You are on page 1of 51

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang menempatkan perilaku dan
hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan ini adalah
kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri
untuk pencerahan jiwa. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap
peristiwa, masalah bahkan penderitaan yang dialami sehingga mampu
membangkitkan jiwanya, melakukan perbuatan dan tindakan yang positif
(Zohar & Marshal, 2010).

Menurut Roper (2012), menyatakan bahwa spiritual dapat menjadi medikasi


terapeutik dalam meningkatkan koping, dukungan sosial, optimisme dan
harapan, mengurangi depresi dan kecemasan serta mendukung perasaan
relaksasi. Dimensi spiritual ini berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab
atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional,
penyakit fisik atau kematian.

Seseorang dengan penyakit kronik sering menderita gejala yang


melumpuhkan dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup
normal. Kemandirian dapat sangat terancam, menyebabkan ketakutan,
ansietas, kesedihan yang menyeluruh bahkan dapat menimbulkan stres.
Ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri rutin dapat
menimbulkan perasaan tidak berdaya dan penurunan kekuatan batiniah.
Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup untuk menghadapi
perubahan fungsi yang dialami (Purwaningrum, 2013).

1
2

Pada saat stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya.
Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang
dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan
yang lama dengan hasil yang belum pasti. Memperbaiki kondisi jasmani
tanpa memperbaiki hati tidak ada gunanya sama sekali. Kalaupun badan
rusak, selama hati tetap baik, bahayanya sangat kecil sekali. Yakni bahaya
yang akan hilang dan kemudian disusul manfaat yang justru
berkesinambungan dan sempurna (Purwaningrum, 2013).

Penyakit renal tahap akhir atau gagal ginjal kronik merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit
(Brunner & Suddarth, 2002). Menurut WHO (World Health Organization)
pada tahun 2015 mengemukakan bahwa angka kejadian gagal ginjal di
seluruh dunia mencapai 10% dari populasi, sementara itu pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa diperkirakan mencapai 1,5 juta orang di
seluruh Dunia. Penduduk Amerika yang terdiagnosa penyakit ginjal kronik
dari stage 1-5 sebanyak 14,8% dari seluruh penduduk Amerika. Mortalitas
pasien gagal ginjal kronik penduduk Amerika yang menjalani pengobatan
adalah 111,2 per 1000 pasien dalam setahun. Sedangkan pada tahap End
Stage Renal Disease (ESRD) adalah sebanyak 120.688 orang.

Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dalam Indonesian Renal


Registry (IRR) tahun 2011, jumlah klien gagal ginjal di Indonesia mencapai
12.466 orang. Menurut laporan tahunan the national kidney fondation 2013,
terjadi peningkatan pasien yang melakukan hemodialisa (Wutun, dkk. 2016).
Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia berdasarkan pernah didiagnosis
dokter sebesar 0,2% dan penyakit gagal ginjal juga menempati urutan ke 10
dalam penyakit tidak menular (Wutun, dkk. 2016).
3

Data dari Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin pada tahun 2015 didapatkan
kejadian penyakit gagal ginjal kronik ada 246 kasus. Sedangkan pada tahun
2016 angka kejadian penyakit gagal ginjal kronik mengalami kenaikan
menjadi 371 kasus (Dinkes, 2016).

Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di


RSUD ULIN Banjarmasin, pada tahun 2016 jumlah klien penyakit gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa sebanyak 4.038 orang.
Dimana jumlah klien terbanyak terdapat pada bulan september yaitu sebanyak
391 orang, sedangkan jumlah klien terendah terdapat pada bulan februari
yaitu sebanyak 294 orang. Sedangkan pada tahun 2017 terjadi peningkatan
klien penyakit gagal ginjal kronik sebanyak 4.665 orang yang tercatat dari
bulan januari sampai dengan november 2017. Yang mana jumlah terendah
sebanyak 392 orang pada bulan februari dan jumlah tertinggi terdapat pada
bulan septermber dengan jumlah klien sebanyak 521 orang.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan 10 klien yang dilakukan


peneliti di ruang hemodialisa diperoleh 7 klien yang mengalami stres ringan
dan 3 klien tidak mengalami stres.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian


dengan judul “ Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Tingkat Stres Pada
Klien Penyakit Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Di
RSUD ULIN Banjarmasin “

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat stres pada klien penyakit
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD ULIN
Banjarmasin.
4

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan tingkat stres pada
klien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa
di RSUD ULIN Banjarmasin.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1.3.2.1 Mengidentifikasi kecerdasan spiritual pada klien penyakit
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di
RSUD ULIN Banjarmasin.
1.3.2.2 Mengidentifikasi tingkat stres pada klien penyakit gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD
ULIN Banjarmasin.
1.3.2.3 Menganalisis ada tidaknya hubungan kecerdasan spiritual
dengan tingkat stres pada klien penyakit gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD ULIN
Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini antara lain :
1.4.1 Mahasiswa
Mahsiswa dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang
kecerdasan spritual dan tingkat stres pada klien penyakit gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisa dan mampu menganalisa
hubungan antara kecerdasan spiritual terhadap tingkat stres pada klien
penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.

1.4.2 Program Studi S1 Keperawatan dan RSUD Ulin Banjarmasin


Meningkatkan kerjasama Program Studi Keperawatan dengan RSUD
Ulin Banjarmasin dalam upaya memecahkan permasalahan kesehatan
yang ada di RSUD Ulin dan informasi bagi perawat dalam pemberian
5

asuhan keperawatan khususnya kebutuhan spiritual untuk mengatasi


stres pada klien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa.

1.4.3 Klien
Memberikan informasi kepada klien penyakit gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa supaya lebih menggali lagi kecerdasan
spiritual yang dimilikinya sehingga dapat mengatasi atau mengurangi
stres yang dialami.

1.4.4 Peneliti Selanjutnya


Memberikan bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut
terkait hubungan kecerdasan spiritual dengan tingkat stres pada klien
penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.

1.5 Penelitian Terkait


1.5.1 Fajri Alfianur, dkk (2015), tentang hubungan antara kecerdasan
spiritual dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa. Kesamaan pada penelitian ini terletak pada
variabel independen yaitu kecerdasan spiritual dan penelitian
menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan Cross Sectional.
Penelitian dilakukan di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru dengan
jumlah sampel sebanyak 30 responden yang diambil berdasarkan
kriteria inklusi dan ekslusi menggunakan teknik sampling Purposive
Sampling. Hasil pada penelitian ini didapatkan mayoritas responden
jenis kelamin laki-laki (70%). Usia responden terbanyak berada pada
rentang dewasa akhir (53,3%), untuk agama yang paling banyak
dianut adalah agama islam (83%), sedangkan untuk pendidikan SMP
(36,7%), untuk karakteristik lama menjalani hemodialisa 1 – 4 bulan
(40%), frekuensi kecerdasan spiritual sebagian besar yaitu kecerdasan
spiritual tinggi (60%), sedangkan tingkat kecemasan didapatkan
sebagian besar berada pada tingkat kecemasan ringan-sedang (40%).
6

Setelah dilakukan uji statistik Kolmogorof Smirnov didapatkan hasil


bahwa ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat
kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa (p value = 0,036).

1.5.2 Purwaningrum, P (2013), tentang hubungan aktivitas spiritual dengan


tingkat stres pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Kesamaan pada
penelitian ini terletak pada jenis variabel dependen adalah tingkat
stres. Adapun perbedaannya yaitu terletak pada variabel independen
adalah aktivitas spiritual dan uji statistik menggunakan uji statistika
korelasi Kendall Tau. Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan
bahwa aktivitas spiritual pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
sebagian besar dalam kategori kurang yaitu sebanyak 14 orang
(46,7%). Tingkat stres pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebagian
besar dalam kategori ringan yaitu sebanyak 17 orang (56,7%).
Terdapat hubungan negatif antara aktifitas spiritual dengan tingkat
stres pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Dibuktikan
dengan uji statistik Kendall Tau didapatkan nilai 𝜏 − 0,796 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛
taraf signifikansi p = 0,000 ( p < 0,05).

