Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Indonesia yang memiliki luas kurang lebih 1,904,569 km2, saat ini jumlah
penduduk Indonesia tahun 2012 diperkirakan sekitar 257.516.167 jiwa.
Secara nasional pertumbuhan penduduk Indonesia masih relatif cepat,
walaupun ada kecenderungan menurun. Antara tahun 1961 – 1971
pertumbuhan penduduk sebesar 2,1 % pertahun, tahun 1971 – 1980 sebesar
2,32% pertahun, tahun 1980 – 1990 sebesar 1,98% pertahun, dan periode
1990 – 2000 sebesar 1,6% pertahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS),
per bulan September 2012,3 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai
28,59 juta orang (11,66 persen), atau berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30
persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar
29,13 juta orang (11,96 persen). Serta Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 6,14 persen. Adanya jumlah
penduduk yang besar dan angka kemiskinan yang cukup tinggi dapat memicu
adanya masalah kependudukan yang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik
dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui masalah kependudukan yang ada di Indonesia.
2. Mengetahui penyebab masalah kependudukan tersebut.
3. Mengetahui solusi dari masalah kependudukan tersebut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Bagaimana kualitas penduduk Indonesia? Secara spontan kita pasti
akan mengatakan bahwa kualitas penduduk Indonesia masih tergolong
rendah. Kualitas penduduk dicerminkan dari tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, dan tingkat kesehatan.
1. Tingkat Pendapatan
Pendapatan penduduk Indonesia walaupun mengalami peningkatan tetapi
masih tergolong rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
4
2. Tingkat Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan mutu
pendidikan penduduk melalui berbagai program pemerintah di bidang
pendidikan, seperti program beasiswa, adanya bantuan operasional
sekolah (BOS), program wajib belajar, dan sebagainya. Walaupun
demikian, karena banyaknya hambatan yang dialami, maka hingga saat
ini tingkat pendidikan bangsa Indonesia masih tergolong rendah.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan
penduduk Indonesia sebagai berikut :
a. Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak
memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
b. Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan
guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk
menjalankan tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia
bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu
jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan
ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8%
yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544
dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48%
5
berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya
faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
c. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru
bantu Rp 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak
guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar
lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang
ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel.
d. Rendahnya prestasi siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari
materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda.
e. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
6
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
f. Mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali
tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu.
Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
g. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk, menyebabkan orang
tua tidak mampu membiayai anaknya sekolah, sehingga banyak anak
yang putus sekolah atau berhenti sekolah sebelum tamat.
h. Ketidakseimbangan antara jumlah murid dengan sarana pendidikan
yang ada seperti kelas, guru, dan buku-buku pelajaran. Hal ini
menyebabkan tidak semua anak usia sekolah tertampung belajar di
sekolah, terutama di daerah pelosok dan terpencil yang sulit
dijangkau program pemerintah.
i. Masih kurangnya kesadaran penduduk terhadap pentingnya
pendidikan, sehingga anak tidak disekolahkan tetapi justru diarahkan
untuk bekerja membantu memenuhi ekonomi keluarga.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi
masalah pendidikan.
7
2.2 Masalah Kependudukan di Indonesia
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang
bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa (49,79
persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21 persen).
Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah: pulau Sumatera
yang luasnya 25,2 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh
21,3 persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5 persen
penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen
penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen
penduduk, Maluku yang luasnya 4,1 persen dihuni oleh 1,1 persen penduduk,
dan Papua yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.
Diantara negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia
menempati posisi keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Di
Indonesia 60% penduduknya berada di pulau jawa. Ketidak merataan
persebaran penduduk di Indonesia menyebabkan ketidak merataan juga
pembangunan fasilitas fisik maupun non fisik. Hal tersebut akan menarik
banyak migran ke pulau jawa. Sehingga daerah yang ditinggalkan tidak
mengalami kemajuan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar mengakibatkan
permasalahan kuantitas penduduk di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah penduduk Indonesia, besarnya sumber daya manusia Indonesia
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang ada. Jumlah penduduk di
Indonesia berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia, peningkatan penduduk dinamakan
pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk Indonesia lebih
kecil dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina.
3. Kepadatan penduduk Indonesia, kepadatan penduduk merupakan
perbandingan jumlah penduduk terhadap luas wilayah yang dihuni.
Ukuran yang digunakan biasanya adalah jumlsh penduduk setiap satu
km2 atau setiap 1 mil2. Permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah
8
persebarannya yang tidak merata. Kondisi demikian menimbulkan
banyak permasalahan, misalnya pengangguran, kemiskinan, kriminalitas,
pemukiman kumuh dsb.
