You are on page 1of 20

BAB V

BUDAYA ORGANISASI
SPIRITUAL

5.1 Konsep Dasar Budaya Organisasi

D
alam analisis Keith Davis dan John W.
Newstrom menjelaskan bahwa konsep dasar
budaya organisasi sebagai “organizational
culture is the set of assumption, beliefs, values, and norms
that is shared among its members” (Mangkunegara, 2005:
113). Penjelasan di atas menekankan bahwa budaya
organisasi merupakan seperangkat asumsi atau sistem
keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan
dalam suatu organisasi serta menjadi pedoman tingkah
laku anggotanya.
Namun bagi Robbins (2002) budaya organisasi
lebih berkembang ke arah persepsi bersama yang
dianut oleh anggota suatu organisasi yang memiliki
makna bersama. Makna bersama yaitu seperangkat
karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi
tersebut. Dengan demikian, budaya organisasi menjadi
sebuah sistem nilai serta kepercayaan bersama dalam
organisasi, sehingga memiliki perbedaan dengan
organisasi lainnya.
61
Budaya organisasi merupakan perpaduan
nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, serta
harapan yang diyakini oleh semua anggota or-
ganisasi. Semua aspek ini menjadi pedoman
bagi perilaku serta pemecahan masalah yang
mereka hadapi.

Dalam analisis Komariah dan Triatna (2005),


Stoner (1996), dan Ismaningsih (2003) menegaskan
bahwa budaya organisasi merupakan perpaduan
nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan
yang diyakini oleh anggota organisasi. Semua aspek ini
menjadi pedoman bagi perilaku serta pemecahan
masalah yang mereka hadapi. Hal ini diungkapkan oleh
Tika (2006) bahwa budaya organisasi berfungsi dalam
penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal
secara konsisten oleh suatu kelompok masyarakat
(organisasi). Budaya organisasi ini pun diwariskan
kepada anggota baru agar mampu memahami,
memikirkan, dan merasakan berbagai masalah yang
terkait dalam organisasi tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengembangan
pariwisata spiritual, maka budaya organisasi yang
bercirikan spiritual sangat diperlukan dewasa ini.
Apalagi sektor pariwisata telah menjadi salah satu
sumber pendapatan daerah maupun negara. Oleh sebab
itu, pariwisata spiritual harus mampu bersaing dalam
62
dinamika kepariwisataan saat ini. Budaya organisasi
spiritual dikembangkan menjadi sebuah sistem
keyakinan, nilai, norma, cara berpikir, berperasaan,
dan bereaksi dengan memancarkan prinsip-prinsip
spiritual pada daerah wisata tersebut.
Untuk mewujudkan budaya organisasi
spiritual ini maka sangat dibutuhkan peran serta para
pemimpin yang berjiwa spiritual. Spirit pemimpin ini
menjadi faktor utama dan sekaligus motor penggerak
agar tercapai suasana spiritual pada destinasi wisata.
Setiap pemimpin spiritual harus memiliki mental
programming dengan nilai-nilai spiritual serta kearifan
lokal masyarakatnya. Modal kepribadian pemimpin
spiritual inilah dapat menjadi derajat homogenitas dan
kekuatan, sehingga setiap orang yang ada di lokasi
wisata tersebut selalu memancarkan sikap hidup secara
spiritual.