1.5.3 Sari, Ydkk. (2011) yang berjudul hubungan tingkat stres dan strategi
koping pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa. Kesamaan
penelitian ini terletak pada variabel dependen dan uji chi square.
Adapun perbedaannya yaitu terletak pada variabel independen.
Hasilnya diketahui bahwa tingkat stres pada pasien yang menjalani
terapi hemodialisa di RSUD Arifin Ahmad berada dalam kategori
ringan sebanyak 9 orang (81,8%) menggunakan strategi koping yang
adaptif dan 2 orang (18,2%) menggunakan strategi koping yang
7

maladaptif, sedangkan kategori berat sebanyak 6 orang (31,6%)


menggunakan strategi koping yang adaptif dan 13 orang (68,4%)
menggunakan strategi koping yang maladaptif. Dari uji statistik chi
square, diperoleh p 0,023 < alpha 0,05. Diperoleh kesimpulan terdapat
hubungan yang bermakna antara tingkat stres dan strategi koping pada
pasien yang menjalani terapi hemodialisa. Dari hasil yang didapatkan
pada penelitian ini, sehingga dapat dianalisa oleh peneliti bahwa
semakin adaptif koping seseorang maka semakin ringan tingkat stres
yang dimilikinya dan begitu juga sebaliknya.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada tujuan


penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual
dengan tingkat stres pada klien penyakit gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2018.
Dengan variabel yang diteliti kecerdasan spiritual (variabel
bebas/independen) dengan tingkat stres (variabel terkait/dependen).
Menggunakan jenis penelitian analitik korelasional dengan rancangan
cross sectional. Jumlah sampel 38 orang. Pengambilan sampel
menggunakan Nonprobability sampling yaitu dengan teknik purposive
samplingdan teknik analisa datanya menggunakan uji Spearman Rank.
Tempat dan waktu penelitian dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin
Tahun 2018.
8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kecerdasan


2.1.1 Definisi Kecerdasan
kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa
yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi
yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah (Heidentich
dalam Islamudin, 2012). Menurut Santrock (2010), kecerdasan adalah
keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi
pada pengalaman hidup serta belajar dari pengalaman hidup sehari-
hari. Sedangkan dalam Dalyono (2010), kecerdasan adalah
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingukungan atau belajar dari
pengalaman.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah


kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang
dilakukan dengan belajar pada kehidupan sehari-hari.

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Seseorang


Dalam Islamudin (2012) mengatakan ada 5 faktor yang
mempengaruhi kecerdasan seseorang, diantaranya :
2.1.2.1 Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat yang ada dari lahir.
2.1.2.2 Kematangan
Maksut dari kematangan adalah kematangan organ tubuh dari
hasil pertumbuhan dan perkembangan. Yaitu kesanggupan
organ tubuh dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
2.1.2.3 Pembentukan
Pembentukan dapat diartikan sebagai keadaan yang berada
diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
9

kecerdasan. Pembentukan dapat dilakukan dengan sengaja


(belajar disekolah) dan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
2.1.2.4 Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan manusia kepada tujuan yang
hendak dicapai. Dalam diri manusia terdapat dorongan-
dorongan yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan
dunia luar. Dari dorongan untuk berinteraksi dengan dunia luar
itu, timbulah minat terhadap sesuatu. Segala yang ia minati
akan mendorongnya untuk melakukan lebih giat dan lebih baik
lagi.
2.1.2.5 Kebebasan
Kebebasan berarti manusia dapat memilih metode-metode
yang hendak digunakan dalam memecahkan masalah. Manusia
bebas memilih metode, juga bebas memilih masalah sesuai
kebutuhannya.

2.1.3 Macam-Macam Kecerdasan


2.1.3.1 Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient/EQ)
Dalam Santrock (2010), kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk memonitor perasaan diri sendiri, perasaan
serta emosi orang lain. Sedangkan dalam Meyer (2011)
mengatakan bahwa orang dengan IQ semata tanpa kecerdasan
emosional adalah miskin. Bila seseorang sedang mengasuh
atau mengawasi, kecerdasan emosional memberikan
kepadanya ketajaman kompetitif. Hal tersebut jelas bahwa
hanya memiliki kecerdasan emosional akan mengubah segala
hal yang baik dan buruk. Kecerdasan emosional menyatukan
emosi dan kecerdasan. Seorang anak yang memiliki
kecerdasan intelektual yang tinggi namun emosinya tidak
terjaga, mereka akan menggunaka akal buruk kedalam hal-hal
negatif.
10

Kecerdasan emosional menurut Goleman (2000), terdiri dari 5


unsur, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri (Knowing One’s Emotions Self
Awarnes)
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan
emosional, para ahli menyebutnya sebagai metamood
yang artinya kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu
kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan
itu terjadi. Selain itu, dengan mengenali emosi diri sendiri
akan memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan
diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri
memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi
penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak
menyenangkan.

Menurut Meyer (2011), kesadaran diri adalah waspada


terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana
hati. Bila kurang waspada maka individu menjadi mudah
larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan
emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting
untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi (Managing Emotion)


Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat
atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri
individu. Selain itu, mengelola emosi dapat diartikan
sebagai upaya menangani emosi sendiri agar berdampak
positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan
11

sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu


tujuan serta mampu menetralisir tekanan emosi.

Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa


tertekan atau menahan gejolak emosi, melainkan
memahami suatu emosi yang dirasakan, termasuk emosi
yang tidak menyenangkan. Menjaga agar emosi yang
merisaukan tetap terkendali merupakan kunci
kesejahteraan emosi.

c. Memotivasi Diri Sendiri (Motivating Oneself)


Motivasi merupakan suatu usaha diri untuk merubah hal
yang baru menjadi tindakan positif untuk mencapai tujuan
yang nyata dan cita-cita. Peran memotivasi diri yang
terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang
akan sangat produktif dan efektif dalam segala
aktivitasnya.

d. Mengenali Emosi Orang Lain (Regornizing Emotions In


Other)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut
juga empati. Artinya mampu merasakan apa yang
dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat.
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin
terbuka kita kepada emosi diri maka semakin terampil kita
membaca perasaan orang lain.

Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan


lebih sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti
melalui suara, ekspresi wajah, gerak-gerik dan sebagainya.
12

e. Membina Hubungan (Handling Relationships)


Kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan
baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat
membaca situasi dan jaringan sosial serta bertindak
bijaksana dalam membina hubungan antar manusia.
Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang
membentuk hubungan untuk menggerakan dan membina
kedekatan hubungan, meyakinkan serta mempengaruhi
untuk membuat orang lain merasa nyaman. Kemampuan
sosial ini dapat diartikan sebagai kemampuan
berkomunikasi dengan lingkungan

2.1.3.2 Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient/IQ)


Kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan yang dimiliki
seseorang dalam belajar. Kecerdasan intelektual sering disebut
sebagai kecerdasan yang mengacu pada kemampuan kognitif
seseorang. Yaitu kemampuan berfikir yang tinggi dalam usaha
meningkatkan kemampuan yang dimiliki. Seseorang yang
memiliki kemampuan analitis tinggi cenderung lebih disukai
dalam sekolah umum. Mereka sering sekali mudah menyerap
pelajaran dimana guru memberi pelajaran dan murid diberi
ujian. Mereka sering dianggap sebagai murid pintar yang
memperoleh ranking bagus, nilainya selalu bagus dan mudah
masuk ke Universitas.

Kecerdasan intelektual dijelaskan dengan berbagai macam


teori. Teori-teori kecerdasan intelektual itu adalah sebagai
berikut :
a. Teori Uni-Factor
Menurut teori ini inteligensi adalah kemampuan umum.
Karena itu, intelegensi bersifat umum. Reaksi terhadap
lingkungan dalam menyesuaikan diri mereka dan dalam
13

memecahkan masalah bersifat umum. Kapasitas umum itu


dapat timbul akibat pertumbuhan biologis atau akibat
belajar. Kapasitas umum yang ditibulkan lazim disebut
sebagai “G”.

b. Teori Two-Factor
Artinya dalam teori ini terdapat dua faktor mental terhadap
kecerdasan seseorang. Kedua faktor mental itu disebut
dengan faktor yang diberi kode “G” dan faktor yang diberi
kode “S”. Faktor “G” mewakili kekuatan mental yang
berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu,
sedangkan faktor “S” menentukan tindakan-tindakan
mental untuk mengatasi permasalahan.

