You are on page 1of 47

PENYELENGGARAAN MAKANAN, STATUS GIZI

DAN KESEHATAN LANSIA DI RUMAH


PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA BOGOR

VICI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyelenggaraan


Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013

Vici
NIM I14114011
ABSTRAK

VICI. Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah


Perlindungan Sosial Tresna Wedha Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan
KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi, status
kesehatan, pola konsumsi dan daya terima lansia terhadap makanan di Rumah
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Desain studi yang digunakan pada
penelitian ini adalah desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Oktober 2013. Contoh dalam penelitian ini adalah 34 orang lansia yang berusia
lebih dari 60 tahun. Hasil penelitian rata-rata konsumsi energi dan protein lansia
sebesar 1454 kkal dan 41.7 g. Daya terima lansia tergolong cukup baik terhadap
rasa makanan (52.9%) maupun porsi makanan (61.8 %). Tingkat kecukupan
energi dan protein sebagian besar lansia tergolong defisit. Sebagian besar lansia
(41.2%) memiliki status gizi normal. Sebagian besar lansia (67.6%) menderita
penyakit hipertensi dengan kategori terbanyak adalah mild hypertension
(hipertensi ringan). Hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada hubungan signifikan
(p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi lansia.
Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara tekanan darah (p>0.05) dengan status gizi
Kata kunci: lansia, pola konsumsi, daya terima, status gizi, status kesehatan.

ABSTRACT

VICI. Food Service Management, Nutrition and Health Status of the Elderly at
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Supervised by ALI
KHOMSAN and KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI
The objectives of this study were to determine the nutritional status, health
status, consumption pattern and food acceptance of the elderly at Rumah
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. This study used cross sectional
design. Research was done in October 2013. The subjects of this study were 34
elderly people with age over 60 years. Results showed that the average energy
and protein consumption in elderly were 1454 kkal and 41.7 g. Food acceptance
of elderly were adequate for taste of food (52.9%) as well as the portion of food
(61.8%). The adequacy level of energy and protein mostly were deficit. Most of
the elderly (41.2%) had normal nutritional status. The majority of the elderly
(67.6%) were suffering from hypertension with mild hypertension. Correlation
test results showed no significant relationship (p>0.05) between the adequacy
level of energy and nutrient with nutritional status. Pearson correlation test
results showed no significant relationship between blood preasure (p>0.05) and
nutritional status.
Keyword : elderly, consumption patterns, food acceptance, nutritional status,
health status
PENYELENGGARAAN MAKANAN, STATUS GIZI
DAN KESEHATAN LANSIA DI RUMAH
PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA BOGOR

VICI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia


di Rumah Perlindungan Tresna Werdha Bogor
Nama :VICI
NIM : I14114011

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dr Karina Rahmadia Ekawidyani, M Sc


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
LEMBARPENGESAHAN

"til Skripsi : Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia


di Rumah Perlindungan Tresna Werdha Bogor
:VICI
: 114114011

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dr Karina Rahmadia Ekawidyani, M Sc


Pembimbing I Pembimbing II

Tanggal Lulus: 2 4 JAN ?n14


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi dengan judul “Penyelenggaraan
Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Bogor” dapat teselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan
syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi,
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan dr. Karina Rahmadia Ekawidyani,
M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan
waktu luang untuk memberikan ide dan saran bagi penulis
2. Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, M. Sc selaku dosen pemandu seminar
3. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen penguji skripsi
4. Drs. Harry Yulianto selaku kepala panti, seluruh staff dan lansia di
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian
5. Dr. Yvone M I selaku kepala laboratorium gizi Universitas Indonesia
yang telah memberikan izin untuk peminjaman alat pengukur tinggi
lutut untuk keperluan penelitian.
6. Kedua orang tua, kakak dan adik penulis yang telah memberikan doa,
dukungan dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini
7. Ayu helmi, Ernawati, Mira sri wahyuni, Humaira, Andari Sih Estu Jati,
Wahyu Dewanti, Riska Tri Rahmawati, Nugrahaning dan Fitriana
Sundari yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
8. Teman-teman Alih Jenis Gizi angkatan 5, atas dukungan dan
kerjasamanya.
9. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan diatas.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan

Bogor, Desember 2013

Vici
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE PENELITIAN 5
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 5
Cara Penarikan Contoh 5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
Pengolahan dan Analisis Data 6
DEFINISI OPERASIONAL 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Keadaan Umum Lokasi Penelitian 9
Karakteristik Contoh 10
Penyelenggaraan Makanan 11
Daya Terima 16
Konsumsi Pangan 17
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi 18
Konsumsi Suplemen dan Cairan 20
Status Gizi 21
Status Kesehatan 22
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi 25
Hubungan Tekanan Darah dengan Status Gizi 26
SIMPULAN DAN SARAN 26
Simpulan 26
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 6


2 Variabel dan indikator data yang dianalisis 7
3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh 10
4 SDM dalam proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor 11
5 Perencanaan di RPSTW Bogor 12
6 Pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW Bogor 14
7 Pengolahan bahan makanan di RPSTW Bogor 15
8 Distribusi makanan di RPSTW Bogor 16
9 Higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor 16
10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kesukaan terhadap jenis hidangan 17
11 Sebaran lansia berdasarkan kebiasaan makan 17
12 Konsumsi makan lansia 18
13 AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada lansia 19
14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 20
15 Sebaran lansia berdasarkan konsumsi suplemen 21
16 Sebaran lansia berdasarkan status gizi 21
17 Sebaran lansia berdasarkan jenis penyakit 23
18 Sebaran lansia berdasarkan kategori hipertensi 24
19 Korelasi antara tingkat kecukupan energi, protein dengan status gizi 25
20 Korelasi antara tingkat kecukupan vitamin, mineral dengan status gizi 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur Organisasi Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha 30


2 Siklus menu di RPSTW Bogor 31
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi salah satu indikator


keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan.
Populasi penduduk dunia yang berusia diatas 65 tahun meningkat lebih dari dua
kali lipat dari total populasi penduduk dunia selama periode tahun 1996-2020.
Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan
jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia
7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%)
dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk
lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4
tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di
Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun
(Kemsos 2007).
Semakin meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, maka perhatian yang
harus diberikan kepada kelompok ini juga akan semakin besar. Masalah gizi
lansia adalah salah satu yang harus diperhatikan. Menurut Sharkey (2002)
kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada
seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik
secara fisik maupun mental. Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik
aspek psikologis, fisiologis, dan sosio-ekonomi. Dengan gizi yang baik, usia
produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan
dalam pembangunan (Fatmah 2010).
Menua atau menjadi tua (aging) merupakan proses yang akan dialami oleh
semua orang dan tidak dapat dihindari. Proses menua dipengaruhi oleh faktor
eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko penyakit degeneratif yang
biasa dimulai pada usia muda atau produktif, namun bersifat subklinis. Secara
alami, fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring pertambahan usianya.
Penurunan fungsi ini tentunya akan menurunkan kemampuan lansia tersebut
untuk menanggapi datangnya ransangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh
lansia itu sendiri. Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi
penurunan kemampuan sistem saraf, yaitu pada indera penglihatan, peraba, perasa
dan penciuman. Selanjutnya penurunan ini juga mengakibatkan penurunan sistem
pencernaan, sistem saraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem
kardiovaskular hingga penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).
Menurut Fatmah (2010), perubahan fisiologis yang berhubungan dengan
aspek gizi pada lansia adalah semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa
yang pada umumnya membuat lansia kurang dapat menikmati makanan dengan
baik. Hal ini membuat aktivitas makan menjadi kurang bagi lansia, sehingga
asupan gizi semakin berkurang. Status gizi dan status kesehatan sangat ditentukan
oleh kondisi yang dialami oleh lanjut usia. Status gizi dan status kesehatan yang
baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang sehat dan produktif.
Selain itu, status kesehatan pada lansia akan berpengaruh dalam penilaian
kebutuhan akan zat gizi (Arisman 2004).
2

Peningkatan jumlah lansia dan beragamnya masalah kesehatan serta gizi


yang dihadapi oleh lansia, maka sudah selayaknya kelompok ini mendapat
perhatian dari berbagai kalangan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian di
Panti Tresna Werdha khususnya di Kota Bogor guna memberi gambaran status
gizi dan kesehatan pada kelompok tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penyelenggaraan
Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Bogor”.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umun

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi, status
kesehatan, pola konsumsi dan daya terima pasien lansia terhadap makanan di
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh


2. Mengidentifikasi penyelenggaraan makanan di Rumah Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Bogor
3. Mengidentifikasi daya terima contoh terhadap makanan di Rumah
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor
4. Mengidentifikasi konsumsi pangan contoh
5. Mengidentifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi
6. Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan
7. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status
gizi
8. Menganalisis hubungan tekanan darah dengan status gizi

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pola


konsumsi, daya terima terhadap makanan, status gizi dan kesehatan lansia di
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha, khususnya di Kota Bogor.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perbaikan kualitas hidup
lansia, terutama di bidang gizi dan kesehatan.
3

KERANGKA PEMIKIRAN

Penyelenggaraan makanan yang ada di Panti Tresna Werdha didasarkan atas


kebutuhan para lansia yang membutuhkan makanan akibat kebutuhan biologis
tubuhnya yang tidak dapat dipenuhi oleh berbagai hal. Penyelenggaraan makanan
sebagai suatu sistem manajemen yang terdiri dari tiga komponen, meliputi input
(masukan), proses dan output (hasil). Input penyelengaraan makanan meliputi
tenaga, dana, sarana fisik dan peralatan. Proses penyelenggaraan makanan
meliputi perencanaan, pembelian, penerimaan, penyimpanan, persiapan,
pengolahan hingga distribusi. Output yang dihasilkan meliputi daya terima,
konsumsi pangan dan status gizi lansia.
Penyelenggaraan makanan bertujuan untuk menghasilkan makanan yang
sesuai dengan perencanaan, kualitas, cita rasa serta sanitasi yang tinggi.
Perencanaan menu merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu
hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu sangat penting dalam
sistem pengelolaan makanan. Hal ini disebabkan karena menu berhubungan
dengan kebutuhan dan penggunaan sumber daya lainnya didalam sistem
pengelolaan makanan.
Pengadaan bahan makanan merupakan proses yang meliputi perencanaan,
pemesanan, pembelian dan penerimaan bahan makanan, baik bahan makanan
kering maupun bahan makanan basah. Produksi makanan dibedakan berdasarkan
waktu makan lansia yaitu makan pagi, siang, dan malam.
Kebiasaan makan pada lansia menjadi faktor yang dapat mempengaruhi
daya terima makanan yang disajikan. Pengukuran daya terima meliputi
pengukuran terhadap citarasa (rasa, aroma dan tekstur) dan penampilan (warna,
besar porsi/ukuran). Daya terima akan mempengaruhi konsumsi pangan baik
konsumsi dari dalam panti ataupun dari luar panti.
Pengukuran konsumsi pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan energi
dan zat gizi. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi.
Status gizi lansia akan saling mempengaruhi dengan status kesehatan. Terdapat
pola interaksi antara status kesehatan (terutama penyakit infeksi) dan status gizi.
Status kesehatan juga secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi pangan.
Seseorang yang mengalami penyakit, terutama infeksi akan kehilangan nafsu
makan sehingga menurunkan asupan energi dan zat gizi lainnya.
Kebutuhan energi dan zat gizi pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan dan penyakit.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dalam pemberian makanan kepada lansia
untuk memenuhi gizinya. Konsumsi energi dan zat gizi dibandingkan dengan
angka kebutuhan energi dan zat gizi lansia sehingga dapat diketahui tingkat
kecukupan energi dan zat gizi. Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut
dapat disederhanakan dalam Gambar 1.
4

