Professional Documents
Culture Documents
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengendalian Pemanfaatan Ruang (TKP 525)
Dosen Pengampu: Grandy Loranessa Wungo, ST., MT.
Disusun oleh:
Sumber: Urban Planning Bureau of Panyu,2016, dalam Wang, Tian, & Yao, 2018.
Gambar 2 Pengembangan lahan industri terfragmentasi di seluruh district pada tahun 2014.
Perkembangan lahan industri kolektif informal menjadikan pola penggunaan lahan lebih
kompleks dan terpecah-pecah. Menurut survei The Urban Redevelopment Bureau (URB)
Panyu pada tahun 2009, lebih dari 50% dari total luas lahan industri dimiliki secara kolektif.
Untuk mendapatkan pendapatan dari perusahaan luar negeri, beberapa kelompok desa
masih menerapkan penggunaan lahan kolektif non-pertanian dengan kedok pengembangan
TVE (Jiang dan Liu, 2003). Lebih umum, banyak desa mengembangkan lahan pertanian untuk
keperluan industri tanpa persetujuan pemerintah. Survei 2009 dari URB menunjukkan bahwa
lebih dari 60% lahan industri kolektif dikembangkan tanpa sertifikat penggunaan lahan,
persetujuan resmi dari pemerintah. Akibatnya, lahan pertanian dengan hak penggunaan lahan
formal dan informal bercampur, emakin memperdalam derajat dan dimensi fragmentasi
penggunaan lahan.
Gambaran tentang pengembangan kembali lahan industri Panyu di bawah latar belakang
perubahan kelembagaan
Sebelum pengumuman Kebijakan Tiga Pembaruan, pengambilalihan tanah yang dilakukan
oleh pemerintah adalah satu-satunya saluran formal untuk membangun kembali tanah kolektif
yang dibangun. Karena kelompok desa sudah menguasai banyak lahan kolektif, mereka
cenderung menggunakan semua sarana yang mereka miliki, seperti protes atau koneksi
politik, untuk mempertahankan kompensasi yang lebih tinggi.
Dihadapkan dengan hambatan seperti itu, pengaturan kelembagaan baru untuk
pengembangan lahan industri kolektif di bawah Kebijakan Tiga Pembaruan membuat dua
perubahan penting untuk memotivasi pembangunan kembali. Pertama, desa-desa berhak
mendapatkan hak pengembangan diri dari lahan industri kolektif. Kedua, kebijakan baru ini
memberdayakan lahan kolektif desa dengan berbagi keuntungan dari pembangunan kembali
dengan pemerintah setempat.
Setelah melakukan review, dapat diketahui bahwa peran kelembagaan sangat penting
tentunya dalam pengendalian pemanfaatan ruang, baik itu formal atau pun informal. Namun,
ada kalanya kelembagaan menjadikan pembangunan kurang berjalan dengan lancar akibat
kebijakan yang kurang relevan. Seperti halnya seperti kasus di Panyu, kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, informalitas kelembagaan yang mendominasi
menyebabkan banyak permasalahan lahan yang timbul seperti alih fungsi lahan untuk
mendapatkan keuntungan lebih.