap bertingkat), gedong (tempat Tuhan
upacara atau Yajna (pengorbanan suci).
berstana yang berbentuk bangunan beratap dan
Sembahyang adalah salah satu wujud berdinding) dan lain sebagainya.
kebhaktian umat Hindu kepada Sang Hyang
Di sekitar Pura Besakih ini terdapat
Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Umat Hindu
banyak sekali pura yang masih mempunyai
berusaha mendekatkan diri kepada Sang Hyang
kaitan erat dengan Pura Besakih, yaitu Pura
Widhi, para dewa, manifestasinya, para leluhur
Pasimpangan, Pura Dalem Puri, Pura Manik
atau roh-roh suci para maharsi (orang-orang
Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Goa, Pura Ulun
yang teramat suci), para guru kerokhanian yang
Kulkul, Pura Merajan Selonding, Pura Banua
telah mencapai tingkat kedewataan, yaitu suatu
Kawan, Pura Merajan Kanginan, Pura Jenggala
tingkat yang setara dengan dewa dengan cara
(Hyang Galuh), Pura Basukihan, Pura Batu
melaksanakan persembahyangan. Melalui
Madeg, Pura Kiduling Kreteg, Pura Gelap, Pura
persembahyangan umat Hindu memuja
Pangubengan, Pura Tirta, Pura Paninjoan dan
kebesaran, keagungan dan kemahakuasaan-Nya.
Pura Padarman.
Sang Hyang Widhi Maha Kuasa di dalam filsafat
ke-Tuhanan (Brahmavidya) dinyatakan tidak Keseluruhan wilayah yang menjadi
terjangkau oleh kemampuan pikiran dan lokasi pura-pura ini dinamakan kawasan suci
perasaan (acintya), tidak dapat digambarkan Besakih dengan margi agung (jalan suci yang

57
JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

dilalui sewaktu prosesi upacara) yang tepat Hindu yang didasari oleh filsafat ajaran Agama
berada pada sumbu simetris candi bentar (pintu Hindu, tidak boleh melalui margi agung yang
masuk yang berbentuk candi yang dibelah dua). telah dikeramatkan, karena merupakan tempat
Pura Penataran Agung sebagai pintu masuk sirkulasi prosesi dewa yadnya; dan (3) Pada
menunjukkan keagungan, kesucian dan waktu upacara di Pura Besakih, sering terjadi
kesakralan kawasan suci itu. kemacetan lalu lintas, yang tidak saja
mengganggu kenikmatan para wisatawan, tetapi
Pada saat upacara besar di Pura Besakih,
juga para pemedek dan kelancaran prosesi
margi agung ini seringkali berubah menjadi
upacara.
kawasan perdagangan dengan deretan kios-kios
sepanjang margi agung, dan juga sebagai tempat Berdasarkan identifikasi masalah
sirkulasi dan sekaligus sebagai tempat parkir tersebut dapat diajukan rumusan masalahnya,
para pemedek (umat) yang datang ke Pura yaitu “ Bagaimana memadukan tiga kepentingan
Besakih untuk bersembahyang. Selain melewati yang berbeda di dalam satu wadah yang sama
margi agung, ada jalan lain menuju Pura sedemikian rupa, sehingga masing-masing
Besakih yaitu melewati Pura Dalem Puri, kepentingan dapat berlangsung dengan baik dan
menuju Pura Penataran Agung yang banyak lancar, tanpa saling mengganggu, dengan tetap
membantu kelancaran pada saat upacara besar. mengutamakan prosesi upacara dewa yadnya ?“.
Kekurang lancaran sirkulasi terutama disebabkan
oleh kekurangan tempat parkir, sehingga
memakai badan jalan untuk tempat parkir. TINJAUAN PUSTAKA
Disamping merupakan lingkungan pura,
kawasan suci Besakih ini juga mencakup 1. Kebudayaan
lingkungan pemukiman yang berada di kiri Ada banyak konsep tentang kebudayaan
kanan margi agung. Lingkungan pemukiman dalam ilmu antrapologi apalagi dalam semua
yang berada disebelah kiri margi agung pada ilmu yang berkaitan dengan manusia dan
umumnya tidak mengalami masalah dalam kebudayaannya. Pengertian kebudayaan
berbagai hal sirkulasi, tetapi lingkungan sangatlah luas, mendalam serta mencakup
pemukiman yang berada di sebelah kanan margi berbagai aspek kehidupan dan penghidupan
agung, menghadapi masalah yang cukup besar. manusia dengan alam sekitarnya.
Disamping keterpaksaaan menggunakan Poespowardojo menyebutkan bahwa
margi agung sebagai sirkulasi-kehidupan sehari- kebudayaan menunjukkan sesuatu pengertian
hari, juga terdapat kesulitan dalam pelaksanaan yang luas dan kompleks. Di dalamnya tercakup
prosesi Upacara Pitra Yadnya (upacara dalam segala sesuatu, baik yang terjadi di dalam dan
kaitannya dengan kematian), yang secara etika dialami oleh manusia secara personal dan secara
Hindu tidak membolehkan orang melewati kolektif maupun bentuk-bentuk yang
margi agung yang sakral, sehingga penduduk dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi
terpaksa mencari jalan setapak yang sempit dan seperti yang dapat disaksikan dalam sejarah
seringkali susah untuk dilalui. kehidupan, baik berupa hasil-hasil pencapaian
Dari latar belakang seperti tersebut dapat yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan
diidentifikasikan masalah yang dihadapi, yaitu; diwariskan secara turun temurun maupun proses
(1) Tergabungnya sirkulasi prosesi Upacara perubahan serta perkembangan yang sedang
Dewa Yadnya (upacara suci dalam kaitannya dilalui dari masa ke masa (Poespowardojo,
dengan pemujaan Tuhan dan sinar-Nya) di Pura 1993:1)
Besakih dan sirkulasi pariwisata serta sirkulasi Pada tahun 1871, E.B. Tylor
penduduk, baik dalam kehidupan sehari-hari mengatakan bahwa kebudayaan adalah
maupun dalam melaksanakan prosesi upacara, keseluruhan yang kompleks, meliputi
terutama prosesi Upacara Pitra Yadnya, pada pengetahuan, keperluan, seni, hukum, moral,
margi agung yang sakral; (2) Prosesi upacara kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan lain
kematian (pitra yadnya), di mana menurut etika yang diperlukan oleh manusia sebagai anggota

