Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Percobaan ini digunakan untuk mengetahui efek obat terhadap organ yang
secara tidak langsung menunjukan kerja obat di reseptornya. Apabila jumlah
reseptor obat pada organ adalahN total, konsentrasi obat yang diberikan Xa maka
reseptornya yang ditempati oleh obat ini adalah𝑁𝐴 . reaksi ini dapat digambarkan
sebagai berikut
𝑘+1
A + R AR
𝑘−1
Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang di sertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metode ini dapat di amati respon organ terhadap pemberian
obat.
Respon organ terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada
praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat efeknya
terhadap organ terpisah (usus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Agonis
Agonis menghasilkan efek yang mirip dengan efek yang
ditimbulkan secara alami oleh substansi endogen (hormon,
neurotransmitter, dan sebagainya).
Misalnya pada obat 𝛽 agonis akan berinteraksi dengan
reseptor 𝛽 di jantung dan menyebabkan jantung berdetak lebih
cepat, efek ini serupa dengan reseptor 𝛽 di jantung saat
berinteraksi dengan neurotransmitter norepinephrine.
2. Antagonis
Antagonis bekerja dengan cara menghambat fungsi sel
dengan jalan menduduki reseptornya, sehingga substansi
endogen atau bahan agonis tidak dapat berinteraksi dengan
reseptor tersebut dan tidak dapat mengaktifkan fungsi sel.
Misalnya pada saat 𝛽 antagonis (𝛽 blocker) menduduki
reseptor 𝛽 yang ada di jantung, neurotransmitter
norepinephrine tidak dapat berinteraksi dengan reseptor 𝛽
sehingga menimbulkan efek denyut jantung menurun, tekanan
darah turun.
C. Teori Pendudukan
METODE PRAKTIKUM
A. Preparasi :
1. Pada praktikum ini digunakan hewan percobaan marmut.
2. Marmut yang telah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm.
3. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode
dengan temperatur 370 C dan diaerasi menggunakan udara dari
pompa udara.
4. Perubahan pada ileum (kontraksi) diteruskan melalui lever yang di
ujungnya dipasang jarum penulis. Besar kontraksi ileum dicatat
pada kertas kymograph melalui jarum penulis.
5. Respon organ terhadap obat dapat dilihat dengan pemberian obat
ke dalam larutan di dalam organ bath.
B. Pengamatan Respon :
1. Pada praktikum ini dapat dilihat :
a. Perubahan tonus
b. Perubahan kontraksi
c. Mula kerja dan masa kerja obat
2. Respon organ terhadap pemberian asetilkolin (Cholinoreseptor
agonis)
a. Injeksikan obat agonis ke dalam larutan di dalam organ
bath. Gantilah larutan dengan volume yang sama setelah
kontraksi usus mulai turun (kurang lebih 1 menit).
b. Tunggu aktivitas ileum kembali normal sebelum
memberikan obat berikutnya (kurang lebih 3 menit).
No. Konsentrasi Volume Konsentrasi Respon Ileum
Metakolin [M] Metakolin (cc) Metakolin dalam pada kymograph
organ bath [M]
1. 2,5 x 10-7 0,2 10-7
2. 2,5 x 10-6 1,8 10-6
3. 2,5 x 10-5 1,8 10-5
4. 2,5 x 10-4 1,8 10-4
5. 2,5 x 10-3 1,8 10-3
6. 2,5 x 10-2 1,8 10-2
+ : diam
++ : mulai naik
+ : diam
++ : mulai naik
Tabel dosis terhadap effek yang di timbulkan methacholine terhadap reseptor M3 di usus
45
40
35
30
25 Metakolin
20 Metakolin + Atropin
15
10
0
10-7 10-6 10-5 10-4 10-3 10-2
BAB IV
PEMBAHASAN
Apa yang terjadi pada ileum tikus sehingga memberikan respon yang bervariasi
pada pemberian metacholine dan atropin dapat dijelaskan dengan 3 teori, yaitu
mekanisme kerja sinyal transduksi, teori occupation, dan efek pemberian
antagonis terhadap pemberian agonis pada reseptor di organ. Sebelum dibahas
mengenai teori – teori tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu obat
– obat yang digunakan pada prkatikum ini bekerja pada sistem saraf otonom
kolinergik, reseptor kolinergik pada ileum tikus adalah muskarinik 3 (M3), dan
metacholine bertindak sebagai agonis M3 sedangkan atropine adalah
antagonisnya. Perlu diketahui adalah atropine adalah antagonis spesifik
muskarinik non selektif.
