You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya yang lanjut
mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan social. Perubahan ini
akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
kesehatannya. Oleh karena itu, kesehatan manusia lanjut usia perlu
mendapat perhatian khusus dengan tetap dipelihara dan ditingkatkan agar
selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan
kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam
pembangunan (UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 138).
Mengutip data WHO, pada Abad 21, jumlah penduduk dunia yang
lanjut usia semakin melonjak. Diwilayah Asia Pasifik, jumlah kaum lanjut
usia akan bertambah pesat dari 410 juta pada tahun 2007, menjadi 733
juta pada tahun 2025, dan diperkirakan menjadi 1,3 miliar pada tahun
2050.
Indonesia merupakan Negara ke 4 yang umlah penduduknya paling
banyak di dunia, dan sepuluh besar memiliki penduduk paling tua di
dunia. Tahun 2020 jumlah kaum lanjut usia akan bertambah 28,8 juta
(11% dari total populasi) dan menjelang tahun 2050 diperkirakan 22%
warga Indonesia berusia 60 tahun keatas. Itu berarti semakin hari jumlah
penduduk lanjut usia kian banyak dan butuh solusi khusus untuk
mengatasinya. (Anonim, 2009)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007,
jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96 juta orang. Dari jumlah
tersebut, 14% diantaranya berada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, atau yang merupakan daerah paling tinggi jumlah lansianya.
Disusul provinsi Jawa Tengah (11,16%), Jawa Timur (11,14%), dan Bali
(11,02%) (Monkokesra, 2009)

1
Proses menua adalah proses alami yang disertai dengan adanya
penurunan kondisi fisik , psikologis maupun social yang saling berinteraksi
satu sama lain. Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada
lansia. Hal yang dapat menimbulkan ganguan keseimbangan
(Homeostasis) sehingga membawa lansia pada kerusakan atau
kemerosotan yang progresif terutama karena aspek psikologis yang
mendadak, misalnya bingung, panic, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya
bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat,
misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak saudara, terpaksa
berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui perubahan perilaku/sikap pada Lansia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
mudah Lupa
b. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
gangguan tidur
c. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
gangguan sosialisasi
d. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
gangguan kecemasan
e. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
apatis
f. Untuk mengetahui perubahan perilaku lansia yang mengalami
depresi

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami


penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Setiap kita berfikir,berperasaan dan berperilaku semua itu merupakan
kerja/fungsi otak kita, termasuk karakter atau sifat kita. Namun semakin
bertambahnya usia, maka otak manusia pun akan mengalami proses
penuaan sehingga otak akan menjadi mengerut atau mengecil (atrofi).
Proses penuaan ini akan membuat gangguan penurunan daya ingat
(demensia). Ada pun perubahan yang dapat terjadi pada lanjut usia
diantaranya jika perubahan terjadi disekitar memori otak maka akan terjadi
ganguan daya ingat,jika terjadi perubahan dipusat tidur maka akan terjadi
gangguan tidur,dan lain-lain. (dr.N.Saelan Tadjudin,SpKJ, 2003).
A. Mudah Lupa (Demensia)
1. Pengertian Demensia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan demensia
sebagai berikut:
Demensia adalah sindrom akibat penyakit otak yang biasanya
bersifat kronis/progresif, dimana ada gangguan fungsi kortikal ganda,
perhitungan, kapasitas belajar, bahasa dan penghakiman. Kesadaran
tidak mendukung merupakan gangguan dari fungsi kognitif yang sering
disertai atau didahului oleh penurunan pengendalian emosi, perilaku
sosial/motivasi (Stanley. 2006, hlm 355).

3
Demensia bukanlah suatu diagnosis penyakit tertentu melainkan
istilah yang digunakan untuk menyebut sekumpulan gejala yang
berkaitan dengan gangguan kemampuan intelektual seseorang, antara
lain kemampuan bahasa, memori, visuospasial dan emosional. Saat
terjadi kerusakan dalam satu atau lebih fungsi kognitif (misal bahasa,
ingatan dan perencanaan pribadi) dan kerusakan tersebut cukup
parah sehingga mengganggu fungsi sehari-hari terjadilah fungsi
ingatan yang disebut demensia (Pangkalan Ide. 2008, hlm 41).
Pikun atau demensia secara harafiah berarti de (kehilangan),
mensia (jiwa), tetapi lebih umum diartikan sebagai penurunan
intelektual karena menurunnya fungsi bagian luar jaringan otak
(cortex). Di samping itu, ada pula yang menyebutkan bahwa pikun
merupakan suatu penuruna kualitas intelektual yang disertai gangguan
pengamatan sampai menurunnya daya ingat yang sangat
mengganggu kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan dalam
berkomunikasi dan berbahasa, serta dalam pengendalian emosi
(Yatim. 2009, hlm 9-10).
Menurut (Brocklehurst & Allen, 1987) dalam Darmojo (2009, hlm
206), demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya
fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat, sehingga
menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
2. Tipe Demensia
Demensia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
gangguan klinikal sindrom kompleks atau berbahaya. Semua
demensia bukanlah jenis sindrom demensia seperti 2 jenis sindrom
demensi yang paling lazim, yaitu kortikal dan subkortikal.

4
a. Demensia kortikal
Patologi korteks otak demensia biasanya mempengaruhi
fungsi kognitif yang terletak di lapisan luar otak (korteks). Menurut
Stanley (2006, hlm 355-356), fungsi-fungsi ini adalah sebagai
berikut:
1) Amnesia mengacu pada hilangnya kapasitas memori, biasanya
terkait dengan memori peristiwa. Gejala yang dialami individu
adalah biasanya lupa ingatan dari peristiwa yang pernah
dialami.
2) Afasia mengacu pada gangguan bahasa, yaitu sulit
mengucapkan/pemahaman verbal yang sulit dipahami untuk
mengekspresikan diri.
3) Apraxia adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan-
gerakan motorik terutama keterampilan motorik yang dipelajari.
4) Agnosia kemampuan untuk mengenali benda-benda asing.
Contoh terbaik dari gangguan demensia adalah penyakit
Alzeimer (Alzheimer’s Disease/AD).
b. Demensia subkortikal
Patologi demensia subkortikal mempengaruhi bagian yang lebih
dalam dari otak dan ditandai oleh empat D, yaitu:
1) Dysmentia
Gejala dysmentia adalah setiap gangguan dalam
memori/perlambatan pemikiran.
2) Delay
Mengalami gangguan memori berupa gangguan memori tunda
atau mengalami kesulitan mengingat kembali sebuah informasi
walaupun telah diberikan bantuan isyarat.
3) Dysexecutive
Menggambarkan kesulitan dalam pengambilan keputusan.