5.2 Budaya Organisasi Spiritual


Dalam proses pengelolaan, pengembangan,
serta pemanfaatan lahan atau suatu wilayah menjadi
sebuah objek wisata dapat dipastikan telah terjadi
interaksi sosial antara pemerintah, masyarakat
lokal, dan pengusaha pariwisata. Oleh karena itu,
dalam pengembangan pariwisata spiritual tentu
saja dibutuhkan aspek sosial maupun aspek budaya.
Dalam setiap interaksi sosial pasti terjadi transformasi
63
budaya.
Salah satu kejelian seorang pemimpin harus
mampu melihat perkembangan setiap kebudayaan
yang ada di sekitarnya. Aspek budaya ini dapat
dipelajari melalui pendidikan formal maupun
nonformal. Pendidikan formal dapat melalui SD, SMP,
SMA, dan Perguruan Tinggi. Sementara pendidikan
nonformal yaitu lingkungan sosial seperti kegiatan seni
budaya yang diselenggarakan di wilayah tersebut. Pada
intinya, aspek sosial dan aspek budaya dapat diperoleh
melalui proses pendidikan.
Menurut Tilaar (2000: 54) bahwa salah satu proses
transmisi kebudayaan yaitu proses pendidikan. Melalui
pendidikan terjadilah proses transmisi kebudayaan.
Pada umumnya, aspek budaya yang berkembang
di dunia pendidikan terjadi secara organisatoris.
Organisasi lembaga pendidikan pariwisata misalnya
pasti memiliki budaya dan bercirikan dunia pariwisata.
Oleh sebab itu, semua aspek budaya yang
dikembangkan, ditanamkan, dan ditransmisi kepada
anggota masyarakat melalui pada dasarnya melalui
proses pendidikan.
Dalam pandangan Ndraha (Mangkunegara,
2005) bahwa budaya organisasi sebagai input dari
pendiri organisasi, pemilik organisasi, sumber daya
manusia, pihak yang berkepentingan, serta anggota

64
masyarakat. Nuansa budaya organisasi seperti ini
digerakkan oleh semua insan yang ada pada suatu
wilayah tersebut. Pada konteks ini tokoh agama,
tokoh masyarakat, dan semua anggota masyarakat
tetap memegang prinsip-prinsip spiritual serta tingkat
kerohanian yang memadai.
Pada konteks budaya organisasi pariwisata
spiritual tentu harus mampu mencerminkan norma-
norma, nilai-nilai, serta disiplin yang bernuansa
spiritual. Lebih jelasnya, budaya organisasi yang
mereka ciptakan harus tetap mencirikan organisasi
pariwisata spiritual. Dengan memiliki ciri-ciri seperti
ini maka suatu daerah bisa dikategorikan sebagai
destinasi pariwisata spiritual.

Dalam budaya organisasi pariwisata spiritual


harus mencerminkan norma-norma, nilai-
nilai, serta disiplin yang bernuansa spiritual.
Suatu daerah bisa dikategorikan sebagai des-
tinasi pariwisata spiritual apabila memiliki
ciri-ciri budaya organiasi spiritual.

5.3 Hakikat Budaya Organisasi Spiritual


Pengembangan destinasi pariwisata spiritual
pada suatu daerah tentu tidak bisa terlepas dari adanya
budaya organisasi spiritual. Setiap pemimpin spiritual,
tokoh masyarakat, anggota masyarakat, dan
65
pelaku usaha pariwisata harus memiliki tujuan yang
sama yaitu mengembangkan pariwisata spiritual.
Dalam perspektif psikologi, semua elemen masyarakat
ini harus memiliki semangat dan jiwa yang sama
serta saling terkait demi tercapainya tujuan bersama
tersebut.
Dalampembentukanbudayapadasuatulembaga
pariwisata spiritual pasti memiliki pola tingkah laku
yang sama. Dalam hal ini, Robbin (1996) menjelaskan
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi serta
membangkitkan pola tingkah laku orang-orang yang
ada di dalamnya. Tingkah laku orang pada organisasi
itu sebagai “milik dari” organisasi tersebut. Apabila
anggota organisasi telah memegang teguh nilai-nilai
kunci organisasi maka pasti terbentuk budaya yang
kuat yaitu budaya organisasi pariwisata spiritual.
Menurut Tika (2006: 109), budaya organisasi bisa
kuat apabila: (1) nilai-nilai budaya organisasi dianut
secara bersama oleh seluruh pimpinan dan anggota or-
ganisasi; (2) nilai-nilai budaya mempengaruhi perilaku
pimpinan dan anggota organisasi; (3) membangkitkan
semangat berperilaku dan bekerja lebih baik; (4) resist-
en (kuat) terhadap tantangan eksternal dan internal; (5)
mempunyai sistem peraturan formal dan informal; (6)
memiliki koordinasi dan kontrol perilaku.
Selanjutnya, Stephen P. Robbins (Tika, 2006:
20) mengemukakn bahwa ada tiga kekuatan untuk
66
mempertahankan suatu budaya organisasi, yaitu:
a. Praktik seleksi. Proses seleksi ini bertujuan
mengidentifikasi serta mempekerjakan setiap
individu yang mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan
pekerjaan yang pernah sukses dalam sebuah
organisasi.
b. Manajemen puncak. Tindakan manajemen puncak
mempunyai dampak besar pada budaya organisasi.
Ucapan dan perilaku sangat berpengaruh terhadap
psikologis anggota organisasi tersebut.
c. Sosialisasi. Kegiatan sosialisasi dimaksudkan agar
para karyawan yang baru dapat menyesuaikan
diri dengan budaya orgnisasi tersebut.

