You are on page 1of 14

Makalah Akhlak tentang ghibah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang menciptakan semua baik yang ada pada manusia atau pun apa yang
melingkupi kehidupan manusia. Lidah, merupakan anungrah Allah yang dapat membawa manfaat dan
sebaliknya bisa menjadi penyebab masuknya seseorang kedalam api neraka. Ghibah yang merupakan
salah satu ulah lidah yang sekarang telah menjadi budaya bagi ibu-ibu yang didorong oleh penyakit hati.
Tidak hanya berhenti disana, ghibah telah dibiasakan dengan adanya infotaiment yang bisa kita lihat tiap
pagi, siang sore, dan itu menjadi tayangan favorit dari berbagai kalangan, dari kecil hingga dewasa. Miris
memang, ketidak tahuan hokum tentang ghibah merupakan salah satu factor kenapa minat terhadap
ghibah slalu meningkat.

Ghibah dimanapun dan kapanpun merupakan akhlak tercela yang tidak patut kita sebagai muslim
menjadikan budaya dilingkungan masyarakat ataupun keluarga. Berbagai akibat dari bahya ghibah, baik
iut dari lingkungan sendiri (lingkungan social), atau pun dalam diri kita sendiri secara emosi.

Dalam makalah ini pemaklah mencoba memaparkan pentingnya mnejaga lidah dari bahaya
membicarakan orang lain baik sepengetahuannya atau pun tidak diketahui olehnya. Dalam infotaiment
misalnya, budaya membincangkan aib orang lain seakan-akan telah menjadi biasa dan memilki banyak
peminat, namun yang menjadi pertanyaan disini contohny berita atau membicarakan pernikahan
apakah juga termasuk ghibah, dan terkadang atas permintaan sendiri untuk ketenaran sang artis. Lebih
dari itu, dalam makalah ini kami mencoba memaparkan pengertian serta dalil al-qur’an dan hadits
tentang ghibah, hokum, macam-macam ghibah, batasan ghibah, serta tips untuk menghilangkan
keinginan untuk berghibah yang telah mengakar dikalangan masyarakat dewasa ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita maupun mayarakat luas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan makalah ini. Adapun perumusan
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pengertian atau dhefenisi Ghiba

2. Dalil tentang Ghiba

3. Motivasi Pendorong Ghibah dan Obat Penawarnya


4. Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah

5. Kontekstualisasi Hadits tentang Ghibah dalam Realita Sosial (Infotaiment)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian atau Definisi Ghibah

Secara etimologi, ghibah berasala dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya adalah mengupat,
menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan, atau gunjingan. Dapat juga diartikan
membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya atau tanpa sepengetahuan yang dibicarakan. Disisi
lain an-Nawawi mendefinisikan ghibah adalah mengupat atau menyebut orang lain yang ia tidak suka
atau memebencinya, terutama dalam hal kehidupannya. Beliau mengatakan bahwa jarang sekali orang
yang bisa lepas dari menggunjing orang lain.

Secara terminology atau bahasa, ghibah adalah memebicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia mendegar maka ia tidak
menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat dalam diri yang dibicarakan itu berarti
dusta atau mengada-ada dan itu merupaka dosa yang lebih besar dari ghibah itu sendiri. Tidak berbeda
dengan definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam menjelaskan tentang ghibah yaitu menbicarakan
kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya, dan jika ia mnegetahui maka ia tidak suka walaupun yang
dibicarakan adalah benar. Dalam hadits Nabi saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah sebagai beriku;

ِ‫يز‬ ْ ‫عبْد‬
ِ ‫ِِالعَ ِز‬ َ ِ‫َحدَّثَنَاِقت َ ْيبَةِِ َحدَّثَنَا‬
ْ ‫َِِللاِِِ َم‬
َِِ‫اِال ِغي َبةِِقَا َلِِ ِذ ْكركَِِأَخَاك‬ َّ ‫اِرسو َل‬ َ ‫ع ْنِِأ َ ِبيِه َري َْرةَِِقَا َلِِ ِقي َلِِ َي‬ َ ِِ‫ع ْنِِأ َ ِبي ِه‬
َ ِِ‫ِِالرحْ َم ِن‬ ْ ‫ع ْن‬
َ ِِ‫ِِال َع ََل ِءِِب ِْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ِِ‫ِبْنِِم َح َّمد‬
َ ‫ِب َماِ َي ْك َرهِِقَا َلِِأ َ َرأَيْتَِِ ِإ ْنِِ َكانَِِ ِفي ِهِِ َماِأَقولِِقَا َلِِ ِإ ْنِِ َكانَِِفِي ِهِِ َماِت َقولِِفَقَ ْدِِا ْغت َ ْبت َه‬
ِِ‫ِِو ِإ ْنِِلَ ْمِِ َيك ْنِِ ِفي ِهِِ َماِت َقولِِفَقَ ْد‬
ِ‫ص ِحيح‬ َ ِِ‫سن‬ َ ‫سىِ َهذَاِ َحدِيثِِ َح‬ َ ‫ع ْمروِقَا َلِِأَبوِ ِعي‬ َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ِِ‫َِِللاِِِب ِْن‬ َ ‫ِِو‬
َ ‫ِِواب ِْنِِع َم َر‬ َ َ ‫ع ْنِِأَبِيِبَ ْرزَ ة‬ َ ِ‫يِالبَاب‬ ِْ ِ‫ِِوف‬ َ ‫بَ َهتَّهِِقَا َل‬

“ Seseorang bertanya pada Nabi saw, wahai Rosulullah, apakah yang dinamakan ghibah itu?,
ghibah ialah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci,si penanya bertanya
kembali,’wahai Rosullullah bagaimana pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar apa adanya?,
Rosulullah menjawab, kalau memang ada padanya maka itu ghibah namanya, dan jika tidak maka
kamu telah berbuat buhtan (dusta)”.

Berikut dapat disimpulkan beberapa poin tentang definisi ghibah diatas:

1. Membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, baik dengan ucapan,
sindiran ataupun dengan isyarat.

2. Menbicarakan aib orang lain,walaupun yang dibicarakan adalah benar adanya pada diri yang dibicarakan.

3. Jika yang dibicarakan mengetahui maka ia akan tidak suka aibnya dibicarakan pada orang lain.

4. Hal yang dibicarakan meliputi, kehidupan pribadi, keluarga maupun spiritual sesorang.

5. Karena membicarakan tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, ini artinya perbuatan licik dan pasti
perbuatan ini mengandung unsur keinginan untuk merusak harga diri, atau kemulyaan seseorang.

