Professional Documents
Culture Documents
Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya
terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga
mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 dalam Anggayana
2002).
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati oleh
bahan dasar pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu : tahap
pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan proses
mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap berikutnya
adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan fisika pada
endapan pembentuk batubara (geochemical coalification) karena pengaruh suhu,
tekanan dan waktu.
Gambut merupakan batuan sedimen organik ( tidak padat ) yang dapat terbakar dan
berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di
permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak
terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya
merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas
bakteri atau jasad renik lainnya. Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, yang
dicirikan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak
memungkinkan bakteri aerob (bakteri yang memerlukan oksigen) hidup, maka sisa
tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang
sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi
Bab III 23
tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses
dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk
pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah
dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan umumnya
masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya lebih besar
dari 75 % (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50% (dalam keadaan
kering).
1. Evolusi tumbuhan
2. Iklim
3. Geografi dan tektonik daerah
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka
air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi
relief rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar
rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi
endapan marin. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang
terendapkan akan teroksidasi dan tererosi. Terjadinya kesetimbangan antara
penurunan cekungan / land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan
(kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal
(C.F.K Diessel, 1992).
Bab III 24
tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut
ombrogenik (high moor) (C.F.K Diessel, 1992).
Bab III 25
Tabel III. 1 Klasifikasi tingkat pembatubaraan (Modifikasi dari M.Teichmüller
and R. Teichmüller dalam E.Stach et al., 1982)
Bab III 26
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara antara lain:
1. Tipe pengendapan
Urutan tipe rawa di atas terutama terdapat pada gambut di lingkungan lacustrine
(danau) terutama pada daerah iklim sedang – lembab.
Bab III 27
Menurut Martini dan Glooschenko (1984) dalam C.F.K Diessel (1992), rawa
gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan jenis tumbuhan
pembentuk, yaitu :
a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau
tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French,
1987).
b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis
pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi
antara daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang
terkadang kering.
c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman
merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi
oleh tumbuhan berkayu.
3. Lingkungan pengendapan
Bab III 28
4. Persediaan bahan makanan
6. Temperatur gambut
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk
proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah, bakteri hidup
dengan baik sehingga proses kimia bisa berjalan baik.
Bab III 29
Selanjutnya berdasarkan lingkungan sedimenternya, C.F.K Diessel (1992)
membagi tempat terakumulasinya rawa gambut menjadi 4 (empat) bagian,
yaitu :
1. Braid Plain
Kandungan abu, sulfur total dan vitrinitenya umumnya rendah, sementara pada
daerah tropis kandungan vitrinite umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan
gambut umumnya kaya akan maseral inertinite (28%) karena suplai nutrisi
yang terbatas. Kandungan inertinite (khususnya semifusinite) yang besar
menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index) nya relatif tinggi yang
sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh
bahan kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan
warna batubara yang buram dapat menunjukkan bahwa secara periodik
permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan
abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (±20%), kemungkinan dapat berasal
dari banjir musiman dan keluarnya air tanah ke permukaan.
Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan
sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan.
Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan
dataran delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki
banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi
dan endapan sedimennya terutama terdiri atas perselingan batupasir dan lanau
/ lempung.
Bab III 30
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa,
dataran dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain.
Permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode
kemarau sehingga menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan
nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinite/
humotellinite dan secara kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang
rendah dibanding batubara pada lingkungan lainnya.
Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh
pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah
pada daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta
plain terutama terdiri dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi
oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut
sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi
lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik
halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara.
4. Barrier Beach
Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai
sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai
Bab III 31
rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka
sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih
rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi
alang-alang. Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air
pasang tidak tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah
tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat
dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut.
5. Estuari
Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan
utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion
hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasinya rendah merupakan
lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih
tinggi merupakan lingkungan payau atau laut. Kategori variable watertable
(kolom 3) adalah lingkungan air tawar namun dengan tinggi muka air tanah
berubah – ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa
Bab III 32
tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori
ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eurotrophy).