Faktor “G” terdapat dalam diri inteligensi seseorang,


memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan. Mereka dapat mempelajari
berbagai macam-macam pelajaran. Sedangkan mereka
yang inteligensinya terdapat faktor “S” yaitu didasarkan
pada gagasan. Artinya fungsi otak tergantung kepada ada
dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi
atau masalah tertentu. Dengan demikian, luasnya faktor
”S” mencerminkan kerja khusus dari otak, bukan karena
struktur khusus otak. Faktor “S” lebih tergantung terhadap
organisasi neurologist yang berhubungan dengan
kemampuan-kemampuan khusus.

c. Teori Multi Factor


Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk-bentuk
hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan neural ini
yang dapat mengerahkan tingkah laku individu. Misalnya,
ketika seseorang mampu menghafal sebuah materi
14

pembelajaran dengan mudah, menghafal puisi serta


melakukan pekerjaan berarti ia dapat melakukan karena
terbentuknya koneksi-koneksi didalam sistem syaraf
akibat belajar dan latihan.

d. Teori Primary-Mental-Abilities
Menurut teori ini, inteligensi terbagi menjadi 7
kemampuan primer, yaitu sebagai berikut :
1) Kemampuan numerikal/matematis
2) Kemampuan verbal/berbahasa
3) Kemampuan abstraksi berupa visualisasi/berfikir
4) Kemampuan membuat keputusan
5) Kemampuan mengenal dan mengamati
6) Kemampuan mengingat

e. Teori Sampling
Menurut teori ini, inteligensi merupakan berbagai
kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang
pengalaman. Berbagai bidang pengalaman dikuasai oleh
pikiran manusia. Masing-masing bidang hanya terkuasai
sebagian saja dan ini mencerminkan kemampuan mental
seseorang.

2.1.3.3 Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient/SQ)


Spiritual berasal dari kata spirit. Spirit artinya keberanian,
semangat, energi dan tekad. Spiritual artinya makna dan nilai
hidup bermakna. Kecerdasan spiritual artinya bagian dalam
diri yang hubungannya dengan kearifan dan luar ego yang
disebut god spot. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan
memahami diri sendiri dan lingkungan sehingga dapat
memaknai hidup. Baik dan buruk tidak hanya dicapai dengan
akal, tetapi memerlukan bimbingan sang pencipta. Kecerdasan
15

spiritual adalah kemampuan dalam memanfaatkan kekuatan


nonfisik dan kesadaran yang menghubungkan kita secara
langsung dengan tuhan. Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan menuju kearifan, lalu meraih kebahagiaan,
kemampuan manusia menjawab makna hidup (Saam dkk,
2012).

Secara terminologis kecerdasan spiritual dapat diartikan


sebagai rangsangan pencerahan, motivasi dan semangat
keagamaan. Dalam perspektif pendidikan, ini disebut sebagai
kesadaran fitrah, berupa nilai-nilai keagamaan yang dibawa
sejak lahir. Kecerdasan spiritual yang pada dasarnya memiliki
potensi fitrah manusia memuat aspek kesucian jiwa (Sutikno,
2014).

Kecerdasan spiritual atau pencerahan spirtual yang biasa


dikenal sebagai spiritual quitient (SQ) adalah kecerdasan
murni yang membimbing manusia untuk berbuat kebaikan dan
mengembangkan dirinya secara utuh untuk menerapkan nilai-
nilai positif. Kecerdasan spiritual memudahkan manusia dalam
mengatasi persoalan dan berdamai dengan perasaan serta
pikirannya sehingga mampu menjaga kebahagiaannya
(Sutikno, 2014).

Menurut King (2008), kecerdasan spiritual didefinisikan


sebagai satu set kapasitas mental yang berkontribusi terhadap
kesadaran, integrasi dan aplikasi adaptif aspek non materi dan
hal yang disadari meliputi tiga aspek, yaitu hubungan yang
diatas (transendental), hubungan dengan sesama (makna
pribadi dan keseharian) dan hubungan dengan diri sendiri (area
kesadaran). Tiga aspek tersebut teraplikasi dengan cara berfikir
kritis eksistensial.
16

Menurut Aziz dan Mangestuti, seperti yang di kutip oleh


Rudyanto (2010), berpendapat bahwa kecerdasan spiritual
dicirikan dengan adanya kemampuan yang bersifat internal dan
eksternal dalam memahami makna kehidupan. Komponen-
komponen dari kemampuan tersebut adalah :
a. Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang
berhubungan antara diri dengan Tuhan, cirinya adalah
kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya visi
yang bersifat spiritual dan kemampuan untuk mengambil
hikmah dari penderitaan.
b. Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan
yang berhubungan dengan sesama manusia, cirinya adalah
keengganan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang
lain dan kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan


spiritual adalah kemampuan diri dalam memahami hidupnya
serta lingkungannya. Orang yang mempunyai kecerdasan
spiritual yang tinggi dapat berbuat baik dan mampu untuk
mengatasi persoalan yang menimpanya.

a. Karakteristik Kecerdasan Spiritual


Menurut Zohar dan Marshall dalam Saam, dkk (2012)
tanda-tanda kecerdasan spiritual yang tinggi yakni
kemampuan bersikap fleksibel (aktif), tingkat kecerdasan
tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
rasa takut, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai,
keengganan menghadapi kerugian yang tidak perlu,
kecenderungan untuk melihat keterikatan antara berbagai
hal (berpandangan holistik) dan kecenderungan nyata
untuk bertanya mengapa atau bagaimana jika dan mencari
jawaban yang mendasar.
17

Subandi dalam Samm, dkk (2012) menambahkan dengan


kriteria lain yaitu kemampuan menghayati keberadaan
Tuhan, memahami diri secara utuh dalam dimensi ruang
dan waktu, memahami hakikat dibalik realitas,
menemukan hakikat diri, tidak terkukung ego
sentrismenmemilik rasa cinta, memiliki kepekaan batin
dan berusaha mencapai pengalaman spiritual seperti
kesatuan segala wujud, mengalami realitas nonmaterial.

Menurut Zohar dan Marshall (2000) dalam Avita (2010)


ciri-ciri kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut :
1) Kemampuan bersikap fleksibel yaitu menyesuaikan
diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil
yang baik.
2) Tingkat kesadaran yang tinggi. Bagian dari terpenting
kesadaran diri ini cukup mencakup usaha untuk
mengetahui batas wilayah yang nyaman untuk dirinya
sendiri, banyak tahu tentang dirinya.
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan. Mampu menanggapi dan menentukan
sikap ketika situasi yang menyakitkan atau tidak
menyenangkan datang.
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa
sakit. Kemampuan seseorang dimana disaat dia
mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan
dirinya dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan
yakin bahwa hanya Tuhan yang dapat memberikan
kesembuhan.
5) Kualitas hidup yang diilhami visi dan nilai-nilai.
Seseorang yang memiliki spiritual yang tinggi
memiliki pemahaman dan tentang tujuan hidupnya.
18

6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak


perlu. Orang yang kecerdasan spiritualnya yang tinggi
akan mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang
lain, dia merugikan dirinya sendiri.
7) Berpandangan holistik. Kecenderungan untuk melihat
keterikatan antara berbagai hal, melihat diri sendiri
dan orang lain secara terkait.
8) Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan
bagaimana. Kecenderungan untuk mencari jawaban-
jawaban yang mendasar.
9) Menjadi bidang mandiri, yaitu memiliki kemudahan
untuk bekerja melawan konvensi. Mampu berdiri
menantang orang banyak, berpegang teguh pada
pendapat yang tidak populer jika itu benar-benar
diyakinikan.

Menurut Robert A. Emmons, dalam Sarah (2014)


menjelaskan 5 karakteristik orang yang cerdas secara
spiritual yaitu :
1) Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik
dan material. Seseorang menyadari bahwa kehadiran
dirinya didunia merupakan anugrah, kehendak Tuhan
dan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dalam
kehidupannya.
2) Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang
memuncak. Seseorang yang menyadari bahwa ada
dunia lain diluar dunia kesadaran yang ditemuinya
sehari-hari sehingga ia meyakini bahwa Tuhan pasti
akan membantunya dalam menyelesaikan setiap
tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan
demikian, ia terhubung dengan kesadaran kosmis
diluar dirinya.
19

3) Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari.