B. Dalil tentang Ghibah

Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk membicarakan orang
lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan dalam Qs, al-Hujurat: 12,

ِz`ÏiBÇd`©à9$#ِ#ZŽ•ÏWx.ِ(#qç7Ï^tGô_$#ِ(#qãZtB#uäِtûïÏ%©!$#ِ$pkš‰r'¯»tƒ
Nä3àÒ÷èِŸwur=tGøótƒِ(#qÝ¡¡¡pgrBِŸwurِ(ِÒOøOÎ)ِÇd`©à9$#ِuÙ÷ètِžcÎ)
ِ$\GøŠtBِzNóss9ÏmŠÅzr&ِŸ@à2ù'tƒِbr&ِóOà2߉tnr&ِ•=Ïtä†r&ِ4ِ$³Ò÷ètِ
×LìÏm§‘ِ©!$#Ò>#§qs?ِ¨bÎ)ِ4ِ©!$#ِ(#qà)¨?$#urِ4ِçnqßJçF÷dÌ•s3sù
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa perbuatan mengunjing orang lain merupakan perbuatan yang
keji dan menjijikkan seperti yang digambarkan oleh Allah bahwa seseorang yang mengunjing ibaratkan
memakan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai saudarnya).

Adapun hadits yang berbicara tentang Ghibah atau bahaya lisan sangat banyak dijumpai dalam
kitab-kitab hadits berikut;
َّ َّ‫صل‬
ِِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْنِِأَبِيِه َري َْرةَِِقَا َلِِقَا َل‬
َّ ‫ِِرسول‬
َ ِِِ‫َِِللا‬ َ ِ‫ع ْنِِأَبِي‬
َ ِِ‫صا ِلح‬ َ ِِ‫صين‬ ِ ‫ع ْنِِأَبِيِ َح‬ َ ِِ‫ص‬ ْ ‫َحدَّثَنَاِأَبوِبَ ْكرِِ َحدَّثَنَاِأَب‬
ِ ‫وِاْلَحْ َو‬
ِْ ‫ِِاْل ِخ ِرِِفَ ْليَق ْلِِ َخي ًْراِأ َ ْوِِ ِليَسْك‬
‫ت‬ ْ ‫ِِو ْاليَ ْو ِم‬ َّ ِ‫سلَّ َمِِ َم ْنِِ َكانَِِيؤْ ِمنِِب‬
َ ِ‫اَلل‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ِِو‬ َ

“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau diam”.-
(HR.Bukhari-Muslim)

ِِ‫ِِاْلي َمانِِقَ ْل َبه‬


ِ ْ ‫ِِولَ ْمِِ َيدْخ ْل‬
َ ‫سا ِن ِه‬َ ‫سلَّ َمِِيَاِ َم ْعش ََرِِ َم ْنِِآ َمنَِِ ِب ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِِ‫ىَِللا‬ َّ ‫ِِرسول‬
َ ِِِ‫َِِللا‬ ْ َ ‫ع ْنِِأ َ ِبيِ َب ْرزَ ة‬
َ ‫ِِاْل َ ْسلَ ِمي ِِِقَا َلِِقَا َل‬ َ
ِِ‫ضحْ ه‬ ْ
َ ‫ع ْو َرت َهِِيَف‬ َّ َّ ْ
َ ِِ‫ِِو َمنِِيَتبِ ْعَِِللا‬ َ ‫ع ْو َرت َه‬ َّ َّ
َ ِِ‫ع ْو َراتِ ِه ْمِِيَتبِعَِِللا‬ َّ ْ َّ َ
َ ِِ‫ع ْو َراتِ ِه ْمِِفإِنهِِ َمنِِاتبَ َع‬ َّ َ َ
َ ِ‫ِينَِِولِِتتبِعوا‬ ْ
َ ‫َلِِتغت َابواِالم ْس ِل ِم‬ ْ َ
ِِ ‫فِيِبَ ْيتِه‬
ِ

“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian
menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka karena siapa yang
mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya Dia akan membuka
kejelekannya meskipun berda dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibn Hibban).

َ ‫يمِِقَ ْلبه‬
ِِ‫ِِو َل‬ َ ‫عبْدِِ َحتَّىِيَ ْست َ ِق‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ِِ‫ِِلِِيَ ْست َ ِقيمِِ ِإي َمان‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْنِِأَن َِسِِب ِْنِِ َما ِلكِِقَا َلِِقَا َل‬
َّ ‫ِِرسول‬
َ ِِِ‫َِِللا‬ َ ِِ‫َحدَّثَنَاِقَت َادَة‬
ِ‫سانه‬ َ ‫َي ْست َ ِقيمِِقَ ْلبهِِ َحتَّىِ َي ْست َ ِق‬
َ ‫يمِِ ِل‬
“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya tidak istiqomah sebelum
lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)

َّ َّ‫صل‬
ِِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْن‬
َّ ‫ِِرسو ِل‬
َ ِِِ‫َِِللا‬ َ ِِ‫س ْعد‬
َ ِِ‫س ْه ِلِِب ِْن‬َ ِِ‫ع ْن‬ ِ ‫س ِم َعِِأَبَاِ َح‬
َ ِِ‫ازم‬ َ ِِ‫ِِالمقَد َِّميِِ َحدَّثَنَاِع َمرِِبْن‬
َ ِِ‫ع ِلي‬ ْ ‫َحدَّثَنَاِم َح َّمدِِبْنِِأَبِيِبَ ْكر‬
ْ ‫ض َم ْنِِلَه‬
َ‫ِِال َجنَّ ِة‬ ْ َ ‫ْنَِِرجْ لَ ْي ِهِِأ‬
ِ ‫ِِو َماِبَي‬ ْ َ‫سلَّ َمِِقَا َلِِ َم ْنِِي‬
َ ‫ض َم ْنِِ ِليِ َماِبَيْنَِِلَحْ يَ ْي ِه‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ِِو‬ َ
“ Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa diantara dua kakinya
(kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR. al-Bukhari, Tirmudzi, dan Ahmad)

Ada dua pelanggaran yang dilkukan oleh yang suka membicarakan orang lain, yaitu pelanggaran
terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang dimurkainya, dan tebusannya adalah dengan taubat
dan menyesali perbuatannya. Sedangkan yang kedua adalah pelanggaran terhadap kehormatan sesama.
Jika ghibah telah di dengar oleh orangnya maka dia harus menemuinya dan meminta maaf atas
perbuatannya dalam membicarakan aibnya. Dalam hal ini sangatlah berat karena dosanya tidak hilang
selama orang tersebut tidak memaafkan. Dalam hal ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau
bersabda:

ِِ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه‬


َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِِ‫ىَِللا‬ َ ِِِ‫َِِللا‬َّ ‫ِِرسو َل‬ َ ‫ع ْنِِأَبِيِه َري َْرةَِِأ َ َّن‬ ْ ‫س ِعيد‬
َ ِِِ ‫ِِال َم ْقب ِري‬ َ ِِ‫ع ْن‬ َ ِِ‫َحدَّثَنَاِإِ ْس َما ِعيلِِقَا َلِِ َحدَّثَنِيِ َما ِلك‬
َ ‫ِِم ْنِِ َح‬
ِِ‫سنَاتِ ِه‬ ِ َ‫ِِم ْنِِقَ ْب ِلِِأ َ ْنِِيؤْ َخذ‬
ِ ‫ِِْل َ ِخي ِه‬ ِ ‫ِِو َلِِد ِْرهَم‬َ ‫ْسِِث َ َّمِِدِينَار‬ ِ ‫ِِْل َ ِخي ِهِِفَ ْليَت َ َحلَّ ْله‬
َ ‫ِِم ْن َهاِفَإِنَّهِِلَي‬ ْ ‫َتِِ ِع ْندَهِِ َم‬
ِ ‫ظ ِل َمة‬ ْ ‫قَا َلِِ َم ْنِِ َكان‬
‫علَ ْي ِِه‬ ْ ‫تِِأ ِخي ِهِِفَط ِر َح‬
َ ِِ‫ت‬ َ ِ ‫سيِئ َا‬ َ ِِ‫ِِم ْن‬ ِ َ‫سنَاتِِأ ِخذ‬ َ ‫فَإ ِ ْنِِلَ ْمِِيَك ْنِِلَهِِ َح‬

“ Siapa yang melakukan suatu kedzoliman terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya,
maka hendaklah ia menemuainya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu, sebelum dia
dihukum, sementara dia tidak memepunyai dirham atau pun dinar. Jika dia memilki kebaikan, maka
kebaikan-kebaikan itu akan diambil lalu diberikan pada saudarnya itu. Dan jika tidak, maka sebagian
keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan padanya”. (HR. Bukhari)

C. Motivasi Pendorong Ghibah dan Obat Penawarnya


Dikarenakan ghibah merupakan perbuatan yang sangat digandrungi sebagian besar dari
kalangan ibu-ibu, maka sebelum membicarakan solusi agar terhindar dari sifat ghibah, terlebih dahulu
menjelaskan sebab yang umum terjadinya ghibah dalam masyrakat, berikut sebab-sebabnya;

1. Ingin mengangkat derajat diri sendiri dengan membicarakan keburukan orang lain, artinya untuk
menguatkan posisinya atas orang lain, serta agar orang lain menganggap ia yang lebih dari orang lain.

2. Karena penyakit hati seperti, iri dengan keberhasilan dan kemulyaan teman atau tetangganya, sombong
akan kelebihan diri sehingga merendahkan orang lain dengan ghibah, serta balas dendam terhadap
kejahatan yang pernah orang lain lakukan terhadap dirinya.

3. Dalam rangka melampiaskan amarah yang memuncak, ketika ia sedang marah maka ia melakukan
ghibah untuk melampiaskan amarahnya tersebut.

4. Terkadang terdapat dalam lelucon atau gurauan yang merendahkan orang lain.

5. Terkadang karena iba terhadap teman yang ditimpa kesedihan karena perbuatan sesorang misalnya,
maka ia dengan tidak sadar agar temannnya merasa lega yaitu dengan menggunjing orang tersebut,
dalam hal ini dikarenakan salah paham dalam memahami maksud kesetiakawanan.

6. Dalam realita social, ghibah terjadi juga dikarenakan oleh nilai materi, misalnya dalam tayangan
infotaiment yang akan menjadi daya jual bagi produser-produser televise.

Setelah mengetahui beberapa factor atau motivasi diatas sebagai penyebab terjadinya ghibah
di masyarakat hendaklah dihindari dengan beberapa tips berikut;

1. Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing saudaranya, sedangkan
kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan jika pun orang yang dibicarakan tidak memilki
kebaikan maka keburukannya akan kembali pada yang menggunjing.

2. Jika terlintas dalam fikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi diri dengan melihat aib
diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya merasa malu jika membicarakan aib orang lain
sedangkan aib sendiri tidak terhitung jumlahnya.

3. Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri nikmat yang telah dilebihkan
Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan melakukan ghibah.

4. Menjada diri dari sifat-sifat tercela seperti iri dengki dengan keberhasilan orang lain, sombong dengan
kelebihan diri sendiri, serta menjauhi sifat dendam.

5. Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak ikut serta dalam
ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah terhadap siapa yang mencari keridhaan
manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.

6. Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji. Serta sebisa mungkin
menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak bermanfaat.

D. Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah

Ada beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah yang
mempunyai tujuan yang benar menurut sayri’at yang tujuan ini menurutnya tidak dapat dicapai kecuali
hanya dengan cara itu, dalam hal ini dosa ghibah dianggap tidak ada, diantarnya adalah:

1. Karena adanya tindak kedzoliman, orang yang didzolimi boleh menyebut keburukan orang yang berbuat
dzolim kepada sesorang yang mampu atau bisa mengembalikan haknya (penguasa/pemerintah, hakim
atau yang berwenang dalam memutuskan perkara yang hak), dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 148
Allah berfirman: ‫علِي ًما‬
َ ‫َللاه سَمِ يعًا‬ ‫َللاه الجَه َر بِالسُّوءِ ِمنَ القَو ِل إِ َّل َمن ه‬
ّ َ‫ظ ِل َم َوكَان‬ ّ ‫ب‬ ُّ ِ‫ََل يهح‬
“ Allah tidak mencintai orang yang suka menceritakan keburukan orang lain kecuali bagi orang yang
teraniaya, dan Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui”

2. Sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang dzlim atau yang berbuat
maksiat kepada jalan yang benar (memperingati dari kejahatan). Dalam hal ini umat muslim saling
tolong-menolong dalam beramar ma’ruf nahi munkar.

3. Dibolehkan dalam menyebutkan ciri-ciri seperti pincang, si buta, si pendek agar orang lain cepat faham
(bukan membicarakan keburukan akan tetapi mengungkapkan bentuk atau cirri kepada orang yang
bertanya).

