You are on page 1of 24

A.

Bells spasy
a. Definisi
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan
nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi
dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).
b. Etiologi
Penyebab dari kelainan Bell’s palsy ini masih belum diketahui secara jelas, Bell’s
palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum,
yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam
kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan
saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007). Secara
klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih
tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain
iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab
(Berg 2009; Kanerva 2008).
c. Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah. Masing-
masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat trauma
yang berbeda (May 2000).
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu
serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang
dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis secara lebih
mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster
cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat
gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi,
sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor
jinak atau ganas yang tumbuh dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster
cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat
progresif dalam 5- 10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih
kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil
kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus.
Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan
selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat
terjadi kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari
trauma. Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium
dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah
sebaik pada derajat pertama (tabel 1) (May 2000).
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada akson,
yaitu :
1. Perubahan pada jarak antara nodus renvier
2. akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis
daripada akson normal
3. terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi
kembali kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu
menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai
sebelum terjadi degenerasi.
Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter (May 2000).

Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan
berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal
selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain
faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf
fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan
sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada
sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik.
spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).
d. Manifestasi klinis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis
semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi
ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata
ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi
komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi
akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis
fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion
genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum
akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf
kedelapan.
e. Penatalaksaan
1. Terapi kortikosteroid (prednisone) untuk menurunkan radang dan
edema, menurunkan nyeri, dan membantu mencegah atau
meminimalkan denervasi
2. Terapi analgesic bisa dengan kompres panas pada sisi wajah yang
sakit, untuk mengontrol nyeri di wajah untuk meningkatkan
kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut
3. Stimulasi listrik untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi
4. Pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang
cenderung memiliki tumor atau untuk dekompresi saraf wajah serta
untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah
5. Mengedukasi klien dampak apasaja yang akan timbul dari bells
spacy dan cara menganganinya
Misalkan :
- Klien tidak dapat menutup mata dengan sempurna dan
refleks berkedip terbatas. Maka, kita mengedukasi klien cara
menanganinya dengan cara menggunakan penutup mata saat
dengan kacamata hitam pada siang hari untuk menghindari
silaunya sinar matahari dan binatang kecil.
f. Asuhan keperawatan
i. Pengkajian
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s
Palsy meliputi keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.
ii. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah
berhubungna dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
iii. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, dan bertambah buruk. Pada
pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot
wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semnua otot wajah
satu sisi. Jika dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi
yang sehat saja. Jika klien diminta memejamkan kedua mata, maka pada
sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
terlihat berputarnya bola mata ke atas. Fenomena tersebut dikenal sebagai
tanda Bell.
iv. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vascular, otitis media, tumor
intracranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zozter),
penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pamakaian
obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian tindakan medis yan
gdidapatkan klien dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan memberikan
tindakan selanjutnya.
v. Pengkajian psikososiaspiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa
penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respon emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keuarga ataupun dalam
masyarakat. Apapun ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
secara sadar biasa digunakan klien selama kesehatan saat ini yang telah
diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
vi. Pemeriksaan fisik
1. B1 (Breathing)
Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan
sistem pernafasan klien dalam batas normal. Pada palpasi biasaanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan
pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
2. B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan
nadi dengan frekuensi dan ritme yang normal, tekanan darah dalam
batas normal, dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sisitem lainnya.
- Pengkajian tingkat kesadaran
Pada Bell’s Palsy biasanya kesadaran klien komposmentis.
- Pengkajian fungsi serebral
- Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku,
nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada klien Bell’s Palsy tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
- Pengkajian saraf kranial
- Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan pada saraf
kranial I-XII.
i. Saraf I, bisanya pada klien Bell’s Palsy tidak ada
kelaianan pada fungus penciuman.
ii. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi.
iii. Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak
mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
iv. Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi,
lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar,
adanya gerakan sinkinetik.
v. Saraf VII, berkurangnya ketajaman pengecapan,
mungkin sekali edema saraf fasialis di tingkat
foramen srtilomastoideus meluas sampai bagian
saraf fasialis, di mana khorda timpani
menggabungkan diri padanya.
vi. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif
dan tuli persepsi.
vii. Saraf IX dan X, paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara, mengunyah dan menelan, kemampuan
menelan kurang baik, sehingga menggangu
pemenuhan nutrisi via oral.
viii. Saraf XI, tidakada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik.
ix. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan pada
dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
- Pengkajian sistem motoric
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan
otot normal, control kesimbangan dan koordinasi pada
Bell’s Palsy tidak ada kelainan.
- Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon
normal. Gerakan Involunter, tidak ditemukan adanya tremor,
kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering
ditemukan tic fasialis.
- Pengkajian sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak
ada kelainan.
4. B4 (Bledder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya
menunjukkan penurunan volume pengeluaran urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.
5. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungakan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot penguyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan nutrisi via oral menjadi
menurun.
6. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
vii. Rencana Asuhan keperawatan
1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin
(2012), yaitu:
- Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan pada satu sisi
pada wajah.
- Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
- Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
2. Intervensi keperawatan
Sasaran dari klien ini meliputi adanya peningkatan konsep diri klien dank
lien memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentnag
penyakit yang diderita serta pengobatannya.
- Diagnosa : gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan
dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu
sisi pada wajah.
i. Tujuan : dalam waktu1x24 jam konsep diri klien
meningkat.
ii. Kriteria hasil: klien mampu menggunakan koping
positif.