Ciri ketiga ini terjadi ketika kita meletakan pekerjaan
biasa dalam tujuan yang agung dan mulia. Artinya
seseorang yakin bahwa nilai-nilai spiritual hidupnya
dengan selalu mensyukuri karunia Tuhan dalam
segala hal yang dialaminya. Dengan selalu
berpegangan pada ayat-ayat kitab suci dan berdoa,
juga mendukung seseorang dalam meningkatkan
kopingnya sehingga membuat menjadi lebih
bersyukur dan keterikatan diri sendiri dengan Tuhan
menjadi lebih baik.
4) Kemampuan menggunakan sumber-sumber spiritual
dalam menyelesaikan masalah untuk berbuat baik.
Orang yang cerdas secara spiritual dalam
memecahkan persoalan hidupnya selalu
menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang
lebih mulia dari pada sekedar menggenggam kalkulasi
untung rugi yang bersifat materi.
5) Memiliki rasa kasih sayang yang tinggi pada sesama
makhluk Tuhan. Seseorang menyadari bahwa tujuan
hidupnya bukan hanya bagaimana ia dapat
menghasilkan yang baik untuk dirinya tetapi juga
bermanfaat bagi orang lain. Dengan sikap yang
rendah hati, memiliki kasih sayang, kearifan dan ada
rasa bahagia untuk selalu memberi pertolongan untuk
orang lain. Serta keinginan untuk menjalin dan
mengembangkan hubungan antar manusia yang
positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta
kasih.
20

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nida


(2013) kecerdasan spiritual memiliki empat komponen inti
yang terdiri dari :
1) Memiliki prinsip, berpegangan hidup yang jelas dan
kuat yang berpijak pada kebenaran universal baik
berupa cinta, kasih sayang, keadilan, kejujuran,
toleransi dan integritas yang kesemuanya merupakan
bagian terpenting dalam kehidupan manusia.
2) Memiliki kemampuan untuk menghadapi,
memanfaatkan penderitaan dan memiliki kemampuan
untuk melampaui rasa sakit.
3) Memiliki kemampuan untuk memaknai semua
pekerjaan dan aktivitasnya dalam kerangka dan bingkai
yang lebih luas dan bermakna.
4) Memiliki kesadaran diri yang tinggi dalam segala
aktivitas sehari-hari sehingga ia mampu mengenal diri
lebih baik dan lebih dalam.

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Alfianur,


dkk (2015), kecerdasan spiritual memiliki 4 ciri yaitu :
1) Bersikap fleksibel
2) Mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
3) Mempunyai kualitas hidup visi dan nilai-nilai
4) Enggan menyebabkan kerugian

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual


Menurut Zohar dan Marshall (2010) mengungkapkan ada
beberapa faktor yang dapat menghambat kecerdasan
spiritual untuk berkembang, yaitu :
1) Adanya ketidak seimbangan ide, ego dan superego
2) Adanya orang tua yang tidak cukup menyayangi
anaknya
21

3) Mengharapkan terlalu banyak


4) Adanya ajaran yang mengajarkan menekan insting
5) Adanya aturan moral yang menekan insting ilmiah
6) Adanya luka jiwa yang menggambarkan pengalaman
menyangkut perasaan terbelah, terasing dan tidak
berharga.

c. Kecerdasan Spiritual Menurut Pandangan Islam


Spiritual dalam pandangan islam memiliki makna yang
sama dengan ruh. Ruh merupakan hal yang tidak dapat
diketahui keberadaannya (gaib). Ruh selalu berhubungan
dengan ketuhanan, ia mampu mengenal dirinya sendiri dan
penciptanya, ia juga mampu melihat hal yang masuk akal.
Ruh merupakan asensi dari hidup manusia, ia diciptakan
langsung dan berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi
yaitu penciptanya. Ruh memilik hasrat dan keinginan untuk
kembali ke Tuhan pada waktu masih berada dan menyatu
dengan tubuh manusia. Ruh yang baik adalah ruh yang
tidak melupakan penciptanya dan selalu merindukan realitas
yang lebih tinggi. Ini dapat terlihat dari perbuatan individu
apakah ia ingkat atau maksiat atau suka dan selalu berbuat
kebaikan. Pemahaman tentang ruh ini tidak dapat
dipisahkan dari firman Allah dalam QS: Al-Isra : 85 yang
artinya : jika mereka bertanya padamu tentang ruh.
Katakanlah: “ Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (Mujib
& Mudzakir, 2001).

Pemahaman tentang kebutuhan ruh untuk selalu berada


dalam garis fitrah yang telah ditetapkan Allah melalui
agama islam terdapat dalam firman-Nya dalam QS Ar-rum:
30, yang artinya : maka hadapkanlah wajahmu dengan
22

lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang


telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Depag
RI, Al Qur’an dan Terjemahan hal 645)

Mujib dan Mudakkir (2001) memberi pengertian tentang


kecerdasan spiritual islam sebagai kecerdasan yang
berhubungan kemampuan memenuhi kebutuhan ruh
manusia, berupa ibadah agar ia dapat kembali kepada
penciptanya dalam keadaan suci.kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan
kualitas batin seseorang. Ia menjangkau nilai luhur yang
belum terjangkau oleh akal.

Pada dasarnya karena qalbu suci, ia selalu merindukan


Tuhannya, karena itu ia berusaha untuk selalu menuju
Tuhannya. Lebih jauh mengenai dinamika qalbu tadi
Agustian (dalam Mujib dan Mudzakir, 2001) merumuskan
lebih mendalam melalui kecerdasan spiritual yang
berdasarkan kacamata islam dan bisa diterima secara nalar
serta oleh ilmu pengetahuan.
Agustian (dalam Mujib dan Mudzakir, 2001) memaparkan
konsep kecerdasan spiritual dilihat dari tahapan penciptaan
manusia adalah :
1) Manusia pada mulanya adalah makhluk spiritual murni.
2) Manusia menetapkan misi
3) Manusia diberi potensi intelektual, emosional dan
spiritual
4) Manusia akan senantiasa tunduk kepada Allah
5) Manusia diberikan qalbu oleh-Nya
6) Membuat perjanjian spiritual
23

7) Perintah membaca bukti-bukti

Ciri-ciri manusia yang memiliki kualitas kecerdasan


spiritual yang tinggi dijelaskan oleh Hawari (dalam Mujib
dan Mudzakir, 2001 sebagai berikut :
1) Beriman kepada Allah, bertaqwa kepada sang pencipta,
beriman terhadap malaikatnya, kitab-kitab Allah, rasul-
rasulnya, hari akhir serta Qadha’ dan Qadar.
2) Selalu memegang amanah, konsisten dan tugas yang
diembannya.
3) Membuat keberadaan dirinya bermanfaat untuk orang
lain dan bukan sebaliknya.
4) Mempunyai rasa kasih sayang antar sesama sebagai
pertanda seorang yang beriman.
5) Bukan pendusta agama atau orang zalim.
6) Selalu menghargai waktu dan tidak menyia-
nyiakannya.

2.2 Stres
2.2.1 Definisi stres
Stres diartikan sebagai kejadian yang tidak menyenangkan atau
mungkin dianggap sebagai penyakit. Dalam masyarakat umum, stres
diartikan bingung, takut dan susah. Stres merupkan pengalaman
subjektif yang didasarkan pada persepsi seseorang terhadap situasi
yang dihadapinya. Stres berkaitan dengan kenyataan yang tidak sesuai
dengan harapan seseorang (Priyoto, 2014).

Stres adalah reaksi dari tubuh (respon) terhadap lingkungan yang


dapat memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem
pertahanan yang membuat kita tetap hidup. Stres adalah kondisi yang
tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam
24

suatu situasi sebagai beban atau diluar batasan kemampuan meraka


untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Nasir & Muhith, 2011).

Stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap


kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap
orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada
individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial dan
spiritual (Rasmun, 2004).