Penyelenggaraan Makanan

Karakteristik Contoh : Kebiasaan Makan :


- Usia - Sarapan
- Jenis kelamin Daya Terima Makanan - Selingan
- Tingkat pendidikan - Jajan diluar
- Pekerjaan - Suplemen
- Sumber pendapatan - Cairan

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan dari dalam panti Konsumsi pangan dari luar panti

Tingkat Kecukupan

Status Kesehatan

Status Gizi

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Keterangan:
: Variabel yang diteliti

: Garis hubungan yang diteliti


5

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian


dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Pengumpulan
data penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa panti memiliki jumlah
lansia yang relatif banyak, kemudahan akses dan perizinan serta populasi contoh
yang beragam.

Cara Penarikan Contoh

Keseluruhan lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor


berjumlah 60 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah lansia yang menetap di
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor dengan kriteria lansia berusia
≥ 60 tahun, tidak pikun, dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan
pendengaran dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan
baik. Mengacu pada kriteria inklusi tersebut didapatkan jumlah contoh sebanyak
34 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis dan
cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Data primer meliputi
karakteristik contoh, daya terima, kebiasaan makan, konsumsi pangan (food
weighing dan recall) data antropometri dan status kesehatan. Data sekunder yang
dikumpulkan meliputi denah lokasi penelitian dan keadaan umum tempat
penelitian, daftar menu makanan serta konsumsi suplemen yang disediakan panti.
Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang
menggunakan timbangan bathroom scale dengan kapasitas 130 kg dan ketelitian 1
kg. Pengukuran tinggi badan diukur secara langsung menggunakan prediksi tinggi
lutut dengan alat knee height calliper dengan posisi duduk.
Data konsumsi pangan diketahui dengan melalui metode food weighing dan
food recall. Metode food weighing digunakan untuk mengetahui data konsumsi
pangan lansia di dalam panti dan metode food recall dipilih untuk mengetahui
data konsumsi pangan lansia di luar panti. Food weighing yang dilakukan hanya
melakukan penimbangan pada porsi awal dan sisa makanan kemudian dikurangi
untuk mendapatkan porsi yang dikonsumsi. Food weighing menggunakan alat
ukur timbangan merk CAMRY dengan kapasitas 5kg.
Tekanan darah diukur menggunakan tensi digital merk OMRON dengan
model HEM-7111 lengan. Pengukuran dilakukan dalam posisi duduk dengan siku
lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas.
6

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data


No Jenis Data Variabel Instrumen
1 Karakteristik Nama, usia, jenis kelamin, tingkat Kuesioner
contoh pendidikan, pekerjaan sebelum dan
sumber pendapatan.
2 Penyelenggaraan SDM, dana, perencanaan menu, Kuesioner dan wawancara
makanan pembelian, penyimpanan bahan
makanan, pengolahan, distribusi
makanan serta higiene dan sanitasi
3 Daya terima Kesukaan terhadap makanan yang Kuesioner dan wawancara
disediakan didalam panti (rasa dan
porsi)
4 Kebiasaan makan Kebiasaan sarapan, selingan, jajan Kuesioner dan wawancara
diluar, konsumsi suplemen dan
cairan)
4 Konsumsi pangan Jumlah (porsi awal dan sisa Food Weighing dan food recall
makanan), jenis dan frekuensi
makan
5 Data antropometri Berat badan (BB), Tinggi lutut (TL) Tinggi lutut menggunakan
knee height calliper dan
penimbangan berat badan
menggunakan timbangan
bathroom scale
6 Status kesehatan Tekanan darah Diukur dengan Tensi digital
merk OMRON model HEM-
7111 lengan
Kuesioner dan melihat catatan
Riwayat Penyakit perawat

Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang telah didapatkan dianalisis secara statistik. Tahapan


pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry),
pengecekan ulang (cleaning), dan selanjutnya dilakukan analisis. Tahapan
pengkodean (coding) dilakukan dengan cara menyusun code book sebagai
panduan entri dan pengolahan data. Setelah dilakukan pengkodean (coding)
kemudian data dimasukan ke dalam tabel yang telah ada (entry). Setelah itu,
dilakukan pengecekan ulang (cleaning) untuk memastikan tidak ada kesalahan
dalam memasukkan data. Untuk tahapan analisis data diolah dengan
menggunakan program computer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0.
Korelasi tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi menggunakan
uji korelasi Pearson. Alasannya karena data terdistribusi normal dan jumlah
sampel lebih dari 30.
Data karakteristik contoh (usia, tingkat pendidikan, pekerjaan sebelum dan
sumber pendapatan, alamat asal) dan variable lain seperti status gizi, daya terima,
riwayat penyakit, tekanan darah, tingkat kecukupan zat gizi dan data
penyelenggaraan makanan terdiri dari input (tenaga, dana, sarana dan peralatan),
proses (perencanaan, pembelian, penerimaan, penyimpanan, persiapan,
pengolahan, distribusi) serta output (daya terima, konsumsi pangan, status gizi
dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel. Hubungan antar
variable diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson menggunakan SPSS
7

version 16.0. Pengkategorian variable-variabel dalam penelitian disajikan pada


Tabel 2.
Tabel 2 Variabel dan indikator data yang dianalisis
Variabel Indikator Literatur
Karakter contoh usia 1. Usia 60-74 tahun (elderly)
2. Usia 75-90 tahun (old) WHO
3. Diatas 90 tahun (very old)
Pendidikan 1. Tidak Sekolah
2. SD
3. SMP Sebaran Contoh
4. SMA
5. PT
Pekerjaan sebelum 1. Tidak Bekerja
2. PNS
3. Karyawan Swasta Sebaran Contoh
4. Wiraswasta
5. Lainnya
Sumber pendapatan 1. Sosial
2. Keluarga
3. Sendiri Sebaran Contoh
4. Pensiun
5. Lainnya
Daya terima makanan 1. Kurang Bagus
2. Cukup Sebaran Contoh
3. Bagus
Konsumsi pangan 1. Defisit tingkat berat <70% AKG
(Tingkat kecukupan 2. Defisit tingkat sedang 70-79% AKG
energi dan protein) 3. Defisit tingkat ringan 80-89% AKG Depkes RI 1996
4. Normal 90-119% AKG
5. Lebih ≥120% AKG
Tingkat kecukupan 1. Kurang <77% AKG
Gibson 2005
vitamin dan mineral 2. Cukup ≥77% AKG
Tekanan darah 1. Normal (<140/<90)
2. Mild Hypertension (140-159/90-99)
3. Moderate Hypertension (160- SIGN 2011
179/100-109)
4. Severe Hypertension (≥180/≥110)
Status gizi 1. Underweight (<20 kg/m2)
2. Normal (20-25 kg/m2)
WHO 2007
3. Overweight (25-30 kg/m2)
4. Obesitas (>30 kg/m2)
Pengukuran tinggi badan diukur secara langsung menggunakan prediksi
tinggi lutut dengan alat knee height calliper dengan posisi duduk. Konversi tinggi
badan dari tinggi lutut didapat melalui rumus Chumlea (1984) berikut:
Tinggi badan wanita (cm) = 84.88 + 1.83 x {tinggi lutut (cm)}-{0,24 x umur (th)}
Data konsumsi pangan diketahui dengan melalui metode food weighing
dan food recall. Untuk data bahan mentah tidak ditimbang karena kebijakan Panti
Werdha. Data mentah bahan dapat dihitung berdasarkan faktor konversi mentah
masak dan data bahan yang dapat dimakan menggunakan BDD dalam DKBM.
Data konsumsi pangan dikonversikan menjadi energi, protein, vitamin A, kalsium
8

dan zat besi menggunakan DKBM. Konversi dihitung dengan menggunakan


rumus (Hardinsyah dan Briawan 2002) sebagai berikut:
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Setelah mengetahui zat-zat gizi dari pangan yang dikonsumsi lansia, maka
disesuaikan dengan AKG (2004) masing-masing zat gizi. Zat gizi makro (energi
dan protein) dikatakan cukup apabila berada pada rentang 90-119%, dikatakan
defisit berat apabila hanya memenuhi <70% AKG, defisit sedang apabila
memenuhi 70-79%, defisit ringan apabila memenuhi 80-89%, berlebih apabila
memenuhi >120% AKG. Zat gizi mikro dikatakan cukup apabila memenuhi
>77% AKG dan kurang apabila <77% AKG (Gibson 2005).