58
KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI MARGI AGUNG PURA BESAKIH (I GUSTI BAGUS OKA)

masyarakat (White, 1973: 25). Tylor juga Selanjutnya wujud kebudayaan seperti
menegaskan bahwa budaya adalah sesuatu yang tersebut di atas direvisi dan dikembangkan oleh
ditransmisikan melalui sarana bukan genetik. Koentjaraningrat menjadi empat katagori, yaitu:
(1) Artefacts, atau benda-benda fisik,
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa
penjelasannya sama dengan wujud fisik
“Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan
kebudayaan; (2) Sistem tingkah laku dan
rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan
tindakan berpola, penjelasannya sama dengan
manusia dalam kehidupan kemasyarakatan yang
sistem sosial; (3) Sistem budaya, penjelasannya
dijadikan miliknya dengan belajar”
sama dengan kompleks ide, gagasan, nilai,
(Koentjaraningrat 1996: 71). Clifford Geertz
norma, peraturan dan sebagainya; (4) Nilai-nilai
(1973) mengatakan “…..paling baik kebudayaan
budaya, yang menentukan sifat dan corak dari
(kompleks dari pola-pola kelakuan yang nyata
pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia
yang terdiri atas adat istiadat, kebiasaan-
suatu kebudayaan (Koentjaraningrat 1996: 74).
kebiasaan, tradisi-tradisi) sebagai seperangkat
mekanisme kontrol, rencana-rencana, resep- Berdasarkan wujud kebudayaan seperti
resep, petunjuk-petunjuk dan sebagainya untuk tersebut, Koetjaraningrat merumuskan unsur-
mengendalikan kelakuan”. Marvin Harris (1968) unsur kebudayaan yang terdiri dari: (1) Sistem
menekankan teknologi sebagai esensi dari religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem dan
kebudayaan. Teknologi dilihatnya sebagai alat organisasi kemasyarakatan; (3) Sistem
menjelmakan berbagai corak pengelompokan Pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6)
sosial yang serupa yang menentukan dan Sistem mata pencaharian hidup; dan (7) Sistem
mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas manusia teknologi dan peralatan
dengan perantaraan sistem nilai dan kepercayaan (Koetjaraningrat 1974: 12).
yang relatif sama.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa 2. Masyarakat Hindu
wujud kebudayaan umumnya dibagi menjadi
Pada umumnya masyarakat Hindu
tiga katagori, yaitu: (1) Kompleks dari ide,
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (1)
gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya,
Kelompok yang percaya dengan Panca Srada
sifatnya abstrak, tak dapat diraba, ataupun di
yaitu percaya dengan adanya Tuhan, Atma,
foto. Bila gagasan tersebut dituangkan dalam
Punarbhawa, Karmapala dan Moksa; (2)
bentuk tulisan barulah dapat diketahui oleh
Kelompok yang setiap perilakunya
masyarakat luas. Lapisan yang paling abstrak
mencerminkan Tat Twam Asi, sehingga umat
adalah sistem nilai budaya. Norma-norma
Hindu akan cepat berinteraksi, bersosialisasi dan
sebagai lapisan kedua lebih konkrit, dan yang
beradaptasi; (3) kelompok yang mencerminkan
lebih konkrit lagi adalah sistem hukum yang
pelaksanaan konsep Karma Marga yaitu
bersadarkan norma-norma, lebih konkrit lagi
perilaku pengabdian yang berwujud kerja tanpa
adalah lapisan adat dan terbatas ruang
pamrih; (4) kelompok yang mempunyai naluri
lingkupnya adalah aktivitas kehidupan manusia
seni, terutama yang berkaitan dengan
sehari-hari; (2) Sistem sosial, bersifat konkrit
pelaksanaan Agama Hindu (Triguna dkk, 1993:
dapat terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat
diobservasi, di foto, dan di dokumentasi. Sistem 31-33).
sosial merupakan aktivitas kehidupan di setiap Sedangkan stratifikasi sosial yang
saat menurut pola-pola tertentu yang didasarkan dicerminkan dengan adanya konsep warna
atas adat tata kelakuan; (3) Wujud fisik, bersifat dalam masyarakat Hindu, lebih didasarkan atas
paling konkrit, dapat diraba, dilihat dan di foto, guna dan karma (Triguna dkk, 1993 dan Wiana
merupakan seluruh total dari hasil fisik dari dkk, 1993), dalam kenyataannya pembedaan
aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia anggota masyarakat dalam struktur tertentu
dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1974 : dianggap sebagai gejala universal yang
15-16). merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat.
Hal ini juga diperkuat oleh Sanderson yang
mengatakan bahwa ketidaksamaan sosial adalah

