Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang
kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang
terakhir. Bila kekerasan pada anak sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan luka
yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan trauma pada anak. hal ini akan
mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya
akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau
membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,
mengalami mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada
tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain. Sedangkan Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk
tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan
meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual,
serta trafficking/ jual-beli anak.
Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kekerasan terhadap anak
adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat
penderitaan terhadap anak.
Pada kekerasan anak terdapat 4 macam kekerasan terhadap anak, yaitu : Penyiksaan
Fisik (Physical Abuse), Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse), Pelecehan
Seksual (Sexual Abuse), dan Pengabaian (Child Neglect). Dari ke 4 macam kekerasan
tersebut menulis akan membahas lebih mendalam tentang Pelecehan Seksual (Sexual
Abuse).
Karena menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut 2013
merupakan tahun yang tidak terlalu bersahabat bagi anak-anak di Indonesia. Sebab, pada
tahun itu banyak anak yang mengalami kekerasan secara seksual, hingga mencapai 525
kasus. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk membuat makalah mengenai
Kekerasan / Pelecehan Seksual pada Anak.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan
psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis
kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual
tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin,
2008).
3
B. Kategori Berdasarkan Identitas Pelaku Pada Pelecehan / Kekerasan Seksual
Terhadap Anak
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi
bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya
ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer (dalam Tower, 2002)
menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada
anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi
noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan
untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault
(perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio
(stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori
terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi
kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer
mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan
trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan
demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan
seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang
mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang
diperkosa secara paksa.
Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan
hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan
oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-
anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002).
Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan anak-anak
sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide,majalah, dan buku (O’Brien,
Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat
4
dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk
mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan
intensif, berupa:
1. Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).
2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
5. Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
7. Masturbasi
8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).
10. Digital penetration (pada anus atau rectum).
11. Penile penetration (pada vagina).
12. Digital penetration (pada vagina).
13. Penile penetration (pada anus atau rectum)
14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau
bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
5
Sedangkan Berdasarkan informasi pada laman childmolestationprevention.org
terdapat empat penyebab orang melakukan pelecehan seksual pada anak, diantaranya
sebagai berikut :
Waktu kecil mereka adalah anak atau remaja yang sangat tertarik dengan seks. Dari
rasa tertarik dan ingin tahu itu seorang remaja bisa menggunakan anak kecil sebagai
sebuah eksperimen seks. Eksperimen macam ini jika tidak dihentikan bisa terbawa
hingga si remaja dewasa.
Pelaku pelecehan seksual pada anak sejak awal menderita sakit mental. Pemantauan
yang secara intensif dan dekat dengan penderita serta penggunaan obat secara
berkala diketahui dapat menghentikan kelainan seks pelaku dalam melakukan
pelecehan seksual pada anak.
Pelaku pelecehan seksual mempunyai perilaku anti-sosial sehingga akhirnya ia
mencari kesempatan untuk menyentuh anak kecil. Sikap anti-sosial yang dimaksud
lebih kepada ketidakpercayaan akan aturan yang ada di masyarakat Mereka
menganggap orang lain (termasuk anak-anak) selain diri mereka sendiri sebagai
sesuatu yang harus "digunakan" (dalam hal ini dilecehkan).
Kegemaran melakukan seks dengan anak-anak. Penderita yang berumur 16 tahun ke
atas biasa disebut pedophilia. Perawatan yang intensif dari spesialis di bidangnya
merupakan peluang yang lebih tinggi untuk menyembuhkan si pelaku. Terapi dan
obat-obatan bisa juga membantu penyembuhan para penderita pedophilia.
Kerusakan Psikologis
6
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak,
individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.
Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami
oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan
individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam
bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban
lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan
Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4) Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk.
Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda
dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan
yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk
menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori
kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
7
Kerusakan Fisik
Cedera
Tergantung pada umur dan ukuran anak, serta tingkat kekuatan yang digunakan,
pelecehan seksual anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada
kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa
kasus dapat menyebabkan kematian. Herman-Giddens dan lainnya menemukan
enam hal tertentu dan enam kasus kemungkinan kematian akibat pelecehan
seksual anak di Carolina Utara antara tahun 1985 dan 1994. Para korban berkisar
di usia dari 2 bulan sampai 10 tahun. Penyebab kematian termasuk trauma pada
alat kelamin atau dubur dan mutilasi seksual.
Infeksi
Pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan infeksi dan penyakit menular
seksual. Tergantung pada umur anak, karena kurangnya cairan vagina yang
cukup, kemungkinan infeksi lebih tinggi.
Kerusakan neurologis
8
elektrofisiologi meningkat pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual.
Navalta et al. (2006) menemukan bahwa dari Scholastic Aptitude Test
matematika yang dilaporkan sendiri dari puluhan sampel perempuan dengan
riwayat pelecehan seksual sewaktu anak-anak berulang-ulang secara signifikan
mendapatkan nilai matematika yang lebih rendah daripada yang dilaporkan
sendiri dengan menggunakan nilai SAT dengan sampel yang tidak pernah
dilecehkan. Karena subyek pelecehan verbal mendapatkan nilai SAT yang tinggi,
mereka berhipotesis bahwa nilai matematika yang rendah dari SAT bisa "berasal
dari sebuah cacat dalam integrasi belahan otak." Mereka juga menemukan
hubungan kuat antara gangguan memori jangka pendek untuk semua kategori
diuji (verbal, visual, dan global) dan durasi dari pelecehan.
Pendekatan awal untuk mengobati seseorang yang telah menjadi korban pelecehan
seksual tergantung pada beberapa faktor penting:
Tiga modalitas utama untuk terapi dengan anak-anak dan remaja yaitu terapi
keluarga, terapi kelompok, dan terapi individu. Yang tentu saja digunakan tergantung
pada berbagai faktor yang harus dinilai berdasarkan kasus per kasus. Misalnya,
pengobatan anak-anak biasanya memerlukan keterlibatan orang tua yang kuat dan akan
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga. Remaja cenderung lebih mandiri dan bisa
mendapatkan keuntungan dari terapi individu atau kelompok. Modalitas ini juga bergeser
selama pengobatan, misalnya untuk terapi kelompok jarang digunakan dalam tahap awal
sebagai subyek sangat pribadi. Faktor utama yang mempengaruhi baik patologi dan
9
respon terhadap pengobatan termasuk jenis dan tingkat keparahan dari tindakan seksual,
frekuensi, usia di mana hal itu terjadi, dan keluarga asal anak.
10
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan - kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -
hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran - pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran
tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b).
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi
situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada
trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi
dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita
untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan;
atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi
ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke
rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita
berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan
situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim, 2005b).
Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna
pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak
dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan
psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis
kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual
tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin,
2008).
12
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22787/4/Chapter%20II.pdf diakses
31/03/2014
http://health.liputan6.com/read/772744/anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-itu-salah-
orangtua diakses 31/03/2014
http://geraldinyesi.blogspot.com/2012/06/karya-ilmiah-tentang-kekerasan-terhadap.html
diakses 31/03/2014
http://www.vemale.com/relationship/intim/37824-empat-penyebab-orang-melakukan-
pelecehan-seksual-pada-anak.html diakses 31/03/2014
http://www.beritasatu.com/megapolitan/144251-dekadensi-moral-penyebab-kekerasan-
seksual-pada-anak.html diakses 31/03/2014
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma%20pada%20Ko
rban.pdf diakses 31/03/2014
Anonim,“PelecehanSeksual,”http://situs.kesrepro.info/gendervaw/materi/pelecehan.htm,
diakses 31/03/2014.
Anonim,“PelecehanSeksualdanPemerkosaan,”http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/penge
lolaceria/pp3pelecehan-seksual.html, diakses 31/03/2014
13