5
4) Deplesi
Ada saat-saat individu menunjukkan tanda baik empat A dan
empat D, kondisi ini didefinisikan sebagai demensia campuran
(Stanley. 2005, hlm 356).
3. Gejala Demensia
Gejala Demensia menurut American Academy Family
Physicians (2001) dalam Pangkalan Ide (2008, hlm 17), yaitu:
1. Hilang ingatan baru-baru ini, tidak hanya sekedar lupa.
2. Lupa kata-kata atau tata bahasa yang tepat.
3. Perasaan berubah-ubah (moody), kepribadian mendadak berubah
atau mendadak tidak berminat untuk melakukan suatu aktivitas.
4. Tersesat atau tidak ingat jalan pulang ke rumah.
5. Tidak ingat cara mengerjakan tugas sehari-hari.
Gejala-gejala klinis demensia menurut Yatim (2003), meliputi:
a. Hilang atau menurunnya daya ingat serta penurunan intelektual.
b. Kadang-kadang gejala ini begitu ringan hingga luput dari perhatian
pemeriksa bahkan dokter ahli yang berpengalaman sekalipun.
c. Penderita kurang perhatian terhadap sesuatu yang merupakan
kejadian sehari-hari dan tidak mampu berfikir jernih atas kejadian
yang dihadapi sehari-hari, kurang inisiatif, serta mudah
tersinggung.
d. Kurang perhatian dalam berfikir.
e. Emosi yang mudah berubah-ubah terlihat dari mudahnya gembira,
tertawa terbahak-bahak lalu tiba-tiba sedih berurai air mata hanya
karena sedikit pengaruh lain.
f. Muncul refleks sebagai tanda regresi (kemunduran kualitas fungsi
seperti: refleks mengisap dan refleks memegang).
g. Banyak perubahan perilaku diakibatkan oleh penyakit syaraf,
maka terlihat dalam bentuk lain yang dikaburkan oleh gejala
penyakit syaraf.

6
4. Penyebab Demensia

Keracunan metabolism Kelainan struktur jaringan otak


- Kekurangan oksigen - Penyakit Alzheimer

- Kekurangan vitamin B12 - Penyakit amyothropic lateral

- Keracunan kronis obat-obatan sclerosis trauma pada otak

atau keracunan alkohol yang berat dan akut

- Kekurangan vitamin B6 (asam - Perdarahan kronis pada


folat) bawah selaput otak (chronic
subdural hematoma)
- Kalsium darah tinggi akibat
- Demensia pada bekas petinju
hormon kelenjar gondok tinggi
(hyper thyroidism) atau - Tumor jaringan otak

sebaliknya, kalsium darah - Kemunduran fungsi jaringan


rendah akibat hormon kelenjar otak kecil (degenerasi
gondok rendah (hipotiroidism) serebellum)
- Kelemahan fungsi organ- - Peningkatan cairan selaput otak
organ seperti hati dan ginjal (communicating
hydrocephalus)

- Penyakit Huntington (chorea)


(Sumber: Yatim. 2003, hlm 11)

5. Kriteria Diagnosa
Menurut Yatim (2003), berikut adalah kriteria diagnosa pikun
(demensia), antara lain:
a. Kemampuan intelektual menurun sedemikian rupa sampai
mengganggu pekerjaan dan lingkungannya.

7
b. Gangguan berpikir abstrak dan menganalisa masalah, serta
memberi pertimbangan, tidak mampu melakukan gerakan
bertujuan, meskipun tidak ada kelumpuhan (apraxia), sulit
mengartikan rangsangan luar (agnosia), seperti suara, sentuhan,
sehingga penderita mengalami kesulitan menunjukkan, mengenal
objek dan memperkirakan objek yang dilihat.
c. Kesadaran tetap baik
6. Pemeriksaan Keadaan Mental
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini adalah salah
satu tes dalam usaha menegakkan diagnosa demensia, yaitu:
a. Pemeriksaan orientasi ( seperti menyebut nama hari, tanggal,
bulan tahun).
b. Registrasi (seperti menyuruh lansia menyebut beberapa nama
benda dalam waktu singkat).
c. Perhitungan (kalkulasi seperti menambah dan mengurangi).
d. Mengingat kembali (mengulangi semua nama benda yang sudah
disebut sebelumnya).
e. Tes bahasa (menyebut nama benda yang ditunjukkan).
7. Pencegahan dan Pengobatan
Menurut Yatim (2003, hlm 39-41), ada beberapa pencegahan dan
pengobatan demensia, yaitu:
a. Pencegahan demensia akibat matinya dibanyak daerah jaringan
otak (multi infarct dementia) adalah dengan mengendalikan naiknya
tekanan darah. Ini merupakan suatu tindakan yang penting karena
ternyata penyebab utama demensia jenis ini adalah tekanan darah
tinggi (hypertensi). Termasuk dalam hal ini mencegah kakunya
dinding pembuluh darah otak seperti arterio sklerosis dan penyakit
pembuluh darah yang disebut congophilic angiopathy serta
penyakit-penyakit pembuluh darah dan penyakit jantung lainnya.

8
b. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian demensia.
c. Mengobati gejala-gejala gangguan jiwa yang mungkin menyertai
demensia.
d. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obat
penenang (transquillizer dan hipnotic) serta pemberian obat- obatan
anti kejang bila perlu.
e. Pendekatan psikologi dalam mengatasi masalah perilaku.
f. Memberikan konseling untuk membantu kelurga penderita
menghadapi keseharian penderita demensia
B. Gangguan tidur (Insomnia)
1. Definisi
Insomnia adalah salah satu gangguan tidur dimana seseorang merasa
sulit untuk memulai tidur. Gangguan tidur yang terjadi yaitu lamanya
waktu tidur atau kuantitas tidur yang tidak sesuai. Selain itu gangguan
tidur yang terjadi berhubungan dengan kualitas tidur seperti tidur yang
tidak efektif (Hidaayah & Alif, 2016).
Insomnia merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
untuk memulai tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur, dan rasa
tidak puas dengan tidurnya (Kozier & Erb, 2008).
2. Klasifikasi
a. Gangguan tidur primer
Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau
zat. Gangguan tidur ini dibagi dua yaitu disomnia dan parasomnia.
Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan
waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau
peristiwa fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur
tertentu atau perpindahan tidur-bangun.

9
Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer,
narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan,
gangguan ritmik sirkadian tidur, dan disomnia yang tidak dapat
diklasifikasikan.
Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur,
berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.
b. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain
Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya
keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh
gangguan mental lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak
memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur
tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang
mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya
gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia
terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I atau II.
c. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum
Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan
gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh
fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur-
bangun.
d. Gangguan tidur akibat zat
Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang
menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk
medikasi).
Penilaian sistematik terhadap seseorang yang mengalami
keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik,
gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau
medikasi yang digunakan, perlu dilakukan.

