You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan


metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang
diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain. Pertama kali
diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1953. Kedua ginekolog ini lahir di
Chicago dan merupakan lulusan dari Rush Medical College, keduanya meluangkan seluruh
karir profesionalnya pada Michael Reese Hospital. Irving F. Stein dan Michael L. Leventhal
menjelaskan adanya hubungan antara amenore dengan polikistik ovarian dan obesitas yang
kemudian dalam beberapa dekade dikenal sebagai Sindrom Stein-leventhal. Saat ini
gangguan tersebut dikenal sebagai Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) dengan
karakteristik utama amenore atau oligomenore dengan adanya bukti klinik atau laboratorium
hiperandrogenemia, dan mungkin berhubungan signifikan dengan wanita yang mengalami
obesitas dan hiperinsulinemia.1,2,3
Diagnosis dan terapi SOPK masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan European
Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the American Society for
Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003 telah ditetapkan poin
diagnostik untuk menegakkan SOPK yaitu jika di jumpai 2 dari 3 gejala antara lain adanya
oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-tanda hiperandrogenisme secara klinis maupun
biokimia, gambaran ovarium polikistik/polycystic ovarian morphology pada pemeriksaan
ultrasonografi.4
Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka pemahaman
gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan seakurat mungkin, dengan
demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat serasional mungkin dan bermanfaat baik
secara medikamentosa ataupun operatif.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan
dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan
endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar
hipofise atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi
gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi
dan amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan
peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen. Hiperandrogenisme secara klinis dapat
ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne), alopesia akibat androgen dan
naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron dan androstenedion.
Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik.

Gambar 1. Polycystic Ovary

2.2. Prevalensi
Penelitian tentang prevalensi SOPK masih terbatas. Di Amerika Serikat
prevalensinya berkisar 4-6%. Menurut Leventhal sindroma ini terjadi 1% - 3 % dari
semua wanita steril, 3%-7% wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik
serta 15-25% wanita usia reproduksi akan mengalami siklus yang tidak berovulasi.
Sebanyak 75% dari siklus yang tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi
kronis dalam bentuk Ovarium polikistik (OPK). Telah ditemukan bahwa 80% dari
2
kelainan ovarium polikistik ini secara klinis tampil sebagai Penyakit Ovarium Polikistik
(POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, Penyakit Ovarium polikistik ini akan
bergejala lengkap sebagai Sindroma Ovarium polikistik (SOPK).1

2.3. Etiologi
Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat dipengaruhi
oleh genetik. Bila dalam satu keluarga terdapat penderita SOPK maka 50% wanita dalam
keluarga tersebut akan menderita SOPK pula.3 Pada masa ini terdapat peningkatan
penemuan tentang hipotesa etiologi dari SOPK yaitu tekanan darah tinggi selama
kehamilan yang dapat berdampak bagi ibu dan anak, salah satu dampak bagi anak
tersebut adalah timbulnya ovarium polikistik.4
Tanda awal SOPK umumnya terlihat setelah menarche. Remaja dengan periode haid
sekitar 45 hari perlu mendapatkan pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan
kemungkinan SOPK. Pada beberapa penderita, gejala SOPK muncul setelah berat badan
meningkat pesat. 3