59
JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

hal yang universal dalam masyarakat manusia, Perubahan kebudayaan ditinjau dari
karena itu tidak ada masyarakat tanpa perbedaan pandangan Kingsley Davis disebutkan bahwa
antar individu (Sanderson 1995: 145). Hal inilah perubahan sosial merupakan bagian dari
yang menentukan stratifikasi sosial, yang dapat perubahan kebudayaan. Ruang lingkup
saja didasarkan atas garis keturunan, kekayaan, perubahan kebudayaan lebih luas, akan tetapi
pendidikan dan lain sebagainya. perubahan kebudayaan tidak perlu
mempengaruhi sistem sosial. Dalam kehidupan
sehari-hari sangat sulit menentukan letak garis
3. Perubahan Kebudayaan pemisah antara perubahan sosial dan perubahan
Sistem sosial kultural merupakan kebudayaan, yang disebabkan karena tidak ada
sekumpulan orang yang menggunakan berbagai masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan
cara untuk beradaptasi dengan lingkungan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang
mereka, yang bertindak menurut bentuk-bentuk tidak terjelma dalam suatu masyarakat
prilaku sosial yang sudah terpolakan, dan (Soekanto, 1990: 341).
menciptakan kepercayaan dan nilai bersama Sumardjan menyebutkan bahwa
yang dirancang untuk memberi makna bagi perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan
tindakan kolektif mereka (Sanderson, 1995: 59). mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-
Prosedur yang dikembangkan oleh Marvin duanya bersangkut dengan suatu penerimaan
Harris mengenai skema kompartementalisasi, cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara
merupakan penguatan terhadap apa yang telah suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-
disampaikan oleh Marx mengenai pembedaan kebutuhannya (Soekanto, 1990: 343).
antara infra struktur dan super struktur.
Komponen-komponen dasar sistem sosio Diterima atau ditolaknya perubahan
kultural adalah super struktur ideologis yang kebudayaan oleh masyarakat, oleh Neifhoff
terdiri dari ideologi umum, agama, ilmu dikatakan akan dipengaruhi oleh tingkat laku
pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan, pembaharu, motivasi penerima, dan tingkah laku
struktur sosial yang terdiri dari ada tidaknya yang berasal dari sifat pola kebudayaan lama
stratifikasi sosial, ada tidaknya stratifikasi rasial masyarakat setempat (Sayogyo, 1990: 58-60).
dan etnis, kepolitikan, pembagian kerja menurut
seksual dan ketidaksamaan secara seksual,
4. Arsitektur Tradisional
keluarga dan kekerabatan dan pendidikan, dan
yang terakhir adalah infra struktur material yang Tradisi merupakan adat kebiasaan turun-
terdiri dari teknologi, ekonomi, ekologi dan temurun yang dinilai baik dan benar oleh
demografi (Sanderson, 1995: 60). masyarakat. Tradisional berarti tetap berpegang
teguh pada norma-norma dan kebiasaan yang
Menurut pendekatan teori klasik, bahwa
dilakukan secara turun-temurun (Kridalaksana
kebudayaan akan dimulai dari super struktur,
dkk., 1995: 1068). Tradisi di Bali sangat
yaitu sistem budaya (atau nilai dan sistem
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Hindu,
budaya) yang merupakan gagasan-gagasan yang
yang merupakan nilai-nilai budaya masyarakat
telah dipelajari oleh pendukung kebudayaan
Bali. Konsep-konsep yang sangat mempengaruhi
sejak usia dini, yang akan menentukan sifat dan
kebudayaan yang pada akhirnya mempengaruhi
corak dari pikiran, cara berpikir serta tingkah
Arsitektur Tradisional Bali adalah konsep: Rwa
laku manusia suatu kebudayaan, yang pada
Bhineda, Tri Hita Karana, Bhuana Agung dan
akhirnya menghasilkan benda yang diciptakan
Bhuana Alit. Dalam konsep Rwa Bhineda
oleh manusia.
(Lontar Asta Kosali, Nomor 1.04.A, hal. 12)
Perubahan sosio kultural menurut dikatakan Ang, Ah adalah aksara yang
pendekatan teoritis materialis, adalah bahwa merupakan suara burung merdu. Huruf Ang
infrastruktur masyarakat merupakan penentu adalah simbol dari Sang Hyang Prajapati,
utama bagi strukturnya, dan pada giliran sedangkan Ah adalah simbol dari Bhagawan
berikutnya struktur merupakan penentu super Wiswakarma. Konsep Rwa Bhineda ini
strukturnya.