4. Dalam hal ini ulama sepakat dalam menilai rawi (al-Jarh wa Ta’dil) boleh dan bahkan harus diungkapkan
pada kaum muslimin untuk kemaslahatan dalam beribadah (ini kaitannya dalam penelitian hadits sohih
atau do’if).

5. Boleh menceritakan kepada khalayak ramai tentang orang yang melakukan perbuatan yang terlarang,
seperti mabuk-mabukan, menjarah, dan perbuatan bathil lainnya, seperti dalam hadits Nabi berikut, (Ibn
Qudaimah, h. 214).

6. Dalam rangka meminta fatwa, artinya dalam rangka membela haknya, namun dalam menyebutkan
keburukan lebih baiknya dengan kat-kat yang halus.

E. Kontekstualisasi Hadits tentang Ghibah dalam Realita Sosial (Infotaiment)

Ghibah atau bergunjing dalam masyarakat menyebabkan ketidaknyamanan, ini artinya bhawa
ghibah merupakan perbuatan yang benar-benar harus dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Berita
gosip di Televisi misalnya, lama-kelamaan pemberitaan dalam stasiun Televisi yang mengumbar-
ngumbar aib sesorang seakan sekarang sudah menjadi bagian dari konsumsi masyarakat, dan lebih
parahnya berita-berita tersebut sangat digandrungi. Dan hal ini jika terus dibudaykan maka berghibah
atau menggunjing orang lain sudah menjadi hal biasa dalam masyarakat khusunya kita Indonesia, setiap
pagi disuguhkan dengan berita-berita aib orang lain seperti perselingkuhan, perceraian dan bahkan
terkesan propokatif. Hal ini jelas-jelas melanggar ajaran Islam yang melarang mencela, menggunjing,
dan meremehkan orang lain. Meskipun memang dalam hokum Islam ghibah atau gosip tidak memilki
sanksi yang disebut denagn Ta’dzir,hanya diterangkan bahwa bagi pelakunya akan mendapat dosa atau
azab siksa yang berat.

Dalam permasalahan ghibah atau gossip, beberapa komunitas atau lembaga baik pemerintah
maupun non pemerintah misalnya Majlis Nahdatul ‘Ulama telah mengeluarkan fatwa haram terhadap
infotaiment dengan alasan bahwa acara gossip cenderung membuka aib dan mempergunjingkan
keburukan orang lain, hal ini tergolong ghibah dan hukumnya haram.

Dalam hadits nabi yang menyatakan tentang ghibah ada dua hal yang sangat urgen yaitu
“menceritakan aib” dan “benci jika ia mengetahui” maka dari dua kalimat inti tersebut dapat kita
simpulkan bahwa yang ternasuk ghibah adalah yang membuka iab orang lain dan jika ia mngetahui maka
ia tidak suka dan akibatnya akan mendatangkan permusuhan, kemarahan, dan bahkan bisa
pembunuhan. Dalam kasus ini yang perlu kita cermati dalam relita social kita, infotaiment misalnya yang
memberitakan seorang public figure dimana terkadang sanag public figure tersebut merasa diuntungkan
dengan adanya pemberitaan mengenai dirinya, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah khawatir
akan adanya pergeseran pemahaman masyrakat tentang makna bahaya ghibah, dan itu akan dianggap
sepele. Sedangkan hukuman bagi yang menggosip adalah tidak ringan seperti yang dijelaskan dalam
surah al-Hujurat ayat 12, disana ghibah dianalogikan seperti seseorang yang memakan daging
saudaranya yang sudah busuk.

Dari pemaparan tentang gosip di infotaiment diatas dapat disimpulkan bahwa berita yang
memalukan seperti perceraian, perselingkuhan, putus cinta, seks bebas termasuk unsur ghibah yang
tidak ingin dikonsumsi public karena mendorong ahl-hal yang akan merusak. Sedangkan berita-berita
bahagia seperti pernikahan (walaupun tidak semua mereka ingin diberitakan) jika ditarik pada makan
ghibah diatas ini bukan termasuk dalam kategori ghibah.
BAB III

KESIMPULAN

Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah merupakan perbuatan
tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan mengakibatkan perselisihan dikalangan
masyarakat. Ghibah akan mendatangkan banyak mudharat, diantaranya perselisishan, permusuhan,
dendam, perceraian dan bahkan bisa saja terjadi pembunuhan. Islam sebagai agamaRahmatan lil
‘Alamin mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi yang melakukan perbuatan tersebut akan
mendapatkan siksaan Allah.

Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui,
ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan keberhasilah saudaranya serta senantiasa bersyukur atas
nikmat yang telah diberikan Allah. Adapun ghibah yang dibebaskan atau ditolerir adalah ghibah dalam
hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka menegakkan kebenaran, dalam hal ini termasuk berita
tentang kasus suap (korupsi).

Melihat realita masyarakat dewasa ini ghibah seakan dianggap sepele karena masyarakat slalu
disuguhi dengan berita-berita selebriti dari pagi hingga siang, terkadang sangat berlebihan dan tidak
proporsional. Ini akan menimbulkan berbagai problem dalam masyarakat. Namun tidak semuanya
gossip tersebut mengandung unsure ghibah seperti penjelasan hadits Nabi diatas.
DAFTAR PUSTAKA

CD Room Kutub Tis’ah

al-Ghazali, Imam. Bahaya Lisan dan Cara Mengatasinya,terj. A. Hufaf Ibry. Surabaya: Tiga Dua. 1995.

An-Nawawi, al-Adzkar, terj. M. Tarsi Hawi. Bandung: Pustaka Ma’arif. 1984.

Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press.
2004.

Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi. cet XIII. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2007.

Taimiyah dkk, Ghibah, terj. Abu Azzam. Jakarta: Pustaka Kautsar. 1992.

Suhaimi, Muhammad Yasin. Bahaya Lisan Menurut al-Qur’an dan Sunnah. Malang: UMM Press. t.th
Makalah (Bahaya Ghibah)
BAB I

PENDAHULUAN

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah yang menciptakan semua baik yang ada pada manusia atau pun apa yang
melingkupi kehidupan manusia. Lidah, merupakan anungrah Allah yang dapat membawa manfaat dan
sebaliknya bisa menjadi penyebab masuknya seseorang kedalam api neraka. Ghibah yang merupakan
salah satu ulah lidah yang sekarang telah menjadi budaya bagi ibu-ibu yang didorong oleh penyakit hati.
Tidak hanya berhenti disana, ghibah telah dibiasakan dengan adanya infotaiment yang bisa kita lihat tiap
pagi, siang sore, dan itu menjadi tayangan favorit dari berbagai kalangan, dari kecil hingga dewasa. Miris
memang, ketidak tahuan hokum tentang ghibah merupakan salah satu factor kenapa minat terhadap
ghibah slalu meningkat.