2.4. Patofisiologi
Walaupun faktor pencetus pasti dari SOPK belum diketahui sampai saat initetapi
terdapat beberapa kelainan endokrin yang berhubungan dengan penyakit ini yang telah
diketahui. Di antaranya, diketahui bahwa kadar LH pada pasien SOPK lebih tinggi
dibanding orang normal. Hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi pulsatil
GnRH maupun peningkatan sensitivitas hipofisis anterior terhadap GnRH. Peningkatan
kadar LH mengakibatkan bertambahnya produksi testosteron dan androstenedion pada
sel teka ovarium. Sebagian testosteron dan androstenedion yang dihasilkan akan diubah
menjadi estrogen di perifer sehingga selain terjadi peningkatan androgen juga terjadi
peningkatan kadar estrogen. Peningkatan kadar androgen dalam sirkulasi akan
menghambat produksi sex hormone binding globuline (SHBG) di hati sehingga kadar
testosteron bebas yang tidak terikat dengan SHBG akan meningkat. Berkurangnya
SHBG juga mengakibatkan peningkatan kadar estradiol bebas. Hal ini mengakibatkan
inhibisi pelepasan FSH dari hipofisis dan bahkan dapat meningkatkan pelepasan pulsatil
GnRH. Berkurangnya produksi FSH akan mengakibatkan berkurangnya aktivitas enzim
aromatase pada sel granulosa sehingga hanya sedikit androgen berlebih yang akan
diubah menjadi estradiol sedangkan sisanya dilepas ke dalam sirkulasi. 9
Kadar FSH yang terus-menerus rendah tetapi tidak hilang sama sekali mengakibatkan
3
folikel-folikel baru terus terstimulasi untuk tumbuh tetapi tidak sampai matang dan
mengalami ovulasi. Walau tidak berkembang hingga matang, jangka hidup folikel-
folikel tersebut memanjang hingga berbulan-bulan dalam bentuk kista folikel multipel
yang berukuran 2-10 mm dan dikelilingi sel-sel teka hiperplastik.Akumulasi jaringan
folikuler dengan berbagai tahap perkembangan mengakibtakan adanya produksi steroid
yang meningkat dan relative konstan sebagai respon terhadap stimulasi gonadotropin.
Kondisi tersebutberlangsung terus-menerus.8,9

Gambar 2. Patofisiologi SOPK (dari Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility)

Resistensi insulin yang mengakibatkan hiperinsulinemia umum dijumpai pada wanita-


wanita dengan SOPK walaupun wanita-wanita tersebut masih berusia muda.Lebih lanjut
lagi, hiperinsulinemia dapat berkembang menjadi hiperglikemia dan diabetes tipe 2
seiring perjalanan waktu. Sekitar satu pertiga dari seluruh pasien SOPK mengalami
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan 7,5% hingga 10% menderita diabetes mellitus
tipe 2. Nilai ini bahkan juga meningkat pada wanita-wanita dengan SOPK yang non-
obes (10% TGT;1,5% diabetes) jika dibandingkan dengan populasi normal di AS (7,8%
TGT; 1% diabetes). Peningkatan kadar insulin kadang bermanifestasi sebagai akantosis
nigrikans, suatu perubahan warna kulit menjadi cokelat keabuan pada daerah leher,
ketiak dan selangkangan. Beberapa laporan-laporan terbaru ternyata menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara hiperandrogenisme dan resistensi insulin: Kinerja
insulin-like growth factor 1(IGF-1)pada reseptornya ternyata akan meningkatkan
produksi androgen yang diinduksi LH. Karena adanya homologi antara insulin dan IGF-
1, insulin juga akan bekerja pada reseptor IGF-1sehingga meningkatkan sintesis
4
androgen. Selain itu, insulin juga bekerja mengurangi produksi IGF-1 binding globulin
sehingga mengakibatkan peningkatan kadar IGF-1 bebas serta menghambat produksi
SHBG secara langsung. Penelitian telah menujukkan bahwa kadar androgen dalam
sirkulasi akan berkurang setelah pemberian obat-obat penurun gula darah seperti
diazoksid (hyperstat), metformin (Glucophage) ataupun troglitazone (rezulin).8,9
Obesitas yang ditemui pada 50-80% wanita-wanita dengan SOPK berperan dalam
perubahan endokrin melalui beberapa cara: pertama, obesitas tipe android berperan pada
terjadinya resistensi insulin yang kemudian menyebabkan peningkatan androgen bebas.
kedua, obesitas juga dihubungkan dengan berkurangnya kadar SHBG serta peningkatan
angka konversi androgen menjadi estron di perifer.8,9
Temuan bahwa hiperandrogenemia, anovulasi dan ovarium polikistik bersifat familial
menunjukkan bahwa SOPK memiliki dasar genetik.Sekelompok pasien dengan kondisi
ini ditunjukkan mendapat kondisi tersebut melalui pewarisan terpaut-X dominan.Lebih
lanjut lagi, Terdapat suatu pewarisan paternal yang meningkatkan insidensi hirsutisme
dan oligomenore hingga 2 kali lipat tetapi dengan ekspresi fenotipe yang berbeda-beda.
Di lain pihak, penelitian pada keluarga-keluarga besar menunjukkan bahwa pewarisan
SOPK kemungkinan bersifat autosomal-dominan dengan fenotipe kebotakan-prematur
pada anggota keluarga laki-laki. Adanya hubungan kuat antara hiperinsulinemia dan
hiperandrogenisme juga menunjukkan bahwa efek stimulasi insulin pada produksi
androgen oleh ovarium dipengaruhi oleh predisposisi genetik.9