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon


tubuh terhadap lingkungan yang bisa terjadi pada siapa saja dan tidak
dapat dihindari.

2.2.2 Sumber Stres


Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh, sumber
stres dapat berupa biologi atau fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan
spiritual. Terjadinya stres karena stressor tersebut dirasakan dan di
persepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga
menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari
gangguan kesehatan fisik dan psikologis.
2.2.2.1 Stressor biologik
Stressor biologik dapat berupa mikroba, bakteri, virus dan
jasad renik lainnya, hewan dan tumbuhan yang dapat
mempengaruhi kesehatan. Misalnya tumbuhnya jerawat,
demam dan digigit oleh nyamuk dapat mengancam konsep
individu.
2.2.2.2 Stressor fisik
Stressor fisik dapat berupa perubahan iklim, alam, suhu dan
geografi yang meliputi letak tempat tinggal.
25

2.2.2.3 Stressor kimia


Stressor kimia dari dalam tubuh dapat berupa serum darah
dan glukosa sedangkan dari luar tubuh dapat berupa obat,
pemakaian alkohol, cafein, gas beracun, kosmetik dan bahan
pengawet.
2.2.2.4 Stressor sosial psikologik
Stressor sosial psikologik yaitu ketidak puasan terhadap diri
sendiri, kekejaman, penganiayaan, konflik peran, percaya diri
yang rendah, perubahan ekonomi dan emosi yang negatif.
2.2.2.5 Stressor spiritual
Stressor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-
nilai ke tuhanan.
(Rasmun, 2004).

2.2.3 Reaksi Tubuh Terhadap Stres


2.2.3.1 Perubahan aspek fisiologis
Perubahan aspek fisiologis antara lain seringkali ditemukan
adanya penurunan konsentrasi, keluhan sakit kepala, pusing,
ekspresi wajah tampak tegang, mulut dan bibir terasa kering.
Reaksi kulit yang sering dijumpai yaitu sering berkeringat
dan kadang-kadang panas, dingin, dan juga dapat menjadi
kering (Nasution, 2008).

Pada sistem pernafasan dijumpai gangguan seperti sesak


nafas karena penyempitan pada saluran pernafasan. Pada
sistem kardiovaskuler terjadi gangguan seperti berdebar-
debar, pembuluh darah melebar atau menyempit, kadang-
kadang terjadi kepucatan atau kemerahan pada muka dan
terasa kedinginan dan kesemutan. Pada sistem pencernaan
juga terdapat gangguan seperti peningkatan asam lambung.
Dan pada sistem perkemihan terjadi gangguan seperti adanya
frekuensi buang air kecil yang sering (Nasution, 2008).
26

2.2.3.2 Perubahan aspek psikologis


Perubahan aspek psikologis meliputi perubahan emosi.
Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk
mengevaluasi stres. Reaksi emosional terhadap stres yaitu
rasa takut, kecemasan, depresi, sedih, insomnia dan rasa
marah (Sarafino, 2004).

Stres dapat mengubah perilaku terhadap orang lain. Individu dapat


berperilaku menjadi positif atau negatif. Stres yang diikuti rasa
marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat,
sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif. Stres juga dapat
mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Sarafino, 2004).

2.2.4 Tahapan Stres


Menurut Amberg 1970 dalam Hidayat 2012, stres dapat dibagi dalam
6 tahap, yaitu :
2.2.4.1 Tahap 1
Tahap ini merupakan tahap stres yang paling ringan dan
biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang
berlebihan, penglihatan lebih tajam dari biasanya, merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya dan
timbul rasa gugup yang berlebihan.
2.2.4.2 Tahap 2
Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena
habisnya cadangan energi. Keluhan yang sering ditemukan
antara lain merasa lebih saat bangun, mudah lelah sesudah
makan siang, cepat lelah menjelang sore hari seing mengeluh
asam lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar-
debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak
bisa santai.
27

2.2.4.3 Tahap 3
Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan
memadai, maka keluhan akan makin nyata, seperti gangguan
lambung dan usus (gastritis dan diare), ketegangan otot
makin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola tidur
(sulit untuk memulai tidur, terbangun tengah malam dan
sukar kembali tidur atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat
tidur kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
2.2.4.4 Tahap 4
Orang yang mengalami tahap-tahap stres diatas ketika
memeriksa diri kedokter sering kali ditanyakan tidak sakit
karena tidak ditemukan kelainan fisik pada organ tubuh.
Namun kondisi yang berkelanjutan,akan muncul seperti
gejala ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas rutin
karena gangguan pola tidur, kemampuan mengingat
konsentrasi, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak
jelas penyebabnya.
2.2.4.5 Tahap 5
Tahap ini ditandai kelelahan fisik yang sangat, tidakmampu
menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan
pada sistem pencernaan semakin berat serta meningkatnya
rasa takut dan cemas.
2.2.4.6 Tahap 6
Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan
timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan
jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk bernafas,
tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya kemungkinan
terjadi kolaps atau pingsan.
28

2.2.5 Tingkat Stres


Tingkat stres adalah hasil penelitian terhadap berat ringannya stres
yang dialami seseorang. Menurut Depkes RI (1984) dalam Yannor,
Hendery (2008). Menurut Priyoto (2014) stres dibagi menjadi tiga
tingkat berdasarkan gejalanya, yaitu :
2.2.5.1 Ringan (mild)
Stres ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang secara
teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas,
kritikan dari atasan. Situasi seperti ini biasanya berlangsung
beberapa menit atau jam.
Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada seseorang yang
sedang mengalami stres ringan antara lain :
a. Semangat meningkat
b. Penglihatan tajam
c. Energi meningkat namun cadangan energinya menurun
d. Kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat
e. Sering merasa letih tanpa sebab
f. Merasa tegang dan khawatir
2.2.5.2 Sedang (moderat)
Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam
sampai hari. Situasi perselisihan yang tidak terselesaikan
dengan teman, anak yang sedang sakit atau ketidak hadiran
yang lama dari anggota keluarga merupakan penyebab stres.
Ciri-cirinya adalah :
a. Otot-otot tubuh akan menjadi tegang
b. Denyut nadi dan perasaan akan meningkat
c. Menunjukan tanda-tanda atau tingkah laku kegelisahan
yang meningkat
d. Kurang mampu berfikir dan berkomunikasi dengan jelas
e. Perhatian menyempit terhadap apa yang terjadi
disekitarnya
29

2.2.5.3 Berat (servere)


Yang dikatakan stres berat adalah stres yang sudah
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Seperti
perselisihan perkawinan secara terus menerus, kesulitan
finansial yang berlangsung lama karena tidak ada perbaikan,
perpisahan dengan keluarga, berpindah tempat tinggal dan
mempunyai penyakit kronis.
Adapun ciri-ciri dari stres berat adalah :
a. Sulit beraktivitas
b. Gangguan hubungan sosial
c. Sulit tidur
d. Tidak bisa makan
e. Penurunan konsentrasi
f. Penambilan bingung
g. Keadaan gelisah
h. Keletihan meningkat
i. Perasaan takut meningkat

2.3 Teori Keterkaitan Kecerdasan Spiritual Dengan Tingkat Stres


Menurut Rudyanto (2010), menyatakan bahwa dengan kecerdasan spiritual
yang tinggi, maka seseorang akan mengembalikan segala perbuatannya
kepada Tuhan sehingga perbuatan dan perilakunya menjadi bermakna dalam
hidupnya.

Menurut Bandura (1997) dalam Budiani (2013), menyatakan bahwa


keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya akan menimbulkan
dampak yang beragam. Keyakinan tersebut akan mempengaruhi tindakan
yang akan dilakukan, besarnya usaha, ketahanan dalam menghadapi rintangan
dan kegagalan, pola pikir, stres dan depresi yang dialami.
30

Individu yang cerdas secara spiritual, tidak akan menyerah dan putus asa
dalam menghadapi persoalan, baik masalah pekerjaan atau sakit kronik yang
sedang dialami. Tetapi sebaliknya dapat mereduksi munculnya stres yang
terjadi pada dirinya, karena setiap persoalan dapat diterima sebagai pelajaran
dan tempaan mental dari Tuhan untuk menjadikan dirinya semakin kuat
dalam menghadapi berbagai macam permasalahan hidup. Keberhasilan
seseorang dalam mengatasi setiap permasalahan, sangat dipengaruhi oleh
kecerdasan spiritual yang dimilikinya.