60
KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI MARGI AGUNG PURA BESAKIH (I GUSTI BAGUS OKA)

diimplementasikan kemudian dengan konsep 1974 masing-masing tentang “Tata Ruang untuk
luan-teben atau konsep hulu-hilir. Pembangunan’, Lingkungan Khusus”, dan
Bangunan-Bangunan.
Konsep Tri Hita Karana, tiga penyebab
kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu Perda Nomor 4 Tahun 1996 tentang
keselarasan hubungan antara manusia dengan Rencana Umum Tata Ruang Propinsi Dati I Bali,
Tuhan, antara manusia dengan lingkungannya mengatur tata ruang wilayah propinsi termasuk
dan antara manusia dengan manusia. di dalamnya rencana penggunaan tanah dan
pengaturan ketinggian bangunan.
Konsep Bhuana Agung dan Bhuana Alit
sebagai terapan lebih lanjut dari konsep Tri Hita Dalam Perda Propinsi Daerah Tingkat I
Karana, yang selalu menjaga hubungan baik Bali Nomor 2 Tahun 1974 terdapat satu klausul
antara manusia dan lingkungannya, antara yang berbunyi sebagai berikut:
Bhuana Alit (mikro kosmos) dengan Bhuana
Agung (makro kosmos). Untuk menjaga “Peraturan tradisional itu merupakan pancaran
hubungan yang baik ini harus ada keselarasan dan realisasi konsepsi idiil berlandaskan ajaran
antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit, karana agama, yang menentukan bahwa masing-masing
unsur-unsur yang terdapat dalam Bhuana Agung tempat kediaman dan kesatuan lingkungan manusia
akan ada juga dalam Bhuana Alit, begitu juga pada hakekatnya adalah suatu Bhuana Agung
sebaliknya. (makro kosmos) yang serasi dan bersatu bahkan
Lingkungan fisik dalam bentuk teritorial manunggal dengan diri manusia selaku penghuni
atau pekarangan pada dasarnya di bagi tiga selaku Bhuana Alit (mikro kosmos). Karena itu
kawasan yang disebut dengan istilah trimandala, faktor-faktor yang esensiil dari ide luhur itu,
sedangkan sosok fisik bangunan juga pada misalnya pada pengertian hulu-teben, nista
dasarnya dibagi tiga yang disebut triangga mandala, madya mandala dan utama mandala,
(Kaler, 1982: 86-89). Penyediaan ruang terbuka merupakan materi penting dalam peraturan itu dan
atau halaman tengah (natah) merupakan media peraturan organiknya”.
perpaduan antara unsur akasa
(kebapakan/purusa) dan pretiwi Mengenai pola desa, Bali mengenal dua
(keibuan/pradana). Di samping puncak gunung, tipe, yaitu Pola Linier (hulu-teben) yang
arah terbit matahari juga dipakai sebagai biasanya terdapat pada desa-desa kuno yang
orientasi arah utama. Namun dari hasil pada umumnya terdapat pada Bali pegunungan,
penelitian tentang “Nilai-nilai Tata Letak yang sering juga dimasukkan ke dalam Desa
Bangunan Dalam Rumah Tradisional Bali” Bali Aga, dan pola Perempatan Agung (catur
(Putra, dkk., 1985: 43) menunjukkan bahwa patha) yang pada umumnya terdapat pada desa
sumbu gunung-laut (kaja-kelod) lebih dominan Bali dataran yang masih dapat dikatakan
daripada sumbu terbit-tenggelam matahari. merupakan desa yang masih muda.
Falsafah Arsitektur Tradisional Bali Pola Linier dapat digambarkan sebagai
merupakan penyeimbang, penyelaras dan sebuah desa yang dibagi menjadi dua oleh
integritas tiga unsur yang merupakan sumber sebuah jalan besar yang membelah desa dari
kesejahteraan (Tri Hita Karana), yaitu (1) ke- utara ke selatan, sehingga ada bagian desa yang
Tuhanan (Parahyangan), (2) manusia sebagai berada di sebelah timur jalan dan ada yang
pemakai (Pawongan), dan (3) lingkungan fisik berada di sebelah barat jalan. Pola ini dapat
(Palemahan). Konsepsi keselarasan antara dijumpai pada desa kuno seperti Desa
manusia dengan arsitektur, antara arsitektur Panglipuran Bangli, Desa Julah Buleleng.
dengan lingkungan baik fisik alami maupun Sedangakan Pola Perempatan Agung,
buatan termasuk dalam inti arsitektur. digambarkan sebagai sebuah jalan yang
Upaya mempertahankan dan membentuk jalan silang yang merupakan dua
mengembangkan Arsitektur Tradisional Bali, sumbu, yang pertama adalah sumbu utara-selatan
telah tertuang dalam Peraturan Daerah Propinsi yang merupakan sumbu utama, dan yang lainnya
Daerah Tingkat I Bali Nomor 2, 3 dan 4 Tahun adalah sumbu timur–barat.