2.5. Gambaran Klinis


1. Gangguan menstruasi dan Infertilitas
Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat
berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya
anovulasi kronik dan hiperandrogenemia.1
2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat yang
biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan
androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3 betahidroksisteroid
dehidrogenase.2
3. Obesitas
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar
5
suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion serta
peningkatan rasio estron/estradion 2,5. Selain itu dikemukakan pula penurunan kadae
SHBG serum. Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk
menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi
estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan
lemak. 2,3
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak, dan
tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak. Pengurangan
berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan kadar androgen
dan estrogen terutama estron serum. Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah 2
hal yang berhubungan dengan kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium
polikistik. 2,3
4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.
Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan. 2

2.6. Diagnosis1,2,3
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
1. Data-data subjektif dan objektif :
Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat, hirsutisme,
hipertropi klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan gangguan
hormonal.
2. Temuan penunjang :
Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan ovarium
polikistik mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif terutama pada
wanita gemuk. Tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara USG transvaginal.
Beberapa kriteria diagnositik ovarium polikistik dengan USG :

Tabel 2.1 : Perbandingan SOPK dari pemeriksaan USG


Cara USG Parameter USG Kriteria untuk OPK
Trans abdominal Volume ovarium > 10 cm 3
Folikel dengan ukuran 5-8 cm >5

6
Trans vaginal Volume ovarium > 8 cm 3
Folikel dgn ukuran >6 mm > 11
Ukuran folikel rata-rata < 4 mm
Stroma ovarium mening-kat 50% atau > 7,6 cm2

3. Pemeriksaan hormonal :
Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya penyakit
ovarium polikistik adalah kadar : progesterone, LH, testosteron, androstenedion,
nisbah LH/FSH, nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah puasa/insulin puasa.

Tabel 2.2 Pemeriksaan penunjang pada SOPK beserta tujuan pemeriksaannya


Pemeriksaan Nilai normal Tujuan
β-hCG <> Menyingkirkan
kehamilan
TSH 0,5-4,5 μU/mL (0,5-4,5 Menyingkirkan
mU/L) gangguan tiroid
Prolaktin <> Menyingkirkan
hiperprolaktinemia
Testosteron (total) <> Menyingkirkan tumor
yang menghasilkan
androgen
Testosteron (bebas) 20-30 tahun: 0,06-2,57 Menegakkan diagnosis
pg/mL (0,20-8,90 pmol/L) atau monitoring terapi
40-59 tahun: 0,4-2,03
pg/mL (1,40-7,00 pmol/L)
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 Menyingkirkan tumor
μmol/L) yang menghasilkan
androgen