Menurut Al Jauziyah (2004) dalam Purwaningrum (2016) pada saat individu


stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan
ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami,
khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang
lama dengan hasil yang belum pasti.

Oleh karena itu, kecerdasan spiritual sangat diperlukan bagi setiap individu
yang dalam keadaan sakit maupun tidak. Sebab apabila seseorang memiliki
kecerdasan spiritual maka orang tersebut mampu untuk memaknai setiap
dinamika kehidupan mereka sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

2.4 Penyakit Gagal Ginjal Kronik


2.4.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Penyakit ginjal tahap akhir atau gagal ginjal kronik adalah gangguan
fungsi ginjal yang menahun, bersifat progresif dan irreversibel.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Rendy &
Margareth, 2012).

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan


penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif
dan cukup lanjut. Hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerator kurang
31

dari 50 ml/menit (Rendy & Margareth, 2012). Gagal ginjal kronis atau
chronic kidney disease merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi uremia (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Rendy &
Margareth, 2012). Dari definisi diatas, dapat disimpulkan gagal ginjal
kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang bersifat irreversibel atau
tidak dapat sembuh seperti sedia kala.

Tahapan penyakit ginjal kronis berlangsung secara terus-menerus dari


waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) mengklarifikasikan gagal ginjal kronis sebagai berikut :
2.4.1.1 Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 mL/min/1.73
m2)
2.4.1.2 Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m2)
2.4.1.3 Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m2)
2.4.1.4 Stadium 4 : berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m2)
2.4.1.5 Stadium 5 : terminal (GFR < 15 mL/min/1.73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukan tanda-tanda
kerusakan ginjal termasuk darah yang abnormal atau urin yang
abnormal (Arora 2009).

2.4.2 Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik adalah :
2.4.2.1 Infeksi saluran kemih atau pielonefritis kronis
2.4.2.2 Penyakit peradangan glomerulonefritis
2.4.2.3 Penyakit vaskuler hipertensi (nefrosklerosis, stenosis arteri
renalis)
2.4.2.4 Gangguan jaringan penyambung (SLE poliarterites nodusa,
sklerosis sistemik)
2.4.2.5 Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal)
32

2.4.2.6 Penyakit metabolik (DM)


2.4.2.7 Netropati toksik
2.4.2.8 Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Rendy & Margareth, 2012).

2.4.3 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorbsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR atau daya saring. Metode
adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar dari pada yang bisa direabsorbsi berakibat uresis osmotik
disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah
(Rendy & Margareth, 2012).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang


normalnya dieksresikan kedalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak
gejala uremia membaik setelah dialisis (Brunner & Suddart, 2001
dalam Rendy & Margareth, 2012).

2.4.4 Menifestasi Klinis


2.4.4.1 Lebih sering buang air kecil, terutama malam hari
2.4.4.2 Kulit terasa gatal
33

2.4.4.3 Adanya darah dalam urine yang dideteksi saat tes urine
2.4.4.4 Mengalami kram otot
2.4.4.5 BB badan turun
2.4.4.6 Nafsu makan menurun
2.4.4.7 Penumpukan cairan yang mengakibatkan pembengkakan
pada pergelangan kaki dan tangan
2.4.4.8 Nyeri pada dada, akibat cairan tertumpuk dijantung
2.4.4.9 Kejang pada otot
(Ariani, 2016).

2.5 Hemodialisa
2.5.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti
fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hydrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui membran
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal
buatan dimana terjadi proses difusi, osmisis dan ultra filtrasi (Rendy
& Margareth, 2012).

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah


buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien penyakit akut yang membutuhkan dialisis
waktu singkat (Potter & Perry, 2005 dalam Manangin 2017).
Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti sebagai sebagian kerja
atau fungsi ginjal dalam mengeluarkan sisa hasil metabolisme dan
kelebihan cairan serta zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh
(Jangkup dkk, 2015).

KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative)


merekomendasikan bahwa pasien dengan residual kidney function
rendah (kurang dari 2 ml/menit) harus menjalani hemodialisa tiga kali
34

seminggu dengan durasi 3 jam setiap kali hemodialisis (Rocco et


all.,2015). Menurut penelitian Dewi (2015) lama hemodialisa dibagi
menjadi 3 kategori yaitu :
2.5.1.1 Baru : < 12 bulan
2.5.1.2 Sedang : 12- 24 bulan
2.5.1.3 Lama : > 24 tahun

2.5.2 Tujuan Hemodialisa


Menurut Suharyanto (2009) tujuan hemodialisa adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan. Sedangkan menurut Smeltzer &
Bare (dalam Huraida, 2016) hemodialisa berfungsi untuk mengambil
zat-zat nitrogen dan toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air
yang berlebihan. Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan
toksik dan limbah nitrogen dialirkan dari tubuh klien ke dialiser
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi
ketubuh klien.

2.5.3 Kepatuhan Hemodialisa


Kepatuhan terapi pada penderita hemodialisa merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan, karena jika klien tidak patuh akan terjadi
penumpukan zat-zat berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam
darah. Sehingga penderita merasa sakit pada seluruh tubuh dan jika
hal tersebut dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Pada dasarnya
penderita gagal ginjal baik akut maupun kronik sangat tergantung
pada terapi hemodialisa yang berfungsi menggantikan fungsi ginjal
(Sunarni, 2009 dalam Wulandari, 2013).

Dalam Huraida (2016), kepatuhan klien gagal ginjal kronik dalam


program hemodialisa perlu dilakukan untuk menghindari beberapa
dampak yang dapat terjadi bila klien tidak patuh terhadap jadwal
hemodialisis, yaitu :
35

2.5.3.1 Hilangnya jadwal rutin hemodialisis apabila klien dinyatakan


telah membolos jadwal hemodialisis sebanyak 3x kunjungan
secara berturut-turut dan untuk mendapatkan kembali jadwal
rutin hemodialisa harus menunggu cukup lama karena harus
menunggu sampai jadwal kosong.
2.5.3.2 Klien dapat mengalami kondisi kesehatan yang memburuk
bahkan sakit sehingga perlu biaya yang lebih besar lagi untuk
biaya perawatan dirumah sakit selain biaya hemodialisis.
2.5.3.3 Apabila klien dalam kondisi kesehatan memburuk sedangkan
hemodialisis tidak segera dilaksanakan dapat mengakibatkan
kematian.

2.5.4 Komplikasi Hemodialisa


2.5.4.1 Hipotensi
2.5.4.2 Perdarahan di area setelah hemodialisa yang diinduksi oleh
antikoagulasi
2.5.4.3 Infeksi ditempat akses vena
2.5.4.4 Alergi terhadap heparin memerlukan larutan pengganti yang
memiliki kandungan anti-pembekuan (natrium sitrat)
2.5.4.5 Depresi dengan ide bunuh diri
2.5.4.6 Perubahan tingkat kesadaran atau kejang jika BUN dan
kreatinin menurun terlalu cepat
(Hurst, 2016).

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependent


Kecerdasan :
1. Kecerdasan Emosional (EQ)
2. Kecerdasan Intelektual (IQ)
3. Kecerdasan Spiritual (SQ) Stres
36

Keterangan :
Diteliti :
Tidak diteliti :

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.7 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah :
Ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan tingkat stres pada klien
penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD Ulin
Banjarmasin.
37

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis desain yang digunakan adalah analitik korelasional yaitu dengan
pendekatan cross sectional yang menekankan waktu pengukuran/observasi
data variable independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat.
Artinya subjek pada panelitian ini variable independen dan dependen hanya
dinilai secara simultan pada suatu saat atau pada saat pemeriksaan dan tidak
ada tindak lanjut (Nursalam 2016).

Dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis tentang hubungan kecerdasan


spiritual dengan tingkat stres pada klien penyakit gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di RSUD Ulin Banjarmasin.