Dengan demikian, hakikat budaya organisasi


terjadi dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan yang
kurang terlihat berupa nilai-nilai yang dianut oleh
anggota kelompok yang cenderung bertahan meskipun
anggotanya sudah ganti. Nilai-nilai ini sangat sukar
berubah dan anggota organisasi seringkali tidak
menyadari karena banyaknya nilai. Tingkatan yang
lebih terlihat berupa pola gaya perilaku organisasi,
yakni orang-orang yang baru masuk terdorong untuk
mengikutinya. Oleh sebab itu, suatu budaya organisasi
kuat apabila adanya nilai-nilai dan norma yang dianut
oleh semua anggota dan pemimpinnya secara bersama-
67
Tiga kekuatan yang terdapat dalam budaya
organisasi, yaitu: praktik seleksi, manaje-
men puncak, dan tindakan sosialisasi. Oleh
sebab itu, suatu budaya organisasi kuat apa-
bila adanya nilai-nilai dan norma yang dianut
oleh semua anggota dan pemimpinnya secara
bersama-sama.

sama. Semua nilai dan norma yang dianut itu harus


dilaksanakan secara bersama-sama baik pemimpin
maupun anggotanya.

5.4 Karakteristik Budaya Organisasi


Spiritual
Budaya organisasi mengacu pada suatu sistem
makna dan kesepakatan bersama, sehingga memiliki
karakteristik atau ciri-ciri utama yang harus dihargai
oleh organisasi tersebut. Menurut Rivai (2004) ada
tujuh karakteristik primer pada suatu organisasi,
yaitu: Pertama, inovasi dan pengambilan risiko
terhadap tujuan yang hendak dicapai. Setiap karyawan
didorong untuk inovatif serta berani mengambil risiko
atas pekerjaannya. Kedua, karyawan harus cermat dan
mampun menganalisis pergerakan organiasasinya.
Ketiga, manajemen memiliki orientasi pada hasil tetapi
bukan teknik ataupun proses yang digunakan untuk
mencapai hasil itu. Keempat, keputusan yang diambil
68
harus memperhitungkan efek terhadap orang-orang
yang ada di dalam organisasi itu. Kelima, terciptanya
tim yang solid, sehinga tidak menonjolkan sikap
individualisme. Keenam, semua anggota harus agresif
dan kompetitif. Ketujuh, organisasi harus mampu
mempertahankan status quo terhadap organisasi di
sekitarnya.
Selanjutnya, Luthans (Lako, 2004: 33) me-
nambahkan enam karakteristik lainnya, yaitu:
1. Observed behavioral regularites, yaitu partisipan
dalam organisasi saling berinteraksi satu sama
lain dengan menggunakan bahasa, terminologi,
dan ritual-ritual yang sama dengan memberi rasa
hormat satu sama lain.
2. Norms, yaitu standard perilaku yang mencakup
tentang berapa banyak pekerjaan yang harus
dilaksanakan dan perbuata apa saja yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
3. Dominant values, yaitu nilai utama yang diharapkan
kepada semua anggota organisasi untuk
memberikan kualitas produk dan absensi yang
rendah dalam pekerjaannya.
4. Philosophy, yaitu kebijakan tentang bagaimana para
anggota dan para pelanggan diperlakukan dengan
baik.
5. Rules, yaitu pedoman atau aturan yang bermanfaat
bagi kemajuan organisasi.
69
6. Organizational climate, yaitu cara para anggota
organisasi memperlakukan dirinya dalam
menghadapi pihak pelanggan dan pihak luar
lainnya.