DEFINISI OPERASIONAL

Angka kecukupan gizi adalah banyaknya tiap-tiap zat gizi esensial yang harus
dipenuhi dari makanan sehari-hari untuk mencegah defisiensi zat gizi.
Antropometri adalah pengukuran ukuran, berat dan proporsi tubuh. Komposisi
tubuh menunjukkan distribusi penyusunan tubuh (massa otot dan
lemak tubuh) sebagai bagian dari berat badan.
Contoh adalah lansia yang berusia 60 tahun ke atas yang tinggal di Panti Werdha
yang mampu berkomunikasi dengan baik, tidak pikun, tidak
mengalami gangguan pendengaran serta dalam keadaan sehat.
Daya terima makanan adalah daya terima terhadap suatu makanan ditentukan
oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan melalui indera
penglihatan, penciuman, pencicip dan juga indera pendengaran.
Konsumsi adalah suatu kegiatan untuk memasukkan makanan dalam tubuh untuk
keberlangsungan kegiatan sehari-hari.
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi
fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan usianya diatas 60
tahun.
Metode penimbangan langsung adalah metode survei konsumsi pangan yang
paling akurat, karena dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat
terhadap makanan yang dikonsumsi.
Pendidikan adalah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia dalam
kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal
berdasarkan kategori SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan
Perguruan Tinggi/sederajat.
Pekerjaan adalah suatu usaha atau predikat yang dimiliki lansia untuk
memperoleh penghasilan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
9

seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan,


kesehatan dan lain sebagainya.
Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh lansia untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari berupa kebutuhan pangan, transportasi,
pendidikan, kesehatan, tabungan dan lainnya.
Panti werdha adalah tempat merawat dan menampung lansia.
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh contoh yang dipengaruhi oleh asupan
zat gizi masa lampau yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) yang
mengacu pada Depkes (2005).
Status kesehatan adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari persepsi status
kesehatan, disabilitas fisik, penyakit yang dialami, kemampuan dan
perawatan kesehatan yang dilakukan.
Tekanan darah adalah kuatnya darah menekan dinding pembuluh darah saat
dipompa dari jantung menuju keseluruhan jaringan.
Tinggi lutut adalah prediktor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun
ke atas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) adalah salah


satu pelaksana UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung
dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan di bawah naungan Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat, yang menangani, membina dan memberi pelayanan masalah
sosial lanjut usia (Lansia).
Sejak beroperasinya RPSTW Bogor tahun 1956 sampai dengan 1997
setelah beberapa kali mengalami perubahan nama maka dengan terbitnya Surat
Keputusan Gubernur No. 38 Tahun 1997 tentang pembentukan organisasi dan tata
kerja RPSTW Sosial di lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu
penyempurnaan dari Peraturan Daerah No. 09/Tj/78, kewenangan pengelolaan
instalansi RPSTW Bogor diserahkan dari cabang Dinas Sosial Kota Bogor kepada
Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Terakhir berdasarkan Pergub no.113 Tahun
2009 Instalansi RPSTW Sukma Raharja Bogor berubah namanya menjadi Sub
Unit Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor.
Lokasi RPSTW beralamat di Jalan Raya R. Aria Suriawinata Kota Bogor,
Gang Sukma Raharja RT. 04/05 Kelurahan Paledang, Bogor Tengah. Lokasi ini
cukup strategis baik untuk hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya,
pusat perbelanjaan dan Pemerintah Kota Bogor sehingga penghuni panti tidak
merasa diasingkan. RPSTW dikelilingi oleh perumahan penduduk dan terdapat
pasar pagi yang berlokasi di alur jalan masuk ke panti.
RPSTW dengan wilayah pelayanan yang meliputi Kota dan Kabupaten
Bogor, Kota dan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok.
RPSTW Bogor terbentuk sejak tahun 1956 diatas sebidang tanah seluas 1810m 2,
hibah dari pemerintah Kota Bogor dan telah disertifikatkan oleh Pemerintah Dinas
Sosial Provinsi Jawa Barat pada tahun 1985 dengan nomor 854836. Adapun
10

bangunan terdiri atas kantor, 13 ruang untuk tempat tinggal lansia, aula, gazebo, 1
unit mushola, 1 unit poliklinik, dapur/rumah makan, kamar mandi 9 buah dan 2
unit emergency room. Pembangunan sarana dan prasarana dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam
Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.
Kapasitas lansia yang dilayani di RPSTW sebanyak 60 orang dan pada
umumnya adalah lansia perempuan. Jumlah tenaga kerja yang ada di RPSTW
sebanyak 19 orang yang terdiri atas 7 orang Pegawai Negeri Sipil, 3 orang
pramuwerdha, 3 orang perawat, 2 orang satpam, 2 orang cleaning service dan 2
orang juru masak.
Berdasarkan struktur organisasi nya kewenangan di RPSTW Bogor
berbentuk lini. Pelaksanaan sistem produksi, yaitu dari kegiatan perencanaan
sampai penyajian makanan merupakan tanggung jawab pelaksana kepegawaian
dibantu oleh pelaksana pengelola makanan yang diawasi oleh kepala panti,
pelaksana pelayanan sosial, pelaksana bagian tata usaha dan bagian keuangan.
Struktur organisasi di RPSTW Sukma Raharja Bogor dapat dilihat pada Lampiran
1.

Karakteristik Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia perempuan yang berusia >60
tahun. Mengacu pada kriteria inklusi (lansia berusia ≥ 60 tahun, tidak pikun,
dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan pendengaran dan mampu
menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan baik) didapatkan jumlah
contoh sebanyak 34 orang. Sebagian besar lansia (79.4%) tergolong lanjut usia
(elderly) dengan kisaran umur 60-74 tahun.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (32.4%) adalah lulusan
sekolah dasar. Pendidikan lansia tergolong rendah karena jumlah sekolah masih
terbatas, keterbatasan ekonomi serta akses menuju sekolah yang sulit dijangkau.
Rendahnya pendidikan ini juga berbanding lurus dengan mata pencahariannya,
dimana sebanyak 35.3% lansia bekerja sebagai buruh, asisten rumah tangga dan
pengasuh anak. Lansia di RPSTW Bogor sebagian besar (35.3%) berasal dari kota
Bogor dan memiliki sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari sosial
(donatur).
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh
Karakteristik Keterangan n %
Usia (Th) Elderly (60-74) 27 79.4
Old (75-90) 7 20.6
Pendidikan Tidak Sekolah 14 41.2
SD 11 32.4
SMP 5 14.7
SMA 3 8.8
PT 1 2.9
Pekerjaan sebelum Tidak Bekerja 11 32.4
PNS 2 5.9
Karyawan Swasta 2 5.9
Wiraswasta 7 20.6
Lainnya (Buruh, asisten RT, pengasuh anak) 12 35.3
11

Penyelenggaraan Makanan

Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor mengelola


penyelenggaraan makanan sendiri tanpa menggunakan jasa katering.
Penyelenggaraan dilaksanakan di dapur panti oleh tenaga pengolah. Setiap hari
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor menyediakan makanan untuk
60 orang lansia (untuk makan pagi, siang dan malam) dan 10 orang tenaga kerja di
Panti (untuk makan siang). Makanan yang disajikan merupakan makanan lengkap
yang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati dan sayur.. Makanan
selingan juga terkadang diberikan, disesuaikan dengan dana yang ada. Selingan
yang diberikan umumnya berupa kue atau buah. Makanan selingan umumnya
diberikan di antara waktu makan siang dan makan malam.
Makanan yang di sajikan di RPSTW Bogor tidak berdasarkan diet dan jenis
penyakitnya. Hal ini berbeda dengan penelitian Manasik (2011), mengenai
penyelenggaraan makanan lansia di RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang
membedakan pengaturan makan berdasarkan jenis diet, jenis penyakit dan kelas
perawatan. Frekuensi makan lansia RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor sebanyak
tiga kali makanan utama dan dua kali selingan. Susunan menu makan utama
terdiri atas makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah.

Sumber Daya Manusia

Tenaga Pengolah bahan makanan di RPSTW Bogor berjumlah dua orang.


Jam kerja mulai pukul 04.00-17.00 WIB. Tidak ada pembagian waktu kerja,
kedua tenaga pengolah ini bersama-sama dalam mengolah makanan baik makan
pagi, siang dan malam. Namun untuk pembagian kerja terdapat pembagian,
dimana seorang khusus memegang untuk makanan pokok dan sayur sedangkan
seorang lagi bertugas untuk mengolah lauk nabati dan lauk hewani.
Aspek yang dilihat pada sumber daya penyelenggaraan makanan di panti
yaitu pembagian dalam bekerja, status pendidikan tenaga pengolah serta
kesesuaian jumlah tenaga pengolah (Depkes 2011). Sumber daya manusia dalam
proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4, sumber daya manusia di RPSTW Bogor hanya
memenuhi aspek pembagian dalam bekerja. Aspek lainnya, seperti status
pendidikan dan kesesuaian jumlah tenaga belum terpenuhi. Jumlah tenaga kerja di
RPSTW dalam proses penyelenggaraan makanan sangat sedikit. Tenaga pengolah
berjumlah dua orang. Jumlah ini masih sangat sedikit karena para pekerja harus
bekerja setiap hari tanpa memiliki hari libur tersendiri. Tenaga pengolah makanan
umumnya bukan lulusan dari bidang tata boga.
Tabel 4 SDM dalam proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor
Penerapan
No Aspek Sumber Daya Manusia
Memenuhi Tidak Memenuhi
1 Memperhatikan pembagian kerja dalam bekerja 1 0
2 Memperhatikan status pendidikan 0 1
3 Memperhatikan kesesuaian jumlah tenaga 0 1
Total 1 2
Nilai (%) 33.3 66.7
12

Dana Penyelenggaraan Makanan

Proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor dapat berjalan dengan


adanya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang
tertuang dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) pada Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat serta bantuan lain (donatur) yang tidak mengikat. Adapun
anggaran dana untuk makan lansia sebesar Rp 30.000/orang untuk tiga kali waktu
makan per hari. Hal ini sangat berbeda dengan dana penyelenggaraan makanan di
Panti Werdha milik swasta seperti pada penelitian Andrini (2012) yang
menyatakan bahwa dana penyelenggaraan makanan berasal dari iuran bulanan
masing-masing lansia yang disesuaikan dengan wisma yang ditempati dan
sumbangan donatur kepada pihak panti. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan
berkisar Rp 750.000-2.800.000 per bulan per lansia.