3.2 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
(diukur) (Nursalam, 2014). Definisi operasional pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 3.1 sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Definisi
Variabel Parameter Alat Ukur Skala Kategori
Operasional
1. Variabel Kemampuan Kecerdasan Kuesioner Ordinal 1. Kurang :
Bebas memahami diri Spiritual : 16 – 26
Kecerdasan sendiri dan 1. Bersikap 2. Sedang :
Spiritual lingkungan Fleksibel 27 – 37
sehingga dapat 2. Mampu 3. Baik : 38
memaknai menghadapi & – 48
hidup. memanfaatkan
penderitaan
3. Kualitas hidup
visi dan nilai-
nilai
4. Enggan
menyebabkan
kerugian
38

2. Variabel Stres Tanda dan Gejala Kuesioner Ordinal 1. Ringan :


Terikat merupakan 16 – 26
Tingkat respon tubuh 2. Sedang :
Stres yang bersifat 27 – 37
tidak spesifik 3. Berat :
terhadap setiap 38 – 48
tuntutan atau
beban.

3.3 Populasi, Sampel dan Sampling


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah subjek dalam penelitian yang memenuhi
kriteria yang sudah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dalam
penelitian ini adalah klien kurang dari 3 bulan yang menjalani terapi
hemodialisa di RSUD Ulin Banjarmasin.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2012). Sampel penelitian ini adalah klien
kurang dari 3 bulan yang menjalani terapi hemodialisa. Penentuan
sampel dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini
adalah :
3.3.2.1 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Klien kurang dari 3 bulan yang menjalani terapi
hemodialisa
b. Klien kurang dari 3 bulan yang bersedia menjadi
responden

3.3.2.2 Kriteria esklusi merupakan kriteria di mana subjek penelitian


tidak dapat mewakili sampel (Nursalam, 2008).
a. Klien yang lebih dari 3 bulan yang menjalani terapi
hemodialisa
b. Klien yang tidak bersedia menjadi responden
39

3.3.3 Sampling
Sampling adalah teknik pengambilan sampel untuk menentukan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian (Sugiyono, 2012).
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling, yaitu dengan cara purposive sampling yaitu
teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah
dalam penelitian). Sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2016).

Menurut Nursalam (2016) untuk menemukan besarnya sampel dalam


penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus, yaitu :
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑)²

Keterangan :
n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat signifikansi 0,05

42
n=
1+42 (0,05)²
42
n=
1+42 (0,0025)
42
n=
1+0,105
42
n=
1,105
n = 38
Berdasarkan dengan perhitungan rumus maka besar sampel sebanyak
38 orang.
40

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


3.4.1 Tempat Penelitian
Tempat penelitian merupakan lokasi yang akan diteliti oleh peneliti.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin.

3.4.2 Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan dari pada bulan November 2017
sampai dengan bulan Mei 2018.

3.5 Instrumen
Instrumen pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa
kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Kuesioner sebagai alat
pengumpul data adalah untuk memperoleh suatu data yang sesuai dengan
tujuan penelitian tersebut. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner disusun
sedemikian rupa sehingga mencakup variabel-variabel yang berkaitan.
Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan
baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban atau
dengan cara memandu (Notoadmojo, 2012).

Kuesioner dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan


kecerdasan spiritual dengan tingkat stres pada klien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di RSUD Ulin Banjarmasin. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut :
3.5.1 Lembar kuesioner untuk variabel independen yaitu kecerdasan
spiritual.
41

Tabel 3.2 Klasifikasi Nilai Kecerdasan Spiritual Dengan Cara :


Penilaian Skor
Tertinggi = jumlah soal x skor 16 x 3 = 48
tinggi
Terendah = jumlah soal x skor 16 x 1 = 16
rendah
Range = nilai tertinggi – nilai 48 – 16 = 32
terendah
Kelas Interval = range : kategori 32 : 3 = 10
Klasifikasi nilai :
Kurang 16 – 26
Sedang 27 – 37
Baik 38 – 48

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Kuesioner Variabel Kecerdasan Spiritual


No. Variabel Parameter No. No. Jumlah
Pertanyaan Pertanyaan
Positif Negatif
1. Kecerdasan 1. Bersikap 1,2,3 4 4
Spiritual fleksibel
2. Mampu 6,7 5,8 4
menghadapi
&
memanfaat
kan
penderitaan
3. Mempunyai 9,11,12 10
visi dan 4
nilai-nilai
kehidupan
4. Enggan 16 13,14,15
menyebab 4
kan
kerugian
Jumlah 9 7 16

3.5.2 Lembar kuesioner untuk variabel dependen yaitu tingkat stres.


42

Tabel 3.4 Klasifikasi Nilai Untuk Stres :


Skor tertinggi = jumlah soal x 16 x 3 = 48
skor tertinggi

Skor terendah = jumlah soal x 16 x 1 = 16


skor terendah

Range = nilai tertinggi – nilai 48 – 16 = 32


terendah

Kelas interval = range : kategori 32 : 3 = 10


Klasifikasi nilai :
Ringan 16 – 26
Sedang 27 – 37
Berat 38 – 48

Tabel 3.5 Rincian Kuesioner Stres

No. Variabel Parameter Jumlah


1. Stres Tanda dan gejala 16
Jumlah 16

3.5.3 Uji Validitas dan Uji Reabilitas


Sebelum kuesioner dibagikan, kuesioner dalam penelitian ini akan
dilakukan uji validitas dan reabilitas kepada 38 klien yang menjalani
terapi hemodialisa di RSUD Ratu Zaleha Martapura. Menurut
Budiman dan Riyanto (2013), uji validitas adalah suatu ukuran yang
menunjukan tingkat-tingkat validitas atau kesahihan suatu instrumen.
Sedangkan reabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana
suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
2.5.3.1 Uji Validitas
Uji validitas diperlukan untuk melihat apakah butir-butir
pertanyaan pada kuesioner sudah tepat menguji apa yang
menjadi tujuan penelitian. Pengujian validitas dengan bantuan
program aplikasi komputer melalui uji Person Product
Moment yang menghasilkan nilai korelasi, pada kuesioner
dikatakan valid jika diketahui rhitung > rtabel.
43

2.5.3.2 Uji Reabilitas


Untuk mengetahui reabilitas kuesioner dapat dilihat nilai alpa
cronbach, dimana kuesioner penelitian adalah reabil jika nilai
alpa cronbach > 0,60 (Budiman dan Riyanto, 2013).

3.6 Teknik Pengumpulan Data


3.6.1 Penelitian ini dilakukan setelah melalui prosuder etical clearance dan
mendapatkan surat pernyataan telah melalui uji etik dari komisi etik
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
3.6.2 Setelah dari komisi etik selanjutnya peneliti meminta surat izin dari
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin tentang rekomendaasi
melakukan penelitian di RSUD Ulin Banjarmasin.
3.6.3 Permintaan izin penelitian melalui surat yang ditujukan kepada kepala
RSUD Ulin Banjarmasin akan disampaikan sendiri oleh peneliti.
3.6.4 Peneliti membagikan kuesioner, sebelum peneliti membagikan
kuesioner terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri.
3.6.5 Peneliti mengidentifikasi klien-klien yang akan menjadi responden
yang memenuhi kriteria inklusi termasuk didalamnya penjelasan
tentang tujuan penelitian dan prosedur penentuan yang akan
dilakukan, jika bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, subjek
menandatangani informed consent. Informed consent merupakan salah
satu kegiatan pemberian informasi dan kesepakatan antara peneliti dan
responden, dilakukan sebelum penelitian dilakukan.
3.6.6 Peneliti melanjutkan dengan membagikan kuesioner dan menjelaskan
cara mengisi kuesioner, kemudian responden mengisi kuesioner dan
ditunggu oleh peneliti.
3.6.7 Setelah selesai peneliti meminta izin untuk pamit dan mengucapkan
terima kasih kepada responden atas keterlibatannya dalam penelitian.
44

3.7 Teknik Pengolahan Data


Teknik pengolahan data yaitu semua data yang diperoleh dari responden di
kumpulkan lalu di koreksi ulang untuk melihat kelengkapan data setelah data
lengkap lalu di kelompokan dan ditabulasi menggunakan komputer
berdasarkan variabel yang di teliti, dengan cara melalui beberapa tahapan
yaitu :
3.7.1 Editing
Adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran (pengecekan) data
yang diperoleh atau dikumpulkan.
3.7.2 Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa katagori.
3.7.3 Entri data
Adalah kegiatan memasukan data yang telah di kumpulkan dari
kuesioner ke paket program computer.
3.7.4 Tabulating
Pembuatan tabel agar mudah dianalisis sesuai dengan teknik analisis
yang digunakan.