61
JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

5. Sistem Transportasi Sebagai Bagian menunjukkan hubungan multi dimensi dengan


dari Pergerakan Sistem Penghubung sistem lain, sehingga dengan demikian penataan
Sistem pergerakan merupakan faktor sistem penghubung diselesaikan dengan cara
utama yang menentukan bentuk suatu multi dimensi juga. Roger Trancik (1986)
lingkungan binaan. Dalam sistem ini bermacam- memadukan tiga teori dalam satu kesatuan, yaitu
macam lalulintas mengalir, bermacam-macam figure ground theory, linkage theory and place
peruntukan terpisahkan. Menurut Trancik (1986) theory, yang mengungkapkan tentang adanya
sistem penghubung adalah karakteristik yang struktur ruang dan sistem hubungan antara
sangat penting dari eksterior ruang kawasan. Hal bagian ruang yang jelas serta tanggap terhadap
ini adalah tindakan dimana kita menyatukan kebutuhan manusia (human needs) maupun
seluruh aktivitas dan akan menghasilkan bentuk terhadap karakter (budaya, historis, konteks
fisik dari sebuah kawasan. Sebagai sebuah alamiah) setempat. Inti teori ini adalah
akibat, sistem penghitung diperhitungkan dengan pemahaman tentang budaya dan karakteristik
membuat kesatuan besar yang ekstrim yang suatu daerah yang ada dan telah menjadi ciri
dapat dipahami dengan menghubungkan bagian- khas untuk dipakai sebagai salah satu
bagian pada kawasan yang bersangkutan. pertimbangan dalam penataan kawasan agar
Berbagai aktivitas tersebut akan menentukan penghuni tidak asing dengan lingkungannya.
pola-pola pergerakan yang dipandang perlu Dengan adanya dimensi sosial pada
untuk diarahkan melalui moda-moda dan ruang pergerakan tersebut, ruang pergerakan
sirkulasi yang saling mendukung serta terkait tidak sekedar sebagai ruang semata tetapi
melalui satu kesatuan keterkaitan. merupakan tempat untuk melaksanakan
Pada kenyataannya dalam wujud nyata kegiatan.
sistem penghubung menurut Danisworo (1992) a. Penataan jalan, prinsip-prinsip yang harus
pada dasarnya juga sistem yang menghubungkan digunakan adalah jalan harus merupakan
berbagai jenis peruntukan lahan (land use). elemen yang terbuka dan memiliki nilai
Sistem ini sangat vital untuk membuat fungsi- visual yang positif, jalan harus dapat
fungsi kawasan bekerja secara efisien. Dalam memberi orientasi bagi pemakai/pengemudi
sistem ini jalur-jalur sirkulasi maupun sistem dan memberikan kejelasan lingkungan,
transportasi, baik kendaraan bermotor maupun sektor publik dan privat harus bekerjasama
pejalan kaki diwadahi. Dengan demikian semua untuk mencapai tujuan tersebut.
aktifitas masyarakat dapat berlangsung dengan
b. Penataan parkir, yang merupakan salah
baik. Secara fisik ruang kawasan binaan
satu sub sistem penghubung adalah
merupakan kumpulan dari beberapa bagian dari
ruang-ruang sub kawasan bangunan. Sistem merupakan sistem pendukung yang
penghubung merupakan pengikat antara bagian menetukan hidup tidaknya suatu kawasan.
Menurut Shirvani (1985) beberapa cara yang
tersebut. Sebagai suatu unit organisasi sosial
dapat mengatasi masalah perparkiran antara
yang besar, lingkungan arsitektur merupakan
lain; membuat dan menyediakan bangunan,
wadah interaksi sosial bagi segenap lapisan
masyarakatnya. Oleh karenanya beberapa hal pendekatan program pemanfaatan berganda,
yang perlu diperhatikan dalam perancangan pengadaan parkir khusus bagi suatu kawasan
dan pengadaan fasilitas parkir pada daerah
sistem penghubung adalah (a) kemudahan
perbatasan.
pergerakan antar ruang ; (b) kemudahan saling
berinteraksi bagi para pemakai; (c) adanya c. Penataan pedestrian, adalah jalur khusus
kecocokan antara kegiatan pemakai/penghuni bagi pejalan kaki yang dapat berupa trotoar,
dengan ruang yang mewadahinya. pavement, side walk, pathway dan
sebagainya.
6. Prinsip-prinsip Penataan
d. Aktivitas pendukung, elemen sistem
Sistem Penghubung
penghubung lain yang perlu mendapat
Dalam perancangan arsitektur/ruang/ perhatian adalah aktivitas pendukung.
kawasan binaan, sistem penghubung Tujuan penataan harus berupa alokasi