10
3. Pola tidur fisiologik karena proses menua
Rata-rata dewasa sehat membutuhkan waktu 7½ jam untuk tidur
setiap malam. Walaupun demikian, ada beberapa orang yang
membutuhkan tidur lebih atau kurang. Tidur normal dipengaruhi oleh
beberapa faktor misalnya usia. Seseorang yang berusia muda
cenderung tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan lansia. Waktu
tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor ketuaan.
Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran ekektrofisiologik sel-
sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat
mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi
sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat
aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi
perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur.
Stadium tidur - diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur rapid
eye movement (REM) dan tidur non-rapid eye movement (NREM).
Tidur REM disebut juga tidur D atau bermimpi karena dihubungkan
dengan bermimpi atau tidur paradoks karena EEG aktif selama fase
ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang
lambat atau tidur S. Kedua stadia ini bergantian dalam satu siklus yang
berlangsung antara 70 – 120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus
NREM-REM yang terjadi setiap malam. Periode tidur REM I
berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM
makin panjang.
a. Stadium 0
adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup.
Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12
siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun
dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat
gelombang alfa campuran.

11
b. Stadium 1
Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium
NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur.
Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi
penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun
kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan
beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik.
Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung
sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan
dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur
c. Stadium 2
Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu
didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan
tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik
pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu
gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang
lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan
durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah
cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur
dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur
d. Stadium 3
Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2
siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta.
Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
e. Stadium 4
Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3
dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.
Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur
gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan
sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga

12
awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat
bila seseorang mengalami deprivasi tidur.
f. Stadium REM
Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama
dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik
gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah atau hilang.
Tekanan darah dan nafas meningkat. Pada pria terjadi ereksi
penis. Pada tidur REM terdapat mimpi-mimpi. Fase ini
menggunakan sekitar 20%-25% waktu tidur. Latensi REM sekitar
70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi,
gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan
gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek.
4. Berbagai gangguan tidur pada usia lanjut
a. Insomnia Primer
Seorang penderita insomnia sering berpreokupasi dengan
tidur., makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin
tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan.
Ciri ciri yang sering terlihat pada lansia dengan insomnia primer
adalah keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau
tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung
paling sedikit satu bulan Menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinik atau impairment sosial, okupasional, atau fungsi
penting lainnya, gangguan tidur tidak terjadi secara ekslusif selama
ada gangguan mental lainnya, dan tidak disebabkan oleh pengaruh
fisiologik langsung kondisi medic umum atau zat.
1) Insomnia Kronik
Insomnia kronik disebut juga insomnia psikofisiologik
persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan;
selain itu, dapat pula terjadi akibat kebiasaan atau
pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya,

13
pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau
pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa
tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa
tidur menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi
ia semakin tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan
pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha tidur dapat
pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika
berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik
dan keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak
bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk
tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi.
Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis
ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau
mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya
gangguan tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur
(lebih dari satu jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit),
dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil
polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15
menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama.
Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami
mispersepsi terhadap tidur (APA,2000).
2) Insomnia Ideopatik

Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak


kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak
lahir dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak
jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbangan
neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau
disfungsi forebrain.

14
Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan yang
dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa
tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood
(risiko depresi dan anxietas), menurunkan motivasi, atensi,
energi, dan konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas.
Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia tersebut
lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai
riwayat gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia
mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol.
Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan
kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi
rasa letih. Pada beberapa kasus, penggunaan ini berlanjut
menjadi ketergantungan zat.
Pemeriksaan polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur
yang buruk (latensi tidur buruk, sering terbangun, efisiensi tidur
buruk), stadium 1 meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun.
Ketegangan otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta
juga meningkat (APA, 2000)
b. Gangguan tidur terkait pernafasan (Apnea)
Gangguan tidur terkait pernafasan atau Breathing-Related
Sleep Disorders atau apnea tidur ditandai dengan episode
berulang henti nafas yang menyebabkan terjadinya hipoksia dan
terbangun berkali-kali. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan
ventilasi ketika tidur (hipoventilasi alveolar sentral). Gangguan tidur
ini tidak disebabkan oleh gangguan mental lain dan tidak pula
akibat langsung pengaruh fisiologik atau zat (termasuk medikasi).
Penderita sering mengeluh mengantuk berlebihan di siang hari
sehingga mengganggu fungsinya. Rasa kantuk yang berlebihan ini
terjadi akibat seringnya terbangun di malam hari karena penderita

15
berusaha untuk bernafas normal. Rasa kantuk sering muncul pada
situasi santai misalnya ketika membaca dan menonton TV atau
dalam pertemuan. Bila rasa kantuk sangat berlebihan, penderita
bisa jatuh tidur meskipun ia sedang dalam keadaan aktif misalnya
sedang bercakap-cakap, makan, berjalan, atau berkendara.
Tertidur sejenak tidak menyegarkan bahkan dapat menimbulkan
nyeri kepala. Apnea tidur lebih sering terjadi pada laki-laki
terutama bila ia tidur telentang.
Peristiwa-peristiwa respirasi abnormal yang terjadi pada apnea
tidur yaitu apnea (episode berhenti nafas), hipopnea (respirasi
lambat dan dangkal), dan hipoventilasi ( abnormal kadar oksigen
dan karbon dioksida darah).
Episode apnea dapat dieksaserbasi oleh penggunaan obat-
obat yang mendepresi susunan saraf pusat dan alkohol.
Mendengkur, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler berkaitan
dengan apnea tidur. Bila sindrom apnea tidur derajatnya berat dan
tidak diobati, gangguan fungsi jantung dapat terjadi dan mortalitas
meningkat.
Ada 3 macam apnea tidur :
1) Sindrom apnea tidur obstruktif
Sindrom apnea tidur obstruktif adalah bentuk apnea tidur yang
paling sering ditemukan. Sindrom ini ditandai dengan episode
berulang obstruksi jalan nafas atas (apnea-hipopnea) selama
tidur. Biasanya terjadi pada penderita yang sangat gemuk.
Penderita biasanya tidur mendengkur (sangat keras) dan nafas
pendek bergantian dengan episode diam yang berlangsung
sekitar 20-30 detik. Dengkuran yang keras terjadi karena ia
bernafas melalui aliran udara yang tersumbat sebagian. Adanya
periode diam atau berhenti nafas disebabkan terjadinya
obstruksi sempurna jalan nafas. Berhenti nafas kadang-kadang