Kategori continuously wet dan intermittenly dry merupakan tipe rawa gambut yang
tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat
tinggi (iklim tropis), hanya pada intermittenly dry sering mengalami perubahan
musim, termasuk di dalamnya musim kering. Gambut yang terendapkan pada
lingkungan bog-ombrotrophic (kolom 4 dan 5) terbentuk dalam kondisi asam
dengan suplai makanan yang rendah (oligotrophy).
5 4 3 2-1 1-2 3 4 5
Bab III 33
III.3 Maseral pada Batubara
Secara umum batubara terdiri dari 3 (tiga) bagian utama, yaitu : material organik
(pure coal), material inorganik dan lengas (moisture). Porsi organik terdiri dari
fixed carbon dan volatile organic matter, sedangkan bagian anorganik didominasi
oleh mineral matter. Ketiga bagian batubara tersebut sebagian berasal dari unsur –
unsur penyusun tumbuhan asalnya yang telah mengalami proses fisika dan kimia
sejak pengendapannya serta selebihnya berasal dari sumber luar yang tercampur
dalam proses pembatubaraan.
Vitrinite / Huminite
Kelompok ini berasal dari jenis tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody
tissues) seperti batang, dahan, akar dan serat daun. Vitrinite adalah bahan utama
penyusun batubara di Indonesia ( >80%). Dibawah mikroskop, kelompok maseral
ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinite,
namun lebih gelap dari kelompok inertinite, berwarna mulai dari abu – abu tua
hingga abu – abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari tingkat
pembatubaraannya, semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan
semakin terang. Kelompok vitrinite mengandung unsur hidrogen dan zat terbang
yang persentasenya berada diantara inertinite dan liptinite.
Bab III 34
Tabel III.2 Klasifikasi maseral pada batubara : Australian Standart (1986)
Textinite
Telovitrinite Texto - Ulminite
Eu- Ulminite
Telocolinite
Vitrinite
Atrinite
Detrovitrinite
Densinite
Desmocolinite
Corpogelinite
Gelovitrinite
Porigelinite
Eugelinite
Sporinite
Cutinite
Resinite
Suberinite
Liptinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alginite
Bituminite
Fusinite
Teloinertinite Semifusinite
Sclerotinite
Inertinite
Inertodetrinite
Detroinertinite Micrinite
Geloinertinite Macrinite
Bab III 35
Liptinite
Kelompok ini berasal dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang
(algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan
morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite dibedakan menjadi sporinite
(spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite
(maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya yang keluar
pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu / serat gabus), fluorinite
(degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite lainnya),
alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae).
Inertinite
Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan
sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses
decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini
mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah
reflektansi yang tinggi diantara dua kelompok lainnya.
Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu
maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk
dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (C.F.K Diessel, 1992). Navale
Bab III 36
(1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon
relatif kaya akan desmocolinite, batubara dari lingkungan upper delta plain
dan fluviatil (wet forest swamp) kaya akan vitrinite dan material klastik
seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari lingkungan air tawar
biasanya lebih kaya akan telinite, resinite dan inertinite.
Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau
morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif
antara tiap maseral dalam batubara. C.F.K Diessel (1986) memperkenalkan
dua parameter utama dalam penentuan fasies batubara berdasarkan
komposisi maseral pada batubara yaitu : TPI (Tissue Preservation Index) dan
GI (Gelification Index).
Telovitrinite + Teloinertinite
TPI =
Detrovitrinite + Gelovitrinite + Inerto det rinite + Geloinertinite
Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada
tanaman yang mengandung banyak selulose (tumbuhan perdu), sedangkan
tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit
dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan
semakin tingginya persentase kehadiran tumbuh – tumbuhan kayu (dalam
hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite). Sementara
itu bila harga TPI < 1 maka maseral vitrinite akan disertai oleh kehadiran
cutinite yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi
antara kandungan densinite dan cutinite yang banyak dengan kandungan
Bab III 37
vitrinite yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari
serat tumbuhan perdu pada suatu lingkungan marsh.