62
KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI MARGI AGUNG PURA BESAKIH (I GUSTI BAGUS OKA)

kegiatan utama pada tempat yang paling dimaksud dengan raja adalah Sri Kesari
fungsional dan paling disukai masyarakat, Warmadewa, raja yang memerintah Pulau Bali
serta dikombinasikan dengan fungsi sekitar tahun 835 Saka atau 913 Masehi, yang
pelengkap dengan melalui jalur pedestrian dapat dilihat pada Prasasti Blanjong, Sanur. Raja
yang aman unik dan menarik. Udayana Warmadewa yang memerintah bersama
permaisurinya Sri Gunapriya Dharmapatni juga
tetap menjadikan Pura Besakih sebagai pura
KEBERADAAN terpenting di Ke rajaan Bali. Setelah jatuhnya
PURA AGUNG BESAKIH Kerajaan Bali ketangan Majapahit, Raja Gelgel
sebagai pusat kerajaan di Bali tetap menjadikan
Pura Besakih memang mempunyai Pura Besakih sebagai pura terpenting, yang
perjalanan yang panjang, pura ini menjadi begitu dapat dilihat dari hubungan beberapa meru yang
sentral bagi masyarakat Bali, maka hadirnya masih terkait dengan silsilah raja-raja Gelgel.
berbagai legenda tentang orang-orang suci yang
membangunnya, memperbaiki, menata kembali
dapat dipahami kehadirannya.
Resi Markandeya disebut sebagai orang
yang pertama kali menanam panca datu (lima
bahan sebagai dasar bangunan) sebagai dasar
pendirian Pura Besakih. Beliau datang ke Bali
setelah merambah hutan lebat, sempat kembali
ke Jawa untuk mencari pengiring, barulah
sampai di Besakih (Agastia, 1993: 1).
Di samping itu cerita pengabdian penuh
bhakti Sang Kulputih “tukang sapuh” di Besakih
ditemui juga pada Lontar Sangkulpinge. Tetapi
yang lebih memiliki fakta sejarah adalah usaha-
usaha yang dilakukan oleh Mpu Kuturan yang
kemudian dikenal sebagai pendiri Sad
Kahyangan di Bali.
Mpu Baradah, saudara kandung Mpu
Kuturan yang menjadi Pandita (pendeta)
kerajaan Airlangga di Jawa Timur, untuk menata
kembali Pura Besakih. Selanjutnya kehadiran Keberadaan Pura Besakih Agung Besakih
Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) Kesimpulan terakhir Goris adalah bahwa
sebagai padiksyan atau purohita (pandita letak yang dewasa ini disebut sebagai pura, pada
kerajaan) Kerajaan Gelgel di bawah Raja jaman pra sejarah adalah limah berundag. Sejak
Waturenggong, besar peranannya dalam menata jaman Raja Sri Kesari (913 M) sampai raja Anak
kembali kehidupan agama Hindu di Bali, Wungsu (1049-1077 M) Pura Besakih menjadi
termasuk menata kembali Pura Besakih dan tata tempat persembahyangan raja-raja silsilah
upacaranya. Beliau menyarankan raja Warmadewa. Sejak raja Gelgel yang pertama
Waturenggong untuk menyelenggarakan Pura Besakih dipergunakan untuk ibadah raja-
Upacara Ekadasarudra di Besakih sekalian raja silsilah Samprangan, Gelgel dan Klungkung.
dengan runtutan upacaranya, sebagaimana Pura Batumadeg dibangun pada waktu
diwariskan kini. Marakatapangkaja turunan dari silsilah
Menurut Dr. R.Goris yang pada Dharmawangsa.
prinsipnya menyatakan bahwa Pura Besakih Pura Besakih sekarang adalah gugusan
adalah kuil raja-raja Bali, dan dibangun oleh 86 buah pura, terdiri dari 18 pura umum, 4 pura
Wira Dalem Kesari. Menurut Goris yang Catur Lawa, 11 Padharman, 6 pura non

63
JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

Padharman, 29 pura Dadia (pura keluarga), 7 2. Margi Agung dari Sudut Fungsi
pura berkaitan dengan pura Dadia dan 11 pura dan Makna
lainnya (Fox, 1987:84) yang kesemuanya Margi agung adalah sebuah istilah lokal
merupakan hasil kemegahan arsitektur religius. (daerah Bali) untuk menamai sebuah ruas jalan
Pura Besakih dalam kedudukannya dengan fungsi selaku akses/pencapaian utama
sebagai Pura Kahyangan Jagat memiliki fungsi: dari dan ke suatu kawasan. Margi atau marga
(1) Pura Rwa Bhineda, (2) Pura Sad Kahyangan; berarti jalan, kemudian agung berarti besar.
(3) Pura Padma Bhuwana; (4) Pura Bhuta Hita. Margi agung adalah sebuah ruas jalan yang pada
umumnya diistilahkan pada suatu kawasan pola
Untuk mencapai Pura Besakih terdapat
pedesaan tradisional di Bali, dan merupakan
margi agung yang dimulai dari candi bentar
jalan utama yang ada pada desa-desa dan pusat
sebelum Pura Manik Mas sampai dengan kota (kerajaan) di Bali. Sebagai jalur utama
sebelum candi bentar Pura Penataran Agung. maka segi fisik keberadaannya tentu akan lebih
Margi agung ini merupakan sepotong jalan yang
luas/ lebar dimensinya.
harus dilalui pada waktu upacara yang
prosesinya keluar dari Pura Besakih. Disamping 3. Margi Agung Sebagai Daerah Sakral
margi agung berderet kios-kios yang menjual Pura Besakih terdiri atas tujuh lapisan,
berbagai kerajinan tangan dari berbagai daerah dari lapisan pertama di bawah sampai lapisan
di Bali. teratas merupakan lapisan ketujuh yang
Pemukiman penduduk juga terdapat di merupakan pelataran kosong yang merupakan
kawasan Pura Besakih yang dikatagorikan lambang sunya loka yang melukiskan Tuhan itu
menjadi dua bagian besar, yaitu yang berada di maha gaib dan suksma yang disebut juga Sang
daerah hulu dari margi agung yang bersifat Hyang Embang.
utamaning utama, dan pemukiman yang berada Lapisan keenam terdapat dua bangunan
di sepenjang margi agung, baik di sebelah kanan kembar berbentuk gegedongan yang merupakan
maupun kiri margi agung. stana Ratu Pucak Kiwa dan Pucak Tengen yang
Katagori pertama adalah pemukiman merupakan lambang Purusa dan Predana yang
yang berada di dusun (pemaksan) Batumadeg diciptakan Tuhan paling awal yang terpengaruh
dan Kiduling Kreteg yang menurut RDTR oleh Tri Guna yaitu Sattwam, Rajas,dan Tamas.
Kawasan Suci Besakih berjumlah 119 unit. Dari Lapisan kelima ada empat bangunan
119 unit tersebut terdapat 161 KK, terdiri dari 72 yaitu dua bangunan pepelik dan dua bangunan
KK (45 %) dari Pemaksan Batumadeg dan 89 pokok yaitu meru tumpang solas sebagai stana
KK (55 %) dari Pemaksan Kiduling Kreteg. Ida sang Hyang Widi Wasa, meru tumpang telu
sebagai stana Ida Ratu Ayu Mas Magelung.
PENATAAN MARGI AGUNG Lapisan keempat terdapat pelinggih
KAWASAN SUCI PURA BESAKIH pokok berupa meru tumpang solas linggih Ratu
1. Margi Agung sebagai Pusat Orientasi Sunaring Jagat, Pelinggih Widyadara dan
Widyadari, Pelinggih Sang Hyang Surya
Margi agung (jalan besar) adalah
Candra, Pelinggih Ratu Subandar dan Ratu
sepotong jalan yang bersifat sakral yang
Ulang Alu.
difungsikan sebagai tempat pelaksanaan prosesi
upacara di Pura Besakih yang di sebelah kiri dan Pada petak yang ketiga terdapat
kanannya terdapat hunian yang merupakan enambelas bangunan yang merupakan tokoh
pemaksan (pengelola) Pura Besakih, yang juga masyarakat perpaduan semua potensi yang
memanfaatkan margi agung ini sebagai daerah merupakan karunia Tuhan, perpaduan tokoh
sirkulasi dalam kesehariannya, baik secara masyarakat, pendeta dan raja yang merupakan
langsung menuju margi agung, maupun melalui suatu hal yang mutlak untuk mendapatkan
rurung-rurung (gang-gang) kecil yang waranugraha Ida Betara.
menghubungkan perumahan dengan margi
agung.