Ghibah dimanapun dan kapanpun merupakan akhlak tercela yang tidak patut kita sebagai muslim
menjadikan budaya dilingkungan masyarakat ataupun keluarga. Berbagai akibat dari bahya ghibah, baik
iut dari lingkungan sendiri (lingkungan social), atau pun dalam diri kita sendiri secara emosi.

Dalam makalah ini pemaklah mencoba memaparkan pentingnya mnejaga lidah dari bahaya
membicarakan orang lain baik sepengetahuannya atau pun tidak diketahui olehnya. Dalam infotaiment
misalnya, budaya membincangkan aib orang lain seakan-akan telah menjadi biasa dan memilki banyak
peminat, namun yang menjadi pertanyaan disini contohny berita atau membicarakan pernikahan
apakah juga termasuk ghibah, dan terkadang atas permintaan sendiri untuk ketenaran sang artis. Lebih
dari itu, dalam makalah ini kami mencoba memaparkan pengertian serta dalil al-qur’an dan hadits
tentang ghibah, hokum, macam-macam ghibah, batasan ghibah, serta tips untuk menghilangkan
keinginan untuk berghibah yang telah mengakar dikalangan masyarakat dewasa ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita maupun mayarakat luas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian atau Definisi Ghibah

Secara etimologi, ghibah berasala dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya adalah mengupat,
menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan, atau gunjingan. Dapat juga diartikan
membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya atau tanpa sepengetahuan yang dibicarakan. Disisi
lain an-Nawawi mendefinisikan ghibah adalah mengupat atau menyebut orang lain yang ia tidak suka
atau memebencinya, terutama dalam hal kehidupannya. Beliau mengatakan bahwa jarang sekali orang
yang bisa lepas dari menggunjing orang lain.[1]

Secara terminology atau bahasa, ghibah adalah memebicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia mendegar maka ia tidak
menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat dalam diri yang dibicarakan itu berarti
dusta atau mengada-ada dan itu merupaka dosa yang lebih besar dari ghibah itu sendiri.[2] Tidak
berbeda dengan definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam menjelaskan tentang ghibah yaitu
menbicarakan kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya, dan jika ia mnegetahui maka ia tidak suka
walaupun yang dibicarakan adalah benar. Dalam hadits Nabi saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah
sebagai beriku; ‫يز‬ ْ ‫عبْد‬
ِِ ‫ِالعَ ِز‬ َ ِ‫َحدَّثَنَاِقت َ ْيبَةِ َحدَّثَنَا‬
ْ ‫َِللاِِ َم‬
ِ َ‫اِالغِيبَة ِقَا َل ِ ِذ ْكركَ ِأَخَاكَ ِبِ َماِيَ ْك َره ِقَا َل ِأ َ َرأَيْتَ ِإِ ْن ِ َكان‬ َّ ‫اِرسو َل‬ َ َ‫ع ْن ِأَبِِيِه َري َْرة َِقَا َل ِقِي َلِِي‬
َ ِِ‫ع ْن ِأ َ ِبيه‬
َ ِ ‫ِالرحْ َم ِن‬ ْ ‫ع ْن‬
َ ِ ‫ِالعَ ََلءِ ِب ِْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ِ ‫ِبْن ِم َح َّمد‬
ِ‫ع ْمرو‬ َّ ‫ع ْبد‬
َ ِ‫َِِللاِِب ِْن‬ َ ‫ِو‬ َ
َ ‫ع ْنِأبِيِبَ ْرزَ ة ََِواب ِْنِع َم َر‬ ْ
َ ِ‫ِِوفِيِالبَاب‬ َ َّ َ
َ ‫ِوإِ ْنِل ْمِيَك ْنِفِيهِِ َماِت َقولِفَقَدِْبَ َهتهِِقا َل‬ َ ‫فِيهِِ َماِأَقولِقالَِإِ ْنِ َكانَ ِفِيهِِ َماِت َقولِفَقَدِْاغت َ ْبت َه‬
ْ َ
ِ‫صحِ يح‬ َ ِ‫سن‬ َ ‫سىِ َهذَاِ َحدِيثِ َح‬ َ ‫قَالَِأَبوِعِي‬

“ Seseorang bertanya pada Nabi saw, wahai Rosulullah, apakah yang dinamakan ghibah itu?,
ghibah ialah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci,si penanya bertanya
kembali,’wahai Rosullullah bagaimana pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar apa adanya?,
Rosulullah menjawab, kalau memang ada padanya maka itu ghibah namanya, dan jika tidak maka
kamu telah berbuat buhtan (dusta)”.

Berikut dapat disimpulkan beberapa poin tentang definisi ghibah diatas:

1. Membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, baik dengan ucapan,
sindiran ataupun dengan isyarat.

2. Menbicarakan aib orang lain,walaupun yang dibicarakan adalah benar adanya pada diri yang
dibicarakan.

3. Jika yang dibicarakan mengetahui maka ia akan tidak suka aibnya dibicarakan pada orang lain.

4. Hal yang dibicarakan meliputi, kehidupan pribadi, keluarga maupun spiritual sesorang.

5. Karena membicarakan tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, ini artinya perbuatan licik dan pasti
perbuatan ini mengandung unsur keinginan untuk merusak harga diri, atau kemulyaan seseorang.

B. Hadits Nabi tentang Ghibah

Dalam al-Qur’an jiga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk membicarakan orang
lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan dalam Qs, al-Hujurat: 12,

ِuÙ÷èt/ِž cÎ)ِÇd`©à9$#ِz`ÏiBِ#ZŽ •ÏWx.ِ(#qç7Ï^tGô_$#ِ(#qãZtB#uäِtûïÏ%©!$#ِ$pkš ‰r'¯»tƒ


Nä3àÒ÷è-ِ=tGøótƒ ِŸwurِ(#qÝ¡¡¡pgrBِŸwurِÒOøOÎ)(ِÇd`©à9$#
ِ4ِçnqßJçF÷dÌ•s3sùِ$\GøŠ tBِzNóss9ÏmŠ Åzr&ِŸ@à2ù'tƒ ِbr&ِóOà2߉tnr&ِ•=Ïtä† r&ِ4ِ$³Ò÷èt/ِ/
×LìÏm§‘ ِÒ>#§qs?ِ©!$#ِ¨bÎ)ِ4ِ©!$#ِ(#qà)¨?$#ur

“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena


sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa perbuatan mengunjing orang lain merupakan perbuatan yang
keji dan menjijikkan seperti yang digambarkan oleh Allah bahwa seseorang yang mengunjing ibaratkan
memakan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai saudarnya).