Vitrinite + Geloinertinite
GI =
Teloinertinite + Detroinertinite
Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini
semakin kecil harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar.
Tingkat Gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :
1. Menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini
terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu.
2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat
berlangsung pada derajat keasaman rendah.
3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia.
Bab III 38
nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotrophic mire hanya
menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotrophic). Rheotrophic
mire dapat dibagi menjadi fen, swamp dan marsh yang tergantung pada
tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara ombrotrophic mire dapat
istilahkan sebagai bogs (Moore, 1987 dalam Calder et.al., 1991).
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI,
aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam
menginterpretasi asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori
Bab III 39
lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan
menggunakan parameter kesamaan antar maseral.
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur
organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat
sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia
selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur
epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat
proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).
Bab III 40
Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan
menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk
framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963; Neavel, 1996; Cohen,
et.al, 1983; Davies and Raymond, 1983; Casagrande, 1987 dalam international
journal of coal geology, 1992). Sedangkan batubara yang terendapkan di
lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan
persentase pirit yang rendah.
Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara
dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak
sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur
tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang
berasal dari lingkungan laut.
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan
pada bagian floor lapisan batubara.
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan
pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan
lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan
darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang
Bab III 41
tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau
laut (Cecil et.al, 1979).
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi
reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan
urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :
Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits &
Arthur, 2000)
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada
batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2)
tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan
Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).
Bab III 42
Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap
kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik
(Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit
pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
Menurut Gluskoter and Simon (1968); Love et.al (1983) and Littke (1985) dalam
C.F.K Diessel (1992), beberapa bentuk mineral pirit yang dijumpai dalam
batubara adalah sebagai berikut :
♦ Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinite
dan semifusinite serta seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal.
♦ Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter yang
umumnya terdiri dari kristal – kristal membulat atau memanjang.
♦ Bentuk Fe-sulfida syngenetik yang paling umum adalah kristal pirit
dengan ukuran lebih dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk spheroidal atau
framboidal dan berasosiasi dengan vitrinite.
♦ Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa – lensa pipih
atau pita–pita yang menunjukkan presipitasi pirit yang terjadi selama
diagenesa akhir. Hal ini dapat dianggap sebagai peralihan ke pirit
epigenetik.
♦ Pirit epigenetik dan markasit yang terbentuk sebagai material pengisi
rekahan atau kekar (cleat).
Bab III 43
A C
B D
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air
tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya
framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam
material yang terendapkan bersama batubara.
Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan
kristal anhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh
keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok
bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987).
Bab III 44
Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984
dalam Organic Petrology, 1998) adalah :
Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan
direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi
sebagai berikut :
SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida
membentuk polisulfida.(SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk
proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau
Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan
mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang
terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan
komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.
Bab III 45
dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam
batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen
A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998)
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang
keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama
proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari
material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi
dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses
penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran
biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur
organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang
basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).
Menurut Neavel (1981) dalam Organic Petrology, 1998 : sulfur organik, atau
bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan aktivitas dari bakteri pereduksi
sulfur dalam gambut. Desulfovibrio desulfurican dan Clostridium nigrificans
mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana
unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material
lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung
sebagai roof atau floor maupun sisipan.
Bab III 46
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi
dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya
melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah
membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses
geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi
hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri
desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982).
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau
molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0)
kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak
dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul
karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam
humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982).
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan
asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara
H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam
menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982).
Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi
dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974
; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).
Bukti – bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada sedimen
muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesis (Nissenbaum & kaplan,
1972; Casagrande, 1979, Kohnen et.al, 1990; dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti
dari isotop sulfur memperkuat hipotesis tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur
34
S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan
purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk
setelah proses presipitasi pirit (Kaplan et.al, 1963; Price & Shieh, 1979; Francois,
1987; Raiswell et.al, 1993; dalam Suits & Arthur, 2000).
Bab III 47
III.4.4 Sulfur Sulfat
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan
barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali
jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan
menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).
Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang
mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah
lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada
bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi
pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
Bab III 48