Androstenedione 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 Menegakkan diagnosis


nmol/L)
17α-hydroxyprogesterone Fase folikuler <> Menyingkirkan NCAH

Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan diabetes

7
mmol/L) tipe 2 atau intoleransi
glukosa
Rasio glukosa puasa : ≥ 4,5 Menyingkirkan resistensi
insulin insulin
Kolesterol (total) 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan gaya
hidup
Kolesterol HDL 35-85 mg/dL (0,9-2,2 Monitor perubahan gaya
mmol/L) hidup
Kolesterol LDL 80-130 mg/dL (2,1-3,4 Monitor perubahan gaya
mmol/L) hidup
Diagnosis SOPK ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain oligomenorea atau
hiperandrogenisme. Pemeriksaan-pemeriksaan lain mungkin berguna untuk
monitoring terapi

Tabel 2.3: Perbandingan akurasi diagnostik uji hormonal


Akurasi Diagnostik
No Uji Sensitivitas Spesifisitas Positif Negatif
(%) (%) (%) (%)
1 Progesteron 92 82 94 78
2 LH 60 82 97 46
3 LH/FSH 54 82 100 44
4 Testosteron 60 100 100 49
5 Testosteron/SHBG 96 100 96 83
6 Androstenedion 71 88 92 50
7 Gula darah puasa 95 84 87 94

4. Resistensi insulin
Ada beberapa cara pengukuran untuk menentukan adanya resistensi insulin, antara
lain :
a. Uji Toleransi Glukosa Oral
b. Uji toleransi insulin
c. Infus glukosa secara berkesinambungan

8
d. Tehnik klem euglikemik, ini merupakan baku emas untuk mengukur
sensitivitas jaringan terhadpa insulin.
e. Nisbah gula darah puasa / insulin puasa.

Tabel 2.3 : keuntungan dan kerugian uji RTI


No. Uji Keuntungan Kerugian
1 Toleransi glukosa Mudah dikerjakan Dipengaruhi oleh
oral penyerapan gluko-sa
pada usus
2 Toleransi insulin Dapat menunjukkan in- Dapat terjadi hipo-
deks aktivitas insulin glikemik
3 Infus glukosa secara Dapat menunjukkan ker- Tergantung dari validitas
berkesi-nambungan ja insulin dari tera
4 Tehnik klem Dapat mengukur secara Mahal dan sulit
euglikemik kuantitatif kerja insulin
5 Gula darah puasa / Mudah dikerjakan Dipengaruhi kon-
insulin puasa sentrasi kadar gula darah
sewaktu

Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of Child Health


and Human Development NIH-NICHD untuk mendiagnosa SOPK ditetapkan Kriteria mayor
:3,5
1. Anovulasi
2. Hiperandrogenemia
3. Tanda klinis hiperandrogenisme
4. Penyebab lainnya dapat disingkirkan
Kriteria minor :
1. Resistensi insulin
2. Hirsutisme dan obesitas yang menetap
3. Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH
4. Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia
5. Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik

9
2.7. Penatalaksanaan1,2,4
Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan kesehatan
akibat gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali SOPK menyebabkan gangguan
pada pola haid dan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan.
Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan
merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama pengobatan SOPK.
Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan obat untuk menyeimbangkan
hormon.
Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian penyakit
dapat menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma
uterus.

a. Penatalaksanaan Awal
 Pengendalian dan Penurunan Berat Badan
Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan
hiperkolesterolemia. Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat
mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat menurunkan kadar
androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih pada
75% kasus SOPK.
- Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan
memperbaiki kesehatan penderita dan dapat mengatasi masalah kesehatan
jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan makanan sehat
merupakan kunci pengendalian berat badan.
- Olah raga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai
bagian penting dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas yang
paling baik dan sederhana yang dapat dengan mudah dikerjakan.
- Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah dan
sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang dapat memuaskan
nafsu makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil.
- Pertahankan berat badan yang sehat.
- Hentikan kebiasaan merokok

10
b. Terapi Medikamentosa1,3,5
Pengobatan tergantung tujua pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi
kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.
Kebanyakan pasien dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan
infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen yang menurunkan
kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK sering berespon terhadap klomifen
sitrat.

c. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen, dan
mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain :
1. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi androgen
ovarium
2. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan penurunan
testosteron bebas.
3. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
4. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron pada kulit
dengan menghambat 5α-reduktase.
Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya
distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan
dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien SOPK dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.
Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme, keseimbangan
harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan androgenisitas
intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral
(norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini merupakan androgen
dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin baru (desogestrel, gestodene,
norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal.
Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan dalam hasil uji klinis yang
ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro dari potensi androgenik.