4. Susunan penduduk Indonesia, sejak sensus penduduk tahun 1961,
piramida penduduk Indonesia berbentuk limas atau ekspansif. Artinya
pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada
penduduk usia tua. Median umur penduduk Indonesia tahun 2010 adalah
27,2 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia termasuk
kategori menengah (intermediate). Penduduk suatu wilayah
dikategorikan penduduk muda bila median umur < 20, penduduk
menengah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur
> 30 tahun. Rasio ketergantungan penduduk Indonesia adalah 51,31.
Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif (15-64
tahun) terdapat sekitar 51 orang usia tidak produkif (0-14 dan 65+), yang
menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.
Rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 46,59 sementara di
daerah perdesaan 56,30. Perkiraan rata-rata umur kawin pertama
penduduk laki-laki sebesar 25,7 tahun dan perempuan 22,3 tahun
(perhitungan Singulate Mean Age at Marriage/SMAM).
Solusi untuk mengatasi masalah jumlah penduduk diantaranya adalah
dengan Program Keluarga Berencana (KB). Mencanangkan program
Keluarga Berencana (KB) sebagai gerakan nasional, yaitu dengan:
a. Memperkenalkan tujuan-tujuan program KB melalui jalur
pendidikan.
b. Mengenalkan alat-alat kontrasepsi kepada pasangan usia subur, dan
menepis anggapan yang salah tentang anak.
c. Menetapkan Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya
mengatur serta menetapkan tentang batas usia nikah.
d. Mempermudah dan meningkatkan pelayanan dalam bidang
pendidikan, sehingga keinginan untuk segera menikah dapat
dihambat.
9
1. Mobilitas (Persebaran Penduduk Tidak Merata)
Banyaknya masyarakat Indonesia yang bermigrasi ke kota-kota besar
mengakibatkan terjadinya kepadatan di kota-kota besar. Namun fasilitas dan
perekonomian di daerah perkotaan semakin meningkat. Sedangkan pada
daerah yang ditinggalkan penduduknya tidak mengalami kemajuan sama
sekali sehingga terjadi ketidak seimbangan antara pertumbuhan daerah
perkotaan dan pedesaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dan kepadatan penduduk
tiap-tiap daerah atau negara sebagai berikut:
10
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kepadatan penduduk erat kaitannya
dengan kemampuan wilayah dalam mendukung kehidupan penduduknya.
Daya dukung lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia tidak sama.
Daya dukung lingkungan pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan
pulau-pulau lain, sehingga setiap satuan luas di Pulau Jawa dapat
mendukung kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan, misalnya
di Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Sumatra.Kemampuan suatu wilayah
dalam mendukung kehidupan itu ada batasnya. Apabila kemampuan
wilayah dalam mendukung lingkungan terlampau, dapat berakibat pada
terjadinya tekanan-tekanan penduduk. Jadi, meskipun di Jawa daya
dukung lingkungannya tinggi, namun juga perlu diingat batas
kemampuan wilayah tersebut dalam mendukung kehidupan.
Transmigrasi bukan hanya memindahkan penduduk, tetapi harus juga
menyiapkan aspek sosial, SDM, dan teknis. Aspek sosial, masyarakat yang
akan dipindahkan harus dipersiapkan agar mudah beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Aspek SDM, peningkatan skill perlu diberikan kepada
masyarakat yang akan dipindahkan. Aspek Teknis, mempersiapkan
prasarana dasar yang menunjang daerah transmigrasi, tidak hanya rumah
dan sepetak tanah. Ditemui berbagai kendala misalnya masyarakat tidak
kerasan ditempat barunya, sehingga mereka kembali ke kota. Banyak proyek
transmigrasi yang tidak dilakukan sesuai prosedur, yaitu penyiapan prasarana
dasar secukupnya, dana diselewengkan, sehingga penduduk yang
dipindahkan teraniaya. Beberapa solusi lain upaya lain yang dapat dilakukan
adalah:
a. Pengadaan rumah vertikal atau rusun
b. Mengatur jarak kelahiran
c. Menambah pengetahuan tentang kependudukan\
d. Meningkatkan usaha ekonomi keluarga
e. Para transmigran yang sukses bisa kembali membangun daerah asalnya.
11
2. Rendahnya Usia Kawin Pertama
Usia perkawinan pertama wanita erat hubungannya dengan fertilitas.
Karena bila umur perkawinan pertamanya semakin muda semaki mendekati
umur haid pertama, maka semakin lama masa reproduksinya. Hal itu semakin
panjang resiko seorang wanita untuk hamil dan melahirkan.