Perencanaan Menu

Kegiatan penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor diawali dengan


kegiatan perencanaan menu. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan
menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen atau pasien dan
kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang (PGRS 2005).
Perencanaan menu di RPSTW Bogor dilakukan setiap dua bulan sekali oleh
bagian pelayanan sosial dan kasir yang sebelumnya telah didiskusikan dan
disetujui oleh kepala panti. Menu yang ada di RPSTW Bogor telah
mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya peralatan dan jumlah tenaga
kerja yang ada, ketersediaan bahan makanan dipasaran dan anggaran yang
disediakan.
Perencanaan menu dapat dinilai dari berbagai aspek, seperti adanya
petugas perencanaan menu, memperhatikan siklus menu, ketersediaan bahan
makanan, dana yang tersedia, kebutuhan gizi konsumen, evaluasi menu serta
keterlibatan ahli gizi dalam proses perencanaan menu (Depkes 2011). Penilaian
perencanaan menu di RPSTW Bogor dapat terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perencanaan di RPSTW Bogor
Penerapan
No Perencanaan Menu
Memenuhi Tidak Memenuhi
1 Adakah petugas perencanaan menu 1 0
2 Memperhatikan siklus menu 0 1
3 Memperhatikan ketersediaan bahan yang ada di pasar 1 0
4 Memperhatikan dana yang tersedia 1 0
5 Memperhatikan kebutuhan gizi konsumen 0 1
6 Memperhatikan evaluasi menu 1 0
7 Melibatkan ahli gizi 0 1
Total 4 3
Nilai (%) 57.1 42.9
Tabel 5 menggambarkan bahwa perencanan menu di RPSTW Bogor masih
kurang baik karena hanya memenuhi beberapa aspek perencanaan yaitu adanya
petugas perencanaan, tersedianya dana dan memperhatikan ketersediaan bahan di
pasar. Beberapa aspek lainnya belum terpenuhi, seperti siklus menu dan
kebutuhan gizi lansia yang kurang diperhatikan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
13

ahli gizi yang khusus membantu merencanakan menu lansia yang sesuai dengan
kebutuhan gizi dan kondisi lansia. Berbeda dengan perencanaan menu di RS DR.
H. Marzoeki Mahdi Bogor yang melibatkan ahli gizi dalam perencanaan sehingga
kebutuhan gizi pasien (lansia) terpenuhi (Manasik 2011).
Siklus ialah pergantian atau perputaran. Siklus menu ialah suatu
pergantian berbagai susunan menu yang direncanakan dengan matang untuk
jangka waktu tertentu dan berulang setelah jangka waktu itu selesai. Siklus menu
yang digunakan di RPSTW Bogor adalah siklus menu sepuluh hari dengan satu
hari khusus untuk tanggal 31 yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Alasan
menggunakan siklus menu sepuluh hari adalah agar tidak terjadi kebosanan atau
pengulangan menu. Namun terkadang siklus menu yang telah ada tidak diterapkan
dengan baik, seperti halnya pada siklus menu terdapat buah dan snack namun
pada saat pengamatan tidak ada buah atau snack yang disajikan. Hal ini
dikarenakan dana dari Dinas terkait terlambat diberikan. RPSTW Bogor dalam
menyelenggarakan makanan lebih memperhatikan dana yang tersedia
dibandingkan dengan menu yang telah dibuat.
Siklus menu di RPSTW Bogor sudah baik karena sudah menggunakan
siklus sepuluh hari dan satu hari khusus untuk tanggal 31 sehingga memudahkan
dalam perputaran dan pengulangan menu. Hal ini berbeda dengan siklus menu
yang ada di Panti Werdha Bogor milik swasta yang menerapkan siklus menu tujuh
hari (Andrini 2012). Siklus menu tujuh hari akan menyulitkan dalam perputaran
khususnya pada tanggal-tanggal dibulan berikutnya berbeda dengan siklus menu
10 hari ditambah satu hari khusus yang memudahkan pada pergantian bulan
berikutnya, dimana di awal bulan hari pertama akan menggunakan siklus menu
pertama dan hari selanjutnya akan menggunakan siklus hari berikutnya. Selain itu
siklus menu tujuh hari lebih cepat dalam pengulangan menu dibandingkan dengan
siklus sepuluh hari sehingga dapat menyebabkan kebosanan.

Pembelian, Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan

Pembelian bahan makanan untuk bahan makanan basah seperti sayur dan
bahan pangan hewani serta nabati dilakukan setiap hari. Pembelian umumnya
dilakukan di pasar tradisional, seperti : Pasar Bogor dan Pasar SukmaRaharja.
Pembelian sayuran seperti jagung, wortel dan sayuran lainnya sebanyak 5 kg/hari.
Pembelian pangan hewani, untuk ikan kering seperti tongkol sebanyak 60
buah/hari (20 keranjang), daging dan ayam sebanyak 5-6 kg/hari, telur 4-5
kg/hari. Pangan nabati seperti tempe sebanyak 3-4 papan/hari dan untuk tahu 10-
15 bungkus/hari. Pembelian umumnya dilakukan oleh kepala dapur atau staff di
RPSTW Bogor. Pembelian bahan pangan dilaksanakan pada sore atau pagi hari.
Pembelian bahan kering dilakukan setiap 1-2 bulan sekali. Umumnya
bahan-bahan kering seperti beras, mie, susu, tepung diantarkan oleh rekanan yang
telah ditunjuk oleh Dinas Sosial. Namun untuk dua bulan terakhir ini, terdapat
perubahan dari yang awalnya menggunakan jasa rekanan, kini menggunakan
sistem GU (Ganti uang). Dengan Sistem ini pembelian bahan kering dilakukan
oleh pihak panti kemudian Dinas Sosial akan memberikan uang pengganti sesuai
dengan jumlah dan bahan yang dibeli. Bahan kering umumnya dibelikan setiap
seminggu sampai sebulan sekali. Pembelian beras untuk sebulan dilakukan empat
14

kali pembelian sebanyak ±800 kg/bulan, susu sebanyak 80 dus/bulan, mie


1dus/minggu (jika ada menu yang menggunakan mie) dan minyak goreng
±10kg/minggu. Pembelian bahan kering maupun basah dilakukan oleh juru masak
atau staff di RPSTW Bogor. Penyimpanan bahan kering disimpan pada gudang
penyimpanan sedangkan bahan basah langsung diolah pada hari itu namun untuk
bahan yang lebih atau tidak diolah pada saat itu disimpan dalam lemari pendingin.
Pembelian dan penyimpanan bahan makanan dapat dilihat dari berbagai
aspek yaitu memperhatikan jangka waktu dan kualitas bahan makanan pada saat
pembelian, penerapan sistem FIFO (First In First Out), tempat dan suhu dalam
penyimpanan bahan makanan (Depkes 2011). Pembelian dan penyimpanan bahan
makanan di panti dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW
Bogor masih kurang baik. Hal ini dikarenakan pembelian bahan lebih
memperhatikan pada dana yang disediakan. Selain itu, pada penyimpanan bahan
makanan, suhu dan masuk keluarmya bahan dari gudang penyimpanan kurang
diperhatikan. Pencatatan pada saat barang masuk ataupun keluar dari gudang tidak
dilakukan secara berkala. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan dalam
pelaksanaan pengelolaan di RPSTW Bogor hanyalah pelaporan tentang keuangan.
Tabel 6 Pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW Bogor
Penerapan
No Pembelian & Penyimpanan
Memenuhi Tidak Memenuhi
Pembelian
1 Memperhatikan jangka waktu pembelian bahan
1 0
makanan
2 Memperhatikan kualitas bahan makanan 0 1
Penyimpanan
3 Memperhatikan sistem FIFO 0 1
4 Memperhatikan tempat penyimpanan makanan 1 0
5 Memperhatikan suhu penyimpanan bahan makanan 0 1
Total 2 3
Nilai (%) 40.0 60.0

Pengolahan Bahan Makanan

Kegiatan pengolahan bahan makanan menjadi tanggung jawab pelaksana


juru masak yang berjumlah dua orang. Tempat pengolahan makanan juga harus
memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi untuk mencegah resiko pencemaran
terhadap makanan dan dapat mencegah masuknya lalat, kecoa, tikus dan hewan
lainnya. Pengolahan bahan makanan di panti dapat dilihat dari pembagian proses
dalam pengolahan (persiapan dan pemasakan), memperhatikan standar porsi serta
penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses penyelenggaraan makanan
(Depkes 2011). Pengolahan bahan makanan di panti dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan Tabel 7 bahwa sistem pengolahan makanan di RPSTW masih
kurang baik. Standar porsi dalam proses pengolahan tidak ada secara tertulis. Hal
ini berbeda dengan pengelolaan makanan di RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor
menurut penelitian Andirini (2011), yang menggunakan standar porsi dalam
pengelolaan makanan baik untuk makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur
dan buah. Standar porsi sangat penting untuk memudahkan dalam pembelian
15

bahan makanan dan pemorsian makanan. Makan pagi di RPSTW Bogor diolah
pada pukul 04.30, makan siang sudah mulai diolah pada pukul 08.00 dan makan
malam mulai diolah pukul 15.00. Sebelum makan pagi lansia diberikan teh manis,
kopi atau susu. Khusus hari kamis setiap selesai senam pagi para lansia diberikan
susu.
Tabel 7 Pengolahan bahan makanan di RPSTW Bogor
Penerapan
No Pengolahan
Memenuhi Tidak Memenuhi
1 Pengolahan terbagi dalam dua tahap 1 0
2 Memperhatikan standar porsi 0 1
3 Memperhatikan pemakaian bahan tambahan pangan 0 1
Total 1 2
Nilai (%) 33.3 66.7

Distribusi Makanan

Distribusi makanan merupakan proses kegiatan penyaluran makanan


sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan pasien yang dilayani. Kegiatan
distribusi meliputi pengisian, pengepakan dan transportasi. Makanan yang telah
diolah kemudian ditempatkan pada wadah untuk didistribusikan kepada lansia.
Lansia di RPSTW Bogor dikategorikan menjadi dua yaitu mandiri dan tidak
mandiri. Lansia mandiri (tidak pikun dan sehat fisik) akan mengambil
makanannya sendiri diruang penyajian. Ketika jam waktu makan tiba, lansia akan
berbaris di ruang penyajian, kemudian lansia akan mengambil nasinya sendiri dan
untuk sayur, lauk hewani serta lauk nabati akan diporsikan oleh petugas (juru
masak).
Makan pagi didistribusikan pukul 06.30, makan siang pukul 11.30 dan
makan malam pukul 17.00. Pendistribusian untuk lansia yang tidak mandiri
(pikun, mengalami gangguan fisik, sakit berat) dilakukan oleh pramuwerdha.
Pramuwerdha dan juru masak memorsikan makanan menggunakan plato pastik
bersekat di ruang pengolahan kemudian didistribusikan ke kamar-kamar lansia
yang tidak mandiri. Namun untuk porsi tidak distandarkan. Pramuwerdha di
RPSTW Bogor berjumlah tiga orang yang dibagi dalam dua shift kerja yaitu pagi
dan sore. Shift pagi mulai pukul 06.00-14.00 dan shift sore mulai pukul 14.00
keatas. Hal ini berbeda dengan pendistribusian makanan di Panti Werdha milik
swasta berdasarkan pada penelitian Andrini (2012), pemorsian dan pendistribusian
makanan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor dilakukan oleh
perawat dari masing-masing wisma sedangkan pendistribusian makan lansia di RS
DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor dari dapur pusat dibawa ke masing-masing pantry
ruangan selanjutnya makanan didistribusikan sesuai dengan diet masing-masing
pasien dan diberi label (Manasik 2011).
Tabel 8 menggambarkan bahwa sistem distribusi makanan di RPSTW
Bogor cukup baik. Hanya saja untuk temperatur makanan kurang diperhatikan
karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang ada. Umumnya beberapa makanan
seperti lauk untuk makan siang telah diolah pada pagi hari, sehingga ketika
penyajian waktu makan siang, disajikan dalam keadaan dingin.
16