11
d. Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh ovarium.
Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang secara
signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari dalam dosis
terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai 3 bulan dalam
bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95% pasien. Efek samping
dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan mineral tulang, depresi,
retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan penambahan berat badan.

e. Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal yang
dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium pada
pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan intramuskular
setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada hirsutisme idiopatik
atau pada hirsutisme sekunder pada SOPK. Tingkat androgen ovarium secara
signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan dengan dosis tunggal, 3
mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25 mg mulai hari
ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi penggantian estrogen untuk
pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos tulang dan efek samping lainnya
dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi genital. Supresi hirsutisme tidak
menambah potensi dengan terapi penambahan estrogen untuk pengobatan agonis
GnRH.

f. Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg / hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion,
testosteron, dan testosteron bebas.

12
g. Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak mempunyai
aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin. Pada banyak
studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa dilaporkan
modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan
spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker
prostat pada laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua
kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan meningkatkan nafsu
makan.

h. Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan, menekan
gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat DHEAS.
Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg / hari pada
hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5 - 26),
jadwal siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi
yang sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang
parah.
Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat badan,
penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala. Gejala ini terjadi
lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.

i. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat
secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari.Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
13
samping spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis
yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium,
wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau sebaiknya
diberikan alternatif obat lainnya.

j. Insulin Sensitizers
Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain.
Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi
utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam
pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan
regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara individu
dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal yang
direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-anak dalam
sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis
yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif.
Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar,
biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi
2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis
dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu
dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan dan makan
malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom
ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan
kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis
2000 mg per hari sudah optimal.
Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita SOPK dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis
500 mg tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan clomiphene
citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering menemukan efek
samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut, sehingga banyak yang tidak
melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat waktu dan meningkatkan kepatuhan
14
dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian metformin yang lebih
singkat. Hwu dkk memberikan metformin dengan dosis 500 mg tiga kali sehari untuk
12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan clomiphene citrate. Pada penelitian
tersebut ovulasi ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok
kontrol. Khorram dkk memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari
hari pertama withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate
10 mg perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

k. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi.
Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja klomifen sitrat
yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan
memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga
mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade ini
meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir. Peningkatan
kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise gonadotropin, yang
memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene citrate juga dapat
mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis atau ovarium.
Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingkat endometrium atau
serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu.
Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek umpan
balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan LH-FSH-
RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior meningkatkan sekresi
FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel
serta ovulasi.
Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal
perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.
15
l. Terapi Pembedahan2,4,5
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat
SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil.2
Alternatif tindakan :
 “Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan
untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung
secara normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki
potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan parut.
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk
memicu terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera
mengalami ovulasi setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-
obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan eletrokauter atau laser
untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan
bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka
kehamilan sebesar 50%. Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam
batas normal akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini.

16
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. A.W
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Serui
Usia : 25 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Nomor RM : 04 54 98
Suku : Jawa
Tgl MRS : 4 Februari 2016

Keluhan Utama
Tidak memiliki keturunan ± 5 tahun setelah menikah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan pasien rujukan dari tempat praktek Dr. dr. Suhartono, SpOG(K), pasien
datang dengan keluah tidak memiliki keturunan ± 5 tahun setelah menikah dan tinggal
bersama suami pasien. Pasien riwayat haid tidak teratur 2-3 bulan sekali haid, dengan lama
haid ± 2 minggu dan darah haid banyak, 2 kali ganti pembalut sehari dan pembalut penuh,
darah warna merah kehitaman, nyeri haid (-), pasien telah mengalami gangguan haid dari
pertama kali pasien mendapatkan haid.
Pasien juga mengeluhkan tumbuhnya rambut halus pada bibir dan pada kedua ekstremitas
atas dan bawah sejak pasien berusia 14 tahun.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Asma, Alergi, Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Penyakit Jantung disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Asma, Alergi, Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Penyakit Jantung disangkal

17
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien pernikahan pertama, sudah tinggal dengan suami pasien kurang lebih 5 tahun. Pasien
adalah ibu rumah tangga dan suami sebagai PNS.