Dari beberapa uraian di atas menunjukkan


bahwa karakteristik sebuah organisasi terus mengalami
perkembangan dan perubahan setiap waktu sesuai
konteks serta daerahnya masing-masing. Oleh sebab
itu, Stepen P. Robbin (Tika, 2006) menambahkan 10
(sepuluh) karakteristik yang menjadikan budaya
organisasi dapat berkualitas, yaitu:
1. Inisiatif individual. Inisiatif individual adalah
tingkat tanggung jawab, kebebasan atau
independensi dalam mengemukakan pendapat.
Inisiatif individu ini tetap dihargai oleh anggota
kelompok atau pimpinan sepanjang manyangkut
ide untuk memajukan dan mengembangkan
organisasi tersebut.
2. Toleransi terhadap tindakan berisiko. Dalam
budaya organisasi setiap pegawai dianjurkan
untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan berani
mengambil risiko pada tugas serta tanggung
jawabnya. Apabila pemimpin memberikan
toleransi kepada anggota untuk bertindak agresif
dan inovatif, maka organisasi tersebut dapat
mengalami kemajuan di bidangnya.
70
3. Tanggung jawab. Tanggung jawab (pengarahan)
dimaksudkan agar sasaran dan harapan yang
diinginkan secara jelas tercantum dalam visi, misi,
serta tujuan organisasi.
4. Integrasi (kebersamaan). Integrasi bertujuan untuk
mendorong unit-unit organisasi bekerja secara
terkoordinasi. Kekompakan setiap unit organisasi
dapat mendorong kualitas dan kuantitas pada
pekerjaannya.
5. Dukungan manajemen. Setiap pemimipin dapat
memberikan arahan, bantuan, serta dukungan
yang jelas terhadap bawahan.
6. Kontrol/tata aturan. Alat kontrol berupa
peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam
organisasi.
7. Identitas. Para karyawan harus mampu
mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan
dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok
kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu.
8. Sistem imbalan. Sistem imbalan yaitu kenaikan
gaji, promosi, dan sebagainya didasarkan atas
prestasi kerja pegawai. Dengan reward ini dapat
mendorong karyawan lebih bersemangat dan
bertindak inovatif, sehingga kualitas kerja yang
lebih maksimal.
9. Toleransi terhadap konflik. Para karyawan
didorong untuk mengemukakan pendapat
71
dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat
maupun kritik bisa dijadikan sebagai media untuk
melakukan perbaikan agar organisasi yang lebih
baik.
10. Pola komunikasi. Komunikasi harus diatasi oleh
hirarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang
hirarki kewenangan dapat menghambat terjadinya
pola komunikasi antara atasan dengan bawahan
atau antara karyawan itu sendiri.

Budaya organisasi merupakan manifestasi dari


asumsi-asumsi dasar yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat. Karakteristik budaya organisasi ini
didasarkan pada nilai-nilai, norma, jiwa kepahlawanan,
keteladanan, tata aturan, tanggung jawab, kebersamaan,
otonomi individu, dan sebagainya. Dengan demikian,
setiap organisasi harus mampu berinovasi setiap saat
demi menjaga stabilitas dan keamanan (stability and
security) baik dalam maupun di luar organisasinya.

Budaya organisasi merupakan manifestasi


dari asumsi dasar dianut oleh suatu kelompok
masyarakat. Karakteristik budaya organisasi
ini didasarkan pada nilai-nilai, norma, jiwa
kepahlawanan, keteladanan, tata aturan,
tanggung jawab, kebersamaan, otonomi indi-
vidu, dan sebagainya.

72
Dengan kemampuan manajerial serta organisasi yang
kuat maka dapat mengambil tindakan tegas terhadap
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
sekalipun.