Tabel 8 Distribusi makanan di RPSTW Bogor


Penerapan
No Distribusi Makanan
Memenuhi Tidak Memenuhi
1 Memperhatikan ketepatan waktu 1 0
2 Memperhatikan ketepatan jumlah 1 0
3 Memperhatikan temperatur makanan 0 1
Total 2 1
Nilai (%) 66.7 33.3

Higiene dan Sanitasi

Aspek sanitasi lingkungan di RPSTW Bogor dalam menjaga kualitas


makanan sangat diperhatikan, namun hal ini tidak sejalan dengan higiene
perorangan. Aspek higiene dan sanitasi dapat dinilai dari kelengkapan pakaian dan
alat yang digunakan serta perilaku tenaga pengolah selama proses
penyelenggaraan makanan berlangsung. Selain itu juga dapat dinilai dari
ketersediaan alat penunjang kebersihan (Depkes 2011). Higiene dan sanitasi di
panti dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor
Penerapan
No Aspek Higiene dan Sanitasi
Memenuhi Tidak Memenuhi
Higiene
1 Menggunakan penjepit makanan 0 1
2 Memakai pelindung kepala 0 1
3 Menggunakan celemek 0 1
4 Tidak merokok selama memasak 1 0
5 Tenaga pengolah bebas dari penyakit 1 0
Sanitasi
6 Halaman bersih 1 0
7 Ruang pengolahan dalam keadaan bersih 1 0
8 Tersedia tempat sampah yang cukup 1 0
Total 5 3
Nilai (%) 62.5 37.5
Tabel 9 menggambarkan bahwa higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor
hanya memenuhi aspek higiene perorangan, yaitu tidak merokok dan bebas dari
penyakit. Hal ini dapat terlihat selama pengamatan tenaga pengolah tidak
menggunakan pakaian memasak atau alat pelindung diri seperti celemek, cempal
dan penutup kepala. Namun untuk kebersihan lingkungan di sekitar area dapur
sudah terjaga. Petugas selalu membersihkan ruangan dapur setiap selesai kegiatan
pengolahan makanan. Higiene perorangan harus dipenuhi agar tidak menimbulkan
pencemaran terhadap makanan yang akan disajikan. Menurut Moehyi (1997),
untuk penerapan higiene, karyawan perlu dilengkapi dengan pakaian kerja khusus
seperti sarung tangan, alat penjepit makanan dan alat penutup kepala serta badan.

Daya Terima

Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang


ditimbulkan makanan melalui indera penglihatan, penciuman, pencicip dan juga
17

indera pendengaran. Daya terima makanan dapat dilihat dari organoleptik


makanan yang disajikan. Daya terima contoh ditentukan dari tingkat kesukaan
contoh terhadap jenis hidangan serta karakteristik makanan yang disajikan seperti
pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kesukaan terhadap jenis hidangan
Rasa Porsi
Tingkat kesukaan
n % n %
Kurang 1 2.9 2 5.9
Cukup 18 52.9 21 61.8
Baik 15 44.1 11 32.4
Total 34 100 34 100
Berdasarkan Tabel 10, Sebagian besar lansia (52.9%) cukup menyukai
rasa dan porsi makanan (61.8 %) yang disediakan di panti. Porsi yang disediakan
cukup baik karena untuk nasi, lansia mengambil sendiri sedangkan untuk lauk
pauk telah diporsikan oleh petugas. Kategori rasa cukup baik pada semua waktu
makan. Rasa masakan telah disesuaikan dengan selera sebagian lansia. Selain itu,
adanya tambahan sambal pada setiap hidangan membangkitkan selera makan pada
lansia. Penilaian lansia terhadap makanan yang disediakan sangat terkait dengan
penerimaan makanan yang akan berpengaruh pada kemampuan mengonsumsinya.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Menurut Arisman
(2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi
mutunya. Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan
kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei
konsumsi makanan. Pengukuran konsumsi pangan menggunakan metode
penimbangan langsung dengan pengamatan. Frekuensi makanan yang disediakan
panti adalah 3 kali makan utama. Konsumsi juga erat kaitannya dengan kebiasaan
makan lansia, dimana sebagian lansia ada yang mengkonsumsi makanan diluar
panti, mengkonsumsi suplemen, konsumsi cairan dan selingan. Berikut tabel
sebaran berdasarkan kebiasaan makan.
Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan kebiasaan makan
Kategori n %
Sarapan 34 100
Selingan 34 100
Jajan diluar 21 62
Konsumsi suplemen 26 76
Cairan <6 gls/hari 25 74
Cairan ≥6 gls/hari 9 26

Konsumsi Makanan Dalam Panti

Konsumsi makan lansia untuk sekali waktu makan terdiri atas sumber
karbohidrat, pangan hewani, pangan nabati dan sayur. Jenis hidangan sumber
18

karbohidrat yang disediakan panti, meliputi nasi putih dan nasi goreng. Pangan
hewani yang umumnya disediakan yaitu ikan, ayam, daging dan telur sedangkan
untuk pangan nabati meliputi tahu dan tempe. Hidangan sayur yang disajikan
untuk makan lansia umumnya berupa hidangan yang terdiri atas dua atau lebih
macam sayur, seperti sop sayuran, sayur lodeh, capcay dan lainnya. Rata-rata
konsumsi makan lansia (dalam panti) per hari sebesar 1342 kkal dan 39.8 g
protein.

Konsumsi Makanan Luar Panti

Lansia selain mengkonsumsi makanan dalam panti juga mengonsumsi


hidangan di luar panti. Berdasarkan hasil pengamatan sebanyak 62% lansia
mengonsumsi makanan diluar panti. Sebagian besar lansia jajan di luar karena
rasa lapar, mengingat panti hanya menyediakan tiga kali makan utama. Jenis
makanan yang umumnya dikonsumsi dari luar panti adalah roti, biskuit dan
gorengan. Konsumsi makanan diluar panti umumnya pada waktu selingan antara
pagi dan siang hari serta antara siang dan sore hari. Rata-rata konsumsi makan
lansia diluar panti per harinya sebesar 140 kkal dan 2.3 g protein.
Tabel 12 Konsumsi makan lansia
Konsumsi Energi Protein Lemak Vit A Kalsium Besi
(kkal) (g) (g) (RE) (mg) (mg)
Konsumsi dalam 1342 39.8 60.5 140.2 134.7 4.6
panti
Konsumsi luar 140 2.3 3.5 9.0 48.0 1.3
panti
Total 1482 42.1 64.0 149.2 182.7 5.9

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Energi yang dibutuhkan oleh lansia berbeda dengan energi yang


dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan.
Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun
organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun
fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda.
Kebutuhan kalori pada lansia akan menurun sekitar 5% pada usia 40-49
tahun dan 10% usia 50-59 tahun serta 60-69 tahun. Kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk lansia (>60 tahun) pada pria adalah 2200 kalori dan pada wanita
adalah 1850 kalori. Menurut WHO, seseorang yang telah berusia 40 tahun
sebaiknya menurunkan konsumsi energi sebanyak 5% dari kebutuhan
sebelumnya, kemudian pada usia 50 tahun dikurangi lagi sebanyak 5%.
Selanjutnya, pada usia 60-70 tahun, konsumsi energi dikurangi lagi 10% dan
setelah berusia diatas 70 tahun dikurangi 10%.
Kebutuhan energi dan zat gizi pada lansia didasarkan pada jenis kelamin
dan berat badan pada masing-masing kelompok umur. Rata-rata kebutuhan energi
dan zat gizi lansia adalah 1676 kkal, 43.5 g protein, 453.1 RE Vitamin A, 453 mg
kalsium dan 12.7 mg besi.
19

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi seseorang atau kelompok orang
dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang
dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan kebutuhannya. Angka
kecukupan zat gizi didasarkan pada jenis kelamin dan berat badan pada masing-
masing kelompok umur. AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat
gizi pada lansia dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 13 AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada lansia
Rata-rata
Energi dan zat gizi
AKG Konsumsi Tk. Kecukupan (%)
Energi (kkal) 1676±371 1482±328 90±23
Protein (g) 43.5±9.6 42.1±9.6 99±26
Vitamin A (RE) 453.1±100.3 149.2±39.1 34±10
Kalsium (mg) 453±100.3 182.7±1670.3 90±333
Besi (mg) 12.7±2.8 5.9±1.6 45±12
Konsumsi energi lansia sehari berkisar antara 1082-2601 kkal/hari dengan
rata-rata 1482 kkal/hari. Rata-rata AKG gizi lansia adalah 1676 kkal/hari.
Keseluruhan konsumsi energi lansia yang tinggal di RPSTW Bogor lebih rendah
daripada kebutuhan yang seharusnya dipenuhi oleh lansia. Hal ini disebabkan
karena pada lansia terjadi penurunan fungsi sistem gastrointestinal seperti
tanggalnya gigi yang mempengaruhi kenyamanan untuk makan, penurunan
sensitivitas indera penciuman dan perasa yang dapat menurunkan selera makan,
penurunan sekresi saliva yang mengakibatkan pengeringan rongga mulut yang
dapat mempengaruhi cita rasa. Selain itu pada lansia juga terjadi penurunan
produksi asam lambung dan enzim pencernaan serta penurunan kemampuan
mencerna dan menyerap zat gizi (absorpsi) serta penurunan motilitas usus yang
dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan.
Menurut Fatmah (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan
gizi pada lansia adalah perubahan hormon. Pertambahan usia menyebabkan
terjadinya peningkatan sensitivitas hormon kolesistokinin (CCK) yaitu hormon
yang mengontrol nafsu makan. Kombinasi antara peningkatan CCK dalam tubuh
dan peningkatan sesitivitas CCK terhadap rasa kenyang pada lansia menyebabkan
terjadinya anoreksia. Pada lansia, waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan
lambung lebih lama. Hal ini menjelaskan mengapa lansia memiliki efek kenyang
lebih lama dibandingkan usia yang lebih muda. Selain CCK, hormon yang
mempengaruhi anoreksia dan penurunan berat badan pada lansia yaitu leptin,
opioid, nitrit oksida dan sitokin.
Konsumsi protein lansia berkisar 29.9-76.8 g. Rata-rata asupan protein
pada lansia 42.1 g/hari. Sebagian lansia kecukupan proteinnya termasuk dalam
kategori defisit tingkat sedang (Tabel 13). Beberapa lansia mengalami penuruna
kemampuan mengunyah makanan sehingga merasa kesulitan dalam mengonsumsi
sumber protein yang bertekstur keras seperti ayam dan ikan goreng. Selain itu,
seiring bertambahnya usia, kemampuan sel untuk mencerna protein jauh lebih
menurun dibandingkan bukan lansia, sehingga secara keseluruhan akan terjadi
penurunan kebutuhan asupan protein dan hal ini akan terjadi pada semua lansia.
Menurut Fatmah (2010), penurunan asupan protein dapat berpengaruh besar pada
penurunan fungsi sel, sehingga seringkali terjadi penurunan massa otot dan
penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Terdapat 20.6% lansia tergolong
dalam kategori berlebih. Menurut Wellman dan Kamp (2004), asupan protein
20