Riwayat Obstetri :
G0P0A0

Riwayat Menarche
Menarche : 13 tahun, Siklus tidak teratur (2-3 bulan), Lama Haid : 2 minggu, Darah Haid :
banyak.

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran Kompos mentis


Keadaan umum Tampak sakit sedang
Tinggi Badan 152 cm
Berat Badan 80 kg
Tekanan Darah 110/80
Denyut nadi 82 kali/ menit, reguler, isi cukup, equal
Laju napas 24 kali/ menit, reguler, dalam, abdominotorakal
Suhu 37,2°C di axilla
Kepala CA (-/-), SI (-/-), Edema Palpebra (-/-)
Leher KGB tidak teraba membesar
Paru Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada asimetris,
Palpasi: fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler di seluruh lapang paru, tidak ada rhonki atau
wheezing
Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV linea midklavikula kiri,
tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling
Perkusi: tidak dapat diperiksa
Auskultasi: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop

18
Abdomen Inspeksi: cembung, lemas, tidak terdapat venektasi
Auskultasi: bising usus 2 kali/menit
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar tidak teraba. Lien tidak
teraba, turgor kulit baik.
Perkusi: timpani, shifting dullness (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik, tidak terdapat edema.
Status Ginekologi I : v/u : tenang
Io : Portio Licin, OUE tertutup, fluor (-), Valsava (-), Pooling (-)
VT : Portio kenyal, Arah Posterior, Tidak teraba massa di kedua
adneksa, parametrium lemas, uterus antefleksi, ukuran sebesar telur
ayam.

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap (04/02/2016)
Jenis Pemeriksaan Hasil

Hb 12,5
Leukosit 9.500
Hematokrit 35,9
Trombosit 228.000
CT 11'00”
BT 01'00”

b. Kimia Lengkap (04/02/2016)


Jenis Pemeriksaan Hasil

Gula Darah Sewaktu 75


Ureum 14
Kreatinin 0,66
SGOT 30
SGPT 28

19
c. Gambaran Hasil USG

Diagnosa Kerja
P0A0 dengan Kista Ovarium

Rencana Terapi
- IVFD RL500 cc/ 8 jam
- Pro Pasang DC
- Pro Konsul Anestesi
- Pro Laparoskopi (09/02/2016)

Laporan Operasi 09/02/2016, Jam : 09.45 WIT


 Pasien dalam Anestesi Umum
 Insersi Trokar Utama di Umbilikus
 Insersi Trokar tambahan
 Pada eksplorasi tampak uterus dan kedua tuba normal
 Kedua Ovarium tampak membesar lubular ≈ PCO
 Dilakukan Ovarian Drilling pada kedua Ovarium
 Dilakukan Kromatubasi
 Didapatkan tuba kanan paten, tuba kiri paten
 Diyakini tidak ada perdarahan
 Operasi selesai

20
Left Ovary Ovarian
Uterus ̴ PCO Drilling

Instruksi Post Operasi :


 Obs. Hemodinamik ibu : KU, TTV, Perdarahan
 IVFD RL 2500 cc / 24 jam
 Ceftriaxone 1 x 2 gr (iv)
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg (po)
 GV hari Ke 2
 Mobilisasi Aktif
 Diet TKTP

Diagnosis Akhir
Polycystic Ovarian Syndrome

Prognosis
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Ad Bonam

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan


hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan
metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang
mendasari.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, untuk mendiagnosis SOPK digunakan
kriteria diagnosis SOPK oleh para ahli dari Eropa dan Amerika Sehingga hadirlah kriteria
‘Rotterdam’ yang banyak dianut saat ini.