16
terjadi 60-90 detik sehingga bisa terjadi sianosis. Sebagian
besar penderita tidak menyadari gangguan ini
2) Sindrom apnea tidur sentral
Sindrom apnea tidur sentral ditandai dengan penghentian
episodik ventilasi ketika tidur (apnea dan hipopnea) tanpa
obstruksi jalan udara. Gangguan ini sering terjadi pada lansia
akibat gangguan jantung atau neurologik yang mengganggu
regulasi ventilasi. Mendengkur ringan sering ditemukan pada
penderita dengan gangguan tidur ini.
3) Sindrom hipoventilasi alveolar sentral.
Sindrom hipoventilasi alveolar sentral ditandai dengan
gangguan pengontrolan ventilasi yang mengakibatkan
rendahnya kadar oksigen arteri. Bentuk ini paling sering terjadi
pada orang yang sangat gemuk dan adanya keluhan tidur
berlebihan di siang hari.
c. Restless Leg Syndrome (Rls) Dan Periodic Leg Movement (Plm)
Lansia dapat mengalami disfungsi neuromuskular yang
berkaitan dengan tidur. Restless Leg Syndrome disebut juga
sindrom Ekbom. Sindrom ini ditandai dengan adanya dorongan
yang kuat untuk memindah-mindahkan kaki dengan cepat ketika
mau jatuh tidur. Gerakan-gerakan kaki sering bersamaan dengan
apnea tidur. Pasien sering mengeluh adanya rasa sakit atau
parestesia yang menjalar. Kadang-kadang ada sensasi seperti
semut atau cacing menjalar di tungkai. Gagal ginjal, diabetes,
anemia kronik, dan gangguan saraf perifer sering dihubungkan
dengan RLS. Restless leg syndrome dapat pula diinduksi oleh
neuroleptik, antidepresan, lithium, diuretik, dan narkotik. Agonis
dopamin dapat mengurangi RLS. Narkotik juga efektif tetapi harus
hati-hati karena dapat menimbulkan resistensi.

17
Untuk gangguan ini belum ada terapi yang ideal.
Benzodiazepin (clonazepam) dan temazepam dapat mengurangi
frekuensi terbangun tetapi kurang bermanfaat terhadap gerakan-
gerakan kaki. Selain itu, obat ini dapat menyebabkan sedasi di
siang hari. Obat-obat seperti opioid, dan levodopa, serta
carbamazepine, juga cukup bermanfaat.
Periodic Leg Movement disebut juga mioklonus nokturnal yaitu
gerakan kaki berulang, stereotipi, dan durasinya pendek. Gerakan
berupa fleksi cepat dan periodik tungkai dan telapak kaki. Keadaan
ini dapat menyebabkan terbangun berulang kali sepanjang malam.
Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Gangguan
ini dihubungkan dengan sebab- sebab metabolik, vaskuler,
anemia, defisiensi asam folat, dan gangguan neurologik.
Apnea tidur dan gerakan kaki periodik juga sering pada lansia.
Prevalensinya berkisar antara 25%-60%. Individu dengan gerakan
kaki periodik memiliki waktu tidur satu jam lebih kurang bila
dibandingkan dengan kontrol normal (Salih dkk, 1994)
d. Gangguan Ritmik Sirkadian Tidur
Gambaran penting gangguan ritmik sirkadian yaitu pola
menetap dan berulang gangguan tidur akibat tidak sinkronnya jam
biologik sirkadian internal seseorang dengan siklus tidur- bangun.
Hal ini terjadi karena tidak cocoknya jam sirkadian dengan tuntutan
eksogen mengenai saat dan lama tidur misalnya karena perjalanan
melintasi zona waktu yang berbeda. Penyebab lain dapat berupa
disfungsi ritmik biologik dasar (Prints, Vitello, 2000).
Akibat tidak samanya siklus sirkadian, seseorang dengan
gangguan ini dapat mengeluh insomnia pada waktu tertentu
(misalnya malam hari) dan tidur berlebihan pada siang hari
sehingga terjadi gangguan fungsi sosial, pekerjaan, fungsi lainnya
atau dapat menyebabkan penderitaan secara subyektif. Diagnosis

18
ditegakkan bila terjadi gangguan fungsi sosial, pekerjaan, atau
penderitaan subyektif secara signifikan. Kemampuan individu
beradaptasi dengan perubahan sirkadian bervariasi sangat luas.
Kebanyakan individu dengan gejala ini tidak mencari pertolongan
karena gejalanya tidak berat. Ritme sirkadian dapat berkurang
amplitudonya dengan bertambahnya umur. Lansia cenderung tidur
lebih awal dan bangun juga lebih awal. Dewasa normal
membutuhkan dua jam cahaya siang hari untuk mendapatkan ritme
tidur yang stabil, tetapi lansia hanya membutuhkan sekitar 45
menit. Oleh karena itu, lansia disarankan menggunakan kacamata
hitam bila keluar rumah di pagi hari. Pajanan cahaya terang buatan
antara pukul 7-9 malam dapat meningkatkan keterjagaan. Suara
gaduh juga bisa mempengaruhi tidur. Ritme sirkadian yang dangkal
dikaitkan dengan gangguan tidur (Lamberg, 2003)
e. Gangguan Tidur Akibat Kondisi Medik Umum
1) Penyakit Kardiovaskuler
2) Penyakit Paru
3) Penyakit Neurodegeneratif
4) Peyakit Endokrin
5) Kanker
6) Penyakit saluran pencernaan
7) Penyakit muskuluskeletal
f. Gangguan Tidur Akibat Gangguan Mental Lainnya
1) Gangguan cemas dan depresi
2) Demensia dan delirium
5. Penatalaksanaan
Langkah pertama untuk mengatasi insomnia sekunder terhadap
gangguan medik atau psikiatrik adalah mengoptimalkan terapi
terhadap penyakit yang mendasarinya. Cara farmakologik dan

19
nonfarmakologik diperlukan untuk terapi gangguan tidur baik primer
maupun sekunder.
a. Secara Farmakologik
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan
pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun
sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak
disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti l-triptofan
yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau
untuk mengatasi insomnia jangka pendek.
Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari
dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka
panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi
penyakit yang mendasari. Penggunaan benzodiazepin harus hati-
hati pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas,
gangguan jantung dengan hipoventilasi (APA, 2000)
Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur.
Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat
gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu,
penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati- hati dan
dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan
zolpidem) merupakan obat pilihan untuk membantu orang- orang
yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya
panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk
penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang
kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki anksietas di siang hari

20
dan insomnia di malam hari.

Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di


hepar. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang menghambat
oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH eritromisin, dan
fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien
COPD ringan-sedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik
dapat digunakan untuk insomnia sekunder terhadap delirium pada
lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam
digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat
diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada awal malam.
Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan
gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan
noradrenergic and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Ia
dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan
meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur,
kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian
mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan
insomnia tidur (APA, 2000).
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan
monoamin oksidase inhibitor pada lansia karena dapat
menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas tidur
akibat efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena
cenderung menekan pernafasan. Antihistamin dan difenhidramin
bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium (APA, 2000).

