You are on page 1of 5

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL

Institutional Uncertainty, Fragmented Urbanization and Spatial


Lock-in of the Peri-Urban Area of China: A Case of Industrial Land
Redevelopment in Panyu

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengendalian Pemanfaatan Ruang (TKP 525)
Dosen Pengampu: Grandy Loranessa Wungo, ST., MT.

Disusun oleh:

Vitalia Irmawati 21040115120028

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
Pengaturan atau susunan kelembagaan sangat berperan penting dan memberikan
dampak yang cukup signifikan dalam penggunaan lahan serta pola spasial dalam suatu
wilayah (Wang, Tian, & Yao, 2018). Selain itu, kelembagaan juga menjadi salah satu
terhambatnya pembangunan, jika kelembagaan tersebut memiliki kebijakan yang tidak pasti
terutama dalam pembangunan. Sehingga hal tersebut menyebabkan masalah pembangunan
akan semakin berkepanjangan. Disini penulis lebih fokus kepada ketidakpastian kelembagaan
yang menyebabkan beberapa permasalahan lahan.
Seperti halnya terjadi di China, sejak masa reformasi China mengalami fenomena
urbanisasi yang cepat. Terdapat dua jenis urbanisasi yang saling berdampingan yaitu
urbanisasi top-down yang dipimpin oleh pemerintah dan urbanisasi bottom-up yang di pimpin
oleh desa-desa pedesaan. Urbanisasi berbasis desa pada umumnya terjadi di pinggiran
perkotaan. Banyak pula desa otonom yang mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi non-
pertanian baik secara formal ataupun informal, sehingga mencipakan persaingan lahan yang
intensif dengan pemerintah kota. Proses tersebut sering dilakukan dan menyebaban
hilangnya lahan pertanian, sehingga menimbulkan lansekap desa-kota terfragmentasi,
pembangunan lahan yang tidak efisien, dan masalah lingkungan lainnya.
Pemerintah China pada tahhun 2003 memberlakukan sistem kuota lahan guna
menekan pertumbuhan urban sprawl. Sistem tersebut mengatur jumlah lahan baru yang dapat
ditambah pada subnasional. Hal tersebut menyebabkan pergeseran penekanan urban sprawl
menjadi pembangunan kembali untuk menekan permintaan lahan di masa yang akan datang.
Sedangkan pada tahun 2009 pemerintah Guangdong memulai “lokasi percobaan nasional”
dengan kebijakan tiga pembaruan, yang melibatkan tiga jenis penggunaan lahan
pembangunan kembali yaitu “pembaruan pabrik lama, lingkungan lama, dan desa-desa tua
dikota”.
Urbanisasi yang terfragmentasi di bawah ketidakpastian institusional
Ketidakpastian institusi dan sewa lahan dari lahan kolektif
Di China antara perkotaan dan pedesaan memiliki domain yang berbeda secara
kelembagaan. Hak atas lahan milik negara telah didefinisikan dengan jelas, namun tidak
dengan hak lahan kolektif yang cenderung ambigu. Menurut UU pengelolaan lahan (1986),
desa-desa harus terlebih dahulu menerima persetujuan dari pemerintah untuk
mengembangkan lahan kolektif sebagai lahan non-pertanian, penggunaan lahan terbatas
pada perumahan, fasilitas umum, dan perusahaan desa-kota yang dimiliki secara kolektif.
Desa-desa juga tidak diperkenankan memperoleh pendapatan dari lahan yang dibiarkan
untuk penggunaan perkotaan, kecuali mereka menyerahkan kepemilikan lahan kolektif
melalui proses permintaan lahan.
Perubahan kelembagaan dari bottom-up selama tahun 1990-an yang dikenal dengan
Land Shareholding Co-Operatives (LSC) berbasis desa, merupakan respon atas
ketidakpastian isntitusional yang disebabkan oleh hak milik lahan kolektif yang ambigu.
Dibawah LSC, hak tanah petani individu diubah menjadi saham, menyatukan dan
merencanakan lahan secara bersama untuk kegiatan pertanian atau non-pertanian. Desa-
desa di bawah LSC menyewakan sumberdaya lahan mereka kepada perusahaan swasta,
meskipun lahan milik kolektif dilarang untuk penggunaan non-pertanian tanpa adanya