Data Riskesdas 2010 menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan
pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 persen. Menurut SDKI Tahun
2007, 17 persen wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah pada
umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang menikah pada umur 15 tahun
berkurang dari 9 persen untuk umur 30-34 tahun menjadi 4 persen untuk
wanita umur 20-24 tahun. Menurut data Susenas Tahun 2010, secara nasional
rata-rata usia kawin pertama di Indonesia 19.70 tahun, rata-rata usia kawin
didaerah perkotaan 20.53 tahun dan di daerah perdesaan 18.94 tahun, masih
terdapat beberapa propinsi rata-rata umur kawin pertama perempuan dibawah
angka nasional.
Data BPS tahun 2010, menunjukkan rata-rata perempuan di daerah
perkotaan menikah pada usia 20-22 tahun, hal ini disebabkan karena
partisipasi perempuan dalam karir dan pekerjaan sebelum perkawinan
sehingga dapat menunda usia perkawinan. Walaupun telah terjadi sedikit
peningkatan usia perkawinan pertama pada perempuan namun perlu
mendapat perhatian karena dapat memberikan dampak pada peningkatan
TFR.
Hasil penelitian menemukan bahwa ada beberapa factor yang
berpengaruh terhadap perkawinan pertama pada perempuan, diantaranya
adalah factor social, ekonomi, budaya dan factor tempat tinggal desa-kota.
Diantara beberapa factor tersebut, ternyata faktor ekonomi yang paling
dominan terhadap perkawinan pertama pada perempuan.
Rendahnya tingkat kemampuan eknomi keluarga akan mendorong para
orangtua mengawinkan anak-anak wanitanya walaupun mereka masih umur
muda. Sementara itu dari segi sosial budaya, umumnya terjadi karena adanya
pemikiran seperti takut anaknya menjadi perawan tua, kebanggaan apabila
12
anaknya cepat dilamar dan juga ingin mengurangi beban (tanggung jawab)
sebagi orang tua apabila anaknya telah menikah.
Ada juga faktor agama yang dianut oleh masyarakat setempat, seorang
anak diwajibkan patuh terhadap orang tua, apabila orang tua menginginkan
anaknya segera menikah walaupun usianya masih muda harus menurut
kehendak orang tua dan yang penting anaknya sudah ”haid pertama”. Tokoh
Masyarakat dan Tokoh Agama berpendapat bahwa perkawinan usia muda
pada perempuan lebih kepada menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya ”hamil diluar nikah”, pergaulan bebas atau sex bebas
antar remaja.
Faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkawinan pertama pada
perempuan adalah faktor pendidikan, rendahnya pendidikan orang tua dan
rendahnya pendidikan remaja mendorong untuk pernikahan usia muda.
Mereka yang tidak melanjutkan sekolah akhirnya menganggur, karena
sulitnya mencari pekerjaan.Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai
pembantu rumah tangga dan tidak bertahan lama. Kawin usia muda juga
terjadi karena terlanjur ”hamil” sehingga terpaksa dikawinkan. Setelah
menikah umumnya mereka menyadari bahwa perkawinan usia muda tidak
baik untuk kelangsungan rumah tangga karena berbagai faktor. Rapuhnya
ketahanan keluarga karena masing-masing tidak siap secara sosial, ekonomi
budaya.
13
Berdasarkan pengambilan data peserta aktif pada bulan januari tahun
2010 menunjukan bahwa prevelensi KB di Indonesia adalah 75.8 % .
Diantaranya akseptor wanita sebanyak (75.4%) dan akseptor pria sebanyak
(1.6%)(BKKBN, 2011)
Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB dan kesehatan reproduksi
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (a) faktor dukungan, baik politis,
sosial budaya, maupun keluarga yang masih rendah sebagai akibat
rendah/kurangnya pengetahuan pria/suami serta lingkungan sosial budaya
yang menganggap KB dan kesehatan reproduksi merupakan urusan dan
tanggung jawab perempuan, (b) faktor akses, baik akses informasi, maupun
akses pelayanan. Dilihat dari akses informasi, materi informasi pria masih
sangat terbatas, demikian halnya dengan kesempatan pria/suami yang masih
kurang dalam mendapatkan informasi mengenai KB dan kesehatan
reproduksi. Keterbatasan juga dilihat dari sisi pelayanan dimana sarana/
tempat pelayanan yang dapat mengakomodasikan kebutuhan KB dan
kesehatan reproduksi pria/suami masih sangat terbatas, sementara jenis
pelayanan kesehatan reproduksi untuk pria/suami belum tersedia pada semua
tempat pelayanan dan alat kontrasepsi untuk suami hanya terbatas pada
kondom dan vasektomi (Iman, 2008).
Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan
vasektomi. Hanya 5 – 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan
pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan
pemerintah (Wibowo, 1994). Bahkan hasil baseline survei di 4 propinsi
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan NTT tahun 2002
memperlihatkan bahwa dari 30% pelayanan kesehatan yang menyediakan
pelayanan vasektomi, hanya 4% yang melayani vasektomi. Dari sisi provider
terlihat bahwa keberadaan dan kesiapan provider pemberi pelayanan secara
teknis telah mendukung pelaksanaan vasektomi. Namun secara mental masih
ada hambatan, disamping itu mutasi dokter terlatihpun sangat cepat.
Terbatasnya akses ke tempat pelayanan disebabkan antara lain oleh
(Suprihastuti, 2000):
14
a. Citra terhadap tempat pelayanan KB yang dipersiapkan sebagai
tempat pelayanan untuk wanita.
b. Kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi
c. Kurangnya motivasi provider untuk pelayanan vasektomi
d. Kurangnya dukungan peralatan dan medical suplies untuk vasektomi
e. Kurang dukungan logistik kondom.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya
partisipasi pria dalam ber-KB antara lain:
1. Untuk petugas KB atau petugas Kesehatan
a. Perlunya peningkatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi)
tentang partisipasi pria dalam KB kepada pasangan usia subur
sehingga mereka bisa memahami bahwa bukan hanya perempuan
saja yang ber-KB tapi pria juga penting untuk ber-KB.
b. Perlunya peningkatan KIE melalui paguyuban atau kelompok KB
pria tentang alat kontrasepsi pria yaitu kondom untuk meningkatkan
pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi kondom.
c. Perlunya peningkatan KIE kepada calon pengantin pria dan wanita
tentang partisipasi pria dalam KB.
2. Untuk Pemerintah
a. Perlunya bantuan biaya pelayanan KB dan penyelenggaraan safari
KB selain alat kontrasepsi vasektomi/MOP.
b. Perlunya peningkatan pemberian kondom gratis untuk pasangan usia
subur.
c. Perlunya pengadaan metode kontrasepsi baru bagi pria selain
kondom dan vasektomi.
d. Perlunya peningkatan KIE mengenai partisipasi pria dalam KB
melalui media elektronik seperti televisi, radio dan media massa
sepeti majalah dan Koran.
4. Masih Lemahnya Institusi Daerah Dalam Pelaksanaan Program KB
Kerumitan makin terbayang karena upaya untuk mengatasi simpang siur
data dan kinerja program KB untuk menahan laju pertumbuhan penduduk
15
juga terganggu oleh masalah institusi, terutama di kabupaten/kota. Belum lagi
kalau kependudukan bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal menjaga
kualitasnya.
Dimulai sejak awal era reformasi, program KB seakan mati suri. Stagnasi
mulai terjadi sejak era otonomi daerah dicanangkan tahun 1999. Pada
umumnya daerah tidak menempatkan KB sebagai program prioritas.
Bahkan masih banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki badan atau
lembaga yang mengurus KB. Dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, baru 385
yang mempunyai institusi untuk mengurus KB. Ironisnya, dari 385
kabupaten/kota tersebut, baru 7 persen yang mempunyai institusi yang
khusus menangani KB, sedangkan 93 persen digabung dengan tugas-tugas
lain.
Mengecilnya komitmen pemda, khususnya pemerintah kabupaten/kota
pada awal pelaksanaan otonomi daerah antara lain karena pertimbangan
pembiayaan. KB yang banyak dinilai sebagai urusan yang lebih banyak
menyedot anggaran, kemudian diciutkan, digabungkan dengan urusan lain.
2.3 Solusi
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang
bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa (49,79
persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21 persen).
Jumlah penduduk Indonesia yang besar mengakibatkan permasalahan
kuantitas penduduk di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah penduduk Indonesia, besarnya sumber daya manusia Indonesia
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang ada. Jumlah penduduk di
Indonesia berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia, peningkatan penduduk dinamakan
pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk Indonesia lebih
kecil dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina.
3. Kepadatan penduduk Indonesia, kepadatan penduduk merupakan
perbandingan jumlah penduduk terhadap luas wilayah yang dihuni.
Ukuran yang digunakan biasanya adalah jumlsh penduduk setiap satu km2
atau setiap 1 mil2. Permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah
persebarannya yang tidak merata. Kondisi demikian menimbulkan banyak
permasalahan, misalnya pengangguran, kemiskinan, kriminalitas,
pemukiman kumuh dsb.
4. Susunan penduduk Indonesia, sejak sensus penduduk tahun 1961,
piramida penduduk Indonesia berbentuk limas atau ekspansif. Artinya
pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada
penduduk usia tua.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ekayanthi, Ni Wayan Dian. 2005. Persepsi Pria Pasangan Usia Subur Terhadap
Partisipasi Pria Dalam Program KB di Kecamatan Tabanan Kab.
Tabanan Prop Bali. UGM. Yogyakarta.
18