Intervensi Rasional
1. Kaji dan jelaskan kepada klien 1. Intervensi awal bisa mencegah
tentang keadaan paralisis distress psikologis pada klien.
wajahnya. 2. Mekanisme koping yang positif
2. Bantu klien menggunakan dapat membantu klien lebih percaya
mekanisme koping yang positif. diri, lebih kooperatif terhadap
tindakan yang akan dilakukan, dan
3. Orientasikan klien terhadap mencegah terjadinya kecemasan
prosedur rutin dan aktivitas yang tambahan.
diharapkan. 3. Orientasikan dapat menurutkan
4. Libatkan sistem pendukung dalam kecemasan.
perawatan klien. 4. lKehadiran support sistem
meningkatkan citra diri klien.

- Diagnosa: Ansieta yang berhubungan dengan prognosis


penyakit.
i. Tujuan: ansietas hilang atau berkurang.
ii. Kriteria hasil: mengenal perasaannya, dapat
mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya dan mengatakan ansietas
berkurang atau hilang.

Intervensi Rasional
1. Ansietas berkelanjutan
memmberikan dampak serangan
jantung selanjutnya.
2. Reaksi verbal atau nonverbal dapat
1. Bantu klien mengekspresikan menunjukkan rasa agitasi, marah
perasaan marah, kehilangan, dan dan gelisah.
takut. 3. Konfrontasi dapat meningkatkan
2. Kaji tanda verbal dan nonverbal rasa marah, menurunkan kerja sama
ansietas, damping klien dan dan mungkin memperlambatkan
lakukan tindakan bila penyembuhan.
menunjukkan perilaku merusak. 4. Mengurangi rangsangan eksternal
3. Hindari konfrontasi. yang tidak perlu.
4. Mulai melakukan tindakan untuk 5. Kontrol sensasi klien dengan cara
mengurangi kecemasan. Beri memberikan informasi tentang
lingkungan yang tenang dan keadaan klien, menekankan pada
suasana penuh istirahat. penghargaan sumber-sumber
5. Tingkatkan control sensasi klien. koping (pertahanan diri), yang
6. Orientasikan kien terhadap positif, membantu latihan relaksasi,
prosedur rutin dan aktivitas yang dan teknik-teknik pengalihan dan
diharapkan. memberikan respons yang balik
7. Beri kesempatan kepada klien tang positif.
untuk mengungkapkan 6. Orientasi dapat menurunkan
ansietasnya. ansietas.
8. Berikan privasi untuk klien dan 7. Dapat menghilangkan ketegangan
orang terdekat. terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
9. waktu untuk mengekspresikan
perasaan, menghilangkan cemas
dan perilaku adaptasi. Adanya
keluarga dan teman-teman yang
dipilih klien melayani aktivitas dan
pengalihan akan menurunkan
perasaan terisolasi.

- Diagnosa: deficit pengetahuan yang berhubungan dengan


informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
i. Tujuan: dalam waktu 1×30 menit klien akan
memperlihatkan kemampuan pemahaman yang
adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.
ii. Kriteria hasil: klien mampu secara subjektif
menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa
yang telah didiskusikan.