yang berlebih akan memaksa kerja ginjal yang fungsinya telah menurun akibat
penuaan.
Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Energi Protein Vit A Kalsium Besi
Kategori Kategori
n % n % n % n % n %
Defisit Tk. Berat 2 5.9 3 8.8 Kurang 34 100 33 97.1 33 97.1
Defisit Tk. Sedang 6 17.6 8 23.5 Cukup 0 0 1 2.9 1 2.9
Defisit Tk. Ringan 4 11.8 7 20.6
Normal 12 35.3 9 26.5
Kelebihan 10 29.4 7 20.6
Total 34 100 34 100 Total 34 100 34 100 34 100
Rata-rata asupan vitamin A pada lansia berkisar 149.2 RE/hari. Tingkat
kecukupan rata-rata vitamin A dalam kategori kurang. Kekurangan ini dapat
dikarenakan rendahnya konsumsi pangan yang mengandung vitamin A. Vitamin
A memegang peranan penting dalam sistem imunitas tubuh. Vitamin A pada
lansia juga memiliki fungsi untuk melawan radikal bebas yang menyebabkan
penuaan. Kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons kekebalan yang
menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya perkembangan mental
dan terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010).
Konsumsi kalsium pada lansia berkisar 111.1-981.2 mg/hari dengan rata-
rata sebesar 182.7 mg/hari. Konsumsi kalsium pada lansia tergolong kurang
(97.1%) dari yang dianjurkan yaitu sebesar 500 mg/hari. Hal ini diduga karena
rendahnya konsumsi pangan sumber kalsium yang dikonsumsi lansia. Salah satu
sumber kalsium yang terbesar dan mudah diserap adalah susu. Lansia yang tinggal
di RPSTW Bogor dalam kesehariannya sangat jarang mengkonsumsi susu.
Umumnya lansia mengkonsumsi susu setiap hari Kamis pagi setelah selesai
mengikuti kegiatan olahraga. Menurut Flynn dan Cashman (1999), peningkatan
asupan kalsium dari makanan yang biasa dikonsumsi akan memberi keuntungan
untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang dan dapat mengurangi risiko
osteoporosis pada usia lanjut.
Kisaran konsumsi besi sebesar 3.5-9.4 mg/hari dengan rata-rata 5.9±1.6
mg/hari. Konsumsi besi pada lansia masih kurang dari yang dianjurkan sebesar 14
mg/hari. Zat besi umumnya paling banyak terdapat pada daging. Berdasarkan
siklus menu, hidangan dengan bahan dasar daging jarang disediakan. Hal ini dapat
menyebabkan asupan zat besi lansia menjadi rendah. Zat besi diperlukan tubuh
untuk pembentukan hemoglobin dan myoglobin yang diperlukan dalam
metabolisme tubuh mengangkut dan menyimpan oksigen serta sintesis DNA.
Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang
tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2004).

Konsumsi Suplemen dan Cairan

Begitu pentingnya peran vitamin dan mineral dalam menunjang upaya


agar tetap aktif, kreatif dan produktif di usia lanjut. Orang-orang lanjut usia
kadang-kadang juga menghadapi masalah masalah perubahan nafsu makan akibat
penurunan fungsi pencernaan, daya pengecapan dan penciuman serta
pengosongan lambung yang lambat. Akibatnya asupan gizi berkurang sehingga
21

kemungkinan besar kebutuhan vitamin dan mineral dari makanan tidak


mencukupi sehingga perlu adanya tambahan suplemen yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh pada usia 50 tahun ke atas (Fatmah 2010).
Berdasarkan hasil pengamatan sebagian besar lansia di RPSTW Bogor
mengonsumsi suplemen seperti vitamin dan mineral. Sebaran lansia yang
mengonsumsi suplemen dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan
bahwa sebagian besar lansia (76%) mengonsumsi suplemen. Suplemen yang
umumnya dikonsumsi berupa vitamin dan mineral seperti vitamin B1, vitamin B6,
vitamin B kompleks, vitamin C, zinc (Zn) dan Besi (Fe). Menurut Fatmah (2010),
konsumsi suplemen bagi lansia dianjurkan 1 buah atau 1 tablet per hari. Suplemen
ini berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menghambat kerusakan membran sel
yang disebabkan oleh oksidator.
Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan konsumsi suplemen
Jenis Suplemen n %
Vitamin 19 55.9
Mineral 4 11.8
Vitamin & mineral 2 5.9
Minyak ikan 1 2.9
Cairan sangat dibutuhkan oleh manusia karena sebagian besar tubuh
manusia itu sendiri terdiri dari air atau cairan. Berdasarkan Tabel 11, diketahui
sebagian besar lansia (74%) mengonsumsi cairan kurang dari 6 gelas/hari.
Menurut Fatmah (2010), konsumsi cairan yang direkomendasikan untuk lansia
sebesar 6 gelas/hari pada keadaan sehat. Kurangnya konsumsi cairan pada lansia
dapat dikarenakan terjadinya perubahan-perubahan yang dialami lansia,
diantaranya adalah penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan
penurunan rasa haus. Kekurangan cairan dapat mengakibatkan peningkatan resiko
penyakit pada sistem ekskresi. Menurut penelitian Yulizawati (2013), frekuensi
minum air putih antara lansia yang tinggal di Panti lebih banyak dibandingkan
dengan lansia yang tinggal bersama keluarga. Hal ini diduga karena lansia lebih
terbiasa mengonsumsi air putih dan keterbatasan jenis minuman yang disediakan
di Panti.

Status Gizi

Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri yaitu tinggi badan
(TB) dan berat badan (BB). Akan tetapi, pengukuran tinggi badan lansia sangat
sulit dilakukan mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis
atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak.
Oleh karena itu, perkiraan tinggi badan dapat menggunakan pengukuran tinggi
lutut. Sebaran lansia berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan status gizi
Kategori n %
Underweight 13 38.2
Normal 14 41.2
Overweight 4 11.8
Obesitas 3 8.8
Total 34 100
22

Berdasarkan Tabel 16, sebagian lansia (41.2%) memiliki status gizi


normal. Namun masih ada yang memiliki status gizi kurang (38.2%). Status gizi
berkaitan dengan tinggi badan dan berat badan. Hal yang diduga menjadi alasan
adanya masalah gizi kurang pada lansia adalah perubahan komposisi tubuh yang
terjadi pada lansia (tahap penuaan) yang dapat mempengaruhi antropometri yang
selanjutnya akan berdampak pada status gizi. Selain itu, pada lansia juga terjadi
perubahan fisiologi tubuh, seperti terjadinya penurunan sekresi saliva
mengakibatkan pengeringan rongga mulut yang dapat mempengaruhi cita rasa,
penurunan sensitivitas indera penciuman dan perasa yang dapat menurunkan
selera makan serta tanggalnya gigi yang mempengaruhi kenyamanan untuk makan
yang akan berdampak pada penurunan berat badan pada lansia (Fatmah 2010).
Menurut Patriasih et al. (2013), menyatakan bahwa indeks massa tubuh
dan lingkar pinggang pada lansia yang tinggal di non panti lebih besar
dibandingkan dengan lansia yang tinggal di panti. Hal ini dapat dikarenakan
asupan gizi yang berlebihan. Peningkatan indeks massa tubuh berkaitan erat
dengan peningkatan penyakit degeneratif kronis, seperti DM tipe 2, penyakit
kardiovaskular dan kanker.
Hal ini berbeda dengan penelitian Yuizawati (2013), yang menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara lansia yang tinggal di panti
dengan yang non panti. Sebagaian besar lansia di Kota Bandung yang tinggal di
Panti memiliki status gizi normal (37%), namun masih ada sebagian lansia yang
memiliki status gizi kurang sebesar (8.7%).
Masalah gizi kurang juga dapat dipengaruhi oleh adanya penyakit yang
dialami oleh lansia tersebut. Jika seorang lansia memiliki penyakit degeneratif,
maka asupan gizinya menjadi berkurang. Selain itu pengobatan juga dapat
mempengaruhi gizi pada lansia. Obat-obatan yang dikonsumsi untuk
menyembuhkan penyakit dapat menimbulkan efek samping dan menghasilkan
interaksi negatif dengan zat gizi dalam tubuh. Keadaan ini dapat berakibat buruk
pada status gizi pasien. Menurut Bray (1991), untuk mencapai status gizi yang
baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi
dan dapat memenuhi kebutuhan seseorang.
Sebanyak 20.6% lansia juga mengalami gizi berlebih. Hal ini dapat
dikarenakan faktor genetik juga asupan yang berlebih. Sumber energi yang
dikonsumsi lansia umumnya berupa nasi, mie dan kentang. Menurut Gross et al
(2004), asupan energi yang berlebihan dan tertimbun didalam tubuh, terutama
dalam jaringan adiposa dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang
pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin dan sindroma metabolik.