Ileum tikus mengalami kontraksi sebelum diberikan apa pun. Ingat bahwa ileum
juga banyak megandung otot polos. Hal ini dikarenakan pada dinding ileumnya
masih banyak mengandung asetilkolin. Kontraksi bertambah kuat ketika diberikan
metacholine. Maka bisa disimpulkan metacholine memberikan efek yang sama
seperti asetilkolin. Metacholine akan berikatan dengan reseptor M3 yang
merupakan salah satu contoh G-protein coupled receptors. Ikatan ini akan
menyebabkan aktivasi G protein yang semula berbentuk Guanosine Diphosphate
(GDP) berubah menjadi Guanosine Triphosphate (GTP). Sebagian kecil GTP ini
langsung membuka kanal ion kalsium, sedangkan sisanya menuju ke enzim
efektor Phospholipase C. Setelah itu enzim ini aktif bekerja untuk menghasilkan
dan meningkatkan jumlah second messenger berupa IP3 dan DAG. Second
messenger ini akan membuka kanal ion kalsium, sehingga makin banyak ion
kalsium yang masuk ke sitosol. Selain itu second messenger ini merangsang
Sarcoplasmic Reticulum untuk dilepaskannya ion kalsium ke sitosol pula. Hal ini
mengakibatkan semakin banyaknya ion kalsium di sitosol sehingga jumlah ikatan
ion dengan kompleks protein aktin miosin semakin banyak pula. Terjadilah
kontraksi ileum tikus.
Efek dari kontraksi tikus ini pun memiliki pola. Awalnya ileum hanya
berkontraksi sangat kecil akibat dari asetilkolin di dindingnya sendiri. Begitu
disuntikkan metacholine kontraksi langsung bertambah secara signifikan. Pada
dosis 10-7efek muncul 21 kotak. Pertambahan efek kecil terus terjadi sampai dosis
10-5. Namun memasuki dosis 10-4 pertambahan efek manjadi sangat tinggi yaitu
menjadi 36 kotak. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya metacholine yang
berikatan dengan reseptor M3. Metacholine terus disuntikkan dan kontraksi terus
bertambah kuat. Namun, ada suatu titik di mana metacholine terus ditambah tetapi
tidak diikuti oleh bertambah kuatnya kontraksi, malahan kontraksi terjadi pada
nilai yang tetap. Ini terjadi pada dosis 10-3 sampai 10-2 menghasilkan efek tetap
yaitu 39 kotak. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan teori occupation. Yang perlu
dipahami adalah organ memiliki jumlah reseptor yang terbatas. Efek dapat muncul
ketika agonis berikatan dengan reseptor yang sesuai. Obat akan mulai
memunculkan efek ketika dosis yang diberikan mencapai nilai treshold. Semakin
banyak metacholine disuntikkan semakin banyak ikatan metacholine dengan
reseptornya. Namun, saat di mana semua reseptor sudah diduduki oleh
metacholine, maka tidak ada tempat lagi bagi obat untuk berikatan. Di sinilah nilai
efek maksimal obat. Pemberian obat lagi tidak akan menambah efek karena semua
reseptor sudah diduduki.
Pola dari efek obat yang muncul akan bergeser dengan diberikannya antagonis,
misalnya pemberian atropine. Pada percobaan di atas dosis 10-7 sampai 10-6
memberikan efek tetap yaitu 22 kotak. Atropine akan menduduki reseptor M3,
namun ikatan ini tidak akan memberikan efek sehingga ileum pun tidak
berkontraksi. Hal inilah yang menyebabkan dibutuhkannya dosis metacholine
yang lebih besar untuk memunculkan efek yang relatif sama karena sebagian
keberadaan metacholine digunakan untuk mengusir atropine. Efek maksimal
diperoleh ketika pemberian dosis 10-2, beda dengan sebelumnya yang efek
maksimal dicapai pada dosis 10-3Oleh karenanya bisa kita lihat terjadi pergeseran
grafik lebih ke kanan. Dari sini juga kita bisa melihat bukti bahwa atropine
merupakan antagonis non kompetitif karena bisa digeser oleh metacholine.
BAB V
A. Kesimpulan
Obat akan memberikan efek bila berikatan dengan reseptornya. Efek obat
dapat meningkat sampai nilai maksimal sesuai dengan banyaknya reseptor
yang dimiliki organ. Karena pengaruh dari antagonis, dosis dari obat perlu
ditingkatkan untuk bisa menghasilkan efek yang sama.
B. Saran
Berikan obat sesuai dengan indikasi dan tetap dalam rentang indeks terapi.
DAFTAR PUSTAKA