Intervensi Rasional
1. Indikasi progresif atau reaktivitas
penyakit atau efek samping
1. Kaji kemampuan belajar, tingkat
pengobatan, serta untuk evaluasi
kecemasan, partisipasi, media
lebih lanjut.
yang sesuai untuk belajar.
2. Meningkatkan kesadaran kebutuhan
2. Identifikasi tanda dan gejala yang
tentang perawatan diri untuk
perlu dilaporkan ke perawat.
meminimalkan kelemahan.
3. Jelaskan instruksi dan informasi
3. Meningkatkan kerja sama atau
misalnya penjadwalan
partisipasi terapetik dan mencegah
pengobatan.
putus obat.
4. Kaji ulang risiko efek samping
4. Dapat mengurangi rasa kurang
pengobatan.
nyaman dari pengobatan untuk
5. Motivasi klien mengekspresikan
perbaiki kondisi klien.
ketidaktahuan/kecemasan dan beri
5. Memberikan kesempatan untuk
informasi yang dibutuhkan.
mengkoreksi kesalahan persepsi
dan mengurangi kece

B. Cerebral pasy
a. Definisi
Cerebral palsy ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan
tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda dan merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinis dapat berubah selama hidup dan menunjukkan
kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan
spastis, gangguan ganglia basal dan sereblum dan kelainan mental (Kowalak, 2011).
b. Etiologi
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan group
penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang
berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP,
riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Di USA, sekitar 10 – 20 % disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase
tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang). CP dapat juga
merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan pertama atau tahuntahun
pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri
atau enchepalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat
kecelakaan lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.
Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umulnnya secara kronologis dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
i. Prenatal :
1. gangguan pertumbuhan otak
2. penyakit metabolism
3. penyakit plasenta
4. penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis
dan radiasi
ii. Natal :
1. partus lama
2. trauma kelahiran dengan perdarahan subdural
3. prematuritas
4. penumbungan atau lilitan talipusat
5. atelektasis yang menetap
6. aspirasi isi lambung dan usus
7. sedasi berat pada ibu
iii. Post natal :
1. penyakit infeksi : ensefalitis
2. lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak
3. hiperbilirubinemia/kernicterus
4. gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak
c. Klasifikasi
Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy
mengemukakan klasifikasi sebagai berikut.
Klasifikasi neuromotorik :
i. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon
reflex meninggi pada bagian-bagian yang terkena.
ii. Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing,
involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.
iii. Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu,
baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi
membongkokkan "pipa timah" (lead pipe rigidity).
iv. Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi.
v. Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan
irama yang teratur.
vi. Mixed.
d. Patofisiologi
Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya
neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan berat otak rendah, Anoxia
merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak. Type
athetoid/dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf
nuclei cranial. Secara umun cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya
kuadriparesis dengan retardasi mental ( Wong’s, 2010).
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang
mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum.
i. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan
motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.
1. Spastisitas.
Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang
mengalami kerusakan, meliputi 50--65% kasus CP. Spastisitas
ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik
positif. Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi,
diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya
mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang
berfungsi menegakkan kepala.
2. Atetosis.
Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-
gerakan abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau
leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu
"kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi.
Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi
berat atau jaundice.
3. Ataksia.
Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan
koordinasi, gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak
berjalan dengan langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi ±
5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.
4. Rigiditas.
Merupakan bentuk campuran akibat kerusakan otak yang
difus. Di samping gejalagejala motorik, juga dapat disertai gejala-
gejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental,
retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas,
pendengaran, bicara dan gangguan mata.
ii. Gangguan Pendengaran
Terdapat pda 5 – 10 % anak dengan Cerebral Palsy. Gangguan
berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit
menangkap kata-kata.
iii. Gangguan Bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental.
Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan
sukar mengontrol otototot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-
kata dan sering tampak anak berliur.
iv. Gangguan Mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25
% penderita Cerebral Palsy menderita kelainan mata.
f. Penatalaksaan
Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :
i. Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang
penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya.
Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan
yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili
penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat
perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di
lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan
berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara
independent untuk aktivitas sehari – hari. Fisio terapi ini harus segera
dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan
posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat
dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan.Fisio terapi
dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu
dididik sesuai dengan tingkat intelegensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila
mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di
Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational
therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderiata. Mereka sebaiknya
diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan
bersama-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana
normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk
itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
ii. Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering
menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita
maupun terhadap keluarganya.
iii. Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan
otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas.
Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastic dari pada tipe
lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah disbanding
dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan
dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik,
tendon. Otot atau pada tulang.
iv. Obat – obatan
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki
gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan
kejang.
Pada penderita CP yang kejang pemberian obat anti kejang
memamerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe
spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat
muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe
spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance
anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya
luminal, dilatin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan,
otot golongan benzodiazepine, misalnya : valium, Librium atau mogadon
dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil
(imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang
hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi hari dan
2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.
1. Loraces (penyangga)
2. Kaca mata
3. Alat Bantu dengar
4. Pendidikan dan sekolah khusus
5. Obat anti kejang
6. Obat pengendur otot ( untuk mengurangi tremor dan kekakuan)
: baclofen dan diazepam
7. Terapi okupasional
8. Bedah ortopedik / bedah saraf, untuk merekonstruksi terhadap
deformitas yang terjadi
9. Terapi wicara bisa memperjelas pembicaraan anak dan
membantu mengatasimasalah makan
10. Perawatan (untuk kasus yang berat)
Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang bera, banyak anak
dengan CP yang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah biasa. Anak
lainnya memerlukan terapi fisik yang luas pendidikan khusus dan selalu
memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pada beberapa
kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang semakin memburuk
akibat kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan
juga perlu dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk
mengendalikan pefluks gastroesofageal.
g. Askep
i. Pengkajian
1. Data Umum
Mencakup identitas pasien dan penanggung jawab pasien
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal
dan post natal serta keadaan sekitar kelahiran.
3. Keluhan dan manifestasi klinik
Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang
berhubungan dengan pencapaian perkembangan :
- Perlambatan perkembangan motorik kasar
Manifestasi umum, keterlambatan pada semua pencapaian
motorik, namun meningkat sejalan dengan pertumbuhan.
- Tampilan motorik abnormal
Penggunaan tangan unilateral yang terlaalu dini, merangkak
asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter
atau tidak terkoordinasi, buruk menghisap, kesulitan makan,
sariawan lidah yang menetap.
- Perubahan tonus otot
Peningkatan atau penurunan tahanan pada gerakan pasif,
postur opistotonik (lengkung punggung berlebihan), merasa
kaku saat memegang atau berpakaian, kesulitan dalam
menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul
dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).
- Posture abnormal
Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada
posisi telungkup, menyilangkan atau mengekstensikan kaki
dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi telentang,
lengan abduksi pada bahu, siku fleksi, tangan mengepal.
- Abnormalitas refleks
Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada
pada usia berapa pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan),
Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetaap atau
hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek
meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan
pasif cepat.
- Kelainan penyerta (bisa ada, bisa juga tidak).
Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental
pada kira-kira dua pertiga individu). Kerusakan perilaku dan
hubungan interpersonal. Gejala lain yang juga bisa
ditemukan pada cerebral palsy adalah:
1. Kecerdasan di bawah normal
2. Keterbelakangan mental
3. Gangguan menghisap atau makan
4. Pernafasan yang tidak teratur
5. Gangguan perkembangan kemampuan motorik
(misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling,
merangkak, berjalan)
6. Gangguan berbicara (disartria)
7. Gangguan penglihatan
8. Gangguan pendengaran
9. Kontraktur persendian
10. Gerakan terbatas
4. Pemeriksaan Fisik
- Muskuluskeletal: spastisitas, ataksia
- Neurosensory:
i. gangguan menangkap suara tinggi
ii. Gangguan bicara
iii. Anak berliur
iv. Bibir dan lidah terjadi gerakan dengan sendirinya
- Nutrisi: intake yang kurang
5. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan klinis untuk mengidentifikasi ketidaknormalan
tonus, seringnya terjadi hipotonik yang diikuti dengan
hipertonik, ketidaknormalan postur dan keterlambatan
perkembangan motoric
- CT scan untuk mendeteksi lesi-lesi susunan saraf pusat
- Tomografi emisi positron dan tomografi terkomputerisasi
emisi foton tunggal untuk melihat metabolisme dan perfusi
otak.
- MRI untuk mendeteksi lesi-lesi kecil.
- Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan
setelah diagnosis CP ditegakkan.
- Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita
kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang
maupun yang tidak.
- Foto kepala (X-ray) dan CT Scan.
- Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan
tingkat pendidikan yang diperlukan.
ii. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan proses menelan.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
neuromuskular pada sistem pendengaran.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.
4. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi motorik.
iii. Intervensi dan Implementasi
C. Intervensi dan Implementasi
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
Gangguan Tujuan: 1. Ajarkan pola 1. Memberikan intake yang
nutrisi kurang Pemenuhan nutrisi makan yang adekuat dan menghindari
dari kebutuhan pasien adekuat teratur terjadinya
tubuh Kriteria hasil 2. Anjurkan untuk komplikasi/memperberat
berhubungan 1. Adanya kemajuan berpartisipasi penyakit lebih lanjut.
dengan peningkatan berat dalam program
gangguan badan. latihan/kegiatan 2. Dengan adanya kegiatan
proses 2. Berat badan pasien 3. Jaga kebersihan maka klien akan merasa
menelan normal/ideal sesuai mulut pasien lapar dan akhirnya
usia pasien 4. Kolaborasi dengan muncul keinginan klien
ahli gizi dalam untuk memenuhi
pemberian nutrisi nutrisinya.
3. Kebersihan mulut anak
akan memudahkan dan
meningkatkan nafsu
pasien untuk
makan/pemenuhan
nutrisi.
4. Meningkatkan gizi anak
Gangguan Tujuan 1. Kaji derajat 1. Menentukan derajat
komunikasi Pasien mampu disfungsi pada kerusakan serebral yang
verbal melakukan proses sistem pendegaran terjadi dan kesulitan
berhubungan komunikasi dalam yang dialami. pasien dalam beberapa
dengan kekurangan yang ada. atau seluruh tahap proses
gangguan Kriteria hasil komunikasi.
neuromuskular 1. Adanya pemahaman 2. Perhatikan 2. Pasien mungkin
pada sistem tentang masalah kesalahan dalam kehilangan kemampuan
pendengaran komunikasi komunikasi dan untuk memantau ucapan
2. Menggunakan berikan umpan yang keluar dan tidak
sumber-sumber balik. menyadari bahwa
dalam komunikasi 3. Berikan metode komunikasi yang
dengan tepat komunikasi diucapkannya tidak
3. Mampu alternatif, seperti jelas. Umpan balik
mengggunakan menlis di papan membantu pasien
metode komunikasi tulis, gambar. merealisasikan kenapa
untuk Berikan petunjuk pemberi asuhan tidak
menegspresikan visual (gerakan mengerti/bersepon dan
kebutuhan tangan, gambar- memberikan kesempatan
gambar, daftar untuk
kebutuhan, mengklarifikasikan
demonstrasi). isi/makna yang
4. Kolaborasi dengan terkandung dalam
ahli terapi wicara ucapannya.
3. Memberikan metode
komunikasi yang dapat
dipahami oleh pasien.
4. Pengkajian secara
individual untuk
mengetahui kemampuan
bicara dan sensori,
motorik, dan kognitif
berfungsi ntuk
mengidentifikasi
kekurangan dan
kebutuhan terapi.
Gangguan Tujuan 1. Kaji kemampuan 1. Untuk mengidentifikasi
mobilitas fisik Pasien mampu secara derajat kekuatan atau
berhubungan melakukan aktivitas fungsional/luasnya kelemahan dan dapat
dengan Kriteria hasil kerusakan. memberikan informasi
kelemahan 1. Mampu 2. Berikan aktifitas tentang pemuliahan.
otot mempertahankan ringan yang dapat 2. Anak dapat
posisi optimal dan dikerjakan pasien. meningkatkan
fungsi yang 3. Libatkan anak kemampuan yang
dibuktikan dengan dalam mengatur dimiliki anaknya
tidak adanya jadwal harian dan walaupun terbatas.
kontraktur. memilih aktifitas 3. Membantu pemenuhan
2. Meningkatkan yang diinginkan kebutuhan
kekuatan dan fungsi 4. Bantu pasien 4. Membantu memberikan
bagian tubuh yang dalam pergerakan dorongan untuk latihan
terganggu. dan latihan dengan aktif sehingga terjadi
3. Mampumenggunakan menggunakan peningkatan fungsi dari
teknik untuk eksremitas yang ektremitas.
melakukan aktivitas. tidak sakit. 5. Membantu pasien dalam
5. Kolaborasi dengan menemukan kebutuhan
ahli fisioterapi. dan meningkatkan
keseimbangan,
koordinasi, dan kekuatan
otot.
Resiko cedera Tujuan 1. Identifikasi faktor
berhubungan Pasien terhindar dari yang
dengan resiko cidera mempengaruhi
Kriteria hasil
penurunan 1. Pasien dan keluarga kebutuhan
fungsi motorik menyatakan keamanan.
pemahaman faktor 2. Identifikasi faktor
yang menyebabkan lingkungan yang
cidera memungkinkan
2. Pasien menunjukkan terjadinya cedera
perubahan perilaku, 3. Berikan materi
pola hidup untuk pendidikan kepada
menurunkan faktor keluarga yang
resiko dan untuk berhubungan
melindungi diri dari dengan tindakan
cidera. pencegahan
terhadap cedera
4. Berikan informasi
kepada keluarga
terhadap bahaya
lingkungan dan
karakteristiknya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin, 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15 Nelson,
Jakarta : EGC
2. Dr. Soetjiningsih, SpAK, 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta : EGC
3. Santi Wijaya, Skep. Ns, 1999. Lumpuh Otak, Bandung : http//:id.wikipedia.org
4. Soetomenggolo, Taslim S, 1999. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia
5. Supriadi Skp dkk, 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta : Sagung Seto
6. Yulianto, 2000. Cerebral Palsy Pada Anak, Jakarta : http://www.pediatrik.com. 20
april 2008
7. Wong Donna L, 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4, Jakarta : EGC
IMAN NURPAKAS 11161040000044

You might also like