21
Melatonin merupakan hormon yang disekresikan oleh glandula
pineal. Ia berperan mengatur siklus tidur. Efek hipnotiknya terlihat
pada pasien gangguan tidur primer. Ia juga memperbaiki tidur
pada penderita depresi mayor (Dolberg dkk, 1998). Melatonin juga
dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping, pada lansia dengan
insomnia (Garfinkel dkk, 1995) Melatonin dapat ditambahkan ke
dalam makanan.
b. Secara non Farmakologik
1) Hygiene Tidur
Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur
merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadual tidur-
bangun dan latihan fisik sehari-hari yang teratur perlu
dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak
nyaman. Penderita diminta menghindari latihan fisik berat
sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk
menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan
lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang
higene tidur merupakan intervensi efektif yang tidak
memerlukan biaya.
2) Terapi pengontrolan stimulus
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang
sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang
sering ditemukan pada insomnia.
Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita
insomnia:
a) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.
b) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
c) Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di
tempat tidur.

22
d) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa
bertambah frustrasi jika tidak bisa tidur.
e) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun,
pergi ke ruang lain, kerjakan sesuatu yang tidak membuat
terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk datang kembali.
f) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa
menghiraukan waktu tidur, total tidur, atau hari (misalnya
hari Minggu).
g) Menghindari tidur di siang hari.
h) Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-
6 jam sebelum tidur.
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama.
Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan, gangguan tidur akan
berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
3) Sleep Resliction Teraphy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu
mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini bermanfaat untuk pasien
yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila
pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari
delapan jam waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di
tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus
dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu
sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-
rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah
15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsur- angsur,
dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam
hari.
4) Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.
Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas

23
dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk
memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup
dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik
perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik
ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang
perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan
higene tidur dan terapi pengontrolon tidur.
5) Terapi apnea tidur obstruktif
Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari
tidur telentang, menggunakan perangkat gigi (dental appliance),
menurunkan berat badan, menghindari obat-obat yang
menekan jalan nafas, menggunakan stimulansia pernafasan
seperti acetazolamide (Diamox®), nasal continuous positive
airway pressure (NCPAP), upper airway surgery (UAS). Nasal
continuous positive airway pressure ditoleransi baik oleh
sebagian besar pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur
pasien di malam hari, rasa mengantuk di siang hari, dan
keletihan serta perbaikan fungsi kognitif.
Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu
teknik pembedahan yang digunakan untuk terapi apnea tidur.
Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi juga merupakan pilihan
terapi untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk terapi
bedah ini sangat terbatas karena risiko morbiditas dan
mortalitas.
Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas
frekuensi dan beratnya gangguan tidur, beratnya derajat kantuk
di siang hari, dan akibat medik yang ditimbulkannya
(abnormalitas kardiorespirasi).

24
C. Gangguan Sosialisasi
1. Definisi
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan
dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin dalam Soejono Soekanto,
1954).
2. Faktor pendorong interaksi social
a. Imitasi
Faktor yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah
dan nilai-nilai yang berlaku. Namun, ada dampak negatifnya juga
yaitu mengikuti tindakan-tindakan yang menyimpang.
b. Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu
pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang
kemudian diterima oleh pihak lain. Berlangsungnya sugesti yang
terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi yang
menghambat daya berpikirnya secara rasional.
c. Identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau
keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama
dengan pihak lainnya. Proses identifikasi berlangsung dengan
sendirinya, maupun dengan disengaja karena sering kali
seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses
kehidupan.
d. Simpati
Merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada
pihak lain. Dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk
memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.
(Soejono Soekanto, 2012:57)

25
3. Faktor penghambat interaksi social
a. Proses menua
Setiap orang pasti ingin menikmati hari tuanya dalam keadaan
yang sehat baik secara badaniah maupun ruhaniah. Faktanya
masa lansia lebih identik dengan masa penurunan kondisi fisik,
mental, maupun minat manusia (Hurlock 1980:387- 393).
Perubahan fisik nampak jelas pada penampilan fisik (kulit keriput,
bungkuk, beruban, dan sebagainya), bagian dalam tubuh yang
tidak bekerja maksimal, menurunnya fungsi fisiologis panca indera,
dan memudarnya gairah seksual. Kedua, perubahan saat lansia
juga terlihat pada aspek mental manusia, yaitu menurunnya daya
ingat, kesulitan untuk mempelajari hal-hal baru, sukar menarik
kesimpulan, berkurangnya kapasitas berpikir kreatif, dan
penggunaan kosa kata yang terbatas. Para lansia sering
mengalami perubahan minat secara tiba-tiba. Kepercayaan bahwa
cara terbaik untuk penuaan adalah dengan memisahkan diri.
b. Kurangnya dukungan dari lingkungan
Penurunan secara fisik, mental, minat, dan adanya sikap yang tidak
menyenangkan dari masyarakat memaksa lansia mengurangi bahkan
menghentikan aktivitas rutinnya. Dampak buruk bagi lansia adalah
lansia akan terisolir, tidak berkembang, dan kesempatan untuk
mengaktualisasikan dirinya semakin kecil. Tekanan sosial yang
diterima lansia akan mengembangkan munculnya perasaan tidak
berguna, bosan, dan rendah diri (Hurlock 1980:384). Perasaan-
perasaan tersebut jika tidak segera ditangani akan membahayakan
keberlangsungan hidup lansia.
c. Kehilangan makna hidup
Perasaan bosan merupakan gejala munculnya kevakuman
eksistensi atau frustasi eksistensial (Frankl 2006:121). Frustasi
eksistensial adalah sebuah kondisi ketika seseorang merasa

26
kehilangan makna dalam hidupnya. Masing-masing individu harus
menemukan makna hidupnya karena hanya dengan adanya tujuan,
hidup akan semakin terlihat jelas dan terarah. Titik temu
kebermaknaan hidup yang dialami seseorang adalah hal yang
sangat penting. Sebuah penelitian yang dilakukan David Philip
mengungkap bahwa meningkatnya kasus bunuh diri pada remaja
dikarenakan adanya kekosongan jiwa (dalam Alfian dan Dewi
2003:94). Jiwa yang kosong dan hampa merupakan cerminan
bahwa seseorang belum menemukan makna hidupnya. Hidup yang
dijalani dengan jiwa yang kosong tidak akan mendatangkan
kebahagiaan. Sahakian menyatakan bahwa kebahagiaan tidak
mungkin diraih tanpa melakukan perbuatan-perbuatan penting dan
bermanfaat (dalam Anggriany 2006:58). Alasan tersebut cukup
membuktikan bahwa sebuah makna hidup sangat penting maka
sudah selayaknya setiap individu harus berjuang untuk
mendapatkannya.
Makna hidup bersifat unik, sangat pribadi, dan temporer (Frankl dalam
Koeswara 1987:42). Unik artinya khusus dan tidak sama dengan
makna hidup orang lain. Pribadi dapat dimaknai privasi artinya
bermakna bagi seseorang belum tentu bermakna bagi orang lain.
Makna hidup bersifat unik dan pribadi karena hanya individu secara
pribadi yang bisa merasakan, apakah kehidupannya bermakna atau
tidak. Temporer berarti bahwa makna hidup dapat berubah dari waktu
ke waktu.
d. Kehilangan keluarga
Dalam menghadapi berbagai masalah di lingkungan masyarakat,
umumnya lansia yang memiliki keluarga terutama bagi orang orang
kita (budaya ketimuran) masih sangat bergantung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh

27
kesabaran serta pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujamg atau
punya pasangan hidup namun tidak memiliki anak dan
pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan
sendiri, seringkali merasa diri terlantar
e. Perubahan status (Pensiun)
Pada lansia, nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya dan
identitas dikaitkan dengan pekerjaan. Bila seseorangpensiun
(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan diantaranya,
kehilangan financial, kehilangan status seperti yang dulunya
mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan
segala fasilitasnya, namun sekarang tidak lagi, kehilangan teman
atau relasi, dan kehilangan kegiatan atau pekerjaan. Hal hal seperti
diataslah yang seringkali membuat lansia menjadi tertutup dan
tidak berharga lagi. (Murwani A, dan Priyantari W, 2011)
4. Penatalaksanaan
a. Membimbing lansia untuk menerima keadaan
Satu hal yang perlu dilakukan lansia terkait dengan adanya beban
baik secara fisik, psikis maupun sosial adalah menerima bahwa
dirinya sudah memasuki masa tua. Penerimaan diri pada lansia
sangat penting. Lansia yang mampu menerima dirinya dengan
semua keadaannya akan memudahkan lansia dalam proses
penyesuaian diri (Hurlock 1980:385). Hidup akan terasa nikmat dan
indah jika lansia sudah mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya.
b. Bantu menemukan makna kehidupan
Memiliki harapan, mempunyai impian, dan tujuan dalam hidup.
Lansia yang mampu menemukan makna di setiap aktivitasnya
akan mengalami kebahagiaan dan terhindar dari keputusasaan
(Bastaman 2007:85). Gambaran sederhana lansia yang telah

28
menemukan makna dalam hidup menurut Bastaman (2007:213)
adalah lansia yang arif, banyak amal, sedikit noda dan kesalahan,
dan sarat dengan pengalaman yang bermakna
c. Mengenalkan manfaat di panti werdha
Menurut Santrock (2002:248), sahabat memainkan peran yang
sangat penting sebagai suatu sistem pendukung untuk orang-orang
lanjut. Beberapa kasus, persahabatan dengan orang-orang dewasa
yang tidak ada hubungan saudara akan membantu mengembalikan
kehangatan dan persahabatan yang secara tradisional disediakan
oleh hubungan keluarga. Lansia yang tinggal di unit rehabilitasi
sosial cenderung lebih mudah mengusir kesepian karena
mempunyai banyak teman yang selalu bisa diajak berinteraksi dan
berbagi cerita.
d. Memberikan motivasi dari keluarga
Memiliki pasangan hidup yang dikasihi adalah sumber ketentraman
di hari tua. Hadirnya cucu-cucu yang lucu dan memiliki anak-anak
yang berbakti. Kebersamaan yang berlangsung lama
menumbuhkan toleransi yang tinggi atas kekurangan masing-
masing, bersama pasangan mendengarkan keluhan anak-anak
ketika ada masalah keluarga.
Setahun sekali berkumpul dengan semua cucu dan anak untuk
mengenang masa lalu yang menimbulkan canda tawa sekaligus
tangis bahagia ketika menceritakan hal-hal yang lucu yang pernah
dialami bersama. Memiliki rumah sendiri dengan sedikit uang
simpanan sambil melakukan hobi yang dulu belum sempat
dilakukan, aktif di lingkungan sosial dan organisasi pensiunan,
serta menjadi pengunjung ceramah-ceramah agama. Rutin
mengunjungi dokter langganan agar kesehatan tetap terjaga,
bernostalgia dengan para sahabat, teman sekolah dulu dan rekan
kerja di samping tidak lupa mengenang kawan-kawan yang telah

29
tiada. Semua aktivitas tersebut merupakan pengisi waktu serta
peredam emosi dan kesepian di hari tua.
D. Gangguan Kecemasan
1. Definisi
Istilah kecemasan dalam bahasa inggris yaitu Anxiety yang berasal
dari bahasa latin angustus yang memiliki arti kaku dan angi, anci yang
berarti mencekik (Trismiati, dalam Yuke Wahyu Widosari, 2010).
Swyamsu Yusuf (2009) mengemukakan anxiety (cemas) merupakan
ketidakberdayaan neurotic, rasa tidak aman, tidak matang dan
kekurangmampuan dalam menghadapi tuntutan ralitas (lingkungan),
kesulitan dan tekanan kehidupan sehari hari. Dikuatkan oleh Kartini
Kartono (1989) bahwa cemas adalah bentuk ketidakberanian ditambah
kerisauan terhadap hal-hal ynag tidak jelas. Senada dengan itu, Sarlito
Wirawan Sarwono (2012) menjelaskan kecemasan merupakan takut
yang tidak jelas objeknya dan tidak jelas pula alasannya.
Definisi yang paling menekankan mengenai kecemasan dipaparkan
juga oleh Jeffrey S. Nevid dkk (2005) dimana kecemasan adalah suatu
keadaan emosional yang mempunyai cirri keterangsangan fisiologis,
perasana tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi”. Senada dengan pendapat
sebelumnya, Gail W. Stuart (2006) memaparkan ansietas adalah
kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
2. Aspek aspek kecemasan
Gail W. Stuart (2006) mengelompokkan kecemasan dalam respon
perilaku, kognitif, dan afektif. Diantaranya :
a. Perilaku
Ciri ciri : gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara
cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera, menarik

30
diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari
masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat wasapada.
b. Kognitif
Cirri-ciri: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah
dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir,
lapang persepsi menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat
waspada, kesadaran diri, kehilangan objektifitas, takut kehilangan
kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian,
kilas balik dan mimpi buruk.
c. Afektif
Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan,
waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa
bersalah, dan malu.
Kemudian menurut Ivi Marrie Blackburn dan Kate M. Davidson (1994)
membagi analisis fungsional gangguan kecemasan, diantarana :
a. Suasana hati seperti kecemasan, mudah marah, perasaan sangan
tegang.
b. Pikiran seperti khawatir, sukar berkonsentrasi, membesar besarkan
ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitive dan merasa
tidak berdaya.
c. Motivasi seperti menghindari situasi, ketergantungan tinggi dan
ingin melarikan diri.
d. Perilaku seperti gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.
e. Gejala biologis seperti gerakan otomatis meningkat, seperti
berkeringat, gemetar, pusing, berdebar debar, mual dan mulut
kering.
3. Jenis jenis kecemasan
Menurut Spilberger (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra,
2012: 53) menjelaskan kecemasan dalam dua bentuk, yaitu.