64
KONSEP PENATAAN KAWASAN SUCI MARGI AGUNG PURA BESAKIH (I GUSTI BAGUS OKA)

Melalui kori akan ditemui lapisan yang 5. Konsep Penataan Margi Agung
kedua berupa Penataran Agung yang terdapat Dengan pola linier, maka margi agung
Padma Tiga untuk memuja Sang Hyang Tri akan merupakan pusat orientasi, sehingga jalan-
Purusa. Dengan melewati 51 anak tangga dan jalan yang lebih kecil akan bermuara di margi
melalui candi bentar akan dicapai lapisan yang agung. Margi agung bukan saja sebagai pusat
pertama, yang mana dikanan kirinya terdapat orientasi tetapi juga merupakan daerah sakral,
patung-patung yang berperan dalam Mahabarata harus dapat memisahkan antara yang bersifat
dan Ramayana. profan dan yang bersifat sakral. Untuk itu akan
Dalam melaksanakan kewajibannya ditata kembali kawasan margi agung sebagai
sebagai umat beragama kebanyakan berikut:
melaksanakan Bakti Marga, yang disebabkan a. Kawasan margi agung hanya akan
oleh karena Tuhan adalah gaib, tidak dapat dimanfaatkan sebagai areal sakral terutama
dipikirkan, oleh karena itu umat yang untuk mengadakan prosesi upacara, sehingga
berhubungan dengan beliau maka beliau dengan demikian kesucian margi agung
diwujudkan dalam bentuk daksina atau pratima. akan dapat dipertahankan dan tidak akan
Anggapan seperti ini menyebabkan apa yang menodai kesucian pura secara keseluruhan.
terjadi pada manusia bisa terjadi pada beliau, b. Pengalihan fungsi sebagian margi agung
sehingga beliau dapat terkena leteh, kalau jalan akan dimanfaatkan sebagai daerah pejalan
untuk beliau ternoda maka beliaupun ternoda. kaki baik wisatawan maupun penghuni
Karena itu margi agung bersifat sakral, karena pemukiman kawasan margi agung.
segala sesuatu yang berkaitan dengan Ida Betara
tidak boleh tersentuh atau dilalui oleh sesuatu c. Daerah hunian di sepanjang margi agung ini
yang mengandung kotoran. akan tetap difungsikan sebagai tempat
berjualan cinderamata, sehingga akan
4. Makna Simbolik Angkul-angkul menambah kenyamanan wisatawan dan
menambah pendapatan penghuni kawasan
Pada umumnya karang perumahan margi agung. Pintu keluar masuk penghuni
tradisional Bali dikelilingi oleh tembok dari rumah sepanjang margi agung menuju
penyengker yang berfungsi sebagai batas antara margi agung, akan digunakan pemesuan
karang perumahan dan karang sisa yang berada angkul-angkul atau sejenisnya menurut
diluarnya. Secara niskala, penyengker berfungsi ketentuan yang berlaku. Sehingga dapat
pula untuk menangkal segala gangguan yang memperlihatkan kebudayaan yang
datang dari luar, terutama dari orang-orang yang mendukung kawasan.
tidak suka pada penghuni rumah tersebut.
Selain tembok penyengker perumahan SIMPULAN
tradisional Bali juga terdapat angkul-angkul Dari uraian diatas maka dapat
yang berfungsi sebagai tempat pemesuan tetapi disimpulkan sebagai berikut ini:
juga bermakna sebagai penjaga keselamatan,
1. Margi agung merupakan pusat orientasi bagi
sebagai implementasi ajaran Hindu dan juga
pemukiman sekitar margi agung, sehingga
mempunyai makna simbolik sebagai (1) tujuan
semua aktivitas penduduk hunian, akan
hidup yaitu menuju moksarttham jagadhitaya ca
bermuara di margi agung.
iti dharmah (kehidupan manusia lahir bathin
tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan yang 2. Margi agung adalah tetap merupakan ruang
kekal dan abadi yang disebut moksa);(2) sebagai sakral, yang harus tetap dijaga kesuciannya,
simbol kemanunggalan bhuwana agung dan sehingga hal-hal yang menyebabkan
bhuwana alit (3) sebagai pengejawantahan keletehan dapat dihindarkan dari margi
ajaran samkhya;(4) simbol stratifikasi sosial. agung.
3. Penataan pemukiman sekitar margi agung
akan memakai pola linier dimana margi
agung merupakan sumbu utama utara