Adapun hadits yang berbicara tentang Ghibah atau bahaya lisan sangat banyak dijumpai dalam
kitab-kitab hadits berikut;

َّ ِ‫سلَّ َمِ َم ْنِ َكانَ ِيؤْ مِ نِب‬


 ِِ‫اَلل‬ َ ‫علَ ْيه‬
َ ‫ِِو‬ َِّ َّ‫صل‬
َ ِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْنِأَبِيِه َري َْرة َِقَالَِقَال‬
َّ ‫َِرسول‬
َ ِِ‫َِللا‬ َ ِ‫ع ْنِأَبِي‬
َ ِ‫صالِح‬ ِ ‫ع ْنِأَبِيِ َح‬
َ ِ‫صين‬ َ ِ‫ص‬ ِ ‫وِاْلَحْ َو‬ ْ ‫َحدَّثَنَاِأَبوِبَ ْكرِ َحدَِّث َنَاِأَب‬
ِْ‫ِاْلخِ ِرِفَ ْليَق ْلِ َخي ًْراِأ َ ْوِ ِليَسْكت‬
ْ ‫َو ْاليَ ْو ِم‬

“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau diam”.-
(HR.Bukhari-Muslim)

 ِ‫ِو َل‬ ْ ‫ِاْلي َمانِقَِ ْل َبه َِلِت َ ْغت َاب‬


َ َ‫واِالم ْسلِمِ ين‬ ِ ْ ‫ِِولَ ْمِ َيدْخ ْل‬ َ ‫سلَّ َمِ َياِ َم ْعش ََرِ َم ْنِآ َمنَ ِ ِبِِل‬
َ ‫سا ِنه‬ َ ‫ِِو‬َ ‫علَ ْيه‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِ‫ىَِللا‬ َّ ‫َِرسول‬
َ ِِ‫َِللا‬ َ ‫َِاْل َ ْس َلمِ ي ِِقَالَِقَال‬ْ ‫ع ْنِأ َ ِبيِ َب ْرزَ ة‬ َ
‫ض ْحهِفِيِ َب ْيتِ ِِه‬ ْ
‫ف‬
َ َ َ َْ‫ي‬ِ ‫ه‬َ ِ
‫ت‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ع‬ ِ َّ
‫َِللا‬ ‫ع‬ ‫ب‬َّ ‫ت‬‫ي‬ ِ ْ
‫ن‬
ِْ َ َ َ َ َْ ‫م‬‫ِو‬ ‫َه‬ ‫ت‬‫ر‬ ‫و‬ ‫ع‬ِ َّ
‫َِللا‬ ‫ع‬ ‫ب‬ َّ ‫ت‬‫ي‬ِ ‫م‬‫ه‬ ‫ت‬
ِ ‫ا‬
ِ َ ْ ِ َ َْ َ َ‫ر‬ ‫و‬ ‫ع‬ِ ‫ع‬‫ب‬َّ ‫ت‬‫ِا‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ه‬ َّ ‫ن‬‫إ‬َ
َ ِ ْ ِ َ َْ‫ف‬ ِ ‫م‬‫ه‬‫ت‬
ِ ‫ا‬‫ر‬ ‫و‬ ‫ع‬ ِ‫وا‬ ‫ع‬ ‫ب‬ َّ
ِ ‫تَت‬

“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian
menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka karena siapa yang
mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya Dia akan membuka
kejelekannya meskipun berda dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibn Hibban).
 ِ‫سانه‬ َ ‫ِو َلِيَ ْستَقِيمِقَ ْلبهِ َحتَّىِيَ ْستَق‬
َ ‫ِيمِ ِل‬ َ ‫ِيمِقَ ْلبه‬
َ ‫سلَّ َم َِلِيَ ْستَقِيمِإِِي َمانِ َعبْدِ َحتَّىِيَ ْستَق‬ َ ‫علَ ْيه‬
َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْنِأَن َِسِب ِْنِ َمالِكِقَالَِقَال‬
َّ ‫َِرسول‬
َ ِِ‫َِللا‬ َ ِ‫َحدَّثَنَاِقَت َادَة‬

“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya tidak istiqomah sebelum
lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)

ْ َ‫سلَّ َمِقَالَِ َم ْنِي‬


 ِ‫ض َم ْنِلِي‬ َ ‫علَ ْيه‬
َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِ‫ىَِللا‬ َ ‫ع ْن‬
َّ ‫ِرسو ِل‬
َ ِِ‫َِللا‬ َ ِ‫س ْعد‬ َ ِ‫ازمِ َع ْن‬
َ ِ‫س ْه ِلِب ِْن‬ ِ ‫ح‬َِ ِ‫سمِ َعِأَبَا‬ َ ِ‫ِالمقَدَّمِ يِ َحدَّثَنَاِع َمرِبْن‬
َ ِ‫علِي‬ ْ ‫َحدَّثَنَاِم َح َّمدِبْنِأَبِيِبَ ْكر‬
ْ ‫ض َم ْنِلَه‬
َ‫ِال َجنَّ ِة‬ ْ َ ‫ِرجْ لَ ْيهِِأ‬ َ ‫َماِبَيْنَ ِلَحْ يَ ْيه‬
ِ َ‫ِِو َماِبَيْن‬

“ Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa diantara dua kakinya
(kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR. al-Bukhari, Tirmudzi, dan Ahmad)

Ada dua pelanggaran yang dilkukan oleh yang suka membicarakan orang lain, yaitu pelanggaran
terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang dimurkainya, dan tebusannya adalah dengan taubat
dan menyesali perbuatannya. Sedangkan yang kedua adalah pelanggaran terhadap kehormatan sesama.
Jika ghibah telah di dengar oleh orangnya maka dia harus menemuinya dan meminta maaf atas
perbuatannya dalam membicarakan aibnya. Dalam hal ini sangatlah berat karena dosanya tidak hilang
selama orang tersebut tidak memaafkan. Dalam hal ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau
bersabda:

ْ ‫سلَّ َمِقَالَِ َم ْنِكَانَتْ ِ ِع ْندَهِ َم‬


ِ‫ظ ِل َمة‬ َ ‫علَ ْيه‬
َ ‫ِِو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ِ‫ىَِللا‬ َّ ‫ِرسول‬
َ ِِ‫ََِللا‬ َ ‫ع ْنِأ َ ِبيِه َري َْرة َِأ َ َّن‬َ ِِ ‫ي‬ ْ ‫سعِيد‬
ِ ‫ِال َم ْقب ِر‬ َ ِ‫َحدَّثَنَاِ ِإ ْس َماعِيلِقَالَِ َحدَّثَنِيِ َمالِك‬
َ ِ‫ع ْن‬
ِ ْ‫س ِيئ َاتِِأَخِ يهِِفَط ِر َحت‬ َ ِ‫سنَاتِأخِ ذَِمِ ْن‬ َ ‫سنَاتِهِِفَإ ِ ْنِلَ ْمِ َيك ْنِلَهِ َح‬ َِ ِ‫ِو َلِد ِْرهَمِمِ ْنِقَ ْب ِلِأ َ ْنِيؤْ َخذَ ِِْلَخِ يهِِمِ ْن‬
َ ‫ح‬ َ ‫ِْلَخِ يهِِفَ ْل َيت َ َحلَّ ْلهِمِ ْن َهاِفَإِنَّهِلَي‬
َ ‫ْسِث َ َّمِدِينَار‬
‫علَ ْي ِِه‬
َ

“ Siapa yang melakukan suatu kedzoliman terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya,
maka hendaklah ia menemuainya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu, sebelum dia
dihukum, sementara dia tidak memepunyai dirham atau pun dinar. Jika dia memilki kebaikan, maka
kebaikan-kebaikan itu akan diambil lalu diberikan pada saudarnya itu. Dan jika tidak, maka sebagian
keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan padanya”. (HR. Bukhari)

C. Motivasi Pendorong Ghibah dan Obat Penawarnya

Dikarenakan ghibah merupakan perbuatan yang sangat digandrungi sebagian besar dari
kalangan ibu-ibu, maka sebelum membicarakan solusi agar terhindar dari sifat ghibah, terlebih dahulu
menjelaskan sebab yang umum terjadinya ghibah dalam masyrakat, berikut sebab-sebabnya;

1. Ingin mengangkat derajat diri sendiri dengan membicarakan keburukan orang lain, artinya untuk
menguatkan posisinya atas orang lain, serta agar orang lain menganggap ia yang lebih dari orang lain.

2. Karena penyakit hati seperti, iri dengan keberhasilan dan kemulyaan teman atau tetangganya, sombong
akan kelebihan diri sehingga merendahkan orang lain dengan ghibah, serta balas dendam terhadap
kejahatan yang pernah orang lain lakukan terhadap dirinya.

3. Dalam rangka melampiaskan amarah yang memuncak, ketika ia sedang marah maka ia melakukan
ghibah untuk melampiaskan amarahnya tersebut.

4. Terkadang terdapat dalam lelucon atau gurauan yang merendahkan orang lain.

5. Terkadang karena iba terhadap teman yang ditimpa kesedihan karena perbuatan sesorang misalnya,
maka ia dengan tidak sadar agar temannnya merasa lega yaitu dengan menggunjing orang tersebut,
dalam hal ini dikarenakan salah paham dalam memahami maksud kesetiakawanan.

6. Dalam realita social, ghibah terjadi juga dikarenakan oleh nilai materi, misalnya dalam tayangan
infotaiment yang akan menjadi daya jual bagi produser-produser televise.

Setelah mengetahui beberapa factor atau motivasi diatas sebagai penyebab terjadinya ghibah
di masyarakat hendaklah dihindari dengan beberapa tips berikut;[3]
1. Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing saudaranya, sedangkan
kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan jika pun orang yang dibicarakan tidak memilki
kebaikan maka keburukannya akan kembali pada yang menggunjing.

2. Jika terlintas dalam fikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi diri dengan melihat aib
diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya merasa malu jika membicarakan aib orang lain
sedangkan aib sendiri tidak terhitung jumlahnya.

3. Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri nikmat yang telah dilebihkan
Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan melakukan ghibah.

4. Menjada diri dari sifat-sifat tercela seperti iri dengki dengan keberhasilan orang lain, sombong dengan
kelebihan diri sendiri, serta menjauhi sifat dendam.

5. Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak ikut serta dalam
ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah terhadap siapa yang mencari keridhaan
manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.

6. Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji. Serta sebisa mungkin
menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak bermanfaat.

D. Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah

Ada beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah yang
mempunyai tujuan yang benar menurut sayri’at yang tujuan ini menurutnya tidak dapat dicapai kecuali
hanya dengan cara itu, dalam hal ini dosa ghibah dianggap tidak ada,[4] diantarnya adalah:[5]

1. Karena adanya tindak kedzoliman, orang yang didzolimi boleh menyebut keburukan orang yang berbuat
dzolim kepada sesorang yang mampu atau bisa mengembalikan haknya (penguasa/pemerintah, hakim
atau yang berwenang dalam memutuskan perkara yang hak), dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 148
Allah berfirman: ‫ع ِلي ًما‬
َ ‫س ِميعًا‬
َ ‫َللاه‬ ‫وء ِمنَ القَو ِل ِإ َّل َمن ه‬
ّ َ‫ظ ِل َم َوكَان‬ ِ ‫س‬ُّ ‫َللاه ال َجه َر ِبال‬
ّ ‫ب‬ ُّ ‫ََل يه ِح‬
“ Allah tidak mencintai orang yang suka menceritakan keburukan orang lain kecuali bagi orang yang
teraniaya, dan Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui”

2. Sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang dzlim atau yang berbuat
maksiat kepada jalan yang benar (memperingati dari kejahatan). Dalam hal ini umat muslim saling
tolong-menolong dalam beramar ma’ruf nahi munkar.

3. Dibolehkan dalam menyebutkan ciri-ciri seperti pincang, si buta, si pendek agar orang lain cepat faham
(bukan membicarakan keburukan akan tetapi mengungkapkan bentuk atau cirri kepada orang yang
bertanya).

4. Dalam hal ini ulama sepakat dalam menilai rawi (al-Jarh wa Ta’dil) boleh dan bahkan harus diungkapkan
pada kaum muslimin untuk kemaslahatan dalam beribadah (ini kaitannya dalam penelitian hadits sohih
atau do’if).