3.8 Analisa Data


Analisis data bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan masing-
masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan analisa data univariat dan bivariat.
3.8.1 Analisa univarat
Analisa univarat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Dalam
penelitian ini analisis univarat menggunakan distribusi persentase
karena data penelitian bersifat ordinal.
45

3.8.2 Analisa bivarat


Menganalisa data untuk melihat hubungan antara variable independen
(kecerdasan spiritual) terhadap variael dependen (tingkat stres). Untuk
melihat hubungan antara variable independen terhadap variable
dependen, maka peneliti akan menguji satu uji yang disebut koefisien
korelasi yang dihitung menggunakan rumus Spearman Rank.

6 ∑𝑑²
rs = 1-
𝑛 (𝑛2 −1)

Keterangan :

rs= nilai korelasi Spearman Rank


d2 = Selisish setiap pasangan Rank
n = Jumlah pasangan Rank

Analisis ini dilakukan dengan bantuan perangkat computer dengan


menggunakan kepercayaan 95%.
Interprestasi hasil penelitian yaitu :
3.8.2.1 Jika p ≤ 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti
ada hubungan berarti antara dukungan emosional keluarga
dengan pembatasan asupan cairan pada pasien penyakit gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Ulin
Banjarmasin.
3.8.2.2 Jika p ≥ 0,05 maka Ha ditolak dan Ho diterima yang berarti
tidak ada hubungan antara dukungan emosional keluarga
dengan pembatasan asupan cairan pada pasien penyakit gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Ulin
Banjarmasin.

Alasan peneliti memilih korelasi spearman rank karena korelasi


spearman rank merupakan alat analisis yang diguakan untuk menguji
signifikasi hipotesis asosiatif bila masing- masing variable yang
46

digunakan berentuk ordinal dan sumber data antara variable tidak


harus sama. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari variable independen dan variable dependen. Jika dalam
masing-masing variabel atau pada salah satu variabel menggunakan
skala data yang berbentuk ordinal, maka analisis datanya harus
menggunakan analisis korelasi spearman rank. Skala data ordinal
yaitu skala yang memiliki jenjang atau tingkatan, sehingga datanya
bukan dalam bentuk angka, karena data ordinal tidak berbentuk angka
maka harus dibuat skor dan berbentuk ranking. Jadi analisis korelasi
spearman rank digunakan untuk menganilisis hubungan antara 2
variabel atau lebih dengan skala berbentuk ordinal.

Menurut Sugiyono (2014) pedoman untuk interprestasi koefisien


korelasi atau tingkat hubungan dapat dilihat pada tabel 3.6 dibawah
ini:
Tabel 3.6 Interprestasi Koefisien Korelasi
No. Interval Koefisien Tingkat Hubungan
1. 0,00 – 0,199 Sangat rendah
2. 0,20 - 0,399 Rendah
3. 0,40 – 0,599 Sedang
4. 0,60 – 0,799 Kuat
5. 0,80 - 1,000 Sangat kuat
(Sugiyono, 2014)

3.9 Etika Penelitian


Menurut Nursalam (2016), secara umum prinsif etika dalam penelitian atau
pengumpulan data dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut :
3.9.1 Prinsif Manfaat (Beneficience)
3.9.1.1 Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa ada mengakibatkan
penderitaan kepada responden, baik fisik maupun psikis,
khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
47

3.9.1.2 Bebas dari eksploitasi


Partisipasi responden dalam penelitian harus dihindarkan dari
keadaan yang tidak menguntungkan. Responden harus
diyakinkan bahwa partisipasinya dalam penelitian dan
informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam
hal-hal yang dapat merugikan responden dalam hal apapun.
3.9.1.3 Resiko (benefit ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan
keuntungan yang akan berakibat kepada responden dalam
setiap tindakan.

3.9.2 Prinsif Membagi Hak Manusia (respect human dignity)


3.9.2.1 Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self
determination).
Responden harus diperlukan secara manusiawi, responden
mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia
menjadi responden atau tidak, tanpa ada sanksi apapun atau
akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang
pasien.
3.9.2.2 Hak untuk mendapat jaminan dari perlakuan yang diberikan
(right to full disclosure).
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara
terperinci serta bertanggung jawab jika ada sesuatu yang
terjadi kepada responden.
3.9.2.3 Inform consent
Responden harus mendapatkan penjelasan secara lengkap
tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan,
mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak
menjadi responden. Pada Inform consent juga perlu
dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan
digunakan untuk pengembangan ilmu.
48

3.9.3 Prinsif Keadilan (right to justice)


3.9.3.1 Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair
treatment).
Responden harus diperlakukan secara adil baik sebelum,
selama dan sesudah keikutsertaan dalam penelitian tanpa ada
diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau
dikeluarkan dari penelitian.
3.9.3.2 Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy).
Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa ada data
yang diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya
tanpa nama (anonymity) dan rahasia (confidentiality).
49

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Sofi. (2016). Stop Gagal Ginjal. Yogyakarta: Istana Media.


Wutun, Engelbartus A, dkk. (2016). Gambaran Mekanisme Koping Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Di Ruang
Hemodialisa RSUD. PROF. DR. W. Z. Johannes Kupang.

Nursalam. (2016). Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis


Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Fajri, A, dkk. (2015). Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan Tingkat


Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa. JOM
Volume 2 Nomor 2 Halaman 1106.

Sarah, Nurul Khotimah. (2014). Hubungan Kecerdasan Spiritual Dengan


Otonomi Profesional Perawat Di Ruang Rawat Inap RS Al Islam Bandung.
Skripsi. Universitas Padjajaran.

Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktek


Keperawatan Profesional Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Sutikno, B. (2014). Sukses Bahagia Dan Mulia Dengan 5 Mutiara Kecerdasan


Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba


Medika

Febrianita, P. (2013). Hubungan Aktivitas Spiritual Dengan Tingkat Stres Pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.

Islamudin, Haryu. (2012). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Notoadmojo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Hidayat. A.A. (2012). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep


Dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
50

Rendy & Margareth. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:


Alfaeba.

Saam, dkk. (2012). Psikologi Keperawatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ari, P. A. (2012). Hubungan Kecerdasan Emosi Dan Kecerdasan Spiritual


Dengan Perilaku Prososial Guru Bimbingan Dan Konseling Di Kabupaten
Pacitan

Nasir & Muhith. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba


Medika.

Riyanto, Agus. (2011). Apliksi metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Mayer. H. (2011). Emotional Intelligence-Cara Memimpin Bisnis. Bandung:


Nuansa.

Sari, Y. Dkk. (2011). Hubungan Tingkat Stres Dan Strategi Koping Pada Pasien
Yang Menjalani Terapi Hemodialisa.Universitas Riau.

Santrock, John W. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Zohar, D. & Marshal, I. (2010). SQ: Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan

Avita, D. N. (2010). Pengaruh Kecerdsan Spiritual Terhadap Kecemasan


Menghadapi Kematian Pada Lansia di UPT Pelayanan Lanjut Usia
Pasuruan.

Rudyanto, E. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dan Kecerdasan


Spiritual Dengan Perilaku Prososial Pada Perawat. Skirpsi, Universitas
Sebelas Maret.

Dalyono, (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamid, A. Y. (2009). Buku Ajar Aspek Spiritual Dalam Keperawatan. Jakarta:


PT. Remaja Rosdakarya
51

Hawari, D. (2004). Stres, Cemas Dan Depresi. FK UI: Jakarta

Siswanto. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rasmun. (2004). Stres, Koping Dan Adaptasi. Jakarta: Sagung Seto.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Edisi 8 Volume 3.
Trans: Waluyo. Jakarta: EGC

Mujib & Mudzakir. (2001). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali


Press.

Brunner & Suddarth. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku


Kedokteran EGC.

Goleman, Daniel. (2000). Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Umum.

You might also like