31
a. Trait anxiety
Trait anxiety, yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang
menghinggapi diri seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya
tidak berbahaya. Kecemasan ini disebabkan oleh kepribadian
individu yang memang memiliki potensi cemas dibandingkan
dengan individu yang lainnya.
b. State anxiety
State anxiety, merupakan kondisi emosional dan keadaan
sementara pada diri individu dengan adanya perasaan tegang dan
khawatir yang dirasakan secara sadar serta bersifat subjektif.
Sedangkan menurut Freud (dalam Feist & Feist, 2012: 38)
membedakan kecemasan dalam tiga jenis, yaitu.
a. Kecemasan neurosis
Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak
diketahui. Perasaan itu berada pada ego, tetapi muncul dari
dorongan id. Kecemasan neurosis bukanlah ketakutan terhadap
insting-insting itu sendiri, namun ketakutan terhadap hukuman yang
mungkin terjadi jika suatu insting dipuaskan.
b. Kecemasan moral
Kecemasan ini berakar dari konflik antara ego dan superego.
Kecemasan ini dapat muncul karena kegagalan bersikap konsisten
dengan apa yang mereka yakini benar secara moral. Kecemasan
moral merupakan rasa takut terhadap suara hati. Kecemasan moral
juga memiliki dasar dalam realitas, di masa lampau sang pribadi
pernah mendapat hukuman karena melanggar norma moral dan
dapat dihukum kembali.
c. Kecemasan realistik
Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak
menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan

32
bahaya itu sendiri. Kecemasan realistik merupakan rasa takut akan
adanya bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar.
4. Ciri ciri dan gejala kecemasan
Menurut Jeffrey S. Nevid, dkk (2005: 164) ada beberapa ciri-ciri
kecemasan, yaitu :
a. Ciri-ciri fisik dari kecemasan, diantaranya: kegelisahan,
kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau
gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi,
kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak
berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau
pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara,
sulit bernafas, bernafas pendek, jantung yang berdebar keras atau
berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari atau anggota
tubuh yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa,
sulit menelan, kerongkongan merasa tersekat, leher atau
punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan,
tangan yang dingin dan lembab, terdapat gangguan sakit perut
atau mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa
memerah, diare, dan merasa sensitif atau “mudah marah”
b. Ciri-ciri behavioral dari kecemasan, diantaranya: perilaku
menghindar, perilaku melekat dan dependen, dan perilaku
terguncang.
c. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan, diantaranya: khawatir tentang
sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi
terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa
sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada
penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi ketubuhan, sangat
waspada terhadap sensasi ketubuhan, merasa terancam oleh
orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak
mendapat perhatian, ketakutan akan kehilangan control, ketakutan

33
akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa
dunia mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semuanya tidak lagi
bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat
membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir terhadap hal-hal
yang sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara
berulang-ulang, berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian,
kalau tidak pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk
atau kebingungan, tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran
terganggu, berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak
menemukan sesuatu yang salah secara medis, khawatir akan
ditinggal sendirian, dan sulit berkonsentrasi atau memfokuskan
pikiran
Dadang Hawari (2006: 65-66) mengemukakan gejala kecemasan
diantaranya.
a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang
b. Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir)
c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum (demam
panggung)
d. Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain
e. Tidak mudah mengalah, suka ngotot
f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah
g. Sering mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir
berlebihan terhadap penyakit
h. Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil
(dramatisasi)
i. Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu
j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-
ulang
k. Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris

34
5. Faktor faktor yang mempengaruhi kecemasan
Blacburn & Davidson (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra,
2012: 51) menjelaskan faktor-faktor yang menimbulakan kecemasan,
seperti pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang
sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau tidak
memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai
kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi
serta fokus kepermasalahannya). Kemudian Adler dan Rodman
(dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, S, 2014: 145-146)
menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan,
yaitu :
a. Pengalaman negatif pada masa lalu

Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa


kanak-kanak, yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai
peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila
individu menghadapi situasi yang sama dan juga menimbulkan
ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam
mengikuti tes.
b. Pikiran yang tidak rasional
Pikiran tidak rasional terbagi menjadi 4, yaitu :
1) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu
mengalami kecemasan serta perasaan ketidakmampuan dan
ketidaksanggupan dalam mengatasi permaslaahannya.
2) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk
berperilaku sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu
menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan
sumber yang dapat memberikan inspirasi.
3) Persetujuan

35
4) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang
berlebihan, ini terjadi pada orang yang memiliki sedikit
pengalaman.
6. Tingkat kecemasan
Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan Gail W. Stuart (2006: 144)
mengemukakan tingkat ansietas, diantaranya. :
a. Ansietas ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,
ansietas ini menyebabkan individu menjadi waspada dan
meningkatkan lapang persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
b. Ansietas sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang
persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak
perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak
area jika diarahkan untuk melakukannya.
c. Ansietas berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung
berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk
berfokus pada area lain.
d. Tingkat panik
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang
rinci terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan
kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

36
persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional
7. Upaya untuk mengurangi kecemasan
Cara yang terbaik untuk menghilangkan kecemasan ialah dengan
jalan menghilangkan sebeb-sebabnya. Menurut Zakiah Daradjat
(1988: 29) adapun cara-cara yang dapat dilakukan, antaralain :
a. Pembelaan
Usaha yang dilakukan untuk mencari alasan-alasan yang masuk
akal bagi tindakan yang sesungguhnya tidak masuk akal,
dinamakan pembelaan. Pembelaan ini tidak dimaksudkan agar
tindakan yang tidak masuk akal itu dijadikan masuk akal, akan
tetapi membelanya, sehingga terlihat masuk akal. Pembelaan ini
tidak dimaksudkan untuk membujuk atau membohongi orang lain,
akan tetapi membujuk dirinya sendiri, supaya tindakan yang tidak
bisa diterima itu masih tetap dalam batas-batas yang diingini oleh
dirinya.
b. Proyeksi
Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya
kepada orang lain, terutama tindakan, fikiran atau dorongan-
dorongan yang tidak masuk akal sehingga dapat diterima dan
kelihatannya masuk akal.
c. Identifikasi
Identifikasi adalah kebalikan dari proyeksi, dimana orang turut
merasakan sebagian dari tindakan atau sukses yang dicapai oleh
orang lain. Apabila ia melihat orang berhasil dalam usahanya ia
gembira seolah-olah ia yang sukses dan apabila ia melihat orang
kecewa ia juga ikut merasa sedih.
d. Hilang hubungan (disasosiasi)
Seharusnya perbuatan, fikiran dan perasaan orang berhubungan
satu sama lain. Apabila orang merasa bahwa ada seseorang yang