persetujuan resmi. Akibatnya pasar lahan pedesaan informal telah dikembangkan sejak tahun
1990-an. Dibawah LSC, lahan kolektif berperan aktif dalam sewa lahan dan memegang
sejumlah besar lahan yang dibangun tanpa adanya hak milik de jure.
Urbanisasi terfragmentasi dan Lock-in Spasial di daerah peri-urban
Lembaga informal mungkin efisien dan memberikan kepastian dan meningkatkan
kesejahteraan bagi masyarakat yang homogen selama masa transisi sosial dan ekonomi,
tetapi dalam konteks lingkungan yang dinamis dan heterogen, mereka hampir tidak dapat
menangani perubahan ekonomi dan sosial yang rumit (World Bank, 2002). Ketiadaan aturan
formal, kegiatan dibawah lembaga informal lebih banyak menghadapi resiko ketidakpastian,
sanksi hukum, kurangnya perlindungan jaminan sosial dan resiko lainnya.
Meskipun LSC memungkinkan desa-desa mendapatkan keuntungan dari kegiatan sewa
lahan, tetapi informalitas LSC menyebabkan ketidakpastian. Hal tersebut dikarenakan LSC
tidak dapat melindungi lahan kolektif yang dibeli pemerintah dengan harga yang rendah, dan
kemungkinan besar kehilangan potensi perbedaan sewa lahan yang menguntungkan. Selain
itu mereka juga menghadapi kemungkinan sanksi yang didapat karena penggunaan lahan
kolektif untuk non-pertanian bersifat informal. Ketidakpastian tersebut menimbulkan perilaku
picik, desa-desa berupaya untuk memaksimalkan kesejahteraannya sendiri tanpa memikirkan
kepentingan jangka panjang. Sehingga mereka mengalihfungsikan lahan lebih banyak untuk
penggunaan non-pertanian guna memperoleh pendapatan tambahan.
Adanya dorongan sewa lahan menyebabkan setiap desa bertindak sebagai pengembang
independen untuk merencanakan dan mengembangkan lahan non-pertanian dalam batasnya
sendiri. di sebagian besar wilayah delta sungai Yangtze dan delta sungai Pearl lansekap
pertanian tradisional tergantikan dengan pemandangan kota yang terfragmentasikan. Struktur
spasial dibawah lembaga yang ‘terpilih’ sulit untuk diubah. Hal tersebut dipengaruhi oleh
sejarah penting yang menggambarkan sebuah fenomena bahwa peristiwa di masa lalu
membentuk keputusan saat ini. Selain itu, institusi yang ada, tidak peduli formal atau informal,
jelas atau tidak jelas, efisien atau tidak efisien, tidak dapat dengan mudah diganti oleh yang
baru dibuat, karena dapat melakukan fungsi peran yang diperlukan untuk masyarakat.
Dalam beberapa kasus, efek 'lock-in' berpotensi dapat terjadi ketika biaya transaksi untuk
perubahan terlalu tinggi. Banyak studi empiris yang menunjukkan bahwa lock-in yang
terbentuk dapat berlanjut selama beberapa dekade meskipun banyak kebijakan perencanaan
baru yang diusulkan (Nitsch, 2003; Meen dan Nygaard, 2011; Nygaard and Meen, 2013).
Struktur penggunaan lahan yang terfragmentasi dan telah terbentuk membuat perubahan
spasial menjadi tugas yang sulit. Desa-desa telah mengendalikan sejumlah besar lahan
kolektif non-pertanian dan menjadi pemilik tanah de facto dengan kekuatan negosiasi yang
lebih besar (Tian dan Zhu, 2013). Dalam pembangunan kembali lahan kolektif, desa
cenderung mengambil harga sewa lebih, karena mereka tidak hanya membutuhkan
kepemilikan lahan kolektif, tetapi juga membutuhkan lebih banyak kompensasi dari
pemerintah (Guo et al., 2016).
Sumber: Wang, Tian, & Yao, 2018.
Gambar 1 Location of Panyu in Guangzhou and Pearl River Delta
Fragmentasi penggunaan lahan didominasi oleh lahan industri kolektif
Pertumbuhan sektor manufaktur di Panyu menjadikan sejumlah besar lahan pertanian
dikembangkan untuk keperluan industri dengan pola yang menyebar. Di antara 177 desa
administratif, 156 desa mengembangkan lahan industri di wilayah mereka. Rata-rata, luas
lahan industri di setiap desa adalah sekitar 23 hm2.