5.5 Pembentukan Budaya Organisasi


Spiritual
Pembentukan budaya organisasi spiritual sangat
mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja setiap
anggota kelompok masyarakat (organisasi). Budaya
organisasi ini memiliki korelasi yang erat dengan
kinerja ekonomi serta kinerja organisasi secara
keseluruhan. Secara sederhana budaya organisasi
dapat diungkapkan sebagai cara berpikir, cara bekerja,
cara berkomunikasi yang penuh nilai edukatif dari
pemimpin organisasi tersebut. Dengan demikian,
adanya hubungan yang signifikan antara budaya
organisasi dengan keefektifan proses belajar setiap
anggota masyarakat terhadap lingkungan sosial
barunya seperti keberadaan organisasi destinasi
pariwisata spiritual di Palasari Bali sampai saat ini.
Menurut Deal & Kennedy (Tika, 2006) ada 5
(lima) unsur pembentuk budaya organisasi secara
umum, yaitu:
a. Lingkungan usaha. Kelangsungan hidup organisasi
ditentukan oleh kemampuan perusahaan memberi
tanggapan yang tepat terhadap peluang dan
73
tantangan lingkungan di sekitarnya. Lingkungan
usaha yang berpengaruh meliputi produk yang
dihasilkan, pesaing, pelanggan, teknologi,
pemasok, kebijakan pemerintah, dan lain-lain.
b. Nilai-nilai. Nilai-nilai adalah keyakinan dasar
yang dianut oleh organisasi. Setiap perusahaan
mempunyai nilai-nilai inti sebagai pedoman
berpikir dan bertindak bagi semua warga dalam
mencapai tujuan/misi organisasi tersebut.
c. Pahlawan (keteladanan). Pahlawan adalah tokoh
yang dipandang berhasil dalam mewujudkan nilai-
nilai budaya pada kehidupan nyata. Pahlawan bisa
berasal dari pendiri perusahaan, para manajer/
direktur, kelompok organisasi atau perorangan
yang berhasil menciptakan nilai-nilai organisasi.
d. Ritual. Ritual merupakan kegiatan yang
mengungkapkan serta memperkuat nilai-nilai
yang dianut oleh organisasi tersebut. Karyawan
yang berhasil memajukan perusahaan diberikan
penghargaan yang dilaksanakan secara ritual
setiap tahunnya.
e. Jaringan budaya. Jaringan budaya adalah jaringan
komunikasi informal atau saluran komunikasi
primer. Melalui jaringan informal, maka kehebatan
organisasi dapat diceritakan dari waktu ke waktu.
Jaringan komunikasi informal ini dapat dilakukan
melalui orang-orang pandai bercerita, alim ulama,
74
mata-mata, dan sebagainya.

Selanjutnya, Tika (2006) menambahkan beberapa


proses terbentuknya budaya oragnisasi, yaitu: (1)
interaksi antarpemimpin atau pendiri organisasi
dengan kelompok/perorangan dalam organisasi; (2)
interkasi ini menimbulkan ide yang ditransformasikan
menjadi artifak, nilai, dan asumsi; (3) artifak, nilai,
dan asumsi kemudian diimplementasikan sehingga
menjadi budaya organisasi; (4) untuk mempertahankan
budaya organisasi lalu dilakukan pembelajaran kepada
anggota baru dalam organisasi.
Menurut Sobirin (2007: 220) mengidentifikasi
proses terbentuknya organisasi dimulai dari tahap
pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya sebuah
organisasi. Tahap ini merupakan titik awal (embrio)
pembentukan budaya organisasi. Begitu pendiri
memiliki ide untuk mendirikan organisasi, maka saat
itu pula embrio terbentukknya budaya organisasi
tidak terelakkan. Sedangkan realisasinya baru terjadi

Proses terbentuknya organisasi dimulai dari


tahap pembentukan ide sehingga menjadi tit-
ik awal (embrio) pembentukan budaya organ-
isasi. Oleh sebab itu, ide seorang pemimpin
atau pendiri begitu penting dalam pembentu-
kan sebuah organisasi.