37
dengan sengaja menyinggung perasaannya, maka ia akan marah
dan menghadapinya dengan balasan yang sama. Dalam hal ini
perasaan, fikiran dan tindakannya adalah saling berhubungan
dengan harmonis. Akan tetapi keharmonisan mungkin hilang
akibat pengalaman-pengalaman pahit yang dilalui waktu kecil.
5. Represi
Represi adalah tekanan untuk melupakan hal-hal, dan keinginan-
keinginan yang tidak disetujui oleh hati nuraninya. Semacam
usaha untuk memelihara diri supaya jangan terasa dorongan-
dorongan yang tidak sesuai dengan hatinya. Proses itu terjadi
secara tidak disadari.
6. Subsitusi
Substitusi adalah cara pembelaan diri yang paling baik diantara
cara-cara yang tidak disadari dalam menghadapi kesukaran.
Dalam substitusi orang melakukan sesuatu, karena tujuan-tujuan
yang baik, yang berbeda sama sekali dari tujuan asli yang mudah
dapat diterima, dan berusaha mencapai sukses dalam hal itu.
E. Apatis
1. Definisi
Apati atau sering disebut apatis merupakan kurangnya emosi,
motivasi, atau antusiasme. Apatis adalah istilah psikologikal untuk
keadaan cuek, atau acuh tak acuh, dimana seseorang tidak tanggap
atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik.
(Solmitz, 2000)
Apatis pada lansia adalah merupakan keadaan dimana seornag lansia
yang pada dasarnya sudah tidak peduli atau telah acuh terhadap
sekitarnya dikarenakan penyakit ataupun proses menua.

38
2. Faktor-faktor yang menyebabkan apatis
a. Perubahan proses fikir
Kehilangan memori pada lansia merupakan hal yang membuat
stress dan frustasi. Walaupun kehilangan memori bisa disebabkan
penyakit otak organic atau depresi, semua itu tidak ada
hubungannya dengan proses penyakit. seiring bertambahnya usia,
kehilangan short-term memory (mengingat kejadian yang baru
terjadi ) lebih sering terjadi daripada kehilangan long-term memory
(mengingat kejadian yang dulu)
b. Respon afektif
Disfunctional Grieving atau kehilangan yang berkepanjangan.
c. Respon somatic
1) Gangguan tidur
2) Nafsu makan menurun
d. Respon stress
Merupakn gangguan psikososial yang berhubugan dengan pindah
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
e. Respon perilaku
Proses berduka karena kehilanga pasangan, saudara, anak, cucu
atau teman dekat dapat membuat lansia ragu ragu untuk ikut
bergabung dengan yang lainnya. pasien lansia yang mengalami
kerusakan organic kognitif (seperti penyakit alzeimer) sering
menarik diri dari lingkungan sosial dan aktivitas hariannya.
3. Penatalaksanaan
a. Terapi kognitif
Yaitu terapi memperbaiki cara dan pola pikir lansia agar dapat
beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya.

39
b. Terapi motivasi
Diperlukan adanya dukungan dari setiang orang dan anggota
keluarga sehingga lansia dapat bergaul dengan lingkungannya
tanpa merasa rendah diri.
F. Depresi
1. Definisi
Depresi merupakan masalah psikologi yang paling banyak ditemukan
pada lansia. Pandangan tentang depresi secara umum dapat dipahami
melalui pengenalan terhadap pengertian, teori, gejala, penyebab,
penilainan dan faktor yang mempengaruhi.
Depresi diartikan sebagai gangguan alam perasaan yang ditandai
dengan perasaan tertekan, menderita, berkabung, mudah marah, dan
kecemasan. (WHO, 2011).
Depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, dan tidak berdaya,
serta keinginan bunuh diri (Kaplan HI, Sadock BJ, 2010).
Menurut hawari (2006) dalam juwita (2013) depresi adalah gangguan
alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan
kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya
gairah hidup , tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas
(Reality Testing Ability,masih baik), kepribadian tetap utuh atau tidak
mengalami keretakan kepribadian (Splitting Of Personality), perilaku
dapat terganggu tetapi dalam batasan normal.
2. Jenis-jenis dan tingkatan depresi
a. Mild depression / Minor Depression (depresi ringan), pada
tingkatan ini biasanya merasa cemas dan tidak bersemangat.
b. Moderate depression (Depresi sedang), pada tingkat ini, mood
rendah berlangsung terus menerus.

40
c. Severe Depression / Mayor Depression (depresi berat), pada
tingkat ini gangguan kemampuan untuk bekerja, gangguan tidur,
makan dan menikmati hari hari yang menyenangkan.
3. Stressor yang dapat mencetuskan depresi
a. Kehilangan ketertarikan, yang yata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan,
atau harga diri. Karena elemen actual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal yang
sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat obatan atau berbagai
penyakit fisik seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan
keseimbangan metabolic, dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan.

41
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas klien.
Nama : Ny. K.
Umur : 58 Tahun.
Alamat : Karang Taliwang, Cakranegara.
Pendidikan : Tidak tamat SD.
Jenis kelamin : Perempuan.
Status : Menikah
Agama : Islam.
Tanggal pengkajian : Senin, 15 Oktober 2018
2. Status Kesehatan saat ini.
Ny. K mengatakan dirinya mengeluh pusing dan nyeri pada
bangian tengkuk yang membuat aktivitasnya terganggu, ditandai
dengan tekanan darah 140/100 mmHg, dan klien tampak gelisah dan
cemas. Ketika di kaji lebih lanjut ternyata Ny. K memang sedang ada
masalah dengan keluarga dan hal tersebut membuatnya tidak tenang.
B. Pembahasan
Gail W. Stuart (2006: 144) memaparkan “ansietas/ kecemasan adalah
kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya”. Dari berbagai pengertian
kecemasana (anxiety) yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan
bahwa kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak
nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-
samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu
yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas.
Kemudian menurut Ivi Marie Blackburn & Kate M. Davidson (1994: 9)
membagi analisis fungsional gangguan kecemasan, diantaranya.

42
1. Suasana hati, diantaranya: kecemasan, mudah marah, perasaan
sangat tegang.
2. Pikiran, diantaranya: khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,
membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat
sensitif, dan merasa tidak berdaya.
3. Motivasi, diantaranya: menghindari situasi, ketergantungan tinggi, dan
ingin melarikan diri.
4. Perilaku, diantaranya: gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.
5. Gejala biologis, diantaranya: gerakan otomatis meningkat, seperti
berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, dan mulut kering.
Dapat di simpulkan dari masalah yang dialami klien tentang
penjelasan sebelumnya, kecemasan merupakan faktor psikologis yang
mempengaruhi hipertensi. Hal tersebut didukung oleh pendapat Anwar
(2009) pada banyak orang kecemasan atau stress psikososial dapat
meningkatkan tekanan darah. Beberapa penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Dwinawati, Okatiranti dan Amrina membandingkan antara
tekanan darah dari orang-orang yang menderita kecemasan dengan
orang-orang yang tidak menderita kecemasan, didapatkan hasil tekanan
darah yang lebih tinggi pada kelompok penderita kecemasan dari pada
kelompok yang tidak cemas.

43

You might also like