65
JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 2 NO. 2 AGUSTUS 2004 : 56 - 107

selatan, sedangkan sumbu sekunder baik Kaler, I Gusti Ketut. 1982. Butir-butir Tercecer
utara selatan, timur barat dibuat menurut Tentang Adat Bali Jilid 2. Denpasar:
kebutuhan. Bali Agung.
4. Angkul-angkul sebagai tepat keluar masuk Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet
rumah ditata menurut aturan yang berlaku dan Pembangunan, Jakarta: PT
dan diarahkan untuk lebih bertujuan Gramedia.
mencapai kebahagiaan. Lynch, Kevin. 1960. The Image of the City.
5. Kios-kios yang berada disepanjang margi Massachussetts: The MIT Press.
agung ditata kembali sehingga dapat Poespowardoyo, Soerjanto. 1993. Strategi
menunjang kenyamanan pengunjung dan Kebudayaan, Suatu Pendekatan
kesucian kawasan. Filosofis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
SARAN
Purwita, Ida Bagus Putu. 1984. Inti Hakekat
Beberapa saran yang perlu diperhatikan Agama Hindu, dalam Rangka
adalah sebagai berikut: Kegiatan Sabha Arsitektur Bali.
1. Agar pemukiman tetap dijaga Denpasar: Pusat Informasi Teknik
kelestariannya, dan tidak ada pengembangan Bangunan, Kantor Wilayah
kembali setelah penataan. Departemen Pekerjaan Umum
Propinsi Bali.
2. Margi agung tetap dijaga kesakralan dan Sanderson, Stephen K. 1995. Sosiologi Makro:
kesuciannya, sehingga tidak menodai Sebuah Pendekatan terhadap
kesucian kawasan. Realitas Sosial (Edisi 2). Jakarta: PT
3. Angkul-angkul sebagai elemen ruang luar Raja Grafindo Persada.
dipertahankan untuk menunjang kemegahan Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu
margi agung. Pengantar. Jakarta: PT. Rata
4. Pelaksanaan pengembangan dilaksanakan Grafindo Persada.
secara bertahap sesuai dengan kemampuan, Titib, I Made. 1993. Pedoman Sembahyang dan
dengan mengikutsertakan umat secara Tirthayatra bagi Umat Hindu.
menyeluruh serta lembaga adat dan Denpasar: Upada Sastra.
keagamaan yang ada. Tonjaya. 1982. Lintasan Asta Kosali. Denpasar:
5. Tindak lanjut pengelolaan margi agung Toko Buku Ria.
setelah penataan, sepenuhnya diserahkan Trancik, Roger. 1986. Finding Lost Space.
kepada masyarakat melalui lembaga adat Canada: Van Nostrand Reinhold
dan keagamaan setempat dalam rangka tetap Company.
menjaga kelestarian, kesakralan, keajegan Triguna, Ida Bagus Gede Yudha. 1993. Sosiologi
margi agung itu sendiri serta Pura Besakih Hindu. Jakarta: Direktorat Jendral
secara menyeluruh. Bimbingan Masyarakat Hindu dan
Budha dan Universitas Terbuka.
Wiana, I Ketut. 1985. Acara III. Denpasar:
DAFTAR PUSTAKA Cetakani.
........... 1987. Konsep Agama Hindu dalam Windhu, Ida Bagus Oka. 1976/1977. Bangunan
Arsitektur Tradisional. Majalah Tradisional Bali Serta Fungsinya.
Ilmiah Populer Widyasrama, Denpasar: Proyek Sasana budaya
Denpasar: Universitas Dwijendra. Bali.
Bagoes, I Gusti Ngurah. 1980. Kebudayaan Bali Wiratmadja, I Gusti Ketut Adia. 1977. Agama
(dalam Manusia dan Kebudayaan di Hindu, Sejarah dan Sradha. Tidak
Indonesia). Koentjaraningrat (ed) dipublikasikan.
Cetakan V. Jakarta: Jembatan.

66

You might also like