Sumber: Urban Planning Bureau of Panyu,2016, dalam Wang, Tian, & Yao, 2018.
Gambar 2 Pengembangan lahan industri terfragmentasi di seluruh district pada tahun 2014.
Perkembangan lahan industri kolektif informal menjadikan pola penggunaan lahan lebih
kompleks dan terpecah-pecah. Menurut survei The Urban Redevelopment Bureau (URB)
Panyu pada tahun 2009, lebih dari 50% dari total luas lahan industri dimiliki secara kolektif.
Untuk mendapatkan pendapatan dari perusahaan luar negeri, beberapa kelompok desa
masih menerapkan penggunaan lahan kolektif non-pertanian dengan kedok pengembangan
TVE (Jiang dan Liu, 2003). Lebih umum, banyak desa mengembangkan lahan pertanian untuk
keperluan industri tanpa persetujuan pemerintah. Survei 2009 dari URB menunjukkan bahwa
lebih dari 60% lahan industri kolektif dikembangkan tanpa sertifikat penggunaan lahan,
persetujuan resmi dari pemerintah. Akibatnya, lahan pertanian dengan hak penggunaan lahan
formal dan informal bercampur, emakin memperdalam derajat dan dimensi fragmentasi
penggunaan lahan.
Gambaran tentang pengembangan kembali lahan industri Panyu di bawah latar belakang
perubahan kelembagaan
Sebelum pengumuman Kebijakan Tiga Pembaruan, pengambilalihan tanah yang dilakukan
oleh pemerintah adalah satu-satunya saluran formal untuk membangun kembali tanah kolektif
yang dibangun. Karena kelompok desa sudah menguasai banyak lahan kolektif, mereka
cenderung menggunakan semua sarana yang mereka miliki, seperti protes atau koneksi
politik, untuk mempertahankan kompensasi yang lebih tinggi.
Dihadapkan dengan hambatan seperti itu, pengaturan kelembagaan baru untuk
pengembangan lahan industri kolektif di bawah Kebijakan Tiga Pembaruan membuat dua
perubahan penting untuk memotivasi pembangunan kembali. Pertama, desa-desa berhak
mendapatkan hak pengembangan diri dari lahan industri kolektif. Kedua, kebijakan baru ini
memberdayakan lahan kolektif desa dengan berbagi keuntungan dari pembangunan kembali
dengan pemerintah setempat.
Setelah melakukan review, dapat diketahui bahwa peran kelembagaan sangat penting
tentunya dalam pengendalian pemanfaatan ruang, baik itu formal atau pun informal. Namun,
ada kalanya kelembagaan menjadikan pembangunan kurang berjalan dengan lancar akibat
kebijakan yang kurang relevan. Seperti halnya seperti kasus di Panyu, kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, informalitas kelembagaan yang mendominasi
menyebabkan banyak permasalahan lahan yang timbul seperti alih fungsi lahan untuk
mendapatkan keuntungan lebih.

You might also like