Status Kesehatan

Salah satu indikator dalam mengukur status kesehatan dapat dilihat dari
skor morbiditas. Semakin bertambahnya usia maka akan lebih mudah untuk
terserang berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes mellitus,
jantung, kanker, osteoporosis (Jauhari 2003). Sebaran lansia berdasarkan status
kesehatan berdasarkan jenis penyakit dapat dilihat pada Tabel 17.
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa lansia di RPSTW paling
banyak menderita penyakit hipertensi (67.6%). Penyakit hipertensi akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pada lansia tekanan darah sangat
23

peka terhadap efek makanan tinggi garam (natrium). Kepekaan yang meningkat
pada lansia ini menyebabkan menurunnya pengeluaran natrium melalui air seni.
Tingginya intake garam, lemak dan protein dapat meningkatkan resiko hipertensi,
selain itu tingginya intake lemak jenuh ganda akan menurunkan tekanan darah.
Erlinger (2000) menyatakan bahwa kelebihan gizi dapat meningkatkan resiko
penyakit hipertensi, lansia yang menderita hipertensi 61% kelebihan berat badan.
Venkatraman (2002) juga menyatakan bahwa kelebihan berat badan berhubungan
erat dengan terjadinya penyakit hipertensi.
Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis penyakit
Kategori n %
Hipertensi 23 67.6
GOUT 12 35.2
Anemia 7 20.6
Anoreksia 4 11.8
DM 4 11.8
Lainnya 1 2.9
Sebagian besar lansia juga menderita penyakit GOUT atau asam urat. Hal
ini dapat dikarenakan konsumsi makanan yang mengandung tinggi purin. Selain
itu dapat disebabkan karena tubuh juga menghasilkan asam urat yang merupakan
metabolisme akhir purin. Di dalam tubuh perputaran purin akan terjadi secara
terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian DNA serta RNA sehingga
apabila tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung purin tubuh akan tetap
membentuk asam urat dalam jumlah yang substansial (Kumalasari et al. 2009).
Persentase penyakit berikutnya yang diderita oleh lansia adalah anemia
(20.6%). Menurut Patriasih et al. (2013), menyatakan prevalensi anemia pada
lansia yang tinggal di Panti lebih tinggi (45.1%) dibandingkan dengan yang tidak
tinggal di Panti (28.9%). Anemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar Hb
rendah karena kondisi patologis. Anemia gizi adalah keadaan ketika kadar
hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah lebih rendah dari normal sebagai
akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi (Fatmah 2010). Anemia
dapat disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat dan vitamin B12 yang semuanya
berakar pada asupan yang tidak cukup dan ketersediaan yang rendah.
Lansia di RPSTW juga ada yang menderita anoreksia. Hal ini dikarenakan
pertambahan usia yang menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas hormon
kolesistokinin (CCK). Kombinasi antara peningkatan konsentrasi CCK dalam
tubuh dan peningkatan sensitivitas CCK terhadap rasa kenyang pada lansia
menyebabkan terjadinya anoreksia.
Sebanyak (11.8%) lansia di RPSTW Bogor menderita diabetes mellitus.
Hasil penelitian Erlinger (2000), menyatakan bahwa kelebihan gizi dapat
meningkatkan penyakit diabetes mellitus. Sebanyak 25.2% penderita diabetes
adalah obes dan 26.8% penderita diabetes adalah overweight. Penurunan berat
badan merupakan pengobatan terbaik untuk pasien diabetes yang gemuk.
Kegemukan menyebabkan jumlah insulin tidak cukup untuk mempertahankan
kadar glukosa dalam batas normal, akibatnya kadar glukosa dalam darah menjadi
tinggi.
Penyakit lainnya yang umumnya diderita oleh lansia sebesar 2.9% adalah
gangguan pernafasan (paru-paru). Gangguan pernafasan (paru-paru) juga masih
terdapat pada lansia. Hal ini dikarenakan jumlah alveoli pada lansia akan
24

berkurang dibandingkan pada saat dewasa, selain itu terjadi penurunan daya tahan
paru-paru karena asap rokok dan polusi udara yang menjadikan lansia rentan
terhadap berbagai gangguan paru-paru dan pernafasan (Fatmah 2010)
Persentase hipertensi yang cukup besar (67.6%) pada lansia menjadi
perhatian untuk mencegah timbulnya komplikasi. Berikut sebaran lansia
berdasarkan tekanan darah. Berdasarkan Tabel 18, sebagian lansia (54%)
mengalami hipertensi. Menurut penelitian Andriani dalam Venny, Zaimah (2013)
salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah hipertensi atau
tekanan darah tinggi. Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi hipertensi
antara lain: umur, jenis kelamin, merokok, stress, konsumsi alkohol, konsumsi
garam, pendapatan, status gizi, dan obesitas. Menurut Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure, umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan
bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun
yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.
Tabel 18 Sebaran lansia berdasarkan kategori hipertensi
Kategori n %
Normal 16 47
Mild Hypertension 8 24
Moderate Hypertension 5 15
Severe Hypertension 5 15
Total 34 100
Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi di dalam
pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam
proses sirkulasi dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan
untuk menggerakan darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding elastis
dengan ketahanan yang kuat. Menurut Krummel (2004), Tekanan sistolik terus
meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai
usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun
drastis.
Menurut Suarthana et al (2011) dalam Venny, Zaimah (2013), gizi juga
mempengaruhi tingkat kekambuhan pada pasien hipertensi dikarenakan tanpa
diimbangi gizi yang adekuat maka akan terjadi kekurangan energi yang akan
menyebabkan peningkatan aliran darah. Pada dasarnya prevalensi terjadinya
hipertensi pada wanita sama dengan pria. Namun sebelum mengalami menopause,
wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskular karena aktivitas hormon estrogen
yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Pada pre-menopause wanita mulai kehilangan
sedikit demi sedikit hormon estrogen. Proses ini terus berlanjut di mana jumlah
hormon estrogen tersebut makin berkurang secara alami seiring dengan
meningkatnya usia, yang umumnya umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-
55 tahun.
25

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi

Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 19 menunjukkan bahwa tingkat


kecukupan energi dan protein tidak memiliki hubungan yang nyata dengan status
gizi (p>0.05). Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau
sekelompok orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan
zat gizi makanan masa lalu. Food weighing ataupun food recall 1x 24 jam tidak
dapat menggambarkan status gizi seseorang pada saat itu. Penelitian Fauziah
(2012) menyatakan bahwa konsumsi pangan serta asupan energi tidak memiliki
hubungan yang signifikan dikarenakan food recall tidak dapat menggambarkan
status gizi pada saat itu.
Menurut Sukandar (2007), pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh
konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut.
Penelitian ini mengambil contoh lansia yang merupakan kelompok yang telah
mengalami penurunan fungsi dan metabolisme tubuh, sehingga penyerapan zat
gizi dalam tubuh tidak optimal untuk menyediakan cadangan dalam tubuh.
Hubungan asupan energi, protein dengan status gizi dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Korelasi antara tingkat kecukupan energi, protein dengan status gizi
Status Gizi
Peubah
r p
TKE 0.254 0.147
TKP 0.184 0.296
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan pada Tabel 20 bahwa tingkat
kecukupan vitamin dan mineral seperti Vitamin A, kalsium, zat besi tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi. Hasil penelitian yang sama
juga diperoleh oleh Yulizawaty (2013), yang menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan
status gizi. Hal ini diduga karena konsumsi lansia terhadap sumber makanan
vitamin dan mineral seperti protein hewani, sayuran dan buah masih sangat
terbatas. Selain itu adanya kebiasaan lansia mengonsumsi teh manis, sayur bayam
secara bersamaan sehingga zat gizi yang terserap ke dalam tubuh hanya sedikit
disebabkan oleh sifat inhibitor yang terdapat pada setiap jenis pangan.
Menurut Thankachan et al (2008), menyatakan zat yang menghambat
penyerapan zat besi antara lain asam fitat, asam oksalat dan polifenol seperti
tannin yang terdapat pada teh dan kopi. Berikut hasil uji korelasi antara tingkat
kecukupan vitamin dan mineral dengan status gizi pada Tabel 20.
Tabel 20 Korelasi antara tingkat kecukupan vitamin, mineral dengan status gizi
Status Gizi
Peubah
r p
TK Vit A -0.318 0.066
TK Kalsium -0.279 0.110
TK Besi -0.217 0.218
26

Hubungan Tekanan Darah dengan Status Gizi

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan


yang signifikan (r = -0.219 dan p = 0.214) antara tekanan darah dengan status gizi.
Hasil penelitian yang sama juga diperoleh oleh Destyana (2009), yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan
tekanan darah di Kecamatan Purwokerto Timur. Hal ini diduga karena tekanan
darah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor genetik, aktivitas saraf
simpatis, konsumsi garam yang berlebihan dan aktivitas fisik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Lansia di RPSTW Bogor memiliki pendidikan yang tergolong rendah


yaitu sebanyak 32.4% adalah lulusan Sekolah Dasar. Rendahnya pendidikan ini
juga berbanding lurus dengan mata pencahariannya yang sebagian besar bekerja
sebagai buruh dan asisten rumah tangga. Para lansia umumnya berasal dari kota
Bogor dan memiliki sumber pendapatan sebagian besar dari sosial (donatur)
RPSTW Bogor mengelola penyelenggaraan makanan sendiri tanpa
menggunakan jasa katering. Siklus menu yang dipakai adalah siklus 10 hari
ditambah 1 hari khusus untuk tanggal 31. Frekuensi makan sebanyak 3 kali waktu
makan utama dengan anggaran dana Rp 30.000 per lansia. Penyelenggaraan
makanan di RPSTW Bogor mulai dari perencanaan hingga distribusi makanan
masih tergolong kurang karena ada beberapa kriteria penyelenggaraan makanan
(mengacu pada Depkes) yang belum dipenuhi yaitu tidak memperhatikan
kebutuhan gizi lansia pada saat menyusun menu dan siklus menu, serta kurang
memperhatikan higiene perorangan.
Daya terima contoh terhadap rasa dan porsi hidangan yang disajikan cukup
baik. Status gizi lansia sebagian besar normal (56%). Sebagian besar lansia
(67.6%) menderita hipertensi dengan persentase terbesar (24%) tergolong mild
hypertension (hipertensi ringan).
Konsumsi energi lansia sehari berkisar antara 1082-2601 kkal/hari dengan
rata-rata 1482 kkal/hari sedangkan konsumsi protein lansia berkisar 29.9-76.8 g
dengan rata-rata 42.1g/hari. Selain konsumsi pangan, lansia juga mengkonsumsi
suplemen. Sebagian besar lansia (58.8%) mengkonsumsi suplemen jenis vitamin,
seperti vitamin B1, B6, B kompleks dan vitamin C.
Tingkat kecukupan baik energi maupun protein masih defisit begitu juga
dengan tingkat kecukupan vitamin dan mineral masih kurang. Hasil uji korelasi
Pearson menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi (p>0.05). Hasil uji Pearson juga
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tekanan darah
dengan status gizi (r = -0.219 dan p = 0.214).
27