75
pada saat organisasi betul-betul sudah berdiri.
Bisa dikatakan bahwa begitu organisasi didirikan
pembentukan budaya pun dimulai. Pembentukan
suatu budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari
peran para pendiri organisasi tersebut.
Para pemimpin mempunyai potensi paling besar
untuk menanamkan serta memperkuat aspek-aspek
budaya dalam organisasi. Menurut Schein (Gary, 1998)
ada lima mekanisme utama yang diperankan oleh
setiap pemimpin, yaitu:
1. Perhatian (attention). Para pemimpin meng_
komunikasikan prioritas-prioritas, nilai-nilai,
perhatian mengenai sesuatu seperti merencanakan
rapat mengenai kemajuan atau “management by
walking around”.
2. Reaksi terhadap krisis. Sebuah perusahaan yang
sedang menghadapi tingkat penjualan yang turun
maka semua pegawai bekerja dalam waktu lebih
pendek dan bersedia menerima pemotongan gaji.
3. Pemodelan peran. Para pemimpin dapat
mengkomunikasikan nilai-nilai dan harapan-
harapan melalui tindakan mereka sendiri.
4. Alokasi imbalan. Kreteria yang digunakan
sebagai dasar untuk mengalokasikan imbalan
seperti peningkatan upah atau promosi dapat
dikomunikasikan oleh pemimpin.
5. Kriteria menyeleksi dan memberhentikan. Para
76
pemimpin dapat merekrut orang yang mempunyai
nilai-nilai, keterampilan, atau ciri-ciri tertentu.

Dengan adanya keyakinan pada pendiri


organisasi maka masalah eksternal maupun internal
dapat dicari jalan keluarnya. Masalah eksternal
merupakan misi inti (core mission) atau alasan (couse)
bagi eksistensi organisasi tersebut. Terciptanya strategi
ini demi pencapaian sasaran organisasi. Kendati dalam
organisasi kadang memiliki banyak sasaran serta
prioritas tertentu.
Fungsi dari budaya organisasi adalah untuk
membantu memahami lingkungan serta cara
menanggapinya. Budaya organisasi dapat mengurangi
ketegangan, ketidakpastian, dan kekacauan yang
terjadi dalam organisasi maupun lingkungannya.
Masalah internal dan eksternal ini bisa saling
berhubungan, sehingga setiap organisasi harus mampu
menghadapinya secara simultan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi pariwisata
spiritual merupakan hal baru dalam dunia
kepariwisataan. Oleh sebab itu, sektor pariwisata harus
mengedepankan nilai-nilai spiritual dalam pengelolaan
maupun dalam pengembangan pariwisata spiritual
tersebut. Selama ini ada kesan sektor pariwisata bagian
dari kerusakan moral karena karena masih banyak
77
Selama ini ada kesan sektor pariwisata bagian
dari kerusakan moral masyarakat. Oleh sebab
itu, semua pemimpin dan anggota masyarakat
harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Ma-
nusia yang melupakan Tuhannya akan men-
jadi manusia pelayan bagi hawa nafsunya dan
hawa nafsu manusia harus dikendalikan den-
gan nilai-nilai spiritual atau kerohaniaan.

para pemimpin, tokoh masyarakat, dan anggota


masyarakat menjadikan sektor ini sebagai sumber
pendapatan semata tanpa memperdulikan lingkungan
sosial budaya masyarakat setempat.
Sebagian besar pemimpin dan anggota
masyarakat terpengaruh oleh budaya Barat yang
kapitalis, mereka lupa bahwa bekerja merupakan
ibadah dan tanggung jawab secara moral kepada
Tuhan. Banyak pula pemimpin yang memperkaya
dirinya sendiri. Tepatlah apa yang dikatakan oleh
Herman Soewardi bahwa “Manusia yang melupakan
Tuhannya akan menjadi manusia pelayan hawa
nafsunya, sedangkan menurut ajaran agama, hawa
nafsu manusia harus dikendalikan” (Mangkunegara,
2005: 114).
Akibat teladan yang diberikan oleh tokoh
dan pemimpin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
spiritual, maka generasi muda atau remaja saat ini
78
mengalami peningkatan penyimpangan moral. Dengan
menerapkan sistem budaya organisasi spiritual pada
suatu destinasi pariwisata maka diharapkan agar
semua elemen masyarakat dapat mematuhi serta
berpedoman pada sistem nilai keyakinan dan norma-
norma yang berlaku dalam organisasi tersebut.

79
80

You might also like