Kriteria diagnosis SOPK ‘Rotterdam’ 2003


Didapatkan dua dari tiga tanda berikut, serta disingkirkan kelainan lain yang mungkin
menyebabkan hiperandrogenisme atau anovulasi:
1. oligo- atau anovulasi
2. hiperandrogenisme (secara klinis) atau hiperandrogenemia (secara biokimia)
3. ovarium polikistik (dari hasil USG)
Tabel 3.1. Kriteria diagnosis SOPK. (dari Controversy in Clinical Endocrinology)

Gambaran klinis yang didapatkan pada pasien SOPK :


1. Gangguan menstruasi dan Infertilitas
Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat
berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya
anovulasi kronik dan hiperandrogenemia.1
2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat yang
biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan
androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3 betahidroksisteroid
dehidrogenase.2
3. Obesitas

22
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar
suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenedion serta
peningkatan rasio estron/estradion 2,5. Selain itu dikemukakan pula penurunan kadar
SHBG serum. Androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk
menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi
estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan
lemak. 2,3
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak, dan
tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak. Pengurangan
berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan kadar androgen
dan estrogen terutama estron serum. Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah 2
hal yang berhubungan dengan kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium
polikistik. 2,3
4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.
Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan. 2

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan yang ada pada pasien didiagnosis dengan
SOPK. Pasien ini didapatkan berdasarkan anamnesa : Pasien datang dengan
keluhan tidak memiliki keturunan setelah menikah selama 5 tahun dan hidup bersama
suami pasien. Pasien juga mengalami gangguan siklus haid dari pertama kali
mendapatkan haid, dengan siklus 2-3bulan sekali dapat dengan lama haid kurang
lebih 2 minggu. Pada pasien juga terdapat tumbuhnya rambut-rambut halus di
daerah ekstremitas atas dan bawah, juga di atas bibir pasien.
Pasien juga didapatkan berat badan yang berlebihan atau obesitas, berdasarkan IMT
pasien yaitu : 34,63 masuk kategori Obese tipe I.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan USG dan
didapatkan hasil USG gambaran Policystic Ovary pada Ovarium Kiri pasien.

Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan kesehatan


akibat gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali SOPK menyebabkan gangguan
pada pola haid dan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan.
23
Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan
merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama pengobatan SOPK.
Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan obat untuk menyeimbangkan
hormon.
Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian penyakit
dapat menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma
uterus.

m. Penatalaksanaan Awal
 Pengendalian dan Penurunan Berat Badan
Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan
hiperkolesterolemia. Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat
mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat menurunkan kadar
androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih pada
75% kasus SOPK.
- Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan
memperbaiki kesehatan penderita dan dapat mengatasi masalah kesehatan
jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan makanan sehat
merupakan kunci pengendalian berat badan.
- Olah raga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai
bagian penting dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas yang
paling baik dan sederhana yang dapat dengan mudah dikerjakan.
- Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah dan
sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang dapat memuaskan
nafsu makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil.
- Pertahankan berat badan yang sehat.
- Hentikan kebiasaan merokok

n. Terapi Medikamentosa1,3,5
Pengobatan tergantung tujua pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi
kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.