Saran

Tingkat kecukupan baik energi maupun protein dalam kategori defisit. Hal
ini dikarenakan asupan terhadap makanan yang rendah. Asupan yang rendah dapat
dikarenakan penurunan fungsi dari sistem gastrointestinal yang terjadi pada lansia
seperti penurunan sensitivitas indera penciuman dan perasa yang dapat
menurunkan selera makan. Oleh karena itu, hendaknya hidangan yang disajikan
dapat meningkatkan selera makan pada lansia dengan memperhatikan rasa, porsi
juga tekstur makanan disamping dengan memperhatikan kebutuhan gizi nya.
Siklus menu yang ada sudah baik hanya saja pelaksanaannya belum
terlaksana sepenuhnya, untuk itu perlu adanya pengawasan mulai dari
perencanaan, pengolahan, pemorsian hingga pendistribusian makanan ke lansia
sehingga kecukupan gizi lansia dapat terpenuhi. Perencanaan menu juga
hendaknya melibatkan ahli gizi dalam menentukan pola konsumsi yang sesuai
dengan kebutuhan gizi dan diet pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani YN. 2012. Penyelenggaraan Makanan, Daya Terima dan Konsumsi


Pangan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor
[Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor.
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID: EGC.
Bray GA. 1991. Obesitas. Handali S, penerjemah; Andianto P, editor. Jakarta
(ID): EGC. Terjemahan dari: Prevention of Coronary Heart Disease
Practice Management of The Risk Factors. Hlm: 75-77.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Pedoman
Tatalaksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta (ID):
Depkes RI.
. 2006. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit.
Jakarta (ID): Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi
Masyarakat-Depkes.
. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta (ID): Depkes RI.
. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1096 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta (ID): Depkes RI.
[Depsos] Departemen Sosial. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dalam Panti. Jakarta (ID): Depsos.
Destyana R, Saryono, Mursiyam. 2009. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh
dengan Tekanan Darah dan Golongan Darah di Kelurahan Mersi Kecamatan
Purwokerto Timur. The Soedirman Journal of Nursing 4(2): 54-60.
Erlinger, T. 2000. Nutrition Related Cardiovascular Risk Factors in Older People:
Result From the Third National Health and Nutrition Examination Survey.
JAAG 48: 1486-1489. American Geriatrics Society.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.
28

Fauziah S. 2012. Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status
Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor
[Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
Flynn A, Cashman KD. 1999. Calcium Fortification of Foods. In Mineral
Fortification of Foods, pp. 18-53 (R. Hurrel, edit). Surrey: Leatherhead
Food RA.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York (US): Oxford
University Press.
Gross LS, Li Li, Ford ES, Liu S. 2004. Increased Consumption of Refined
Carbohydrates and the Epidemic of Type 2 Diabetes in United States: an
Ecologic Assessment. Am J. Clin Nutr 79: 774-9
Hardinsyah, Briawan D. 2002. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah et al. 1989. Aspek Gizi dan Daya Terima Menu Makanan Pokok
Beragam Dalam Upaya Penyelenggaraan Konsumsi Pangan. Laboratorium
Gizi Masyarakat, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,Institut Pertanian
Gizi, Bogor.
Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S,
editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11 th ed. USA (US):
Elsevier. Hlm 319-396.
Hayens B et al. 2003. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta (ID): Ladang
Pustaka.
Hughes, D. 2000. Effect of Withdrawal of Calcium and Vitamin D supplements
on Bone Mass In Elderly Men and Women. A.J.Clin Nutr:72, 745-750.
Jauhari, M. 2003. Status Gizi, Kesehatan dan Kondisi Mental Lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[JNC] Joint National Committee. 2008. Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure. The Journal of Lancaster General Hospital Vol 3, No 3.
[Kemsos] Kementrian Sosial. 2007. Penduduk Lanjut Usia di Indonesia dan
Masalah Kesejahteraan nya. Jakarta (ID): Kemsos.
Krummel DA. 2004. Medical Nutrition Theraphy for Cardiovascular Disease. Di
dalam: Mahan LK dan Escott Stump S, editor. Food, Nutrition and Diet
Therapy. USA (US): Saunders co. hlm 286-303.
Kumalasari T, Saryono, Purnawan I. 2009. Hubungan Indeks Massa Tubuh
dengan Kadar Asam Urat Darah pada Penduduk Desa Banjaranyar
Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Jurnal keperawatan soedirman:
Vol 4, No 3.
Manasik A. 2011. Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia
di Ruang Gayatri RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):
Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Moehyi S. 1997. Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit.
Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka Utama
Muis F, Nurkinansih, Darmojo B. 1992. Gizi untuk Usia Lanjut. Prosiding:
Kongres Nasional Persagi IX dan KPGI, Semarang 17-19 November 1992.
Jakarta (ID): Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
29

Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): PT


Rineka Cipta.
Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, Khomsan A, Sukandar D. 2013. A study on
Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the
Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home.
Bogor (ID): IPB Press.
Salim O, Kusumaratna R, Sudharma N, Hidayat A. 2006. Tinggi Lutut Sebagai
Prediktor dari Tinggi Badan Lanjut Usia. Universa Medicina Vol 25 No 1.
Sharkey J. 2002. Inadequate Nutrition Intakes Among Homebound Elderly and
Their Correlation With Individual Characteristic and Health Related
Factors. Am J.Clin Nute Vol 76 No.6 1435-1445.
[SIGN] Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2001. Hypertension in Older
People. Edinburgh: Royal College of Physicians.
Soehardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara
bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi. Bogor
(ID) : Departemen Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Supriasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC.
Thankachan P et al. 2008. Iron Absorption in Young Indian Women: The
Interaction of Iron Status With the Influence of Tea and Ascorbic Acid. Am
J. Clin Nutr 87(88): 1-6.
Venkatraman. 2002. Association of Overall and Abdominal Obesity With
Coronary Heart Disease Risk Factors Comparison Between Urban and Rural
Indian Men. Asia Pasific J.Clin Nutr 11 (1): 66-71.
Venny RP, Zaimah ZT. 2013. The Nutritional Status of Elderly Hypertensive
Patient in RSUP H. Adam Malik. J. FK USU Vol 1 No.1
Wellman NS, Kamp BJ. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK dan
Escott Stump S, editor. Food, Nutrition and Diet Therapy. USA (US):
Saunders co. hlm 833-859.
[WHO] World Health Organization. 2007. Physical Status: The Use and
Interpretation of Anthropometry. Geneve: WHO Expert Committee.
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.
Yulizawaty R. 2013. Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status
Kesehatan Lansia di Kota Bandung [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
30

LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha


Bogor

Kepala Panti
Drs. Harry Yulianto

Jabatan Fungsional Pelayanan Sosial Pelaksana Tata Usaha


Irtantri Wulanjari, SE Edi Mesuwadi, S. IP, MM

Fungsional
Perawat Kasir
Mustafa, SE, MM
Grisihanti G Gumiwang Ika Suhermawati
Fajar Widiyanti, A. Md. Kep
Dokter Yuni Fridayani, A. MK Kepegawaian, Umum dan
Dr. H. Anis Mubarok Perlengkapan
Mahfudin
Pembina Kerohanian Pramuwerdha
Ustad Zaenudin Siti Laela Arsip dan Pelaporan
Irwan Mardiyansyah
Instruktur Olahraga Tety Sri Rahayu Pengamanan Dalam
Cucu Kartinah Ade Suparlan
Hendra Dhani, SE

Instruktur Ketrampilan Petugas Kebersihan


Nenah Hasanah
Muhammad Yusuf

Juru Masak
Oka Hayati
Ijah Hadijah
31

Lampiran 2 Siklus menu di RPSTW Bogor


Hari ke-
Waktu
11 (Khusus
Makan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanggal 31)
Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi
goreng
Mi goreng Oseng tahu Mentimun Bihun Capcay Mi goreng Tumis labu Soun bb Abon sapi Telur mata Oseng tempe
komplit toge goreng + bakso siam cabai hijau sapi
Pagi

wortel
Semur telur Telur dadar Telur mata Ayam Pepes tahu Tumis Ceplok Perkedel Telur dadar Tahu sayur Tahu ceplok
sapi goreng jagung telur kecap jagung bumnu
Tahu goreng Martabak Tempe Semur tahu Tempe Goreng Tumis Tempe Bawang Martabak Perkede tahu
mie goreng mendoan tempe jagung mendoan goreng mie
Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi
Pindang Sayur Kari sayur Gado-gado Sop kacang Sayur asam Sayur Oseng paria Tumis sawi Sayur Semur
tongkol lodeh + daging merah lodeh + tempe bening daging +
wortel +
Siang

kentang
Sayur Ikan mas Tempe Ikan Ayam Ikan Ikan mas Ikan Perkedel Tempe Tahu goreng
kacang goreng mendoan kembung goreng tongkol goreng kembung jagung asem manis
goreng balado
Perkedel Martabak Perkedel Perkedel Bacem Perkedel Tempe Perkedel Ikan mas Perkedel Pepes tahu
jagung telur kentang tahu tahu kentang goreng kentang goreng jagung
Selingan Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack Buah/snack
Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi Nasi
Sayur Sayur Sayur sop Oseng labu Oseng sawi Soup Tumis Oseng Oseng Sop sayuran Cah sawi
kacang bening siam putih mutiara sosis tahu buncis dan buncis putih
tempe
Malam

Rendang Ayam Telur Ayam Pindang Gepuk Bistik Sambal Tempe Kalio ayam Ayam
daging goreng balado semur ikan mas kering daging goreng balado goreng
kentang, iga
Tempe Tempe Pepes tahu Tempe Perkedel Tahu Martabak Perkedel Rendang Bakwan Perkedel
goreng bacem goreng tahu goreng telur tahu tahu kentang
32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 September 1990 dari ayah


Riduan Pasaribu, S.E dan ibu Dra. Tapitta Hutajulu. Penulis adalah putri kedua
dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMKN 38 Jakarta dan pada
tahun yang sama diterima di Diploma IPB Program Keahlian Manajemen Industri
Jasa Makanan dan Gizi. Pada tahun 2011 penulis lulus dari Diploma IPB dan
melanjutkan pendidikan di Program Alihjenis Ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Dietetik
Gizi dan Penyakit Degeneratif Diploma III pada tahun ajaran 2011/2012, asisten
praktikum Dasar-dasar Dekorasi Hidangan Diploma III pada tahun ajaran
2011/2012, asisten praktikum Teknik Pelayanan Makanan Diploma III pada tahun
ajaran 2011/2012 dan asisten praktikum Dietetika Penyakit Infeksi dan Defisiensi
Departemen Gizi Masyarakat pada tahun ajaran 2012/2013. Penulis juga pernah
melaksanakan Praktik Kerja Lapang di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto bulan September 2010 hingga Januari 2011.

You might also like