5. Boleh menceritakan kepada khalayak ramai tentang orang yang melakukan perbuatan yang terlarang,
seperti mabuk-mabukan, menjarah, dan perbuatan bathil lainnya, seperti dalam hadits Nabi berikut, (Ibn
Qudaimah, h. 214).

6. Dalam rangka meminta fatwa, artinya dalam rangka membela haknya, namun dalam menyebutkan
keburukan lebih baiknya dengan kat-kat yang halus.

E. Kontekstualisasi Hadits tentang Ghibah dalam Realita Sosial (Infotaiment)

Ghibah atau bergunjing dalam masyarakat menyebabkan ketidaknyamanan, ini artinya bhaw
ghibah merupakan perbuatan yang benar-benar harus dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Berita
gosip di Televisi misalnya, lama-kelamaan pemberitaan dalam stasiun Televisi yang mengumbar-
ngumbar aib sesorang seakan sekarang sudah menjadi bagian dari konsumsi masyarakat, dan lebih
parahnya berita-berita tersebut sangat digandrungi. Dan hal ini jika terus dibudaykan maka berghibah
atau menggunjing orang lain sudah menjadi hal biasa dalam masyarakat khusunya kita Indonesia, setiap
pagi disuguhkan dengan berita-berita aib orang lain seperti perselingkuhan, perceraian dan bahkan
terkesan propokatif. Hal ini jelas-jelas melanggar ajaran Islam yang melarang mencela, menggunjing,
dan meremehkan orang lain. Meskipun memang dalam hokum Islam ghibah atau gosip tidak memilki
sanksi yang disebut denagn Ta’dzir[6], hanya diterangkan bahwa bagi pelakunya akan mendapat dosa
atau azab siksa yang berat.

Dalam permasalahan ghibah atau gossip, beberapa komunitas atau lembaga baik pemerintah
maupun non pemerintah misalnya Majlis Nahdatul ‘Ulama telah mengeluarkan fatwa haram terhadap
infotaiment dengan alasan bahwa acara gossip cenderung membuka aib dan mempergunjingkan
keburukan orang lain, hal ini tergolong ghibah dan hukumnya haram.

Dalam hadits nabi yang menyatakan tentang ghibah ada dua hal yang sangat urgen yaitu
“menceritakan aib” dan “benci jika ia mengetahui” maka dari dua kalimat inti tersebut dapat kita
simpulkan bahwa yang ternasuk ghibah adalah yang membuka iab orang lain dan jika ia mngetahui maka
ia tidak suka dan akibatnya akan mendatangkan permusuhan, kemarahan, dan bahkan bisa
pembunuhan. Dalam kasus ini yang perlu kita cermati dalam relita social kita, infotaiment misalnya yang
memberitakan seorang public figure dimana terkadang sanag public figure tersebut merasa diuntungkan
dengan adanya pemberitaan mengenai dirinya, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah khawatir
akan adanya pergeseran pemahaman masyrakat tentang makna bahaya ghibah, dan itu akan dianggap
sepele. Sedangkan hukuman bagi yang menggosip adalah tidak ringan seperti yang dijelaskan dalam
surah al-Hujurat ayat 12, disana ghibah dianalogikan seperti seseorang yang memakan daging
saudaranya yang sudah busuk.

Dari pemaparan tentang gosip di infotaiment diatas dapat disimpulkan bahwa berita yang
memalukan seperti perceraian, perselingkuhan, putus cinta, seks bebas termasuk unsur ghibah yang
tidak ingin dikonsumsi public karena mendorong ahl-hal yang akan merusak. Sedangkan berita-berita
bahagia seperti pernikahan (walaupun tidak semua mereka ingin diberitakan) jika ditarik pada makan
ghibah diatas ini bukan termasuk dalam kategori ghibah.

KESIMPULAN

Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah merupakan perbuatan
tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan mengakibatkan perselisihan dikalangan
masyarakat. Ghibah akan mendatangkan banyak mudharat, diantaranya perselisishan, permusuhan,
dendam, perceraian dan bahkan bisa saja terjadi pembunuhan. Islam sebagai agama Rahmatan lil
‘Alamin mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi yang melakukan perbuatan tersebut akan
mendapatkan siksaan Allah.

Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui,
ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan keberhasilah saudaranya serta senantiasa bersyukur atas
nikmat yang telah diberikan Allah. Adapun ghibah yang dibebaskan atau ditolerir adalah ghibah dalam
hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka menegakkan kebenaran, dalam hal ini termasuk berita
tentang kasus suap (korupsi).

Melihat realita masyarakat dewasa ini ghibah seakan dianggap sepele karena masyarakat slalu
disuguhi dengan berita-berita selebriti dari pagi hingga siang, terkadang sangat berlebihan dan tidak
proporsional. Ini akan menimbulkan berbagai problem dalam masyarakat. Namun tidak semuanya
gossip tersebut mengandung unsure ghibah seperti penjelasan hadits Nabi diatas.

DAFTAR PUSTAKA

CD Room Kutub Tis’ah

al-Ghazali, Imam. Bahaya Lisan dan Cara Mengatasinya,terj. A. Hufaf Ibry. Surabaya: Tiga Dua. 1995.
An-Nawawi, al-Adzkar, terj. M. Tarsi Hawi. Bandung: Pustaka Ma’arif. 1984.

Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press. 2004.

Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi. cet XIII. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
2007.

Taimiyah dkk, Ghibah, terj. Abu Azzam. Jakarta: Pustaka Kautsar. 1992.

Suhaimi, Muhammad Yasin. Bahaya Lisan Menurut al-Qur’an dan Sunnah. Malang: UMM Press. t.th

[1]
An-Nawawi, al-Adzkar, terj. M. Tarsi Hawi, ( Bandung: Pustaka Ma’arif, 1984), hlm. 809

[2]
Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), hlm. 18

[3]
Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2007), cet XIII, hlm. 211, lihat Imam al-Ghazali, Bahaya Lisan dan Cara Mengatasinya,terj. A. Hufaf
Ibry, (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hlm. 28-29

[4]
Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi, hlm. 213

[5]
Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, hlm. 22-23, lihat Ibnu
Taimiyah dkk,Ghibah, terj. Abu Azzam, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1992), hlm. 24-25, dan Muhammad Yasin
Suhaimi, Bahaya Lisan Menurut al-Qur’an dan Sunnah, (Malang: UMM Press, t.th), hlm. 6

[6]
Ta’dzir yaitu tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak memiliki sanksi atau denda.

Diposting 5th July 2012 oleh EEm ALie

You might also like