24
Kebanyakan pasien dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan
infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen yang menurunkan
kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK sering berespon terhadap klomifen
sitrat.

o. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen, dan
mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain :
5. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi androgen
ovarium
6. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan penurunan
testosteron bebas.
7. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
8. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron pada kulit
dengan menghambat 5α-reduktase.
Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya
distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan
dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien SOPK dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.
Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme, keseimbangan
harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan androgenisitas
intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral
(norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini merupakan androgen
dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin baru (desogestrel, gestodene,
norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal.
Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan dalam hasil uji klinis yang
ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro dari potensi androgenik.

p. Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah

25
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh ovarium.
Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang secara
signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari dalam dosis
terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai 3 bulan dalam
bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95% pasien. Efek samping
dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan mineral tulang, depresi,
retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan penambahan berat badan.

q. Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal yang
dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium pada
pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan intramuskular
setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada hirsutisme idiopatik
atau pada hirsutisme sekunder pada SOPK. Tingkat androgen ovarium secara
signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan dengan dosis tunggal, 3
mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25 mg mulai hari
ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi penggantian estrogen untuk
pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos tulang dan efek samping lainnya
dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi genital. Supresi hirsutisme tidak
menambah potensi dengan terapi penambahan estrogen untuk pengobatan agonis
GnRH.

r. Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis
rendah (200 mg / hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion,
testosteron, dan testosteron bebas.

s. Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak mempunyai
aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin. Pada banyak
studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa dilaporkan
26
modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan
spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker
prostat pada laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua
kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan meningkatkan nafsu
makan.

t. Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan, menekan
gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat DHEAS.
Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg / hari pada
hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5 - 26),
jadwal siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi
yang sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang
parah.
Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat badan,
penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala. Gejala ini terjadi
lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.

u. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat
secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian
spironolakton adalah 2x50 mg/hari.Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas
sitokrom P-450, yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek
samping spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis
yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium,
wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau sebaiknya
diberikan alternatif obat lainnya.
27
v. Insulin Sensitizers
Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain.
Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi
utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam
pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan
regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara individu
dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal yang
direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-anak dalam
sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis
yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif.
Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar,
biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi
2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis
dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu
dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan dan makan
malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom
ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan
kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis
2000 mg per hari sudah optimal.
Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita SOPK dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis
500 mg tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan clomiphene
citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman dan sering menemukan efek
samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut, sehingga banyak yang tidak
melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat waktu dan meningkatkan kepatuhan
dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian metformin yang lebih
singkat. Hwu dkk memberikan metformin dengan dosis 500 mg tiga kali sehari untuk
12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan clomiphene citrate. Pada penelitian
tersebut ovulasi ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok
28
kontrol. Khorram dkk memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari
hari pertama withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate
10 mg perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

w. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi.
Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja klomifen sitrat
yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan
memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga
mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade ini
meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir. Peningkatan
kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise gonadotropin, yang
memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene citrate juga dapat
mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis atau ovarium.
Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingkat endometrium atau
serviks memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu.
Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek umpan
balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan LH-FSH-
RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior meningkatkan sekresi
FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel
serta ovulasi.
Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal
perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil.

x. Terapi Pembedahan2,4,5
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat
29
SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi
medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan
mengangkat sejumlah kista kecil.2
Alternatif tindakan :
 “Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan
untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung
secara normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki
potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan parut.
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk
memicu terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera
mengalami ovulasi setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-
obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan eletrokauter atau laser
untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan
bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka
kehamilan sebesar 50%. Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam
batas normal akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik: Permasalahan Dan


Penatalaksanaannya. (diunduh tanggal 07 Februari 2016). Dari URL :
http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf
2. Benson C. Ralph, Pernol L. Martin. Buku Saku Obstetri & Ginekologi Edisi 9. 2009.
Jakarta. EGC. Halaman : 633, 635, 639.
3. Hadibroto, B.R. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. (diunduh tanggal 07 Februari
2016). Dari URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/15588/1/mkn-
des2005-%20%2811%29.pdf

30
4. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan Sopk.
(diunduh tanggal 07 Februari 2016). Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-
sciences/pendekatan-medisinalis-dan-bedah-pada-penanganan-sopk/mrdetail/914/
5. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian Syndrome.
(diunduh tanggal 07 Februari 2016). Dari URL :
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm

31

You might also like